Hti bandung desak tutup total tempat hiburan malam!
Saatnya jilbab bicara
1. 18/2/2014
[117] Saatnya Jilbab Bicara
Saatnya Jilbab Bicara
Monday, 10 Feb ruary 2014 01:51
Menutup aurat b ukan sekadar hak b eragama, tapi kewajib an.
Iklim menyejukkan belum lama dinikmati para Muslimah yang berprofesi sebagai polisi wanita (polwan). Ini setelah Kapolri
mengeluarkan pernyataan mengenai kebolehan Polwan berjilbab (baca: kerudung alias khimar). Namun, tiba-tiba ada
rumors tak sedap.
Media menyebut, ditemukan sebuah telegram rahasia mengatasnamakan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman, terkait
kembali ditundanya Polwan boleh menggunakan jilbab (republika.co.id,30/11/13).
Dalam telegram rahasia itu tertulis, “Keputusan untuk menggunakan jilbab ditunda sambil menunggu SK”.
Tak ayal Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Almuzzammil Yusuf pun mempertanyakan kebenaran adanya Telegram Rahasia
(TR) yang melarang Polwan untuk mengenakan jilbab sebelum ada Surat Keputusan (SK) tetap dari Kapolri.
Menurutnya, setelah Kapolri membolehkan Polwan berjilbab banyak masyarakat yang mengapresiasi. Apresiasi bagi
Kapolri Sutarman ini dikarenakan, ia membolehkan Polwan berjilbab meskipun SK belum dikeluarkan. Tapi dengan
adanya telegram rahasia ini, maka langkah yang diambil Kapolri telah melukai umat Islam. ''Kami berharap kabar itu tidak
benar. Untuk itu sebaiknya Kapolri segera menerbitkan SK yang membolehkan Polwan berjilbab,'' ujarnya (republika,
idem).
Menunggu SK
Ada kekhawatiran, telegram rahasia tersebut muncul karena hasutan pihak-pihak yang mencoba membodohi Polri agar
tidak buru-buru membolehkan jilbab, bahkan jika perlu menariknya kembali. Sebab, jika jilbab sudah sampai merasuk di
level kepolisian, itu sama artinya telah terjadi islamisasi di tubuh Polri.
Jangan-jangan lembaga lain seperti TNI juga akan menuntut hal yang sama. Kalangan sekuler sungguh khawatir, jika
simbol keislaman berupa jilbab sukses masuk jajaran militer, tentu akan membahayakan. Inilah yang menyebabkan SK
jilbab belum juga turun. Tapi, kita berbaik sangka, ini hanya masalah waktu.
Gelombang dukungan umat Islam terhadap jilbab Polwan sudah tidak terbendung. Tidak akan terkalahkan oleh para
penghadang yang mencoba menggagalkan SK jilbab. Jika perlu tidak hanya SK, sampai tingkat undang-undang tertinggi
pun pun umat akan memperjuangkan. Inilah saatnya jilbab berkibar di Nusantara.
Bukan Hak
Menutup aurat adalah kewajiban Muslim maupun Muslimah. Kewajiban ini selevel dengan kewajiban shalat fardu, puasa
atau zakat. Jadi, kadar pahala dan dosanya sebanding. Jika ada Muslimah yang tidak shalat wajib, ia berdosa, sama
berdosanya setiap ia menampakkan auratnya di tempat umum atau di depan lawan jenis bukan mahramnya.
Jadi, mengenakan kerudung bukan semata hak asasi beragama yang dijamin undang-undang negara, lebih dari itu
merupakan kewajiban yang dijamin Allah SWT. Seharusnya, UU itu menyebutnya ¨wajib¨ bukan sekadar ¨hak¨. Kapolri
seharusnya bukan saja membolehkan, bahkan mewajibkan Polwan untuk berjilbab.
Dan tidak hanya Kapolri, Kasad (Kepala Staf Angkatan Darat), Kasal (Kepala Staf Angkatan Laut), Kasau (Kepala Staf
Angkatan Udara) atau presiden dan pimpinan DPR sekalipun, seharusnya rame-rame merancang regulasi tentang
wajibnya berjilbab.
Tunggu apalagi. Mumpung busana Muslimah juga sedang b ooming. Mumpung berhijab sedang trendy, sehingga ada
kemudahan bagi Muslimah untuk mengenakannya. Bahkan kalangan selebritas saja rame-rame berhijab. Masyarakat
umum yang mayoritas Muslim ini, tentunya akan menyambut baik aturan berjilbab ini jika langsung diperintahkan negara.
