1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit metabolik sebagai akibat dari kurangnya
insulin di dalam tubuh. Pada penderita DM terdapat tanda-tanda hiperglikemi dan
glukosuria, dapat disertai dengan atau tidaknya gejala klinik akut ataupun gejala kronik.
Penderita DM kronis akan mengalami berbagai komplikasi sistemik serta dapat juga
meningkatkan resiko terjadinya infeksi. DM berhubungan dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein sebagai akibat adanya defisiensi sekresi insulin, penurunan
efektivitas insulin maupun keduanya. Untuk mengendalikan kadar gula darah pada
penderita DM diperlukan pengendalian pola hidup DM yang meliputi manajemen diet,
latihan fisik atau exercise, obat-obatan penurun gula darah, pendidikan kesehatan, dan
monitoring. DM yang tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi akut dan kronis
yang berakibat kematian. Komplikasi kronis yang sering ditemukan pada penderita DM,
bisa mengakibatkan komplikasi pada retinopati (mata), nefropati (ginjal), neuropati
(saraf), jantung, atau kemungkinan dilakukannya amputasi (IDF Diabetes Atlas, 2017).
Diabetes Mellitus (DM) adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang secara
global dan terjadi secara terus menerus berkembang. Jumlah penderita DM di dunia dari
tahun ke tahun semakin meningkat dan DM menjadikan sebagai penyebab kematian urutan
ke tujuh di dunia. Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) pada tahun
2017, diperkirakan terdapat 424,9 juta orang di dunia menderita DM dan diperkirakan akan
meningkat menjadi 45% atau setara dengan 628,8 juta penderita pada tahun 2045, dan 75%
penderita DM pada tahun 2017 berusia 20-64 tahun. DM di Indonesia menempati urutan
ke enam dari sepuluh Negara setelah China, India, Amerika Serikat, Brazil, dan Meksiko
dengan jumlah pasien DM tertinggi, yakni 10,3 juta penderita DM per tahun 2017 dan
diperkirakan akan meningkat menjadi 16,7 juta pasien per tahun 2045. Penyakit DM
menjadi penyebab kematian terbesar nomor 3 di Indonesia dengan persentase sebesar
6,7%, setelah penderita stroke (21,1%), dan penyakit jantung coroner (12,9) (IDF Diabetes
Atlas, 2017).
Penyakit ini terbagi menjadi 5 kelompok, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, Diabetes
Gestasional, Diabetes Insipidus dan Diabetes Insipidus Nefrogenik (WHO Study Group
on Diabetes Mellitus, 1995). DM tipe 2 menempati lebih dari 90% kasus di negara maju
dan di negara sedang berkembang, hampir seluruh DM tergolong sebagai penyandang DM
2. tipe 2 sebanyak 40% diantaranya terbukti berasal dari kelompok masyarakat yang terlanjur
mengubah gaya hidup tradisional menjadi “modern”. Gaya hidup modern yang dapat
dilihat pada sebagian keluarga di perkotaan, dengan alat bantu elektronik sehingga
meminimalkan gerak fisik. Berkurangnya kerja otot lurik, yang dibarengi semakin
meningkatnya asupan pangan padat kalori dan kaya akan lemak, menyebabkan obesitas
yang pada gilirannya akan menjelma menjadi DM tipe 2 (WHO, 2016).
DM yang tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi akut dan kronis yang
berakibat kematian. Komplikasi kronis yang sering ditemukan pada penderita DM, yaitu
komplikasi mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati, neuropati, dan komplikasi
makrovaskuler seperti penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke. Terjadinya komplikasi
vaskuler pada DM didasari oleh disfungsi endotel yang berlanjut menjadi aterosklerosis.
Aterosklerosis adalah proses inflamasi kronis yang terjadi karena adanya penumpukan
lemak pada pembuluh darah. Hipotesis terbaru mengatakan bahwa awal terjadinya lesi
aterosklerosis yaitu berupa adanya perubahan-perubahan fungsi sel endotel. Lesi
aterosklerosis yang terjadi pada penderita DM dapat terjadi akibat hiperglikemia,
inflamasi. Adanya inflamasi vaskuler dan disfungsi sel endotel ditandai dengan
peningkatan kadar fibrinogen (WHO, 2016).
Pemeriksaan LED dapat dilakukan dengan cara manual ataupun otomatik.
Pemeriksaan laboratorium untuk mendukung DM salah satunya pemeriksaan laju endap
darah (LED) atau ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) atau BSR (Blood Sedimentation
Rate) adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan eritrosit mengendap dalam darah
yang tidak membeku (darah berisi antikoagulan) pada suatu tabung vertical dan dinyatakan
dalam milimiter per jam. Semakin cepat sel darah merah yang mengendap, maka semakin
tinggi laju endap darahnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan LED
adalah kadar fibrinogen, rasio sel darah merah dibandingkan dengan plasma darah,
keadaan sel darah merah yang abnormal, dan beberapa faktor teknis. Kadar fibrinogen
dalam darah akan meningkat saat terjadi radang atau infeksi atau menyebabkan sel-sel
darah merah lebih mudah membentuk rouleaux atau menggumpal sehingga sel darah
merah lebih cepat mengendap. Laju endap darah (LED) cenderung dikaitkan dengan
keberadaan radang atau infeksi, namun dapat juga membantu pemantauan kelainan
kekebalan tubuh, diabetes, tuberculosis, anemia, bahkan kanker (Dinkes 2017).
3. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mengambil judul “Gambaran laju endap darah
(LED) terhadap pasien Diabetes Mellitus (DM)”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas adalah penyakit yang perlu diawasi dengan
serius, karena akan menyebabkan beberapa komplikasi yang akan timbul maka dari itu
perlu adanya pencegahan melalui manajemen diet, latihan fisik atau exercise, obat-obatan
penurun gula darah, pendidikan kesehatan, dan monitoring.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah
“bagaimana gambaran laju endap darah (LED) pada penderita Diabetes Mellitus (DM) di
RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat?”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui lebih lanjut seberapa besar gambaran laju endap darah
(LED) pada penderita Diabetes Mellitus (DM) di RSUD Al-Ihsan Provinsi
Jawa Barat
2. Untuk mengetahui cara pemeriksaan laju endap darah (LED) menggunakan
metode westergren
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk menentukan gambaran laju endap darah (LED) pada penderita Diabetes
Mellitus (DM) di RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat
2. Untuk menentukan nilai laju endap darah pada sampel
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai penambah wawasan dan pengetahuan baru bagi penulis.
2. Memberikan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat dan penderita untuk
mengenal hubungan Laju Endap Darah (LED) dengan Diabetes Mellitus.
3. Penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan pada perpustakaan Prodi D3
Analis Kesehatan Politeknik Piksi Ganesha, sehingga dapat dijadikan acuan bagi
peneliti yang akan melakukan penelitian lebih lanjut.
4. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus (DM)
Diabetes Mellitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia akibat cacat sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.
Hiperglikemia kronis pada DM dikaitkan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi,
dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah (Angger Anugerah HS, 2020)
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan
ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat. Lemak dan protein,
mengarah ke hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi). DM terkadang dirujuk sebagai
“gula tinggi”, baik oleh penderita maupun penyedia layanan kesehatan. Pemikiran dari
hubungan gula dengan DM adalah sesuai karena lolosnya sejumlah besar urine yang
mengandung gula ciri dari DM yang tidak terkontrol. Walaupun hipergleke mia
memainkan sebuah peran penting dalam perkembangan komplikasi terkait DM, kadar
yang tinggi dari glukosa darah hanya satu komponen dari proses patologis dan
manifestasi klinis yang berhubungan dengan DM. Proses patologis dan faktor risiko
lain adalah penting, dan terkadang merupakan faktor-faktor independen. DM dapat
berhubungan dengan komplikasi serius, namun orang dengan DM dapat mengambil
cara-cara pencegahan untuk mengurangi kemungkinan kejadian tersebut (Black, M.
Joyce, 2015).
2.2 Klasifikasi
2.2.1 Diabetes Mellitus Tipe 1
DM tipe ini muncul ketika pankreas sebagai pabrik insulin tidak dapat atau
kurang mampu memproduksi insulin. Akibatnya, insulin tubuh kurang atau tidak ada
sama sekali. Gula menjadi menumpuk dalam peredaran darah karena tidak dapat
diangkut ke dalam sel. DM tipe 1 ini juga disebut insulin-dependent DM pasien akan
sangat bergantung pada insulin. Pasien akan memerlukan suntikan insulin setiap hari
untuk mencukupi kebutuhan insulin dalam tubuh. Karena biasanya terjadi pada usia
yang sangat muda, dulu DM tipe ini juga disebut juvenile diabetes. Namun kedua istilah
ini kini telah ditinggalkan karena DM tipe 1 kadang juga bisa ditemukan pada usia
5. dewasa. Di samping itu, DM tipe lain bisa juga diobati dengan suntikan insulin. Oleh
karena itu, sekarang istilah yang dipakai adalah DM tipe 1 (Hans Tandra, 2017).
