Naskah ini memberikan ringkasan singkat tentang jejak Sunan Bonang di Lasem dan isi Kitab Pangeran Bonang. Naskah ini menjelaskan tentang kehidupan dan perjalanan Sunan Bonang dalam menyebarkan agama Islam di Jawa serta strateginya menggunakan aksara Jawa dalam kitabnya untuk mendekatkan masyarakat pada Islam.
1. 1
Jejak Sunan Bonang
di Lasem dan Kitab
Pangeran Bonang
(Catatan Pengantar Diskusi)
Oleh: Aguk Irawan MN
2. 2
E-Commerce Marketing Plan
Raden Ibrahim Makhdum
(Sunan Bonang) lahir pada
tahun 1465 M dan wafat pada
1525 M. Sunan Bonang dikenal
sebagai pencipta gending
dharma serta mengganti nama
dewa-dewa Hindu menjadi
nama-nama malaikat, nabi,
rasul dan tokoh-tokoh dalam
Islam. Upaya ini untuk
mendekatkan masyarakat Jawa
pada waktu itu agar mereka
mau memeluk Islam.
Profil Singkat
Sunan Bonang
Raden Makhdum
3. 3
E-Commerce Marketing Plan
Sang Ayah, Sunan Ampel mengajaknya ke daerah Bonang-Binangun Lasem untuk
melakulan Riyadhah selama 3 bulan. "Sampun Angsal tigang sasi , tinarima
Pangeran Radem Ibrahim tapane.." (Sumber: Babad Demak Pesisiran, Pupuh 5
Asmaradana 24). ”Nalika Jamanipun para wali, ing dhusun Bonang wonten
satunggaling jejaka ngupados pangengeran..” (Sumber: Babad Banawi Sala, 20)
Menikah dengan Dewi Hirah putri Jaka Kandar, dikaruniai anak Dewi Ruhil dan
Putri Depa keduanya hidup di Bonang, Binangun. "Putri Sunan Bonang namine
Dewi Ruhil lan Putri Depa ing ngristenan sayakti. (Sumber: Babad Cirebon).
Mendapat tugas mendirikan pesantren dan Masjid di Bonang, Binangun dari ayah
dan pamannya (Maulana Ishaq), saat itu saudaranya Nyai Ageng Maloka dan
suaminya Adipati Wiranegara sudah menjadi adipati Lasem. "Diutus ngenggoni
Bonang maring adhike Putri Melokah Kang asma Makhdum, sisih jaka kelahiran
taun saka 1376 dadi kiai lan guru agama.." (Sumber: Sabda Badra Santi, 13).
4. 4
E-Commerce Marketing Plan
Masa Remaja Raden Ibrahim bersama Raden Ainul Yakin nyantri ke Maulana Ishak
di Pasai, dari Pasai ke Mekkah (sezaman dengan Syaikh Asif Khan, Syaikh Mulla
Abdullah ibnu As'ad Al-Sanadi, dll). Lalu kembali ke Pasai dan diutus membuka
pesantren dengan membawa segenggam tanah dari Pasai untuk di taruh di bukit
Giri Kedaton bagi Raden Ainul Yakin dan bukit Bonang Binangun bagi Raden
Makhdum (Sumber: Raffles, 465-66)
Raden Makhdum
6. Gambaran Umum Naskah
6
Naskah Pangeran Bonang (ada yang menyebut Primbon Bonang, Serat Usal Suluk dan Het Boek Van
Bonang), yang dibawa dari Sedayu, bertanda tahun 1596 ini adalah salah satu naskah tertua di Leiden,
Belanda. Naskah ini secara kebetulan ditemukan di Tuban oleh armada Belanda yang pertama kali berlayar
sampai di kepulauan Nusantara dalam persinggahan yang agak lama di Sedayu pada tahun 1597 M. Naskah
tersebut selanjutnya dibawa pulang ke negeri Belanda dan dipelihara dengan baik hingga akhirnya berada
dibawah pemeliharaan Liedsche Universiteitsbibliotheek sejak oktober 1597 M., ditempatkan di bawah
katalogus no. XVII kal. Octob. 1599 M atau dengan kode Lor 1926. Pada tahun 1916 B.J.O. Schrieke di
Universitas Leiden pernah menelitinya untuk keperluan tesis, kemudian Drewes meneliti naskah yang sama
pada tahun 1969 melalui karyanya The Admonition of Seh Bari.
