Penelitian Wajib Belajar 12 Tahun merupakan bagian dari program Education Out Loud (EOL) yang dilaksanakan oleh JPPI (Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia) dengan dukungan dari Global Partnership for Education (GPE), yang dilaksanakan selama periode 1 bulan (10 November s/d 10 Desember 2022) di empat wilayah, yaitu: DKI Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Kota Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di empat wilayah tersebut.
Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) sebagai salah satu anggota jaringan JPPI ditunjuk menjadi penanggungjawab dalam pelaksanaan penelitian di Kota Surakarta.
Hasil Penelitian Wajib Belajar 12 Tahun di Kota Surakarta (Tahun 2022)
1. Program Wajib Belajar 12 Tahun dicanangkan sebagai lanjutan dari program sebelumnya yakni
Program Wajib Belajar 9 Tahun. Program ini dikenal sebagai program Pendidikan Menengah
Universal (PMU), dengan payung hukum Permendikbud RI No. 80 Tahun 2013 tentang Program
Menengah Universal (PMU). Program ini juga dijadikan strategi untuk menghadapi peningkatan
penduduk usia produktif (bonus demografi) serta penyiapan generasi emas Indonesia 2045.
Program Wajib Belajar 12 Tahun merupakan salah satu program prioritas nasional dengan tujuan
utama untuk mempercepat kenaikan Angka Partisipasi Kasar (APK) Sekolah Menengah yang saat
itu baru mencapai 78,7%. Namun, setelah hampir 9 tahun berjalan, sampai dengan tahun 2021
APK nasional pada jenjang SMA baru mencapai 85,23%.
Di tahun 2021, Rata-rata Lama Sekolah (RLS) nasional juga baru mencapai 8,54 (tidak lulus SMP),
padahal angka Harapan Lama Sekolah (HLS) seharusnya berada di angka 13,08 artinya peluang
menempuh pendidikan di Indonesia
sebenarnya bisa mencapai Diploma I (D1).
Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan
pendukung untuk pelaksanaan program
Wajib Belajar 12 Tahun masih belum tepat,
sehingga pemerintah pusat dan daerah
harus mengevaluasi kembali kebijakan-
kebijakan yang ada, sehingga ketercapaian
program dapat lebih optimal.
Angka Putus
Sekolah di Indonesia
Masih Cukup Tinggi
Merujuk Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin)
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbudristek), ada 38.116 siswa SD dan 15.042 siswa SMP
putus sekolah hingga akhir 2021. Di jenjang SMA dan sederajat,
tercatat 22.085 siswa putus sekolah pada periode yang sama.
Program Education Out Loud (EOL)
Kerjasama Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) dan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)
dengan dukungan penuh dari Global Partnership for Education (GPE)
“Meningkatkan akses bagi anak usia 6 (enam) tahun sampai dengan 21 (dua puluh satu) tahun untuk
mendapatkan layanan pendidikan sampai tamat satuan pendidikan menengah untuk mendukung
pelaksanaan pendidikan menengah universal/rintisan wajib belajar 12 (dua belas) tahun.”
Permendikbud RI Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Program Indonesia Pintar - Pasal 2 ayat (a)
tentang Tujuan PIP bagi Pendidikan Dasar dan Menengah
A. Latar Belakang
01. Penelitian Wajib Belajar 12 Tahun di Kota Surakarta – Program Education Out Loud (EOL)
2. “Data pertengahan Pebruari 2022, sebanyak 45.000 anak di Jawa Tengah (Jateng) tidak bisa
melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, atau putus sekolah. Pemicunya, tak lain karena
ketiadaan biaya untuk melanjutkan pendidikan. Anak di Jateng usia 16-18 tahun yang seharusnya
duduk di bangku SMA sederajat, ternyata 67,9% tidak sekolah. Pandemi yang terjadi dua tahun
terakhir berdampak juga pada peningkatan ancaman angka putus sekolah.” (Lestari Moerdijat,
Anggota Komisi X DPR RI Dapil II Jawa Tengah)
Di Provinsi Jawa Tengah, kasus putus sekolah paling banyak dialami anak usia SMA sederajat. Salah
satu faktor pemicunya adalah masalah ekonomi masyarakat sebagai akibat dampak pandemi
Covid-19. Apalagi di Jawa Tengah, lima daerah yang masuk dalam data wilayah dengan kemiskinan
ekstrem, sehingga banyak anak yang lebih memilih bekerja, merantau, atau pilihan lainnya seperti
pernikahan anak. Dari 19 (Sembilan belas) daerah di Indonesia yang masuk dalam prioritas
kemiskinan ekstrem, lima di antaranya berada di wilayah Jateng. Kelima daerah di Jateng yang
masuk kategori kemiskinan ekstrem itu yakni Kabupaten Kebumen, Brebes, Banjarnegara,
Pemalang, dan Banyumas.