DM tipe 1 ini biasanya adalah penyakit autoimun, yaitu penyakit yang disebabkan
oleh gangguan sistem imun atau kekebalan tubuh pasien dan mengakibatkan rusaknya
sel pankreas. Teori lain juga menyebutkan bahwa kerusakan pankreas akibat pengaruh
genetic (keturunan), infeksi virus, atau malnutrisi (Hans Tandra, 2017). DM Tipe 1
disebabkan destruktur sel beta autoimun biasanya memicu terjadinya defisiensi insulin
absolut. Faktor herediter berupa antibodi sel islet, tingginya insiden HLA tipe DR3 dan
DR4. Faktor lingkungan berupa infeksi virus (Virus Coxsackie, enterovirus, retrovirus,
mumps), defisiensi vitamin D, toksin lingkungan, menyusui jangka pendek, paparan
dini terhadap protein kompleks. Berbagai modifikasi epigenetic ekspresi gen juga
terobsesi sebagai penyebab genetik berkembangnya DM Tipe 1. Individu dengan DM
Tipe 1 mengalami defisiensi insulin absolut (Dito Anugroho, 2018).
2.2.2 Diabetes Mellitus Tipe 2
DM tipe ini adalah jenis yang paling sering dijumpai. Biasanya terjadi pada usia
di atas 40 tahun, tetapi bisa pula timbul pada usia di atas 20 tahun. Sekitar 90-95%
penderita DM tipe 2. Pada DM tipe 2, pankreas masih bisa membuat insulin, tetapi
kualitas insulinnya buruk, tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai kunci untuk
memasukkan gula ke dalam sel. Akibatnya, gula dalam darah meningkat. Pasien
biasanya tidak perlu tambahan suntikan insulin dalam pengobatannya, tetapi
Gambar 2. 1 Diabetes tipe 1
(sumber : Hans Tandra, 2017)
6. memerlukan obat untuk memperbaiki fungsi insulin itu, menurunkan gula,
memperbaiki pengolahan gula di hati, dan lain-lain (Hans Tandra, 2017).
DM Tipe 2 disebabkan resistensi insulin perifer, defek progresif sekresi insulin,
peningkatan gluconeogenesis. DM Tipe 2 dipengaruhi faktor lingkungan berupa
obesitas, gaya hidup tidak sehat, diet tinggi karbohidrat. DM Tipe 2 memiliki
presimtomatis yang panjang yang menyebabkan penegakan DM Tipe 2 dapat tertunda
4-7 tahun. Kemungkinan lain terjadinya DM tipe 2 adalah sel-sel jaringan tubuh dan
otot pasien tidak peka atau sudah resisten terhadap insulin (dinamakan resistensi insulin
atau insulin-dependent) DM atau adult-onset dia-betes. Namun kedua istilah ini juga
kurang tepat karena DM tipe 2 kadang juga membutuhkan pengobatan dengan insulin
dan bisa timbul pada usia remaja juga (Dito Anugroho, 2018).
2.2.3 Diabetes Mellitus Gestasional
DM gestasional adalah DM yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya
tidak mengidap DM. meskipun DM tipe ini sering membaik setelah persalinan, sekitar
50% wanita pengidap kelainan ini tidak akan kembali ke status nondiabetes setelah
kehamilan berakhir, bahkan, jika membaik setelah persalinan, risiko untuk mengalami
DM tipe 2 setelah 5 tahun pada waktu mendatang lebih besar daripada normal. DM
Gestasional (2%-5% dari semua kehamilan). DM yang didiagnosis selama hamil. DM
gestasional merupakan DM yang menerapkan untuk perempuan dengan intoleransi
glukosa atau ditemukan pertama kali selama kehamilan. DM gestasional terjadi pada
2%-5% perempuan hamil namun menghilang ketika kehamilannya berakhir. DM ini
lebih sering terjadi pada keturunan Amerika-Afrika, Amerika Hispanik, Amerika
Gambar 2. 2 Diabetes tipe 2
(sumber : Hans Tandra, 2017)
7. pribumi, dan perempuan dengan riwayat keluarga DM atau lebih dari 4 kg saat lahir,
obesitas juga merupakan faktor risiko. Atau riwayat DM gestasional, sindrom ovarium
polikistik, atau melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4,5 kg (LeMone, Priscilla,
2016).
2.2.4 Diabetes Insipidus
Menurut Mirjam Christ-Crain, 2019. Diabetes insipidus adalah gangguan yang
ditandai dengan ekresi sejumlah besar urin hipotonik atau peningkatan produksi urin.
Biasanya masalah kesehatan yang ditandai dengan kerap merasa haus dan lebih sering
buang kecil dengan volume yang lebih banyak, bahkan bisa mencapai 20 liter dalam
satu hari, meski memiliki gejala yang mirip dengan DM tetapi dua konsisi ini ternyata
memiliki perbedaan yang sangat signifikan.
2.2.5 Diabetes Insipidus Nefrogenik
Menurut Sidartawan, 2016. Diabetes insipidus nefrogenik merupakan adanya
kelainan pada ginjal yang akan menghasilkan berbagai jumlah air kemih yang encer
karena adanya ginjal yang gagal memberikan respon terhadap adanya hormon
antidiuretik dan tidak mampu untuk memekatkan air kemih didalamnya.
2.2.6 Diabetes Mellitus tipe lainnya
Menurut (Black, M. Joyce, 2014). DM tipe spesifik lain (1%-2%) kasus
terdiagnosis. Mungkin sebagai akibat dari defek genetik fungsi sel beta, penyakit
pankreas (misal kistikfibrosis), atau penyakit yang diinduksi oleh obat-obattan. DM
mungkin juga akibat dari gangguan-gangguan lain atau pengobatan. Defek genetik pada
sel beta dapat mengarah perkembangan DM. Beberapa hormon seperti hormon
pertumbuhan, kortisol, glucagon, dan epinefrin merupakan antagonis atau menghambat
insulin. Jumlah berlebihan dari hormon-hormon ini (seperti pada akromegali, sindrom
Cushing, glukagonoma, dan feokromositoma) menyebabkan DM. Selain itu, obat-obat
tertentu (glukortikoid dan tiazid) mungkin menyebabkan DM. Tipe DM sekunder
tersebut menghitung 1-2% dari semua kasus DM terdiagnosis. DM tipe lainnya
meliputi:
1. Defek genetik fungsi sel beta
2. Defek genetik kerja insulin
3. Penyakit eksokrin pankreas
4. Endokrinopati
5. Karena obat atau zat kimia
8. 6. Infeksi
7. Sebab imunologi yang jarang
8. Sindrom genetic lain yang berkaitan dengan DM
2.3 Epidemiologi Diabetes Mellitus (DM)
DM dapat ditemukan pada hampir semua lapisan masyarakat di seluruh dunia, namun
insidensi dan prevalensi DM serta distribusi relatif. DM ini menunjukan perbedaan-
perbedaan pokok antara Negara dan kelompok etnik yang berbeda di dalam suatu Negara.
Penyakit DM atau dalam bahasa awam dikenal dengan nama kencing manis adalah suatu
penyakit yang disebabkan adanya peningkatan kadar gula darah akibat kekurangan insulin.
DM merupakan golongan penyakit kronis akibat adanya gangguan sistem metabolisme
dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai
kebutuhan. Insulin adalah salah satu hormon yang diproduksi oleh pankreas yang
bertanggung jawab mengontrol jumlah/kadar gula dalam darah. Insulin dibutuhkan untuk
mengubah karbohidrat, lemak dan protein menjadi energi yang bermanfaat bagi tubuh
(Masriadi, 2016).
2.4 Etiologi
Berdasarkan Magfuri (2016) dan Isnaini, Ratnasari (2018) penyebab terjadinya
DM, meliputi :
1. Usia
Faktor usia dapat berpengaruh pada terjadinya DM, semakin meningkatnya
umur, menyebabkan tidak bekerja secara maksimal pada semua sistem tubuh, termasuk
sistem endokrin. Sehingga terjadi resistensi pada insulin yang mengakibatkan
ketidakstabilan jumlah glukosa darah dalam tubuh. Maka akan semakin memperbesar
risiko terjadinya DM.
2. Faktor lingkungan
Virus dan bakteri melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta
virus/bakteri merusak sel, juga bisa merusak autoimun dalam sel beta. Bahan toksik
atau beracun yang mampu merusak sel beta. Bahan toksik atau beracun yang mampu
merusak sel beta secara langsung adalah aloksan, steptozocting (produk dari sejenis
jamur) bahan lain adalah sianida berasal dari singkong. Virus yang menginfeksi seperti
campak, rubella atau bahan kimia yang beracun seperti makanan yang diawetkan dan
daging yang di asap. Respon autoimun yang tidak normal terjadi ketika antibodi
merespon sel beta seakan-akan zat asing, sehingga dapat menghancurkan yang
diakibatkan oleh paparan virus ataupun bahan kimia.
9. 3. Genetik / faktor keturunan keluarga
Para ahli kesehatan menyebutkan penyakit DM merupakan penyakit yang
terpaut kromosom seks atau kelamin. Biasanya laki-laki menjadi penderitanya
sedangkan kaum perempuan sebagai pihak pembawa gen untuk diwariskan pada anak-
anak.
4. Stress
Stress yang terjadi pada pasien DM berdampak buruk terhadap pengelolaan
penyakitnya. Meningkatnya hormon kortisol akan menyebabkan kadar gula dalam
darah terjadi peningkatan, dan apabila asupan makanan serta penggunaan insulin tidak
berubah. Glukotoksisitas kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan
menyebabkan peningkatan stress oksidatif akibat peningkatan sel beta.
