Hasil Penelitian Wajib Belajar 12 Tahun di Kota Surakarta (Tahun 2022)
Urutan ke 31 mutu pendidikan aceh diukur dari hasil umnptn
1. 1
HASIL SNMPTN MUTU PENDIDIKAN ACEH
DI URUTAN 31 NASIONAL
(Refleksi Hari Pendidikan Aceh 2 September 2011)
Dr. Sofyan A. Gani, M.A*
Sampai saat ini Aceh belum mampu meletakkan
mutu pendidikan tingkat SMA/MA pada urutan
sepuluh besar nasional melainkan masih terpuruk
diurutan ke-4 dari bawah. Anggaran trilyunan
rupiah untuk sektor pendidikan nampaknya tidak
berkorelasi dengan mutu yang dihasilkan. Tulisan
ini sebagai refleksi 52 tahun Pendidikan Aceh.
Kita tentu sedih dan kecewa apabila membaca laporan DIKTI terhadap
kemampuan siswa kita dalam menghadapi ujian masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SNMPTN). Aceh berada diurutan ke 31 dengan nilai rata-
rata IPA 44.86 dan IPS 43. 19 sedangkan Papua jauh lebih baik, yaitu
berada pada peringkat 26.
Dari nilai tersebut kita bertanya apa makna lulus Ujian Nasional (UN)
90 sd 100 persen dan nilai rata-rata dihampir semua sekolah mencapai
7 sd 9. Tidakkah nilai tersebut semu adanya setelah diukur dengan
test SNMPTN? Tidak salah kalau banyak pihak meragukan nilai UN
melainkan telah terjadi kecurangan yang luar biasa. Entah kapan kita
akan keluar dari kebohongan ini dengan tidak lagi bersembunyi dibalik
nilai UN yang fantastis.
Keberhasilan pendidikan jangan diukur pada satu dua anak yang tampil
secara nasional atau internasional atau ada satu dua sekolah yang
menjadi idola, tetapi lihatlah ribuan siswa yang kandas karena tidak
mampu berkompetisi dan mengembangkan potensi serta bakat mereka
karena tidak mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Kekecewaan terhadap hasil SNMPTN bagi banyak orang tentu beralasan
karena dana yang diperuntukkan untuk mengurus pendidikan Aceh
2. 2
setiap tahun mencapai triyunan rupiah. Tulisan ini mencoba menganisa
beberapa penyebab dan sekaligus menawarkan jalan keluar.
Pendidikan Yang Salah Urus
Pendidikan yang diurus oleh mereka yang tidak berkompeten baik
ditingkat propinsi maupun kabupaten/kota menyebabkan pendidikan
hanya terpikir membangun gedung, buat pagar, rehap ruang,
pengadaan barang, perjalan dinas, dan mutasi guru. Seharusnya,
yang perlu dikedepankan adalah program dan langkah strategis
peningkatkan mutu seperti pelatihan dan pemerataan guru,
peningkatan kapasitas pengawas, pemberdayaan Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS), dan pembinaan karakter siswa yang islami.
Ketidak mampuan manajemen juga berimbas pada kebijakan yang
tidak pro sekolah. Dana yang seharusnya diperuntukkan 20 persen
untuk pendidikan hanya tiga atau dua persen saja untuk urusan belajar
mengajar selebihnya terbagi habis untuk gaji guru. Artinya, dana
pendidikan 20 persen hanya sebatas simbul. Lemahnya manajemen
juga mengakibatkan bertumpuknya guru pada satu sekolah dan tidak
adanya tenaga pengajar di dearah terpencil.
Manajemen yang lemah ditingkat sekolah/madrasah menyebabkan
pendidikan berjalan tanpa arah sementara proses belajar mengajar
hanya sebatas rutinitas. Guru tidak disiplin, siswa tidak terurus, dan
lingkungan sekolah tidak kondusif ditambah partisipasi orang tua dan
masyarakat sekitar yang sangat rendah.
Sekolah Berdasarkan SPM dan SNP
Banyak sekolah/masrasah di Aceh tumbuh dan berkembang apa
adanya dengan minim fisilitas pembelajaran dan sangat kurang guru
spesialisasi. Dengan demikian, tidak mengherankan kalau mutu yang
dihasilkan juga apa adanya. Seharusnya setiap sekolah di Aceh
melaksanakan SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan Standar Nasional
Pendidikan (SNP) seperti diatur oleh pemerintah.
