3. Perilaku organisasi adalah suatu bidang studi yang
menyelidiki dampak yang dipunyai oleh suatu individu,
kelompok, dan juga struktur pada perilaku yang ada di
dalam suatu organisasi. Tujuan dari perilaku organisasi
adalah untuk menerapkan ilmu pengetahuan agar bisa
meningkatkan keefektifan suatu organisasi.
-Timothy A. Judge
Bidang yang menyelidiki pengaruh yang ditimbulkan oleh
individu, kelompok dan struktur terhadap perilaku (manusia)
di dalam organisasi dengan tujuan menerapkan
pengetahuan yang dapat untuk meningkatkan efektivitas
organisasi. Kesimpulannya yang dapat diambil dari uraian di
muka adalah bahwa perilaku keorganisasian adalah suatu
studi tentang apa yang dikerjakan oleh orang-orang dalam
organisasi dan bagaimana perilaku orang-orang tersebut
dapat mempengaruhi kinerja organisasi dengan bahan
kajiannya adalah sikap manusia terhadap pekerjaan,
terhadap rekan kerja, imbalan , kerjasama dan yang lainnya.
-D. Stephen P.Robins (2001)
4. Menjelaskan berarti kajian perilaku organisasi berupaya
mengetahui factor-faktor penyebab perilaku seseorang
atau kelompok. Penjelasan fenomena dalam manajemen
merupakan hal yang penting karena membantu para
manajer atau pemimpin tim dalam melakukan sasaran
kelompok tim.
Meramalkan berarti perilaku organisasi membantu
memprediksi kejadian organisasi pada masa mendatang.
Pengetahuan terhadap factor-faktor penyebab
munculnya perilaku individu atau kelompok membantu
manajer meramalkan akibat-akibat dari suatu program
atau kebijakan organisasi.
Mengendalikan berarti bahwa perilaku organisasi
menawarkan berbagai strategi dalam mengarahkan
perilaku individu atau kelompok. Berbagai strategi
kepemimpinan, motivasi dan pengembangan tim kerja
yang efektif merupakan contoh-contoh dalam
mengarahkan perilaku individu atau kelompok.
Menurut Robbins (2002) tujuan perilaku organisasi pada
dasarnya ada tiga, yaitu menjelaskan, meramalkan dan
mengendalikan perilaku manusia.
Tujuan
5. Manfaat
Perilaku Organisasi akan bertindak sebagai map untuk kehidupan anggota yang
ada di dalam organisasi.
Melakukan penelitian yang sistematis dan berguna untuk memahami dan juga
memprediksi kehidupan organisasi tersebut.
Perilaku organisasi akan membantu setiap individu dalam memahami perilaku
mereka sendiri dan juga orang lain yang berada di dalam organisasi, sehingga
bisa meningkatkan hubungan interpersonal antar setiap individu yang berada di
dalam organisasi tersebut.
Membantu setiap manajer untuk bisa memahami dan juga memengaruhi
lingkungan dan juga kejadian ataupun masalah yang ada pada organisasinya.
Analisa perilaku organisasi juga akan sangat membantu mencegah adanya
masalah dalam organisasi.
Memberikan motivasi dasar pada setiap manajer agar bisa memberikan
pengarahan dan mengontrol bawahannya secara lebih efektif.
Perilaku organisasi juga berguna untuk menjaga setiap hubungan industrial
perusahaan.
Jika berbagai prinsip manajemen bisa diterapkan secara efektif di dalam
organisasi, maka akan sangat membantu dalam hal memberikan motivasi pada
karyawan dan juga mempertahankan mereka di dalam organisasi.
6. Sosok atau Figur (Figurehead)
Pemimpin (Leader)
Penghubung (Liaison)
Pemantau (Monitor)
Penyebar Informasi (Disseminator)
Juru Bicara (Spokesperson)
Wirausahawan (Entrepreneur)
Pemecah masalah (Disturbance Handler)
Pembagi Sumber Daya (Resource Allocator)
Negosiator (Negotiator)
Peran Manajer
Interpersonal Roles (Peran Antarpribadi)
Informational Roles (Peran Informasional)
Decisional Roles (Peran Pengambilan Keputusan)
Keterampilan Manajer
1. keterampilan teknis
2.keterampilan interpersonal
3. keterampilan konseptual
4. keterampilan diagnostik
5. keterampilan politik
7. Evidence Based
Mangement
Manajemen berbasis bukti adalah praktik manajemen dan pengambilan
keputusan berdasarkan pemikiran kritis dan bukti yang dapat diandalkan.
