1.
M
enteri Perdagangan
Rachmat Gobel
merencanakan
ekspor indone-
sia meningkat
tiga kali lipat
dalam lima tahun ke depan. Suatu
target mulia yang amat dibutuhkan
Indonesia setelah ekspor Indonesia
dalam beberapa tahun terakhir meng-
alami keterpurukan.
Tentunya yang dimaksudkan
Menteri Rachmat adalah kenaikan
ekspor dengan peran sektor industri
manufaktur yang tinggi. Memang
dalam kurun 10 tahun terakhir,
kontribusi sektor industri peng-
olahan dan perdagangan (termasuk
ekspor) dalam produk domestik
bruto (PDB) ternyata menurun, dan
tren impor meningkat lebih cepat
dibanding ekspor sehingga terjadi
defisit perdagangan di beberapa
tahun terakhir.
Pada 15 April 2015, Presiden
Jokowi telah mengumpulkan para
pengusaha dan menurut beritanya
telah meminta masukan tentang
bagaimana caranya meningkat-
kan ekspor. Laporan BPS terakhir
menyatakan triwulan pertama 2015
menunjukkan surplus perdagangan
luar negeri, tapi itu adalah karena
terjadi penurunan ekspor yang lebih
besar dibanding penurunan impor.
Meningkatkan ekspor bukan peker-
jaan mudah karena pasar ekspor itu
dipenuhi oleh industri industri pema-
sok yang sangat efisien. Di atas itu
kalau kita ingin meningkatkan eks-
por tiga kali lipat atau 400% dalam
lima tahun maka diperlukan strategi
‘canggih’ untuk mencapainya.
Pertama dan terpenting, kita
harus memiliki produk yang dimin-
ta pasar dalam jumlah besar dan
terus meningkat. Kedua, produk
yang kita hasilkan harus memenuhi
standar pasar tujuan. Dan ketiga,
harga produk ekspor kita harus
bersaing.
Daya saing industri ekspor
Indonesia dewasa ini masih jauh
dari negara tetangga Asean kita.
Daya saing Indonesia hanya
menempati urutan ke-34, di bawah
Malaysia dan Thailand yang
menempati urutan ke-20 dan ke-31
(Global Competitiveness Index,
2014). Pangsa pasar Indonesia
di pasar global tahun 2013 baru
mencapai 1%, di bawah Malaysia
dan Thaoland yang memiliki
pangsa 1,3% (Trademap, 2014).
Produktifitas Indonesia 2010
adalah US$9.000 ribu per pekerja,
di bawah Malaysia (US$35.000),
Thailand (USD15.300), dan Filipina
(US$9.400) (Asian Productivity
Organization, 2010). Logistic
Performance Index Indonesia 2014
menempati urutan ke-53, di bawah
Malaysia (25), Thailand (35), dan
Vietnam (48) (World Bank, 2014).
Jadi kalau bicara meningkatkan
penjualan atau ekspor dalam hal ini,
kuncinya tentu adalah adanya barang
yang dinginkan pasar. Setiap produk
pasti punya pasar tetapi kalau kita
berharap ada peningkatan besar ter-
hadap pendapatan dari ekspor maka
tentu yang harus jadi sasaran adalah
produk ekspor yang ‘permintaannya
tinggi dan stabil.’
Sekitar 72% dari
total nilai impor
dunia pada 2013
didominasi oleh 15
kelompok produk,
lima di antaranya
impor dunianya
meningkat
pesat dengan
tren di atas
10% antara
2009–2013.
Indonesia
memasok tujuh di
antara 15 kelompok
produk tersebut. Namun,
kenapa pangsa pasar
Indonesia di pasar global baru
mencapai 1%, di bawah Malaysia
dan Thailand? Di antara jawab-
annya adalah karena sisa delapan
kelompok produk yang permintaan
dunianya tinggi tidak termasuk
dalam daftar produk ekspor utama
Indonesia, atau termasuk kelompok
produk utama impor dunia tapi
bukan ‘produk tertentu’ yang tren
permintaannya tinggi.
Dari observasi sederhana ini saja
sudah bisa diketahui bahwa kalau
Indonesia ingin meningkatkan nilai
ekspor tiga kali lipat maka langkah
awal pemerintah harus membe-
rikan prioritas pada menjawab
‘kelemahan’ ini. Indonesia harus
mengembangkan industri yang per-
mintaan dunianya tinggi. Ini stra-
tegi pertama dan utama.
Adalah mustahil kita mencapai
target peningkatan ekspor tiga kali
lipat kalau mengandalkan produk
ekspor Indonesia dewasa ini, yang
pertumbuhan permintaan dunianya
rendah (atau statis).
Berarti dalam waktu lima tahun
ke depan yang terpenting adalah
menata kembali struktur indus-
tri ekspor Indonesia. Khususnya
Indonesia harus mampu membalik
komposisi produk ekspor Indonesia
dari yang sekarang 63% terdiri dari
produk primer (oil/gas, primary
commodities, primary industry)
dan 37% terdiri dari produk
manufaktur (labour intensive and
resource based dan manufactures
with low, medium and high skill
and technology intensity), menjadi
lebih besar kelompok manufaktur
dibanding kelompok primer. Jadi
kalau ada strategi pengembangan
industri untuk ekspor,
maka yang harus
dikedepankan
investasinya adalah
di sektor yang permintaan dunia-
nya besar dan meningkat.
