Fly ash (FA) dapat dimanfaatkan untuk menangani air asam tambang (AAT) karena memiliki alkalinitas tinggi yang berasal dari kalsium oksida. Penelitian menunjukkan bahwa campuran AAT dengan FA dapat meningkatkan pH dan mengendapkan logam berat, sehingga memenuhi baku mutu. FA juga mampu mencegah oksidasi sulfida jika ditempatkan bersama tailing tambang dalam jangka panjang.
2. Pendahulun
1.Air Asam Tambang (AAT)
1.Fly Ash (Abu terbang)
1.Penelitian Terkait peran FA dalam penanganan AAT
1.Kesimpulan
Outline
3. Pendahuluan
Kegiatan penambangan pada umumnya dapat menyebabkan perubahan terhadap lingkungan. Salah satu penyebab
utama adalah potensi terbentuknya air asam tambang (AAT). Air asam tambang adalah air yang bersifat asam (pH <
5) sebagai hasil dari oksidasi mineral sulfida yang terdedah (exposed) di udara bersama dengan air (Tuheteru dkk,
2014).
Salah satu operasi kegiatan penambangan yang berpotensi embentuk AAT yaitu penggalian dan penimbunan tanah
penutup (overburden) yang mengandung mineral sulfida seperti pirit (FeS2) yang tersingkap dan bereaksi dengan
oksigen O2 di udara maupun dalam air H2O (Sandrawati dkk, 2012). Menurut Lottermoser dalam Godfrey Madzivire
dkk, 2013. Reaksi antara pirit, air dan udara dapat menghasilkan H2SO4 (asam sulfat) seperti reaksi berikut,
FeS2 +
7
2
O2 + H2O → Fe2+ + 2H+ + 2SO
2 −
4
(1)
Untuk itu, AAT perlu penanganan terlebih dulu sebelum di limpahkan kebadan sungai. Jika tidak ada penanganan AAT
akan mengakibatkan pengasaman aliran sungai serta mobilisasi dan pengendapan logam yang pada tingkat tertentu
dapat mempengaruhi kualitas air dan peruntukannya (misalnya sebagai bahan baku air minum, sebagai habitat
biota air, sebagai sumber air untuk tanaman dan lain sebagainya), kualitas air dan peruntukannya misalnya sebagai
habitat flora dan fauna darat (Nugraha, 2019).
4. Pendahuluan2
Hal demikian yang membuat AAT menjadi isu utama yang sering muncul dalam kegiatan pertambangan (Indra dkk,
2014). Namun, untuk diketahui bahwa pembentukan AAT tidak hanya terbatas pada industri pertambangan, tetapi
juga dapat terjadi di mana bahan sulfida terpapar, misalnya dalam konstruksi jalan raya dan terowongan dan
penggalian mendalam lainnya (Simate dkk, 2014).
Pada kenyataannya pengolahan air tambang itu rumit dan sangat mahal. Tingginya biaya yang terkait dengan
pengolahan air tambang disebabkan oleh komposisi air tambang yang kompleks dan beragam. Singkatnya, tidak ada
pilihan pengolahan air tambang dengan satu metode untuk semua permasalahan air tambang (Godfrey Madzivire
dkk. 2013).
Disamping itu, sifat mineralogi dan faktor lain yang mempengaruhi pembentukan AAT sangat bervariasi dari satu
tempat ke tempat lain, menyebabkan potensi pembentukan AAT menjadi sulit diprediksi dan mahal (Muluken B.
Yeheyis, 2009).
Metode berkembang belakangan ini adalah pengolahan AAT dengan Fly Ash (FA), dimana metode ini dinilai dapat
mengurangi biaya pengolahan air tambang. FA juga dapat menetralkan keasaman dan mengendapkan sebagian
besar elemen potensial hingga batas yang dapat diterima untuk irigasi atau bahkan kualitas air minum (Madzivire
dkk. 2013).