Naskah tersebut ditulis dengan aksara peralihan dari aksara Kawi (ka-gha-nga) ke aksara Carakan (ha-na-ca-
ra-ka). Selain mengajarkan syahadat, juga shalawat yang selama itu ditulis dengan aksara Arab kemudian
dikenalkan dengan aksara lokal, ini sebagai strategi yang efektif untuk mengajak pembacanya bersyahadat
secara tidak langsung, kendati mereka belum bisa membaca tulisan Arab. Sementara masyarakat Jawa
sudah terbiasa dengan aksara lokal di era Majapahit.
7. 7
… (la)falè, tingkahing anaksèni ing Pangèran, wa asyhadu an la i
laha illallahu, wahdahu la syarikalah, wa asyhadu anna
Muhammadan rasulullahi, tegesè iku ingsun anaksèni … (hal 2)
Sunan Bonang menuntun mereka untuk membaca aksara Jawa yang tertulis dalam kitabnya. Orang-orang yang tidak asing
dengan huruf-huruf itu membacanya dengan lancar. Tanpa mereka sadari, ternyata huruf-huruf yang mereka baca itu
membunyikan dua kalimat syahadat. Otomatis mereka jadi muslim dengan sendirinya.Kangjeng Sunan Bonang juga mengajarkan
orang Jawa ber-bismilah, shalawatan, hingga bersyahadat dengan aksara Jawa, bukan dengan aksara Arab.
Penggunaan aksara Jawa ini merupakan penerapan strategi literasi agar bisa menyatu dengan masyarakat Jawa. Sebab, para wali
atau guru itu telah mengaku sebagai orang Jawa. Maka dari itu, instrumen yang digunakannya pun serba Jawa. Jika mengacu
pada fakta sejarah ini, maka perlu ditelisik lagi: Apakah benar para wali dulu dalam kesehariannya berjubah? Pada naskah Bali,
ada satu bagian yang menyebut jika para wali mengajari murid-muridnya dengan memakai penutup bestar atau udeng-udeng,
dengan pakaian yang dalam syiir Ilir-Ilir karya Sunan Ampel disebut dengan istilah dodot (pakain serupa kain yang hanya dipakai
dengan cara disimapi dan disimpul, misal kain ihram atau pakaian wikhu) bukan serban.
8. 8
Naskah ini disebut Pangeran Bonang, karena di
akhir kitab ini menyebutnya: Tammat carita
cinitra,kang pakreti pangeraning Bonang (83)
9. Daftar Rujukan Naskah
9
Dengan melihat isi dari ajaran dan wejangan Sunan Bonang yang tertulis setidak-tidaknya ada sejumlah
kitab Arab klasik yang diperkirakan telah menjadi sumber rujukan dari ajaran walisongo. Beberapa kitab
tersebut, antara lain adalah :
1
Ihya’ Ulumuddin karya Hujjatul Islam Imam
Abu Hamid al-Ghozali
2
Tamhid fi bayanit-Tawhid karya Imam Abu
Bakar al-Baqillani
3 Talkhis al-Minhaj karya Syaikh Imam Nawawi
4 Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makky
5
Risalah al-Makkiyah fi Thariq al-Sada al-
Sufiyyah karya Afifuddin at-Tamimi,
6 Al-Anthaki.
7 Syaikh Barri (Sekhul-Bari)
8 Bebarapa nama tokoh Tasawuf
10. Penjelasan
10
6 Al-Anthaki. Mengenai al-Anthaki ini, ada dua kemungkinan, yaitu Abu Muhammad al-Anthaki seorang
penyair dari Daulah Bani Fathimiyyah zaman al-Mu’iz Li Dinillah (341-365 H.) dan Zaman Al-Aziz Billah (365-
386 H.) atau Daud al-Anthaki penulis kitab Tazyinul Asywaq bi Tafshil Asywaq Al Usysyaq atau Abu Nu’aim
Ahmad bin Abdillah al-Isfahani pengarang kitab Hilyatul Auliya’ yang bergelar Ahmad bin Ashim Al-Anthaki.
