1. 1
PANDANGAN ISLAM TENTANG IDDAH
Iddah dengan kasrah ‘ain dan fath dal musyaddad derivatnya dari kata ‘a-da-d dan bermakna
kelompok, menghitung, masa berduka wanita atas kematian suami, hari-hari haidh atau suci
wanita. Secara terminologis, iddah bermakna tarabbush (masa penantian) syar’i yang harus
dijalani wanita setelah talak dan perceraian atau wafat untuk beberapa lama kemudian ia dapat
memilih suami yang lain.[1]
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan terjadinya iddah. Di antaranya adalah wafat, ragam
bagian talak, gugurnya akad karena adanya beberapa aib dan cela, infisâkh (gugur dengan
sendirinya) seperti kemurtadan atau Islam atau menyusui, senggama secara keliru, selesainya
masa atau hibahnya pada masa nikah temporal. Kesemua hal ini selain yang pertama (wafat)
syaratnya adalah terjadi senggama.[2]
Karena itu terdapat beberapa jenis iddah sebagaimana berikut:
1. Iddah talak
2. Iddah wafat
3. Iddah orang hilang
4. Iddah kesalahan senggama
Berikut ini kami akan jelaskan beberapa jenis talak yang telah disebutkan:
Iddah Talak
Seluruh marja: Apabila ia melihat adat bulanan (darah haidh), setelah ditalak pada masa suci,
maka ia harus bersabar sehingga melihat dua kali haidh dan kemudian suci. Tatkala ia melihat
haidh yang ketiga maka iddahnya telah selesai. Apabila ia tidak melihat adat bulanan, namun
berada pada usia wanita yang melihat adat maka ia harus menjaga iddahnya setelah tiga bulan.[3]
Nah berapa lamakah iddahnya apabila suami menalak istri yang tengah hamil?
Seluruh Marja: Iddah wanita yang tengah hamil adalah hingga masa kelahiran atau gugurnya
kehamilan wanita tersebut.[4]
Adapun pendapat para marja terkait dengan iddah pernikahan temporal (mut’ah) adalah sebagai
berikut:
Seluruh marja (selain Ayatullah Fadhil): Iddah pernikahan temporal – setelah selesainya masa
nikah mut’ah atau hibah masa nikah tersebut oleh suami – apabila ia melihat adat bulanan, maka
hitungannya adalah seukuran dua haidh sempurna. Apabila ia tidak melihat adat bulanan maka
masanya adalah empat puluh lima hari.[5]
Ayatullah Fadhil: Iddah pernikahan temporal – setelah selesainya masa atau hibah masa nikah
tersebut oleh suami – apabila ia melihat adat bulanan, sesuai dengan ihtiyath wajib, maka
masanya seukuran dua haidh sempurna dan apabila ia tidak melihat adat bulanan maka masanya
adalah empat puluh lima hari. Dan apabila ia melahirkan atau keguguran maka iddahnya akan
selesai.[6]
Iddah Wafat
Seluruh marja: Wanita harus menjaga iddah selama empat bulan sepuluh hari; apakah pernikahan
yang dilakukannya adalah pernikahan permanen atau temporal; suaminya menggaulinya atau
tidak. Bahkan wanita yang telah mencapai masa menopause atau gadis yang belum haidh
(shagirah) juga harus menjaga iddah wafat dan apabila ia hamil maka ia harus menjaga iddahnya
hingga melahirkan. Apabila sebelum masa empat bulan sepuluh hari berakhir, kemudian anaknya
lahir, maka ia harus harus melanjutkan iddahnya hingga empat bulan sepuluh hari setelah
kematian suaminya.[7]
2. 2
Beberapa poin penting:
1. Standar perhitungan iddah adalah menggunakan bulan Hijriyah.[8]
2. Permulaan iddah wafat dilakukan tatkala istri mengetahui kematian suami. Namun hukum ini
tidak terkhusus untuk gaibnya suami, melainkan juga termasuk kehadirannya. Oleh itu, karena
kematiannya tidak diketahui oleh istri maka istri harus menjaga iddahnya segera setelah ia
mengetahui kematian suaminya.[9]
3. Wanita yang berada pada masa iddah wafat maka diharamkan baginya untuk mengenakan
pakaian warna-warni, bercilak dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang termasuk sebagai pekerjaan
berhias.[10]
Iddah Orang Hilang (Mafqud al-Atsar)
Apabila seorang pria hilang dan ghaib sedemikian sehingga tidak terdengar lagi berita
tentangnya dan tidak kelihatan lagi tanda-tandanya, hidup dan matinya tidak jelas, apabila ada
harta yang tersisa darinya yang harus digunakan untuk keperluan biaya istrinya, atau memiliki
wali yang bertanggung jawab untuk membiayai keperluan hidup istrinya, atau terdapat seseorang
yang menanggung keperluan hidupnya secara gratis maka wajib bagi wanita untuk bersabar dan
menanti serta sama sekali tidak dibenarkan baginya untuk menikah (dalam masa ini) hingga ia
yakin bahwa suaminya telah meninggal atau suaminya telah menalaknya.
