Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Perlawanan
1. Perlawanan Rakyat Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia
Nama : Aurel Pricilia
Kelas : XI IPA 5
No Nama
Perlawanan
Rakyat
Sebab - Sebab Tempat dan
Tahun
Tokoh Penyelesaian
1 Mataram
Sultan Agung (1613-1645)
adalah raja terbesar Mataram
yang bercita-cita
mempersatukan seluruh Jawa di
bawah Mataram dan mengusir
Kompeni (VOC) dari Pulau Jawa.
Untuk merealisir cita-citanya, ia
bermaksud membendung
usaha-usaha Kompeni
menjalankan penetrasi politik
dan monopoli perdagangan.
Pada tanggal 18 Agustus 1618,
kantor dagang VOC di Jepara
diserbu oleh Mataram. Serbuan
ini merupakan reaksi pertama
yang dilakukan oleh Mataram
terhadap VOC. Pihak VOC
kemudian melakukan balasan
dengan menghantam
pertahanan Mataram yang ada
Batavia,
1613-1645
Sultan Agung
Hanyokrokusumo,
Baurekso, Dipati
Ukur, Suro Agul-
Agul,
Manduroredjo,
Uposonto, Dipati
Purbaya, dan
Tumenggung
Singaranu
Serangan besar-besaran terhadap Batavia,
dilancarkan dua kali. Serangan pertama, pada
bulan Agustus 1628 dan dilakukan dalam dua
gelombang. Gelombang I di bawah pimpinan
Baurekso dan Dipati Ukur, sedangkan gelombang
II di bawah pimpinan Suro Agul-Agul,
Manduroredjo, dan Uposonto. Batavia dikepung
dari darat dan laut selama tiga bulan, tetapi tidak
menyerah. Bahkan sebaliknya, tentara Mataram
akhirnya terpukul mundur.
Serangan kedua dilancarkan pada bulan
September 1629 di bawah pimpinan Dipati
Purbaya dan Tumenggung Singaranu. Akan tetapi
serangan yang kedua ini pun juga mengalami
kegagalan. Kegagalan serangan-serangan tersebut
disebabkan:
1. Kalah persenjataan.
2. Kekurangan persediaan makanan, karena
lumbung-lumbung persediaan makanan yang
dipersiapkan di Tegal, Cirebon, dan Kerawang
2. di Jepara. Sejak itu, sering
terjadi perlawanan antara
keduanya, bahkan Sultan Agung
berketetapan untuk mengusir
Kompeni dari Batavia.
telah dimusnahkan oleh Kompeni.
3. Jarak Mataram - Batavia terlalu jauh.
4. Datanglah musim penghujan, sehingga taktik
Sultan Agung untuk membendung sungai
Ciliwung gagal.
5. Terjangkitnya wabah penyakit yang
menyerang prajurit Mataram.
2 Makassar
Usaha penetrasi kekuasaan
terhadap Makasar oleh VOC
dalam rangka melaksanakan
monopolinya menyebabkan
hubungan Makasar - VOC yang
semula baik menjadi retak
bahkan akhirnya menjadi
perlawanan. Hal ini dikarenakan
Makasar selalu menerobos
monopoli VOC dan selalu
membantu rakyat Maluku
melawan Kompeni.
Pertempuran besar meletus
pada tahun 1666, ketika
Makasar di bawah
pemerintahan Sultan
Hasanuddin (1654-1670).
Makassar,
1654 - 1669
Sultan
Hasanuddin,
Kapten Jonker, Aru
Palaka,
Speelman,
Karaeng Galesung,
dan Karaeng
Bontomarannu
Makasar dikepung dari darat dan laut, yang
akhirnya pertahanan Makasar berhasil dipatahkan
oleh VOC. Para pemimpin yang tidak mau
menyerah, seperti Karaeng Galesung dan Karaeng
Bontomarannu melarikan diri ke Jawa (membantu
perlawanan Trunojoyo).
Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani
Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November
1667, yang isinya :
1. Wilayah Makasar terbatas pada Goa, wilayah
Bone dikembalikan kepada Aru Palaka.
2. Kapal Makasar dilarang berlayar tanpa izin
VOC.
3. Makasar tertutup untuk semua bangsa,
kecuali VOC dengan hak monopolinya.
4. Semua benteng harus dihancurkan, kecuali
satu benteng Ujung Pandang yang kemudian
diganti dengan nama Benteng Roterrdam.
5. Makasar harus mengganti kerugian perang
sebesar 250.000 ringgit.