5. Obesitas
IMT obesitas dapat menyebabkan terjadinya penyakit DM karena terjadi
peningkatan asam lemak. IMT terbagi dalam 2 bagian yaitu normal dengan IMT <25
kg/𝑚2
dan obesitas apabila IMT 27 kg/𝑚2
. Obesitas dipengaruhi oleh kurangnya
aktifitas fisik, serta konsumsi protein, lemak dan karbohidrat yang tinggi. Asam lemak
yang meningkat menjadikan terjadinya penurunan ambilan glukosa ke dalam membran
plasma. Sehingga akan terjadi resistensi insulin dalam jaringan adipose dan otot.
2.5 Anatomi Fisiologi
2.5.1 Anatomi
Pankreas terletak melintang dibagian abdomen atas dibagian belakang gaster
ruang dalam retroperitoneal. Disebelah kiri ekor pankreas, pankreas yang memiliki
lebarnya tidak melebihi 4 cm. Pankreas terdiri dari dua jaringan utama yaitu :
1. Asinus, yang mengeksresikan pencernaan ke dalam duodenum
2. Pulau Langerhans, yang tidak mempunyai alat untuk mengeluarkan getahnya namun
sebaliknya mensekresi insulin dan glucagon langsung kedalam darah.
Pankreas manusia mempunyai 1-2 juta pulau Langerhans, setiap pulau
Langerhans hanya berdiameter 0,3 mm dan tersusun mengelilingi pembuluh darah
kapiler. Pulau Langerhans mengandung 3 jenis sel utama, yaitu sel alfa, beta dan delta.
Sel beta yang mecakup kira-kira 60% dari keseluruhan sel dan terletak ditengah setiap
pulaunya dan dapat mensekresikan insulinnya. Granula sel B adalah bungkusan insulin
dalam sitoplasma sel. Tiap bungkusannya bervariasi antara spesies satu dengan yang
lain (John E. Hall, 2019).
10. Gambar 2. 3 Anatomi Pankreas
(Sumber : Longnecker, 2014)
2.5.2 Fisiologi
Pankreas panjangnya kira-kira 15 cm, mulai dari duodenum sampai limpa dan
terdiri atas 3 bagian, yaitu kepala pankreas, badan pankreas, dan ekor pankreas.
Jaringan pankreas terdiri dari atas labula dari pada sel sekretori yang tersusun mengitari
saluran-saluran halus. Saluran ini mulai dari persambungan saluran kecil dari labula
yang terletak di dalam ekor pankreas dan berjalan melalui labula yang terletak di dalam
ekor pankreas dan berjalan melalui badannya dari arah kiri ke kanan. Saluran kecil itu
menerima saluran dari labula lain dan kemudian bersatu untuk membentuk saluran
utama yaitu ductus wirsungi (John E. Hall, 2019).
Kepulauan Langerhans pada pankreas membentuk organ endokrin yang
menyekresi insulin, yaitu sebuah hormon antibiobetika, yang diberikan dalam
pengobatan DM. Insulin merupakan sebuah protein yang dapat turut dicernakan oleh
enzim pencerna protein. Insulin mengendalikan kadar glukosa dan apabila digunakan
sebagai pengobatan dalam hal kekurangan, seperti pada DM, akan memperbaiki
kemampuan sel tubuh untuk mengabsosbsi dan akan menggunakan glukosa dan lemak
insulin yang akan dihasilkan oleh kelenjar pankreas, kelenjar pankreas terletak di
lekukan usus dua belas jari, sangat penting untuk menjaga keseimbangan kadar glukosa
dalam darah yaitu waktu puasa antara 60-120 mg/dl. 2 jam sesudah makan dibawah 140
mg/dl, bila terjadi gangguan pada kerja insulin, baik secara kuantitas maupun kualitas
keseimbangan tersebut akan terganggu dan kadar glukosa cenderung akan naik (John
E. Hall, 2019).
11. Gambar 2. 4 Asinus dan Pulau Langerhans
(Sumber : Guyton & Hall, 2006)
2.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DM dikaitkan dengan konsekuensi defisiensi insulin. Orang
yang defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang
normal, atau toleransi glukosa setelah mengkonsumsi karbohidrat. Hiperglikemia berat
dan melebihi ambang ginjal akan menimbulkan glukosuria. Glikosuria akan
mengakibatkan di uresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine. Karena glukosa
hilang bersama urine, maka orang mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan
berkurang, rasa lapar yang semakin berat mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan
kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk (Black, 2017).
Manifestasi klinis DM adalah peningkatan kadar gula darah, disebut hiperglikemia,
mengarah kepada manifestasi klinis umum yang berhubungan dengan DM. Pada DM tipe
1, manifestasi klinis mungkin tidak setara dengan kemungkinan situasi yang mengancam
hidup yang biasanya terjadi. Pada DM tipe 2 manifestasi klinis mungkin berkembang
secara bertahap, mungkin mencatat sedikit atau tanpa manifestasi klinis selama beberapa
tahun. Manifestasi klinis adalah peningkatan frekuensi buang air kecil (poliuria),
peningkatan rasa haus (polidipsi), dan karena penyakit berkembang, penurunan berat
badan meskipun lapar dan peningkatan makan (Poliphagi) (Black, 2017).
Menurut Elizabeth, 2015, gejala umumnya yang terjadi pada seorang penderita
yang terserang Diabetes Mellitus (DM) memiliki gejala sebagai berikut diantaranya :
1. Rasa haus yang berlebihan (Polidipsia)
Dengan hilangnya air dari tubuh karena sering buang air kecil, penderita merasa
haus dan butuhkan banyak air. Rasa haus yang berlebihan berarti tubuh mencoba
mengisi kembali cairan yang hilang itu. Sering “buang air kecil” dan rasa haus
12. berlebihan merupakan beberapa cara tubuh untuk mencoba mengelola gula darah
tinggi.
2. Sering buang air kecil dengan volume yang banyak (Poliuria)
Karena sel-sel di tubuh tidak dapat menyerap glukosa, ginjal mencoba
mengeluarkan glukosa sebanyak mungkin. Akibatnya, penderita jadi lebih sering buang
air kecil daripada orang normal dan mengeluarkan lebih dari 5 liter buang air kecil
sehari. Ini berlanjut bahkan di malam hari. Penderita terbangun beberapa kali untuk
buang air kecil. Itu pertanda ginjal berusaha singkirkan glukosa ekstra dalam darah.
3. Merasakan lapar yang luar biasa (Polifagia)
Rasa lapar yang luar biasa merupakan tanda DM lainnya. Ketika kadar gula
darah merosot, tubuh mengira belum diberi makan dan lebih menginginkan glukosa
yang dibutuhkan sel.
4. Selalu merasa lelah, mudah tersinggung dan kekurangan energi
Ketika orang memiliki kadar gula darah tinggi, tergantung berapa lama sudah
merasakannya, mereka kerap merasa tak enak badan. Bangun untuk pergi ke kamar
mandi beberapa kali di malam hari membuat orang lelah. Akibatnya, bila lelah orang
cenderung mudah tersinggung.
5. Mengalami infeksi dikulit / infeksi jamur
Kulit gatal, mungkin akibat kulit kering seringkali bisa menjadi tanda
peringatan DM, seperti juga kondisi kulit lainnya, misalnya kulit jadi gelap di sekitar
daerah leher atau ketiak. DM dianggap juga imunosupresi hal itu berarti meningkatkan
kerentanan terhadap berbagai infeksi, meskipun yang paling umum adalah candida dan
infeksi jamur lainnya. Jamur dan bakteri tumbuh subur di lingkungan yang kaya akan
gula.
6. Berat badan menurun
Kadar gula darah tinggi juga bisa menyebabkan penurunan berat badan yang
cepat. Karena hormon insulin tidak mendapatkan glukosa untuk sel, yang digunakan
sebagai energi, tubuh memecah protein dari otot sebagai sumber alternative bahan
bakar.
7. Penglihatan menjadi kabur
Penglihatan kabur atau sesekali melihat kilatan cahaya merupakan akibat
langsung kadar gula darah tinggi. Membiarkan gula darah tidak terkendali dalam waktu
lama bisa menyebabkan kerusakan permanen, bahkan mungkin kebutaan. Pembuluh
13. darah di retina menjadi lemah setelah bertahun-tahun mengalami hiperglikemia dan
mikro-aneurisma, yang melepaskan protein berlemak yang disebut eksudat.
8. Kesemutan atau mati rasa
Kesemutan dan mati rasa di tangan dan kaki, bersamaan dengan rasa sakit yang
membakar atau bengkak, adalah tanda bahwa saraf sedang dirusak oleh DM. Masih
seperti penglihatan, jika kadar gula darah dibiarkan merajalela terlalu lama, kerusakan
saraf bisa menjadi permanen. Pada DM gula darah tinggi bertindak bagaikan racun. DM
sering disebut ‘Silent Killer’ jika gejalanya terabaikan dan ditemukan sudah terjadi
komplikasi.
9. Urine atau air kencing mengandung glukosa → iritasi genital
Kandungan glukosa yang tinggi dalam urine membuat daerah genital jadi
seperti sariawan dan akibatnya menyebabkan pembengkakan dan gatal.
10. Penyembuhan lambat
Infeksi luka dan memar yang tidak sembuh dengan cepat merupakan tanda DM
lainnya. Hal ini biasanya terjadi karena pembuluh darah mengalami kerusakan akibat
glukosa dalam jumlah berlebihan yang mengelilingi pembuluh darah dan arteri. DM
mengurangi efisiensi sel progenitor endotel atau EPC, yang melakukan perjalanan ke
lokasi cedera dan membantu pembuluh darah sembuhkan luka.
