SlideShare a Scribd company logo
1 of 117
1
IMPLEMENTASI MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK DALAM PERJANJIAN
TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN
TESIS
DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS-TUGAS
DAN MEMENUHI PERSYARATAN DALAM MENYELESAIKAN
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
KAJIAN HUKUM KESEHATAN
Oleh :
Lalu M. Guntur Payasan WP, S.Kep.
NPM: 190910140501
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG
2011
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan suatu modal seseorang untuk mencapai
kehidupan yang optimal, hak asasi, dan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karena itu
kesehatan masyarakat merupakan hal yang mutlak harus dijaga, diupayakan,
dan dipenuhi oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.1
Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan
berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam
rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan
ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional.
Pemeliharaan kesehatan individu merupakan suatu pelayanan di
bidang kedokteran yang melibatkan dokter dan pasien. Layaknya hubungan
antar manusia, maka didalam hubungan pelayanan kedokteran selalu terdapat
kekurangan dan kelebihan, dalam arti ada keuntungan dan kerugian yang
timbul pada saat pelaksanaan dari pelayanan kedokteran tersebut. Apalagi
hubungan ini berkaitan dengan proses penyembuhan penyakit bahkan sampai
menyelamatkan nyawa manusia, sehingga hubungan itu sifatnya sangat unik
karena ada ketergantungan pasien kepada dokter yang dalam hal ini adalah
1
Pasal 28 H Undang-undang Dasar 1945 Amandemen yang menyatakan bahwa setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan.
1
3
“menyerahkan kepercayaan terhadap proses penyembuhan atau
penyelamatan”.
Hubungan ini sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran,
sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan
batasan atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut
tertuang dalam prinsip moral profesi, dimana prinsip utamanya adalah
autonomy (menghormati hak-hak pasien), beneficence (berorientasi kepada
kebaikan pasien), nonmaleficence (tidak mencelakakan pasien), dan justice
(keadilan/meniadakan diskriminasi). sedangkan prinsip turunannya adalah
veracity (kebenaran), truhtfull(kepercayaan), information, fidality (kesetiaan),
privacy(kerahasian), dan confidentiality (menjaga kerahasiaan).2
Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau
satu pihak berjanjikepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau
dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, sedangkan
terapeutik diartikan sebagai sesuatu yang mengandung unsure atau nilai
pengobatan. Secara yuridis perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara
dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk
melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien
berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut.3
Oleh karena praktik kedokteran merupakan pelayanan yang bersifat pemberian
pertolongan atau bantuan yang didasarkan kepercayaan pasien terhadap dokter
2
Safitri Hariyani, 2005. Sengketa Medik: alternative penyelesaian perselisihan antara dokter dan
pasien, Diadit Media,Jakarta. hal. 3
3
Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed consent dalam perjanjian terapeutik, Citra Aditya
Bakti, cet. II Bandung, hal. 1
4
dan bukan merupakan hubungan bisnis semata yang berorientasi pada
keuntungan sepenuhnya.
Prestasi dari perjanjian terapeutik bukanlah hasil yang akan dicapai
(resultaatverbintenis), melainkan suatu upaya yang sungguh-sungguh
(inspanningverbintenis). Hubungan perjanjian semacam ini berikut dengan
tindakan medik yang tercakup didalamnya sudah merupakan bagian dari
hukum, maka harus dipertahankan melalui peraturan perundang-undangan dan
mengacu pada standar-standar tertentu yang sudah ditetapkan oleh lembaga
profesi.
Beberapa tahun belakangan profesi dokter banyak menghadapi
tuntutan hukum, tercatat 405 laporan masalah medis dari berbagai belahan
Indonesia yang diterima oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan.
Sebanyak 73 kasus di antaranya dilaporkan ke kepolisian.4
Selama periode
1994-2004, kasus sengketa medis yang diadukan ke Majelis Kehormatan Etika
Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Jawa Tengah
tercatat 68 kasus, dengan kisaran 2-13 kasus per tahun dan rata-rata 6 kasus
per tahun serta 3 dokter yang diadukan per 1000 dokter yang ada di Jawa
Tengah.5
Beberapa konflik tersebut melibatkan sarana kesehatan baik itu
Puskesmas, Balai pengobatan, Klinik, dan Rumah Sakit. Kasus-kasus seperti
ini banyak sekali,namun kemunculan di media itu sedikit karena memang
4
Kompas, 9 Januari 2007, hal. 8
5
Hariadi R. 2005, Dasar-dasar etik kedokteran. Dalam : Darmadipura MS (editor). Kajian bioetik.
Airlangga University Press,Surabaya. Hal. 15
5
kasus-kasus seperti ini tidak selalu terpublikasi dan sebenarnya dapat
diselesaikan melalui mediasi.
Sengketa dalam hubungan dokter dan pasien adalah suatu kondisi
dimana tidak tercapainya kesepakatan antara dokter dengan pasien mengenai
kerugian dalam pengobatan. Sengketa ini terjadi di bidang kedokteran, yang
secara umum berkaitan dengan kesehatan. Kerugian biasanya diderita pasien,
berupa cacat/luka bahkan meninggal dunia. Pada kenyataannya, upaya
penyelesaian sengketa yang dilakukan umumnya sering menjadi momok yang
menakutkan bagi kalangan dokter sedangkan kalangan pasien sering merasa
tidak dapat terwakili jika penyelesaian sengketa dilakukan melalui badan
milik profesi kedokteran (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
ataupun Majelis Etik Kedokteran). Oleh karena itu diperlukan metode
penyelesaian sengketa yang ideal bagi kedua belah pihak dalam hal ini
“mediasi” pihak ketiga dapat menjadikan solusi yang tepat dalam menangani
sengketa baik itu oleh badan mediasi maupun oleh hakim di Pengadilan.6
Arifin Tumpa mengatakan bahwa “Penyelesaian sengketa medik tidak
melulu harus masuk dalam kategori tindak pidana. Namun hendaknya
diselesaikan dengan mediasi atau pemberian ganti rugi yang layak kepada si
korban”.7
Untuk itu mediasi merupakan alasan yang tepat dalam penyelesaian
sengketa medik antara dokter dan pasien.
6
Pasal 29 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi “dalam hal tenaga kesehatan
diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi.
7
Arifin Tumpa, 2010, Ketua MA membuka diskusi urgensi mediasi penal dalam penyelesaian
sengketa medis di peradilan pidana, avaliable from:
http://www.mahkamahagung.go.id/rnews.asp?bid=1618 opened: 20/12/2010
6
Menurut teori ada beberapa definisi mengenai mediasi, tapi secara
umum mediasi sebenarnya merupakan bentuk dari proses alternative dispute
resulotion (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa.8
Pasal 1 ayat 7
PERMA No. 1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memuat
definisi mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator.
Mediasi menggunakan Pendekatan win-win solution dengan proses
dan cara yang lebih sederhana dalam rangka memberikan akses keadilan yang
lebih memuaskan kepada kedua belah pihak dalam upaya menemukan
penyelesaian sengketa yang terbaik bagi kedua belah pihak.9
Kesepakatan perdamaian akan menjadi penyelesaian yang tuntas
karena hasil akhirnya tidak menggunakan prinsip win or lose. Kesepakatan
yang telah dikeluarkan menjadi “akta perdamaian” merupakan suatu
penyelesaian yang mengikat dan final. Mengikat karena setiap butir-butir yang
disepakati dalam akta perdamaian dapat dilaksanakan melalui proses eksekusi
(executable) jika salah satu pihak mengingkari. Sedangkan final berarti bahwa
dengan dikuatkannya kesepakatan dalam bentuk akta perdamaian telah
menutup segala upaya hukum yang tersedia bagi para pihak.10
8
Megandianty Adam & Degrantiny Clarita (Indonesian Institute for Conflict Transformation),
2003, Mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa, avaliable at:
http://www.pemantauperadilan.com opened: 25/12/2010
9
Yuti Witanto Darmono, 2010. Beberapa masalah dalam PERMA nomor 1 tahun 2008 tentang
Mediasi diPengadilan, Varia Peradilan, Jakarta. hal. 68
10
Pasal 1 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung Tahun 2008 Tentang Mediasi yang berbunyi akta
perdamaian adalah akta yang memuat isi perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan
kesepakatan perdamaian tersebut tidak tunduk pada upaya hukum biasa atau luar biasa.
7
Sebenarnya mediasi juga diatur dalam pasal 130 HIR/ 154 Rbg yang
berbunyi “pada hari yang ditentukan, apabila kedua belah pihak menghadap
ke Pengadilan dengan perantara keduanya maka hakim mencoba
mendamaikan,” artinya sebelum perkara diperiksa, maka hakim menganjurkan
supaya para pihak menempuh proses perdamaian terlebih dahulu. Namun
dengan syarat perkara tersebut telah terdaftar dipengadilan sebagai gugatan.
Contoh Putusan Nomor 57/Pdt.G/2000/PN.Jak.Sel
Putusan mengenai gugatan Yang Young Joan terhadap Direksi Rumah Sakit
Pondok Indah dan dr. Harry Purwanto, Sp.A
Kasus Posisi
Penggugat membawa anak laki-lakinya yang berumur 1 tahun. Yan Won Ha,
berobat ke RS Pondok Indah dan ditangani oleh dr. Harry P. Menurut dokter,
pasien mengalami diare dan dehidrasi sehingga perlu dirawat di RS. Menurut
catatan medik, ketika dibawa ke rumah sakit, suhu badannya 37ºC dan tidak
dalam keadaan kritis. Setelah pasien menjalani rawat inap, jam 13.15 WIB
suhu badan pasien naik menjadi 39ºC, kenaikan suhu badan tersebut sudah
diperkirakan oleh dokter sehingga perawat diberikan instruksi apabila suhu
badan pasien meningkat diatas 39ºC perawat harus memberikan suntikan iv,
Novalgin 05 CC, Ceftum 5 mg dan Stesolid rectal 5 mg dengan catatan kalau
perlu. Namun instruksi tersebut diberikan pertelpon. Pada suhu badan pasien
39.2ºC, perawat memberikan suntikan-suntikan sesuai perintah dokter tetapi
setelah itu pasien mengalami keadaan kritis dan baru diketahui perawat setalh
3,5 jam setelah pemberian suntikan. Dalam keadaan sesak nafas dan kritis,
perawat telah melaporkan kondisi pasien kepada dokter sekaligus meminta
petunjuk, dokter akhirnya memerintahkan agar pasien dimasukkan ke ruang
ICU melalui telpon. Selama di ruang ICU dokternya tidak datang, padahal di
ruang ICU tidak ada dokter anak sehingga pasien meninggal dunia jam 20.50
WIB. Oleh karena itu Penggugat mendalilkan bahwa para tergugat telah
melakukan wanprestasi terhadap perjanjian terapeutik yaitu tidak memenuhi
standar profesi dokter dan standar perawatan RS yang mengakibatkan matinya
pasien. Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan para pihak akhirnya sepakat mengakhiri sengketa antara
mereka dengan jalan damai dan membuat perjanjian damai.11
11
Safitri Hariyani, 2005. op.cit hal 65
8
Secara yuridis formal mediasi diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan,UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Albitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) / Reglement
Buitengewesten (Rbg), UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, UUNo. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,
Peraturan Presiden RI No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan
Nasional, Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, Permenkes No. 1419 Tahun 2005 Tentang
Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi, namun dalam
pelaksanaannya mediasi belum banyak dilakukan dalam penyelesaian
sengketa medik, padahal mediasi merupakan cara yang sangat ampuh dan
cepat dalam penyelesaian sengketa medik. Sebagai perbandingan di bidang
perbankan dikenal Lembaga Mediasi Perbankan (LMP) yang menjalankan
peran mediasi untuk sengketa-sengketa tertentu dibidang perbankan, LMP
tidak tunduk kepada Bank Indonesia, sedangkan di bidang kesehatan lembaga
mediasi ini belum ada.
Dari uraian tersebut diatas, penulis tertarik mengambil judul
penelitian “IMPLEMENTASI MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK DALAM PERJANJIAN
TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN”.
9
B. Pembatasan Masalah
Pelayanan kesehatan sarat teknologi, sarat sumber daya, sarat profesi,
sarat sarana prasarana, sehingga rawan terjadinya permasalahan yang akan
berlarut-larut jika melalui pengadilan dan lebih efektif melalui
mediasi.Penelitian ini dibatasi tentang sumber daya dan profesi dalam hal ini
sumber daya dan profesi tersebut adalah dokter.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dikemukakan
tiga rumusan masalah yang akan dijadikan pokok penelitian di dalam tesis ini,
yaitu :
1. Bagaimana implementasi mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa
medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien?
2. Bagaimana pelaksanaanmediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa
medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien di RSI Siti
Hajar, RSUD Praya dan PN Praya?
3. Bagaimanakah hambatan-hambatan dan solusi untuk mengatasinya dalam
pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam
perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien?
10
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi mediasi sebagai
alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara
dokter dan pasien.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaanmediasi sebagai alternatif
penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan
pasien di RSI Siti Hajar, RSUD Praya dan PN Praya.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan dan solusinya dalam
pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam
perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien.
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis, yaitu
a. Menambah wawasan pengetahuan dan ilmu hukum bidang kesehatan
khususnya tentang mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa
medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien
b. Menjadi bahan penelitian hukum kesehatan berikutnya.
2. Manfaat praktis, yaitu :
a. Memberikan data informasi kepada berbagai pihak yang
berkepentingan, lembaga kesehatan, tenaga kesehatan, praktisi hukum
dan masyarakat, tentang hukum kesehatan khususnya mengenai
11
mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa antara dokter dan
pasien
b. Memberikan bahanmasukan untuk pembuatan peraturan perundang-
undangan di bidang kesehatan;
F. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa
secara umum sudah banyak yang meneliti, akan tetapi penelitian ini memiliki
kekhususan dimana dalam penelitian ini akan meninjau tentang implementasi
mediasi sebagai upaya penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian
terapeutik antara dokter dan pasien, hal ini belum ada yang meneliti. Oleh
karena itu penelitian ini dapat dipercaya keasliannya.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hubungan Dokter dan Pasien
1. Dokter
a. Definisi
Dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin
sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan,
khususnya memeriksa dan mengobati penyakit dan dilakukan menurut
hukum dalam pelayanan kesehatan.12
Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter
gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh
Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.13
b. Hak dan kewajiban dokter
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai hak:14
1) memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
12
Endang Kusuma Astuti, 2009, Perjanjian terapeutik dalam upaya pelayanan medis di Rumah
Sakit, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal 17
13
Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 1 ayat (2)
14
Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 51
11
13
2) memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional;
3) memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya; dan
4) menerima imbalan jasa.
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai kewajiban :15
1) memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
2) merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
3) merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
4) melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya; dan
5) menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
15
Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 52
14
2. Pasien
a. Definisi
Pasal 1 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran menjelaskan definisi pasien adalah setiap orang yang
melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
b. Hak dan kewajibanpasien
Hak-hakyang dimiliki pasien sebagaimana diatur dalam Pasal 52
Undang-undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
adalah :
1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;
2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3) Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4) Menolak tindakan medis; dan
5) Mendapatkan isi rekam medis.
Kewajiban pasien yang diatur dalam Pasal 53 Undang-undang
No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ini adalah:
1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatanya
2) Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau doter gigi
3) Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan
dan
15
4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima
3. Hubungan dokter dengan pasien
Hubungan antara pemberi jasa layanan kesehatan (dokter) dengan
penerima jasa kesehatan (pasien) berawal dari hubungan vertikal yang
bertolak pada hubungan paternalisme (father knows best). Hubungan
vertikal tersebut adalah hubungan antara dokter dan pasien tidak lagi
sederajat. Hubungan ini melahirkan aspek hukum inspaningverbintenis
antara dua subjek hukum (dokter dan pasien), hubungan hukum ini tidak
menjanjikan suatu kesembuhan / kematian, karena obyek dari hubungan
hukum itu adalah berupaya secara maksimal yang dilakukan secara hati-
hati dan cermat sesuai dengan standar pelayanan medis berdasarkan ilmu
pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani penyakit tersebut.16
Tanpa disadari keadaan seperti di atas membawa perubahan pola
pikir sebelumnya hubungan layanan kesehatan yaitu hubungan vertikal
menuju kearah pola hubungan horizontal, termasuk konsekuensinya,
dimana kedudukan antar dokter dan pasien sama sederajat walau pun
peranan dokter lebih penting dari pada pasien. Bila antara dua pihak telah
disepakati untuk dilaksanakan langkah-langkah yang berupaya secara
optimal untuk melakukan tindakan medis tertentu tetapi tidak tercapai
karena dokter tidak cermat dalam prosedur yang ditempuh melalui proses
komunikasi (informed consent), maka salah satu pihak dapat melakukan
upaya hukum berupa tuntutan ganti rugi. Hal tersebut dilegalkan oleh
16
Margaretha, 2010. Implementasi informed consent dalam pelayanan medik, Tesis Magister Ilmu
Hukum Kajian Hukum Kesehatan UNTAG, Semarang, hal. 29
16
Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan sebagai salah satu
upaya perlindungan hukum bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul
(fisik / non fisik) karena kesalahan / kelalaian yang telah dilaksanakan
oleh dokter.
Hubungan dokter pasien ini biasa disebut perjanjian terapeutik.
Hubungan terapeutik dalam dunia kedokteran merupakan hubungan yang
dilandasi oleh nilai-nilai kepercayaan dan nilai-nilai kekeluargaan. Sofwan
Dahlan mengatakan, bahwa hubungan demikian telah ada sejak zaman
Priestly Medicine dan telah mapan. Hubungan yang mapan, ternyata
merupakan konsep yang tidak jelas, sehingga tidak memiliki sarana
sebagai upaya penyelesaian terhadap kasus yang muncul, termasuk
keputusannya tidak atau kurang memiliki kekuatan mengikat para pihak
(binding force).17
Upaya penyelesaian kasus atau konflik oleh lembaga profesi lebih
mencerminkan gambaran keterpihakan pada lembaga daripada pasien.
Kondisi seperti itu membuat para pihak yang merasa kurang diuntungkan,
menempuh hukum sebagai upaya penyelesaian kasus yang terjadi.18
Untuk
itu perlu ada upaya alternatif penyelesaian sengketa dengan menggunakan
pihak ketiga yang netral.
17
Soponyono, Edi, 2008. Pemahaman etik medikolegal, pedoman bagi profesi dokter (memahami
pasal-pasal perdata dan pidana berkaitan dengan profesi dokter serta kiat menghadapi somasi
dan teknik pelaksanaan persidangan di Pengadilan), Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, hal. 49
18
Ibid, hal. 43
17
4. Aspek hukum hubungan dokter dan pasien
Aspek hukum hubungan dokter dan pasien ini diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya:19
a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat,
dalam perkembangan selanjutnya timbul permasalahan tanggung
jawab pidana seorang dokter, khususnya yang menyangkut kelalaian,
yang dilandaskan teori-teori kesalahan dalam hukum pidana.
Tanggung jawab disini bila kelalaian tersebut dapat dibuktikan adanya
kesalahan professional, misalnya dalam cara-cara pengobatan, maupun
diagnosa yang berdampak pada pasien.
Di Indonesia masalah pertanggungjawaban pidana seorang
dokter diatur dalam KUHP yang mencakup tanggung jawab hukum
yang ditimbulkan oleh kesengajaan maupun kealpaan/ kelalaian. Pasal-
pasal 267, 299, 304, 322, 344, 346, 347, 348, 349 KUHP mencakup
kesalahan yang didasarkan pada kesengajaan. Sedangkan dasar
kealpaan/ kelalaian pasal 267 KUHP.20
b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Tanggung jawab hukum dokter dalam persektif hukum perdata
karena adanya perjanjian yang terjadi. Ketentuan umum mengenai
bentuk perjanjian tersebut diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata
19
Soetrisno, 2010, Malpraktek Medis dan Mediasi, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, hal. 7
20
ibidhal. 23
18
sedangkan syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata.21
Soetrisno menyatakan dalam proses perdata yang menyangkut
gugatan seorang pasien terhadap dokter yang menanganinya, hampir
semua, kalau tidak dikatakan semuanya, adalah menyangkut ganti rugi.
Dasar hukum pertanggung jawaban medis adalah:22
1) Wanprestasi (Pasal 1239 KUHPerdata)
Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak
memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian
atau kontrak.23
Contoh : Dokter tidak memenuhi kewajibannya yang timbul dari
adanya suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual)
Pasal 1243 KUHPerdata.
2) Perbuatan melanggar hukum (onrecht matigedaad)
Tuntutan kerugian yang didasarkan pada perbuatan melawan
hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian. Hal ini berarti
untuk menuntut ganti rugi harus dipenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:24
a) Ada perbuatan melawan hukum
b) Ada kerugian
c) Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dan
kerugian
21
Titik Triwulan T & Shita Febriani, 2010, Perlindungan hukum bagi pasien, Jakarta; Prestasi
Pustaka, hal. 22
22
Soetrisno, 2010, op.cit hal. 8
23
Safitri Hariyani, 2005. op.cit hal 43
24
Ibid, hal 44
19
d) Ada kesalahan
Contoh : Dokter telah melawan hukum karena tindakannya
bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta
sikap hati-hati yang diharapkan daripada dalam
pergaulan dengan warga masyarakat (tanggung jawab
berdasarkan Undang-undang).
3) Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (pasal
1366 KUHPerdata)25
Seorang dokter selain dapat dituntut atas dasar wanprestasi dan
melanggar hukum, dapat pula dituntut atas dasar lalai sehingga
menyebabkan kerugian.
4) Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (Pasal 1367 ayat
(3) KUHPerdata) 26
