3. Surat Al-Ma’un adalah surat ke 107 dari Al-Qur’an
yang terdiri dari 7 ayat;
menurut jumhur ulama ia tergolong surat
Makkiyah—sedangkan menurut Ibnu Abbas dan
Qatadah ia adalah surat Madaniyyah—turun sesudah
surat at-Takatsur.
Sebagian ulama berpendapat bahwa bagian awal
surat ini (ayat 1-3) menyinggung Al-‘Ash bin Wail
(kafir Quraisy) dan bagian akhir surat ini (ayat 4-7)
menyinggung Abdullah bin Ubay (orang munafiq).
4. Surat ini dinamai pula surat ad-din, surat at-
Takdzib, surat al-Yatim, surat Ara’aita, dan surat
Ara’aita al-ladzi.
Al-Thabari menyebutnya surat Ara’aita. Al-
Qurthubi, Ibnu Katsir, dan Sayyid Quthub,
menyebutnya Al-Ma‘un.
Sedangkan Asy-Syaukani menyebutnya dengan
surat Al-Yatim.
5. Ayat 1:
ِينِالدِب ُبَِذكُي يِذَّلا َتْيَأَرَأ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?”
As-Syaukani berpendapat, pertanyaan di ayat ini adalah
untuk menunjukkan rasa heran atas sikap orang yang
mendustakan ad-din. Sedangkan ara’aita yang akar
katanya adalah ru’yah mempunyai arti ma’rifah (tahu).
Berkenaan dengan ayat ini, At-Thabari mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah, “Tahukah kamu
Muhammad orang yang mendustakan pahala dan siksa
Allah, sehingga tidak mematuhi perintah dan menjauhi
larangannya?”
6. At-Thabari memaknai yukadzibu bid-din dengan
mendustai pahala Allah, hukuman Allah, tidak taat
terhadap perintah dan dan tidak meninggalkan
larangan-Nya. Sebuah riwayat dari Ibnu Abbas yang
disitir oleh At-Thabari mengungkapkan bahwa
yukazzibu bi al-din berarti yukazzibu bihukmillahi,
yang berarti mendustakan hukum Allah Ta’ala.
Riwayat dari Ibnu Juraij yang dikutipnya juga
menyatakan bahwa ad-din di dalam ayat ini berarti
hari perhitungan.
7. Mereka selalu mengatakan,
َونُثوُعْبَمَل اَّنِإَأ اًماَظِعَو اًباَرُت اَّنُكَو اَنْتِم اَذِئَأ
“Apakah apabila kami mati dan menjadi tanah dan
tulang belulang, apakah sesungguhnya kami benar-
benar akan dibangkitkan kembali?” (QS. Al-Waqi’ah:
47)
Mereka juga berkata,
يمِمَر َيِهَو َماَظِعْلا يِيْحُي ْنَم
“Siapakah yang dapat menghidupkan
tulang belulang, yang telah hancur luluh?” (QS. Yasin:
78)
8. Ayat 2:
َميِتَيْلا ُّعُدَي يِذَّلا َكِلََٰذَف
“Itulah orang yang menghardik anak yatim.”
Di dalam Lisan al-‘Arab disebutkan bahwa kata yadu‘u
berarti mendorong dengan cara kasar, tidak ramah,
kejam, dan keji. Fadzalika al-lazi yadu’u al-yatim
berarti memperlakukan anak yatim dengan keras, kejam,
dengan penolakan serta kemarahan, teguran dan celaan.
Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi menyebutkan bahwa
yatim adalah anak yang bapaknya telah meninggal dan
dia di bawah usia baligh baik lelaki atau wanita.
9. Asy-Syaukani menyebutkan kata yadu‘u berarti
menolak dengan cara kekerasan dan kekasaran,
yaitu menolak memberikan hak-hak yatim dengan
penolakan yang sangat.
Sayyid Quthub menyebutkan bahwa makna yadu’u
al-yatim adalah meremehkan, merendahkan
yatim, serta menyakitinya.
Ad-Dhahhak yang dikutip oleh Al-Qurthubi yadu’u
al-yatim berarti: menunda-nunda dan
memperlambat pemenuhan hak yatim.
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yadu’u al-yatim
berarti membuat susah anak-anak yatim,
menzalimi hak-hak mereka, tidak memberi makan
mereka, dan tidak berbuat baik kepada mereka.