2.7 Patofisiologi
Menurut Nurrahmani, 2015 DM tipe 1 disebabkan oleh karena adanya proses
autoimun / idiopatik yang menyebabkan defisiensi insulin absolut. Ditandai dengan
ketidakmampuan pankreas untuk mensekresikan insulin dikarenakan kerusakan sel beta
yang disebabkan oleh proses autoimun. Timbulnya energi merupakan hasil dari proses
kimia yang rumit dari zat makanan di dalam sel terutama pembakaran glukosa. Insulin
merupakan suatu zat/hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas yang berperan
penting dalam proses metabolisme yaitu bertugas memasukan glukosa ke dalam sel untuk
digunakan sebagai bahan bakar. Insulin merupakan kunci yang dapat membuka pintu
masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian metabolisir menjadi tenaga. Tidak
adanya insulin mengakibatkan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel akibatnya glukosa
akan tetap berada di dalam pembuluh darah sehingga kadar gula di dalam darah meningkat.
Tidak ada sumber energi di dalam sel mengakibatkan tubuh menjadi lemas. Proses ini
terjadi pada DM tipe 1.
14. Menurut Elizabeth, 2015 DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel b pankreas
Pada DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena
sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan
ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari
obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita DM tipe 2 dapat juga
terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel
B lagerhans secara autoimun seperti DM tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita
DM tipe 2 hanya bersifat relative dan tidak absolut.
Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada sekresi
pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak
ditangani dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B
pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
Gambar 2. 5 Patofisiologi DM
(Sumber : Huang I., 2015)
15. menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin
eksogen.
2.8 Pencegahan
Pencegahan DM difokuskan pada pengendalian berat badan, pola makan,
olahraga. Bentuk pengendalian ini dilakukan dengan menurunkan berat badan sedikit (5-
7%) dari total berat badan. Disertai dengan 30 menit kegiatan fisik/olahraga 5 hari
perminggu, sambil makan secukupnya yang sehat, mengurangi jumlah karbohidrat serta
mengatur waktu dan jadwal makan. Selain itu untuk identifikasi diri terhadap risiko DM,
maka setiap orang mulai berusia 45 tahun, terutama untuk memiliki berat badan berlebih,
seharusnya melakukan uji DM (Bustan, 2017).
2.9 Komplikasi
Komplikasi pada penderita DM dapat dipicu oleh beberapa faktor. Berdasarkan
Sulistyo (2018), komplikasi DM dapat dipicu oleh faktor meliputi usia, lamanya mengidap
DM, hipertensi, dyslipidemia, merokok, dan konsumsi alkohol yang tinggi.
Komplikasi akibat DM dibagi menjadi 2 yaitu dapat bersifat komplikasi akut dan
komplikasi kronis :
A. Komplikasi akut
Berdasarkan Sulistyo (2018), dalam komplikasi akut dikenal beberapa istilah sebagai
berikut :
1. Hipoglikemia yaitu keadaan seseorang dengan kadar glukosa darah di bawah normal
(<60 mg/dL). Hipoglikemia juga dikenal sebagai reaksi insulin atau reaksi
hipoglikemia, ciri umum dari DM tipe 1 dan juga dijumpai di DM tipe 2 yang diobati
dengan insulin atau obat oral.
2. Hiperglikemia, yaitu adanya masukan kalori dalam tubuh yang berlebihan dan
penghentian obat oral maupun penyuntikan insulin. Ditandai dengan pandangan
kabur rasa sangat haus, muntah, berat badan menurun, kulit kering dan gatal, rasa
mengantuk sampai kesadaran menurun disertai kekurangan cairan akibat banyaknya
jumlah urine yang dikeluarkan.
3. Ketoasidosis diabetik diartikan sebagai keadaan tubuh yang sangat kekurangan
insulin dan bersifat mendadak akibat adanya infeksi, lupa menyuntikan insulin pada
makan yang terlalu berlebihan.
4. Hiperosmolar ketotik terjadi akibat adanya dehidrasi berat, tekanan darah yang
menurun dan syok tanpa adanya berat badan keton.
16. 5. Koma lakto asidosis keadaan tubuh dengan asam laktat yang tidak dapat diubah
menjadi bikarbonat.
B. Komplikasi kronis
Berdasarkan Sulistyo (2018), komplikasi kronis DM yang hidup lebih lama,
dengan peningkatan risiko untuk komplikasi kronis yaitu komplikasi makrovaskuler yaitu
penyakit arteri coroner, penyakit serebrovaskuler, hipertensi, penyakit pembuluh darah,
infeksi. Komplikasi kronis adalah penyebab utama kesakitan dan kematian. Komplikasi
kronis dapat dikelompokkan menjadi dua bagian sebagai berikut :
1. Komplikasi spesifik
Komplikasi spesifik terjadi akibat kelainan pembuluh darah kecil atau mikroangiopati
diabetik (Mi.DM) dan kelainan metabolisme dalam jaringan. Jenis-jenis komplikasi
spesifik :
a. Retinopati diabetik
b. Nefropati diabetik
c. Neuropati diabetik
d. Diabetik foot
2. Komplikasi tidak spesifik
Kelainan ini sama dengan non-diabetes mellitus, tetapi terjadinya lebih awal. Penyakit
yang termasuk komplikasi tidak spesifik seperti :
a. Kelainan pembuluh darah besar atau makroangiopati diabetik. Kelainan ini berupa
timbunan zat lemak di dalam dan dibawah pembuluh darah.
b. Kekeruhan pada lensa mata (katarak)
c. Adanya infeksi seperti infeksi saluran kencing dan Tuberculosis.
2.10 Penatalaksanaan
Tujuan umum penatalaksanaan DM adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang DM, menghilangkan keluhan, mengurangi risiko komplikasi akut, mencegah
dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati serta
menurunkan morbiditas dan mortalitas DM. Sedangkan tujuan utama terapi DM adalah
mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi
terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM
adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa terjadi hipoglikemia dan
gangguan serius pada pola aktivitas pasien (Margareth, 2015).
A. Langkah-langkah penatalaksanaan umum :
17. 1. Riwayat penyakit : gejala yang dialami, pengobatan yang mempengaruhi glukosa
darah, faktor risiko (merokok, hipertensi, penyakit jantung koroner, obesitas,
riwayat penyakit keluarga), riwayat penyakit dan pengobatan serta pola hidup,
budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
2. Pemeriksaan fisik : pengukuran TB, BB, tekanan darah, nadi, pemeriksaan kaki
secara komprehensif.
3. Evaluasi laboratorium : pemeriksaan glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
4. Albumin urin kuantitatif, elektrokardiogram, pemeriksaan kaki secara
komprehensif.
B. Langkah-langkah pemeriksaan khusus :
1. Edukasi : promosi hidup sehat
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM) : penjelasan pentingnya keteraturan jadwal makan,
jenis dan jumlah makanan, terutama bagi penderita yang menggunakan obat
penurun glukosa darah dan insulin.
3. Latihan jasmani : perlu dilakukan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari seminggu
selama 30-45 menit dengan total latihan 150 menit perminggu. Dengan jeda antar
latihan tidak boleh lebih dari 2 hari berturut-turut). Latihan jasmani bersifat aerobik
dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat,
bersepeda santai, jogging, dan renang.
4. Intervensi farmakologis
a. Obat antihiperglikemia oral meliputi pemacu sekresi insulin (sulfonylurea dan
glinid), peningkat sensivitas terhadap insulin (metformin dan tiazolidindion),
penghambat absorbs glukosa (penghambat glucosidase alfa), penghambat DPP-
IV (Dipeptidlyl Peptidase-IV), dan penghambat SGLT-2 (Sodium glucose co-
transporter 2).
b. Obat antihipertensi suntik : insulin
c. Terapi kombinasi : obat antihiperglikemia oral dan insulin
d. Obat DM oral yang digunakan pada saat ini adalah golongan sulfonylurea,
biguanida dan acarbose. Saat ini beberapa tanaman herbal telah digunakan
sebagai antidiabetes diantaranya buah pare (Momordica charantia), daun
ciplukan (Physalis Angulata), bawang putih (A. Sativum L,), tanaman kersen
(Muntigia calabura), dll (Ota & Ulrih, 2017).
18. 2.11 Laju Endap Darah (LED)
Laju Endap Darah LED adalah salah satu jenis pemeriksaan yang digunakan
untuk memastikan adanya peradangan atau inflamasi dalam tubuh. Laju endap darah
sendiri merupakan bagian dari tes hematologi untuk mengukur berapa lama eritrosit
menggumpal atau mengendap pada alat pemeriksaan dalam suatu alat tertentu yang
dinyatakan dalam mm/jam. Laju endap darah (LED) biasanya digunakan pada penderita
Anemia, kanker, Diabetes mellitus, infeksi, penyakit jantung dan kehamilan (Depkes,
2016).
Fase dalam pengendapan erirosit terdiri dari tiga fase yaitu sebagai berikut :
1. Fase pertama (fase pembentukan rouleaux), pada fase ini terjadi formasi yaitu
eritrosit mulai saling menyatukan diri, waktu yang dibutuhkan adalah dari beberapa
menit hingga 30 menit. Rouleaux adalah gumpalan eritrosit yang terjadi bukan
karena antibodi atau ikutan konvalen, tetapi karena saling tarik-menarik di antara
permukaan sel. Bila perbandingan globulin terhadap albumin meningkat atau kadar
fibrinogen sangat tinggi, pembentukan rouleux dipermudah hingga LED meningkat
(Kushner, 2015).