Namun apabila tidak tersisa harta peninggalan dari suaminya, atau tidak memiliki wali yang
menyerahkan biaya keperluan hidup dan tiada seorang pun yang menanggung keperluan
hidupnya secara gratis, maka ia dapat bersabar, dan apabila ia tidak bersabar dan ingin menikah
(lagi), maka ia harus pergi ke hadapan seorang marja taklid dan marja taklid (hakim syar’i)
memberikan kesempatan kepada wanita tersebut selama empat tahun dan dalam masa-masa ini
suaminya akan dicari, apabila suaminya telah meninggal atau hidup-matinya tidak ketahuan atau
apabila suami memiliki wali atau wakil maka marja taklid menginstruksikan kepadanya untuk
menalak wanita tersebut dan apabila ia tidak melakukan hal itu maka marja taklid dapat
memaksanya menalak wanita tersebut. Apabila suami tidak memiliki wali atau tidak bertindak
apa-apa dan tidak mungkin memaksanya, maka marja taklid sendiri dapat menalak wanita
tersebut. Lalu wanita tersebtu harus menjaga iddah selama empat bulan sepuluh hari kemudian
setelah itu ia dapat menikah lagi.[11]
Apabila setelah mencari dan berakhirnya masa penantian (empat tahun), suaminya datang,
apabila kedatangannya sebelum talak maka wanita tersebut adalah istrinya. Dan apabila
kedatangan suami setelah pernikahan istrinya dengan pria lain maka suami pertama tidak
memiliki hak terhadap wanita tersebut. Apabila suami datang di sela-sela masa iddah, maka
suami dapat merujuk kembali kepada wanita itu, atau membiarkannya dalam kondisi seperti itu
hingga masa iddahnya berakhir dan berpisah darinya. Namun apabila suami datang setelah
berakhirnya masa iddah dan sebelum pernikahan maka ia tidak dapat merujuk kembali
kepadanya.[12] Akan tetapi apabila tidak terjadi talak tiga maka ia dapat kembali menikah
dengannya.
Iddah Kesalahan Senggama
Apabila seorang pria asing menggauli seorang wanita yang ia sangka sebagai istrinya, terlepas
apakah wanita tersebut mengetahui bahwa ia bukan suaminya atau menyangka bahwa pria itu
adalah suaminya maka wanita tersebut harus menjaga iddah.[13]
Masa iddah kesalahan senggama seperti iddah talak yang akan dijelaskan secara detil
sebagaimana berikut:[14]
Sehubungan dengan kemestian menjaga iddah dan dalam menjawab pertanyaan bahwa dengan
kemajuan ilmu pengetahuan, penggunaan obat-obatan (pil atau suntik) atau menggunakan media-
media pencegahan kedokteran, yang secara pasti dapat mengantisipasi kehamilan wanita; apakah
wanita harus tetap menjaga iddah? Jawaban para marja agung taklid adalah sebagai berikut:
3. 3
Seluruh marja: “Iya. (Wanita) harus menjaga iddahnya.”[15]
Adapun sebab faktual adanya iddah, sebagaimana kebanyakan hukum-hukum fikih, merupakan
rahasia-rahasia yang terpendam dalam urusan-urusan alam semesta yang tersembunyi bagi kita
dan apa yang telah dikatakan – semisal terkait dengan masalah pembuahan, wilayah eksklusif
pernikahan, menjaga personalitas wanita, penghormatan terhadap kerabat mantan suami dan lain
sebagainya adalah di antara hikmah-hikmah yang terkandung di balik adanya iddah. Karena itu,
apabila suami telah lama berpisah dari istrinya, atau berada dalam perjalanan maka wanita (istri)
harus tetap menjaga masa iddah.
