1. Idul Adha
Bersama Allah yang selalu mendahulukan rahmatNya, rahimNya
dari pada siksaNya. Menyayangi semenjak kita di dunia, Dzat
yang tidak akan pernah dzalim meski segala kekuasaan dan
kendali ada padaNya dan tidak akan pernah ingkar janji meski
tidak ada kerugian ketika tidak menepatinya.
Pesta… Saya termasuk orang yang menyenangi pesta, meskipun
hanya bagian tertentu dari pesta yang saya sukai..salah satunya
MAKAN-MAKAN GRATIS. ☺ . Mungkin diantara anda ada yang
menyenangi pesta karena berkumpul banyak orang, mungkin
ada juga yang menyenangi pesta karena suasananya ramai,
mungkin karena jarang terjadi.
Dua buah perayaan tahunan yang ada dalam islam adalah
perayaan setelah ramadhan—idul fitri dan perayaan qurban
(bisa juga disebut musim haji)—idul adha. Seperti sebuah pesta,
tentu ada kumpulan orang dan berbagi kebahagiaan, tapi bukan
pesta tanpa aturan, kalau anda berharap sebuah pesta tanpa
aturan..tidak pernah akan ada pesta..betul khan?
Bayangkan anda membuat pesta, tapi tidak diatur waktu dan
tempatnya…memang kita mau pesta sendiri-sendiri? Di tempat
masing-masing? Itu mah bukan pesta. Dan aturan itu membuat
suasana pesta menjadi semakin menyenangkan sekaligus
bermanfaat. Bayangkan saudaraku, berpesta saja bisa jadi
menambah pahala dan membuat Allah semakin ridha.
Beginilah cara orang islam yang meyakini adanya Allah
berpesta, bertakbir bersama-sama dari rumah masing-masing,
shalat sunnah idain, mengucapkan doa, saling menebar
senyuman, bekerja sama menyelesaikan tugas secara khusus
idul adha adalah penyembelihan, pengolahan dan distribusi
3. 102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku
Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab:
"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya
Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar".
103. tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim
membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran
keduanya ).
Mari kita renungkan,
Seorang ayah yang berharap dan berdoa kepada Allah, untuk
diberikan keturunan di hari tuanya. Setelah begitu lama menunggu
kehadiran buah hati. (silakan dibaca Ibrahim : 39).
Lalu diberikannya jawaban terhadap doanya itu, seorang anak
laki-laki, dan bukan anak laki-laki biasa, melainkan anak laki-
laki yang sabar. Telah lama menunggu keturunan, berdoa
dengan khusu dan dikaruniakanlah seoranga anak yang begitu
berbakti kepada Allah dan sudah barang tentu kepada kedua
orang tuanya, bukan anak yang Bengal, bukan anak yang sulit
diatur, tapi anak yang sabar. Sabar dalam artian siap untuk
berkorban untuk Allah.
Ketika diberikan perintah untuk menyembelih anaknya, padahal
yakin sang bapak (Ibrahim) bahwa itu adalah perintah Allah.
andaikata sang anak menolak, tetap akan dilakukan perintah itu.
Siapa yang dapat menolak perintah Allah penguasa alam
semesta, namun ayah yang bijaksana tetap berkata
“Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" berapa
4. banyak orang tua yang merasa benar dan yakin, tapi masih memiliki
kebijaksanaan untuk berdialog tentang keyakinannya itu.
Dan seorang anak yang shalih adalah jawaban yang penuh dengan
ilmu, bukan hanya mengikuti hawa nafsunya…beliau tidak
menjawab “kenapa harus saya yang disembelih, bukankah bapak
yang disuruh”. Inilah pertemuan antara kebijaksanaan ayah dan anak
yang tercerahkan. Ketika anak diminta untuk ke pesantren, dia
bukan menjawab dengan ilmu dan kesantunan, tapi malah berkata
“kenapa tidak bapak saja”.
Ada ayah yang diktator, anak yang tercerahkan.
Ada ayah yang bijaksana, anak yang gelap dari hidayah
Ada ayah yang diktator, anak yang gelap dari hidayah
Namun contoh ayah yang bijaksana dan anak yang tercerahkan.
Itulah sosok Ibrahim as dan ismail as
Seandainya, kita sudah menjadi orang tua..jadilah seperti
Ibrahim, semoga anak-anak kita menjadi shalih seperti ismail,
andaikan tidak…semoga Allah mencintai kita mendekati seperti
Allah mencintai Ibrahim.
Seandainya, kita sudah menjadi anak, jadilah seperti ismail,
semoga orang tua kita sebijak Ibrahim, andaikan tidak. semoga
Allah memuji kita mendekati seperti Allah memuji ismail yang
bisa melewati ujian dariNya.
Ada yang mengatakan, begitu mulianya pengorbanan ismail,
memberikan dirinya untuk disembelih. Padahal kalau kita
renungi, bukankah ada orang yang lebih mudah membunuh
dirinya sendiri, atau lebih memilih dirinya disiksa daripada
melihat orang yang kita sayangi tersiksa. Alangkah cepatnya kita
5. bisa bertemu dengan Allah ketika sudah berakhir hidup kita,
tapi apakah kita siap kehilangan orang yang kita nantikan
kelahirannya, dan kita sayangi karena keshalihannya, kemudian
harus meninggal oleh tangan kita sendiri dan kita melanjutkan
kehidupan dengan rasa kehilangan dan kesendirian ditinggalkan
oleh orang yang kita cintai?