2. Fase kedua (fase pengendapan cepat) atau disebut juga fase pengendapan maksimal,
karena telah terjadi agregasi atau pembentukan rouleaux atau dengan kata lain
partikel-partikel eritrosit menjadi lebih besar dengan permukaan yang lebih kecil
sehingga menjadi lebih cepat pula pengendapannya. Kecepatan pengendapan pada
fase ini adalah konstan. Waktunya 30 menit sampai 120 menit (Kushner, 2015).
3. Fase ketiga (fase pengendapan lambat atau pemadatan) fase ini terjadi pengendapan
eritrosit yang sangat lambat. Dalam keadaan normal dibutuhkan waktu setengah jam
hingga satu jam untuk mencapai fase ketiga tersebut. Pengendapan eritrosit ini
disebut ini disebut sebagai laju endap darah dan dinyatakan dalam mm/1jam
(Kushner, 2015).
2.12 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Laju Endap Darah (LED)
LED dipengaruhi oleh faktor eritrosit, kimia, fisik, fisiologi, teknik dan plasma
(Handayani, 2017).
1. Faktor eritrosit
Faktor terpenting yang dapat menentukan kecepatan pada endapan
eritrosit merupakan pada suatu ukuran atau masa dari partikel endapan. Pada
beberapa penyakit dengan gangguan fibrinogen plasma dan globulin, dapat
19. menyebabkan adanya perubahan permukaan eritrosit dan peningkatan LED,
LED akan berbanding terbalik dengan vikositas plasma (Handayani, 2017).
2. Faktor kimia
Faktor kimia akan berpengaruh pada protein plasma yaitu hubungan
antara protein plasma dan pembentukan rouleaux merupakan dasar
pembentukan LED. Rouleaux adalah gumpalan eritrosit yang disatukan oleh
gaya tarik permukaan bukan oleh antibodi atau ikatan kovalen. Kualitas ini
mencerminkan pada kemampuan sel membentuk agregat. Apabila proporsi
globulin terhadap albumin meningkat, atau kadar fibrinogen sangat tinggi.
Pembentukan rouleaux meningkat dan kecepatan pengendapan juga akan
meningkat (Handayani, 2017).
3. Faktor fisik
Faktor fisik yang berperan dalam pemeriksaan LED, misalnya suhu atau
temperatur bahan pemeriksaan. Suhu yang tinggi akan mempercepat
pengendapan eritrosit, sedangkan suhu yang rendah akan memperlambat
pengendapan eritrosit. Variasi yang kecil dari temperatur ruangan tidak
berpengaruh besar pada laju endap darah. Namun ketika terjadi perbedaan
suhu yang cukup besar, laju pengendapan darah akan dipengaruhi secara
signifikan. Suhu pada saat pemeriksaan optimumnya selama pemeriksaan
20°C, suhu yang tinggi akan mempercepat pengendapan dan sebaliknya pada
suhu rendah akan memperlambat pengendapan. Darah yang disimpan pada
lemari pendingin, laju pengendapan darah secara signifikan akan menurun
disebabkan viskositas plasma yang meningkat (Handayani, 2017).
4. Faktor fisiologi
Faktor fisiologi akan terjadi pada pasien hamil dan pada pasien anemia
yang akan mengakibatkan LED tinggi karena adanya peningkatan fibrinogen
(Agustina, 2015).
5. Faktor teknik
Faktor teknik yang akan mempengaruhi LED merupakan posisi tabung,
pada pemakaian antikoagulan dan pada penundaan pemeriksaan. Posisi tabung
merupakan posisi tegak lurus, jika dalam posisi miring akan mempengaruhi
hasil 30% lebih tinggi dan akan menghasilkan hasil yang palsu dan tidak
akurat. Pemakaian antikoagulan berlebih akan mengakibatkan LED tinggi.
Penundaan pemeriksaan pada antikoagulan maksimal 2 jam, apabila lebih dari
20. 2 jam akan membuat bakteri lebih banyak dan membuat lisis pada eritrosit
sehingga LED akan menghasilkan hasil yang tinggi dan menyebabkan
kesalahan terbesar (Gandasoebrata, 2013).
a. Kemiringan tabung
Posisi pipet dalam pemeriksaan LED harus tegak lurus karena selisish
sedikit dari posisi garis vertical dapat mempengaruhi hasil LED. Hal ini
dikarenakan kemiringan pipet membuat sel eritrosit lebih mudah membentuk
rouleaux sehingga menyebabkan peningkatan nilai LED (Gandasoebrata R,
2011).
b. Getaran
Getaran menyebabkan nilai LED menurun karena sel – sel eritrosit yang
hendak mengendap ke bagian bawah pipet terhambat akan adanya getaran,
sehingga pemeriksaan LED harus dikerjakan jauh dari semua peralatan yang
dapat menimbulkan getaran (Herdiman, 2012).
c. Suhu
Pemeriksaan LED harus dilakukan suhu 18 – 25 °C. suhu pemeriksaan
LED dapat dijaga dengan menggunakan AC dan menjauhkan tabung LED
dari cahaya matahari langsung. Peningkatan suhu dapat menyebabkan nilai
LED dipercepat (NCCLS, 2012).
d. Hemolisis darah
Sampel hemolysis akan mengganggu pembacaan dan membuat hasil
pemeriksaan LED dipercepat. Sampel hemolysis bisa disebabkan karena
konsentrasi larutan pengencer yang digunakan lebih mudah dari konsentrasi
seharusnya (Widjaja, 2010).
e. Kontaminasi pipet
Pipet yang kotor atau kontaminasi akan mempengaruhi hasil
pemeriksaan LED. Pipet westergren yang kotor dapat dibersihan dengan cara
mencuci menggunakan air, kemudian alcohol dan terakhir aseton (Widjaja,
2010).
6. Faktor plasma
Faktor plasma akan mempengaruhi LED, kolesterol mempercepat LED.
Kolesterol yang meningkat dapat menetralkan tarikan ke bawah terhadap sel
atau gumpalan sel. LED dipercepat oleh peningkatan kadar fibrinogen dan
globulin. Molekul-molekul protein asimetris memiliki efek yang lebih besar
21. dari protein lain dalam menurunkan muatan negatif eritrosit (potensi zeta)
yang cenderung memisahkannya. Penurunan potensi zeta memudahkan
pembentukan rouleaux, sehingga lebih cepat mengendap jika dibandingkan sel
tunggal. Menghilangkan fibrinogen (defibrinasi) akan menurunkan LED.
Albumin dan lesitin menghambat sedimentasi, sedangkan kolesterol
mempercepat LED. Faktor eritrosit faktor yang paling terpenting yang
menentukan kecepatan endapan eritrosit adalah ukuran atau masa dari partikel
endapan. Pada beberapa penyakit dengan gangguan fibrinogen plasma dan
globulin, dapat menyebabkan perubahan permukaan eritrosit dan peningkatan
pada LED, LED akan berbanding terbalik dengan vikositas plasma
(Handayani, 2017).
2.13 Faktor yang meningkatkan LED
Menurut Kiswari 2014, Faktor yang dapat meningkatkan LED diantaranya sebagai
berikut :
1. Obesitas
2. Usia lanjut
3. Kehamilan
4. Penderita anemia
5. Adapun ketidaknormalan sel darah merah (misalnya: makrositosis)
6. Adapun faktor teknis (misalnya: problem delusional, peningkatan suhu spesimen,
ESR)
7. Adapun peningkatan kadar fibrinogen (misalnya: pada kondisi kehamilan, diabetes
mellitus atau kencing manis, gagal ginjal stadium akhir, penyakit jantung, penyakit
vaskuler kolagen, infeksi, peradangan, dan keganasan/kanker)
8. Jumlah erirosit kurang dari normal
9. Ukuran eritrosit yang lebih besar dari ukuran normal, sehingga lebih mudah atau
cepat membentuk rouleaux, sehingga LED meningkat.
10. Peningkatan fibrinogen dalam darah akan mempercepat pembentukan rouleaux,
sehingga LED dapat meningkat.
11. Tabung pemeriksaan yang tergoyang akan mempercepat pengendapan LED
dapat meningkat secara cepat.
12. Suhu saat pemeriksaan optimumnya 20°C jika suhu lebih tinggi dari suhu ideal
maka akan menyebabkan pengendapan secara cepat, sehingga LED dapat
meningkat.
22. 2.14 Hal yang diperhatikan dalam penentukan LED
Menurut (Hoffbrand, 2016) ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat
penentuan LED diantaranya sebagai berikut :
1. Penentuan LED sebaiknya dilakukan selama 1 jam
2. Keadaan pipet harus vertical dan tegak lurus ke atas agar menghasilkan hasil yang
akurat
3. Pipet yang dipakai harus kering dan bersih
4. Hindari terjadinya hemolisa pada darah
5. Antikoagulan dan darah harus dihomogenkan sampai homogen dengan benar
6. Keadaan darah pada saat memipet tidak boleh bergelembung adanya udara
2.15 Macam-macam metode pemeriksaan laju endap darah (LED)
Menurut Kiswari 2014, Dalam pemeriksaan LED dikenal dengan dua metode
diantaranya yaitu :
a. Metode westergren
Metode westergren yaitu metode yang sangat sederhana dan metode yang
dianjurkan oleh International Commite for Standardization (ICSH) dimana metode
ini telah merekomendasikan bahwa metode westergren sebagai metode referensi.