Sebagai penganggung jawab dalam Pasal 1367 KUHPerdata dokter
harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pasien baik
itu olehnya maupun oleh orang lain yang bekerja pada dokter
tersebut dan ikut melakukan tindakan, misalnya perawat/ bidan.
5) Zaakwarneming27
Dalam hal dokter menolong seseorang secara sukarela maka ia
harus melaksanakannya sampai selesai atau sampai pasien mampu
mengurus kepentingannya sendiri atau ada keluarga yang
mengambil alih urusan tersebut
25
ibid hal 43
26
ibid hal 43
27
Liliana Tedjosaputro, 2010. Bahan kuliah hukum perlindungan konsumen kesehatan, UNTAG,
Semarang. Tidak dipublikasikan
20
Jika dokter meninggalkan begitu saja dan mengakibatkan pasien
menderita kerugian maka ia dapat digugat berdasarkan pasal 1356
KUHPerdata
c. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Demikian pula bagi dokter sebagai pengemban profesi, maka ia
memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada profesinya tersebut.
Dalam perjalanan profesinya, seorang dokter memiliki hak dan
kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-undang Nomor
36 tahun 2009 tentang Kesahatan yang menyebutkan :
1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban
untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
d. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Dalam perspektif ini dokter dianggap sebagai pelaku usaha,
untuk itu menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 yang
berbunyi sebagai berikut:
1) Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan.
21
3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif
4) Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/
atau jasa yang berlaku
5) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/
atau mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberikan
jaminan dan/ atau garansi atas barang yang dibuat dan/ atau
diperdagangkan
6) Memberi konpensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemamfaatan barang
dan/ atau jasa yang diperdagangkan
7) Memberikan konpensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian apabila
barang dan/ atau jasa yang diterima dan dimamfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian
e. Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Kewajiban dokter diatur dalam Pasal 51 Undang-undang
Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yaitu ;
1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan standar
profesi atau standar prosedur operasional serta kebutuhan medis
pasien.
2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan lebih naik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan
3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya ; dan
5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
22
Dalam menjalankan profesinya, seorang dokter terikat dengan
Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar
Ikatan Dokter Indonesia ( IDI ) yaitu :
1) Standar ketrampilan
2) Standar sarana meliputi segala sarana yang diperlukan untuk
berhasilnya profesi dokter dalam melayani penderita
3) Standar perilaku; yang didasarkan pada sumpah dokter dan
pedoman Kode Etik Kedokteran Indonesia, meliputi perilaku
dokter dalam hubungannya dengan penderita dan hubungannya
dengan dokter lainnya
4) Standar catatan medik. Pada semua penderita sebaiknya dibuat
catatan medik yang didalamnya dicantumkan identitas penderita ,
alamat, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, terapi dan obat yang
menimbulkan alergi terhadap pasien.
B. Sengketa Umum dan Sengketa Medik
Safitri Hariyani membagi sengketa menjadi 2 diantaranya:28
1. Sengketa umum
Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “conflict”
dan “dispute” yang keduanya mengandung pengertian tentang adanya
perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak atau lebih, tetapi
keduanya dapat dibedakan. Conflict sudah diterjemahkan kedalam bahasa
28
Safitri Hariyani, 2005. op.cit hal 7
23
Indonesia yakni “konflik”, sedangkan dispute dapat diterjemahkan dengan
arti sengketa. Konflik adalah sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih
dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak dapat berkembang dari
sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam
perasaan tidak puas atau keperihatinannya. Konflik berkembang atau
berubah menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan
telah menyatakan rasa tidak puas atau keperihatinannya, baik secara
langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau
pihak lain.29
Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik.
Sebuah konflik yang tidak dapat terselesaikan akan menjadi sengketa.
2. Sengketa medik
Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
secara implisit menyebutkan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang
terjadi karena kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau
dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran.Pasal 66 Ayat (1) UU
Praktik Kedokteran yang berbunyi: setiap orang yang mengetahui atau
kepentingan dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada
Ketua majelis Kehormatan Disiplin Kedoktern Indonesia. Dengan
demikian sengketa medik merupakan sengketa yang terjadi antara
pengguna pelayanan medik dengan pelaku pelayanan medik dalam hal ini
pasien dengan dokter.
29
Ibid hal. 7
24
Oleh Safitri Hariani kata medik diambilnya dari kamus Inggris-
Indonesia karangan John M. Echols dan Hasan Shadily yaitu medical yang
secara umum berarti berhubungan dengan pengobatan. Hermin
HadiatiKoeswadji, mengartikan “medik” sebagai “kedokteran”. Hukum
kedokteran atau hukum medik sebagai terjemahan dari “Medical Law”,
jadi menurut beliau arti medik itu adalah kedokteran.
Mengacu pada arti medik diatas, definisi dari sengketa medik
adalah suatu kondisi dimana terjadi perselisihan dalam praktek
kedokteran.
3. Dasar hukum sengketa medik
Sengketa medik tidak dimuat secara eksplisit dalam Undang-
undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, tetapi UU tersebut
mengatur mengenai ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan.Pasal 58 Undang-undang No. 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan, menyatakan: (1) Setiap orang berhak menuntut ganti
rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan
yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat. (3) Ketentuan mengenai tata cara
pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Dalam Pasal 29 Undang-
25
undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mengamanatkan
penyelesaian sengketa dilakukan terlebih dahulu dengan mediasi.
C. Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa
1. Pengertian Mediasi
Pasal 1 ayat (7) Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan menyatakan “mediasi adalah cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan
antara pihak dengan bantuan seorang mediator.
Literatur hukum, misalnya Black’s Law Dictionary dikatakan
bahwa mediasi dan mediator adalah:
Mediation is private, informal dispute resolution process in which a
neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an
agreement.
The mediator has no power to inpose a decision on the parties.
2. Karakteristik dan keunggulan mediasi
Menurut Soetrisno karakteristik dan keunggulan mediasi yaitu:30
a. Voluntary/ sukarela
b. Informal/ fleksibel
c. Interest based (dasar kepentingan)
d. Future looking (memandang kedepan)
e. Parties oriented
f. Parties control
30
Soetrisno, 2010, op. cit, hal. 51
26
Penyelesaian perdamaian melalui mediasi mengandung beberapa
keuntungan, diantaranya:31
a. Penyelesaian bersifat informal
b. Yang menyelesaikan sengketa para pihak sendiri
c. Jangka waktu pemelihan pendek
d. Biaya ringan
e. Aturan pembuktian tidak perlu
f. Proses penyelesaian bersifat konfodensial
g. Hubungan para pihak bersifat kooperatif
h. Komunikasi dan focus penyelesaian
i. Hasil yang ditinjau sama menang
j. Bebas emosi dan dendam
3. Jenis mediasi
Ada 2 jenis mediasi menurut tempatnya, yaitu:32
a. Di Pengadilan
Proses mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dapat
dilakukan di pengadilan. Adapun prosedur penyelesaian sengketa
melalui mediasi peradilan dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi dapat dibedakan menjadi dua tahap, yaitu tahap
pramediasi dan tahap mediasi.33
31
M. Yahya Harahap, 2005, hal. 36
32
Megandianty Adam & Degrantiny Clarita (Indonesian Institute for Conflict Transformation),
2003, op. cit
33
ibid, hal. 53
27
Tahap pramediasi dimulai dari saat hari pertama sidang yang
dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk
menempuh mediasi.Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak
menghalangi pelaksanaan mediasi.Hakim, melalui kuasa hukum atau
langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan
langsung atau aktif dalam proses mediasi.Kuasa hukum para pihak
berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau
aktif dalam proses mediasi.Hakim wajib menunda proses persidangan
perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh
proses mediasi.Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam
Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.34
Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan
berikut:Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang
bersangkutan;Advokat atau akademisi hukum;Profesi bukan hukum
yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok
sengketa;Hakim majelis pemeriksa perkara;Gabungan antara mediator
yang disebut di atas. Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih
dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan
disepakati oleh para mediator sendiri.35
Sebelum tahap mediasi dilaksanakan, terlebih dahulu diatur
mengenai batas waktu yakni; Setelah para pihak hadir pada hari sidang
pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling
34
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 7
35
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 8
28
lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih
mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan
penggunaan mediator bukan hakim. Para pihak segera menyampaikan
mediator pilihan mereka kepada ketua majelis hakim. Ketua majelis
hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan
tugas.Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud ayat
(1) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator
yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan
mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim. Setelah
menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih
mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan
pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang
sama untuk menjalankan fungsi mediator. Jika pada pengadilan yang
sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat,
maka hakim pemeriksa pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat
yang ditunjuk oleh ketua majelis hakim wajib menjalankan fungsi
mediator.36
Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak
menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada
mediator.Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para
pihak gagal memilih mediator, masing~masing pihak dapat
36
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal
11
29
menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang
ditunjuk.Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh)
hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh
ketua majelis hakim.Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu
mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari. Jangka waktu proses
mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara.Jika
diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat
dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.37
Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika
salah satu· pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali
berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal
pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-
turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah
dipanggil secara patut.Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator
memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan
aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan
dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga
pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak
dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para
37
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal
13
30
pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak
layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap.38
Memperhatikan ketentuan diatas, ada dua kemungkinan dalam
proses mediasi yaitu berhasil mencapai kesepakatan atau gagal
mencapai kesepakatan.39
1) Apabila mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian para pihak
dengan bantuan mediator, maka mediator wajib merumuskan
secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh
para pihak dan mediator. Jika dalam mediasi para pihak diwakili
oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis
persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.
2) Apabila setelah batas waktu maksimal empat puluh hari kerja
sebagaimana atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam
Pasal 15, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses
mediasi telah gagal dan memberitahukan kepada hakim. Segera
setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan
pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.
b. Di luar Pengadilan
Mediasi diluar pengadilan dapat kita temukan dalam beberapa
Peraturan Perundang-undangan, yang membentuk suatu badan
penyelesaian sengketa. PERMA No. 1 Tahun 2008 juga memuat
ketentuan yang menghubungkan antara praktik mediasi di luar
38
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal
14
39
Soetrisno, 2010, op. cit, hal. 56
31
pengadilan yang menghasilkan kesepakatan. Pasal 23 ayat (1), (2), dan
(3) PERMA No.1 Tahun 2008 mengatur sebuah prosedur hukum untuk
akta perdamaian dari pengadilan tingkat pertama atas kesepakatan
perdamaian di luar pengadilan. Prosedurnya adalah dengan cara
mengajukan gugatan yang dilampiri oleh naskah atau dokumen
kesepakatan perdamaian para pihak dengan mediasi atau dibantu oleh
mediator bersertifikat. Pengajuan gugatan tentunya adalah pihak yang
dalam sengketa itu mengalami kerugian.40
4. Dasar hukum mediasi
Mediasi sebenarnya terdapat pada banyak peraturan perundang-
undangan, diantaranya:
a. HIR dan Rbg
Mediasi di pengadilan telah lama dipraktekkan sejak lama
melalui lembaga perdamaian (Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg).
Dimana hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang
berperkara sebelum perkaranya diperiksa.41
b. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Mediasi pada Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan dimuat dalam Pasal 29, yaitu: “dalam hal tenaga kesehatan
diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian
tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.
40
Takdir Rahmadi, 2010, Mediasi: penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat, Raja
Gravindo Persada, Jakarta. hal. 193
41
Soetrisno, 2010, malpraktek medis dan mediasi, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, hal. 52
32
c. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Mediasi diatur pada Pasal 23 UU ini, yang bunyinya sebagai
berikut:
“Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan
dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen
atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”
Pasal 23 tersebut terdapat dua hal penting:42
1) Bahwa UU Perlindungan Konsumen memberikan alternatif
penyelesaian sengketa melalui badan di luar sistem peradilan yang
disebut BPSK.
2) Bahwa pilihan penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan
pelaku usaha (dokter) bukanlah pilihan ekslusif, yang tidak dapat
tidak harus dipilih. Pilihan penyelesaian sengketa melalui BPSK
adalah pararel atau sejajar dengan pilihan penyelesaian sengketa
melalui badan pengadilan.
d. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian sengketa
Pengaturan mengenai mediasi dapat kita temukan dalam
ketentuan pasal 6 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa. Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam pasal 6 ayat
(3) UU No. 30 Tahun 1999 merupakan suatu proses kegiatan sebagai
42
Widjaja Gunawan, 2001, op.cit hal 73
33
kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh pihak menurut
ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999. Menurut rumusan
dari pasal tersebut juga dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para
pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan
seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.43
Namun UU ini tidak memberikan rumusan definisi atau pengertian
dari mediasi secara jelas dan tegas.
e. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Pendekatan mufakat dan mediasi khususnya sebagai cara
penyelesaian sengketa pelanggaran hak asasi manusia dapat dilihat
dalam dua pasal yaitu Pasal 76 dan Pasal 89 ayat (4) a Undang-undang
No. 39 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM.44
Namun tidak ada
aturan tegas semua kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi
oleh Komnas HAM.
f. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang ini mengatur penggunaan mediasi sebagai cara
penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Pada Pasal 83 ayat (3)
dinyatakan “dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar
pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/ atau arbiter untuk
menyelesaikan sengketa lingkungan hidup”.45
Dengan demikian
43
Widjaja Gunawan, 2001, Alternatif penyelesaian sengketa, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada
hal. 90
44
Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit hal. 61
45
Ibid, hal. 57
34
Undang-undang No. 32 Tahun 2009mengatur secara garis besar
penggunaan tiga cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yaitu
negosisasi, mediasi dan arbitrase.
g. PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Disamping HIR/Rbg, Pengaturan mediasi di pengadilan
terdapat dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan.
h. Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi
Perbankan
Dalam dunia perbankan, mediasi diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi Perbankan. Mediasi
perbankan dilaksanakan dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dan
bank yang disebabkan tidak terpenuhinya tuntutan finansial nasabah
oleh bank dalam penyelesaian pengaduan nasabah.46
Apabila disinkronisasikan ke dunia kesehatan, sengketa antara
nasabah dan bank memiliki kemiripan dengan sengketa antara pasien
dengan dokter.
D. Perjanjian terapeutik
1. Pengertian
Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa Perjanjian atau
kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak
46
Khotibul Umam, 2010. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Pustaka Yustisia, Jakarta. Hal.
25
35
berjanjikepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua
pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Oleh karenanya,
perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling
mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara
dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian
itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang
membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan
atau ditulis.
Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien
yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan
keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. Dalam Mukadimah Kode
Etik Kedokteran Indonesia tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan
RI Nomor 434 /Men.Kes /X / 1983 tentang Berlakunya Kode Etik
Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia, mencantumkan
tentang perjanjian terapeutik sebagai berikut :
“Yang dimaksud perjanjian terapeutik adalah hubungan antara dokter
dengan pasien dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya
(konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan
kekhawatiran makhluk insani”
36
2. Jenis Perjanjian
Dalam hukum perikatan dikenal adanya 2 macam perjanjian, yaitu :47
a. Inspanningverbintenis, yaitu perjanjian upaya, artinya kedua belah
pihak berjanji atau sepakat untuk berdaya upaya secara maksimal
untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan.
b. Resultaatverbintenis, yaitu suatu perjanjian yang akan memberikan
resultaat atau hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Perjanjian terapeutik atau perjanjian terapeutik termasuk dalam
inspanningverbintenis atau perjanjian upaya, karena dokter tidak mungkin
menjanjikan kesembuhan kepada pasien, yang dilakukan dokter adalah
melakukan pelayanan kesehatan sebagai upaya untuk menyembuhkan
pasien. Dalam melakukan upaya ini, dokter harus melakukan dengan
penuh kesungguhan dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan
keterampilan yang dimilikinya dengan berpedoman kepada standar
profesi.
Sementara itu, pasien sebagai pihak lainnya yang menerima
pelayanan medis harus juga berdaya upaya maksimal untuk mewujudkan
kesembuhan dirinya sebagai hal yang diperjanjikan. Tanpa bantuan pasien,
maka upaya dokter tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Pasien
yang tidak kooperatif merupakan bentuk contributory negligence yang
tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh dokter.
47
Anny Isfandyarie, 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Prestasi
Pustaka,Jakarta, hal. 62
37
Jika perjanjian terapeutik telah memenuhi syarat sahnya
perjanjian, maka semua kewajiban yang timbul mengikat bagi para pihak,
baik pihak dokter ataupun pihak pasien.
Adapun kekhususan perjanjian terapeutik bila dibandingkan
dengan perjanjian pada umumnya adalah sebagai berikut:48
1) Subyek pada perjanjian terapeutik terdiri dari dokter dan pasien.
Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik professional yang
pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan.
Sedangkan pasien sebagai penerima pelayanan medik yang
membutuhkan pertolongan. Pihak dokter memiliki kualifikasi dan
kewenangan tertentu sebagai tenaga professional di bidang medik yang
berkompeten untuk memberikan pertolongan yang dibutuhkan pasien,
sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai kualifikasi dan
kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter berkewajiban
membayar honorarium kepada dokter atas pertolongan yang telah
diberikan dokter tersebut.
2) Obyek perjanjian berupa tindakan medik profesional yang bercirikan
pemberian pertolongan.
3) Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan
48
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, hal. 145.
38
penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
3. Sifat perjanjian terapeutik
Sifat atau ciri khas dari perjanjian terapeutik sebagaimana
disebutkan dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia adalah :
a. Perjanjian terapeutik khusus mengatur hubungan antara dokter dengan
pasien.
b. Hubungan dalam perjanjian terapeutik ini hendaknya dilakukan dalam
suasana saling percaya (konfidensial) yang berarti pasien harus percaya
kepada dokter yang melakukan terapi, demikian juga sebaliknya dokter
juga harus mempercayai pasien. Oleh karena itu dalam rangka saling
mejaga kepercayaan ini, dokter juga harus berupaya maksimal untuk
kesembuhan pasien yang telah mempercayakan kesehatan kepadanya,