Di Kota Surakarta, berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
(tahun 2020) menunjukkan 1.519 anak putus sekolah dan 472 anak sama sekali tidak pernah
mengenyam bangku sekolah. Meskipun berdasarkan data terbaru dari Dinas Pendidikan Kota
Surakarta tahun ini, jumlah anak yang putus sekolah di sudah berkurang jadi tinggal sekitar 1.000
anak saja, tapi data ini masih proses pembaruan sesuai dengan kondisi lapangan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, APK (Angka
Partisipasi Kasar) SMA sederajat di Kota Surakarta baru mencapai
81,43 saja, sedangkan SD (105,95) dan SMP (92,50) artinya selaras
dengan data sebelumnya, semakin ke tingkat atas angka partisipasi
pendidikannya semakin menurun. Sedangkan angka Rata-rata Lama
Sekolah (RLS) di Kota Surakarta baru mencapai 11,25 (laki-laki) dan
10,30 (perempuan) atau setara tidak lulus SMA, jadi masih ada juga
kesenjangan akses pendidikan antara laki-laki dan perempuan.
02. Penelitian Wajib Belajar 12 Tahun di Kota Surakarta – Program Education Out Loud (EOL)
B. Konteks Pendidikan di Jawa Tengah dan Kota Surakarta
3. Hasil temuan di lapangan, 4 faktor utama pemicu angka putus sekolah di Kota Surakarta adalah:
1. Infrastruktur. Kurangnya ketersediaan SMA negeri terutama di Kecamatan Pasar Kliwon dan
Laweyan sehingga banyak yang tak bersekolah karena terbatas oleh aturan zonasi.
2. Pernikahan Anak. Pernikahan anak di tahun 2021 sebanyak 120 anak, sedangkan di tahun 2022
(sampai bulan Oktober) lebih dari 50 anak sudah mengajukan pernikahan dini usia 14-18 tahun.
Beberapa faktor penyebabnya adalah kondisi ekonomi orang tua yang kekurangan, pergaulan
yang terlalu bebas, dan ketahanan keluarga yang lemah akibat broken home.
3. Kemiskinan. Berdasarkan data dari BPS Kota Surakarta, tahun 2020 angka kemiskinan di Kota
Surakarta sebesar 9,03%, sedangkan pada tahun 2021 naik menjadi 9,40%.
4. Mahalnya Biaya Sekolah Swasta. Mahalnya biaya pendidikan di sekolah swasta terutama di
tingkat SMA sederajat, membuat anak-anak dari keluarga miskin lebih memilih untuk bekerja
membantu perekonomian orang tuanya, ketika mereka tidak bisa masuk ke sekolah negeri.
Berbagai permasalahan di sektor pendidikan tersebut mendesak untuk segera ditangani, karena
akan sangat berpengaruh terhadap kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), rendahnya partisipasi
kerja (tingginya angka pengangguran) usia produktif, ketidakstabilitan ekonomi, serta dapat
memicu berbagai permasalahan sosial lainnya.