Sultan Hasanuddin walaupun telah
3. menandatangani perjanjian tersebut, karena
dirasa sangat berat dan sangat menindas; maka
perlawanan muncul kembali (1667-1669).
Makasar berhasil dihancurkan dan dinyatakan
menjadi milik VOC.
3 Banten
Pada waktu orang-orang
Belanda datang pertama kali di
Banten (1596), Banten berada di
bawah pemerintahan Maulana
Muhammad. Pada saat itu
Banten telah berkembang
menjadi kota bandar yang
ramai. Wilayah Banten meliputi
seluruh Banten, Priangan, dan
Cirebon. Maksud kedatangan
Belanda yang semula
berdagang, disambut dengan
baik. Akan tetapi setelah
Kompeni malakukan monopoli
dan penetrasi politik, hubungan
Banten - VOC menjadi buruk,
bahkan sering terjadi
pertentangan; lebih-lebih
setelah VOC berhasil menduduki
kota Jayakarta pada tahun 1619.
Pertentangan Banten - VOC
menjadi perlawanan besar,
setelah Banten di bawah
pemerintahan Sultan Ageng
Tirtoyoso ( 1651 - 1682).
Banten,
1651 - 1682
Sultan Ageng
Tirtoyoso,
Maulana
Muhammad,
Sultan Haji, dan
Pangeran Purboyo
(adik Sultan Haji)
Atas hasutan VOC, Sultan Haji mencurigai ayahnya
dan menyatakan bahwa ayahnya ingin
mengangkat Pangeran Purboyo sebagai raja
Banten. Pada tahun 1680, Sultan Haji berusaha
merebut kekuasaan, sehingga terjadilah perang
terbuka antara Sultan Haji yang dibantu VOC
melawan Sultan Ageng Tirtoyoso (ayahnya) yang
dibantu Pangeran Purboyo. Sultan Ageng
Tirtoyoso dan Pangeran Purboyo terdesak ke luar
kota, dan akhirnya Sultan Ageng Tirtoyoso
berhasil di tawan oleh VOC; sedangkan Pangeran
Purboyo mengundurkan diri ke daerah Priangan.
Pada tahun 1682 Sultan Haji dipaksa oleh VOC
untuk menandatangani suatu perjanjian yang
isinya :
1. VOC mendapat hak monopoli dagang di
Banten dan daerah pengaruhnya.
2. Banten dilarang berdagang di Maluku.
3. Banten melepaskan haknya atas Cirebon.
4. Sungai Cisadane menjadi batas wilayah Banten
dengan VOC.
Sejak adanya perjanjian ini, maka penguasa
Banten sebenarnya ialah VOC.
4. 4 Untung
Suropati
Untung, menurut cerita adalah
seorang putra bangsawan dari
Bali, yang dibawa pegawai VOC
ke Batavia. Semula Untung
dijadikan tentara VOC di
Batavia. Dalam peristiwa
Cikalong (1684), merasa harga
dirinya direndahkan, maka
Untung berbalik melawan VOC.
Dengan peristiwa Cikalong
tersebut, Untung tidak kembali
ke Batavia, namun melanjutkan
perlawanan menuju Cirebon. Di
Cirebon terjadi perkelahian
dengan Suropati dan Untung
menang sehingga namanya
digabungkan menjadi Untung
Suropati. Dari Cirebon Untung
terus melanjutkan perjalanan
menuju Kartasura, dan disambut
baik oleh Amangkurat II yang
telah merasakan beratnya
perjanjian yang dibuat dengan
VOC. Pada tahun 1686,
datanglah utusan VOC di
Kartasura di bawah pimpinan
Kapten Tack dengan maksud
merundingkan soal hutang
Amangkurat II dan menangkap
Jawa,
1684 - 1708
Untung Suropati,
Amangkurat II,
Kapten Tack,
Adipati Ario
Wironegoro,
Sunan Mas,
Pangeran Puger
(adik Amangkurat
II), dan Herman de
Wilde
Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat, putra
mahkota Sunan Mas naik takhta. Raja baru ini
benci terhadap Belanda dan condong terhadap
perlawanan Untung. Pangeran Puger (adik
Amangkurat II) yang ingin menjadi raja, pergi ke
Semarang dan minta bantuan kepada VOC agar
diakui sebagai raja Mataram. Pada tahun 1704,
Pangeran Puger dinobatkan menjadi raja dengan
gelar Paku Buwono I. Pada tahun 1705 Paku
Buwono I dan VOC menyerang Mataram. Sunan
Mas melarikan diri dan bergabung dengan
pasukan Untung di Jawa Timur.