7 Disamping beberapa nama pengarang kitab tersebut diatas, ditemui pula nama Syaikh Barri (Sekhul-Bari)
sebagai tokoh protagonis dalam naskah ini kemungkinan besar terinspirasi dari nama Syekh Ibnu Abdil Barri
(w. 1071 M), juga penulis kitab berjudul Tamhid, seorang ulama Ahlussunnah terkenal, ahli hadits, ahli fiqih,
ahli genealogi dan sejarah dari Mazhab Maliki yang berasal dari Andalusia.
8 Bebarapa nama tokoh Taswuf yang disebut adalah Abu Jazid Al-Basthami, Muhyiddin ibn ‘Arabi, Syekh
Ibrahim al-Iraqi, Syekh Abdul Qodir Jailani, Syekh Semangu Asarani, Syekh Ar-Rudaji, Syekh Sabti, Pandita
Sujadi Waquwatihi, dll. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ajaran Walisongo, meliputi bidang ilmu
fiqih (syariat), ilmu kalam -- termasuk didalamnya adalah ilmu tauhid dan ushuluddin, serta diajarkan pula
ilmu tasyawwuf seperti suluk, tarikat dan mistik.
11. Sanad Naskah
11
Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dan sanad kitab Tamhid karya kakek guru Imam al-
Ghazali yang bernama Imam Abu Bakar al-Baqillani (wafat 1013 M). Imam al-Baqillani adalah murid Ibnu
Mujahid at-Tha'i dan Abu al-Hasan al-Bahili, dua murid terkenal Imam Abu Hasan Ali al- Asy'ari (w. 936 M),
tokoh pendiri aliran Asy'ariyah dalam lingkungan ahlussunnah walJamaah.
Isi kitab Ihya dan Tamhid dikutip dalam naskah Kangjeng Sunan Bonang LOr 1926 ini. Bab pertama kedua
kitab itu tentang ilmu dan seluk-beluknya. Selanjutnya, polemik naskah Kangjeng Sunan Bonang ini dengan
aliran-aliran teologis berasal dari kitab Tamhid karya Al-Baqillani. Kitab Tamhid dari al-Baqillani ini juga
menginspirasi satu kitab Imam al-Ghazali yang berjudul Fayshlut-Tafriqah. Naskah LOr 1928 dari Sidayu
abad ke-16 ini, pada halaman 2, menyebutkan: “[ki]tab Ahya Ulumuddin lan saking Tamhid, antukira
(dipetik, dipilih) Sekhul-Bari, am(e)teti (menyarikan, memaparkan) ti[ng]kahing [tradisi, perilaku]
sisimpenan [yang diriwayatkan, yg ditransmisikan dair], ing Nabi wali mu'min kabeh.”
12. 12
1. Nabi Muhammad SAW., turun kepada
2. Sayidina Ali ibn Abi Thalib karramallahu wajhahu, turun kepada
3. Imam al-Hasan al-Bashri, turun kepada
4. Abu Ali al-Juba'I, turun kepada
5. Imam Abu Hasan Ali al-Asy'ari, turun kepada
6. Ibnu Mujahid at-Tha'i dan Abul-Hasan al-Bahili, turun kepada
7. Imam al-Baqillani (sanad kitab Tamhid), turun kepada
8. Imam al-Haramain al-Juwaini, turun kepada
9. Imam al-Ghazali (sanad kitab Ihya’ Ulumuddin), turun kepada
10. Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 1209), turun kepada
11. Imam Izzuddin ibn Abdussalam (w. 1262), turun kepada
12. Ibnu Daqiqil'id (w. 1302) , turun kepada
13. Imam Tajuddin as-Subki (w. 1370), turun kepada
14. Sirajuddin al-Bulqini (w. 1403), turun kepada
15. Jalaluddin al-Bulqini (w. 1421), turun kepada
16. Imam Jalaluddin as-Suyuthi (.w 1505), turun kepada
17. Syekhul Islam Zakariyya al-Anshari (w. 1511) [tokoh kunci sanad ulama-ulama Mekkah-Madinah abad 15], turun kepada,
18. Kangjeng Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah (w. 1550) bersama Syekh Abdul Wahab asy-Sya'rani [asy-Sya'rawi, w. 1565],
