PREMIUM!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Bahan Pintu Aluminium Kamar Mandi di ...
REFORMASI MANAJEMEN KEUANGAN
1. i
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
Kampus Bumi Tridharma Anduonohu, Kendari, 9322
Telp. (0401)3193383, email: manajemen@unhalu.ac.id atau manajemenunhalu@yahoo.co.id
RANCANGAN TUGAS MAHASISWA 03
1. Identitas
1. Mata Kuliah : Manajemen Keuangan Daerah
2. Kode Mata Kuliah : SMB67063
3. SKS : 3
4. Semester : VII
5. Waktu Pertemuan : 07:30-10:00
6. Pertemuan ke : 3
7. Pokok Bahasan : Reformasi Manajemen Keuangan
Daerah
2 Deskripsi Tugas
1. Tujuan
1. Meningkatkan pemahaman tentang Reformasi Manajemen Keuangan
daearah
2. Meningkatkan Keterampilan dalam menyelesaikan masalah
2. Obyek Garapan (Pokok Bahasan) :
2.1 Membuat Ringkasan Materi Kuliah
1. Perubahan Sistem Angaran
2. Perubahan Kelembagaan Pengelolaan Keu Daerah
3. Perubahan Sistem Anggaran Keuangan Daerah
4. Perubahan Basis Pencatatan Akuntansi
5. Perubahan Basis Kas Menuju Akrual
2.2 Menjawab Pertanyaan
3. Tindakan yang harus dilakukan :
1. Identifikasi Tujuan Pembelajaran
2. Identifikasi obyek Garapan/pokok bahasan
3. Cari buku yang membahas obyek garapan
4. Baca dengan seksama setiap pokok bahasan
5. Buat catatan ide-ide penulis dari setiap pokok bahasan
6. Buat review
4. Metode pengerjaan :
1. Berdasarkan sifat tugas, tugas ini bersifat mandiri
2. Berdasarkan capian tugas bersifat Problem solving
5. Acuan yang digunakan :
A. Buku reference
B. Publikasi Ilmiah
6. Bentuk Luaran : Dokumen
2. ii
3. Waktu : 7 hari sejak di tugaskan
Ditugaskan tgl. : 31 Oktober 2020
Di kumpul tgl : 4 November 2020
4. Kriteria Penilaian:
1 Kelengkapan
2 Kejelasan
3 Ketepatan
4 Kebahasaan
5 Kedalaman
1. Kelengkapan: Lengkap artinya semua tujuan pembelajaran yang dirumuskan
dalam RPS tercantum dalam ringkasan
2. Kejelasan: Uraian yang diungkapkan tidak memiliki makna ganda
3. Ketepatan: Uraian sesuai dengan reference yang di gunakan
4. Kebahasaan: Tata bahasa sesuai kaidah
5. Kedalaman : Uraian mencakup aspek substansi
3. iii
RANCANGAN TUGAS MAHASISWA
Pertemuan 3
Ringkasan Pokok Bahasan
Jawaban Pertanyaan
REFORMASI MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH
OLEH
ADE RAHAYU NATALIA
NIM B1B117005
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
4. iv
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................. ii
RINGKASAN MATERI KULIAH............................................................................... 1
1. Perubahan Sistem Anggaran...................................................................... 1
2. Perubahan Kelembagaan Pengelolaan Keuangan Daerah ......................... 1
3. Perubahan SA Keuangan Daerah .............................................................. 2
4. Perubahan Basis Pencatatan Akuntansi..................................................... 2
5. Perubahan Dari Basis Kas Menuju Akural................................................ 3
5. v
Reformasi Manajemen Keuangan Daerah
1. Perkembangan Reformasi Manajemen Keuangan Daerah
Reformasi manajemen keuangan daerah merupakan suatu gerakan reformasi yang
digelorakan pada tahun 1998 setelah Indonesia mengalami krisis multidimensi. Tonggak sejarah
reformasi manajemen keuangan daerah ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal yang dimuiai 1 Januari 2001. Tuiuan pelaksanaan otonomi daerah tersebut
secara umum adalah untuk meningkatkan kemandirian daerah, memperbaiki transparansi dan
akuntabilitas publik atas pengelolaan keuangan daerah, meningkatkan responsivitas pemerintah
terhadap kebutuhan publik, meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan daerah,
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan dan pelayanan publik, serta
mendorong demokratisasi daerah.
Reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu :
1) Era pra-otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (1914-1999),
2) Era transisi otonomi (2000-2003), dan
3) Era pascatransisi (2004-sekarang). Era pra-otonomi daerah merupakan pelaksanaan
otonomi ala Orde Baru berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 yang bersifat sentralistis, top
down planning dan budgeting, penggunaan anggaran tradisional, rezim anggaran
berimbang (balance budget), sistem pembukuan tunggal (single entry) dan akuntansi basis
kas (cash basis).
Selama masa pra-otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut praktis belum ada
sistem akuntansi keuangan daerah yang baik, yang ada baru sebatas tata buku. Pengelolaan
keuangan daerah mendasarkan pada buku Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA)
tahun 1981 yang pada esensinya belum merupakan sistem akuntansi, tetapi sekadar penatausahaan
keuangan atau tata buku.
Era otonomi semu ini berlangsung selama 25 tahun sampai dengan pelaksanaan otonomi
luas dan nyata berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang bersifat
desentralisasi, bottom up (participative) planning & budgeting, penggunaan anggaran berbasis
kinerja, sistem pembukuan berpasangan (double entry bookkeeping), dan akuntansi basis kas
modilikasian (modifiedcash basis). Reformasi manajemen keuangan daerah mulai dilaksanakan
setelah diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Sebagai upaya
konkret, pemerintah mengeluarkan PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan PP No. 108 Tahun 2000 tentang Pertanggungjawaban
Kepala Daerah dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Sementara itu dikeluarkan pula petunjuk
teknis dan petunjuk pelaksanaan PP No. 105 Tahun 2000, serta untuk secara bertahap mengganti
model tata buku sebagaimana dalam Manual Administrasi Keuangan Daerah menjadi sistem
akuntansi, pemerintah mengeluarkan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Kepmendagri No. 29
Tahun 2002 tersebut menandai era transisi otonomi menuju sistem yang lebih ideal.
Era transisi otonomi adalah masa antara tahun 2000 hingga 2003 yang merupakan masa
awal implementasi otonomi daerah. Masa transisi otonomi ini ditandai dengan masih belum
mantapnya perangkat hukum, kelembagaan, infiastruktur, dan sumber daya manusia (SDM) daerah
dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah. Dalam masa transisi ini masih sering terjadi uji coba
sistem baru, belum mantapnya sistem sehingga sering terjadi revisi peraturan perundangan di
6. vi
bidang pengelolaan keuangan negara/daetah. Peraturan perundangan yang menonjol dalam era ini
adalah kependagri No. 29 Tahun m2002.
Era pascatransisi adalah masa setelah diberlakukannya paket peraturan perundangan yang
merupakan suatu peraturan menyeluruh dan komprehensif (omnibus regulations) mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, pengauditan, dan evaluasi kinerja atas pengelolaan keuangan
daerah. Paket peraturan perundangan yang merupakan omnibus regulations itu antara lain :
1) UU No. l7 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menggantlkan Indische
Comptabiliteit.swer (ICW) warisan Pemerintah Hindia Belanda
2) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
3) UU No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara
4) UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
5) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (merupakan revisi UU No. 22 Tahun
1999)
6) UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah (revisi UU No. 25 Tahun 1999)
7) PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi pemerinrah
8) PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
9) PP No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah
10) PP No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD)
Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepada DPRD,
dan Infbrmasi LPPD Kepada Masyarakat
11) Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
12) Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Permendagri No. 13 Tahun
2006
2. Aspek Utama Reformasi Manajemen Keuangan Daerah
Aspek utama reformasi manajemen keuangan daerah meliputi :
1. Perubahan sistem anggaran dari sistem anggaran tradisional menjadi sistem anggaran
berbasis prestasi kerja;
2. Perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dari sistem sentralisasi pada
bagian keuangan sekretariat daerah menjadi sistem desentralisasi ke masing-masing
satuan kerja;
3. Perubahan sistem akuntansi dari sistem tata buku tunggal (single entry bookkeeping)
menjadi sistem tata buku berpasangan (double entrt' bookkeeping);
4. Perubahan basis akuntansi dari basis kas (caslz basls) menjadi basis akrual (accrual
basis).