Namun dalam menjelaskan dalil-dalil dan hikmah-hikmah mengapa wanita harus menjaga iddah
harus dikatakan bahwa:
1. Salah satu hikmah mengapa wanita harus menjaga iddah adalah untuk mencegah bercampurnya
nutfah-nutfah dalam rahim wanita dan supaya anak yang lahir ketahuan identitasnya dan sebagai
hasilnya ketahuan siapa saja yang mahram dengan anak ini sehingga tatkala bayi tersebut
tumbuh besar ia mengetahui dengan siapa saja ia tidak dapat menikah demikian juga terkait
dengan masalah warisannya.
2. Harap diperhatikan bahwa terdapat banyak kasus wanita menggunakan pil-pil anti hamil atau
alat-alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya pembuahan nutfah namun demikian wanita tetap
hamil.
3. Salah satu hikmah lain mengapa wanita harus menjaga iddah adalah bahwa apabila wanita segera
menikah setelah suaminya meninggal maka hal ini tidak sesuai dengan kecintaan dan
penghormatan kepada suami sebelumnya. Di samping itu, akan menciderai perasaan sanak
kerabat suami sebelumnya. Menjaga kehormatan kehidupan rumah tangga bahkan pasca
kematian suami merupakan suatu hal yang fitri dan karena itu senantiasa terdapat adab dan
tradisi pada setiap suku yang dimaksudkan untuk keperluan seperti ini. Kendati terkadang tradisi
seperti ini sedemkian ekstrem sehingga wanita praktis berada dalam kondisi terjepit dan
terkungkung oleh tradisi. Ayat 234 surah al-Baqarah[16] menggugurkan seluruh khurafat dan
kejahatan serta memberikan izin kepada wanita janda untuk menikah kembali setelah melalui
masa iddah dan menjaga kehormatan pernikahan.[17]
4. Hikmah lainnya masalah ini adalah menjaga kedudukan, derajat dan kepribadian wanita di
tengah masyarakat. Mengingat Islam sangat menaruh hormat dan nilai khusus terhadap
kedudukan wanita dengan hukum-hukum seperti hijab, menjaga iddah dan lain sebagainya
sehingga mampu mencegah terjadinya penyalahgunaan dan pencideraan kehormatan wanita.
5. Di samping itu boleh jadi terdapat sebab-sebab lainnya yang belum jelas dan ketahuan bagi kita.
Karena falsafah faktual hukum-hukum demikian juga rahasia jumlah akurat hari-hari ini
misalnya mengapa empat bulan sepuluh hari? Mengapa bukan satu atau dua hari, kurang atau
lebih? Apabila kita telah meyakini bahwa Allah Swt Mahabijaksana dan segala perbuatan yang
dilakukan-Nya serta hukum-hukum yang diberikan kepada para hamba-Nya berasaskan hikmah
dan kebijaksanaan dan berpijak pada akal sehat maka kita tidak dapat menawar-nawar lagi dalam
hukum yang ditetapkan Allah Swt. Dan dengan memperhatikan hikmah, ilmu dan kekuasaan
mutlak Ilahi, kita harus menerima kebanyakan hukum-hukum Ilahi secara taken for granted
karena pertama hakikat penghambaan dan ibadah, setelah meyakini Allah Swt dan sifat-sifat
rububiyah-Nya dan kebenaran agama dan hukum-hukumnya berada pada penyerahan diri secara
totalitas dan ketaatan murni tanpa tedeng aling-aling. Kedua, instruksi-instruksi agama dengan
bentuk seperti ini merupakan instruksi-instruksi yang paling sempurna.[18][IQuest]
[1]. Lughat Nâme Dekhâda, jil. 33, hal. 130.