19. Kangjeng Sunan Bonang Syekh Ibrahim bin Kangjeng Sunan Ampel.
Berikut garis sanad kedua
kitab itu (Kitab Tamhid dan Ihya’):
13. Sekilas
Isi Naskah
13
Bismillahirrahmanirrahimi, wabihi
nasta'inu, alhamdulillahi rabbil 'alamin,
wassalatu 'ala rasulihi Muhammadin wa
ashabihi ajma'in.Nyan punika caritanira
Syèkhul Barri, tatkalanira apitutur
dhateng mitranira kabèh, kang
pinituturaken wirasaning Usul Suluk,
wedaling carita saking kitab Ahya
'ulumuddin, lan saking Tamhid, antukira
Syèkhul Bari, amethèti ti(ng)kahing
sisimpenan, ing nabi wali mu'min kabèh.
Mangka akecap Syekh Barri, kang sinalametaken
dèning Pangèran: "Hè mitraningsun sira kabèh,
dèn sami angimanaken wirasaning Usul Suluk,
i(ng)kang kapethèt ti(ng)kahing anaksèni ing
Pangèran, miwah kawruhana yan Sira Pangèran,
tunggal tan kakalih, saksènana yan Sira Pangèran,
asifat Sadya Suksma, Mahasuci tunggalira, tan
ana papadhanira, Kang Mahaluhur..”
14. 14
Secara garis besar, kitab ini menyuguhkan hal ihwal tauhid, yang terbagi pada persoalan tauhid
zat, sifat, asma dan af’al-Nya. Kemudian membahas pola dan relasi ideal antara manusia dengan
Allah, manusia dengan mahluk lainnya, dengan posisi manusia sebagai hamba dan kholifah, lalu
pembahasan terkait polemik ru’yat (kemampuan melihat) Allah, dan tanbih, yaitu sebuah
peringatan agar manusia senantiasa berbuat sholeh, ihsan, takwa, dan berpegang teguh pada
ajaran Islam serta menjaga batas-batas syariat.
Adapun terhadap tauhid yang terkait ma’rifat Dzat Allah, sifat, asma dan af’al Allah disuguhkan
dengan gaya bertutur dan dialog antara guru dan murid. Pada bagian ini diungkapkan 12 macam
pendapat yang disebut musykil dan layak dijuluki “wong sasar” menurut standar empat
madzhab, yaitu :
15. 15
1
Pendapat yang menyatakan bahwa :”i(ng)kang ana iku Allah, i(ng)kang ora ana iku Allah, den tegesake
oraning Allah iku ora andade’aken. (yang ada ialah Allah, yang tiada ialah Allah, dengan arti tiadanya adalah
tiada mejadikan).
…wong sasar satengah, i(ng)kang ana iku Allah, i(ng)kang ora iku Allah, dèn tegesaken oraning Allah iku,
nora andadèken, i(ng)kang angucap iku kafir, kang nora dèn arani… (hal 10)
16. 16
2
Pendapat yang menyatakan : “iya namane iya kersane, iya namane iya dzate, iya dzat(e) iya kersane. Iku
among ing paekan tan weruh ing panunggale”. (nama-Nya itu itulah juga kehendak-Nya, nama -Nya itulah
juga dzat-Nya, Dzat-Nya itulah kehendak-Nya…). Kedua ungkapan tersebut diatas dianggap sesat karena
dapat mengacaukan pemahaman akan keesaan Tuhan.
…kang angucap iku kufur. Ana wong sasar malih angucap: "iya nama
nè iya karsanè, iya namanè iya dzatè, iya dzat iya kar- (hal 18)
-sanè, iku amoring paèkan, tan weruh ing panunggale, iku… (hal 19)
17. 17
3
Pendapat Kawabatiniyah (kebatinan) yang disifati oleh Sunan Bonang sebagai “atunggal sastra anging tan
apatut “ atau congkak dalam kata namun tidak patut dan tidak sesuai dengan akal budi karena
bertentangan dengan pokok ushul suluk yang terdapat dalam kitab Ihya’ dan Tamhid.