Metode ini menjadi tes skrining umum di seluruh dunia untuk protein fase akut dan
penyakit kronis, meskipun keterbatasan dan pengenalan penanda yang lebih spesifik.
Metode westergren ini memakai pipet westergren secara tegak lurus, menggunakan
antikoagulan natrium sitrat, dilihat dan dicatat dalam waktu selama 1 jam
(Gandosoebrata, 2015).
Kelebihan pemeriksaan LED dengan metode westergren adalah pipet
westergren lebih panjang dibanding metode lain sehingga bisa menunjukkan hasil
yang lebih tinggi. Metode ini juga merupakan metode standar pemeriksaan LED
yang direkomendasikan ICSH (ICSH, 2010). Metode westergren ini memiliki
kekurangan, metode ini membutuhkan volume darah yang cukup banyak
(Gandasoebrata R, 2010).
23. Gambar 2. 6 Metode Westergren
Gambar 2. 7 Metode Wintrobe
b. Metode wintrobe
Metode wintrobe yaitu dimana metodenya menggunakan tabung wintrobe secara
tegak lurus, dan memakai antikoagulan EDTA dilihat dan dicatat dalam waktu 1
jam (Gandosoebrata, 2015).
2.16 Manfaat Laju Endap Darah
Pemeriksaan laju endap darah memiliki banyak manfaatnya sehingga dokter dapat
menggunakan laju endap darah untuk memonitor penyakit yang dicurigai. Ketika penyakit
itu menjadi parah maka nilai laju endap darah akan naik, sedangkan jika penyakit tersebut
mulai membaik maka laju endap darah akan menurun. Meningkatnya nilai laju endap
darah tidak dapat mendeteksi penyakit secara spesifik, tetapi merupakan indicator adanya
penyakit. Selain itu dapat mendeteksi inflamasi atau penyakit ganas (Christopher, 2016).
24. 2.17 Antikoagulan
2.17.1 Macam – macam Antikoagulan
a. EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetat)
EDTA sebagai garam natrium atau kalium. Yang mana garam – garam tersebut
akan mengubah ion kalsium dari darah menjadi bentuk yang bukan ion. EDTA
tidak berpengaruh terhadap besar dan bentuk dari eritrosit dan leukosit. EDTA juga
dapat mencegah trombosit menggumpal, sehingga EDTA sangat baik digunakan
sebagai antikoagulan pada hitung trombosit. Setiap 1 mg EDTA dapat mencegah
pembekuan 1 ml darah dan digunakan untuk pemeriksaan laju endap darah metode
westergren (Gandasoebrata R, 2010).
b. Heparin
Heparin berdaya seperti antitrombin, tidak berpengaruh terhadap bentuk
eritrosit dan leukosit. Dalam praktek sehari – hari heparin jarang digunakan karena
harganya yang cukup mahal. Setiap 1 mg heparin menjaga membekunya darah 10
ml. heparin dapat digunakan dalam bentuk larutan maupun bentuk kering
(Gandasoebrata R, 2010).
c. Natrium sitrat 3,8%
Natrium sitrat digunakan dalam bentuk larutan 3,8%, yaitu larutan yang isotonic
dengan darah. Dapat digunakan untuk beberapa macam percobaan hemoragik dan
juga dapat digunakan untuk beberapa macam percobaaan (Gandasoebrata R, 2010).
d. Amonium oksalat dan kalium oksalat
Campuran ammonium oksalat dan kalium oksalat menurut paul dan heller yang
juga dikenal sebagai campuran oksalat seimbang digunakan dalam keadaan kering
agar tidak mengencerkan darah yang diperiksa. Apabila menggunakan amoinum
oksalat tersendiri eritrosit – eritrosit membengkak, kalium oksalat tersendiri
menyebabkan mengerut (Gandasoebrata R, 2010).
2.18 Hubungan Laju Endap Darah (LED) dengan Diabetes Mellitus (DM)
Laju endap darah merupakan uji untuk menentukan kecepatan eritrosit dalam
darah yang telah diberikan antikoagulan, jatuh kedasar sebuah tabung vertical dalam waktu
tertentu. Darah dengan antikoagulan yang dimasukkan ke dalam tabung kecil yang tegak
lurus memperlihatkan pengendapan (sedimentasi) sel-sel darah merah dengan kecepatan
yang terutama ditentukan oleh densitas relative sel darah merah dalam kaitannya dengan
plasma (Nugraha, 2015).
25. Kecepatan dalam pengendapan yang sebenarnya sangat dipengaruhi oleh
kemampuan eritrosit membentuk rouleaux. Rouleaux adalah gumpalan sel-sel darah merah
yang disatukan bukan oleh antibody atau ikatan kovalen, tetapi semata-mata oleh gaya
tarik permukaan. Kualitas ini mencerminkan kemampuan sel membentuk agregat. Apabila
proporsi globulin terhadap adanya albumin, meningkat, atau apabila kadar fibrinogen
sangat tinggi, pembentukan rouleaux meningkat dan kecepatan pengendapan juga
meningkat. Konsentrasi makromolekul asimetrik yang tinggi dalam plasma juga
mengurangi gaya-gaya saling tolak memisahkan suspensi sel darah merah dan
meningkatkan pembentukan rouleaux (Nugraha, 2015).
Membran eritrosit terdiri dari lapisan integral lipid, termasuk fosfolipid dan
kolesterol, yang mengandung protein. Protein-protein ini mungkin terletak internal atau
perifer. Komposisi protein lipid ini sangat penting untuk mempertahankan suatu integritas
membran sel darah merah, yang menahan influx tidak terkontrol ion natrium (terdapat
konsentrasi yang lebih tinggi di dalam plasma) dan terdapat dalam konsentrasi lebih tinggi
di sel darah merah. Proses ini akan bergantung pada sumber energi yang memadai dalam
bentuk glukosa, protein membran perifer yang utama, glikoforin, adalah protein
terglikosilasi yang mengandung sebagian besar antigen sel darah merah (Nugraha, 2015).
Sel darah merah yang mengalami gangguan dalam transportasi ion atau
pembentukan energi cenderung mengalami hemolysis setelah 48 jam dalam plasma tanpa
tanda tambahan nutrient. Sel darah merah normal dapat bertahan hidup hingga 48 jam
inkubasi pada suhu 37°C tanpa sumber energi eksogen apapun. Pada faktor lain yang dapat
mempengaruhi laju endap darah adalah rasio sel darah merah terhadap plasma viskositas
(kekentalan) plasma. Dalam darah normal, hanya sedikit yang telah terjadi pengendapan
karena adanya tarikan gravitasi masing-masing sel darah merah hampir diimbangi oleh
arus keatas yang ditimbulkan oleh bergesernya plasma. Jika plasma sangat kental atau
kadar kolesterol sangat tinggi maka arus keatas mungkin sama sekali menetralkan tarikan
kebawah masing-masing atau gumpalan sel darah merah (Nugraha, 2015).
Menurut (Nugraha, 2015) dalam pemeriksaan LED memiliki beberapa penggunaan
utama diantaranya sebagai berikut :
1. Sebagai pemeriksaan penapisan bagi peradangan atau neoplasma yang
tersembunyi
2. Sebagai alat bantu bagi pendeteksi suatu proses peradangan
3. Sebagai pemantau perjalanan atau aktivitas suatu penyakit
26. Menurut (Sacher, 2016) dalam pemeriksaan ini sangat relative dan tidak sensitive
dan tidak spesifik karena adanya pengaruh oleh banyak faktor teknis. Bagaimanapun LED
tetap menjadi uji yang bermanfaat dan digunakan secara meluas. Perlu ditekankan bahwa
LED yang normal tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan penyakit, namun sebagian
besar penyakit peradangan akut dan kronis serta neoplasma berkaitan dengan peningkatan
LED. LED yang sangat meningkat pada pasien yang sedang hamil akan kembali normal
pada minggu ketiga atau keempat pasca partus. LED yang lebih dari 100 mm/jam akan
dijumpai pada diskrasia sel plasma seperti mieloma multiple pada penderita DM. Dalam
keadaan ini akan terjadi peningkatan kadar immunoglobulin yang menyebabkan
peningkatan rouleaux pada sel darah merah. Hal ini akan dijumpai pada penderita kolagen
vascular, keganasan, tuberculosis dan diabetes mellitus. Nilai normal pada LED sebagai
berikut:
1. Nilai normal pada metode wintrobe dengan nilai rujukan :
Perempuan : 0-20 mm/jam
Laki-laki : 0-10 mm/jam
2. Nilai normal pada metode westergren dengan nilai rujukan :
Perempuan : 0-15 mm/jam
Laki-laki : 0-10mm/jam
LED akan mencerminkan peradangan akut atau kronik proses kematian sel
ataupun proses lainnya yang dapat menyebabkan perubahan pada protein plasma yang
terdapat di darah yang akan mengakibatkan penggumpalan dari sel darah merah.
