1. Dokumen tersebut membahas empat purwarupa (prototipe) pembaca Al-Quran berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW, yaitu: al-Utrujjah, at-Tamrah, ar-Raihanah, dan al-Hanzhalah.
2. Al-Utrujjah melambangkan pembaca mukmin yang senantiasa membaca Al-Quran, seperti buah durian yang harum dan enak. At-Tamrah melambangkan pembaca mukmin yang kurang rajin membaca, sepert
1. 1
PENGAJIAN MALAM SELASA
MAJELIS TABLIGH MUHAMMADIYAH
DI AULA MADRASAH MU’ALLIMIN MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Jadilah Al-Utrujjah:
Purwarupa Ideal Pembaca al-Qur’an
Protoptype (Purwarupa) pembaca al-Qur’an, dalam kajian hadits
Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam, terpilah menjadi 4 (empat) macam. Yang
pertama, disebut dengan al-Utrujjah1
; yang kedua, disebut dengan at-Tamrah2
;
yang ketiga, disebut dengan ar-Raihanah3
; dan yang keempat, disebut dengan
al-Hanzhalah4
. Masing-masing sebutan, mencirikan masing-masing
‘purwarupa’ pembaca al-Qur’an itu, dengan kualifikasi masing-masing. Al-
Utrujjah dan at-Tamrah berkenaan dengan pribadi mukmin (orang yang
beriman); sementara itu, ar-Raihanah dan al-Hanzhalah berkenaan dengan
pribadi munafik.
Abu Musa al-Asy’ari mengisahkan, bahwa Rasulullah Shallalâhu
‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
1
Al-Utrujah ialah: “buah yang aroma (bau)-nya harum, rasanya lezat,
warnanya indah dan memiliki banyak manfaat. Lihat: Abû ath-Thayyib Muhammad
Syams al-Haq al-‘Azhîm Ābadiy, Aun al-Ma’bûd Sunan Abî Dâwud, juz IX, hal. 2114.
2
At-Tamrah ialah: “buah yang yang rasanya manis, tetapi tidak
mengeluarkan aroma (bau) harum. Lihat: ‘Abd al-Muhsin al-‘Abbâd, Syarh Sunan Abî
Dâwud, juz XXVII, hal. 496.
3
Ar-Raihanah ialah: “buah yang rasanya pahit, tetapi aroma (bau)-nya
harum”; Lihat: Muhammad ibn Hibbân ibn Ahmad ibn Hibbân ibn Mu’âdz ibn
Ma’bad at-Tamîmiy, Shahîh ibn Hibbân, juz I, hal. 329.
4
Al-Hanzhalah ialah: “buah yang rasanya pahit dan beraroma busuk. Lihat:
Muhammad ‘Abd ar-Rahmân ibn ‘Abd ar-Rahîm al-Mubârakfûriy Abû al-‘Alâ, Tuhfah
al-Ahwadziy bi Syarh Jâmi’ at-Tirmidziy, juz VII, hal. 184.
2. 2
“Perumpamaan orang mukmin yang membaca al-Qur`an adalah seperti buah
Utrujjah, baunya harum dan rasanya juga enak. Dan perumpamaan orang mukmin
yang tidak membaca al-Qur`an adalah seperti buah kurma, baunya tidak semerbak,
namun rasanya manis. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang membaca al-
Qur`an adalah laksana buah Raihanah yang baunya harum namun rasanya pahit.
Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al-Qur`an adalah seperti
buah Hanzhalah, baunya tidak wangi dan rasanya juga pahit.” (Hadits Riwayat
al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz IX, hal. 198, hadits no. 7560; Al-Jâmi’ ash-
Shahîh al-Mukhtashar, juz V, hal. 2070, hadits no. 5111; Al-Jâmi’ ash-Shahîh,
juz XVII, hal. 48, hadits no. 5007; Shahîh al-Bukhâriy, juz XVIII, hal. 182,
hadits no. 5427; Muslim, Shahîh Muslim, juz II, hal. 194, hadits no. 1896; At-
Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz V, hal. 150, hadits no. 2865; An-Nasâi,
Sunan an-Nasâi, juz IV, hal. 168, hadits no. 6733; Ibnu Majah, Sunan ibn
Mâjah, juz I, hal. 145, hadits no. 214; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn
Hanbal, juz IV, hal. 403, hadits no. 19630; Abu Dawud, Sunan Abî Dâwud,
juz IV, hal. 259, hadits no. 4829; Al-Bazzar, Musnad al-Bazzâr, juz VIII, hal.
14, hadits no. 2985; Al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, juz III, hal. 361, hadits no.
1821; Ibnu Hibban, Shahîh ibn Hibbân, juz III, hal. 47, hadits no. 770 dari
Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallâhu ‘Anhu)
Begitu indahnya bunyi (teks) hadits di atas. Di dalamnya
menjelaskan kepada kita tentang perumpamaan manusia berkaitan dengan
aktivitasnya dalam membaca al-Qur’an. Sadar atau tidak sadar, sebagai
seorang pembaca al-Quran, ternyata diri kita masing-masing memiliki ‘rasa
dan aroma’ tersendiri di hadapan al-Qur’an. Dalam arti, pada setiap
kehidupan ini, di mana pun kita dan kapan pun serta bersama siapa pun kita,
sebagai pembaca al-Qur’an -- masing-masing -- memiliki ‘pancaran’ yang
berbeda-beda.
Bila dilihat dari bunyi (teks) hadits shahih di atas, setidaknya akhlak
dan perilaku setiap pembaca al-Qur’an bisa dianalogikan dari interaksinya
bersama al-Qur’an.
Secara eksplisit (lahiriah), kandungan hadits di atas memuat
beberapa prototype (purwarupa) manusia – pembaca al-Qur’an -- yang perlu
kita ketahui bersama, yaitu:
1. Orang mukmin (beriman) yang senantiasa beraktivitas untuk membaca
al-Qur’an dengan fondasi imannya, diumpakan di dalam hadits
tersebut seperti buah utrujjah.
Sudah selayaknya setiap mukmin (orang yang beriman) selalu
bersedia, berkemampuan, memiliki kecintaan yang dalam dan pandai
(untuk) membaca al-Qur’an dalam setiap desah nafasnya. Mengapa? Karena
ibadah (dengan cara) membaca al-Qur’an setiap hari adalah bagian dari
3. 3
salah satu bentuk ibadah utama yang akan mengakibatkan kekokohan diri
kita. Ketika seseorang rajin dalam melakukan tilâwah (membaca) al-Qur’an
dalam jumlah ayat, surat dan juz yang cukup, maka efek positif dari tilâwah
itu -- insyâallâh -- akan memberikan pancaran cahaya bagi setiap desahan
nafasnya. Tilâwahnya dinilai ibadah dengan pahala yang berlipat-lipat,
hatinya selalu connected (tersambung) dengan Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ,
jiwanya sejuk dengan siraman kelembutannya, pikirannya penuh dengan
pesan-pesan ilahi dan dirinya selalu ada bersama makhluk-makhluk Allah
lainnya dalam tasbîh dan tahmîd (memuji Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ). Tentu
saja dari ketekunannya dalam membaca al-Qur’an ini, dirinya akan menjadi
semakin baik, mudah mengingat Allah, sigap dan berhati-hati dari segala
godaan penyimpangan dan maksiat, dan penuh harap dan cemas kepada
ridha-Nya. Maka dari itu, Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi wa Sallam
mengumpamakan mukmin yang seperti ini dengan buah utrujjah. Atau
dengan bahasa familiarnya bagi kita -- di Indonesia -- adalah seperti ‘buah
durian’, yang sangat lezat. Baunya harum dan rasanya lezat sekali. Inilah
karakteristik ‘Muslim ideal’.