[2]. Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 345, Masalah 8.
[3]. Taudhih al-Masâil Marâji’, Masalah 2511 dan 2512. Ayatullah Wahid, Taudhih al-Masâil,
Masalah 2575 dan 2576.
[4]. Ibid, Masalah 2514 dan Ayatullah Wahid, Taudhih al-Masâil, Masalah 2578.
4. 4
[5]. Ibid, Masalah 2515; Ayatullah Wahid, Taudhih al-Masâil, Masalah 2579 dan Kantor
Ayatullah Agung Khamenei.
[6]. Ibid, Masalah 2515.
[7]. Ibid, Masalah 2517 dan Ayatullah Wahid, Taudhih al-Masâil, Masalah 2581.
[8]. Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 338, Masalah 2.
[9]. Ibid, jil. 1, hal. 340, Masalah 8.
[10]. Taudhih al-Masâil Imam Khomeini, Masalah 2518.
[11]. Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 340, Masalah 11.
[12]. Ibid, jil. 2, hal. 343, Masalah 23.
[13]. Taudhih al-Masâil Imam Khomeini, Masalah 2536.
[14]. Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 344, Masalah 1. Ahkâm-e Khânewâdeh, Markaz-e Tahqiqat-e
Islami Nemanyandegi Wali Faqih dar Sepah, Bahar 1375 S, Software Ganjine Ma’arif.
[15]. Ayatullah Fadhil, Jâmi’ al-Masâil, jil. 1, Pertanyaan 1618; Ayatullah Makarim, Istifta’ât,
jil. 2, Pertanyaan 1120 dan 1121. Taudhih al-Masâil Maraji’, Masalah 2511; Shafi, Jâmi’ al-
Ahkâm, jil. 2, Pertanyaan 1313; Ayatullah Nuri, Taudhih al-Masâil, Masalah 2506; Ayatullah
Tabrizi, Istifta’ât, Pertanyaan 1712; Ayatullah Wahid, Taudhih al-Masâil, Masalah 2520; Imam
Khomeini, Istifta’ât, jil. 3, Iddah Thalaq, Pertanyaan 64 dan Kantor Ayatullah Khameni, Bahjat
dan Siistani.
[16]. “Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri,
hendaklah para istri itu menjalankan masa idah selama empat bulan sepuluh hari. Kemudian
apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan.”
[17]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 2, hal. 193, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan
Pertama, 1375 S.
[18]. Diadaptasi dari Paigah-e Ittila’ Rasani Nahad Nemayandegi Maqam Mua’zzham-e Rahbari
dar Danesygah-ha, Baksy-e Pursesy wa Pasukh, dengan sedikit perubahan.
5. 5
PENGERTIAN MASA IDDAH WANITA DALAM ISLAM
Masa iddah ialah, suatu masa yang harus dilalui oleh seorang wanita karena perpisahan dengan
suaminya. Baik itu bercerai ataupun ditinggal mati suaminya. Selama masa iddah ini, seorang
wanita tidak boleh melakukan pernikahan dengan ataupun tanpa alasan. Adanya masa iddah ini
adalah demi kepentingan wanita sendiri, boleh dibilang untuk pengosongan rahim/untuk
memastikan bahwa di dalam Rahim seorang wanita tidak terdapat sisa benih dari suami
sebelumnya.
Masa Iddah seorang wanita berbeda-beda menurut keadaan yang sedang di alami wanita.