5. AAT : Pembentukan
AAT atau acid mine drainage air pada kegiatan penambangan atau pengolahan yang bersifat asam atau memiliki keasaman tinggi
dan terbentuk sebagai akibat teroksidasinya mineral sulfida yang terdedah karena penggalian dan penimbunan disertai
keberadaan air (Core FTTM ITB, 2019). Menurut Gautama, 2012 pembentukan AAT dimungkinkan karena tersedianya:
• Mineral sulfida – sumber sulfur/asam
• Oksigen (dalam udara) - pengoksidasi
• Air – pencuci hasil oksidasi
Gambar Karakteristik Air
Tambang (Gautama 2012,
yang di modifikasi dari
GARD Guide 2009 )
6. AAT : Pembentukan2
Pada suatu areal kegiatan pertambangan AAT dapat terbentuk melalui berbagai proses antara lain (CORE FTTM, 2019) :
• Air limpasan hujan yang mengalir dan kontak dengan dinding pit penambangan.
• Air hujan yang jatuh dan terinfiltrasi pada timbunan batuan penutup.
• Air hujan yang jatuh dan terinfiltrasi pada timbunan batubara atau bijih hasil penambangan (run of mine),
tumpukan bijih pada ekstraksi mineral berharga dengan metode head leach, timbunan tailing dan timbunan
limbah sisa pencucian batubara.
• Air tanah yang megalir ke dalam bukaan tambang bawah tanah dan kontak dengan batuan dinding bukaan.
• Air tanah dan limpasan hujan yang mengalir ke zona ambrukan pada tambang bawah tanah dengan metode
ambrukan.
7. AAT : Reaksi Kimia Pembentukan
Reaksi (1) adalah reaksi oksidasi mineral sulfida dengan kehadiran air dimana Fe2+ dihasilkan dari proses
penguraian pirit. FeS2 +
7
2
O2 + H2O → Fe2+ + 2H+ + 2SO2 −
4
- (1)
Reaksi ini juga disebut sebagai reaksi pelapukan yang disertai dengan proses oksidasi pirit dan menghasilkan dua
mol keasaman dari setiap mol pirit yang teroksidasi dan berlangsung baik pada kondisi abiotik maupun biotik
(Gautama, 2014). Menurut Akcil dkk, 2005 Terlarutnya Fe2+, SO
2 −
4
, dan H+ merupakan peningkatan total padatan
terlarut dan keasaman hidrogen, yang mengakibatkan penurunan pH kecuali dinetralkan. Jika lingkungannya
cukup teroksidasi (bergantung pada konsentrasi O2, pH, dan aktivitas bakteri), sebagian besar besi akan
teroksidasi menjadi besi (Fe3+) seperti reaksi (2).
Fe2+ + 1/4O2 + H+ → Fe3+ + 1/2H2O - (2)
Sementara pada pH antara 2,3 dan 3,5, besi mengendap sebagai Fe(OH)3↓ dan jarosit reaksi (3).
Fe3+ + 3H2O → Fe(OH)3 ↓ + 3H+ - (3)
Hal ini mengindikasikan bahwa Fe3+ sangat sedikit yang tertinggal dalam larutan dan pada saat yang sama nilai
pH menurun. Setiap Fe3+ dari reaksi (2), yang tidak mengendap pada reaksi (3) dapat digunakan untuk
mengoksidasi pirit tambahan seperti pada reaksi (4)
FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O → 15Fe2+ + 2SO
2 −
4
+ 16H+ - (4)
8. Selain reaksi oksidasi sebelumnya, oksidasi pirit juga dapat terjadi dengan peran bakteri. Jika pada oksidasi abiotik
reaksi umumnya berjalan cepat pada pH >5 dan akan melambat pada kondisi asam. Namun dengan kehadiran
bakteri oksidasi akan menjadi cepat pada kondisi asam. Acidithiobacillus ferrooxidans dan Acidithiobacillus thiooxidans
beberapa bakteri yang diketahui mampu mengoksidasi Fe2+, S0, sulfida logam dan senyawa sulfur anorganik lainnya
(Gautama, 2014).
AAT : Reaksi Kimia Pembentukan2
9. Menurut Nugraha, 2019 terdapat tiga faktor yang mempengaruhi reaksi pembentukan dan pelepasan AAT, yaitu ;
• Faktor primer, yaitu faktor yang terlibat langsung dalam proses oksidasi yaitu air, oksigen, mineral sulfida
termasuk dalam hal ini adalah pengaruh konsentrasi ditribusi, mineralogi dan bentuk fisik dari mineral sulfida
• Faktor sekunder, yaitu faktor yang mempengaruhi proses oksidasi yaitu keberadaan material yang memiliki
kemampuan menetralkan asam dan faktor mikrobiologi.