2. Orang mukmin (beriman) yang tidak berkemauan kuat untuk membaca
al-Qur’an, diumpakan di dalam hadits tersebut seperti buah tamrah
(kurma). Tidak beraroma harum, tetapi rasanya manis.
Karena keimanan setiap muslim itu bertingkat-tingkat di hadapan
Allah, maka ada juga mukmin yang tidak mecintai aktivitas tilâwah al-Qurân
(membaca al-Qur’an). Dirinya, bahkan merasa cukup beraktivitas (sekadar)
dengan beraktiwas tilâwah al-Quran apa adanya (sekadar – memenuhi
kegiatan rutin -- membaca), sehingga sedikit pun tidak merasakan
kenikmatan dalam membacanya. Akibatnya, kewajiban tilâwah al-Qur’ân-nya
pun berada pada tingkatan terendah. Na’ûzubillâh min dzâlik. Padahal
Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam -- sebagai guru al-Qur’an bagi
umatnya -- ‘mewanti-wanti’ (menasihati) diri kita -- umatnya -- untuk
menjadikan tilâwah al-Qur’ân ‘harian’ (rutin) sebagai indikator keimanan kita
kepada Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ.
Perhatikan, misalnya, firman Allah pada QS al-Baqarah/2: 121
yang seringkali dibacakan oleh para ustadz,
َينِ
ذ
اَّلََُم
ُ
اهن
ْ
يآتََابتِك
ْ
الََ
ُ
هون
ُ
ل
ْ
تيََذقحََِهِتوَلِتََٰـول
ُ
أَكِئََونُنِم
ْ
ؤُيََِهِبۗنموَ
َْر
ُ
ف
ْ
كيََِهِبََٰـول
ُ
أفَكِئََُم
ُ
هََونُ ِاِس
ْ
اْل
“Orang-orang yang telah Kami berikan al-Kitab kepadanya, mereka membacanya
dengan bacaan yang sebenarnya [maksudnya: “tidak mengubah dan menakwilkan
4. 4
al-kitab itu dengan sekehendak hatinya”], mereka itu beriman kepadanya. Dan
barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka Itulah orang-orang yang rugi.”
Kita perlu menyadari, walaupun amalan ibadah kita yang lain
sudah cukup baik, namun apabila pada sisi tilâwah al-Qur’ân ini terlupakan,
maka bisa jadi ‘aroma’ keimanan kita pun akan menjadi berkurang dalam
seluruh aspek kehidupan kita. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi
wa Sallam menyamakannya seperti buah at-tamrah (kurma)’. Rasanya manis,
tetapi tidak mengeluarkan aroma keharuman.
3. Orang munafik yang bersedia untuk membiasakan diri ‘membaca al-
Qur’an’, diumpamakan dalam hadits tersebut seperti buah raihanah.
Aromanya harum, tetapi rasanya pahit.
Kaum munâfiqîn (komunitas munafik) adalah ‘satu’ bagian dari
ketiga golongan manusia yang diklasifikasikan dalam al-Qur’an, selain
orang-orang kafir dan orang-orang mukmin. Jumlah kaum munafik ini selalu
saja berada pada populasi yang besar disbandingkan dengan kedua golongan
lainnya. Munafik adalah orang yang diasumsikan beriman secara lahiriah,
tetapi ‘kafir’ secara batiniah. Erat kaitannya persoalan mu’amalah dengan al-
Qur’an, ada orang munafik yang sangat antusias dan pandai dalam
membaca al-Qur’an. Tetapi, sayang, tilâwah al-Qur’ânnya itu dilakukan
hanya sekadar (sebagai) pemoles bibir (lip-service) dan unjuk –suara saja,
layaknya sebuah pentas hiburan yang semata-mata bernilai seni. Sementara
isinya yang indah tidak sampai ke dalam lubuk hatinya, tidak
terimplementasi pada praktik kehidupan sehari-hari. Atau dengan kata lain,
‘ia’ pandai mengaji (melantunkan tilâwah al-Qur’ân), tetapi – seiring dengan
aktivitas tilâwah al-Qur’ân, beragam kemaksiatan pun dia jalani secara terus-
menerus dalam beragam aktivitas kehidupannya. Dalam pandangan
Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam, orang munafik semacam ini tak
ubahnya bagaikan buah Raihanah, yang aromanya harum, tetapi rasanya
pahit. Pancaran keindahan ayat-ayat al-Qur’an yang ia baca itulah yang
menjadikannya dirinya ‘beraroma‘ harum. Tetapi, ‘sayang’, keharuman
aroma al-Qur’an itu hanya tersimpul di bibir saja, sementara isin
(kandungan)-nya tidak diamalkan olehnya. Karenanya, jadilah dirinya terasa
‘pahit’.