Saat wanita bercerai dengan suaminya dan dalam keadaan hamil, maka masa Iddahnya adalah
sampai anaknya lahir. Ini dimaksudkan, agar saat anak lahir dia mempunyai ayah dan berhak atas
nafkah sang ayah. Seperti firman Allah:
Dan bagi wanita-wanita yang hamil, maka Iddahnya mereka apabila mereka telah
bersalin.[QS.Talaq:4]
Saat wanita bercerai dengan suaminya tanpa dalam keadaan hamil, maka masa Iddahnya selama
3x suci. Seperti yang diterangkan dalam Alqur’an. “Perempuan-perempuan yang di ceraikan
suaminya hendaklah menahan diri mereka (menunggu) selama 3x suci”. [QS.Al-baqarah: 228]
Contohnya, ketika bercerai dalam keadaan suci, maka Iddahnya akan berakhir saat haid yang ke
tiga kalinya.
Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya ialah selama 4 bulan 10 hari. Berdasarkan:
“Dan orang-orang yang mati diantara kamu, serta meninggalkan istri-istri, hendaklah mereka
istri-istri menunggu 4 bulan 10 hari. Kemudian apabila telah sampai pada Iddah mereka, maka
tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka kerjakan, terhadap diri mereka menurut cara
yang patut. Dan ALLAH mengetahui apa yang kamu kerjakan. [QS. Al-Baqarah:234].
6. 6
Secara bahasa, kata “Iddah” dalam bahasa arab diambil dari kata “al-‘Adad” dan “al-
Ihsha’” yang berarti “Bilangan”, yakni sesuatu yang dihitung oleh perempuan (istri) dari hari-
hari dan haid.[1] Atau hitungan dari haid atau suci, atau hitungan bulan.[2]
Secara istilah , “Iddah” berarti sejumlah waktu ( hari ) untuk menunggu bagi perempuan
dan tidak boleh untuk menikah setelah wafat suaminya atau berpisah denganya.[3] Dikalangan
para ulama fiqh terdapat banyak pendapat dalam memberikan pengertian iddah. Menurut ulama
Hanafiah, iddah berarti saat-saat tertentu menurut syara’ untuk menyelesaikan hal-hal yang
terkait dengan perkawinan. dengan kata lain saat menunggu bagi wanita ketika berpalingnya
perkawinan atau yang serupa. Sedangkan menurut ulama jumhur, Iddah berarti saat menunggu
bagi perempuan (istri) untuk mengetahui kekosongan rahimnya, atau untuk beribadah, atau
keadaan bersedih-berduka cita terhadap perkawinanya, yang berakhir.
Hukum menunggu bagi bekas istri yang telah dicerai oleh suaminya atau suaminya
meninggal dunia itu adalah wajib dan lama waktunya ditetapkan oleh agama sesuai dengan
keadaan bekas suami yang mencerai atau bekas istri yang dicerai.[4]
[1] SayyidSabiq, Fiqh al-Sunnah, (Semarang:TohaPutra,t.t.) jilidII:227.
[2] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-IslamWa Adillatuh, (Damsyiq:Dar al Fikr,1989), Cet.3, jilidVII
: 624.
[3] SayyidShabiq,Op.Cit.,hlm.277
[4] Drs.Kamal mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), hal. 229.
7. 7
Pengertian dan Dasar Hukum ‘Iddah
Menurut bahasa kata ‘iddah berasal dari kata al-‘adad. Sedangkan kata al-‘adad
merupakan bentuk masdar dari kata kerja ‘adda-ya’uddu yang berarti menghitung. Kata al-‘adad
memiliki arti ukuran dari sesuatu yang dihitung dan jumlahnya. Adapun bentuk jama’ dari kata
al-‘adad adalah al-a’da>d begitu pula bentuk jama’ dari kata ‘iddah adalah al-‘idad. Dan
dikatakan juga bahwa seorang perempuan telah ber’iddah karena kematian suaminya atau talak
suami kepadanya.2)
Pengertian Dan Dasar Hukum Iddah. Menurut Sayyid Sa>biq yang dimaksud dengan
‘iddah dari segi bahasa adalah perempuan (isteri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.3)
Sementara al-Ja>ziri> menyatakan bahwa kata ‘iddah mutlak digunakan untuk menyebut hari-
hari haid perempuan atau hari-hari sucinya.4)
Dari sisi terminologi maka terdapat beberapa definisi ‘iddah yang dikemukakan oleh para
fuqaha. Meskipun dalam redaksi yang berbeda, berbagai definisi tersebut memiliki kesamaan
secara garis besarnya.