Praktik tersebut menjadi populer dalam dunia kedokteran pada tahun
1990-an ketika seorang dokter Kanada-Amerika, Dr. David Sackett,
mendefinisikan praktik berbasis bukti sebagai “penggunaan bukti terbaik
saat ini secara teliti, eksplisit, dan bijaksana dalam membuat keputusan
tentang perawatan pasien individu. Walaupun ini terdengar seperti
ekspektasi yang cukup mendasar dari praktisi medis, ada banyak kasus di
mana stres, beban kerja, dan faktor lain menghambat pengambilan
keputusan dan mengakibatkan hasil pasien yang lebih buruk. Dalam
dekade terakhir ini, praktik berbasis bukti menyebar ke disiplin ilmu lain
seperti kebijakan publik, pendidikan, dan manajemen bisnis.
8. Evidence Based
Mangement
Asking: Menerjemahkan masalah atau masalah praktis menjadi
pertanyaan yang bisa dijawab
Acquiring: Secara sistematis mencari dan mengambil bukti
Appraising: Secara kritis menilai kepercayaan dan relevansi bukti
Aggregating: Menimbang dan menyatukan bukti
Applying: Memasukkan bukti ke dalam proses pengambilan keputusan
Assessing: Mengevaluasi hasil keputusan
Di mana dan bagaimana bukti dikumpulkan?
Bisakah bukti menjadi bias ke arah tertentu?
Apakah itu bukti terbaik yang tersedia?
Apakah ada cukup bukti untuk mencapai kesimpulan?
Manajemen berbasis bukti menjadikan pemimpin lebih efektif dan
akuntabel serta memberikan hasil yang lebih baik untuk organisasi. The
Chartered Institute of Personnel and Development (CIPD) dan The Center
for Evidence-Based Management (CEBMa) menguraikan enam langkah
yang dapat diikuti untuk meningkatkan kemungkinan hasil yang
menguntungkan dari keputusan sebuah organisasi:
Langkah selanjutnya adalah critical appraisal, memainkan peran sentral
dalam mengevaluasi kualitas, kepercayaan, dan relevansi bukti yang
digunakan untuk membuat keputusan. Untuk melakukan ini, kita harus
bertanya pada diri sendiri pertanyaan seperti:
Dengan cara ini, kita tidak hanya mengumpulkan bukti dari banyak
sumber, tetapi juga memprioritaskannya dan berpikir kritis tentang
validitasnya alih-alih menerima begitu saja.
9. Pendekatan kontingensi untuk manajemen didasarkan pada gagasan bahwa
tidak ada satu pun cara terbaik untuk mengelola sebuah organisai. Organisasi
yang efektif harus menyesuaikan perencanaan, pengorganisasian,
kepemimpinan, dan pengendalian dengan keadaan khusus pada
organisasitersebut. Dengan kata lain, manajer harus mengidentifikasi kondisi
tugas, persyaratan pekerjaan manajemen, dan orang-orang yang terlibat
sebagai bagian dari situasi manajemen yang lengkap. Para pemimpin kemudian
harus bekerja untuk mengintegrasikan semua aspek ini menjadi solusi yang
paling tepat untuk keadaan tertentu.
Pendekatan kontingensi manajemen mengasumsikan bahwa tidak ada jawaban
universal untuk banyak pertanyaan karena organisasi, orang, dan situasi
bervariasi dan berubah dari waktu ke waktu. Seringkali tidak ada satu jawaban
yang benar ketika manajer bertanya: “Apa hal yang benar untuk dilakukan?
Haruskah kita memiliki struktur mekanistik atau organik? Struktur fungsional
atau divisi? Rentang manajemen yang lebar atau sempit? Struktur organisasi
tinggi atau datar? Mekanisme kontrol dan koordinasi yang sederhana atau
kompleks? Apakah kita harus tersentralisasi atau terdesentralisasi? Haruskah
kita menggunakan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas atau
orang? Pendekatan motivasi dan program insentif apa yang harus kita
gunakan?” Dengan demikian, jawabannya tergantung pada berbagai
kontingensi lingkungan dan internal yang kompleks.