10. Hal ini didukung oleh sebuah riwayat dari Ibnu Abbas:
دْعَس نْب دَّمَحُم يِنَثَّدَح
,
َلاَق
:
يِبَأ يِنَثحد
,
َلاَق
:
َ
يَِمع يِنَثحد
,
َلاَق
:
يِبَأ يِنَثحد
,
ِهيِبَأ َْنع
,
اسَّبَع نْبِا َْنع
,
ِتَيْلا ُعدَي يِذَّلا َكِلَذَف
يم
َلاَق
:
يمِتَيْلا قَح عَفْدَي
“Muhammad bin sa‘d telah bercerita kepadaku. Dia
berkata: Ayahku telah bercerita kepadaku. Dia berkata:
Pamanku telah bercerita kepadaku. Dia berkata:
Ayahku telah bercerita kepadaku, dari ayahnya, dari
Ibnu Abbas: fazalika al-lazi yadu’u al-yatim. Dia
berkata: maksudnya adalah menahan hak-hak yatim.”
11. Ayat 3:
ِينِكْسِمْلا ِامَعَط َٰ
ىَلَع ُّضُحَي َ
َلَو
“dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”
Sebagaimana yang diungkapkan Al-Qurthubi, Dr. Amin
bin Abdullah asy-Syaqawi berkata bahwa maksud ayat
ini adalah tidak memerintahkan untuk memberi
makan orang miskin karena didasari
kebakhilan atau karena mendustakan hari pembalasa
n. Disebutkan di dalam firman Allah Ta’ala:
َط َٰ
ىَلَع َونُّضاَحَت َ
َلَو َميِتَيْلا َونُم ِ
رْكُت َ
َل ْلَب ۖ َّ
ََّلك
ِينِكْسِمْلا ِامَع
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak
memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling
mengajak memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Fajr:
17-18).
12. Kata al-miskin dalam Lisan al-‘Arab diartikan
dengan kondisi di mana seseorang dalam keadaan
rendah, hina, terkalahkan, dan dipaksa (meskipun
sebenarnya seseorang tersebut kaya).
Menurut Ibnu Katsir miskin adalah al-faqir, yakni
seseorang yang tidak punya sesuatu apapun untuk
memenuhi dan mencukupi biaya hidupnya.
13. Ayat 4:
َينِلَصُمْلِل لْيَوَف
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat.”
Di dalam Lisan al-‘Arab dijelaskan bahwa ada tiga
pendapat mengenai kata wail:
Pertama, menurut Ibnu Mas‘ud, wail adalah nama salah
satu jurang di neraka jahanam.
Kedua, menurut Al-Kilabi, wail adalah azab yang sangat
kuat dan sangat pedih.
Ketiga, menurut Al-Farra’ pada asalnya kata wail adalah
ditujukan untuk setan, artinya kesusahan untuk setan.
14. Ayat 5:
َونُهاَس ْمِهِت َ
َّلَص َْنع ْمُه َِينذَّلا
“(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”,
Ibnu al-Asir berkata bahwa kata al-sahwu yang didahului/diikuti
oleh fi berarti meninggalkan sesuatu karena didasari oleh
ketidaktahuan tentang sesuatu tersebut. Sedangkan al-sahwu yang
didahului/ diikuti oleh ‘an berarti meninggalkan sesuatu dengan
disertai pengetahuan bahwa sesuatu itu tidak boleh ditinggalkan,
atau meninggalkan sesuatu dengan sengaja.
Al-Qurthubi mengemukakan pendapat mengenai alladzina hum ‘an
shalatihim sahun,
Pertama, mereka adalah orang-orang yang ketika mengerjakan
shalat tidak mengharapkan pahala, dan ketika meninggalkan shalat
tidak merasa takut atau khawatir terhadap siksa.
15. Kedua, mereka adalah orangorang yang
mengakhirkan shalat dari waktunya.
Berikut ini komentar para ulama tentang ayat ini
sebagaimana dihimpun dalam Tafsir Ibnu Katsir,
Muhammad bin Kaab Al Quraan Al Qurdly, Ibnu
Zaid bim Aslam dan As-Sady menyatakan yang
disebut meremehkan sholat adalah meninggalkan
shalat (tidak shalat).