dan pasienpun harus memberikan keterangan yang jelas tentang
penyakitnya kepada dokter yang berupaya melakukan terapi atas
dirinya serta mematuhi perintah dokter yang perlu untuk mencapai
kesembuhan yang diharapkannya.
c. Harapan ini juga dinyatakan sebagai “senantiasa diliputi oleh segala
emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani”. Mengingat kondisi
pasien yang sedang sakit, terutama pasien penyakit kronis atau pasien
penyakit berat, maka kondisi pasien yang emosional, kekhawatiran
terhadap kemungkinan sembuh atau tidak penyakitnya disertai dengan
harapan ingin hidup lebih lama lagi, menimbulkan hubungan yang
39
bersifat khusus yang membedakan perjanjian terapeutik ini berbeda
dengan perjanjian lain pada umumnya.
4. Dasar hukum perjanjian terapeutik
Perjanjian terapeutik diatur dalam beberapa peraturan perundang-
undangan diantaranya:
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Perjanjian terapeutik diatur secara tegas pada Pasal 1320, Pasal
1338 dan Pasal 1339 KHUPerdata yang mengatur tentang syarat
sahnya perjanjian terapeutik.49
b. Permenkes No. 1419 Tahun 2005 Tentang Praktek Dokter dan Dokter
Gigi
Perjanjianterapeutik secara jelas terdapat juga dalam Pasal 13
yang berbunyi sebagai berikut:
1) Dokter atau Dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan
pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatan.
2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan upaya
maksimal dalam rangka penyembuhan dan pemulihan kesehatan.
49
Liliana Tedjosaputro, 2010. Op.cit
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif, yaitu cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan
masalah di dalam penelitian ini dengan melakukan analisis terhadap data
sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan menganalisis
terhadap data dilapangan.50
Pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini yakni menganalisis
mediasi sebagai altrnatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian
terapeutik antara dokter dan pasien.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang
bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik
mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Penelitian ini berusaha
menggambarkan situasi atau kejadian. Data yang dikumpulkan semata-mata
bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji
hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi.51
Data sekunder yang diperoleh tersebut akan dijadikan dasar di dalam
memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai bagaimana mediasi
50
Soerjono Soekarto & Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat,
Cetakan Kedelapan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1.
51
Azwar Saifuddin, 2004. Metode penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal. 23
39
41
sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik
antara dokter dan pasien. Atas dasar itulah, maka akan dilakukan analisis
secara sistematis, kritis dan konstruktif untuk membangun sebuah konsep baru
di dalam upaya memberikan solusi penyelesaian sengketa perdata antara
dokter dan pasien.
C. Sumber Data
Jenis dan sumber data yang akan menjadi dasar analisis di dalam
penelitian yuridis normatif ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah
data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Di dalam data sekunder ini
terdiri dari tiga bahan hukum, yaitu:52
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer ini diperoleh dari beberapa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan mediasi, di antaranya UU No.
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 23 c Peraturan Presiden RI No.
10 Tahun 2006 Badan Pertanahan Nasional,KUH Perdata, HIR/Rbg,
52
Soerjono Soekarto & Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat,
Cetakan Kedelapan, Rajawali Press, Jakarta, hal. 13
42
PERMA No. 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penelitian ini.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder ini memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer yang berasal dari beberapa literatur dan tulisan
ilmiah lainnya yang dapat menjelaskan terhadap permasalahan penelitian
ini antara lain : Buku ilmiah, jurnal ilmiah, hasil seminar, disertasi, dll.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan penjelasan
maupun petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder yang dapat berasal dari kamus hukum, ensiklopedia dan
sebagainya.
D. Metode Pengumpulan Data
Untuk dapat menghimpun beberapa data sekunder secara utuh dan
mendalam di atas, maka di dalam penelitian ini digunakan dua metode
pengumpulan data, yaitu :
1. Penelitian Kepustakaan dan Dokumenter (library and documentation
research). Dalam penelitian Kepustakaan dan Dokumentasi ini
dimaksudkan untuk menghimpun, mengidentifikasi dan menganalisa
terhadap berbagai sumber data sekunder, yang berasal dari beberapa
tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan maupun berbagai dokumen
43
lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini.
2. Penelitian Lapangan (field research). Dalam metode pengumpulan data
melalui penelitian lapangan ini dipergunakan teknik wawancara yang
dimaksudkan untuk menghimpun berbagai fakta di lapangan sebagai
tambahan dan penunjang dari data sekunder.
E. Metode Penyajian Data
Data penelitian yang telah terkumpul di olah dan disusun serta
disajikan secara menyeluruh. Data dari penelitian ini akan disajikan dalam
bentuk deskripsi yang berupa uraian secara mendalam mengenai permasalahan
yang dibahas. Penyajian data dapat pula dalam bentuk tabel yang tersusun
secara sistematis. Data penelitian ini akan disajikan dalam bentuk : matrik,
tabel-tabel, dan uraian peristiwa.
F. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara normatif kualitatif.
Dalam analisa normatif diperlukan penyiapan data sekunder sebagai data
utama. Analisa ini cukup dengan melakukan interpretasi atas data sekunder
dengan cara mengupas data yang ada menurut teori, azas, sistem, doktrin,
dalil, dan konsepsi hukum yang terkandung dalam tinjauan pustaka. 53
53
Aman Santoso, Metode penelitian hukum normatif dan sosiologis dengan analisa kualitatif,
Semarang : FH UNTAG, halaman 41.
44
Analisa Normatif Kualitatif
Analisis dengan interprestasi/pemaknaan data, tanpa perhitungan
statistik
Tinjauan
Pustaka
Data
Sekunder
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
A. Implementasi Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Medik
Dalam Perjanjian Terapeutik Antara Dokter dan Pasien
1. Hubungan dokter pasien dalam perjanjian terapeutik dan sengketa medik
a. Hubungan dokter pasien
Zaman dahulu, dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan
dianggap tahu segalanya (father know best) oleh pasien. Sehingga
melahirkan hubungan paternalistik. Pola hubungan ini identik dengan
pola hubungan vertikal dimana kedudukan antara pemeberi jasa
(dokter) dan penerima jasa (pasien) tidak sederajat. Oleh karena itu,
pasien menyerahkan nasib sepenuhnya kepada dokter.54
Berkembang pesatnya sarana informasi melalui media,
kerahasian profesi dokter mulai terbuka dengan bertambahnya
pengetahuan pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan, sehingga
berdampak pada bergesernya paradigma yang semula hubunan vertikal
menjadi hubungan horizontal.
Dewasa ini perubahan pola hubungan antara dokter dan pasien
disebabkan oleh tiga faktor dominan, yaitu:55
1) Meningkatnya jumlah permintaan pelayanan kesehatan
2) Berubahnya pola penyakit
54
Asfandyarie, 2006. Op.cit, hal. 89
55
Hermien Hadiati Koeswadji. 1998. Hukum kedokteran (studi tentang hubungan hukum dalam
mana dokter sebagai salah satu pihak). Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal. 43
46
3) Teknologi medik
Bila ditarik persamaan antara pola hubungan vertikal
paternalistik dan horizontal kontraktual adalah : sama-sama
menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak.
Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjalin perjanjian
terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak
yaitu pihak pemberi layanan (medical providers) dan pihak penerima
layanan (medical recivers) dan ini harus dihormati para pihak. Tim
dokter sebagai medical providers mempunyai kewajiban untuk
melakukan diagnosis, pengobatan dan tindakan medik terbaik menurut
pengetahuan, jalan pikiran dan pertimbangannya, sedangkan pasien
atau keluarganya sebagai medical recivers mempunyai hak untuk
menentukan pengobatan atau tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap dirinya.
Hubungan hukum yang dilahirkan dari hubungan layanan
hukum antara dokter dan pasien telah melahirkan aspek hukum
dibidang perdata : gugatan perdata disebabkan 3 (tiga) hal yaitu
wanprestasi, onrecht matige daad dan karena mengakibatkan kurang
hati-hati dan cermat dalam proses mengupayakan kesembuhan.
Hubungan ini akan melahirkan hak dan kewajiban bagi dokter
maupun pasien.Hak-hak yang dimiliki pasien sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, yang dalam Pasal 52 adalah :
47
1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;
2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3) Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4) Menolak tindakan medis; dan
5) Mendapatkan isi rekam medis.
Kewajiban pasien yang diatur dalam Pasal 53 Undang-undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteranini adalah :
1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatanya
2) Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau doter gigi
3) Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan
dan
4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima
Demikian juga dokter sebagai pengemban profesi, memiliki hak
dan kewajiban yang melekat pada profesinya tersebut. Dalam
perjalanan profesinya, seorang dokter memiliki hak dan kewajiban
sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang – Undang Nomor 36 tahun
2009 tentang Kesahatan yang menyebutkan :
1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban
untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
48
3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Pereturan Pemerintah.
Secara khusus hak – hak dokter dalam menjalankan praktik
kedokteran diatur dalam Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran Pasal 50 yang mengatur bahwa seorang
dokter mempunyai hak :
1) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
2) Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarga ; dan
3) Menerima ibalan jasa.
Sedangkan kewajiban dokter diatur lebih lanjut dalam Pasal 51
Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
yaitu ;
1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan standar
profesi atau standar prosedur operasional serta kebutuhan medis
pasien ;
2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan lebih naik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan ;
3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
49
4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya ; dan
5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
Dalam menjalankan profesinya, seorang dokter terikat dengan
Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar
Ikatan Dokter Indonesia ( IDI ) yaitu :
1) Standar ketrampilan
a) Ketrampilan kedaruratan medik; merupakan sikap yang diambil
oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya dengan
sarana yang sesuai dengan standar ditempat prakteknya.
Bilamana tindakan yang dilakukan tidak berhasil, penderita
perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap.
b) Ketrampilan umum meliputi penanggulangan terhadap
penyakit yang tercantum dalam kurikulum inti pendidikan
dokter Indonesia.
2) Standar sarana meliputi segala sarana yang diperlukan untuk
berhasilnya profesi dokter dalam melayani penderita dan pada
dasarnya dibagi 2 bagian, yakni :
a) Sarana Medis; meliputi sarana alat-alat medis dan obat-obatan.
b) Sarana Non Medis; meliputi tempat dan peralatan lainnya yang
diperlukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya.
50
3) Standar perilaku; yang didasarkan pada sumpah dokter dan
pedoman Kode Etik Kedokteran Indonesia, meliputi perilaku
dokter dalam hubungannya dengan penderita dan hubungannya
dengan dokter lainnya, yaitu :
a) Pasien harus diperlakukan secara manusiawi.
b) Semua pasien diperlakukan sama.
c) Semua keluhan pasien diusahakan agar dapat diperiksa secara
menyeluruh.
d) Pada pemeriksaan pertama diusahakan untuk memeriksa secara
menyeluruh.
e) Pada pemeriksaan ulangan diperiksa menurut indikasinya.
f) Penentuan uang jasa dokter diusahakan agar tidak
memberatkan pasien.
g) Dalam ruang praktek tidak boleh ditulis tarif dokter.
h) Untuk pemeriksaan pasienwanita sebaiknya agar keluarganya
disuruh masuk kedalam ruang praktek atau disaksikan oleh
perawat, kecuali bila dokternya wanita.
i) Dokter tidak boleh melakukan perzinahan didalam ruang
praktek , melakukan abortus, kecanduan dan alkoholisme.
4) Standar catatan medik. Pada semua penderita sebaiknya dibuat
catatan medik yang didalamnya dicantumkan identitas penderita ,
alamat, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, terapi dan obat yang
menimbulkan alergi terhadap pasien.
51
b. Perjanjian terapeutik
Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan
pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan
kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan
keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. Dalam
Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 434 /Men.Kes /X / 1983
tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter
di Indonesia, mencantumkan tentang perjanjian terapeutik sebagai
berikut :
“Yang dimaksud perjanjian terapeutik adalah hubungan antara dokter
dengan pasien dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling
percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi,
harapan dan kekhawatiran makhluk insani”
Dari hubungan hukum dalam perjanjian terapeutik tersebut
timbullah hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik bagi pihak
pasien maupun pihak dokter. Suatu perjanjian dikatakan sah bila
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 1321
KUHPerdata yang berbunyi :
“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Sesuai pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa secara
yuridis keabsahan suatu perjanjian ditentukan oleh kesepakatan para
pihak yang mengikatkan dirinya, dengan tanpa adanya kekhilafan,
paksaan ataupun penipuan. Sepakat ini merupakan persetujuan yang
52
dilakukan oleh kedua belah pihak dimana kedua belah pihak
mempunyai persesuaian kehendak yang dalam perjanjian terapeutik
sebagai pihak pasien setuju untuk diobati oleh dokter, dan dokterpun
setuju untuk mengobati pasiennya. Agar kesepakatan ini sah menurut
hukum, maka di dalam kesepakatan ini para pihak harus sadar (tidak
ada kekhilafan) terhadap kesepakatan yang dibuat, tidak boleh ada
paksaan dari salah satu pihak, dan tidak boleh ada penipuan
didalamnya. Untuk itulah diperlukan adanya Informed Consent atau
yang juga dikenal dengan istilah “Persetujuan Tindakan Medik”.
Untuk syarat adanya kecakapan untuk membuat
perikatan/perjanjian, diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata dan 1330
KUHPerdata sebagai berikut :
Pasal 1329 KUHPerdata: Setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak
cakap.
Pasal 1330 KUHPerdata: Tak cakap membuat suatu perjanjian adalah :
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh didalam pengampuan;
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
53
Berdasarkan bunyi Pasal 1329 KUHPerdata di atas, maka secara
yuridis yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan
adalah kewenangan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak
dilarang oleh undang-undang.
Dalam perjanjian terapeutik, pihak penerima pelayanan medik
dapat meliputi berbagai macam golongan umur, dan berbagai jenis
pasien, yang terdiri dari yang cakap bertindak maupun yang tidak
cakap bertindak. Hal ini harus disadari oleh dokter sebagai salah satu
pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian terapeutik, agar
tidak menimbulkan masalah dikemudian hari.
Pihak penerima pelayanan medik yang tidak cakap untuk
bertindak (tidak boleh membuat kesepakatan, atau kesepakatan yang
dibuat bisa dianggap tidak sah) antara lain :56
1) Orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak (misalnya : orang
gila, pemabuk, atau tidak sadar), maka diperlukan persetujuan dari
pengampunya (yang boleh membuat perikatan dengan dokter
adalah pengampunya).
2) Anak dibawah umur, diperlukan persetujuan dari walinya atau
orangtuanya. Yang dimaksud dengan dewasa menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 585/ Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 8
tentang persetujuan tindakan kedokteran ayat (2) adalah telah
berumur 21 tahun atau telah menikah. Jadi untuk seseorang yang
56
Anny Isfandyarie, 2006. Op.cit, hal. 61.
54
berusia dibawah 21 tahun dan belum menikah, maka perjanjian
terapeutik harus ditandatangani oleh orangtuanya atau walinya
yang merupakan pihak yang berhak memberikan persetujuan.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, obyek yang diperjanjikan
terdiri dari mengenai „suatu hal tertentu‟ dan harus „suatu sebab yang
halal atau diperbolehkan untuk diperjanjikan‟. Dalam perjanjian
terapeutik, mengenai hal tertentu yang diperjanjikan atau sebagai
obyek perjanjian adalah upaya penyembuhan terhadap penyakit yang
tidak dilarang undang-undang.
Dalam hukum perikatan dikenal adanya 2 macam perjanjian,
yaitu :57
1) Inspanningverbintenis, yaitu perjanjian upaya, artinya kedua belah
pihak berjanji atau sepakat untuk berdaya upaya secara maksimal
untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan.
2) Resultaatverbintenis, yaitu suatu perjanjian yang akan memberikan
resultaat atau hasil yang nyata sesuai dengan apa yang
diperjanjikan.
Perjanjian terapeutik termasuk dalam inspanningverbintenis
atau perjanjian upaya, karena dokter tidak mungkin menjanjikan
kesembuhan kepada pasien, yang dilakukan dokter adalah melakukan
pelayanan kesehatan sebagai upaya untuk menyembuhkan pasien.
Dalam melakukan upaya ini, dokter harus melakukan dengan penuh
57
Ibid.,hal. 62.
55
kesungguhan dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan
keterampilan yang dimilikinya dengan berpedoman kepada standar
profesi.
Sementara itu, pasien sebagai pihak lainnya yang menerima
pelayanan medis harus juga berdaya upaya maksimal untuk
mewujudkan kesembuhan dirinya sebagai hal yang diperjanjikan.
Tanpa bantuan pasien, maka upaya dokter tidak akan mencapai hasil
yang diharapkan. Pasien yang tidak kooperatif merupakan bentuk
contributory negligence yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh
dokter.
Jika perjanjian terapeutik telah memenuhi syarat sahnya
perjanjian, maka semua kewajiban yang timbul mengikat bagi para
pihak, baik pihak dokter ataupun pihak pasien.
Adapun kekhususan perjanjian terapeutik bila dibandingkan
dengan perjanjian pada umumnya adalah sebagai berikut :58
1) Subyek pada perjanjian terapeutik terdiri dari dokter dan pasien.
Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik professional
yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian
pertolongan. Sedangkan pasien sebagai penerima pelayanan medik
yang membutuhkan pertolongan. Pihak dokter memiliki kualifikasi
dan kewenangan tertentu sebagai tenaga professional di bidang
medik yang berkompeten untuk memberikan pertolongan yang
58
Veronica Komalawati, 1999. Peranan Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 145.
56
dibutuhkan pasien, sedangkan pihak pasien karena tidak
mempunyai kualifikasi dan kewenangan sebagaimana yang
dimiliki dokter berkewajiban membayar honorarium kepada dokter
atas pertolongan yang telah diberikan dokter tersebut.
2) Obyek perjanjian berupa tindakan medik professional yang
bercirikan pemberian pertolongan.
3) Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan
(rehabilitatif), untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
Perjanjian terapeutik mempunyai ciri khas atau sifat yang berbeda
dengan perjanjian secara umum. Sifat atau ciri khas dari perjanjian
terapeutik sebagaimana disebutkan dalam Mukadimah Kode Etik
Kedokteran Indonesia adalah :
1) Perjanjian terapeutik khusus mengatur hubungan antara dokter
dengan pasien.
2) Hubungan dalam perjanjian terapeutik ini hendaknya dilakukan
dalam suasana saling percaya (konfidensial) yang berarti pasien
harus percaya kepada dokter yang melakukan terapi, demikian juga
sebaliknya dokter juga harus mempercayai pasien. Oleh karena itu
dalam rangka saling menjaga kepercayaan ini, dokter juga harus
berupaya maksimal untuk kesembuhan pasien yang telah
57
mempercayakan kesehatan kepadanya, dan pasienpun harus
memberikan keterangan yang jelas tentang penyakitnya kepada
dokter yang berupaya melakukan terapi atas dirinya serta mematuhi
perintah dokter yang perlu untuk mencapai kesembuhan yang
diharapkannya.
3) Harapan ini juga dinyatakan sebagai „senantiasa diliputi oleh segala
emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani‟. Mengingat
kondisi pasien yang sedang sakit, terutama pasien penyakit kronis
atau pasien penyakit berat, maka kondisi pasien yang emosional,
kekhawatiran terhadap kemungkinan sembuh atau tidak penyakitnya
disertai dengan harapan ingin hidup lebih lama lagi, menimbulkan
hubungan yang bersifat khusus yang membedakan perjanjian
terapeutik ini berbeda dengan perjanjian lain pada umumnya.
Disamping mempunyai sifat yang berbeda, perjanjian terapeutik
merupakan hubungan hukum antara dokter dan pasien, maka dalam
perjanjian terapeutikpun berlaku beberapa azas hukum yang
mendasari, yang menurut Veronica Komalawati disimpulkan sebagai
berikut :59
1) Azas Legalitas
Azas ini tersirat dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan
bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan
59
Ibid., hal 126.
58
sesuai dengan keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan
yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa pelayanan medik hanya
dapat terselenggara apabila tenaga kesehatan yang bersangkutan
telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan, antara lain telah memiliki Surat
Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik.
2) Azas Keseimbangan
Menurut azas ini, penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus
diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan
masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiil dan spiritual.
Oleh karena itu diperlukan adanya keseimbangan antara tujuan dan
sarana, antara sarana dan hasil serta antara manfaat dan resiko yang
ditimbulkan dari upaya medis yang dilakukan.
3) Azas Tepat Waktu
Azas ini cukup penting karena keterlambatan dokter dalam
menangani pasien dapat menimbulkan kerugian bagi pasien dan
bahkan bias mengancam nyawa pasien itu sendiri.
4) Azas Itikad Baik
Azas ini berpegang teguh pada prinsip etis berbuat baik yang perlu
diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien.
Hal ini merupakan bentuk penghormatan terhadap pasien dan
pelaksanaan praktik kedokteran yang selalu berpegang teguh
kepada standar profesi.
59
5) Azas Kejujuran
Azas ini merupakan dasar dari terlaksananya penyampaian
informasi yang benar, baik oleh pasien maupun dokter dalam
berkomunikasi, Kejujuran dalam menyampaikan informasi akan
sangat membantu dalam dalam kesembuhan pasien. Kebenaran
informasi ini terkait erat dengan hak setiap manusia untuk