Menurut al-Ja>ziri> ‘iddah secara syar’i memiliki makna yang lebih luas dari pada makna
bahasa yaitu masa tunggu seorang perempuan yang tidak hanya didasarkan pada masa haid atau
sucinya tetapi kadang-kadang juga didasarkan
pada bilangan bulan atau dengan melahirkan dan selama masa tersebut seorang
perempuan dilarang untuk menikah dengan laki-laki lain.5) Sementara itu Sayyid Sa>biq
menjelaskan bahwa ‘iddah merupakan sebuah nama bagi masa lamanya perempuan (isteri)
menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah pisah dari suaminya.6)
Abu> Yahya> Zakariyya> al-Ans}a>ri memberikan definisi ‘iddah sebagai masa tunggu
seorang perempuan untuk mengetahui kesucian rahim atau untuk ta’abbud (beribadah) atau
untuk tafajju’ (bela sungkawa) terhadap suaminya.7) Dalam definisi lain dijelaskan bahwa ‘iddah
menurut ‘urf syara’ adalah nama untuk suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri apa yang
tersisa dari pengaruh-pengaruh pernikahan.8)
Muhammad Zaid al-Ibya>ni menjelaskan bahwa ‘iddah memiliki tiga makna yaitu makna
secara bahasa, secara syar’i dan dalam istilah fuqaha. Menurut makna bahasa berarti menghitung
sedangkan secara syar’i adalah masa tunggu yang diwajibkan bagi perempuan maupun laki-laki
ketika terdapat sebab. Adapun dalam istilah fuqaha yaitu masa tunggu yang diwajibkan bagi
perempuan ketika putus perkawinan atau karena perkawinannya syubhat.9)
Dari berbagai definisi ‘iddah yang telah dikemukakan diatas maka dapat dirumuskan
sebuah pengertian yang komprehensif tentang ‘iddah yaitu masa tunggu yang ditetapkan bagi
8. 8
perempuan setelah kematian suami atau putus perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci,
bilangan bulan atau dengan melahirkan untuk mengetahui kesucian rahim, beribadah (ta’abbud)
maupun bela sungkawa atas suaminya. Selama masa tersebut perempuan (isteri) dilarang
menikah dengan laki-laki lain.
Kewajiban menjalankan ‘iddah bagi seorang perempuan setelah kematian suaminya atau
setelah pisah dengan suaminya dijelaskan secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun Sunnah.
Diantara nas}s} al-Qur’an yang menjelaskan tentang ‘iddah antara lain :
قروء ثة ثال بانفسهن يتربصن والمطلقت....(10
ويذرون منكم يتوفون والذينبانفسهن يتربصن ازواجااربعةوعشرا اشهر....11(
امنوا الذين ياايهاتمسوه ان قبل من طلقتموهن ثم المؤمنت نكحتم إذاعدة من عليهن فمالكم ن
تعتدونها....12(
يحضن لم والالئى اشهر ثالثة فعدتهن ارتبتم ان نسائكم من المحيض من يئسن ئى والالج
حملهن يضعن ان اجلهن االحمال واوالت....13(
Sementara itu masalah ‘iddah juga dijelaskan dalam Sunnah Nabi :
إلمرأة يحل الاربعة زوج على اال ليال ثالث فوق ميت على تحد ان االخر واليوم باهللا تؤمن
اشهروعشرا....(14
مكتوم ام ابن بيت فى اعتدى....15(
Nas}s} al-Qur’an maupun Sunnah diatas merupakan dasar hukum penetapan ‘iddah.