SPM dan SNP seharusnya tidak hanya untuk Banda Aceh melainkan
semua sekolah yang ada dipelosok nanggroe; sudahkan semua siswa
SMA/MA memiliki buku lengkap setiap mata pelajaran? Tersediakan
90 persen guru yang dibutuhkan terpenuhi dan sesuai dengan
kompetensi yang dibutuhkan, dan sudahkah 90 persen sekolah
memiliki sarana dan prasaran belajar minimal dengan standar tehnis
3. 3
secara nasional seperti ada ruang lab fisika, biologi, kimia, komputer,
dan tempat ibadah?
LPTK yang Tidak Bertanggungjawab
Komponen tenaga pengajar (guru) memberi sumbangan sangat besar
terhadap tinggi rendahnya mutu pendidikan. Guru yang berkualitas
tidak mungkin dihasilkan oleh LPTK yang belajar Sabtu-Minggu
dipelosok desa tanpa buku, silabus, dan dosen yang jelas. Masalahnya
ribuan guru telah dihasilkan dan mereka telah tersebar diseluruh
pelosok Aceh sehingga menjadi mimpi buruk dalam usaha peningkatan
mutu pendidikan.
Seharusnya setiap LPTK bukan hanya mengejar fulus dengan
menggelar kelas jauh sampai kepelosok negeri dan mangabaikan
tanggung jawab akademis. Seharusnya mereka juga mengambil bagian
dan tanggung jawab dalam meningkatkan pendidikan Aceh, bukan
sebaliknya bahkan merusak. Sebagai contoh, sangat berani LPTK
menerima mahasiswa untuk bidang tertentu walau dosen yang
mengajar tidak jelas darimana. Untuk itu, sudah saatnya pemerintah
Aceh memikirkan mekanisme penjaminan mutu perhadap LPTK-LPTK
ini.
Lemahnya Koordinasi Pendidikan
Pembangunan pendidikan tidak dapat berjalan sendiri-sendiri
melainkan adanya singkronisasi dengan berbagai elemen/badan yang
mengurus dan melaksanakan pendidikan. Jika tidak, kebijakan yang
dibuat ditingkat propinsi hanya menjadi dokumen ditingkat
kabupaten/kota. Selanjutnya, tanpa koordinasi perencanaan
pendidikan yang dibuat di satu institusi tidak pernah bersandar pada
grant strategy pendidikan yang lebih luas.
Sebagus apapun perencanaan pendidikan ditingkat propinsi akan
menjadi kurang bermakna tanpa didukung oleh kabupaten/kota karena
mereka yang punya sekolah. Gubernur boleh saja mengeluarkan
Pergup, Ingub, dan berbagai produk hukum lainnya akan menjadi
mentah tanpa dukungan bupati/walikota. Qanun Pendidikan Aceh no 5.
Tahun 2008 dan Renstra Pendidikan Aceh 2007-2012, sebagai contoh,
dapat dihitung berapa kabupaten/kota yang mempedomaninya dalam
menata pendidikan didaerah mereka.
Kehadirian TK-PPA (Tim Koordinasi Pembangunan Pendidikan Aceh)
yang diketuai oleh Asisten 2 Gubernur Aceh dan aktifnya peran MPD
4. 4
(Majelis Pendidikan Aceh) kita berharap mampu menjembatani
permasalahan pendidikan Aceh sekaligus memunculkan ide-ide
cemerlang untuk mengejar ketinggalan mutu pendidikan di daerah ini
termasuk menggagas model pendidikan yang berbasis Islami.
Akhrinya, diperlukan niat yang ikhlas, pikiran bersih dan langkah yang
berani dalam mengejar ketinggalan pendidikan Aceh. Mengurus
pendidikan tidak lagi sebatas wacana, seminar, dan rapat melainkan
perlu aksi nyata yang dituangkan dalam perencanaan dan anggaran
yang jelas. Jika tidak, umur 52 tahun Pendidikan Aceh hanya sebatas
slogan tanpa makna karena mutu tetap diurutan 31.
Penulis dosen FKIP Universitas Syiah
Kuala, Banda Aceh