mengetahui kebenaran.
6) Azas Kehati-hatian
Sebagai seorang professional di bidang medik, tindakan dokter
harus didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan
tanggung jawabnya, karena kecerobohan dalam bertindak dapat
berakibat terancamnya jiwa pasien.
7) Azas keterbukaan
Pelayanan medik yang berdayaguna dan berhasilguna hanya dapat
tercapai apabila ada keterbukaan dan kerjasama yang baik antara
dokter dan pasien dengan berlandaskan sikap saling percaya. Sikap
ini dapat tumbuh jika terjalin komunikasi secara terbuka antara
dokter dan pasien dimana pasien memperoleh penjelasan atau
informasi dari dokter dalam komunikasi yang transparan ini.
c. Sengketa medik
Sengketa medik muncul dari adanya ketidakpuasan pasien
sebagai penerima jasa layanan kesehatan atas palayanan yang
diberikan oleh dokter. Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang
60
Praktik Kedokteran secara implisit menyebutkan bahwa sengketa
medik adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien
dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan
praktiknya. Pasal 66 ayat (1) Undang-undang No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi: “setiap orang yang
mengetahui atau kepentingannyadirugikan atas tindakan dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan praktiknya dapat mengadu secara
tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia.
Seiring perkembangan zaman, penyelesaian sengketa melalui
lembaga profesi tidak lagi begitu diminati pasien karena pada
prinsipnya pasien kurang percaya terhadap penyelesaian melalui
lembaga profesi, baik itu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia maupun Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia.
Untuk itu perlu adanya suatu lembaga khusus untuk menangani
masalah ini.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dapat
dijadikan acuan sebagai badan yang mungkin masih ada kaitannya
dengan pelayanan kesehatan walaupun badan ini memiliki tugas yang
relatif luas. Sengketa konsumen diatur dalam Undang-undang No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,diantaranya:
1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
61
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen
dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-undang.Apabila telah dipilih
upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
gugatanmelalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakan tidak berhasiloleh salah satu pihak atau oleh
para pihak yang bersengketa.
2) Gugatan atas Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat
dilakukan oleh:
a) seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;
b) kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c) lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan,
yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
62
d) Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau
jasa yang dikonsumsiatau dimanfaatkan mengakibatkan
kerugian materi yang besar dan/atau korbanyang tidak sedikit.
Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga
perlindungan konsumenswadaya masyarakat atau pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hurufc, atau huruf d
diajukan kepada peradilan umum.Ketentuan lebih lanjut mengenai
kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidaksedikit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Selain mengatur tentang sengketa konsumen, Undang-undang
ini juga mengatur tentang penyelesaian sengketa konsumen diluar
Pengadilan. Pengaturan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat
dijumpai pada Pasal 47 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen yang menyatakan: “penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/ atau
mengenai tindakan untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau
tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen”.
Kesepakatan dalam pasal diatas diselesaikan melalui suatu
badan yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen yakni Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) yang dapat menjalankan tugas-tugasnya diatur
63
dalam Pasal 52 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Tugas dan wewenang BPSK meliputi:
1) melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,
dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
2) memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
3) melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
4) melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan dalam Undangundang ini;
5) menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari
konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
6) melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen;
7) memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
8) memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap
orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-
undang ini;
9) meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,
saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada
huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan
badan penyelesaian sengketa konsumen;
64
10) mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat
bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
11) memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di
pihak konsumen;
12) memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
13) menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Penyelesaian sengketa medik menurut regulasi di Indoensia
dibagi menjadi dua jalan yakni: melalui lembaga profesi, dan hukum.
Penyelesaian sengketa medik melalui lembaga profesi di jalankan oleh
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), kedua badan
tersebut dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Adapun sanksi
jika terbukti dokter tersebut melakukan pelanggaran yaitu kewajiban
mengikuti pendidikan dan pencabutan ijin praktek baik untuk
sementara maupun untuk selamanya.
Penyelesaian sengketa dalam ranah hukum diantarannya:
peradilan umum, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
dan melalui mediasi di luar pengadilan. Penyelesaian melalui peradilan
umum sengketa medik dapat dikategorikan menjadi peradilan pidana
dan perdata. Peradilan pidana maupun perdata mengharuskan salah
satu pihak melalukan tuntutan maupun gugatan ke pengadilan dan
65
keputusannya berupa penjara/ kurungan serta ganti rugi. Disamping itu
dalam ranah perdata terdapat mediasi para pihak yang mewajibkan
hakim untuk menawarkan mediasi dalam penyelesaian sengketa.
Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) pada prnsipnya sudah dituangkan dalam Undang-
undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
konsumen yang merasa dirugikan untuk mengajukan tuntutan kepada
BPSK dan keputusan berupa ganti rugi.
Cara yang lain untuk menyelesaiakan sengketa medik ini juga
dapat dberupa mediasi di luar pengadilan yang dapat dilakukan oleh
suatu badan mediasi seperti Pusat Mediasi Nasional (PMN), Badan
mediasi Indonesia (BaMI) dan Indonesian Institute for Conflict
Transformation (IICT) serta mediator individual.dalam hal ini Putusan
akhir dari mediasi ini bersifat win-win solution. Hal tersebut seperti
gambar dibawah ini:
66
67
2. Pilihan alternatif penyelesaian sengketa
Setelah terjadinya sengketa medik, ada beberapa pilihan yang
dapat digunakan sebagai penyelesaian, diantaranya adalah litigasi dan non
litigasi. Penyelesaian dengan litigasi memakan waktu lama dan biaya,
untuk itu dipakai non litigasi untuk menyelesaiakn sengketa medik.
Adapun penyelesaian dengan non litigasi dibedakan menjadi 5 (lima) cara
yakni konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan albitrase.
Alternatif penyelesaian sengketa ini diatur dalam Undang-undang
No. 30 Tahun 1999 Tentang alternatif penyelesaian sengketa. Salah satu
contoh alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipergunakan untuk
menyelesaiakan sengketa medik adalah mediasi.
a. Pengertian mediasi
Beberapa pengertian mediasi adalah sebagai berikut:
1) Pasal 1 ayat (7) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, berbunyi: “ mediasi
adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan dengan bantuan seorang mediator.
2) Takdir Rahmadi mendefinisikan mediasi adalah suatu proses
penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak atau lebih melalui
perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang
tidak mempunyai kewenangan memutus.60
60
Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 12
68
3) Garry Goodpaster, mediasi adalah proses negosiasi pemecahan
masalah dimana pihak-pihak yang tidak memihak (impartial) dan
netral, bekerja sama dengan para pihak yang bersengketa untuk
memperoleh kesepakatan yang memuaskan.61
4) Christoper W. Moore menyatakan bahwa mediasi adalah intervensi
terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh para pihak ketiga yang
dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak mempunyai
kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu para
pihak berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara
sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang disengketakan.62
5) Julien Riekert, mediasi merupakan suatu proses penyelesaian
masalah melalui negosiasi dengan pihak ke tiga (mediator) yang
netral.63
6) Menurut peneliti mediasi adalah salah satu bentuk alternatif
penyelesaian sengketa, dimana dipergunakan negosiasi para pihak
dengaan bantuan mediator dan merupakan alternatif penyelesaian
sengketa yang dapat digunakan baik didalam maupun diluar
pengadilan.
b. Keuntungan dan kelemahan mediasi
Yahya Harahap mengutarakan keuntungan substansial dan
psikologis mediasi yakni:
61
Soetrisno, 2010. Op.cit, hal. 6
62
Christoper W. Moore, 2003. The mediation process. Jossey-Bass A Wiley Imprint , hal. 15
63
Julien Riekert, 2003. ADR in Australia Commercial Dispute: Quo Vadis, Kutipan dari bahan
Alternative Dispute Resolution Training, FHUI-LRP-AUS Aid.
69
1) Penyelesaian bersifat informal
Pendekatan melalui nurani, bukan berdasarkan hukum. Kedua
belah pihak melepaskan diri dari kekakuan istilah hukum (legal
term) kepada pendekatan yang bercorak nurani dan moral.
Menjauhkam doktrin dan azas pembuktian ke arah persamaan
persepsi yang saling menguntungkan.
2) Yang menyelesaikan sengketa adalah pihak sendiri
Penyelesaian tidak diarahkan kepada kemauan dan kehendak
hakim atau arbiter, tetapi diselesaikan oleh para pihak sendiri
sesuai dengan kemauan mereka, karena merekalah yang lebih tahu
hal yang sebenarnya atas sengketa yang dipermasalahkan.
3) Jangka waktu penyelesaian pendek
Pada umumnya jangka waktu penyelesaian hanya satu atau dua
minggu atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan dan
kerendahan hati dari para pihak, itu sebabnya disebut bersifat
speedy.
4) Biaya ringan
Boleh dikatakan tidak perlu biaya. Meskipun ada, sangat murah
atau zero cost. Hal ini merupakan kebalikan dari sistem peradilan
atau arbitrase yang membutuhkan biaya mahal.
5) Tidak perlu aturan pembuktian
Tidak ada pertarungan yang sengit antar para pihak untuk saling
membantah dan menjatuhkan pihak lawan melalui sistem dan
70
prinsip pembuktian yang formil dan teknis yang sangat
menjemukan seperti halnya proses arbitrase dan pengadilan.
6) Proses penyelesaian bersifat konfidensial
Hal lain yang perlu dicatat, penyelesaian melalui perdamaian
benar-benar bersifat rahasia, penyelesaian tertutup untuk umum
yang tahu hanya mediator. Dengan demikian tetap terjaga nama
baik para pihak dalam pergaulan bermasyarakat.64
Jika dikaitkan
dengan masalah medik maka dokter sebagai salah satu pihak sudah
tentu nama baik merupakan hal yang paling utama mengingat
dokter menjual jasa pelayanan.
7) Hubungan para pihak bersifat kooperatif
Oleh karena yang berbicara dalam penyelesaian adalah hati nurani,
terjalin penyelesaian berdasarkan kerja sama. Masing-masing
pihak menjauhkan dendam dan permusuhan.
8) Komunikasi dan fokus penyelesaian
Dalam mediasi terwujud komunikasi aktif para pihak. Komunikasi
tersebut bertujuan untuk menjalin hubungan baik antara para pihak.
9) Hasil dituju sama-sama menang
Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam mediasi dapat
dikatakan sangat luhur yakni sama-sama menang (win-win
solution), dengan menjauhkan diri dari sifat egoistik dan serakah.
64
Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 22
71
10) Bebas emosi dan dendam
Penyelesaian sengketa melalui mediasi meredam sikap emosional
kearah suasana bebas emosi selama berlangsungnya mediasi,
dengan kata lain mediasi menghendaki rasa kekeluargaan dan
persaudaraan.
Adapun kelemahan mediasi menurut Takdir Rahmadi sebagai
berikut:65
1) Mediasi hanya dapat diselenggarakan secara efektif jika para pihak
memiliki kemauan untuk menyelesaikan sengketa secara
konsensus.
2) Pihak yang tidak beriktikad baik dapat memamfaatkan proses
mediasi sebagai taktik untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian
sengketa.
3) Beberapa jenis mediasi mungkin tidak dapat dimediasi, terutama
kasus yang berkaitan dengan ideologis, dan nilai dasar yang tidak
memberikan ruang bagi para pihak untuk melakukan kompromi.
4) Mediasi dipandang tidak tepat untuk digunakan jika masalah pokok
dalam sebuah sengketa adalah penentuan hak karena soal
penentuan hak haruslah diputuskan oleh hakim, sedangkan mediasi
lebih tepat digunakan untuk menyelesaikan sengketa terkait
kepentingan.
65
Ibid, hal. 27
72
5) Secara normatif mediasi hanya dapat ditempuh atau digunakan
dalam lapangan hukum privat tidak dalam lapangan hukum pidana.
Sebagai contoh dalam Pasal 85 ayat 2 Undang-undang No. 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup menyatakan bahwa mediasi tidak dapat diterapkan untuk
penyelesaian tindak pidana lingkungan hidup. Larangan ini
didasarkan pada pembedaan kategoris hukum privat dengan hukum
pidana.
Hukum Pidana terdapat konsep mediasi penal atau dalam istilah
Inggris disebut “mediation in criminal cases”atau “mediation in
penal matters”. Kasus pidana pada prinsipnya tidak dapat
diselesaikan di luar pengadilan, kecuali dalam hal-hal tertentu.
Namun dalam prakteknya, sering juga kasus pidana diselesaikan di
luar pengadilan melalui berbagai “diskresi” aparat atau melalui
mekanisme perdamaian atau lembaga pemaafan yang ada di
masyarakat.66
Praktek penyelesaian pidana dalam hal ini tidak ada
landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus
yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun
melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke
pengadilan sesuai hukum yang berlaku.
Menurut Barda Nawawi, ADR hanya mungkin dilakukan dalam
perkara perdata, namun dalam KUHP terdapat pasal 14c dan pasal
66
Barda Nawawi A, 2007. Mediasi penal dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
disampaikan dalam Seminar Nasional: Pertanggungjawaban Hukum dalam Kontek Good
Corporate Goverance, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Jakarta.
73
82 yang mengatur denda damai hanya untuk pelanggaran, sebagai
contoh yakni pelanggaran lalu lintas. Di samping itu dalam
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM
menyatakan bahwa Komnas HAM dapat melakukan mediasi dalam
kasus pelanggaran HAM. Pasal 1 ayat (7) berbunyi: “Komisi Hak
Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah
lembaga yang mandiri yangkedudukannya setingkat dengan
lembaga negaralainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi
manusia”. pengaturan tentang mediasi terdapat juga dalam Pasal 76
ayat (1) menyatakan Untuk mencapai tujuannya Komnas HAM
melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian,
penyuluhan,pemantauan, dan mediasi tentang hakasasi manusia.
Sebagai tambahan pengaturan mediasi dalam Undang-undang ini
juga terdapat dalam Pasal 89 ayat (4) dan Pasal 96.
c. Model proses mediasi
Karena kesulitan mendefinisikan mediasi, Boulle membagi model
proses mediasi menjadi empat model, diantaranya ialah settlement
mediation, fasilitatif mediation, therapeutik mediation dan
evaluativemediation.67
Jepang menggunakan mediasi evaluatif dan fasilitatif dalam praktik
mediasi yang dijalankan hakim yang disebut wakai. Model evaluatif
67
Laurence Boulle, 1996. Mediation: principles, process, and practice. Butterworths Australian,
Hal 39-30
74
disebut dengan model yang terpusat pada opini hakim, fasilitatif
disebut dengan model yang terpusat pada negosiasi.68
Menurut Yoshiro
Kusano karena kedua model tersebut mempunyai kelemahan maka
keduanya digabung. Model gabungan ini, proses dialog para pihak
dibangun untuk mencari usulan-usulan penyelesaian sengketa dan
membahasnya. Tetapi hakim sebagai mediator juga dapat memberikan
penilaian atas usulan tersebut agar tidak menyimpang dengan hukum.
Model mediasi menurut Boulle sebagai berikut:
68
Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 37
75
76
77
1) Perbedaan antara mediasi dengan litigasi
Ada beberapa prinsip yang berlawanan antara litigasi dan mediasi,
yaitu:69
Litigasi Mediasi
Penegakan hak Akomodasi kepentingan
Mengklaim nilai Menciptakan nilai
Memaksa dan mengikat Sukarela dan kesepakatan
Akibat proses hukum Prosedur yang flesibel
Formal Informal
Fokus saat ini Fokus kedepan
Permusuhan Bekerja sama
Umum dan akuntabel Khusus dan rahasia
Profesional Berbasis rekan
Berdasarkan fakta Berdasarkan hubungan
Berpusat pada tindakan Berpusat pada orang
Konsisten dan presidential Situasional dan individual
Menerapkan norma/ hukum Menciptakan norma/ hukum
Sumber: Laurence Boulle dalam Mediation: principles, process,
practice.
69
Ibid, hal.35
78
Concern
about
other’s
outcomes
Problem
solving
(win-win)
Yielding
(lose-win)
Contending
(win-lose)
Inaction
(no win)
Compromise
(win a bit-lose a bit)
Concern about own outcomes
2) Pendekatan negosiasi dalam mediasi
Boulle mendesain pendekatan negosiasi dalam proses mediasi:70
Gambar 2: pendekatan negosiasi dalam mediasi
3. The mediation triangels71
Gambar 3: the mediation triangels
70
Ibib, hal 47
71
Ibid, hal. 98
Preliminaries, Mediator’s
opening, Party presentations,
Identifying areas of egreement,
Defining and ordering issues
Negotiation an decision-making,
separate meetings, final decisions,
recording decisions, closing
statement, termination
Preparatory matters
Post mediation activities
Problem-defining stages
Problem-solving stages
79
4. Mediasi dalam sistem hukum Indonesia
Di Indonesia pengaturan dan penggunaan mediasi sebagai salah
satu bentuk atau cara penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam
beberapa peraturan perundang-undangan (dalam konteks sengketa). Pada
bagian berikut akan diuraikan pengaturan dan penggunaan mediasi dalam
konteks sengketa, diantaranya:72
a. Mediasi untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan sumber
daya alam
Mediasi diatur dalam Undang-undang No.32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengaturan
tersebut terdapat pada Pasal 85 ayat (3) menyatakan “dalam
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat
digunakan jasa mediator dan/ atau arbiter untuk membantu
menyelesaiakan sengketa lingkungan hidup”. Dengan demikian
Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur secara garis besar
penggunaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dan
mediasi dalam hal ini bersifat sukarela.
b. Mediasi untuk menyelesaikan sengketa konsumen dan produsen
Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen mengatur penggunaan mediasi sebagai salah satu diantara
beberapa penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, hal ini
72
Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 54
80
tercermin dalam rumusan Pasal 7 Undang-undang No.8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen yang antara lain mengatakan
“penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
dan tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali
kerugian yang diderita konsumen”. Fungsi mediasi dijalankan melalui
Badan Penyelesaian Sengketa Komsumen (BPSK). Jenis mediasi
dalam Undang-undang ini adalah sukarela.
c. Mediasi untuk penyelesaian sengketa hak azasi manusia
Mediasi juga merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa
pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia selain
berada dalam wilayah hukum pidana, juga mengandung aspek
keperdataan sehingga Undang-undang ini memungkinkan menempuh
perdamaian. Namun tidak ada satupun pasal dalam Undang-undang
No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang mewajibkan para
pihak untuk menempuh mediasi. pendekatan mediasi diatur pada Pasal
76 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (4) point a, bunyinya sebagai berikut:
Pasal 76 ayat (1) : untuk mencapai tujuannya Komnas HAM
melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan,
dan mediasi tentang hak asasi manusia.
Pasal 89 ayat (4) : untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam
mediasi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), Komnas
HAM bertugas dan berwenang melakukan:
81
a) Perdamaian kedua belah pihak
d. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa hubungan industrial
Undang-undang No.2 Tahun 2004 Tentang Peselisihan
Hubungan Industrial juga mengatur penggunaan mediasi sebagai salah
satu cara penyelesaian sengketa hubungan industrial. Mediasi diatur
dalam Pasal 1 butir 11, Pasal 1 butir 12, dan Pasal 4 ayat (4) Undang-
undang No.2 Tahun 2004 Tentang Peselisihan Hubungan Industrial.
Pasal 1 butir 11 berbunyi “Mediasi Hubungan Industrial yang
selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau
lebih mediator yang netral”. Pasal 1 butir 12 berbunyi “Mediator
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah
pegawai instansipemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syaratsebagai mediator yang
ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi
danmempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para
pihak yang berselisih untukmenyelesaikan perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungankerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan”. Selanjutnya Pasal 4 ayat (4) mengatakan “Dalam hal para
pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau
82
arbitrasedalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang
bertangung jawab di bidangketenagakerjaan melimpahkan
penyelesaian perselisihan kepada mediator”. Dari rumusan pasal
tersebut diatas mediasi bersifat wajib.
e. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa bisnis
Mediasi dalam bidang bisnis diatur dalam Undang-undang
No.30 Tahun 1999Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Pengaturannya terdapat dalam pasal 6 ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 6 ayat (3) merupakan suatu
proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang
dilakukan oleh pihak menurut Pasal 6 ayat (2). Menurut rumusan dari
pasal tersebut juga dikatakan bahwa atas kesepakatan para pihak
sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau
lebih penasehat ahli maupun seorang mediator. Namun Undang-
undang ini tidak memberikan rumusan definisi atau pengertian mediasi
secara tegas dan jelas.
f. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa perbankan
Penggunaan mediasi untuk penyelesaian sengketa perbankan
tidak didasarkan pada Undang-undang namun didasarkan atas
kebijakan Bank Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi Perbankan. Mediasi
perbankan dilaksanakan dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dan
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik

More Related Content

What's hot

19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...
19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...
19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...
MichelleAngelika
 
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasienHub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
Elisanggeria22
 
Makalah hukum kesehatan
Makalah hukum kesehatanMakalah hukum kesehatan
Makalah hukum kesehatan
Meisin Rahman
 
Makalah Keperawatan Profesional
Makalah Keperawatan ProfesionalMakalah Keperawatan Profesional
Makalah Keperawatan Profesional
Firdika Arini
 

What's hot (20)

Isu isu etik dan legal pada keperawatan kritis
Isu isu etik dan legal pada keperawatan kritisIsu isu etik dan legal pada keperawatan kritis
Isu isu etik dan legal pada keperawatan kritis
 
19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...
19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...
19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...
 
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasienHub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
 
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologiTugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
 
Konsep legal dan etik keperawatan gerontik
Konsep legal dan etik keperawatan gerontikKonsep legal dan etik keperawatan gerontik
Konsep legal dan etik keperawatan gerontik
 
legal etik yang ada di keperawatan
legal etik yang ada di keperawatan legal etik yang ada di keperawatan
legal etik yang ada di keperawatan
 
prinsip prinsip legal praktik keperawatan
prinsip prinsip legal praktik keperawatanprinsip prinsip legal praktik keperawatan
prinsip prinsip legal praktik keperawatan
 
Aspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat ppt
Aspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat pptAspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat ppt
Aspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat ppt
 
Makalah hukum kesehatan
Makalah hukum kesehatanMakalah hukum kesehatan
Makalah hukum kesehatan
 
141050362 kasus-pelanggaran-etika-keperawatan(1)
141050362 kasus-pelanggaran-etika-keperawatan(1)141050362 kasus-pelanggaran-etika-keperawatan(1)
141050362 kasus-pelanggaran-etika-keperawatan(1)
 
1 Etik Legal Gawat Darurat
1 Etik Legal Gawat Darurat1 Etik Legal Gawat Darurat
1 Etik Legal Gawat Darurat
 
Contoh kasus dilema etik dan pembahasan pendekatan nilai dan prinsip
Contoh kasus dilema etik dan pembahasan pendekatan nilai dan prinsipContoh kasus dilema etik dan pembahasan pendekatan nilai dan prinsip
Contoh kasus dilema etik dan pembahasan pendekatan nilai dan prinsip
 
Etika Dan Hukum Dalam Keperawatan Gadar
Etika Dan Hukum Dalam Keperawatan GadarEtika Dan Hukum Dalam Keperawatan Gadar
Etika Dan Hukum Dalam Keperawatan Gadar
 
Makalah Keperawatan Profesional
Makalah Keperawatan ProfesionalMakalah Keperawatan Profesional
Makalah Keperawatan Profesional
 
Ppt%20paliativ
Ppt%20paliativPpt%20paliativ
Ppt%20paliativ
 
Prinsip prinsip etika keperawatan
Prinsip prinsip etika keperawatanPrinsip prinsip etika keperawatan
Prinsip prinsip etika keperawatan
 
Analisa kasus berdasarkan UU Keperawatan No. 38 Tahun 2014
Analisa kasus berdasarkan UU Keperawatan No. 38 Tahun 2014Analisa kasus berdasarkan UU Keperawatan No. 38 Tahun 2014
Analisa kasus berdasarkan UU Keperawatan No. 38 Tahun 2014
 
Lpt informed consent
Lpt informed consentLpt informed consent
Lpt informed consent
 
Palliative Care
Palliative CarePalliative Care
Palliative Care
 
aspek legal
aspek legalaspek legal
aspek legal
 

Similar to implementasi mediasi dalam sengketa medik

Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Operator Warnet Vast Raha
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Operator Warnet Vast Raha
 
Analisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatan
Analisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatanAnalisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatan
Analisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatan
ABSTRACTPIT
 
ISSUE END OF LIFE (DNR).pptx
ISSUE END OF LIFE (DNR).pptxISSUE END OF LIFE (DNR).pptx
ISSUE END OF LIFE (DNR).pptx
ThaRie2
 
makalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docx
makalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docxmakalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docx
makalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docx
NurmaYanti40
 
KP 1.1.3.2 kewajiban dokter pasien
KP 1.1.3.2  kewajiban dokter pasienKP 1.1.3.2  kewajiban dokter pasien
KP 1.1.3.2 kewajiban dokter pasien
Carlo Prawira
 
488960551 komunikasi-profesional-dalam-pelayanan-kesehatan-ppt
488960551 komunikasi-profesional-dalam-pelayanan-kesehatan-ppt488960551 komunikasi-profesional-dalam-pelayanan-kesehatan-ppt
488960551 komunikasi-profesional-dalam-pelayanan-kesehatan-ppt
YeniRimadeni
 

Similar to implementasi mediasi dalam sengketa medik (20)

Penyelesaian sengketa medis
Penyelesaian sengketa medisPenyelesaian sengketa medis
Penyelesaian sengketa medis
 
Transaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docx
Transaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docxTransaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docx
Transaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docx
 
TRANSAKSI TERAPEUTIK_materi_8.pptx
TRANSAKSI TERAPEUTIK_materi_8.pptxTRANSAKSI TERAPEUTIK_materi_8.pptx
TRANSAKSI TERAPEUTIK_materi_8.pptx
 
perlindungan hukum pasien.pdf
perlindungan hukum pasien.pdfperlindungan hukum pasien.pdf
perlindungan hukum pasien.pdf
 
Modul 3 kb 4
Modul 3 kb 4Modul 3 kb 4
Modul 3 kb 4
 
MI 1 Bahan Bacaan
MI 1 Bahan BacaanMI 1 Bahan Bacaan
MI 1 Bahan Bacaan
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
 
Analisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatan
Analisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatanAnalisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatan
Analisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatan
 
Informed consent
Informed consentInformed consent
Informed consent
 
ISSUE END OF LIFE (DNR).pptx
ISSUE END OF LIFE (DNR).pptxISSUE END OF LIFE (DNR).pptx
ISSUE END OF LIFE (DNR).pptx
 
Jurnal manajemen pelayanan kesehatan
Jurnal manajemen pelayanan kesehatanJurnal manajemen pelayanan kesehatan
Jurnal manajemen pelayanan kesehatan
 
makalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docx
makalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docxmakalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docx
makalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docx
 
KP 1.1.3.2 kewajiban dokter pasien
KP 1.1.3.2  kewajiban dokter pasienKP 1.1.3.2  kewajiban dokter pasien
KP 1.1.3.2 kewajiban dokter pasien
 
Issue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan Profesional
Issue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan ProfesionalIssue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan Profesional
Issue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan Profesional
 
Tugas Blok I - Kelp 2.docx
Tugas Blok I - Kelp 2.docxTugas Blok I - Kelp 2.docx
Tugas Blok I - Kelp 2.docx
 
Referat Patient Preference dan Contextual features
Referat Patient Preference dan Contextual featuresReferat Patient Preference dan Contextual features
Referat Patient Preference dan Contextual features
 
488960551 komunikasi-profesional-dalam-pelayanan-kesehatan-ppt
488960551 komunikasi-profesional-dalam-pelayanan-kesehatan-ppt488960551 komunikasi-profesional-dalam-pelayanan-kesehatan-ppt
488960551 komunikasi-profesional-dalam-pelayanan-kesehatan-ppt
 
Hubungan Dokter-Pasien, Tugas Prof. Iwa (Eva_IPM).pdf
Hubungan Dokter-Pasien, Tugas Prof. Iwa (Eva_IPM).pdfHubungan Dokter-Pasien, Tugas Prof. Iwa (Eva_IPM).pdf
Hubungan Dokter-Pasien, Tugas Prof. Iwa (Eva_IPM).pdf
 
Aaaaa
AaaaaAaaaa
Aaaaa
 

Recently uploaded

UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
Sumardi Arahbani
 

Recently uploaded (10)

materi hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usahamateri hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usaha
 
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
 
pilihan hukum dan perjanjian internasional dan pilihan forum
pilihan hukum dan perjanjian internasional dan pilihan forumpilihan hukum dan perjanjian internasional dan pilihan forum
pilihan hukum dan perjanjian internasional dan pilihan forum
 
interpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptxinterpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptx
 
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIHAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
 
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANBENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
 
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docxpdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
 
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
 
Naskah Akademik Tentang Desa Adat Tahun 2023
Naskah Akademik Tentang Desa Adat Tahun 2023Naskah Akademik Tentang Desa Adat Tahun 2023
Naskah Akademik Tentang Desa Adat Tahun 2023
 