Dalam peningkatan LED merupakan respon yang tidak spesifik terhadap adanya
kerusakan jaringan dan merupakan petunjuk adanya penyakit. Peningkatan pada LED
menunjukan adanya infeksi yang aktif atau terapi penyakit sebelumnya yang tidak
berhasil. LED yang tinggi juga dapat dijumpai pada keadaan seperti haid, anemia, bahkan
kehamilan termasuk pada penderita DM dan LED akan berpengaruh juga terhadap orang
tua dan beberapa yang mengonsumsi obat-obatan tertentu yang akan mempengaruhi hasil
LED.
Pemeriksaan LED ini akan dipakai untuk menilai perjalanan dari penyakit.
Peningkatan pada LED dibandingkan dengan sebelumnya akan menunjukan proses yang
meluas, sedangkan LED yang menurun dibandingkan sebelumnya menunjukkan suatu
perbaikan.
27. 2.19 Kerangka Konseptual
Kerangka konsep merupakan suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu
terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin di teliti (Notoatmojo, 2014).
Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
2.20 Definisi Operasional
1. Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan
sekresi insulin yang dilator belakangi oleh resistensi insulin (Soegando, 2016).
2. Laju Endap Darah adalah kecepatan pengendapan eritrosit dari suatu sampel darah
yang diperiksa dalam suatu alat tertentu dan dinyatakan dalam mm/jam. Laju endap
darah secara umum dipengaruhi oleh tiga faktor sel darah merah, faktor komposisi
plasma, dan faktor teknis, tetapi dalam penelitian ini ketiga faktor tersebut tidak
diteliti. Laju endap darah dapat diperiksa dengan metode westergren (Nugraha,
2016).
3. Adapun nilai pada Laju Endap Darah dengan metode westergren sebagai berikut :
a. Normal : Perempuan : 0 – 20 mm/jam
Laki – laki : 0 – 15 mm/jam
Metode
Nilai normal :
Perempuan : 0 – 20 mm/jam
Laki – laki : 0 – 15 mm/jam
1. Perempuan : 0 – 20
mm/jam
2. Laki – laki : 0 – 15
mm/jam
Meningkat
Westergren
LED
Wintrobe
Faktor yang
mempengaruhi
pemeriksaan LED :
1. Faktor sel darah
merah
2. Faktor
komposisi
plasma
3. Faktor teknis
pada saat
penelitian (tidak
tegak lurus)
Normal
28. b. Meningkat : Perempuan : > 20 mm/jam
Laki – laki : > 15 mm/jam
29. BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian bersifat Deskriftif yang tujuannya untuk mengetahui gambaran
hasil pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) pada penderita Diabetes Mellitus (DM) di
RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat. Dengan menggunakan rancangan penelitian jenis
Cross sectional, yaitu dengan cara pengukuran dan pengumpulan data dari tiap variable
dilakukan sekaligus pada waktu yang bersamaan.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa
Barat
3.2.2 Waktu
Waktu perizinan penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 1 Juni – 25 Juni
2022.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Target populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang datang
memeriksakan glukosa darahnya di RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat.
3.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien yang datang
memeriksakan glukosa darahnya di RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat pada tanggal
1 Juni – 25 Juni. Sampel yang dipergunakan sebagai bahan penelitian ini adalah darah
vena dengan antikoagulan EDTA. Jumlah sampel yang diikutsertakan dalam penelitian
adalah sebanyak 30 pasien yang merupakan jumlah minimal pengambilan sampel
(Cohen, 2007).
3.4 Cara Pengumpulan Data
3.4.1 Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu dengan data primer. Data primer yaitu
data yang didapatkan secara langsung dari pasien dan data yang diperoleh dari hasil
pemeriksaan yang akan dilakukan secara langsung.
3.4.2 Teknik pengumpulan data
Adapun teknik pengambilan sampel yang akan digunakan pada penelitian ini
adalah secara Accidental Sampling, yaitu sampel yang diambil adalah sampel pasien
yang memeriksakan kadar glukosanya dengan teknik pengambilan sampel yang ada dan
kebetulan tersedia pada saat penelitian di RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat.
3.4.3 Pengolahan dan Analisis data
Pengolahan data dilakukan dengan tahap editing, coding, entry, dan cleaning.
Editing yaitu mengkaji dan meneliti data yang diperoleh. Coding yaitu memberikan
kode pada data untuk memudahkan dalam memasukkan ke program computer. Entry
yaitu memasukkan data dalam program computer untuk analisis lanjut. Tahap terakhir
30. cleaning data atau pembersih data dengan melakukan pengecekan kembali
kemungkinan terjadi ketidaklengkapan serta kesalahan-kesalahan yang lain kemudian
dilakukan koreksi kembali.
3.4.4 Metode Pemeriksaan
Menggunakan metode manual
3.5 Alat, Bahan dan Reagensia
3.5.1 Alat
Pipet westergren, sediplast, rak westergren, rak tabung, spuit 3 ml/cc, tabung
vakum EDTA, alcohol swab, plester, dan label yang akan digunakan pada saat
penelitian berlangsung.
3.5.2 Bahan penelitian
Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : darah vena (dalam
tabung vakum EDTA).
3.5.3 Reagensia
Tanpa reagen pengencer
3.6 Prosedur Kerja
3.6.1 Pra Analitik
1. Persiapan pasien : tidak ada persiapan khusus
2. Persiapan sampel :
a. Disiapkan alat dan bahan
b. Cocokan identitas pasien dengan benar sesuai dengan lembar permintaan
laboratorium
c. Dilakukan pendekatan pada pasien dengan tenang dan ramah, usahakan
pasien senyaman mungkin
d. Atur posisi pasien, diminta pasien untuk meluruskan lengan, melipat baju
lengan dan mengepalkan tangannya.
e. Dipasang torniquet kira-kira 10 cm di atas lipatan siku
f. Dipilih vena bagian median cubital atau cephalic. Kemudian palpasi untuk
memastikan posisi vena.
g. Desinfeksi dengan alcohol swab pada bagian yang akan ditusuk dan
dibiarkan kering.
h. Tusuk bagian vena dengan posisi lubang jarum menghadap keatas. Jika
jarum telah masuk kedalam vena akan terlihat darah masuk ke dalam
semprit.
i. Setelah volume darah dianggap cukup, lepas tourniquet dan minta pasien
membuka kepalan tangan secara perlahan.
j. Letakkan kapas diatas tempat suntikan kemudian tarik pelan-pelan jarum.
Lalu plester kira-kira 15 menit.
k. Masukkan darah kedalam tabung vakum EDTA melalui dinding tabung
(Nugraha, 2015).
3.6.2 Analitik
1. Gambaran laju endap darah (LED) pada penderita Diabetes Mellitus (DM) di
RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat.
31. a. Prinsip
Prinsip metode westergren adalah darah dengan antikoagulan dibiarkan di
dalam pipet dengan ukuran tertentu dan dimasukkan dalam tabung khusus
(westergren) dengan posisi tegak lurus dan kecepatan eritrosit mengendap
diukur dalam jangka waktu 1 mm/jam, maka eritrosit akan mengendap, 3
fase dalam pemeriksaan LED yaitu fase pembentukan rouleux (gulungan)
yang berlangsung kurang lebih 15 menit (pada fase ini terjadi gaya tarik
menarik antara partikel-partikel eritrosit), fase pengendapan eritrosit yang
berlangsung kurang lebih 30 menit, fase pemadatan eritrosit yang
berlangsung kurang lebih 15 menit. Metode westergren mempunyai
beberapa kelebihan, antara lain memiliki skala tabung yang panjang
sehingga memungkinkan untuk menghitung skala pembacaan yang besar.
Kekurangannya apabila pemasangan tabung tidak tegak lurus akan
memberikan hasil yang berbeda (Riswanto, 2013).
b. Cara kerja
a) Siapkan alat dan bahan
b) Siapkan sediplast dan pipet westergren
c) Siapkan tabung EDTA yang sudah berisi darah
d) Lalu simpan sediplast dalam rak westergren, kemudian isi sediplast
dengan darah sampai tanda batas yang telah ditentukan
e) Lalu hisap secara tegak lurus dan perlahan sampai darah tersebut
mencapai garis angka 0, pipet tersebut harus sejajar dengan mata kita
agar kita bisa melihat miniskusnya dengan baik
f) Lalu biarkan pipet tersebut selama 1 jam
g) Setelah didiamkan selama 1 jam lihat kecepatan turunnya eritrosit yang
ada pada pipet westergren
h) Setelah selesai catat hasil pengamatan yang telah dikerjakan
sebelumnya.
3.6.3 Pasca Analitik
1. Interpretasi hasil
No
Jenis
Pemeriksaan
Jenis Kelamin Normal Meningkat
1
LED
Perempuan 0 – 20 mm/jam > 20 mm/jam
2 Laki – laki 0 – 15 mm/jam > 15 mm/jam
32. BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil penelitian
Hasil yang didapat setelah dilakukan penelitian terhadap 30 pasien yang di diagnosa
diabetes mellitus yang diperiksa di RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat pada tanggal 1
Juni – 25 Juni tahun 2022 hasil sebagai berikut :
A. Jenis Kelamin
Pada saat penelitian berlangsung diperoleh berdasarkan jenis kelamin perempuan untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) pada penderita Diabetes
Mellitus yang meningkat pada pasien perempuan
Kategori LED Perempuan
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid Normal 5 33,3 33,3 33,3
Meningkat 10 66,7 66,7 100,0
Total 15 100,0 100,0
Dari tabel diatas, maka dapat diketahui bahwa distribusi pasien jenis kelamin
perempuan yang mengalami peningkatan sebanyak 10 orang (66,7 %) dan jenis
kelamin perempuan yang normal sebanyak 5 orang (33,3 %). Jadi total frekuensi
berdasarkan jenis kelamin pasien terdapat 15 pasien dengan presentase 100%.