Al Auz, Ibnu Maasud, Ibnu jarir, dan Ibnu Juraih
menyebutkan makna meremehkan sholat adalah
meremehkan waktunya.
16. Al Hasan Al-Bashri menyatakan makna meremehkan shalat
adalah meninggalkan masjid. (Tafsir Ibnu katsir 3 / 21 )
Ibnu Abbas berkata: “Pengertian meninggalkan shalat
berarti meninggalkan shalat itu sama sekali.”
Said bin Musayyib berkata: “Orang itu tidak shalat Ashar,
Dzuhur kecuali hingga datangnya waktu maghrib, tidak
shalat maghrib hingga datangnya waktu Isya dan tidak
shalat Isya hingga datangnya Fajar (shubuh).”
Saad bin Abi Waqash berkata: “Aku telah bertanya kepada
Rasulullah tentang mereka yang melalaikan sholatnya, maka
beliau menjawab: ‘Yaitu Mengakhirkan waktu , yakni
mengakhirkan waktu sholat.’”
17. Sayyid Quthub menjelaskan bahwa al-mushallin
tersebut mengerjakan shalat, akan tetapi mereka
tidak benar-benar mendirikan shalat. Mereka
melakukan gerakan shalat, melafalkan doa-doanya,
akan tetapi hatinya tidak hidup bersama apa yang
dilakukan dan apa yang dilafalkan. Ruhnya tidak
bisa menghadirkan hakikat shalat dan hakikat
bacaan-bacaan serta doa-doa yang ada di dalam
shalat. Mereka shalat karena riya’ kepada manusia
dan tidak ikhlas karena Allah. Shalatnya tidak
meninggalkan bekas di dalam jiwa.
18. Sedangkan pendapat yang dianggap benar dan
dipilih oleh At-Thabari adalah pendapat yang
menyatakan bahwa sahun berarti memalingkan
perhatian, melupakan, dan melalaikan shalat, baik
karena menyibukkan diri dengan urusan-urusan
selain shalat sehingga shalat menjadi terabaikan,
ataupun dengan mengabaikan waktu shalat sehingga
shalat dilaksanakan tidak tepat pada waktunya.
19. Ayat 6:
َونُءاَرُي ْمُه َِينذَّلا
“Orang-orang yang berbuat riya,”
Menurut At-Thabari, alladzina hum yura’un adalah
orang-orang yang memperlihatkan shalatnya kepada
manusia bukan karena mengharap pahala dan takut
akan siksa.
Shalat yang mereka laksanakan bertujuan agar
orang-orang mukmin melihatnya sehingga
menganggap bahwa mereka adalah bagian dari
orang mukmin.
20. Pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, shalat yang didasari oleh riya’ banyak
dilakukan oleh orang-orang munafik. Mereka
menyembunyikan kekufurannya, dan sebaliknya
mereka menampakkan keislamannya. Shalat yang
mereka lakukan didasari oleh suatu kepentingan,
yaitu agar orang-orang mukmin berprasangka baik
kepada mereka sehingga darah mereka terlindungi.
21. Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« َكْلِت ،ِقِفاَنُمْلا ُة َ
َّلَص َكْلِت ،ِقِفاَنُمْلا ُة َ
َّلَص َكْلِت
ُبُقْرَي ُسِلْجَي ،ِقِفاَنُمْلا ُة َ
َّلَص
َق ِانَطْيَّشال ِيَنْرَق َنْيَب ْتَنَاك اَذِإ ىَّتَح َ
سَّْمشال
يِف ُ َّ
َّللا ُُركْذَي َ
َل اًعَبْرَأ َرَقَنَف َما
َّ
َلِإ اَه
ً
يَّلِلَق»
“Itu adalah salatnya orang munafik, itu adalah
salatnya orang munafik, itu adalah salatnya orang
munafik. Dia duduk menunggu matahari; dan
manakala matahari telah berada di antara kedua
tanduk setan (yakni akan tenggelam), maka bangkitlah
ia (untuk salat) dan mematuk (salat dengan cepat)
sebanyak empat kali, tanpa menyebut Allah di
dalamnya melainkan hanya sedikit.”