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
 

implementasi mediasi dalam sengketa medik

  • 1. 1 IMPLEMENTASI MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN TESIS DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS-TUGAS DAN MEMENUHI PERSYARATAN DALAM MENYELESAIKAN PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM KAJIAN HUKUM KESEHATAN Oleh : Lalu M. Guntur Payasan WP, S.Kep. NPM: 190910140501 PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2011
  • 2. 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan suatu modal seseorang untuk mencapai kehidupan yang optimal, hak asasi, dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karena itu kesehatan masyarakat merupakan hal yang mutlak harus dijaga, diupayakan, dan dipenuhi oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.1 Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional. Pemeliharaan kesehatan individu merupakan suatu pelayanan di bidang kedokteran yang melibatkan dokter dan pasien. Layaknya hubungan antar manusia, maka didalam hubungan pelayanan kedokteran selalu terdapat kekurangan dan kelebihan, dalam arti ada keuntungan dan kerugian yang timbul pada saat pelaksanaan dari pelayanan kedokteran tersebut. Apalagi hubungan ini berkaitan dengan proses penyembuhan penyakit bahkan sampai menyelamatkan nyawa manusia, sehingga hubungan itu sifatnya sangat unik karena ada ketergantungan pasien kepada dokter yang dalam hal ini adalah 1 Pasal 28 H Undang-undang Dasar 1945 Amandemen yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan. 1
  • 3. 3 “menyerahkan kepercayaan terhadap proses penyembuhan atau penyelamatan”. Hubungan ini sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran, sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang dalam prinsip moral profesi, dimana prinsip utamanya adalah autonomy (menghormati hak-hak pasien), beneficence (berorientasi kepada kebaikan pasien), nonmaleficence (tidak mencelakakan pasien), dan justice (keadilan/meniadakan diskriminasi). sedangkan prinsip turunannya adalah veracity (kebenaran), truhtfull(kepercayaan), information, fidality (kesetiaan), privacy(kerahasian), dan confidentiality (menjaga kerahasiaan).2 Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanjikepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, sedangkan terapeutik diartikan sebagai sesuatu yang mengandung unsure atau nilai pengobatan. Secara yuridis perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut.3 Oleh karena praktik kedokteran merupakan pelayanan yang bersifat pemberian pertolongan atau bantuan yang didasarkan kepercayaan pasien terhadap dokter 2 Safitri Hariyani, 2005. Sengketa Medik: alternative penyelesaian perselisihan antara dokter dan pasien, Diadit Media,Jakarta. hal. 3 3 Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed consent dalam perjanjian terapeutik, Citra Aditya Bakti, cet. II Bandung, hal. 1
  • 4. 4 dan bukan merupakan hubungan bisnis semata yang berorientasi pada keuntungan sepenuhnya. Prestasi dari perjanjian terapeutik bukanlah hasil yang akan dicapai (resultaatverbintenis), melainkan suatu upaya yang sungguh-sungguh (inspanningverbintenis). Hubungan perjanjian semacam ini berikut dengan tindakan medik yang tercakup didalamnya sudah merupakan bagian dari hukum, maka harus dipertahankan melalui peraturan perundang-undangan dan mengacu pada standar-standar tertentu yang sudah ditetapkan oleh lembaga profesi. Beberapa tahun belakangan profesi dokter banyak menghadapi tuntutan hukum, tercatat 405 laporan masalah medis dari berbagai belahan Indonesia yang diterima oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan. Sebanyak 73 kasus di antaranya dilaporkan ke kepolisian.4 Selama periode 1994-2004, kasus sengketa medis yang diadukan ke Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Jawa Tengah tercatat 68 kasus, dengan kisaran 2-13 kasus per tahun dan rata-rata 6 kasus per tahun serta 3 dokter yang diadukan per 1000 dokter yang ada di Jawa Tengah.5 Beberapa konflik tersebut melibatkan sarana kesehatan baik itu Puskesmas, Balai pengobatan, Klinik, dan Rumah Sakit. Kasus-kasus seperti ini banyak sekali,namun kemunculan di media itu sedikit karena memang 4 Kompas, 9 Januari 2007, hal. 8 5 Hariadi R. 2005, Dasar-dasar etik kedokteran. Dalam : Darmadipura MS (editor). Kajian bioetik. Airlangga University Press,Surabaya. Hal. 15
  • 5. 5 kasus-kasus seperti ini tidak selalu terpublikasi dan sebenarnya dapat diselesaikan melalui mediasi. Sengketa dalam hubungan dokter dan pasien adalah suatu kondisi dimana tidak tercapainya kesepakatan antara dokter dengan pasien mengenai kerugian dalam pengobatan. Sengketa ini terjadi di bidang kedokteran, yang secara umum berkaitan dengan kesehatan. Kerugian biasanya diderita pasien, berupa cacat/luka bahkan meninggal dunia. Pada kenyataannya, upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan umumnya sering menjadi momok yang menakutkan bagi kalangan dokter sedangkan kalangan pasien sering merasa tidak dapat terwakili jika penyelesaian sengketa dilakukan melalui badan milik profesi kedokteran (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ataupun Majelis Etik Kedokteran). Oleh karena itu diperlukan metode penyelesaian sengketa yang ideal bagi kedua belah pihak dalam hal ini “mediasi” pihak ketiga dapat menjadikan solusi yang tepat dalam menangani sengketa baik itu oleh badan mediasi maupun oleh hakim di Pengadilan.6 Arifin Tumpa mengatakan bahwa “Penyelesaian sengketa medik tidak melulu harus masuk dalam kategori tindak pidana. Namun hendaknya diselesaikan dengan mediasi atau pemberian ganti rugi yang layak kepada si korban”.7 Untuk itu mediasi merupakan alasan yang tepat dalam penyelesaian sengketa medik antara dokter dan pasien. 6 Pasal 29 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. 7 Arifin Tumpa, 2010, Ketua MA membuka diskusi urgensi mediasi penal dalam penyelesaian sengketa medis di peradilan pidana, avaliable from: http://www.mahkamahagung.go.id/rnews.asp?bid=1618 opened: 20/12/2010
  • 6. 6 Menurut teori ada beberapa definisi mengenai mediasi, tapi secara umum mediasi sebenarnya merupakan bentuk dari proses alternative dispute resulotion (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa.8 Pasal 1 ayat 7 PERMA No. 1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memuat definisi mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediasi menggunakan Pendekatan win-win solution dengan proses dan cara yang lebih sederhana dalam rangka memberikan akses keadilan yang lebih memuaskan kepada kedua belah pihak dalam upaya menemukan penyelesaian sengketa yang terbaik bagi kedua belah pihak.9 Kesepakatan perdamaian akan menjadi penyelesaian yang tuntas karena hasil akhirnya tidak menggunakan prinsip win or lose. Kesepakatan yang telah dikeluarkan menjadi “akta perdamaian” merupakan suatu penyelesaian yang mengikat dan final. Mengikat karena setiap butir-butir yang disepakati dalam akta perdamaian dapat dilaksanakan melalui proses eksekusi (executable) jika salah satu pihak mengingkari. Sedangkan final berarti bahwa dengan dikuatkannya kesepakatan dalam bentuk akta perdamaian telah menutup segala upaya hukum yang tersedia bagi para pihak.10 8 Megandianty Adam & Degrantiny Clarita (Indonesian Institute for Conflict Transformation), 2003, Mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa, avaliable at: http://www.pemantauperadilan.com opened: 25/12/2010 9 Yuti Witanto Darmono, 2010. Beberapa masalah dalam PERMA nomor 1 tahun 2008 tentang Mediasi diPengadilan, Varia Peradilan, Jakarta. hal. 68 10 Pasal 1 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung Tahun 2008 Tentang Mediasi yang berbunyi akta perdamaian adalah akta yang memuat isi perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut tidak tunduk pada upaya hukum biasa atau luar biasa.
  • 7. 7 Sebenarnya mediasi juga diatur dalam pasal 130 HIR/ 154 Rbg yang berbunyi “pada hari yang ditentukan, apabila kedua belah pihak menghadap ke Pengadilan dengan perantara keduanya maka hakim mencoba mendamaikan,” artinya sebelum perkara diperiksa, maka hakim menganjurkan supaya para pihak menempuh proses perdamaian terlebih dahulu. Namun dengan syarat perkara tersebut telah terdaftar dipengadilan sebagai gugatan. Contoh Putusan Nomor 57/Pdt.G/2000/PN.Jak.Sel Putusan mengenai gugatan Yang Young Joan terhadap Direksi Rumah Sakit Pondok Indah dan dr. Harry Purwanto, Sp.A Kasus Posisi Penggugat membawa anak laki-lakinya yang berumur 1 tahun. Yan Won Ha, berobat ke RS Pondok Indah dan ditangani oleh dr. Harry P. Menurut dokter, pasien mengalami diare dan dehidrasi sehingga perlu dirawat di RS. Menurut catatan medik, ketika dibawa ke rumah sakit, suhu badannya 37ºC dan tidak dalam keadaan kritis. Setelah pasien menjalani rawat inap, jam 13.15 WIB suhu badan pasien naik menjadi 39ºC, kenaikan suhu badan tersebut sudah diperkirakan oleh dokter sehingga perawat diberikan instruksi apabila suhu badan pasien meningkat diatas 39ºC perawat harus memberikan suntikan iv, Novalgin 05 CC, Ceftum 5 mg dan Stesolid rectal 5 mg dengan catatan kalau perlu. Namun instruksi tersebut diberikan pertelpon. Pada suhu badan pasien 39.2ºC, perawat memberikan suntikan-suntikan sesuai perintah dokter tetapi setelah itu pasien mengalami keadaan kritis dan baru diketahui perawat setalh 3,5 jam setelah pemberian suntikan. Dalam keadaan sesak nafas dan kritis, perawat telah melaporkan kondisi pasien kepada dokter sekaligus meminta petunjuk, dokter akhirnya memerintahkan agar pasien dimasukkan ke ruang ICU melalui telpon. Selama di ruang ICU dokternya tidak datang, padahal di ruang ICU tidak ada dokter anak sehingga pasien meninggal dunia jam 20.50 WIB. Oleh karena itu Penggugat mendalilkan bahwa para tergugat telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian terapeutik yaitu tidak memenuhi standar profesi dokter dan standar perawatan RS yang mengakibatkan matinya pasien. Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan para pihak akhirnya sepakat mengakhiri sengketa antara mereka dengan jalan damai dan membuat perjanjian damai.11 11 Safitri Hariyani, 2005. op.cit hal 65
  • 8. 8 Secara yuridis formal mediasi diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Albitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) / Reglement Buitengewesten (Rbg), UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UUNo. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Peraturan Presiden RI No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Permenkes No. 1419 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi, namun dalam pelaksanaannya mediasi belum banyak dilakukan dalam penyelesaian sengketa medik, padahal mediasi merupakan cara yang sangat ampuh dan cepat dalam penyelesaian sengketa medik. Sebagai perbandingan di bidang perbankan dikenal Lembaga Mediasi Perbankan (LMP) yang menjalankan peran mediasi untuk sengketa-sengketa tertentu dibidang perbankan, LMP tidak tunduk kepada Bank Indonesia, sedangkan di bidang kesehatan lembaga mediasi ini belum ada. Dari uraian tersebut diatas, penulis tertarik mengambil judul penelitian “IMPLEMENTASI MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN”.
  • 9. 9 B. Pembatasan Masalah Pelayanan kesehatan sarat teknologi, sarat sumber daya, sarat profesi, sarat sarana prasarana, sehingga rawan terjadinya permasalahan yang akan berlarut-larut jika melalui pengadilan dan lebih efektif melalui mediasi.Penelitian ini dibatasi tentang sumber daya dan profesi dalam hal ini sumber daya dan profesi tersebut adalah dokter. C. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dikemukakan tiga rumusan masalah yang akan dijadikan pokok penelitian di dalam tesis ini, yaitu : 1. Bagaimana implementasi mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien? 2. Bagaimana pelaksanaanmediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien di RSI Siti Hajar, RSUD Praya dan PN Praya? 3. Bagaimanakah hambatan-hambatan dan solusi untuk mengatasinya dalam pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien?
  • 10. 10 D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaanmediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien di RSI Siti Hajar, RSUD Praya dan PN Praya. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan dan solusinya dalam pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien. E. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis, yaitu a. Menambah wawasan pengetahuan dan ilmu hukum bidang kesehatan khususnya tentang mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien b. Menjadi bahan penelitian hukum kesehatan berikutnya. 2. Manfaat praktis, yaitu : a. Memberikan data informasi kepada berbagai pihak yang berkepentingan, lembaga kesehatan, tenaga kesehatan, praktisi hukum dan masyarakat, tentang hukum kesehatan khususnya mengenai
  • 11. 11 mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa antara dokter dan pasien b. Memberikan bahanmasukan untuk pembuatan peraturan perundang- undangan di bidang kesehatan; F. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa secara umum sudah banyak yang meneliti, akan tetapi penelitian ini memiliki kekhususan dimana dalam penelitian ini akan meninjau tentang implementasi mediasi sebagai upaya penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien, hal ini belum ada yang meneliti. Oleh karena itu penelitian ini dapat dipercaya keasliannya.
  • 12. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hubungan Dokter dan Pasien 1. Dokter a. Definisi Dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan, khususnya memeriksa dan mengobati penyakit dan dilakukan menurut hukum dalam pelayanan kesehatan.12 Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang- undangan.13 b. Hak dan kewajiban dokter Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:14 1) memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; 12 Endang Kusuma Astuti, 2009, Perjanjian terapeutik dalam upaya pelayanan medis di Rumah Sakit, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal 17 13 Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 1 ayat (2) 14 Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 51 11
  • 13. 13 2) memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional; 3) memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan 4) menerima imbalan jasa. Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :15 1) memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; 2) merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; 3) merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; 4) melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan 5) menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. 15 Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 52
  • 14. 14 2. Pasien a. Definisi Pasal 1 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran menjelaskan definisi pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi. b. Hak dan kewajibanpasien Hak-hakyang dimiliki pasien sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Undang-undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, adalah : 1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis; 2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; 3) Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; 4) Menolak tindakan medis; dan 5) Mendapatkan isi rekam medis. Kewajiban pasien yang diatur dalam Pasal 53 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ini adalah: 1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatanya 2) Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau doter gigi 3) Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan dan
  • 15. 15 4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima 3. Hubungan dokter dengan pasien Hubungan antara pemberi jasa layanan kesehatan (dokter) dengan penerima jasa kesehatan (pasien) berawal dari hubungan vertikal yang bertolak pada hubungan paternalisme (father knows best). Hubungan vertikal tersebut adalah hubungan antara dokter dan pasien tidak lagi sederajat. Hubungan ini melahirkan aspek hukum inspaningverbintenis antara dua subjek hukum (dokter dan pasien), hubungan hukum ini tidak menjanjikan suatu kesembuhan / kematian, karena obyek dari hubungan hukum itu adalah berupaya secara maksimal yang dilakukan secara hati- hati dan cermat sesuai dengan standar pelayanan medis berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani penyakit tersebut.16 Tanpa disadari keadaan seperti di atas membawa perubahan pola pikir sebelumnya hubungan layanan kesehatan yaitu hubungan vertikal menuju kearah pola hubungan horizontal, termasuk konsekuensinya, dimana kedudukan antar dokter dan pasien sama sederajat walau pun peranan dokter lebih penting dari pada pasien. Bila antara dua pihak telah disepakati untuk dilaksanakan langkah-langkah yang berupaya secara optimal untuk melakukan tindakan medis tertentu tetapi tidak tercapai karena dokter tidak cermat dalam prosedur yang ditempuh melalui proses komunikasi (informed consent), maka salah satu pihak dapat melakukan upaya hukum berupa tuntutan ganti rugi. Hal tersebut dilegalkan oleh 16 Margaretha, 2010. Implementasi informed consent dalam pelayanan medik, Tesis Magister Ilmu Hukum Kajian Hukum Kesehatan UNTAG, Semarang, hal. 29
  • 16. 16 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan sebagai salah satu upaya perlindungan hukum bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul (fisik / non fisik) karena kesalahan / kelalaian yang telah dilaksanakan oleh dokter. Hubungan dokter pasien ini biasa disebut perjanjian terapeutik. Hubungan terapeutik dalam dunia kedokteran merupakan hubungan yang dilandasi oleh nilai-nilai kepercayaan dan nilai-nilai kekeluargaan. Sofwan Dahlan mengatakan, bahwa hubungan demikian telah ada sejak zaman Priestly Medicine dan telah mapan. Hubungan yang mapan, ternyata merupakan konsep yang tidak jelas, sehingga tidak memiliki sarana sebagai upaya penyelesaian terhadap kasus yang muncul, termasuk keputusannya tidak atau kurang memiliki kekuatan mengikat para pihak (binding force).17 Upaya penyelesaian kasus atau konflik oleh lembaga profesi lebih mencerminkan gambaran keterpihakan pada lembaga daripada pasien. Kondisi seperti itu membuat para pihak yang merasa kurang diuntungkan, menempuh hukum sebagai upaya penyelesaian kasus yang terjadi.18 Untuk itu perlu ada upaya alternatif penyelesaian sengketa dengan menggunakan pihak ketiga yang netral. 17 Soponyono, Edi, 2008. Pemahaman etik medikolegal, pedoman bagi profesi dokter (memahami pasal-pasal perdata dan pidana berkaitan dengan profesi dokter serta kiat menghadapi somasi dan teknik pelaksanaan persidangan di Pengadilan), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 49 18 Ibid, hal. 43
  • 17. 17 4. Aspek hukum hubungan dokter dan pasien Aspek hukum hubungan dokter dan pasien ini diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya:19 a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, dalam perkembangan selanjutnya timbul permasalahan tanggung jawab pidana seorang dokter, khususnya yang menyangkut kelalaian, yang dilandaskan teori-teori kesalahan dalam hukum pidana. Tanggung jawab disini bila kelalaian tersebut dapat dibuktikan adanya kesalahan professional, misalnya dalam cara-cara pengobatan, maupun diagnosa yang berdampak pada pasien. Di Indonesia masalah pertanggungjawaban pidana seorang dokter diatur dalam KUHP yang mencakup tanggung jawab hukum yang ditimbulkan oleh kesengajaan maupun kealpaan/ kelalaian. Pasal- pasal 267, 299, 304, 322, 344, 346, 347, 348, 349 KUHP mencakup kesalahan yang didasarkan pada kesengajaan. Sedangkan dasar kealpaan/ kelalaian pasal 267 KUHP.20 b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Tanggung jawab hukum dokter dalam persektif hukum perdata karena adanya perjanjian yang terjadi. Ketentuan umum mengenai bentuk perjanjian tersebut diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata 19 Soetrisno, 2010, Malpraktek Medis dan Mediasi, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, hal. 7 20 ibidhal. 23
  • 18. 18 sedangkan syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.21 Soetrisno menyatakan dalam proses perdata yang menyangkut gugatan seorang pasien terhadap dokter yang menanganinya, hampir semua, kalau tidak dikatakan semuanya, adalah menyangkut ganti rugi. Dasar hukum pertanggung jawaban medis adalah:22 1) Wanprestasi (Pasal 1239 KUHPerdata) Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak.23 Contoh : Dokter tidak memenuhi kewajibannya yang timbul dari adanya suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual) Pasal 1243 KUHPerdata. 2) Perbuatan melanggar hukum (onrecht matigedaad) Tuntutan kerugian yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian. Hal ini berarti untuk menuntut ganti rugi harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:24 a) Ada perbuatan melawan hukum b) Ada kerugian c) Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dan kerugian 21 Titik Triwulan T & Shita Febriani, 2010, Perlindungan hukum bagi pasien, Jakarta; Prestasi Pustaka, hal. 22 22 Soetrisno, 2010, op.cit hal. 8 23 Safitri Hariyani, 2005. op.cit hal 43 24 Ibid, hal 44
  • 19. 19 d) Ada kesalahan Contoh : Dokter telah melawan hukum karena tindakannya bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang diharapkan daripada dalam pergaulan dengan warga masyarakat (tanggung jawab berdasarkan Undang-undang). 3) Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPerdata)25 Seorang dokter selain dapat dituntut atas dasar wanprestasi dan melanggar hukum, dapat pula dituntut atas dasar lalai sehingga menyebabkan kerugian. 4) Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata) 26 Sebagai penganggung jawab dalam Pasal 1367 KUHPerdata dokter harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pasien baik itu olehnya maupun oleh orang lain yang bekerja pada dokter tersebut dan ikut melakukan tindakan, misalnya perawat/ bidan. 5) Zaakwarneming27 Dalam hal dokter menolong seseorang secara sukarela maka ia harus melaksanakannya sampai selesai atau sampai pasien mampu mengurus kepentingannya sendiri atau ada keluarga yang mengambil alih urusan tersebut 25 ibid hal 43 26 ibid hal 43 27 Liliana Tedjosaputro, 2010. Bahan kuliah hukum perlindungan konsumen kesehatan, UNTAG, Semarang. Tidak dipublikasikan
  • 20. 20 Jika dokter meninggalkan begitu saja dan mengakibatkan pasien menderita kerugian maka ia dapat digugat berdasarkan pasal 1356 KUHPerdata c. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Demikian pula bagi dokter sebagai pengemban profesi, maka ia memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada profesinya tersebut. Dalam perjalanan profesinya, seorang dokter memiliki hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesahatan yang menyebutkan : 1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. 2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. 3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. d. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam perspektif ini dokter dianggap sebagai pelaku usaha, untuk itu menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 yang berbunyi sebagai berikut: 1) Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. 2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan.
  • 21. 21 3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif 4) Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku 5) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/ atau mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/ atau garansi atas barang yang dibuat dan/ atau diperdagangkan 6) Memberi konpensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemamfaatan barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan 7) Memberikan konpensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang diterima dan dimamfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian e. Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Kewajiban dokter diatur dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yaitu ; 1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan standar profesi atau standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. 2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan lebih naik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan 3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. 4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya ; dan 5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
  • 22. 22 Dalam menjalankan profesinya, seorang dokter terikat dengan Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia ( IDI ) yaitu : 1) Standar ketrampilan 2) Standar sarana meliputi segala sarana yang diperlukan untuk berhasilnya profesi dokter dalam melayani penderita 3) Standar perilaku; yang didasarkan pada sumpah dokter dan pedoman Kode Etik Kedokteran Indonesia, meliputi perilaku dokter dalam hubungannya dengan penderita dan hubungannya dengan dokter lainnya 4) Standar catatan medik. Pada semua penderita sebaiknya dibuat catatan medik yang didalamnya dicantumkan identitas penderita , alamat, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, terapi dan obat yang menimbulkan alergi terhadap pasien. B. Sengketa Umum dan Sengketa Medik Safitri Hariyani membagi sengketa menjadi 2 diantaranya:28 1. Sengketa umum Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “conflict” dan “dispute” yang keduanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Conflict sudah diterjemahkan kedalam bahasa 28 Safitri Hariyani, 2005. op.cit hal 7
  • 23. 23 Indonesia yakni “konflik”, sedangkan dispute dapat diterjemahkan dengan arti sengketa. Konflik adalah sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak dapat berkembang dari sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keperihatinannya. Konflik berkembang atau berubah menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keperihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain.29 Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik yang tidak dapat terselesaikan akan menjadi sengketa. 2. Sengketa medik Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran secara implisit menyebutkan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran.Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang berbunyi: setiap orang yang mengetahui atau kepentingan dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua majelis Kehormatan Disiplin Kedoktern Indonesia. Dengan demikian sengketa medik merupakan sengketa yang terjadi antara pengguna pelayanan medik dengan pelaku pelayanan medik dalam hal ini pasien dengan dokter. 29 Ibid hal. 7
  • 24. 24 Oleh Safitri Hariani kata medik diambilnya dari kamus Inggris- Indonesia karangan John M. Echols dan Hasan Shadily yaitu medical yang secara umum berarti berhubungan dengan pengobatan. Hermin HadiatiKoeswadji, mengartikan “medik” sebagai “kedokteran”. Hukum kedokteran atau hukum medik sebagai terjemahan dari “Medical Law”, jadi menurut beliau arti medik itu adalah kedokteran. Mengacu pada arti medik diatas, definisi dari sengketa medik adalah suatu kondisi dimana terjadi perselisihan dalam praktek kedokteran. 3. Dasar hukum sengketa medik Sengketa medik tidak dimuat secara eksplisit dalam Undang- undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, tetapi UU tersebut mengatur mengenai ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.Pasal 58 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, menyatakan: (1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat. (3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Dalam Pasal 29 Undang-