5
10
0
2
4
6
8
10
12
Normal Meningkat
Hasil LED Pasien DM Perempuan
33. Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) pada penderita Diabetes
Mellitus yang meningkat pada pasien laki – laki
Klasifikasi LED Laki – laki
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Normal 3 20,0 20,0 20,0
Meningkat 12 80,0 80,0 100,0
Total 15 100,0 100,0
Dari tabel diatas, maka dapat diketahui bahwa distribusi pasien jenis kelamin
laki-laki yang mengalami peningkatan sebanyak 12 orang (80,0 %) dan jenis kelamin
laki - laki yang normal sebanyak 3 orang (20,0 %). Jadi total frekuensi berdasarkan
jenis kelamin pasien terdapat 15 pasien dengan presentase 100%.
B. Umur
Pada saat penelitian berlangsung diperoleh berdasarkan umur berjenis kelamin
perempuan dan berjenis kelamin laki – laki dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) pada penderita Diabetes
Mellitus berdasarkan umur
3
12
0
2
4
6
8
10
12
14
Normal Meningkat
Hasil LED Pasien DM Laki-laki
Normal
Meningkat
6%
17%
20%
30%
27%
Kategori Umur Pasien
Dewasa Awal
Dewasa Akhir
Lansia awal
Lansia Akhir
Manula
34. Keterangan tabel :
a. Dewasa awal : 26 - 35 tahun
b. Dewasa akhir : 36 - 45 tahun
c. Lansia awal : 46 - 55 tahun
d. Lansia akhir : 56 – 65 tahun
e. Manula : >65 tahun
Dari tabel diatas, maka dapat diketahui bahwa dari total frekuensi 30 sampel
selama penelitian, jumlah sampel terbanyak yaitu yang 56 - 65 sebanyak 9 orang dan
jumlah terendah yaitu yang berumur 26 – 35 yaitu sebanyak 2 orang.
Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) pada penderita Diabetes Mellitus
(DM) di RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat
Klasifikasi Umur
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Dewasa Awal 2 6,7 6,7 6,7
Dewasa Akhir 5 16,7 16,7 23,3
Lansia Awal 6 20,0 20,0 43,3
Lansia Akhir 9 30,0 30,0 73,3
Manula 8 26,7 26,7 100,0
Total 30 100,0 100,0
No Kode
Sampel
Jenis
Kelamin
Umur
Pasien
(Tahun)
Hasil LED Meningkat
()
Normal
()
1 𝐴1 L 50 30
2 𝐴2 P 64 29
3 𝐴3 L 58 33
4 𝐴4 L 28 7
5 𝐴5 L 91 22
6 𝐴6 L 45 44
7 𝐴7 P 59 27
8 𝐴8 P 63 38
9 𝐴9 P 66 8
10 𝐴10 P 37 30
11 𝐴11 P 70 6
12 𝐴12 L 67 24
13 𝐴13 L 67 37
14 𝐴14 L 46 11
15 𝐴15 L 59 10
16 𝐴16 P 32 18
17 𝐴17 P 63 2
18 𝐴18 P 37 33
35. 4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilaksanakan di laboratorium hematologi
di RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat, pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) pada
penderita Diabetes Mellitus yang di rawat inap di RSUD Al-Ihsan sebanyak 30 sampel
maka diperoleh hasil pemeriksaan LED meningkat sebanyak 10 orang jenis kelamin
perempuan dan 12 orang jenis kelamin laki – laki. Dalam pemeriksaaan LED tidak selalu
meningkat pada penderita DM. Terdapat 5 orang jenis kelamin perempuan dan 3 orang
jenis kelamin laki – laki yang LEDnya dalam batas normal. Penyebab ini karena penderita
menerapkan pola hidup yang sehat seperti pola makan yang teratur dan mengubah gaya
modern menjadi tradisional dan jenis kelamin laki-laki membatasi mengkonsumsi
minuman yang beralkohol dan berhenti merokok.
Dari data tersebut dapat digambarkan bahwa hasil pemeriksaan LED pada penderita
DM dengan antikoagulan EDTA didapatkan hasil yang meningkat. Penggunaan
antikoagulan juga sangat penting dalam memperhatikan kesesuaian dan ketepatan karena
akan mempengaruhi hasil pemeriksaan yang juga akan mempengaruhi pada penentuan
diagnosa serta kedisiplinan serta kehati-hatian dalam mengerjakan sehingga mampu
meminimalisir kesalahan yang juga akan berpengaruh terhadap hasil. Dalam peningkatan
LED juga disebabkan oleh adanya infeksi akut dan kronis, inflamasi atau peradangan akut
dalam tubuh diantaranya adanya kerusakan pada jaringan (nekrosis), adanya pengaruh
obat, adanya keberadaan DM dan kolesterol, peningkatan suhu, globulin dan fibrinogen
serta rematik.
19 𝐴19 L 92 22
20 𝐴20 L 48 20
21 𝐴21 P 77 26
22 𝐴22 P 60 27
23 𝐴23 L 66 22
24 𝐴24 L 42 17
25 𝐴25 L 55 18
26 𝐴26 P 42 23
27 𝐴27 L 58 25
28 𝐴28 P 52 13
29 𝐴29 P 64 30
30 𝐴30 P 55 27
JUMLAH :
RATA-RATA :
679
22,6
36. LED menggambarkan perbandingan antara eritrosit dan plasma. Darah dengan
antikoagulan yang dimasukkan ke dalam tabung yang berlumen kecil dan diletakkan tegak
lurus akan menunjukkan pengendapan darah diukur dalam kolom plasma. Penentuan nilai
LED menggunakan metode westergren merupakan prosedur standar pemeriksaan menurut
ICSH. Dalam pemeriksaan metode westergren bila ada permasalahan hasil yang akan
muncul bisa disebabkan karena kesalahan pra-analitik (misal: sampel darah membeku) dan
kesalahan analitik, misal : terdapat gelembung udara pada tabung, adanya getaran saat
pemasangan tabung untuk pengerjaan sampel yang lain, dan meja yang tidak datar.
Pemeriksaan LED merupakan pemeriksaan Non Spesifik yang mengukur kecepatan
pengendapan eritrosit dalam plasma dalam waktu 1 jam. Kecepatan pengendapan
bergantung pada konsentrasi protein-protein besar (fibrinogen dan immunoglobin) dalam
plasma. Dalam peningkatan kadar fibrinogen merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pemeriksaan LED. Dengan adanya peningkatan kadar fibrinogen ini
pembentukan rouleaux akan semakin cepat dan LED akan meningkat sehingga selain
pemeriksaan kolesterol, diperlukan pemeriksaan tambahan pada penderita DM untuk
mendeteksi adanya komplikasi aterosklerosis (penumpukan lemak pada pembuluh darah)
salah satunya dengan pemeriksaan LED, karena pemeriksaan LED ini dijumpai meningkat
selama proses inflamasi, infeksi akut dan kronis, dan kerusakan jaringan (nekrosis).
Pemeriksaan ini berguna untuk menegakkan diagnosa dan memantau suatu penyakit.
Kecepatan pengendapan bervariasi sesuai dengan konsentrasi sel darah merah dalam
plasma. LED memiliki tiga penggunaan utama, yaitu : sebagai alat bantu untuk mendeteksi
suatu proses peradangan, sebagai pemantauan perjalanan atau aktivitas penyakit, dan
sebagai pemeriksaan untuk peradangan yang tersembunyi. Namun pada pemeriksaan ini
relative tidak ensitif dan relative tidak spesifik karena dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang menjadi salah satu teknis. Tetapi bagaimanapun pemeriksaan LED ini tetap menjadi
uji yang bemanfaat dan banyak digunakan secara meluas.
Dalam pemeriksaan LED digunakan zat antikoagulan untuk mencegah pembekuan
darah. Antikoagulan yang dipakai dalam penelitian ini adalah antikoagulan EDTA.
Antikoagulan ini dipilih karena memiliki kelebihan yaitu tidak mempengaruhi sel-sel
darah, sehingga ideal untuk pengujian hematologi, seperti pengukuran hemoglobin,
hematocrit, LED, hitung leukosit, hitung trombosit, hitung eritrosit, dan hapusan darah.
37. BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis hasil penelitian maka didapatkan hasil pemeriksaan
Laju Endap Darah (LED) pada penderita Diabetes Mellitus (DM) di RSUD AL-Ihsan Provinsi
Jawa Barat
1. Nilai laju endap darah yang meningkat pada penderita DM sebanyak 10 orang (66,7 %)
pada jenis kelamin perempuan dan 12 orang (80,0 %) pada jenis kelamin laki-laki.
2. Nilai laju endap darah dalam batas normal pada penderita Diabetes Mellitus sebanyak
5 orang pada jenis kelamin perempuan dan 3 orang jenis kelamin laki-laki.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pemeriksaan laju endap darah metode
westergren memiliki kelemahan yaitu pembacaan hasil yang harus ditunggu 1 jam, ini tentunya
memakan waktu yang lama dengan jumlah sampel sebanyak 30, sehingga seiring dengan
berkembangnya zaman sudah mulai diciptakannya alat pemeriksaan laju endap darah yag
otomatis dan tentu saja pengerjaannya lebih cepat dan efisien.