22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan
umatnya mengenai bahaya riya dalam beribadah,
“ ِف ِيداَوْلا َكِلَذ ْنِم ُمَّنَهَج ُذيِعَتْسَت اًيِداَوَل َمَّنَهَج يِف َّنِإ
ِلَذ َّدِعُأ ،ٍةَّرَم ِةَئاِمَعَبْرَأ ٍم ْوَي ُِلك ي
َك
َِيداَوْلا
ٍدَّمَحُم ِةَّمُأ ْنِم َينِئاَرُمْلِل
:
ِ َّ
َّللا ِباَتِك ِلِامَحِل
.
ِدَّصُمْلِلَو
ِتْيَب ىَلِإ ِاجَحْلِلَو ،ِ َّ
َّللا ِتاَذ ِ
رْيَغ يِف ِق
،ِ َّ
َّللا
ِ َّ
َّللا ِليِبَس يِف ِج ِ
ارَخْلِلَ”و
“Sesungguhnya di dalam neraka Jahanam benar-benar terdapat
sebuah lembah yang neraka Jahanam sendiri meminta
perlindungan kepada Allah dari (keganasan) lembah itu setiap
harinya sebanyak empat ratus kali. Lembah itu disediakan bagi
orang-orang yang riya (pamer)dari kalangan umat Muhammad
yang hafal Kitabullah dan suka bersedekah, tetapi bukan karena
Zat Allah, dan juga bagi orang yang berhaji ke Baitullah dan
orang yang keluar untuk berjihad(tetapi bukan karena Allah).”
(HR. Thabrani)
23. Ayat ke 7
الماعون يمنعون و
Al-Qurthubi menyebutkan sedikitnya dua belas
pemaknaan terhadap kata Al-Ma‘un:
Zakat harta benda. Hal ini berdasar riwayat Al-Dhahak
dari Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib. Dan yang
dimaksud adalah orang-orang munafik yang tidak mau
mengeluarkan zakat mereka. Zakat dinamakan al-Ma‘un
(sesuatu yang sedikit) karena zakat diambil dari
seperempat puluh dari harta (2.5%), dan itu merupakan
jumlah yang kecil dari sesuatu yang banyak.
Pemaknaan ini sesuai dengan bahasa suku Quraisy. Hal
ini berdasar sebuah riwayat dari Ibnu syihab dan Sa‘id
bin al-Musayyab.
24. Makna lain kata “al Maun”
Sesuatu yang dikenal sebagai hal penting yang diberikan
kepada sesama manusia.
Air dan rerumputan.
Air saja, karena sebagian orang Arab mengatakan al-
Ma‘un dengan maksud untuk menyebut air.
Mencegah sesuatu yang hak / benar.
Manfaat dari harta.
Ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan.
Sesuatu yang ringan untuk dikerjakan, akan tetapi Allah
melipatgandakan (pahalanya). Pada masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Ma‘un diartikan dengan
orang yang meminjamkan ember dan periuk.
25. Intisari Surat
Pertama: Ayat ini menjelaskan tentang anjuran
memberi makan kepada orang miskin dan anak
yatim.
َلاَق عنه هللا رضي ٍدْعَس ِنْب ِلْهَس َْنع
:
ِ َّ َ
َّللا َلوُسَر َلاَق
وسلم عليه هللا صلى
:
اَنَأ
َباَّبَّسالِب ََارشَأَو ،َذَكه ِةَّنَجْلا ىِف ِيمِتَيْلا ُلِفَاكَو
ْيَش اَمُهَنْيَب َجَّرَفَو ىَطسُوْلاَو ِة
ًا
Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Aku dan orang yang menanggung anak yatim
(kedudukannya) di surga seperti ini’, kemudian beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari
telunjuk dan jari tengah beliau, serta agak
merenggangkan keduanya.” (HR al-Bukhari no. 4998
dan 5659)
26. Dari Abu Hurairah, berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ِدِهاَجُمْلَاك ،ِنْيِكاَسَمْلاَو ِةَلَمْرَألْا ىَلَع يِعاَّسال
ْوُصَي ِيذَّلَاكَو ،ِهللا ِلْيِبَس يِف
ُم
َلْيَّلال ُم ْوُقَيَو َارَهَّنال
“Orang yang berusaha menghidupi para janda dan
orang-orang miskin laksana orang yang berjuang
di jalan Allah. Dia juga laksana orang yang
berpuasa di siang hari dan menegakkan shalat di
malam hari.”(HR. Bukhari no. 5353 dan Muslim no.