  • 25. 25 undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mengamanatkan penyelesaian sengketa dilakukan terlebih dahulu dengan mediasi. C. Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa 1. Pengertian Mediasi Pasal 1 ayat (7) Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menyatakan “mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan antara pihak dengan bantuan seorang mediator. Literatur hukum, misalnya Black’s Law Dictionary dikatakan bahwa mediasi dan mediator adalah: Mediation is private, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to inpose a decision on the parties. 2. Karakteristik dan keunggulan mediasi Menurut Soetrisno karakteristik dan keunggulan mediasi yaitu:30 a. Voluntary/ sukarela b. Informal/ fleksibel c. Interest based (dasar kepentingan) d. Future looking (memandang kedepan) e. Parties oriented f. Parties control 30 Soetrisno, 2010, op. cit, hal. 51
  • 26. 26 Penyelesaian perdamaian melalui mediasi mengandung beberapa keuntungan, diantaranya:31 a. Penyelesaian bersifat informal b. Yang menyelesaikan sengketa para pihak sendiri c. Jangka waktu pemelihan pendek d. Biaya ringan e. Aturan pembuktian tidak perlu f. Proses penyelesaian bersifat konfodensial g. Hubungan para pihak bersifat kooperatif h. Komunikasi dan focus penyelesaian i. Hasil yang ditinjau sama menang j. Bebas emosi dan dendam 3. Jenis mediasi Ada 2 jenis mediasi menurut tempatnya, yaitu:32 a. Di Pengadilan Proses mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan di pengadilan. Adapun prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi peradilan dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi dapat dibedakan menjadi dua tahap, yaitu tahap pramediasi dan tahap mediasi.33 31 M. Yahya Harahap, 2005, hal. 36 32 Megandianty Adam & Degrantiny Clarita (Indonesian Institute for Conflict Transformation), 2003, op. cit 33 ibid, hal. 53
  • 27. 27 Tahap pramediasi dimulai dari saat hari pertama sidang yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi.Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.34 Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut:Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan;Advokat atau akademisi hukum;Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa;Hakim majelis pemeriksa perkara;Gabungan antara mediator yang disebut di atas. Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri.35 Sebelum tahap mediasi dilaksanakan, terlebih dahulu diatur mengenai batas waktu yakni; Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling 34 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 7 35 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 8
  • 28. 28 lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim. Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua majelis hakim. Ketua majelis hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan tugas.Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud ayat (1) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim. Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator. Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka hakim pemeriksa pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh ketua majelis hakim wajib menjalankan fungsi mediator.36 Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing~masing pihak dapat 36 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 11
  • 29. 29 menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim.Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari. Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara.Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.37 Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu· pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut- turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para 37 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 13
  • 30. 30 pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap.38 Memperhatikan ketentuan diatas, ada dua kemungkinan dalam proses mediasi yaitu berhasil mencapai kesepakatan atau gagal mencapai kesepakatan.39 1) Apabila mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian para pihak dengan bantuan mediator, maka mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Jika dalam mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai. 2) Apabila setelah batas waktu maksimal empat puluh hari kerja sebagaimana atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam Pasal 15, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kepada hakim. Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku. b. Di luar Pengadilan Mediasi diluar pengadilan dapat kita temukan dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan, yang membentuk suatu badan penyelesaian sengketa. PERMA No. 1 Tahun 2008 juga memuat ketentuan yang menghubungkan antara praktik mediasi di luar 38 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 14 39 Soetrisno, 2010, op. cit, hal. 56
  • 31. 31 pengadilan yang menghasilkan kesepakatan. Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) PERMA No.1 Tahun 2008 mengatur sebuah prosedur hukum untuk akta perdamaian dari pengadilan tingkat pertama atas kesepakatan perdamaian di luar pengadilan. Prosedurnya adalah dengan cara mengajukan gugatan yang dilampiri oleh naskah atau dokumen kesepakatan perdamaian para pihak dengan mediasi atau dibantu oleh mediator bersertifikat. Pengajuan gugatan tentunya adalah pihak yang dalam sengketa itu mengalami kerugian.40 4. Dasar hukum mediasi Mediasi sebenarnya terdapat pada banyak peraturan perundang- undangan, diantaranya: a. HIR dan Rbg Mediasi di pengadilan telah lama dipraktekkan sejak lama melalui lembaga perdamaian (Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg). Dimana hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa.41 b. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Mediasi pada Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dimuat dalam Pasal 29, yaitu: “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”. 40 Takdir Rahmadi, 2010, Mediasi: penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat, Raja Gravindo Persada, Jakarta. hal. 193 41 Soetrisno, 2010, malpraktek medis dan mediasi, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, hal. 52
  • 32. 32 c. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Mediasi diatur pada Pasal 23 UU ini, yang bunyinya sebagai berikut: “Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.” Pasal 23 tersebut terdapat dua hal penting:42 1) Bahwa UU Perlindungan Konsumen memberikan alternatif penyelesaian sengketa melalui badan di luar sistem peradilan yang disebut BPSK. 2) Bahwa pilihan penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan pelaku usaha (dokter) bukanlah pilihan ekslusif, yang tidak dapat tidak harus dipilih. Pilihan penyelesaian sengketa melalui BPSK adalah pararel atau sejajar dengan pilihan penyelesaian sengketa melalui badan pengadilan. d. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa Pengaturan mengenai mediasi dapat kita temukan dalam ketentuan pasal 6 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam pasal 6 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 merupakan suatu proses kegiatan sebagai 42 Widjaja Gunawan, 2001, op.cit hal 73
  • 33. 33 kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999. Menurut rumusan dari pasal tersebut juga dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.43 Namun UU ini tidak memberikan rumusan definisi atau pengertian dari mediasi secara jelas dan tegas. e. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pendekatan mufakat dan mediasi khususnya sebagai cara penyelesaian sengketa pelanggaran hak asasi manusia dapat dilihat dalam dua pasal yaitu Pasal 76 dan Pasal 89 ayat (4) a Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM.44 Namun tidak ada aturan tegas semua kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi oleh Komnas HAM. f. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang ini mengatur penggunaan mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Pada Pasal 83 ayat (3) dinyatakan “dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/ atau arbiter untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup”.45 Dengan demikian 43 Widjaja Gunawan, 2001, Alternatif penyelesaian sengketa, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada hal. 90 44 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit hal. 61 45 Ibid, hal. 57
  • 34. 34 Undang-undang No. 32 Tahun 2009mengatur secara garis besar penggunaan tiga cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yaitu negosisasi, mediasi dan arbitrase. g. PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Disamping HIR/Rbg, Pengaturan mediasi di pengadilan terdapat dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. h. Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi Perbankan Dalam dunia perbankan, mediasi diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi Perbankan. Mediasi perbankan dilaksanakan dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dan bank yang disebabkan tidak terpenuhinya tuntutan finansial nasabah oleh bank dalam penyelesaian pengaduan nasabah.46 Apabila disinkronisasikan ke dunia kesehatan, sengketa antara nasabah dan bank memiliki kemiripan dengan sengketa antara pasien dengan dokter. D. Perjanjian terapeutik 1. Pengertian Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak 46 Khotibul Umam, 2010. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Pustaka Yustisia, Jakarta. Hal. 25
  • 35. 35 berjanjikepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Oleh karenanya, perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. Dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 434 /Men.Kes /X / 1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia, mencantumkan tentang perjanjian terapeutik sebagai berikut : “Yang dimaksud perjanjian terapeutik adalah hubungan antara dokter dengan pasien dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani”
  • 36. 36 2. Jenis Perjanjian Dalam hukum perikatan dikenal adanya 2 macam perjanjian, yaitu :47 a. Inspanningverbintenis, yaitu perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak berjanji atau sepakat untuk berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan. b. Resultaatverbintenis, yaitu suatu perjanjian yang akan memberikan resultaat atau hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Perjanjian terapeutik atau perjanjian terapeutik termasuk dalam inspanningverbintenis atau perjanjian upaya, karena dokter tidak mungkin menjanjikan kesembuhan kepada pasien, yang dilakukan dokter adalah melakukan pelayanan kesehatan sebagai upaya untuk menyembuhkan pasien. Dalam melakukan upaya ini, dokter harus melakukan dengan penuh kesungguhan dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya dengan berpedoman kepada standar profesi. Sementara itu, pasien sebagai pihak lainnya yang menerima pelayanan medis harus juga berdaya upaya maksimal untuk mewujudkan kesembuhan dirinya sebagai hal yang diperjanjikan. Tanpa bantuan pasien, maka upaya dokter tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Pasien yang tidak kooperatif merupakan bentuk contributory negligence yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh dokter. 47 Anny Isfandyarie, 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Prestasi Pustaka,Jakarta, hal. 62
  • 37. 37 Jika perjanjian terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka semua kewajiban yang timbul mengikat bagi para pihak, baik pihak dokter ataupun pihak pasien. Adapun kekhususan perjanjian terapeutik bila dibandingkan dengan perjanjian pada umumnya adalah sebagai berikut:48 1) Subyek pada perjanjian terapeutik terdiri dari dokter dan pasien. Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik professional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan. Sedangkan pasien sebagai penerima pelayanan medik yang membutuhkan pertolongan. Pihak dokter memiliki kualifikasi dan kewenangan tertentu sebagai tenaga professional di bidang medik yang berkompeten untuk memberikan pertolongan yang dibutuhkan pasien, sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai kualifikasi dan kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter berkewajiban membayar honorarium kepada dokter atas pertolongan yang telah diberikan dokter tersebut. 2) Obyek perjanjian berupa tindakan medik profesional yang bercirikan pemberian pertolongan. 3) Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan 48 Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 145.
  • 38. 38 penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. 3. Sifat perjanjian terapeutik Sifat atau ciri khas dari perjanjian terapeutik sebagaimana disebutkan dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia adalah : a. Perjanjian terapeutik khusus mengatur hubungan antara dokter dengan pasien. b. Hubungan dalam perjanjian terapeutik ini hendaknya dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial) yang berarti pasien harus percaya kepada dokter yang melakukan terapi, demikian juga sebaliknya dokter juga harus mempercayai pasien. Oleh karena itu dalam rangka saling mejaga kepercayaan ini, dokter juga harus berupaya maksimal untuk kesembuhan pasien yang telah mempercayakan kesehatan kepadanya, dan pasienpun harus memberikan keterangan yang jelas tentang penyakitnya kepada dokter yang berupaya melakukan terapi atas dirinya serta mematuhi perintah dokter yang perlu untuk mencapai kesembuhan yang diharapkannya. c. Harapan ini juga dinyatakan sebagai “senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani”. Mengingat kondisi pasien yang sedang sakit, terutama pasien penyakit kronis atau pasien penyakit berat, maka kondisi pasien yang emosional, kekhawatiran terhadap kemungkinan sembuh atau tidak penyakitnya disertai dengan harapan ingin hidup lebih lama lagi, menimbulkan hubungan yang
  • 39. 39 bersifat khusus yang membedakan perjanjian terapeutik ini berbeda dengan perjanjian lain pada umumnya. 4. Dasar hukum perjanjian terapeutik Perjanjian terapeutik diatur dalam beberapa peraturan perundang- undangan diantaranya: a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Perjanjian terapeutik diatur secara tegas pada Pasal 1320, Pasal 1338 dan Pasal 1339 KHUPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian terapeutik.49 b. Permenkes No. 1419 Tahun 2005 Tentang Praktek Dokter dan Dokter Gigi Perjanjianterapeutik secara jelas terdapat juga dalam Pasal 13 yang berbunyi sebagai berikut: 1) Dokter atau Dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. 2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan upaya maksimal dalam rangka penyembuhan dan pemulihan kesehatan. 49 Liliana Tedjosaputro, 2010. Op.cit
  • 40. 40 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah di dalam penelitian ini dengan melakukan analisis terhadap data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan menganalisis terhadap data dilapangan.50 Pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini yakni menganalisis mediasi sebagai altrnatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Penelitian ini berusaha menggambarkan situasi atau kejadian. Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi.51 Data sekunder yang diperoleh tersebut akan dijadikan dasar di dalam memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai bagaimana mediasi 50 Soerjono Soekarto & Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1. 51 Azwar Saifuddin, 2004. Metode penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal. 23 39
  • 41. 41 sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien. Atas dasar itulah, maka akan dilakukan analisis secara sistematis, kritis dan konstruktif untuk membangun sebuah konsep baru di dalam upaya memberikan solusi penyelesaian sengketa perdata antara dokter dan pasien. C. Sumber Data Jenis dan sumber data yang akan menjadi dasar analisis di dalam penelitian yuridis normatif ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Di dalam data sekunder ini terdiri dari tiga bahan hukum, yaitu:52 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer ini diperoleh dari beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan mediasi, di antaranya UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 23 c Peraturan Presiden RI No. 10 Tahun 2006 Badan Pertanahan Nasional,KUH Perdata, HIR/Rbg, 52 Soerjono Soekarto & Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, Rajawali Press, Jakarta, hal. 13
  • 42. 42 PERMA No. 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penelitian ini. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder ini memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berasal dari beberapa literatur dan tulisan ilmiah lainnya yang dapat menjelaskan terhadap permasalahan penelitian ini antara lain : Buku ilmiah, jurnal ilmiah, hasil seminar, disertasi, dll. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan penjelasan maupun petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dapat berasal dari kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya. D. Metode Pengumpulan Data Untuk dapat menghimpun beberapa data sekunder secara utuh dan mendalam di atas, maka di dalam penelitian ini digunakan dua metode pengumpulan data, yaitu : 1. Penelitian Kepustakaan dan Dokumenter (library and documentation research). Dalam penelitian Kepustakaan dan Dokumentasi ini dimaksudkan untuk menghimpun, mengidentifikasi dan menganalisa terhadap berbagai sumber data sekunder, yang berasal dari beberapa tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan maupun berbagai dokumen
  • 43. 43 lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. 2. Penelitian Lapangan (field research). Dalam metode pengumpulan data melalui penelitian lapangan ini dipergunakan teknik wawancara yang dimaksudkan untuk menghimpun berbagai fakta di lapangan sebagai tambahan dan penunjang dari data sekunder. E. Metode Penyajian Data Data penelitian yang telah terkumpul di olah dan disusun serta disajikan secara menyeluruh. Data dari penelitian ini akan disajikan dalam bentuk deskripsi yang berupa uraian secara mendalam mengenai permasalahan yang dibahas. Penyajian data dapat pula dalam bentuk tabel yang tersusun secara sistematis. Data penelitian ini akan disajikan dalam bentuk : matrik, tabel-tabel, dan uraian peristiwa. F. Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara normatif kualitatif. Dalam analisa normatif diperlukan penyiapan data sekunder sebagai data utama. Analisa ini cukup dengan melakukan interpretasi atas data sekunder dengan cara mengupas data yang ada menurut teori, azas, sistem, doktrin, dalil, dan konsepsi hukum yang terkandung dalam tinjauan pustaka. 53 53 Aman Santoso, Metode penelitian hukum normatif dan sosiologis dengan analisa kualitatif, Semarang : FH UNTAG, halaman 41.
  • 44. 44 Analisa Normatif Kualitatif Analisis dengan interprestasi/pemaknaan data, tanpa perhitungan statistik Tinjauan Pustaka Data Sekunder
  • 45. 45 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA A. Implementasi Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Medik Dalam Perjanjian Terapeutik Antara Dokter dan Pasien 1. Hubungan dokter pasien dalam perjanjian terapeutik dan sengketa medik a. Hubungan dokter pasien Zaman dahulu, dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dianggap tahu segalanya (father know best) oleh pasien. Sehingga melahirkan hubungan paternalistik. Pola hubungan ini identik dengan pola hubungan vertikal dimana kedudukan antara pemeberi jasa (dokter) dan penerima jasa (pasien) tidak sederajat. Oleh karena itu, pasien menyerahkan nasib sepenuhnya kepada dokter.54 Berkembang pesatnya sarana informasi melalui media, kerahasian profesi dokter mulai terbuka dengan bertambahnya pengetahuan pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan, sehingga berdampak pada bergesernya paradigma yang semula hubunan vertikal menjadi hubungan horizontal. Dewasa ini perubahan pola hubungan antara dokter dan pasien disebabkan oleh tiga faktor dominan, yaitu:55 1) Meningkatnya jumlah permintaan pelayanan kesehatan 2) Berubahnya pola penyakit 54 Asfandyarie, 2006. Op.cit, hal. 89 55 Hermien Hadiati Koeswadji. 1998. Hukum kedokteran (studi tentang hubungan hukum dalam mana dokter sebagai salah satu pihak). Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal. 43
  • 46. 46 3) Teknologi medik Bila ditarik persamaan antara pola hubungan vertikal paternalistik dan horizontal kontraktual adalah : sama-sama menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjalin perjanjian terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak yaitu pihak pemberi layanan (medical providers) dan pihak penerima layanan (medical recivers) dan ini harus dihormati para pihak. Tim dokter sebagai medical providers mempunyai kewajiban untuk melakukan diagnosis, pengobatan dan tindakan medik terbaik menurut pengetahuan, jalan pikiran dan pertimbangannya, sedangkan pasien atau keluarganya sebagai medical recivers mempunyai hak untuk menentukan pengobatan atau tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya. Hubungan hukum yang dilahirkan dari hubungan layanan hukum antara dokter dan pasien telah melahirkan aspek hukum dibidang perdata : gugatan perdata disebabkan 3 (tiga) hal yaitu wanprestasi, onrecht matige daad dan karena mengakibatkan kurang hati-hati dan cermat dalam proses mengupayakan kesembuhan. Hubungan ini akan melahirkan hak dan kewajiban bagi dokter maupun pasien.Hak-hak yang dimiliki pasien sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang dalam Pasal 52 adalah :
  • 47. 47 1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis; 2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; 3) Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; 4) Menolak tindakan medis; dan 5) Mendapatkan isi rekam medis. Kewajiban pasien yang diatur dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteranini adalah : 1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatanya 2) Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau doter gigi 3) Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan dan 4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima Demikian juga dokter sebagai pengemban profesi, memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada profesinya tersebut. Dalam perjalanan profesinya, seorang dokter memiliki hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang – Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesahatan yang menyebutkan : 1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. 2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
  • 48. 48 3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Pereturan Pemerintah. Secara khusus hak – hak dokter dalam menjalankan praktik kedokteran diatur dalam Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 50 yang mengatur bahwa seorang dokter mempunyai hak : 1) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; 2) Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarga ; dan 3) Menerima ibalan jasa. Sedangkan kewajiban dokter diatur lebih lanjut dalam Pasal 51 Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yaitu ; 1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan standar profesi atau standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien ; 2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan lebih naik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan ; 3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
  • 49. 49 4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya ; dan 5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Dalam menjalankan profesinya, seorang dokter terikat dengan Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia ( IDI ) yaitu : 1) Standar ketrampilan a) Ketrampilan kedaruratan medik; merupakan sikap yang diambil oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya dengan sarana yang sesuai dengan standar ditempat prakteknya. Bilamana tindakan yang dilakukan tidak berhasil, penderita perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap. b) Ketrampilan umum meliputi penanggulangan terhadap penyakit yang tercantum dalam kurikulum inti pendidikan dokter Indonesia. 2) Standar sarana meliputi segala sarana yang diperlukan untuk berhasilnya profesi dokter dalam melayani penderita dan pada dasarnya dibagi 2 bagian, yakni : a) Sarana Medis; meliputi sarana alat-alat medis dan obat-obatan. b) Sarana Non Medis; meliputi tempat dan peralatan lainnya yang diperlukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya.
  • 50. 50 3) Standar perilaku; yang didasarkan pada sumpah dokter dan pedoman Kode Etik Kedokteran Indonesia, meliputi perilaku dokter dalam hubungannya dengan penderita dan hubungannya dengan dokter lainnya, yaitu : a) Pasien harus diperlakukan secara manusiawi. b) Semua pasien diperlakukan sama. c) Semua keluhan pasien diusahakan agar dapat diperiksa secara menyeluruh. d) Pada pemeriksaan pertama diusahakan untuk memeriksa secara menyeluruh. e) Pada pemeriksaan ulangan diperiksa menurut indikasinya. f) Penentuan uang jasa dokter diusahakan agar tidak memberatkan pasien. g) Dalam ruang praktek tidak boleh ditulis tarif dokter. h) Untuk pemeriksaan pasienwanita sebaiknya agar keluarganya disuruh masuk kedalam ruang praktek atau disaksikan oleh perawat, kecuali bila dokternya wanita. i) Dokter tidak boleh melakukan perzinahan didalam ruang praktek , melakukan abortus, kecanduan dan alkoholisme. 4) Standar catatan medik. Pada semua penderita sebaiknya dibuat catatan medik yang didalamnya dicantumkan identitas penderita , alamat, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, terapi dan obat yang menimbulkan alergi terhadap pasien.
  • 51. 51 b. Perjanjian terapeutik Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. Dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 434 /Men.Kes /X / 1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia, mencantumkan tentang perjanjian terapeutik sebagai berikut : “Yang dimaksud perjanjian terapeutik adalah hubungan antara dokter dengan pasien dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani” Dari hubungan hukum dalam perjanjian terapeutik tersebut timbullah hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik bagi pihak pasien maupun pihak dokter. Suatu perjanjian dikatakan sah bila memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang berbunyi : “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Sesuai pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa secara yuridis keabsahan suatu perjanjian ditentukan oleh kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya, dengan tanpa adanya kekhilafan, paksaan ataupun penipuan. Sepakat ini merupakan persetujuan yang
  • 52. 52 dilakukan oleh kedua belah pihak dimana kedua belah pihak mempunyai persesuaian kehendak yang dalam perjanjian terapeutik sebagai pihak pasien setuju untuk diobati oleh dokter, dan dokterpun setuju untuk mengobati pasiennya. Agar kesepakatan ini sah menurut hukum, maka di dalam kesepakatan ini para pihak harus sadar (tidak ada kekhilafan) terhadap kesepakatan yang dibuat, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak, dan tidak boleh ada penipuan didalamnya. Untuk itulah diperlukan adanya Informed Consent atau yang juga dikenal dengan istilah “Persetujuan Tindakan Medik”. Untuk syarat adanya kecakapan untuk membuat perikatan/perjanjian, diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata dan 1330 KUHPerdata sebagai berikut : Pasal 1329 KUHPerdata: Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Pasal 1330 KUHPerdata: Tak cakap membuat suatu perjanjian adalah : 1) Orang-orang yang belum dewasa; 2) Mereka yang ditaruh didalam pengampuan; 3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