…karanè sasar". Mangka anabda Syèkhul Barri: "Hè mitraningsun, a
na kecaping wong sasar malih, Kawibataniyah aranè, atu(ng)gul
sastra, anging tan apatut lan tegesè, tan apatut lawan budhi, mi… (hal 19)
18. 18
4
Suatu pendapat ganjil yang menyatakan : “ Kadi anggrupa’aken sifating pengeran, kadi akecap : sekatahing
dumadi iku sifating Allah, kadi ngana’aken ing nora, kadi ama’duamen ing Allah. Pendapat ini adalah kufur.
kadi angrupakaken sifating Pangèran, kadi angapesaken sifa
ting Pangèran, kadi akecap sakathahing dumadi iki, sifa
ting Allah, kadi anganakaken ingkang nora, kadi amakduma
ken ing Allah, iku kufur, akecap: “endi sifating Allah”… (hal 19)
19. 19
5
Pendapat yang beranggapan bahwa dalam fana’ terjadi ittihad (pernyatuan) antara kawula-Gusti (hamba -
Tuhan) sebagaimana berpadunya sungai di muara dengan air laut. Hal ini menurut beliau merupakan
penta’wilan yang menyeleweng dan sesat yang bertentangan dengan firman Allah swt.: “Marajal Bahraini
Yal Taqiyani bainahuma Barzahun La yabgiyani.”
… ing dalem Qur'an: "marajal bahrèni yaltaqiyan, bènahuma
barzahun la yabghiyan”. Tegesè kadi patemoning sagara … (hal 21)
20. 20
6
Paham karamiyah, sebuah paham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk,
didirikan oleh Abdullah Muhammad bin Karamiyah yang menandaskan bahwa
Allah duduk di singgasana-Nya di arsy, dimana ia menjisimkan dzat Allah.
7
Paham yang menyatakan bahwa “sifat iku ana ing dzat, asma itu ana ing
deweke”, yaitu suatu paham yang menyamaratakan antara sifat, dzat dan asma’
Allah.
21. 21
8
Paham yang berpendapat bahwa “sifat sifat, dzat dzat” , yaitu menganggap bahwa keberadaan dzat dan
sifat sebagai dua keadaan yang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Penulis mencoba meluruskan
bahwa kedua paham tentang sifat dan dzat tersebut semestinya adalah satu kesatuan “paikan(ing)
sasifatira tan liyaning ananira” atau sifat-sifat-Nya tak lain adalah wujud-Nya.
9
Paham mu’tazilah yang dianggap sebagai paham yang mengingkari sifat qudrat
dan iradat Allah atas diri manusia, “Allah Ta’ala ora amurba”.
22. 22
10
Pendapat ibnu ‘Arabi, pengarang kitab Futuhatul Makkiyah yang terkenal dengan pahamnya
Wahdatul Wujud (Panteisme), yaitu paham yang menganut isme emanasi yang berpendapat
bahwa “Allah iku dzate qodim, sifat af’ale muhdats” (Dzat-Nya Allah itu dahulu, sifat dan
perbuatan-Nya baru).
11
Paham yang berpendirian bahwa :”Kang angilo iku nora ningali wewayangan”,
yaitu suatu paham yang mengingkari arti bercermin dari apa yang dapat
digunakan sebagai wasilah untuk ma’rifat kepada Allah.
24. 24
Dari urian diatas, penulis naskah ini menitik beratkan, bahwa
tauhid adalah pilar utama dalam Islam, sebab amal tanpa
aqidah yang lurus tak bermakna, karena itu ia mengingatkan
bahwa secara garis besar Allah itu berbeda dengan mahkluk
pada segi apapun (mukhalafatul mutawadisi).
Sebagai penutup penjelasan bagian ini, Sunan Bonang
mengakhirinya dengan: “E, anitraningsun! Karana sira iki
apapasihana sama-saminira Islam lan mitranira kang asih ing
sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah.” Yaitu peringatan
agar sesama muslim hendaknya saling tolong-menolong
(watawasaubil haq, watawashabi sabr) dalam suasana kasih
(‘iffah), agar semuanya tercegah diri dari kesesatan pikir dan
ajaran bid’ah.
25. Secara umum, naskah ini merupakan refleksi dan ijtihad
pemikiran Sunan Bonang dalam bidang kalam, akhlak dan
tasawuf yang menghimpun berbagai tema, termasuk banyak
kutipan dari ilmu ta’bir dan amalan membuka sir (rahasia).
Wallahu’alam Bishawab.