2.1 Perubahan Sistem Anggaran
Perubahan proses penganggaran merupakan perubahan proses penyusunan anggaran
yang bersifat sentralistis dan top down, yang diubah menjadi sistem anggaran partisipatif (bottom
up/participative budget). Jika sebelumnya program pembangunan lebih banyak ditentukan oleh
pemerintah pusat melalui Bappenas, dengan otonomi luas dan nyata, pemerintah daerah diberi
kewenangan penuh untuk menentukan program pembangunan sesuai dengan kebutuhan daerah.
Jika sebelumnya APBD harus disahkan oleh presiden melalui menteri dalam negeri. maka dengan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal APBD cukup disahkan oleh DPRD.
7. vii
Perubahan sistem anggaran tidak saja menyangkut proses penganggarannya. tetapi
struktur anggaran. Struktur anggaran diubah dari struktur anggaran tradisional dengan pendekatan
anggaran berimbang menjadi struktur anggaran baru dengan pendekatan penganggaran berbasis
kinerja (performance based budgeting). Pada anggaran tradisional, kinerja anggaran diukur dari
sisi inputnya, yakni dilihat dari kemampuannya dalam penyerapan anggaran. Jika satuan kerja dan
pemerintah daerah secara keseluruhan dapat menyerap anggaran, maka hal itu dinilai berhasil.
Sebaliknya apabila anggaran tidak terserap seluruhnya sehingga menimbulkan sisa anggaran maka
hal itu dinilai kurang berhasil. Anggaran yang tidak terserap (sisa anggaran) harus dikembalikan
lagi ke rekening kas negara dan sebagai konsekuensinya anggaran satuan kerja tersebut untuk
tahun berikutnya terancam tidak akan ditambah bahkan bisa dikurangi. Sedangkan Penganggaran
berbasis kinerja merupakan pendekatan penganggaran yang menekankan pencapaian hasil
(outcome) dari program dan kegiatan yang dibiayai dengan APBD dikaitkan dengan target kinerja
terukur.
2.2 Perubahan Kelembagaan Pengelolaan Keuangan Daerah
Perubahan sistem penganggaran berupa penggunaan anggaran berbasis kinerja yang
berimplikasi pada perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah. Penataan ulang
kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dilakukan untuk mendukung tercapainya tujuan
desentralisasi fiskal. Beberapa perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah tersebut
antara lain:
a. Perubahan pengelolaan keuangan di pemerintah daerah dari sistem sentralisasi pada
Bagian Keuangan Sekretariat Daerah menjadi sistem desentralisasi ke masing-masing
satuan kerja. Konsekuensinya setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah harus
menyelenggarakan akuntansi clan menyusun Iaporan keuangan satuan kerja bersangkutan
yaitu berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan Atas Laporan Keuan-ean.
Bagian Keuangan (BPKD) selanjutnya bertugas mengkonsolidasikan iaporan keuangan
seluruh satuan kerja yang ada menjadi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.
b. Pejabat yang terkail dengan pengeloiaan keuangan daerah meliputi :
1. Kepala Daerah selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah
2. Sekretariat Daerah selaku Kuasa Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan
Daerah sekaligus merupakan Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah
3. Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (Biro/Bagian Keuangan) selaku Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) sekaligus merupakan Bendahara Umum Daerah
(BUD)
4. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
5. Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang
6. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (PPK-SKPD)
7. Bendahara Penerimaan/Pengeluaran SKPD
8. Bendahara Penerimaan/Pengeluaran Pembantu
9. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
c. Digabungkannya fungsi pemungutan pendapatan daerah yang dilakukan oleh Dinas
Pendapatan Daerah dengan fungsi pengendalian belanja yang dilakukan oleh Biro/Bagian
Keuangan dalam satu lembaga, yaitu Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD).