Penelitian Wajib Belajar 12 Tahun merupakan bagian dari program Education Out Loud (EOL) yang
dilaksanakan oleh JPPI (Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia) dengan dukungan dari Global
Partnership for Education (GPE), yang dilaksanakan selama periode 1 bulan (10 November s/d
10 Desember 2022) di empat wilayah, yaitu: DKI Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Kota Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di
empat wilayah tersebut. Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) sebagai salah satu anggota jaringan JPPI
ditunjuk menjadi penanggungjawab dalam pelaksanaan penelitian di Kota Surakarta. Pendekatan
yang digunakan adalah kualitatif, dengan menggunakan metode penggalian data sebagai berikut:
4 Faktor utama pemicu
Putus Sekolah
di Kota Surakarta:
1. Infrastruktur
2. Pernikahan Anak
3. Kemiskinan
4. Mahalnya Biaya
Sekolah Swasta
C. Tujuan, Pendekatan, dan Metode Penelitian yang Digunakan
03. Penelitian Wajib Belajar 12 Tahun di Kota Surakarta – Program Education Out Loud (EOL)
Pemetaan
Stakeholder
Pemetaan stakeholder
dilakukan untuk mengetahui
peran dan pengaruh para
pihak dalam pelaksanaan
Wajar 12 tahun
FGD Multipihak
FGD sebagai proses
pendalaman dan triangulasi
dari temuan studi dokumen
dan Pemetaan Stakeholder
Wawancara
Mendalam
Wawancara mendalam
sebagai proses pendalaman
dan triangulasi dari hasil FGD
Studi Dokumen
Penggalian data awal dari
berbagai sumber (BPS, Media,
Hasil Penelitian, Pusdatin
Kemendikbudristek, dll)
25 Peserta perwakilan dari: Disdik,
DPRD, NGO, Media, DPKS, MPPS,
Universitas (UNS, UMS, UNISRI), BEM
Wawancara mendalam secara offline
kepada: Disdikbud dan DPRD Jateng
19 responden yang mengisi form
pemetaan dan pengaruh para pihak
4. Kesimpulan Rekomendasi
1. Kendala yang dihadapi dalam implementasi Wajib Belajar 12
Tahun di Kota Surakarta adalah kurangnya SMA negeri sederajat
di 2 (dua) kecamatan, masih tingginya angka kemiskinan dan
pernikahan anak, serta mahalnya biaya SMA swasta sederajat,
sehingga memicu tingginya angka putus sekolah (lebih dari 1.000
anak -berdasarkan data sementara Dinas Pendidikan Kota
Surakarta- yang masih dalam proses pendataan di lapangan),
serta kesenjangan akses pendidikan antara anak laki-laki dan
perempuan, terutama di jenjang SMA sederajat.
2. Peran para pihak yang paling paling berpengaruh dalam
mendukung implementasi Wajib Belajar 12 Tahun di Kota
Surakarta (Kemendikbudristek, Dinas Pendidikan Provinsi-Kota,
DPR RI, DPRD Provinsi-Kota, Lembaga Pendidikan Negeri-Swasta,
Kepala Sekolah, Guru, OMS/LSM, dan Komite Sekolah) masih
belum optimal, baik dari sisi kebijakan maupun dalam
penyelanggaraan pendidikan dan implementasi Wajib Belajar.
3. Peran dan pengawasan para pihak berkepentingan dalam
implementasi Wajib Belajar 12 Tahun di Kota Surakarta (Anak Usia
Sekolah/OSIS, Orang Tua, Masyarakat, dan Kelompok Marjinal-
Minoritas seperti: Warga Miskin, Disabilitas, Perempuan, ODHA,
Korban Kekerasan, dan kelompok marjinal lainnya) masih lemah.
1. Para pihak yang paling bertanggungjawab dan memiliki
pengaruh kuat dalam implementasi Wajib Belajar 12 Tahun harus
memberikan perhatian serius dalam implementasi Wajib Belajar
12 Tahun dengan dukungan kebijakan dan penambahan alokasi
anggaran, baik di tingkat pusat atau daerah (provinsi-kota), serta
peningkatan kualitas layanan pendidikan di seluruh jenjang,
terutama SMA sederajat.