• Faktor tersier, yaitu faktor lingkungan sekitar seperti iklim, curah hujan, temperatur dan lain lain, termasuk dalam
hal ini adalah asupan oksigen dari atmosfir melalui adveksi dan difusi.
AAT :Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi
pembentukan
11. Saat ini FA (bersama bottom ash (BA)) yang merupakan limbah hasil sisa pembakaran di PLTU telah digolongkan
menjadi limbah nonB3 (PP 22/2021). Hal tersebut disebabkan karena pembakaran batubara di kegiatan PLTU
dilakukan pada temperatur tinggi, sehingga kandungan unburned carbon di dalam FABA menjadi minimum dan
lebih stabil saat disimpan (KLHK 2021). Pada tahun 2019, Indonesia membutuhkan batubara hingga 97 juta-ton untuk
memenuhi kebutuhan listrik di seluruh wilayah. Jumlah ini akan naik terus akibat Indonesia masih mengandalkan
pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebagai penyuplai listrik utama (Ekaputri dkk, 2020). Jika dikaitkan dengan
Wardani dalam Oklima dkk, 2014 yang mengatakan bahwa pembakaran batubara menghasilkan sekitar 5% limbah
padat berupa FABA, dimana sekitar 80-90% adalah FA dari total FABA yang dihasilkan. Maka potensi FA yang
dihasilkan Indonesia pada tahun 2019 adalah sekitar 4,1 juta-ton.
Fly Ash : (FA) dan isu lingkungan
12. Hasil data dari uji karakteristik terhadap FA PLTU, yang dilakukan oleh Kementerian LHK tahun 2020 menunjukkan
bahwa FA PLTU masih di bawah baku mutu karakter berbahaya dan beracun. Tidak mudah menyala dan tidak mudah
meledak, dengan suhu pengujian di atas 140 OF. FA juga tidak ditemukan hasil reaktif terhadap Sianida dan Sulfida,
serta tidak ditemukan korosif pada FA PLTU. Dengan demikian, dari hasil uji karakteristik menunjukan limbah FA dari
PLTU tidak memenuhi karakteristik sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (KLHK 2021). Komposisi residu FA
umumnya terdiri dari kadar Si, Ca, Al, S, dan logam berat yang tinggi. FA juga memiliki alkalinitas tinggi dan dapat
membentuk lapisan yang mengeras karena pembentukan gipsum dan silikat terhidrasi setelah kontak dengan air. FA
telah digunakan untuk mengurangi pencucian logam dari tanah yang terkontaminasi dengan menyerap logam ke Fe-
hidroksida (Nason dkk. 2014).
Fly Ash : Karakteristik
13. Tabel disamping merupakan hasil studi sifat fisik,
komposisi kimia dan mineral FA dari PLTU Atikokan,
Canada yang dilakukan oleh Joon Kyu Lee, dkk. 2014 yang
menunjukkan persentase kandungan Kalsium Oksida
(CaO) yang relatif tinggi yaitu 15,66 yang mengindikasikan
bahwa FA memiliki alkalinitas yang tinggi serta memadai
dalam mencegah oksidasi ketika bersentuhan dengan air
dan udara. FA juga mengandung karbonat dalam bentuk
kalcit dan dolomit yang bermanfaat untuk mencegah
pembentukan asam
Fly Ash : Karakteristik2
14. Penelitian Terkait peran FA dalam
penanganan AAT
1. Fate of the naturally occurring radioactive materials during treatment of acid mine drainage with coal
fly ash and aluminium hydroxide oleh (Madzivire, et al., 2013)
2. Long-term evaluation of coal fly ash and mine tailings co-placement: A site-specific study oleh
(Yeheyis, et al., 2009)
3. Alternative waste residue materials for passive in situ prevention of sulfide-mine tailings oxidation: A
field evaluation oleh (Nason, et al., 2014)
15. Gambar disamping pH dan EC selama pengolahan AAT dengan FA
dan Al(OH)3. menunjukan pH dan EC AAT meningkat masing-
masing menjadi 11,19 dan 5,4 mS/cm ketika dicampur dengan FA
selama 30 menit. Peningkatan pH dan EC setelah pencampuran AAT
dengan FA disebabkan oleh peningkatan konsentrasi Ca yang
disebabkan oleh pembubaran CaO pada FA. Setelah penambahan
86,58 g Al(OH)3 pada 30 menit pencampuran pH menurun menjadi
sekitar 10. Penurunan pH disebabkan oleh proton yang dihasilkan
selama presipitasi ettringite. Penambahan Al(OH)3 pada campuran
yang mengandung FA dan AAT setelah 30 menit mengakibatkan
penurunan EC menjadi sekitar 2 mS/cm. Penurunan ini dapat
dianggap sebagai presipitasi ion sulfat dan Ca sebagai ettringite.
