Slide ini digunakan untuk bedah buku Desentralisasi Asimetris dalam NKRI karya Dr. Hj. Ni'matul Huda di Pascasarjana FH UII, yogyakarta.
diawali dari absennya negara terhadap pemetaan potensi dan kelemahan daerah, berimbas pada pemberian otonomi khusus yang terkesan serampangan. pemberian status otonomi khusus atau dalam terminologi lain disebut Desentralisasi Asimetris pada Aceh, Papua, DIY, ternyata tidak memiliki pola yang linier. masing-masing memiliki corak yang asimetris juga. pemberian pada Aceh, like or dislike dikarenakan konflik senjata berkepanjangan antara GAM dan pemerintahan RI. pemberian pada Papua, juga tidak dapat dilepaskan dari hal demikian. karenanya, perlu upaya yang serius dari pemerintah RI untuk memetakan segenap potensi dan kelemahan yang ada di setiap daerah untuk dapat mensejahterakan masyarakatnya.
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Memandang Indonesia dari daerah secara kritis
1. Disampaikan dalam Bedah Buku “Desentralisasi Asimetris
dalam NKRI: Kajian terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus
dan
Otonomi Khusus”.
Karya Dr. Ni’matul Huda, SH., M.Hum.,
Sabtu, 18 Oktober 2014, Auditorium Pascasarjana FH UII
2. Prawacana
• Tidak menyadari (peduli?) realitas
multikultur Indonesia
• Tiadanya pemetaan tentang potensi
dan kelemahan daerah
Absennya
Negara
• Desentralisasi 1999, tiada masa transisi
yang memadai
• Melahirkan daerah “difabel”
• DKI Jakarta, tanpa “berontak” diberikan
keistimewaan
• Aceh & Papua mengangkat “senjata”
untuk mendapat otsus.
Efek
sentralisasi
3. Daerah Khusus Ibukota
Jakarta“mimpi besar” Soekarno untuk
Jakarta
Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1961
tentang Pemerintahan Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Raya, yang dikuatkan
melalui UU No. 2 PNPS Tahun 1961 dan
Penetapan Presiden No. 15 Tahun 1963:
1. Peran jakarta harus dijadikan
Indokrtinasi (tempat penggemblengan
faham tertentu, pen.), kota teladan dan
cita-cita bagi seluruh bangsa Indonesia.
2. Jakarta harus memenuhi syarat-syarat
minimum dari kota internasional dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta diberikan kedudukan khusus
yang langsung dikuasai oleh
Presiden/Pemimpin besar revolusi.
3. Kepala Daerah DKI Jakarta
ditempatkan sebagai Mentreri Kepala
Daerah Khusus Ibukota Jakarta melalui
PP No. 15 Tahun 1965.
4. pembangunan DKI Jakarta harus
dilaksanakan secara besar-besaran
yang intensif.
5. DKI Jakarta berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri
berdasar Penetapan Presiden No. 2
Tahun 1961.
Jakarta masa Orde Baru
Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1974 tentang
pokok-pokok pemerintahan daerah
sudah dibuka kemungkinan untuk
menerapkan desain asimetris bagi
Jakarta karena kedudukannya sebagai
ibukota negara
pemerintah secara khusus
mengeluarkan UU No. 11 Tahun 1990
tentang susunan pemerintahan daerah
khusus ibukota negara republik
indonesia Jakarta. Pemerintah
memandang penting untuk membina dan
menumbuh-kembangkan Jakarta dalam
satu kesatuan perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian baik
dengan Pusat maupun dengan
Pemerintah Daerah sekitar.
Gubernur didampingi oleh Wakil
Gubernur yang berjumlah 5 (lima) orang,
pembidangannya diatur dalam
Keputusan Gubernur sesuai pedoman
yang ditetapkan menteri. DPRD hanya
ada pada tingkat provinsi, sedangkan
dalam kotamadya dipimpin oleh
Walikotamadya dan bertanggungjawab
pada Gubernur. Fungsi DPRD di
kotamadya diganti oleh Lembaga
Musyawarah Kota yang terdiri dari
organisasi kekuatan sosial politik, ABRI
dan unsur pemerintah.
Jakarta Reformasi
UU No. 34 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Negara Republik
Indonesia Jakarta. Mengatur otonomi
“hanya” berada di wilayah provinsi.
kotamadya/kabupaten “hanya”
wilayah adminstrasi.
Selanjutnya dikeluarkan UU No. 29
Tahun 2007 tentang Pemerintahan
Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota
NKRI.
1. Kembali menegaskan otonomi di
tingkat provinsi.
2. Wakil gubernur cukup 1 dan dipilih
langsung oleh rakyat dengan syarat
keterpilihan 50% suara sah.
3. walikota/bupati diangkat dan
diberhentikan oleh Gubernur
5. Jalan Panjang Integrasi (?) Tim-
Tim
Revolu
si
Bunga
merah
Portug
Demokrati
sasi
kehidupan
Timor-
Timur.