Oleh pihak Kompeni di Batavia, dipersiapkan
pasukan secara besar-besaran untuk menyerang
Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde,
pasukan Kompeni berhasil mendesak perlawanan
Untung. Dalam perlawanan di Bangil, Untung
Suropati terluka dan akhirnya pada tanggal 2
Oktober 1706 gugur. Jejak perjuangannya
diteruskan oleh putra-putra Untung, namun
akhirnya berhasil dipatahkan oleh Kompeni.
Bahkan Sunan Mas sendiri akhirnya menyerah,
kemudian dibawa ke Batavia, dan diasingkan ke
Sailan (1708).
5. Untung. Amangkurat II
menghindari pertemuan ini dan
terjadilah pertempuran.
5 Trunojoyo
Trunojoyo, seorang keturunan
bangsawan dari Madura tidak
senang terhadap Amangkurat I,
karena pemerintahannya yang
sewenang-wenang dan menjalin
hubungan dengan Kompeni.
Perlawanan Trunojoyo di mulai
pada tahun 1674, dengan
menyerang Gresik. Dengan
berpusat di Demung (dekat
Panarukan), Trunojoyo
melakukan penyerangan dan
dalam waktu singkat telah
berhasil menguasai beberapa
daerah di Jawa Timur dan Jawa
Tengah bahkan sampai pusat
Mataram di Plered (Yogyakarta).
Dalam perlawanan ini,
Trunojoyo dibantu oleh Raden
Kajoran, Macan Wulung,
Karaeng Bontomarannu, dan
Karaeng Galesung.
Jawa Timur
dan Jawa
Tengah,
1674-1680
Trunojoyo,
Amangkurat I,
Raden Kajoran,
Macan Wulung,
Karaeng
Bontomarannu,
Karaeng Galesung,
Amangkurat II,
Anthonie Hurdt,
Aru Palaka , dan
Kapten Jonker
Pada tanggal 2 Juli 1677, pasukan Trunojoyo telah
berhasil menduduki Plered, ibukota Mataram.
Amangkurat I yang sering sakit bersama putra
mahkota, Adipati Anom melarikan diri untuk
minta bantuan kepada Kompeni di Batavia. Dalam
perjalanan, Amangkurat I meninggal di Tegal
Arum (selatan Tegal), sehingga dikenal dengan
sebutan Sultan Tegal Arum. Adipati Anom
kemudian menaiki takhta dengan gelar
Amangkurat II. Untuk menghadapi Trunojoyo,
Amangkurat II minta bantuan Kompeni, akan
tetapi tidak ke Batavia namun ke Jepara.
Pimpinan Kompeni (VOC) Speelman menerima
dengan baik Amangkurat II dan bersedia
membantu dengan suatu perjanjian (1678) yang
isinya:
1. VOC mengakui Amangkurat II sebagai raja
Mataram.
2. VOC mendapatkan monopoli dagang di
Mataram.
3. Seluruh biaya perang harus diganti oleh
Amangkurat II
4. Sebelum hutangnya lunas, pantai utara Jawa
digadaikan kepada VOC.
5. Mataram harus menyerahkan daerah
Kerawang, Priangan, Semarang dan sekitarnya
6. kepada VOC.
Setelah perjanjian ini ditandatangani penyerangan
di mulai. Pada waktu itu Trunojoyo telah berhasil
mendirikan istana di Kediri dengan gelar Prabu
Maduretno. Tentara VOC di bawah pimpinan
Anthonie Hurdt, yang dibantu oleh tentara Aru
Palaka dari Makasar, Kapten Jonker dari Ambon
beserta tentara Mataram menyerang Kediri.
Dengan mati-matian tentara Trunojoyo
menghadapi pasukan gabungan Mataram-VOC,
tetapi akhirnya terpukul mundur. Pasukan
Trunojoyo terus terdesak, masuk pegunungan dan
menjalankan perang gerilya. Demi keselamatan
sebagian pengikutnya, pada tanggal 25 Desember
1679 menyerah dan akhirnya gugur ditikam keris
oleh Amangkurat II pada tanggal 2 Januari 1680.
Dengan gugurnya Trunojoyo, terbukalah jalan
bagi VOC untuk meluaskan wilayah dan
kekuasaannya di Mataram.