Contingency Approach
to Management
10. Contingency Approach
to Management
Ukuran organisasi
Bagaimana perusahaan menyesuaikan diri dengan lingkungannya
Perbedaan antara sumber daya dan aktivitas operasi
Asumsi manajer tentang karyawan
Strategi
Teknologi yang digunakan
Teori kontingensi mirip dengan teori situasi dimana ada asumsi bahwa tidak ada
cara sederhana yang selalu benar. Teori situasi, bagaimanapun, lebih berfokus
pada perilaku yang harus digunakan pemimpin. Teori kontingensi mengambil
pandangan yang lebih luas yang mencakup faktor kontingen tentang kapabilitas
pemimpin dan juga mencakup variabel lain dalam situasi tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi teori kontingensi sangat banyak, antara lain:
11. Model Analisis
Perilaku Organisasi
Model Autokratis (Autocratic Model)
Model autokratis sangat tergantung pada kekuasaan. Siapa pun yang
memerintah harus memiliki kekuasaan (power) untuk meminta “Anda melakukan ini
atau melakukan itu.” Konsekuensinya adalah seorang karyawan yang tidak tunduk
perintah akan dihukum.
Pada kondisi autokratik, orientasi manajemen adalah bersifat formal dan memiliki
otoritas resmi. Otoritas ini didelegasikan melalui hak memerintah terhadap orang
lain hingga bagaimana dalam penerapannya.
Dalam lingkungan autokratis maka karyawan tunduk kepada boss, bukan
hubungan bawahan dengan manajernya. Nasib karyawan tergantung pada boss,
yang kekuasaannya adalah mengangkat, memecat, dan “memeras keringat”
mereka.
Boss membayar dengan upah minimum, karena kinerja yang diberikan oleh
karyawan mungkin juga rendah. Karyawan dengan terpaksa menerima kenyataan
ini karena tuntutan harus menghidupi dirinya dan anggota keluarga. Beberapa
karyawan memberikan kinerja lebih baik karena adanya dorongan pribadi, atau
karena kagum akan kehebatan boss-nya, karena boss adalah seorang “pemimpin
kharismatik,” atau karena faktor-faktor yang lain.
12. Model Analisis
Perilaku Organisasi
Model Kustodial (The Custodial Model)
Keberhasilan pendekatan kustodial tergantung pada sumber daya ekonomi.
Tujuan orientasi manajerial adalah pada pembayaran gaji dan manfaat (benefit).
Benefit adalah istilah di dalam penggajian yang bermakna pendapatan di luar gaji,
misalnya fasilitas kendaraan, rumah, dll.
Karena kebutuhan fisik karyawan telah terpenuhi, pengusaha menggunakan
kebutuhan akan rasa aman (security needs) sebagai kekuatan untuk melakukan
motivasi. Apabila perusahaan tidak memiliki cukup kekayaan untuk menyediakan
pensiun dan pembayaran manfaat (benefit) yang lain bagi karyawan, perusahaan
belum dapat menerapkan model kustodial.
Pendekatan kustodial akan membuat karyawan tergantung pada organisasi.
Mereka tidak lagi tergantung pada kemurahan hati boss, tetapi lebih tergantung
pada organisasi untuk mendapatkan keamanan dan kesejahteraan.
Karyawan yang bekerja di dalam lingkungan kustodial secara psikologis berada
dalam pengaruh ganjaran ekonomi (economic rewards) dan manfaat (benefit).
Akibat perlakuan itu, mereka sangat mapan dan senang. Namun, kesenangan tidak
selalu menghasilkan motivasi yang tinggi; karyawan hanya menghasilkan cara kerja
yang pasif. Akibatnya kinerja karyawan pada lingkungan kustodial tidak lebih baik
dibandingkan pada pendekatan autokratik.
13. Model Analisis
Perilaku Organisasi
Model Suportif (Supportive Model)
Model suportif sangat tergantung pada kepemimpinan, dan bukan tergantung
pada kekuasaan atau uang. Melalui kepemimpinan, manajemen menciptakan suatu
iklim untuk mendorong karyawan berkembang dan meraih cita-citanya melalui
organisasi sepanjang mereka mampu.
Para pimpinan berasumsi bahwa para karyawan secara alamiah tidak bersikap
pasif dan menentang (resistant) terhadap kebutuhan organisasi, mereka berlaku
demikian hanya apabila iklim kerjanya tidak mendukung. Mereka akan mengambil
alih tanggung jawab, memberikan kontribusi, dan memperbaiki diri sepanjang
manajemen memberi mereka kesempatan. Karena itu orientasi manajemen adalah
untuk mendukung kinerja pekerjaan karyawan, bukan sekadar memberikan gaji dan
manfaat yang memadai seperti halnya dalam pendekatan kustodial.
Karena manajemen mendukung karyawan dalam pekerjaan mereka, perasaan
psikologisnya adalah adanya rasa kebersamaan dan keterlibatan tugas di dalam
organisasi. Karyawan mungkin berkata “kami dan bukan mereka,” ketika merujuk
pada organisasi. Rasa memiliki organisasi sangat tinggi.