  • 53. 53 Berdasarkan bunyi Pasal 1329 KUHPerdata di atas, maka secara yuridis yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kewenangan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh undang-undang. Dalam perjanjian terapeutik, pihak penerima pelayanan medik dapat meliputi berbagai macam golongan umur, dan berbagai jenis pasien, yang terdiri dari yang cakap bertindak maupun yang tidak cakap bertindak. Hal ini harus disadari oleh dokter sebagai salah satu pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian terapeutik, agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. Pihak penerima pelayanan medik yang tidak cakap untuk bertindak (tidak boleh membuat kesepakatan, atau kesepakatan yang dibuat bisa dianggap tidak sah) antara lain :56 1) Orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak (misalnya : orang gila, pemabuk, atau tidak sadar), maka diperlukan persetujuan dari pengampunya (yang boleh membuat perikatan dengan dokter adalah pengampunya). 2) Anak dibawah umur, diperlukan persetujuan dari walinya atau orangtuanya. Yang dimaksud dengan dewasa menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/ Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 8 tentang persetujuan tindakan kedokteran ayat (2) adalah telah berumur 21 tahun atau telah menikah. Jadi untuk seseorang yang 56 Anny Isfandyarie, 2006. Op.cit, hal. 61.
  • 54. 54 berusia dibawah 21 tahun dan belum menikah, maka perjanjian terapeutik harus ditandatangani oleh orangtuanya atau walinya yang merupakan pihak yang berhak memberikan persetujuan. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, obyek yang diperjanjikan terdiri dari mengenai „suatu hal tertentu‟ dan harus „suatu sebab yang halal atau diperbolehkan untuk diperjanjikan‟. Dalam perjanjian terapeutik, mengenai hal tertentu yang diperjanjikan atau sebagai obyek perjanjian adalah upaya penyembuhan terhadap penyakit yang tidak dilarang undang-undang. Dalam hukum perikatan dikenal adanya 2 macam perjanjian, yaitu :57 1) Inspanningverbintenis, yaitu perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak berjanji atau sepakat untuk berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan. 2) Resultaatverbintenis, yaitu suatu perjanjian yang akan memberikan resultaat atau hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Perjanjian terapeutik termasuk dalam inspanningverbintenis atau perjanjian upaya, karena dokter tidak mungkin menjanjikan kesembuhan kepada pasien, yang dilakukan dokter adalah melakukan pelayanan kesehatan sebagai upaya untuk menyembuhkan pasien. Dalam melakukan upaya ini, dokter harus melakukan dengan penuh 57 Ibid.,hal. 62.
  • 55. 55 kesungguhan dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya dengan berpedoman kepada standar profesi. Sementara itu, pasien sebagai pihak lainnya yang menerima pelayanan medis harus juga berdaya upaya maksimal untuk mewujudkan kesembuhan dirinya sebagai hal yang diperjanjikan. Tanpa bantuan pasien, maka upaya dokter tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Pasien yang tidak kooperatif merupakan bentuk contributory negligence yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh dokter. Jika perjanjian terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka semua kewajiban yang timbul mengikat bagi para pihak, baik pihak dokter ataupun pihak pasien. Adapun kekhususan perjanjian terapeutik bila dibandingkan dengan perjanjian pada umumnya adalah sebagai berikut :58 1) Subyek pada perjanjian terapeutik terdiri dari dokter dan pasien. Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik professional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan. Sedangkan pasien sebagai penerima pelayanan medik yang membutuhkan pertolongan. Pihak dokter memiliki kualifikasi dan kewenangan tertentu sebagai tenaga professional di bidang medik yang berkompeten untuk memberikan pertolongan yang 58 Veronica Komalawati, 1999. Peranan Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 145.
  • 56. 56 dibutuhkan pasien, sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai kualifikasi dan kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter berkewajiban membayar honorarium kepada dokter atas pertolongan yang telah diberikan dokter tersebut. 2) Obyek perjanjian berupa tindakan medik professional yang bercirikan pemberian pertolongan. 3) Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Perjanjian terapeutik mempunyai ciri khas atau sifat yang berbeda dengan perjanjian secara umum. Sifat atau ciri khas dari perjanjian terapeutik sebagaimana disebutkan dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia adalah : 1) Perjanjian terapeutik khusus mengatur hubungan antara dokter dengan pasien. 2) Hubungan dalam perjanjian terapeutik ini hendaknya dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial) yang berarti pasien harus percaya kepada dokter yang melakukan terapi, demikian juga sebaliknya dokter juga harus mempercayai pasien. Oleh karena itu dalam rangka saling menjaga kepercayaan ini, dokter juga harus berupaya maksimal untuk kesembuhan pasien yang telah
  • 57. 57 mempercayakan kesehatan kepadanya, dan pasienpun harus memberikan keterangan yang jelas tentang penyakitnya kepada dokter yang berupaya melakukan terapi atas dirinya serta mematuhi perintah dokter yang perlu untuk mencapai kesembuhan yang diharapkannya. 3) Harapan ini juga dinyatakan sebagai „senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani‟. Mengingat kondisi pasien yang sedang sakit, terutama pasien penyakit kronis atau pasien penyakit berat, maka kondisi pasien yang emosional, kekhawatiran terhadap kemungkinan sembuh atau tidak penyakitnya disertai dengan harapan ingin hidup lebih lama lagi, menimbulkan hubungan yang bersifat khusus yang membedakan perjanjian terapeutik ini berbeda dengan perjanjian lain pada umumnya. Disamping mempunyai sifat yang berbeda, perjanjian terapeutik merupakan hubungan hukum antara dokter dan pasien, maka dalam perjanjian terapeutikpun berlaku beberapa azas hukum yang mendasari, yang menurut Veronica Komalawati disimpulkan sebagai berikut :59 1) Azas Legalitas Azas ini tersirat dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan 59 Ibid., hal 126.
  • 58. 58 sesuai dengan keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa pelayanan medik hanya dapat terselenggara apabila tenaga kesehatan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, antara lain telah memiliki Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik. 2) Azas Keseimbangan Menurut azas ini, penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiil dan spiritual. Oleh karena itu diperlukan adanya keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil serta antara manfaat dan resiko yang ditimbulkan dari upaya medis yang dilakukan. 3) Azas Tepat Waktu Azas ini cukup penting karena keterlambatan dokter dalam menangani pasien dapat menimbulkan kerugian bagi pasien dan bahkan bias mengancam nyawa pasien itu sendiri. 4) Azas Itikad Baik Azas ini berpegang teguh pada prinsip etis berbuat baik yang perlu diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien. Hal ini merupakan bentuk penghormatan terhadap pasien dan pelaksanaan praktik kedokteran yang selalu berpegang teguh kepada standar profesi.
  • 59. 59 5) Azas Kejujuran Azas ini merupakan dasar dari terlaksananya penyampaian informasi yang benar, baik oleh pasien maupun dokter dalam berkomunikasi, Kejujuran dalam menyampaikan informasi akan sangat membantu dalam dalam kesembuhan pasien. Kebenaran informasi ini terkait erat dengan hak setiap manusia untuk mengetahui kebenaran. 6) Azas Kehati-hatian Sebagai seorang professional di bidang medik, tindakan dokter harus didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya, karena kecerobohan dalam bertindak dapat berakibat terancamnya jiwa pasien. 7) Azas keterbukaan Pelayanan medik yang berdayaguna dan berhasilguna hanya dapat tercapai apabila ada keterbukaan dan kerjasama yang baik antara dokter dan pasien dengan berlandaskan sikap saling percaya. Sikap ini dapat tumbuh jika terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan pasien dimana pasien memperoleh penjelasan atau informasi dari dokter dalam komunikasi yang transparan ini. c. Sengketa medik Sengketa medik muncul dari adanya ketidakpuasan pasien sebagai penerima jasa layanan kesehatan atas palayanan yang diberikan oleh dokter. Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang
  • 60. 60 Praktik Kedokteran secara implisit menyebutkan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktiknya. Pasal 66 ayat (1) Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi: “setiap orang yang mengetahui atau kepentingannyadirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktiknya dapat mengadu secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Seiring perkembangan zaman, penyelesaian sengketa melalui lembaga profesi tidak lagi begitu diminati pasien karena pada prinsipnya pasien kurang percaya terhadap penyelesaian melalui lembaga profesi, baik itu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia maupun Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Untuk itu perlu adanya suatu lembaga khusus untuk menangani masalah ini. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dapat dijadikan acuan sebagai badan yang mungkin masih ada kaitannya dengan pelayanan kesehatan walaupun badan ini memiliki tugas yang relatif luas. Sengketa konsumen diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,diantaranya: 1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
  • 61. 61 konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatanmelalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasiloleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. 2) Gugatan atas Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a) seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b) kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c) lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
  • 62. 62 d) Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsiatau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korbanyang tidak sedikit. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumenswadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hurufc, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidaksedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selain mengatur tentang sengketa konsumen, Undang-undang ini juga mengatur tentang penyelesaian sengketa konsumen diluar Pengadilan. Pengaturan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dijumpai pada Pasal 47 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan: “penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/ atau mengenai tindakan untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen”. Kesepakatan dalam pasal diatas diselesaikan melalui suatu badan yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang dapat menjalankan tugas-tugasnya diatur
  • 63. 63 dalam Pasal 52 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Tugas dan wewenang BPSK meliputi: 1) melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; 2) memberikan konsultasi perlindungan konsumen; 3) melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; 4) melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undangundang ini; 5) menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 6) melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; 7) memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 8) memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang- undang ini; 9) meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
  • 64. 64 10) mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; 11) memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; 12) memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 13) menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Penyelesaian sengketa medik menurut regulasi di Indoensia dibagi menjadi dua jalan yakni: melalui lembaga profesi, dan hukum. Penyelesaian sengketa medik melalui lembaga profesi di jalankan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), kedua badan tersebut dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Adapun sanksi jika terbukti dokter tersebut melakukan pelanggaran yaitu kewajiban mengikuti pendidikan dan pencabutan ijin praktek baik untuk sementara maupun untuk selamanya. Penyelesaian sengketa dalam ranah hukum diantarannya: peradilan umum, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan melalui mediasi di luar pengadilan. Penyelesaian melalui peradilan umum sengketa medik dapat dikategorikan menjadi peradilan pidana dan perdata. Peradilan pidana maupun perdata mengharuskan salah satu pihak melalukan tuntutan maupun gugatan ke pengadilan dan
  • 65. 65 keputusannya berupa penjara/ kurungan serta ganti rugi. Disamping itu dalam ranah perdata terdapat mediasi para pihak yang mewajibkan hakim untuk menawarkan mediasi dalam penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada prnsipnya sudah dituangkan dalam Undang- undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. konsumen yang merasa dirugikan untuk mengajukan tuntutan kepada BPSK dan keputusan berupa ganti rugi. Cara yang lain untuk menyelesaiakan sengketa medik ini juga dapat dberupa mediasi di luar pengadilan yang dapat dilakukan oleh suatu badan mediasi seperti Pusat Mediasi Nasional (PMN), Badan mediasi Indonesia (BaMI) dan Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT) serta mediator individual.dalam hal ini Putusan akhir dari mediasi ini bersifat win-win solution. Hal tersebut seperti gambar dibawah ini:
  • 66. 66
  • 67. 67 2. Pilihan alternatif penyelesaian sengketa Setelah terjadinya sengketa medik, ada beberapa pilihan yang dapat digunakan sebagai penyelesaian, diantaranya adalah litigasi dan non litigasi. Penyelesaian dengan litigasi memakan waktu lama dan biaya, untuk itu dipakai non litigasi untuk menyelesaiakn sengketa medik. Adapun penyelesaian dengan non litigasi dibedakan menjadi 5 (lima) cara yakni konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan albitrase. Alternatif penyelesaian sengketa ini diatur dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang alternatif penyelesaian sengketa. Salah satu contoh alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipergunakan untuk menyelesaiakan sengketa medik adalah mediasi. a. Pengertian mediasi Beberapa pengertian mediasi adalah sebagai berikut: 1) Pasal 1 ayat (7) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, berbunyi: “ mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan dengan bantuan seorang mediator. 2) Takdir Rahmadi mendefinisikan mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak mempunyai kewenangan memutus.60 60 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 12
  • 68. 68 3) Garry Goodpaster, mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak-pihak yang tidak memihak (impartial) dan netral, bekerja sama dengan para pihak yang bersengketa untuk memperoleh kesepakatan yang memuaskan.61 4) Christoper W. Moore menyatakan bahwa mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh para pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu para pihak berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang disengketakan.62 5) Julien Riekert, mediasi merupakan suatu proses penyelesaian masalah melalui negosiasi dengan pihak ke tiga (mediator) yang netral.63 6) Menurut peneliti mediasi adalah salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa, dimana dipergunakan negosiasi para pihak dengaan bantuan mediator dan merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan baik didalam maupun diluar pengadilan. b. Keuntungan dan kelemahan mediasi Yahya Harahap mengutarakan keuntungan substansial dan psikologis mediasi yakni: 61 Soetrisno, 2010. Op.cit, hal. 6 62 Christoper W. Moore, 2003. The mediation process. Jossey-Bass A Wiley Imprint , hal. 15 63 Julien Riekert, 2003. ADR in Australia Commercial Dispute: Quo Vadis, Kutipan dari bahan Alternative Dispute Resolution Training, FHUI-LRP-AUS Aid.
  • 69. 69 1) Penyelesaian bersifat informal Pendekatan melalui nurani, bukan berdasarkan hukum. Kedua belah pihak melepaskan diri dari kekakuan istilah hukum (legal term) kepada pendekatan yang bercorak nurani dan moral. Menjauhkam doktrin dan azas pembuktian ke arah persamaan persepsi yang saling menguntungkan. 2) Yang menyelesaikan sengketa adalah pihak sendiri Penyelesaian tidak diarahkan kepada kemauan dan kehendak hakim atau arbiter, tetapi diselesaikan oleh para pihak sendiri sesuai dengan kemauan mereka, karena merekalah yang lebih tahu hal yang sebenarnya atas sengketa yang dipermasalahkan. 3) Jangka waktu penyelesaian pendek Pada umumnya jangka waktu penyelesaian hanya satu atau dua minggu atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan dan kerendahan hati dari para pihak, itu sebabnya disebut bersifat speedy. 4) Biaya ringan Boleh dikatakan tidak perlu biaya. Meskipun ada, sangat murah atau zero cost. Hal ini merupakan kebalikan dari sistem peradilan atau arbitrase yang membutuhkan biaya mahal. 5) Tidak perlu aturan pembuktian Tidak ada pertarungan yang sengit antar para pihak untuk saling membantah dan menjatuhkan pihak lawan melalui sistem dan
  • 70. 70 prinsip pembuktian yang formil dan teknis yang sangat menjemukan seperti halnya proses arbitrase dan pengadilan. 6) Proses penyelesaian bersifat konfidensial Hal lain yang perlu dicatat, penyelesaian melalui perdamaian benar-benar bersifat rahasia, penyelesaian tertutup untuk umum yang tahu hanya mediator. Dengan demikian tetap terjaga nama baik para pihak dalam pergaulan bermasyarakat.64 Jika dikaitkan dengan masalah medik maka dokter sebagai salah satu pihak sudah tentu nama baik merupakan hal yang paling utama mengingat dokter menjual jasa pelayanan. 7) Hubungan para pihak bersifat kooperatif Oleh karena yang berbicara dalam penyelesaian adalah hati nurani, terjalin penyelesaian berdasarkan kerja sama. Masing-masing pihak menjauhkan dendam dan permusuhan. 8) Komunikasi dan fokus penyelesaian Dalam mediasi terwujud komunikasi aktif para pihak. Komunikasi tersebut bertujuan untuk menjalin hubungan baik antara para pihak. 9) Hasil dituju sama-sama menang Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam mediasi dapat dikatakan sangat luhur yakni sama-sama menang (win-win solution), dengan menjauhkan diri dari sifat egoistik dan serakah. 64 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 22
  • 71. 71 10) Bebas emosi dan dendam Penyelesaian sengketa melalui mediasi meredam sikap emosional kearah suasana bebas emosi selama berlangsungnya mediasi, dengan kata lain mediasi menghendaki rasa kekeluargaan dan persaudaraan. Adapun kelemahan mediasi menurut Takdir Rahmadi sebagai berikut:65 1) Mediasi hanya dapat diselenggarakan secara efektif jika para pihak memiliki kemauan untuk menyelesaikan sengketa secara konsensus. 2) Pihak yang tidak beriktikad baik dapat memamfaatkan proses mediasi sebagai taktik untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian sengketa. 3) Beberapa jenis mediasi mungkin tidak dapat dimediasi, terutama kasus yang berkaitan dengan ideologis, dan nilai dasar yang tidak memberikan ruang bagi para pihak untuk melakukan kompromi. 4) Mediasi dipandang tidak tepat untuk digunakan jika masalah pokok dalam sebuah sengketa adalah penentuan hak karena soal penentuan hak haruslah diputuskan oleh hakim, sedangkan mediasi lebih tepat digunakan untuk menyelesaikan sengketa terkait kepentingan. 65 Ibid, hal. 27
  • 72. 72 5) Secara normatif mediasi hanya dapat ditempuh atau digunakan dalam lapangan hukum privat tidak dalam lapangan hukum pidana. Sebagai contoh dalam Pasal 85 ayat 2 Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa mediasi tidak dapat diterapkan untuk penyelesaian tindak pidana lingkungan hidup. Larangan ini didasarkan pada pembedaan kategoris hukum privat dengan hukum pidana. Hukum Pidana terdapat konsep mediasi penal atau dalam istilah Inggris disebut “mediation in criminal cases”atau “mediation in penal matters”. Kasus pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, kecuali dalam hal-hal tertentu. Namun dalam prakteknya, sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai “diskresi” aparat atau melalui mekanisme perdamaian atau lembaga pemaafan yang ada di masyarakat.66 Praktek penyelesaian pidana dalam hal ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Menurut Barda Nawawi, ADR hanya mungkin dilakukan dalam perkara perdata, namun dalam KUHP terdapat pasal 14c dan pasal 66 Barda Nawawi A, 2007. Mediasi penal dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan, disampaikan dalam Seminar Nasional: Pertanggungjawaban Hukum dalam Kontek Good Corporate Goverance, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Jakarta.
  • 73. 73 82 yang mengatur denda damai hanya untuk pelanggaran, sebagai contoh yakni pelanggaran lalu lintas. Di samping itu dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM menyatakan bahwa Komnas HAM dapat melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM. Pasal 1 ayat (7) berbunyi: “Komisi Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga yang mandiri yangkedudukannya setingkat dengan lembaga negaralainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia”. pengaturan tentang mediasi terdapat juga dalam Pasal 76 ayat (1) menyatakan Untuk mencapai tujuannya Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan,pemantauan, dan mediasi tentang hakasasi manusia. Sebagai tambahan pengaturan mediasi dalam Undang-undang ini juga terdapat dalam Pasal 89 ayat (4) dan Pasal 96. c. Model proses mediasi Karena kesulitan mendefinisikan mediasi, Boulle membagi model proses mediasi menjadi empat model, diantaranya ialah settlement mediation, fasilitatif mediation, therapeutik mediation dan evaluativemediation.67 Jepang menggunakan mediasi evaluatif dan fasilitatif dalam praktik mediasi yang dijalankan hakim yang disebut wakai. Model evaluatif 67 Laurence Boulle, 1996. Mediation: principles, process, and practice. Butterworths Australian, Hal 39-30
  • 74. 74 disebut dengan model yang terpusat pada opini hakim, fasilitatif disebut dengan model yang terpusat pada negosiasi.68 Menurut Yoshiro Kusano karena kedua model tersebut mempunyai kelemahan maka keduanya digabung. Model gabungan ini, proses dialog para pihak dibangun untuk mencari usulan-usulan penyelesaian sengketa dan membahasnya. Tetapi hakim sebagai mediator juga dapat memberikan penilaian atas usulan tersebut agar tidak menyimpang dengan hukum. Model mediasi menurut Boulle sebagai berikut: 68 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 37
  • 75. 75
  • 76. 76
  • 77. 77 1) Perbedaan antara mediasi dengan litigasi Ada beberapa prinsip yang berlawanan antara litigasi dan mediasi, yaitu:69 Litigasi Mediasi Penegakan hak Akomodasi kepentingan Mengklaim nilai Menciptakan nilai Memaksa dan mengikat Sukarela dan kesepakatan Akibat proses hukum Prosedur yang flesibel Formal Informal Fokus saat ini Fokus kedepan Permusuhan Bekerja sama Umum dan akuntabel Khusus dan rahasia Profesional Berbasis rekan Berdasarkan fakta Berdasarkan hubungan Berpusat pada tindakan Berpusat pada orang Konsisten dan presidential Situasional dan individual Menerapkan norma/ hukum Menciptakan norma/ hukum Sumber: Laurence Boulle dalam Mediation: principles, process, practice. 69 Ibid, hal.35
  • 78. 78 Concern about other’s outcomes Problem solving (win-win) Yielding (lose-win) Contending (win-lose) Inaction (no win) Compromise (win a bit-lose a bit) Concern about own outcomes 2) Pendekatan negosiasi dalam mediasi Boulle mendesain pendekatan negosiasi dalam proses mediasi:70 Gambar 2: pendekatan negosiasi dalam mediasi 3. The mediation triangels71 Gambar 3: the mediation triangels 70 Ibib, hal 47 71 Ibid, hal. 98 Preliminaries, Mediator’s opening, Party presentations, Identifying areas of egreement, Defining and ordering issues Negotiation an decision-making, separate meetings, final decisions, recording decisions, closing statement, termination Preparatory matters Post mediation activities Problem-defining stages Problem-solving stages
  • 79. 79 4. Mediasi dalam sistem hukum Indonesia Di Indonesia pengaturan dan penggunaan mediasi sebagai salah satu bentuk atau cara penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan (dalam konteks sengketa). Pada bagian berikut akan diuraikan pengaturan dan penggunaan mediasi dalam konteks sengketa, diantaranya:72 a. Mediasi untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan sumber daya alam Mediasi diatur dalam Undang-undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengaturan tersebut terdapat pada Pasal 85 ayat (3) menyatakan “dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/ atau arbiter untuk membantu menyelesaiakan sengketa lingkungan hidup”. Dengan demikian Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur secara garis besar penggunaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dan mediasi dalam hal ini bersifat sukarela. b. Mediasi untuk menyelesaikan sengketa konsumen dan produsen Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengatur penggunaan mediasi sebagai salah satu diantara beberapa penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, hal ini 72 Takdir Rahmadi, 2010. Op.cit, hal. 54
  • 80. 80 tercermin dalam rumusan Pasal 7 Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang antara lain mengatakan “penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali kerugian yang diderita konsumen”. Fungsi mediasi dijalankan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Komsumen (BPSK). Jenis mediasi dalam Undang-undang ini adalah sukarela. c. Mediasi untuk penyelesaian sengketa hak azasi manusia Mediasi juga merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia selain berada dalam wilayah hukum pidana, juga mengandung aspek keperdataan sehingga Undang-undang ini memungkinkan menempuh perdamaian. Namun tidak ada satupun pasal dalam Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. pendekatan mediasi diatur pada Pasal 76 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (4) point a, bunyinya sebagai berikut: Pasal 76 ayat (1) : untuk mencapai tujuannya Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia. Pasal 89 ayat (4) : untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan:
  • 81. 81 a) Perdamaian kedua belah pihak d. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa hubungan industrial Undang-undang No.2 Tahun 2004 Tentang Peselisihan Hubungan Industrial juga mengatur penggunaan mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa hubungan industrial. Mediasi diatur dalam Pasal 1 butir 11, Pasal 1 butir 12, dan Pasal 4 ayat (4) Undang- undang No.2 Tahun 2004 Tentang Peselisihan Hubungan Industrial. Pasal 1 butir 11 berbunyi “Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral”. Pasal 1 butir 12 berbunyi “Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansipemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syaratsebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi danmempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untukmenyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungankerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan”. Selanjutnya Pasal 4 ayat (4) mengatakan “Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau
  • 82. 82 arbitrasedalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab di bidangketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator”. Dari rumusan pasal tersebut diatas mediasi bersifat wajib. e. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa bisnis Mediasi dalam bidang bisnis diatur dalam Undang-undang No.30 Tahun 1999Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pengaturannya terdapat dalam pasal 6 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 6 ayat (3) merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh pihak menurut Pasal 6 ayat (2). Menurut rumusan dari pasal tersebut juga dikatakan bahwa atas kesepakatan para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun seorang mediator. Namun Undang- undang ini tidak memberikan rumusan definisi atau pengertian mediasi secara tegas dan jelas. f. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa perbankan Penggunaan mediasi untuk penyelesaian sengketa perbankan tidak didasarkan pada Undang-undang namun didasarkan atas kebijakan Bank Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi Perbankan. Mediasi perbankan dilaksanakan dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dan