EFISIENSI
Kalau sudah punya produk,
maka faktor kunci kedua adalah
pasar, dan pasar internasional itu
oligopolistik. Dari sekian banyak
produsen/ eksportir di dunia hanya
yang paling efisien bisa berlaga di
pentas internasional. Persaingan di
pasar internasional jauh lebih sulit
dibanding persaingan di dalam ne-
geri. Khususnya, mengembangkan
daya saing produk ekspor terhadap
barang sejenis di pasar internasional
jauh lebih rumit dibanding untuk
pasar dalam negeri. Belum lagi
kalau bicara soal peranan global
value chain (GVC) dalam pemasar-
an internasional saat ini.
Sejak lama kita mengetahui
bahwa biaya ekonomi tinggi alias
biaya siluman sangat menghambat
pertumbuhan industri maupun pe-
laku ekspor. Namun, segala macam
diskusi hanya menghasilkan
kesimpulan diskursus saja. Semua
lembaga pemerintah dan non pe-
merintah, di pusat maupun daerah,
merasa tidak punya andil dalam
permasalahan ini, sehingga tidak
ada perubahan mendasar alias
business as usual.
Banyak sekali yang bisa diangkat
di sini untuk menunjukkan adanya
biaya siluman, tetapi kelompok
biaya yang patut diwaspadai dan
bisa diatasi pemerintah adalah
biaya perizinan. Permasalahan
biaya perizinan siluman sudah
dikorankan bertahun tahun tetapi
belum bisa terselesaikan.
Kurang jelas bagi penulis meng-
apa, tetapi Nawacita untuk men-
capai berdikari di bidang ekonomi
tidak memberikan penekanan
khusus terhadap pentingnya pe-
ningkatan ekspor nonmigas.
Untuk bisa menggerakkan
mesin birokrasi di pusat maupun
daerah, maka saat ini Presiden
Jokowi harus sudah mencanangkan
‘perintah’ kepada Kementrian
Perdagangan dalam bentuk instruk-
si presiden, untuk berkoordinasi
dengan kementrian terkait se-
perti Kementrian Perindustrian,
Kementrian Pertanian dan
Kementrian Keuangan untuk
membuat roadmap yang diper-
lukan. Ini harus menjadi
mandat yang tegas dan
jelas kepada Menteri
Perdagangan, dan sifat-
nya imperatif.
Pasalnya, program
menaikkan ekspor tiga
kali lipat dalam lima tahun tidak
mungkin tercapai melalui cara
business as usual, dan harus diakui
bahwa koordinasi adalah barang
langka di Indonesia. Sumber
daya manusia menjadi
masalah utama. Harus
ada ketegasan pimpinan
tertinggi pemerintah ten-
tang bagaimana koordinasi
harus dilaksanakan, baik di tingkat
pemerintah (pusat dan daerah)
maupun antara pemerintah dan pe-
laku ekonomi. Kemudian dikunci
dengan sistim monitoring berkala
yang efektif tentang pencapaian
target dari waktu ke waktu.
Tidak bisa ditawar lagi, diperlukan
sebuah organisasi lintas pemerintah
dan pelaku usaha yang secara ‘super
serius’ menangani pembangunan
industri dan pemasarannya ke luar
negeri secara terpadu. Sekadar komit-
men pejabat luar negeri di Kedutaan
Besar Indonesia di luar negeri untuk
berjuang meningkatkan ekspor
nonmigas di kawasan masing ma-
sing amat jauh dari yang dibutuhkan.
Selain itu kalau upaya pencapaian
target hanya digantungkan kepada
struktur industri yang ada maka
jaminannya adalah kegagalan.
Setiap artikel yang dikirim ke redaksi hendaknya diketik dengan spasi ganda maksimal
5.000 karakter, disertai riwayat hidup (curriculum vitae) singkat tentang diri penulis juga
dilengkapi foto terbaru. Artikel yang masuk merupakan hak redaksi Bisnis Indonesia dan
dapat diterbitkan di media lain yang tergabung dalam Jaringan Informasi Bisnis Indonesia
(JIBI). Apabila lebih dari 1 minggu artikel yang diterima belum diterbitkan tanpa pembe-
ritahuan lain dari redaksi, penulis berhak mengirimkannya ke media lain. Setiap tulisan
yang dimuat merupakan pendapat pribadi penulis.
PEMBACA MENULIS Surat-surat harus dilengkapi dengan identitas pribadi
OPINI
tektur
bal
nia melalui
Peringatan ke-60
ng mewakili bangsa
mati.
katan Bangsa-
n perdamaian dan
menjadi contoh
ekonomi, Jokowi
an global yang
nomi global hanya
pandangan kuno
nternasional (IMF)
uk semasa Perang
) adalah lembaga
rekonomian
saja, peran yang
al. Itu sebabnya,
ga keuangan global
eph Stiglitz mau-
l terkait kritik
is terhadap PBB
kan perdamaian
uka Konferensi
Bandung, tidak
dato berbahasa
i negara-negara
menyampaikan
gara-negara besar
nyataan yang
a, Inggris kita
ngan global pun
t ini, belum dite-
no yang pada
esia yang bebas
na yang saat itu
gan ideologi itu
ngan Amerika
kepemimpinan
Jokowi terha-
adi pada saat
g kian intens deng-
rintahan China
sebut bersama
eperti Italia,
rkait kerja sama
kan adalah negara
h dalam kerja sama
anegara adidaya
mi, sebagaimana
in di luar, bangsa
m berbagai bidang,
keuangan domes-
negara yang
m yang tidak
i korban kepen-
dan negara lain.
kita kuat, kita
mereka, dan meng-
gan-kekurangan
Jumat, 24 April 2015
HATANTO REKSODIPOETRO
Mantan Sekretaris Jenderal Kementrian Perdagangan; Co-founder Trade Policy Forum
2
Darurat, Melipatgandakan
Ekspor Nonmigas
jono
ni
lo
p
Bisnis/Yayan
Indrayana