Pada model suportif, karyawan lebih termotivasi dibandingkan pada model
sebelumnya karena status mereka dan kebutuhan akan pengakuan lebih
terpenuhi. Mereka memiliki semangat untuk bekerja.
14. Model Analisis
Perilaku Organisasi
Model Kolegial (Collegial Model)
Perluasan dari model suportif adalah model kolegial. Istilah “kolegial,” berkaitan
dengan sekelompok orang yang menganggap diri mereka menjadi satu tubuh
untuk bekerja sama secara kooperatif.
Model kolegial tergantung pada bagaimana manajemen mengembangkan rasa
kemitraan dengan karyawan. Hasilnya adalah karyawan merasa dibutuhkan dan
berguna. Mereka merasakan bahwa para manajer juga memberikan kontribusi,
sehingga adalah mudah untuk menerima dan menghargai peran mereka di
organisasi. Para manajer dipandang sebagai kontributor bersama dan bukan
sebagai bos.
Orientasi manajerialnya adalah mengarah ke kerja tim. Manajemen adalah pelatih
yang membuat tim menjadi lebih baik. Respon karyawan terhadap situasi ini
adalah tanggung jawab. Misalnya karyawan membuat hasil karya bermutu bukan
karena diperintah oleh atasan atau pengawas akan menghukumnya. Tetapi
mereka merasa bahwa sudah menjadi kewajiban untuk menghasilkan karya
bermutu tinggi. Merupakan kewajiban mereka untuk meningkatkan standar mutu
yang akan memberikan nilai pada pekerjaan mereka dan perusahaan.
Secara psikologis, hasil pendekatan kolegial bagi karyawan adalah adanya disiplin
diri. Rasa bertanggung jawab, disiplin karyawan untuk menggapai prestasi
diumpamakan mirip dengan disiplin anggota tim sepakbola ketika harus berlatih
dan mematuhi aturan main. Dalam lingkungan demikian, karyawan biasanya
merasakan suatu kepenuhan(fulfillment), kontribusi bermakna(worthwhile
contribution), dan aktualisasi diri(self-actualization), meskipun kadarnya (amount)
mungkin bervariasi dalam berbagai situasi. Aktualisasi diri ini akan menghasilkan
kinerja yang lumayan tinggi
15. Model Analisis
Perilaku Organisasi
Model Sistem (System Model)
Perilaku organisasi yang lain adalah model sistem. Ini merupakan hasil pencarian
serius akan makna lebih mulia oleh karyawan masa kini; mereka menginginkan lebih
dari sekadar mendapatkan gaji dan keamanan kerja. Karena diminta menghabiskan
sebagian besar waktunya di tempat kerja, mereka mengharapkan suasana kerja
yang beretika, penuh dengan integritas dan kepercayaan, dan kesempatan untuk
mengalami suasana kebersamaan (sense of community) di antara para rekan
sekerja.
Untuk menggapai hal ini, para manajer harus terus meningkatkan rasa peduli,
sensitif terhadap kebutuhan pekerja yang berbeda-beda, termasuk pesatnya
perubahan kebutuhan pribadi dan keluarga. Sebagai akibatnya, banyak karyawan
memilih organisasi-organisasi yang efektif, dan mengatur kembali hubungan
perusahaan-karyawan dari sudut pandang sistem. Mereka secara psikologis
merasa memiliki organisasi dan produk atau jasanya. Mereka melangkah lebih jauh
dari disiplin diri pada pendekatan kolegial, hingga mencapai kondisi mampu
memotivasi diri (self-motivation). Selain disiplin, mereka mampu memotivasi diri.
Mereka bertanggungjawab terhadap sasaran dan tindakan.
Akibatnya kebutuhan karyawan yang harus dipenuhi juga bervariasi termasuk
kebutuhan yang tertinggi. Misalnya kebutuhan akan pengakuan sosial, kebutuhan
akan status, kebutuhan akan harga diri (esteem), kebutuhan akan kemandirian
(autonomy) dan aktualisasi diri. Karena perusahaan memberikan kesempatan
kepada karyawan untuk memenuhi kebutuhannya melalui pekerjaannya dan
memahami perspektif organisasi, model baru ini dapat meningkatkan ambisi
karyawan dan keterikatannya terhadap sasaran organisasi. Mereka terinspirasi;
mereka merasa penting; mereka percaya akan kegunaan dan kelanggengan
sistem demi kebaikan semua.