2982)
27. Kedua: Anjuran untuk menunaikan shalat pada waktunya.
Allah Ta’ala berfirman,
اًتوُق ْوَم اًباَتِك َينِنِمْؤُمْلا ىَلَع ْتَنَاك َة َ
َّلَّصال َّنِإ
“Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Nisa’: 103)
ٍد ْوُعْسَم ِنْبا َْنع َو
–
ُهْنَع ُهللا َي ِ
ضَر
–
َلاَق ،
:
ُسَر ُتْلَأَس
ِهللا َل ْو
–
َّلَسَو ِهْيَلَع ُهللا ىَّلَص
َم
–
ُّيَأ
َلاَق ؟ ُلَضْفَأ ِلاَمْعَألا
:
اَهِتْقَو ىَلَع ُةََّلَّصال
ُتْلُق
:
َّمُث
َلاَق ؟ يَأ
:
ُتْلُق ِنْيَدِلاَالو ُّرِب
:
َلاَق ؟ أي َّمُث
:
ِ ِهللا ِلْيِبَس يِف ُداَه ِالج
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang
paling utama?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” Aku
berkata, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Berbuat baik kepada
orang tua.” Aku berkata lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab,
“Jihad di jalan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih). (HR. Bukhari, no. 7534
dan Muslim, no. 85)
28. Ketiga: Anjuran untuk mengerjakan kebajikan, dan berbuat
baik kepada orang lain.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya dari Ibnu Amr
bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ
َّْلعَأ ًةَلْصَخ َونُعَبْرَأ َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُ َّ
َّللا ىَّلَص ِ َّ
َّللا ُلوُسَر َلاَق
َي ٍلَِامع ْنِم اَم ِ
زْنَعْلا ُةَحيِنَم َّنُه
ٍةَلْصَخِب ُلَمْع
اَهْنِم
َق َةَّنَجْلا اَهِب ُ َّ
َّللا ُهَلَخْدَأ َّ
َلِإ اَهِدُوع ْوَم َِيقدْصَتَو اَهِباَوَث َءاَجَر
ِنَم َُوند اَم اَنْدَدَعَف ُانَّسَح َلا
َر ْنِم ِ
زْنَعْلا ِةَحي
ِد
َمَف ِهِوْحَنَو ِيق ِ
رَّطال َْنع ىَذَ ْ
األ ِةَطاَمِإَو ِ
سِاطَعْلا ِتيِْمشَتَو ِم َ
َّلَّسال
َْرشَع َ
سْمَخ َغُلْبَن ْنَأ اَنْعَطَتْسا ا
ًةَلْصَخ َة
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ada empat puluh
kebiasaan baik, yang tertingginya adalah memberi seekor kambing.
Tidaklah seseorang beramal dari perbuatan-perbuatan kebaikan tersebut
dengan harapan dia mengharap pahala darinya dan membenarkan apa
yang dijanjikan padanya, melainkan Allah memasukkannya dengan
amalnya ke dalam surga”. Hassan berkata: “Maka kami menghitung
kebiasaan baik itu setelah pemberian kambing mulai dari menjawab
salam, menjawab orang yang bersin, menyingkirkan halangan dari jalan
dan yang semisalnya namun kami tidak sanggup untuk sampai pada
lima belas kebiasaan baik tersebut”. (HR. Bukhari No. 2438)
29. Keempat: Anjuran untuk berbuat ikhlas dalam
beramal dan waspada terhadap riya dan sum’ah.
Allah Ta’ala berfirman,
َو اًميِتَيَو اًنيِكْسِم ِهِبُح َٰ
ىَلَع َماَعَّطال َونُمِعْطُيَو
ِ َّ
َّللا ِهْجَوِل ْمُكُمِعْطُن اَمَّنِإ اًيرِسَأ
ُدي ِ
رُن َ
َل
اًُوركُش َ
َلَو ًءاَزَج ْمُكْنِم
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya
kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang
ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan
kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan
Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih. (QS. Al-Insan: 8-9)
30. MAKNA TERJEMAH DAN TAFSIR KATA-KATA
UTAMA /inti
َْتيَأَرَ“أApakah kamu tahu” Maksudnya untuk menarik perhatian
pendengar
ِِينلد “ balasan dan perhitungan
“ ِينِكْسِمْال ِامَعَط َٰ
ىَلَع ُّ
ضُحَي َ
َل َ“و dan tidak menganjurkan memberi makan
orang miskin” Tidak mendorong dirinya dan orang – orang yang
shalat untuk memberi makan orang miskin.