Fate of the naturally occurring radioactive materials
during treatment of acid mine drainage with coal fly ash
and aluminium hydroxide oleh (Madzivire, et al., 2013)
16. Fate of the naturally occurring radioactive materials
during treatment of acid mine drainage with coal fly ash
and aluminium hydroxide oleh (Madzivire, et al., 2013)2
Tabel disamping
menyajikan
perbandingan
parameter
fisikokimia AAT,
Produk hasil
pengolahan AAT
dengan FA +
Al(OH)3 dengan
Baku mutu air
sungai dan air
minum.
17. Gambar disamping Variasi pH temporal
Perbandingan antar kolom yang
menunjukkan bahwa pH efluen dari kolom
FA umumnya lebih tinggi daripada kolom
kontrol yang hanya berisi tailing tambang;
mengindikasikan sifat alkalinitas yang
tinggi pada FA.
Long-term evaluation of coal fly ash and mine tailings co-
placement: A site-specific study oleh (Yeheyis, et al., 2009)
18. Long-term evaluation of coal fly ash and mine tailings co-
placement: A site-specific study oleh (Yeheyis, et al., 2009)2
19. Gambar sebelumnya, menunjukkan konduktivitas listrik dan konsentrasi sulfat yang diukur dalam lindi dari
kolom yang diplot terhadap waktu pelapukan (minggu). Pada minggu-minggu awal uji pelapukan (pencucian),
konduktivitas listrik dan sulfat dari semua sampel menurun secara signifikan sebelum stabil setelah 5
minggu. Hal ini disebabkan oleh pembubaran garam yang mudah larut dalam bahan fly ash dan tailing.
Long-term evaluation of coal fly ash and mine tailings co-
placement: A site-specific study oleh (Yeheyis, et al., 2009)3
20. Dalam pengaplikasiannya, FA digunakan bersama dengan
sewage sludge (lumpur limbah (SS)) seperti pada gambar 8,
lapisan SS setebal 0,25 m yang diterapkan pada Juli 2004 di
atas lapisan FA yang dipadatkan setebal 0,6 m yang
diterapkan pada Juli 2003.
Hasil penelitian (gambar) menunjukan FA tetap menjadi
lapisan yang sangat keras dan kompak, mempertahankan
ketebalan asli 0, 6 m. Di bawah lapisan FA sedalam 0,3 m (−0,3
m hingga 0,0 m), konsentrasi unsur-unsur utama dalam FA
tetap pada nilai aslinya, kecuali untuk Ni dan Zn yang terbukti
larut ke dalam tailing yang mendasarinya pada konsentrasi
yang sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan FA
relatif lembam dalam hal melepaskan fly ash yang berasal
dari tailing. pH seluruh lapisan FA tetap di atas 8 yang
menunjukkan FA memiliki sifat basa yang tinggi.
Alternative waste residue materials for passive in situ
prevention of sulfide-mine tailings oxidation: A field evaluation
oleh (Nason, et al., 2014)
21. Konsentrasi padat total Cd, Cu, Fe2O3, Ni, Pb, Zn, Total-S, CaO, dan pH in situ
dari SS-FA Vs kedalaman. Garis horizontal hitam hingga 0 m pada sumbu y
menunjukkan tingkat permukaan tailing. Sampel di atas garis ini
menunjukkan lapisan FA hingga level −0,6 m. Sampel di atas level ini
menunjukkan lapisan SS. Garis putus-putus vertikal menunjukkan
konsentrasi elemen asli.