2. OMS/LSM, Komite Sekolah, Paguyuban Orang Tua Murid, dan
Masyarakat Umum harus berperan aktif dalam melakukan
pengawasan (control) secara sistematis dan berkesinambungan
terhadap para pengambil kebijakan dan penyelenggara
pendidikan, untuk memastikan implementasi Wajib Belajar 12
Tahun bisa terlaksana secara optimal, serta untuk memastikan
tidak adanya diskriminasi akses pendidikan bagi kelompok-
kelompok marjinal-minoritas (no one left behind).
3. Pengawasan dan pengawalan terhadap program-program yang
sudah direncanakan, seperti: Pembangunan SMAN di Kecamatan
Pasar Kliwon, Bebas Pungli di sekolah negeri, Penghitungan ulang
unit cost BPMKS (Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota
Surakarta), Perencanaan pendidikan berbasis data terpadu, dan
Implementasi Merdeka Belajar.
D. Kesimpulan dan Rekomendasi
04. Penelitian Wajib Belajar 12 Tahun di Kota Surakarta – Program Education Out Loud (EOL)
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) merupakan koalisi
beberapa lembaga masyarakat sipil (CSO) yang memiliki concern untuk
memperkuat akses dan kualitas pendidikan terhadap seluruh warga
negara Indonesia. Koalisi ini telah berdiri sejak tahun 2010 dengan nama
Civil Society Organization Initiative for Education for All (CSOiEFA),
berganti nama menjadi Network for Education Watch Indonesia (NEW
Indonesia) atau Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) pada
tanggal 2 November 2012. JPPI ini mempunyai beberapa anggota koalisi,
yaitu: PGRI, YSKK, PEKKA, PP Muslimat NU, LP3ES, YAPARI, P3M, ACE,
Asppuk, BKKPPSI, BSK, Fisip UMJ, Lakpesdam, PPSW, JARI, YBS, YIS, Aulia,
Darush Sholihin, Paramuda, IHF, IHCS, LPM UNUSIA, Praxsis, dan Koloni.
JPPI merupakan anggota dari jaringan koalisi pendidikan di level regional
dan global, yakni: The Asia South Pacific Association for Basic and Adult
Education (ASPBAE) dan juga Global Campaign for Education (GCE).
Kantor Sekretariat : Jl. KH. Ramli Selatan 27 Menteng, Dalam, Tebet, Jakarta Selatan 12870
Telp/Fax : +62-21-28543205 / +62-821-1416-1251; Email: newindonesia12@gmail.com
Website: https://new-indonesia.org; IG: @sahabatjppi; FB: Seknas JPPI; Twitter: @SeknasJppi
Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) merupakan organisasi masyarakat sipil
(OMS/LSM) yang lahir pada tanggal 12 Mei 2001 di Surakarta, JawaTengah
dan menjadi bagian dari pembangunan bangsa yang kritis dan solutif,
dengan bekerja ‘untuk dan bersama’ masyarakat terpinggirkan, khususnya
perempuan dan anak. Sampai tahun 2022, cakupan wilayah dan sasaran
program YSKK berada di 7 provinsi; 21 kab/kota; 90 desa; 394 sekolah; 61
koperasi perempuan. YSKK telah berpengalaman (lebih dari 21 tahun)
bekerja dengan berbagai donor, nasional maupun internasional, di
antaranya: GFW, Japan Embassy, NZAid, TIFA Foundation, World Bank,
GFC, AusAID, TdH Netherlands, USAID, Exxon Mobile Tbk., PT. JAPFA
Comfeed Tbk., HiVOS, EU, AKH Germany, ChildFund International,
Kemendikbudristek, dlsb. Selain itu, sampai saat ini YSKK juga sudah
melayani jasa konsultasi lebih dari 76 jenis dan 37 topik pelatihan; 14
penelitian; 2.749 alumni pelatihan; 52 institusi pengguna di 19 provinsi.
Kantor Sekretariat : Singopuran RT.04 RW.II, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah 57164
Telp/Fax : +62-271-784928; Email: office@yskk.org; Website: https://www.yskk.org
IG/FB: @yskksolo; YouTube/FP: Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK); Twitter: YSKK_solo