Peleburan fungsi penerimaan dan pengeluaran dalam satu atap tersebut dimaksudkan agar
perencanaan dan pengendalian keuangan daerah menjadi lebih mudah dilakukan,
komprehensif, dan tidak terfragmentasi.
8. viii
2.3 Perubahan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik dalam rangka mendukung
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, maka diperlukan reformasi akuntansi sektor
publik di Indonesia. reformasi akuntansi tersebut harus berdasarkan aspek standar akuntansi
pemerintahan dan perubahan sistem akuntansi, yaitu perubahan dari single entry menjadi double
entry.
Single entry pada awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan di pemerintahan karena.
single entry cukup mudah dan praktis. Seiring dengan semakin tingginya tuntutan sehingga
diciptakannya good governance yang mensyaratkan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan keuangan publik, perubahan dari sistem single entry menjadi double entry dipandang
sebagai solusi yang mendesak untuk diterapkan. Hal ini disebabkan penggunaan single entry tidak
dapat memberikan informasi yang komprehensif dan mencerminkan kinerja yang sesungguhnya.
Pengaplikasian pencatatan transaksi dengan sistem double entry ditujukan untuk
menghasilkan laporan keuangan yang lebih mudah untuk dilakukan audit (auditable) dan
pelacakan (traceable) antara bukti transaksi, catatan, dan keberadaan kekayaan, utang, dan ekuitas
organisasi. Kedua hal ini merupakan faktor utama untuk menghasilkan informasi keuangan yang
dapat dipertanggung jawabkan kepada publik. Dengan sistem double entry, maka pengukuran
kinerja dapat dilakukan secara lebih komprehensif.
2.4 Perubahan Basis Pencatatan Akuntansi
Perubahan dari single entry menuju double entry akan lebih cepat memberikan pengaruh
terhadap penguatan akuntabilitas publik apabila diikuti dengan perubahan basis pencatatan
transaksi akuntansi. Selama ini, basis pencatatan akuntansi yang digunakan pada hampir semua
lembaga pemerintahan di Indonesia adalah basis kas (cash basis). Basis kas dinilai mengandung
banyak kelemahan. Memang setiap basis akuntansi yang digunakan, entah basis kas, basis kas
modifikasian, akrual modifikasian maupun basis akrual masing-masing memiliki keunggulan dan
kelemahan. Keunggulan cash basis adalah dapat mencerminkan pengeluaran yang aktual, riil dan
objektif. Namun, cash basis memiliki kelemahan yang mendasar, yaitu tidak dapat mencerminkan
kinerja yang sesungguhnya karena dengan cash basis tidak dapat diukur tingkat efisiensi da-r
efektivitas suatu kegiatan, program, atau aktivitas dengan baik. Perubahan teknik akuntansi dari
basis kas menjadi akrual bertujuan agar pemerintah daerah dapat menghasilkan laporan keuangan
yang lebih dapat dipercaya, akurat, komprehensif, dan relevan untuk pengambilan keputusan
ekonomi. sosial. dan politik.