Apalagi jika dalam undang-undang dicantumkan sekalian, sanksi-sanksi bagi mereka yang tidak berhijab. Mungkin ada
yang protes, apakah aturan wajib jilbab ini bukan bentuk pemaksaan? Jawabnya, so what? Bukankah setiap peraturan itu
sifatnya memang memaksa? Ya, memaksa siapa saja yang menjadi obyek regulasi itu, agar tunduk dan patuh pada
http://mediaumat.com/muslimah/5183-117-saatnya-jilbab-bicara-.html
1/2
2. 18/2/2014
[117] Saatnya Jilbab Bicara
penegakan pasal-pasal. Penolakan dari segelintir warga negara, itu wajar saja.
Logikanya, ketika ada aturan pengendara ber-SIM harus berusia lebih dari 17 tahun atau sudah memiliki KTP, apakah itu
bukan pemaksaan sifatnya? Jika anak usia 15 tahun sudah mahir mengendari motor atau mobil ngotot ingin mendapatkan
SIM, tentu tetap ditolak karena itu melanggar ketentuan. Tidak bisa dikatakan SIM itu haknya anak 15 tahun tadi. Jadi, tidak
jilbab diundang-undangkan, bukan?
Saatnya umat Islam seluruh Indonesia merapatkan barisan mendukung aturan jilbab. Polri adalah pengayom dan
pelindung serta pelayan umat. Jika Polri tidak lagi berkenan menjadi pengayom dan pelindung serta pelayan umat, kepada
siapa umat akan mengadu?
Ubah Pola Pikir
Satu hal, jangan terbuai dengan kebolehan kerudung di kalangan Polwan. Jangan-jangan ini juga hanya masalah tren. Ya,
perbaikan penampilan dengan penutup kepala saja tidak cukup bagi Polwan. Butuh perubahan pola pikir agar benar-benar
menjadi Muslimah taat syariah secara kaffah. Termasuk, pemahaman yang benar tentang jilbab itu sendiri, yang
seharusnya dimaknai sebagai busana panjang terusan yang diulurkan ke seluruh tubuh. Jadi, bukan sekadar menutup
kepala dengan khimar atau kerudung (masyarakat awam justru menyebutnya jilbab, red).
Pasalnya, saat ini fenomena Muslimah menutup aurat dengan kerudung di kepalanya memang banyak. Sayangnya, hal itu
tidak dibarengi dengan perubahan pola pikir dan perilaku. Yang islami hanya bungkus luar alias casing-nya saja, tapi isi
kepala dan perilakunya jauh dari nilai-nilai Islam.
Ada banyak kasus, di mana kerudung hanya dijadikan tameng penutup malu atas ulah maksiat yang sudah dilakukan. Atau
sekadar mencari simpati agar kasusnya diperingan. Atau pencitraan diri agar dinilai baik di mata publik, tak seperti yang
disangkakan. Seperti para Srikandi korupsi, penadah pencucian uang, dll.
Jadi, jangan sampai kerudung hanya dikenakan sebagai aksesori pelengkap penampilan. Utamanya untuk memperbaiki
citra polisi yang selama ini buruk reputasinya. Polwan berhijab akan lebih anggun, bersahabat dan dekat dengan
masyarakat.
Menutup aurat dan berakhlak islami adalah dua kewajiban berbeda yang sama-sama harus dikerjakan. Bukankah yang
terbuka auratnya, bukan berarti boleh berakhlak buruk? Nah, untuk melahirkan akhlak islami, tentu harus dibekali pola pikir
yang islami. Pemahaman akan akidah dan syariah Islam secara totalitas.
Artinya, para Polwan yang sudah berhijab harus mengiringi dengan serius dan sungguh-sungguh mengkaji Islam. Supaya
paham bahwa Islam tidak hanya mengatur soal pakaian, tapi juga seluruh aspek kehidupan. Dari sini akan lahirlah
Polwan-Polwan ideologis Islam yang siap membela Islam, bukan sekadar membela jilbab.
Reputasi Muslimah Sejati
Jilbab adalah simbol harga diri muslimah. Bagi yang mengenakannya, itu menjadi semacam rem untuk tidak berbuat
maksiat. Bagi yang memandangnya, ibarat penyejuk dahaga rohani di tengah hiruk-pikuk gaya hidup hedonis yang khas
dengan pemandangan serba aurat.
Semoga para Polwan istiqamah berhijab di tengah tugas-tugasnya yang tidak ringan. Kita berharap ingin ada MuslimahMuslimah berkerudung, termasuk jilbab, yang perilakunya sama sekali tidak islami. Hal itu hanya merusak reputasi
Muslimah sejati yang benar-benar berkerudung demi menjaga harga diri. Jadi, jangan sampai media massa penuh dihiasi
berita Muslimah berjilbab tapi berperilaku miring: tersangkut korupsi, penadah uang haram, tukang selingkuh, berzina
dengan pacar, dll. Wallahuálam.(kholda)
http://mediaumat.com/muslimah/5183-117-saatnya-jilbab-bicara-.html
2/2