Janji
Portugal
untuk
Referendu
Konstelasi
berubah
dinamis.
hampir
berujung
perang
saudara
4 Partai Tim-
Tim minus
Freetilin
(komunis)
deklarasi
untuk
integrasi ke
Indonesia.
Dilanjutkan
dengan
Deklarasi
Balibo
30 November
1975
7 Desember
1975
Indonesia
serta
beberapa
negara
adikuasa
menduduki
Timor Leste.
RI Menjawab
deklarasi
Balibo, RI
mengeluarkan
UU No. 7
Tahun 1976
tentang
Pengesahan
Penyatuan
Tim-Tim ke
6. Timor Timur dalam NKRI
• Konflik antar pro integrasi dan pro kemerdekaan terus berlanjut
• Peristiwa Santa Cruz 12 November 1991 mencoreng citra RI di dunia internasional
Integrasi menjadi “duri” bagi NKRI
• Indonesia dalam sorotan mengenai Tim-Tim
• Habibie menawarkan otonomi luas bagi Tim-Tim
• Tarik-menarik otonomi luas atau referendum
Detik-detik referendum
• New York, 5 Mei 1999
• Otsus atau Merdeka sebagai pilihan
• 78,5 % merdeka, 21,5% Otonomi Luas
Referendum Timor-Timur
• Dugaan pelanggaran HAM
• Pengungsi, kewarganegaraan, penyelesaian sengketa aset negara dan hak perdata
perseorangan
• perbatasan
Bercak Referendum Timor-Timur
7. Cenderawasih di Langit
Nusantara
Papua Era Otsus
Belum menjadi
jawaban
Gelontoran dana tak
berbekas
Urgensi Pendekatan
Kesejahteraan
Irian Barat dalam NKRI
Dari Irian Barat ke
Irian Jay(w)a
1998: berteriak
“Papua merdeka”
Pemekaran sebagai
pilihan
Jalan Panjang merebut Papua
Kepentingan
Belanda di Papua
Linggajati ke KMB
Trikora dan New
York Agreement
8. Aceh
Serambi Mekkah, Serambi
Indonesia
Dari Bereuh ke Tiro
• Bereuh: Harga mati Syariat
Islam
• “Kawin paksa” Aceh dan
Sumut (UU Darurat No. 16
Tahun 1955)
• Deklarasi DI/TII oleh Bereuh
• Tiro = Melawan dari
Perantauan
• Motif Sentralisasi atau
ekonomi?
• GAM = dicinta dan dibenci
Otsus Sebagai “Bargaining”
• UU No. 24 Tahun 1956 =
Regulasi setengah hati
• Kep. Perdana Menteri RI No.
1/Misi/1959 dikuatkan UU No.
18 Tahun 1965 = Status
“Daerah Istimewa”. Otonomi
bidang agama, adat,
Pendidikan.
• UU No. 44 Tahun 1999 =
Legalisasi Syariat Islam, tidak
menjawab persoalan ekonomi
yang diminta GAM, Show off
GAM Pasca Reformasi
• UU No. 18 Tahun 2001 =
Nama “Nanggroe Aceh
Daruusalam”. Bagi hasil
minyak dan gas bumi 70%
selama 8 Tahun. Dapat
menerima bantuan LN. Peran
ulama dalam penetapan
kebijakan Aceh. Pembentukan
Mahkamah Syariah, Wali
Nanggroe.
Aceh Kontemporer
• Demokratisasi NKRI (Pilpres
langsung)
• Tsunami Aceh, Blessing in
disguise
• Mou Helsinki, tonggak
perdamaian Aceh
• UU No. 11 Tahun 2006 =
Mengalah untuk menang?
Partai Lokal, Syariat Islam=
ibadah, muamalah, ahwal
alsyakshiyah jinayah, qadha’,
tarbiyah, dakwah. Wali
Nanggroe, calon independen
dalam Pilkada, 70% hasil
semua cadangan hidrokarbon
dan SDA saat ini dan masa
mendatang di wilayah
teritorial Aceh, BPN menjadi
perangkat Daerah.
• Quo Vadis Perdamaian Aceh
• Sikap “banci” RI soal Qanun
Wali Nanggroe dan Bendera
9. Bhinneka
Tunggal
Ika
• Kesadaran multikultural para pendiri bangsa
• Penghormatan terhadap keunikan daerah
Pasal 18B
ayat (1)
UUD 1945
• Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dalam UU
• Ketiadaan turunan Pasal ini dalam UU yang sifatnya holistik
Urgensi
turunan
Pasal 18B
ayat (1)
dalam
bentuk UU
• Pemberian parsial. (kepentingan politis)
• Perspektif “Jakarta” an sich
• Bola liar pemberian daerah istimewa, daerah khusus, otonomi
khusus
• Mulai memandang Indonesia dari daerah
10. “Dalam suatu masyarakat, keadilan barulah
bernama keadilan di mana tidak ada
perbedaan antara mereka yang dekat
dengan mereka yang jauh dari kita”
-Emmanuel Levinas