2.5 Perubahan Dari Basis Kas Menuju Akural
Basis akuntansi merupakan dasar akuntansi yang menetapkan kapan transaksi-transaksi
yang berpengaruh terhadap keuangan organisasi harus diakui atau dibukukan untuk tujuan
pelaporan keuangan. Pada dasarnya terdapat beberapa basis pencatatan akuntansi yang bisa dipilih
oleh pemerintah daerah, antara lain :
1. Akuntansi basis kas (cash basis)
2. Akuntansi basis kas modifikasian (modified cash basis)
3. Akuntansi basis akrual modifikasian (modified accruttl basis)
9. ix
4. Akuntansi basis akrual (accrual basis)
Keempat pendekatan tersebut pada dasarnya bersifat continum dari basis kas sampai basis
akrual. Perbedaan keempat basis akuntansi tersebut berkaitan dengan penetapan waktu pengakuan
dan pengukuran suatu transaksi (timing of recognition). Basis kas mengakui dan mencatat
transaksi pada saat kas diterima atau dikeluarkan. Pencatatan akuntansi basis kas tidak mencatat
utang, piutang, dan aktiva secara komprehensif. Terkait dengan penggunaan anggaran, akuntansi
basis kas digunakan untuk menunjukkan ketaatan pada anggaran belanja (spending limits). Namun
demikian, basis kas memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan mendasarnya adalah basis kas
menghasilkan laporan keuangan yang kurang komprehensif untuk pengambilan keputusan serta
tidak dapat menggambarkan kinerja organisasi secara lebih baik. Basis kas tidak mampu
memberikan informasi aset, utang-piutang, dan ekuitas secara komprehensif.
Basis akrual mengakui transaksi keuangan pada saat terjadinya, yaitu ketika sudah
menjadi hak atau kewajibannya meskipun belum diterima atau dikeluarkan kasnya. Dengan basis
akrual, organisasi akan mengakui adanya utang, piutang, dan asset. Pengaplikasian basis akrual
dalam akuntansi sektor publik bermanfaat untuk menentukan cost of service dan charging yaitu
untuk mengetahui besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan pelayanan publik serta
menentukan harga pelayanan yang dibebankan kepada publik. Basis akrual pada organisasi sector
publik dimaksudkan untuk mengungkapkan informasi mengenai biaya operasi dan biaya
pemulihan (cost recovery) atas penyediaan suatu pelayanan dan sejauh mana biaya pelayanan
tersebut dapat ditutup oleh pendapatan dalam periode tertentu.
PERTANYAAN :
1. Jelaskan perbedaan anggaran tradisional dengan anggaran berbasis kinerja.
Jawab :
Pada anggaran tradisional, kinerja anggaran diukur dari sisi inputnya,
yakni dilihat dari kemampuannya dalam penyerapan anggaran. Jika satuan
kerja dan pemerintah daerah secara keseluruhan dapat menyerap anggaran,
maka hal itu dinilai berhasil. Sebaliknya apabila anggaran tidak terserap
seluruhnya sehingga menimbulkan sisa anggaran maka hal itu dinilai
kurang berhasil. Anggaran yang tidak terserap (sisa anggaran) harus
dikembalikan lagi ke rekening kas negara dan sebagai konsekuensinya
anggaran satuan kerja tersebut untuk tahun berikutnya terancam tidak akan
ditambah bahkan bisa dikurangi. Sedangkan Penganggaran berbasis
kinerja merupakan pendekatan penganggaran yang menekankan
pencapaian hasil (outcome) dari program dan kegiatan yang dibiayai
dengan APBD dikaitkan dengan target kinerja terukur.
2. Bandingkan kelebihan dan kelemahan sistem manajemen keuangan daerah
sebelum dan sesudah otonomi daerah.
Jawab :
10. x
3. Berikan pendapatAnda tentang dampak dilakukan perubahan peraturan
perundangan yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah terhadap
Pemerintah Daerah.
4. Diskusikan mengapa double entry accounting dan accrual basis menjadi
salah satu agenda utama reformasi keuangan daerah. Apa saja syarat yang
harus dipenuhi agar proses menuju basis akrual berhasil diterapkan pada
pemerintah daerah di Indonesia.
5. Berikan evaluasi Anda tentang reformasi kelembagaan pengelolaan
keuangan daerah yang dilakukan pemerintah daerah. Apa saja yang
menjadi kendala dan permasalahan dalam reformasi kelembagaan
pengelolaan keuangan daerah tersebut.