6 Perang
Diponegoro
Perang Diponegoro adalah
sebuah peperangan besar yang
terjadi pada tahun 1825-1830 di
Jawa Tengah dan sebagian
daerah Jawa Timur, yang mana
peperangan ini dipimpin oleh
Pangeran Diponegoro.
Praktik kolonialisme dan
imperialisme yang dilakukan
bangsa Belanda di Nusantara
Jawa Tengah
dan sebagian
daerah Jawa
Timur,
1825 - 1830
Pangeran
Diponegoro, Kiai
Mojo, Sentot
Prawirodirjo,
Tuanku Imam
Bonjol, dan
Jendral De Kock
Tahun 1828, Kiai Mojo salah satu penguasa
pendukung Pangeran Diponegoro berhasil
ditangkap oleh Belanda dan di asingkan ke
Minahasa sampai wafatnya. Setahun kemudian,
Sentot Prawirodirjo menyerah kepada belanda
dan bersama pasukannya dikirim ke Sumatera
Barat untuk memadamkan perlawanan Tuanku
Imam Bonjol. Namun Sentot Prawirodirjo
akhirnya ditangkap oleh belanda dan diasingkan
ke Bengkulu sampai akhir hayatnya karena ia dan
7. telah menimbulkan penderitaan
bagi rakyat pribumi. Penyebab
lainnya antara lain adalah:
1. Semakin menyempitnya
daerah kekuasaan
Kesultanan Yogyakarta.
2. Penderitaan rakyat akibat
kerja rodi dan
diberlakukannya berbagai
macam pajak.
3. Tindakan Belanda yang
sering ikut campur dalam
urusan pemerintahan
Kesultanan Yogyakarta.
4. Masuknya budaya barat yang
bertentangan dengan Islam
dan budaya setempat.
5. Munculnya beberapa
pejabat istana yang
berkhianat dan mendukung
Belanda.
6. Dibongkarnya makam
leluhur Pangeran
Diponegoro secara sepihak
oleh Belanda.
pasukannya malah memihak kepada Tuanku
Imam Bonjol.
Meskipun terus terdesak, Pangeran Diponegoro
bersama para pendukung fanatiknya terus
melakukan perlawanan meski pemerintah
Belanda menjanjikan uang sebesar 20.000 ringgit
bagi siapa saja yang berhasil menangkapnya hidup
atau mati. Jendral De Kock sebagai panglima
tertinggi pasukan Belanda terus berupaya
membujuk Pangeran Diponegoro agar mau
berunding dengan Belanda. Akhirnya Pangeran
Diponegoro menerima tawaran tersebut dan
perundingan dilaksanakan di Magelang, tanggal
28 Maret 1830. Namun ketika proses perundingan
sedang berlangsung, secara licik Belanda
menangkap Pangeran Diponegoro. Pangeran
Diponegoro kemudian dibawa ke Batavia,
kemudian diasingkan lagi ka Manado, lalu
dipindahkan ke Makassar sampai beliau wafat
pada tanggal 8 Januari 1855. Sejak penangkapan
Pangeran Diponegoro secara licik oleh Belanda
tersebut, maka berakhir pula lah sejarah panjang
Perang Diponegoro yang sangat legendaris
tersebut.
7 Perang
Pattimura
Pada tahun 1605 Belanda mulai
memasuki wilayah Maluku dan
berhasil merebut benteng
Portugis di Ambon. Praktik
monopoli dengan sistem
Maluku, 1817
Thomas Matulesi
atau Pattimura,
Kakiali, Gubernur
Jederal Van
Diemen,
Akibat penderitaan yang panjang rakyat
menentang Belanda dibawah pimpinan Thomas
Matulesi atau Pattimura. Tanggal 15 Mei 1817
rakyat Maluku mulai bergerak dengan membakar
perahu-perahu milik Belanda di pelabuhan Porto.
8. pelayaran Hongi menimbulkan
kesengsaran rakyat. Pada tahun
1635 muncul perlawanan rakyat
Maluku terhadap VOC di bawah
pimpinan Kakiali, Kapten Hitu.
Perlawanan segera meluas ke
berbagai daerah. Oleh karena
kedudukan VOC terancam, maka
Gubernur Jederal Van Diemen
dari Batavia dua kali datang ke
Maluku (1637 dan 1638) untuk
menegakkan kekuasaan
Kompeni. Untuk mematahkan
perlawanan rakyat Maluku,
Kompeni menjanjikan akan
memberikan hadiah besar
kepada siapa saja yang dapat
membunuh Kakiali. Akhirnya
seorang pengkhianat berhasil
membunuh Kakiali.
