Teks membahas tentang arti sebenarnya dari syabab (pemuda) dan kekuatan seorang muslim. Syabab sebenarnya tidak hanya terkait usia fisik, tetapi juga semangat dan tekad dalam beribadah dan berdakwah. Seseorang yang tua pun masih bisa disebut syabab jika memiliki semangat yang kuat.
1. 05/12/13
Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Syabab
Syabab
March 31st, 2013 by solihan
Syabâb (jamak dari syâb[un]) sejatinya merujuk pada sosok muda secara fisik. Badannya
segar-bugar. Tenaganya besar. Tekad dan kemauannya kuat. Semangatnya membara.
Harapan dan cita-citanya menjulang tinggi. Singkat kata, syabâb tentu identik dengan alquwwah (kekuatan).
Sebaliknya, syuyûkh (jamak dari syaikh) biasanya identik dengan orang yang sudah amat tua
atau kakek-kakek yang secara fisik sudah tua-renta. Badannya rapuh. Tenaganya loyo dan
melemah. Semangatnya berkurang. Tekad dan kemauannya menurun. Tak lagi punya banyak
harapan dan cita-cita. Singkat kata, asy-syuyûkh identik dengan al-‘ajz (kelemahan).
Tentu, jika ukurannya fisik, demikianlah perbedaan antara syabâb dansyuyûkh, antara pemuda
dan orang tua atau kakek-kakek yang sudah amat tua-renta.
Namun demikian, tak seharusnya membandingkan pemuda yang kuat dengan orang tua yang
lemah dan renta dari sisi fisiknya semata-mata. Sebab, kekuatan dan kelemahan seseorang
kadang bisa dibandingkan dari faktor kejiwaan dan semangatnya, terlepas apakah ia muda
atau tua. Hal ini ada kaitannya dengan sabda Rasulullah saw., “Mukmin yang kuat adalah lebih
baik dan lebih Allah cintai daripada Mukmin yang lemah.” (HR Muslim dan Ibn Majah).
Menurut Imam an-Nawawi, yang dimaksud kuat di sini adalah kekuatan jiwa dan sikap dalam
menjalankan berbagai urusan akhirat. Karena itu, seorang Mukmin yang memiliki sifat ini
adalah yang lebih banyak berperang melawan musuh di medan perang; yang lebih cepat keluar
menyambut seruan jihad; yang lebih kuat tekadnya dalam melakukan amar makruf nahi
mungkar sekaligus yang lebih sabar dalam menanggung setiap kesulitan di dalamnya; yang
selalu siap menanggung beban di jalan Allah; yang senantiasa merindukan untuk mendirikan
shalat, shaum, zikir dan berbagai macam ibadah ritual lainnya serta selalu bersemangat di
dalamnya sekaligus senantiasa berusaha memelihara ibadah-ibadah tersebut; dll (Syarh anNawawi ‘ala Muslim, IX/19).
Hal senada diungkapkan dalam salah satu syarh hadis riwayat Ibn Majah ini. Disebutkan
bahwa Mukmin yang kuat maksudnya adalah yang kuat dalam melakukan amal-amal kebajikan;
yang kuat dalam menanggung kesulitan dalam ketaatan; yang sabar dalam menanggung
bencana yang menimpa dirinya; yang memahami berbagai perkara yang bisa menunjukkan
pada pengaturan dan kemaslahatan dengan selalu memperhatikan sebab dan memikirkan
setiap akibat (Hasyiyah as-Sanadi ‘ala Ibn Majah, I/70).
Dalam lanjutan hadis yang sama, Rasulullah saw. juga bersabda,“Bersungguh-sungguhlah
m.hizbut-tahrir.or.id/2013/03/31/syabab/
1/3
2. 05/12/13
Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Syabab
terhadap apa saja yang bermanfaat bagi kamu, selalulah engkau meminta tolong kepada
Allah, dan jangan bersikap lemah.” (HR Muslim dan Ibn Majah).