Berdasarkan nas}s} al-Qur’an dan Sunnah tersebut maka para ulama telah sepakat (ijma’)
bahwa ‘iddah hukumnya wajib. Mereka hanya berbeda dalam masalah tafsil (perincian ) dalam
beberapa persoalan saja.
Selama dalam ketentuan ‘iddah yang telah dijelaskan secara eksplisit oleh nas al-Qur’an
maupun Sunnah tidak banyak mengundang perbedaan pendapat dikalangan ulama. Tetapi ketika
ketentuan ‘iddah tersebut dihadapkan pada suatu persoalan yang belum ada penjelasannya baik
dalam al-Qur’an maupun Sunnah seperti ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina telah
menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Artikel Terkait Lainnya:
Macam-macam Iddah
5) Ibid
6) As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah,II : 277. Bandingkan As-S}an’a>ni, Subul as-
Sala>m, ( Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t), III : 196.
7) Abu> Yahya> Zakariyya> al-Ans}a>ri, Fath al-Wahha>b, ( Semarang : Toha Putra,
t.t), II : 103.
9. 9
8) Abu> Bakar Ibn Mas’u>d al-Kasa>ni>, Bada>’i’ S}ana>’i fi> Tarti>b asy-Syara>’i,
cet.I. ( Beirut : Da>r al-Fikr, 1996), III : 277. Bandingkan Muhammad Abu> Zahrah, Al-
Ah}wa>l asy-Syakhs}iyyah, (ttp : Da>r al-Fikr al-‘Arabi, t.t), hlm.435. Ahmad Gundur, At-
T}ala>q fi> Syari>’ah al-Isla>miyyah wa al-Qa>nu>n, cet.I (Mesir : Da>r al-Ma’a>rif,
1967),hlm.291
9) Muhammad Zaid al-Ibyani, Syarh al-Ahka>m asy-Syari>’ah fi> Ah}wa>l asy-
Syakhs}iyyah,( Beirut : Maktabah an-Nahd}ah, t.t), I : 426.
(10 ) Al-Baqarah (2) : 228. Menurut ulama Syafi’iyyah lafal quru’ berarti suci sehingga
tenggang waktu ‘iddah relatif lebih pendek jika dibandingkan dengan pendapat Abu Hanifah
yang mengartikan lafal quru’ dengan haid. As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, II : 279-280.
11) Al-Baqarah (2) : 234.
12) Al-Ah}za>b (33) :49
13) At-T}ala>q (65) : 4
14) Tirmizi>, Sunan at-Tirmizi>, “ Kita>b at-T}ala>q wa Li’a>n”, Ba>b Ma> Ja>’a
fi>>> ‘lddati al-Mutawaffa> ‘anha> Zaujaha>, (Makkah : Maktabah at-Tija>riyyah, t.t), III :
500. Hadis nomor 1196. Hadis diriwayatkan oleh Zainab.
15) Tirmizi>, Sunan at-Tirmizi>, “Kita>b an-Nika>h”, Ba>b Ma> Ja>’a an La>
Yakhtuba ‘ala> Khitbati Akhi>hi, III : 440. Hadis nomor 1135. Hadis diriwayatkan oleh
Fa>t}imah binti Qais.
2) Ibn Munz}ir, Lisa>n al-‘Arab, ( ttp : tnp, t.t), hlm.702-703.
3) As-Sayid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, II : 277. Ali> H}asaballah,al-Furqah baina az-Zawjaini wa
Ma> Yata’allaqu biha> min ‘iddatin wa nas}ab,cet, I(t.tp:Da>r al-Fikr al-‘Arabiy,1387H / 1968 M),hlm. 187.
H}asaballah memberikan pengertian ‘iddah menurut istilah fuqaha sebagai masa tunggu bagi perempuan (isteri)
setelah terjadi sebab perceraian yang dalam masa itu seorang perempuan dilarang untuk menikah dan dengan
menyelesaikan masa tunggu ini dapat menghapus apa yang tersisa akibat perkawinan.
4) Abd ar-Rahma>n al-Ja>ziri>, Kita>b al-Fiqh, IV : 513.