Penyebab Pattimura melakukan
perelawanan terhadap Belanda
antara lain:
1. Rakyat Maluku menolak
kehadiran Belanda karena
pengalaman mereka yang
menderita dibawah VOC
2. Pemerintah Belanda
menindas rakyat Maluku
Telukabesi, Saidi,
Vlaming van
Oasthoom, Sultan
Jamaluddin, Sultan
Nuku, dan Residen
Van den Berg
Selanjutnya rakyat menyerang penjara Duurstede.
Residen Van den Berg tewas tertembak dan
benteng berhasil dikuasai oleh rakyat Maluku.
Pada bulan Oktober 1817 pasukan Belanda
dikerahkan secara besar-besaran, Belanda
berhasil menangkap Pattimura dan kawan-kawan
dan pada tanggal 16 Nopember 1817. Pattimura
dijatuhi hukuman mati ditiang gantungan, dan
berakhir lah perlawanan rakyat Maluku.
9. dengan diberlakukannya
kembali penyerahan wajib
dan kerja wajib
3. Dikuasainya benteng
Duursteide oleh pasukan
Belanda
8 Perang
Paderi
Istilah Padri berasal dari kata
Padre yang berarti Ulama.
Mulanya perang Padri adalah
Perang Saudara antara para
Ulama berhadapan dengan
Kaum Adat. Setelah Belanda ikut
campur yang semula membantu
kaum adat berubahlah perang
itu menjadi perang Kolonial.
Pertentangan antara Kaum Padri
dan Kaum Adat itu dapat
dikemukankan sebab-sebabnya
sebagai berikut :
1. Kaum Adat adalah kelompok
masyarakat yang walaupun
telah memeluk agama islam,
masih teguh memegang adat
dan kebiasaan lama yang
bertentangan dengan ajaran
Islam.
2. Kaum Padri adalah kelompok
masyarakat Islam di Sumatra
Barat yang telah menunaikan
ibadah haji di Mekkah serta
Jawa,
1821 - 1838
Haji Miaskin, Haji
Sumanik, Haji
Piobang
Tuanku Imam
Bonjol, Tuanku
Mesiangan,
Tuanku Nan
Renceh, Datok
Bandaharo, Fort
Van der Capellen,
Letnan Kolonel
Elout, Mayor
Michael, dan
Sentot Ali Basa
Prawirodirdjo
Sejak tahun 1831 kaum Adat bersatu dengan
kaum Padri untuk menghadapi Belanda. Pada
tanggal 25 Oktober 1833 Belanda menawarkan
siasat perdamaian dengan mengeluarkan Plakat
Panjang yang isinya sebagai berikut:
1. Belanda ingin menghentikan perang;
2. Tidak akan mencampuri urusan dalam negeri
Minangkabau;
3. Tidak akan menarik cukai dan iuran-iuran.
4. Masalah kopi, lada dan garam akan
ditertibkan.
Imam Bonjol tetap waspada dengan siasat
Belanda itu. Setelah tahun 1834 terjadi lagi
serangan sasaran utama serangan Belanda adalah
benteng Bonjol yang dapat direbutnya pada
tanggal 16 Agustus 1837. Belanda mengajak Imam
Bonjol berunding namun kemudian ditangkap. Ia
dibawa ke Batavia lalu dipindahkan ke Miinahasa
sampai wafatnya tahun 1864 dalam usia 92 tahun.
Perlawanan dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai
yang dapat dikalahkan Belanda tahun 1838.
10. membawa pandangan baru.
Mereka berusaha hidup
sesuai dengan ajaran
Al’quran dan Hadist,
berusaha melakukan
pembersihan terhadap
tindakan-tindakan
masyarakat yang
menyimpang dari ajaran
tersebut.
Untuk menghadapi kaum Padri
maka kaum Adat meminta
bantuan kepada Belanda pada
tahun 1821.
9 Perang Aceh
Pada tanggal 12 Februari 1904
pasukan Belanda telah tiba di
daerah tujuan,yaitu di daerah
Gayo Laut, kira-kira 50 kilometer
dari Takengon.Tetapi begitu
Belanda menginjakkan kakinya
di desa dekat Ketol, disambut
dengan pertempuran sengit
yang pertama, dimana pasukan
Belanda mengalami korban, baik
mati maupun luka-luka.Dalam
perjalanan menuju Takengon,
pasukan Belanda tidak henti-
hentinya mendapat perlawanan.