Terkait hadis ini, Imam an-Nawawi menyatakan bahwa maknanya, “Bersungguh-sungguhlah
dalam ketaatan kepada Allah, hendaknya engkau senantiasa merindukan apa-apa yang ada di
sisi Allah, selalu mencari perlindungan-Nya dalam ketaatan kepada-Nya; jangan bersikap
lemah; jangan pula bersikap malas dalam ketaatan dan dalam memohon pertolongan kepadaNya (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, IX/19).
Demikianlah makna sebenarnya dari kekuatan seorang Mukmin. Sifat kuat semacam ini tentu
tidak selalu melekat pada sosok pemuda, tetapi bisa juga dimiliki oleh orang yang sudah tuarenta.
Karena itulah Hizbut Tahrir tentu punya alasan untuk menyebut para anggotanya dan para
aktivisnya dengan sebutan ‘syabâb’; tak peduli apakah ia seorang remaja, pemuda, orang tua,
atau kakek-kakek yang sudah renta sekalipun. Semua disebut ‘syabab’. Mengapa? Barangkali
pernyataan Syumaith bin Ajlan, seorang ulama yang berguru kepada paratabi’in, bisa
memperkuat alasan di balik penyebutan syabâb tersebut. Kata Syumaith bin Ajlan,
sebagaimana dituturkan putranya, Abdullah bin Syumaith, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa
Jalla menjadikan kekuatan seorang Mukmin ada di dalam hatinya dan tidak menjadikan
kekuatan itu ada pada anggota tubuhnya. Bukankah engkau melihat ada orang tua-renta yang
banyak melakukan puasa dan bangun malam, sedangkan banyak para pemuda tidak mampu
melakukan hal yang sama?” (Shifat ash-Shafwah, III/231).
Karena itu, pada masa lalu, seorang Abu Sufyan, misalnya, meski saat itu usianya telah
mencapai 70 tahun, masih layak disebut sebagai ‘syabâb’. Pasalnya, ia masih memiliki tekad
yang kuat dan semangat yang membara hingga dalam usia setua itu ia tetap bersemangat
melibatkan diri dalam peperangan jihad.
Dalam konteks dakwah, syabâb—yang sejatinya adalah Mukmin yang kuat—adalah mereka
yang senantiasa memiliki tekad yang besar dan kuat dalam berdakwah; senantiasa memiliki
semangat membara dan menyala-nyala dalam melakukan kontak dakwah; selalu merindukan
panggilan dan taklif-taklif dakwah; selalu memiliki harapan dan cita-cita menjulang tinggi
dengan selalu berusaha menyadarkan dan merekrut sebanyak-banyaknya orang untuk samasama terlibat dalam dakwah.
Lalu bagaimana dengan ‘pengemban dakwah’ yang jiwanya rapuh dan lemah dalam
berdakwah; semangatnya loyo dan melemah saat melakukan kontak dakwah; tekad dan
kemauannya menurun saat ada panggilan dan taklif-taklif dakwah; harapan dan cita-citanya
pun kurang sehingga tidak ada gairah untuk melakukan kontak dakwah sekaligus merekrut
orang-orang untuk sama-sama terlibat dalam dakwah? Masih layakkah ia menyandang sebutan
‘syabâb’?
m.hizbut-tahrir.or.id/2013/03/31/syabab/
2/3
3. 05/12/13
Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Syabab
Jawaban pastinya tentu ada pada diri kita masing-masing. Kitalah yang bisa menilai apakah
kita pantas dan layak dikategorikan syabâbpengemban dakwah ataukah tidak. Jika ya,
sepantasnya kita bersyukur kepada Allah SWT. Jika tidak, selayaknya kita beristighfar karena
kelemahan dan ketakberdayaan kita menjalankan aktivitas dan tanggung jawab dakwah
sesungguhnya karena ‘ulah’ kita sendiri. Padahal boleh jadi kita sedang dalam kesehatan dan
kekuatan fisik yang prima, juga dalam keluasan rezeki dan kelapangan waktu. Jika itu yang
terjadi, sepantasnya kita malu jika masih ada orang yang menyebut kita sebagai syabâb;
padahal faktanya kita—di medan perjuangan dakwah—hanyalah ‘seorang tua-renta’ yang
lemah, rapuh dan tak berdaya.
Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. [Arief B. Iskandar]
m.hizbut-tahrir.or.id/2013/03/31/syabab/
3/3