Alternative waste residue materials for passive in situ
prevention of sulfide-mine tailings oxidation: A field
evaluation oleh (Nason, et al., 2014)
22. Dengan sifat alkalinitasnya yang tinggi FA memiliki potensi untuk mereduksi larutan dengan pH asam dan dapat
digunakan dalam pengelolaan limbah tambang reaktif. Disamping itu dengan statusnya sebagai residu limbah non-
B3, FA bisa mengganti penggunaan bahan alami yang jumlahnya terbatas di alam. Pemanfaatan FA ini juga bisa
menjadi alternatif solusi baru yang hemat biaya. FA juga mampu meningkatkan sifat fisik dan kimia AAT dengan
mengurangi mobilitas logam dan mampu menghambat atau mengurangi transportasi oksigen ke tailing sulfida
sehingga pembentukan asam akibat oksidasi mineral sulfida tidak terjadi. Sehingga penggunaan FA sebagai
alternatif penanganan limbah asam dapat menjamin pencegahan AAT dalam jangka panjang. Namun, yang perlu
diperhatikan dalam pemanfaatan FA adalah sumber batubara induk karena dapat menyebabkan perbedaan
konsentrasi bahan radioaktif yang tinggi (Madzivire, et al., 2013). Hal ini mungkin terjadi dikarenakan perbedaan sifat
fisik dan kimia tiap jenis batubara.
Kesimpulan
23. 1. Acharya, B. S. & Kharel, G., 2020. Review papers : Acid mine drainage from coal mining in the United States – An overview.
Volume 0022-1694.
2. Akcil, A. & Koldas, S., 2005. Review article - Acid Mine Drainage (AMD): causes, treatment and case studies. Volume 139 -
1145.
3. Bhatta, A., Priyadarshini, S. & Abria, A., 2019. Case study - Physical, chemical, and geotechnical properties of coal fly ash : A
global review. Volume -.
4. CORE FTTM ITB, Indonesian Network for Acid Drainage, 2019. Modul. Bandung, Center of Research Excellence FTTM ITB.
5. Ekaputri, J. J. & Al Bari, M. S., 2020. Perbandingan Regulasi Fly Ash sebagai Limbah B3 di Indonesia dan Beberapa Negara. 26
No.2(150-162).
6. Gautama, R. S., 2012. PENGELOLAAN AIR ASAM TAMBANG. In: BIMBINGAN TEKNIS REKLAMASI DAN PASCATAMBANG PADA
KEGIATAN. Yogyakarta: DITJEN MINERAL & BATUBARA, KESDM.
7. Gautama, R. S., 2014. Pembentukan, Pengendalian dan Pengelolaan Air Asam Tambang. Bandung: ITB Press.
8. Indra, H., Lepong, Y., Gunawan, F. & Afbertiawan, M. S., 2014. Penerapan Metode Active dan Passive Treatment Dalam
Pengelolaan Air Asam Tambang Site Lati. Bandung, Penerbit ITB, pp. 221 - 231.
9. KLHK, 2021. Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) Hasil Pembakaran Batubara Wajib Dikelola, Jakarta: PPID-KLHK.
Referensi
24. 10. KLHK, 2021. Pengelolaan Limbah Abu Batubara Berdasarkan PP Tetap Lindungi Lingkungan, Jakarta: KLHK.
11. Lee, J. K., Shang, J. Q., Wang, H. & Zhao, C., 2014. In-situ study of beneficial utilization of coal fly ash in reactive mine tailings.
-(73-80).
12. Madzivire, G., Maleka, P. P., Vadapalli, V. R. & Gitari, W. M., 2013. Fate of the naturally occurring radioactive materials
during treatment of acid mine drainage with coal fly ash and aluminium hydroxide. Journal of Environmental Management,
pp. 12-17.
13. Nason, P. et al., 2014. Alternative waste residue materials for passive in situ preventionof sulfide-mine tailings oxidation: A
field evaluation. -(245 – 254).
14. Nugraha, C., 2019. Pengelolaan Lingkungan Pertambangan. Bandung: Kepak Indonesia.
15. Oklima, A. M., Sudarsono, Iskandar & Suryaningtyas, D. T., 2014. Pemanfaatan Abu Batubara dan Bahan Humat Sebagai
Amelioran Tanah Pada Tambang Batu Hijau PT Newmont Nusa Tenggara. Bandung, Penerbit ITB.
16. Petrus, H. T. B. M., Supraptaa, W., Setiawan, F. A. & Olvianas, M., 2020. Cenospheres characterization from Indonesian coal-
fired power plant fly ash and their potential utilization. -(2213-3437).
17. Rafieizonooz, M., Khankhaje, E. & Rezania, S. R. c., 2022. Assessment of environmental and chemical properties of coal ashes
including fly ash and bottom ash, and coal ash concrete. -(2352-7102).
Referensi