Aceh,
1904 - 1942
Teungku Haji
Telege Makar, Van
Daalen, Kapten
Watrin, Kapten
Campion, Schmidt,
Cit Ma'az (Ma'at)
Pada bulan Desember 1911, perwira Marsose
dengan pasukannya bernama Nussy menyerang
tempat persembunyian gerilyawan muslimin Tiro
yang terakhir, yang tinggal tiga orang saja lagi.
Dalam serangan ini, dua orang dari tiga
gerilyawan muslimin Tiro ini tewas menjadi
syuhada, dan ternyata yang seorang itu bernama
Cit Ma'az (Ma'at), adalah keturunan terakhir dari
Syeikh Saman, tokoh utama perang Aceh. Dengan
wafatnya Cit Ma'az, yangbaru berusia lima belas
tahun, maka berarti tiga generasi Teuku di Tiro di
abadikan di dalam Perang Aceh.
Perang Aceh tidaklah berakhir pada tahun 1913
atau 1914. Dari tahun 1914 terentang benang
11. Sampai mereka berhasil
membuat markasnya di desa
Kung, kira-kira 7 kilometer dari
Takengon.
Dari markas yang baru didirikan
ini, pasukan Belanda melakukan
operasi militer di sekitar Gayo
Laut. Walau perlawanan
pasukan rakyat Gayo cukup
sengit, dan hampir setiap
daerah yang dilalui pasukan
Belanda terjadi pertempuran,
tetapi akhirnya daerah Gayo
Laut pun jatuh ke tangan
pasukan kolonial.
merah sampai tahun 1942, alur perlawanan di
bawah tanah. Perang gerilya, yang pada tahun
1925, tahun 1926, sampai tahun 1933
berkembang menjadi perlawanan terbuka
lagi.Dengan demikian perang Aceh berlangsung
mulai sejak tahun 1873, terus sambung-
menyambung sampai tahun 1942, dimana
Belanda angkat kaki untuk selama-lamanya,
adalah perang terlama di dalam sejarah perang
kolonial Belanda di Indonesia.
10 Perang
Jagaraga
(Perang Bali)
Pada tahun 1844, sebuah kapal
dagang Belanda kandas di
daerah Prancak (daerah
Jembara), yang saat itu berada
di bawah kekuasaan Kerajaan
Buleleng.
Kerajaan-kerajaan di Bali
termasuk Buleleng pada saat itu
memberlakukan hak tawan
karang. Dengan demikian, kapal
dagang Belanda tersebut
menjadi hak Kerajaan Buleleng.
Pemerintah kolonial Belanda
Bali,
1844
Raja Buleleng,
Patih I Gusti Ktut
Jelantik, Jenderal
Mayor A.V.
Michiels, dan van
Swieten
Waktu benteng Jagaraga jatuh ke pihak Belanda,
pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Mayor
A.V. Michiels dan sebagai wakilnya adalah van
Swieten. Raja Buleleng dan patih
dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan
Belanda menuju Karangasem. Setelah Buleleng
secara keseluruhan dapat dikuasai, Belanda
kemudian berusaha menaklukkan kerajaan-
kerajaan lainnya di Pulau Bali.
Ternyata perlawanan sengit dari rakyat setempat
membuat pihak Belanda cukup kewalahan.
Perang puputan pecah di mana-mana, seperti
Perang Puputan Kusamba (1849), Perang Puputan
Badung (1906), dan Perang Puputan Klungkung
12. memprotes Raja Buleleng yang
dianggap merampas kapal
Belanda, namun tidak
dihiraukan. Insiden inilah yang
memicu pecahnya Perang Bali,
atau dikenal juga dengan nama
Perang Jagaraga.
Belanda melakukan
penyerangan terhadap Pulau
Bali pada tahun 1846. Yang
menjadi sasaran pertama dan
utama adalah Kerajaan
Buleleng. Patih I Gusti Ktut
Jelantik beserta pasukan
menghadapi serbuan Belanda
dengan gigih. Pertempuran yang
begitu heroik terjadi di Jagaraga
yang merupakan salah satu
benteng pertahanan Bali.
Belanda melakukan serangan
mendadak terhadap pasukan
Bali di benteng Jagaraga. Dalam
pertempuran itu, pasukan Bali
tidak dapat menghalau pasukan
musuh. Akhirnya pasukan I
Gusti Ktut Jelantik terdesak dan
mengundurkan diri ke daerah
luar benteng Jagaraga.
(1908).