Seperti itulah kesedihan seorang ayah, bahkan dalam sebuah
riwayat beliau menangis terus sampai membaringkan anaknya
untuk melaksanakan perintah Allah. Hal ini manusiawi tapi
perintah Allah diatas segala-galanya. Bukan berbicara kejam dan
tidaknya, karena bahkan sudah menjadi hak Allah untuk
mencabut nyawa kita dengan cara apapun. Tapi sifat kehidupan
dunia yang diciptakan untuk menguji kitalah yang membuat
semakin terkutubkan mana yang taat, mana yang maksiat.
Lalu mengapa Allah memerintahkan agar terjadi penyembelihan
itu, hanya Allah yang mengetahui apa maksud sebenarnya, kita
hanya bisa mengumpulkan hikmahnya, salah satu hikmahnya
adalah untuk membuktikan keimanan. Keimanan memerlukan
bukti dan tidak ada pilih kasih, bahkan semakin tinggi
kedudukan seseorang…semakin tinggi ujiannya. Kalau belum
diuji, dan berkorban..belumlah terbukti keimanan kita.
Ukurannya bukan besar kecilnya perbuatan tapi kesulitan yang
kita rasakan ketika melakukannya. Menariknya adalah Allah
tidak membutuhkan pembuktian keimanan kita, kitalah yang
butuh agar dilihat dan dilirik oleh Allah, salah satu buktinya
adalah peristiwa penyembelihan itu dibatalkan oleh Allah..kalau
Allah butuh peristiwa penyembelihan itu, tentu dilanjutkan
sampai selesai. Bukan itu maknanya. Wallahu a’lam.
Buat saya, pengorbanan ibrahimlah yang terlihat begitu nyata.
6. Tidak mudah memang melaksanakan kurban yang benar, ada
yang penuh kesombongan menganggap remeh kurban, tanpa
niat yang benar, hanya ingin dianggap dermawan atau takut
dicibir kalau tidak berkurban “masa orang punya mobil ga
kurban”. Tapi ternyata ada juga pemulung yang dengan segala
keterbatasannya tetap memilih untuk berkurban, entah apa
niatnya yang penting semoga Allah menerima amal kita dengan
balasan yang terbaik.
Puncak kelezatan iman bisa jadi salah satunya didapatkan lewat
pengorbanan. Dan bukti keimanan kita adalah adanya
pengorbanan. Tanpa ada pengorbanan, tidak akan pernah ada
kemajuan, prestasi ataupun kesuksesan.
Tapi pengorbanan itu menurut saya lebih tepat seperti transaksi
jual beli. Seperti anda mengeluarkan (baca: mengorbankan)
uang, untuk mendapatkan hal lain yang memang anda perlukan.
Tanpa pengorbanan malah kita kesulitan sendiri, jadi
pengorbanan sebenarnya adalah salah satu aturan Allah, untuk
memenuhi kebutuhan kita.
Memenuhi kebutuhan akan kelezatan kehidupan (kelezatan
iman) dan juga agar didatangkan hal lain yang memang
sesungguhnya kita perlukan..meskipun tidak selalu kita bisa
tebak apa hal tersebut. Tapi pasti untung.
Transaksi jual beli ini seperti seorang marketing yang
menawarkan sesuatu, sudah pasti dibeli konsumen jika sesuai
kebutuhan dan kebutuhannya sudah sangat terang dan rinci
(jelas kalau dibeli konsumen pasti marketing mendapatkan
keuntungan) dan marketing ini diberikan pilihan mau menjual
kepada konsumen itu atau tidak?
7. Ditambah lagi kalau marketing ini mau bersusah payah untuk
menawarkan kepada konsumen (yang sudah pasti membeli
tadi) ada kemungkinan untungnya sangat besar dan istimewa.
Apakah marketingnya memilih untuk menjual atau tidak?
Bisa jadi tetap tidak mau menjual dengan alasan sibuk, alasan
susah, alasan jauh, alasan ga ada waktu, alasan cape, alasan
sudah terluka, alasan tidak ada uang, alasan saya khan bodo,
alasan…atau tetap menjual (berkorban) dengan alasan ingin
dapat keuntungan (seperti marketing pada umumnya) bahkan
keuntungan yang belipat-lipat tanpa batas.
Seperti itulah pengorbanan kita kepada Allah (meskipun tentu
sangat jauh lebih hebat balasan yang Allah berikan), jelas
keuntungannya, pasti untung, ditambah lagi diberi bonus tanpa
batas dari keuntungan itu.
Lalu kapan kita dapat keuntungan itu? ketika spesifikasinya
sesuai yang diajarkan Rasulullah saw cara berkorban kepada
Allah, lakukanlah pengorbanan sesuai dengan ilmu itu, dan
berdoalah kepada Allah, semoga pengorbanan kita
diterima….sehingga keuntungan itu pasti datang.
Idenya adalah
1. Sudahkah kita berkorban untuk mencari ilmu yang
diajarkan Allah?
2. Berkorban waktu? Berkorban tenaga? Berkorban
mulut? (tidak ngobrol kesana kemari ketika ta’lim).
3. Sudahkah kita berusaha mengamalkan ilmu yang kita
dapatkan?
4. Sudahkah kita berkorban waktu dan tenaga untuk
SUNGGUH-SUNGGUH berdoa agar amal pengorbanan
kita diterima?