4. Yang terakhir, orang munafik yang tidak memiliki antusisme untuk
membaca al-Qur’an, yang dalam hadits tesebut dumpamakan seperti
buah hanzhalah. Tidak beraroma harum dan rasanya pun pahit.
Inilah sejelek-jelek karateristik manusia. Orang yang telah memiliki
sifat munafik, tentu saja akan selalu dibenci oleh Allah; dan ‘ternyata’ –
dengan kemunafikannya -- dia juga sama sekali tidak memiliki kesediaan
untuk membaca al-Qur’an, sehingga sempurnalah keburukannya. Bisa jadi
5. 5
akibat dari kemunafikannya itulah ‘ia’ sama sekali tidak bersedia untuk
‘beriman’ terhadap al-Qur’an, sehingga mengakibatkan dirinya sama sekali
tidak memiliki pancaran Islam dan kelembutan al-Qur’an, karena
ketidakbersedianya untuk berinteraksi dengan al-Qur’an. Aromanya pun
(menjadi) ‘nihil’ (kosong) dan rasanya pun pahit sekali. Semua ragam
penampilannya pun terkesan ‘buruk’ di hadapan setiap mukmin (orang yang
beriman). Apalagi di hadapan Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ. Sehingga
wajarlah, jika Allah mengancamnya, dengan menyediakan tempat akhir
mereka kelak di hari akhir pada ‘kerak neraka’ yang paling dalam.
Na’ûzubillâh min dzâlik. Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat yang satu
ini.
Bercermin dari sabda Rasullullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam
tersebut di atas, marilah kita ‘mulai’ merenung dan melakukan muhâsabah
(introspeksi) bersama, yang manakah di antara keempat sifat manusia di atas
yang melekat pada diri kita? Untuk selanjutnya berbenah diri untuk
menyiapkan diri kita agar berkemampuan untuk berinteraksi secara
berkelanjutan dengan al-Qur’an. Menjadi pembaca setia al-Quran, yang
selalu hadir untuk membaca al-Quran dengan fondasi iman yang kokoh.
Akhirnya mari kita berdoa kepada Allah, dengan harapan ‘semoga’
Allah selalu berkenan untuk memberikan hidayah dan taufiqNya kepada
diri kita, agar kita bisa memerbaiki diri dalam berinteraksi dengan al-Qur’an
ini, sehingga diri kita memili ‘aroma dan rasa’ buah “utrujjah” yang
menyedapkan, bukan hanya bagi diri kita sendiri, tetapi juga bagi lingkungan
sosial dan kehidupan kita, dari dunia fana ini sampai di akhirat kelak.
Jadilah – mulai saat ini -- seeorang yang diumpamakan oleh Allah
seperti buah ‘Utrujjah’; seseorang yang selalu bersedia untuk berinteraksi
dengan al-Quran dengan fondasi iman yang kokoh. Sehingga ‘diri kita’ bisa
menjadi manusia yang senantiasa berguna, bukan saja pada diri sendiri,
tetapi juga bagi setiap orang dan komunitas yang berinteraksi dengan diri
kita, di mana pun dan kapan pun.
Āmîn Yâ Mujîbas Sâilîn.
Yogyakarta, 4 Mei 2015