َينِلَصُمْلِل ٌلْي َوَف“ maka kecelakaanlah bagi orang – orang yang shalat”
Kehinaan dan azab pedih bagi orang – orang yang shalat namun
lalai dari shalat mereka.
َونُهاَس ْمِهِت َ
َلَص نَع ْم“ yang lupa dari shalat mereka “ Mengakhirkan
shalat hingga lewat waktunya.
َونُءاَرُي هم “ orang – orang yang berbuat riya’ “ Memamerkan pada
manusia shalat dan amalan dan tidak ikhlas pada Allah dalam
melakukanya,
َونُعاَمْال َونُعَنْمَي َ“وbarang – barang yang berguna
31. TIGA PENDUSTA AGAMA
(menurut Syeh An Nawawi)
Pertama, siapa saja yang mengaku cinta Allah tanpa
sikap wara’ dari yang diharamkan, maka ia
pendusta.
Kedua, siapa saja yang mengaku cinta Nabi
Muhammad SAW tanpa sikap zuhud, maka ia
pendusta.
Ketiga, siapa saja yang mengaku cinta surga tanpa
menginfakkan hartanya, maka ia pendusta,’”
(Lihat Syekh M Nawawi Banten dalam Syarah
Qami'ut Thughyan, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil
Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 5).
32. MAKNA SECARA GLOBAL
Surat ini membicarakan tentang dua kelompok
manusia , yaitu :
1. Orang kafir, mereka yang menyangkal akan
nikmat Allah serta mendustakan hari perhitungan
dan balasan
2. Orang munafik mereka yang tidak ditujukan
amalannya untuk Allah tetapi hanya riya’ dalam
amalan dan shalatnya.
33. A dapun kelompok yang pertama, maka Allah telah menyebutkan
sifat-sifat mereka yang tercela. Mereka menghinakan anak yatim,
menghardiknya dengan kasar tanpa sikap mendidik dan enggan
melakukan kebaikan walaupun sekedar mengingatkan orang lain
akan hak orang – orang miskin dan faqir. Jadi, mereka tidak
berbuat baik dalam hubungan mereka dengan Rabb, tidak juga
dalam hubungan mereka dengan hambaNya dengan yang lain.
Adapun kelompok yang kedua, maka mereka adalah orang – orang
yang munafik yang lalai dari shalatnya, mereka adalah orang –
orang yang tidak menunaikan shalat waktunya dan mereka adalah
orang yang dilahiriyahnya berdiri melakukan shalat namun tanpa
ruhnya, serta pamer dengan amalanya.
Sumber Artikel: https://salafy.or.id/blog/2012/12/08/pelajaran-
surat-al-maun-barang-barang-yang-berguna/ | Salafy.or.id
34. FAEDAH SURAT INI
Dorongan untuk memberi makan anak yatim dan orang
miskin serta menganjurkan hal itu.
Penetapan kepercayaan tentang hari kebangkitan,
perhitungan, dan balasan.
Menjaga shalat dan memelihara waktunya serta ikhlas
dalam melakukannya, begitu pula dalam melakukan
amalan yang lain.
Dorongan untuk melakukan kebaikan dan
mengeluarkan barang yang biasa digunakan. Karena
Allah mencela siapa saja yang tidak melakukanya.
Peringatan dari sifat-sifat orang munafiq
36. Sumber Artikel: https://salafy.or.id/blog/2012/12/08/pelajaran-
surat-al-maun-barang-barang-yang-berguna/ | Salafy.or.id
Sumber Bacaan:
Pendusta Agama dalam Perspektif Alquran: Analisis Surat Al-
Ma’un Menurut Mufasir Klasik dan Kontemporer, Achmad Jazuli.
Waqfah Ma’a Surah Al-Ma’un, Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi.
Tafsir Jalalain.
Tafsir Ibnu Katsir.
Slide Tafsir Surat Al-Ma’un, Lembaga Kajian Manhaj Tarbiyah.