1. http://myechooff.wordpress.com/2010/07/19/pragmat
isme-tinjauan-sejarah-intelektual/
Pragmatisme: Sebuah Tinjauan Sejarah Intelektual
Posted July 19, 2010 by andryan87 in Agama Dan Filsafat. Leave a Comment
1 Vote
1. Pendahuluan
Tulisan yang berjudul ?Pragmatisme: Sebuah tinjauan Sejarah Intelektual Amerika” akan membahas
apa sebenarnya pragmatisme itu, dan ia sebagai filsafat Amerika Serikat.
Dalam tulisan ini juga membahas sejarah timbulnya pracmatisme di Amerika Serikat sekaligus di
kaitkan dengan tokoh-tokoh yang mempelopori filsafat pragmatisme ini.
Akhir-akhir ini, kalau kita mengamati secara tajam perkembangan negara kita ini, kita akan kerap
mendengar kata-kata seperti pragmatis”, “berguna”, laksanakan yang bermanfaat bagi masyrakat
saja, ada gunanya atau tidak sarana itu. Ungkapan-ungkapan itu belakangan ini semakin santer
disuarakan. Secara fenomenologis hal itu berarti ada suatu sumbernya. Di belakang sumber itu pasti
ada aliran cara berfikir tertentu yang berpengaruh. Apakah sumber itu? Inilah yang akan kita
pertanyakan untuk kita ketahui. Dengan demikian, kita akan memasuki sumber itu untuk mengerti
latar belakang aliran atau cara berfikir apa yang mempengaruhi ungkapan-uangkapan di atas.
2. Arti Pragmatisme
Pada garis besarnya, filsafat Amerika Serikat senasib dengan kebudayaan Amerika pada umumnya.
Seperti kita ketahui bahwa kebudayaan Amerika Serikat mempunyai ciri khas yaitu tidak mempunyai
tradisi yang panjang. Karena itu, ia belum pernah mempunyai wajah sendiri. Kebudayaannya
bersandar pada “self made man”. Apabila kita lihat, pandang secara cermat, ciri yang penting adalah
perkembangan material dan tekniknya. Perkembangan ini sangat mempengaruhi alam pemikiran
bangsa tersebut. Pengaruh itu jelas dalam pragmatisme.
Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang berarti perbuatan atau tindakan. “Isme”
di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham.
Dengan demikian pragmatisme berarti: ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti
tindakan. Kreteria kebenarannya adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap
oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it
works ( apabila teori dapat diaplikasikan).
Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan
ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna
1 bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatism akhirnya
berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang
tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh
perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno (Guy W. Stroh: 1968).
Dalam usahanya untuk memcahkan masalah-masalah metafisik yang selalu menjadi pergunjingan
berbagai filosofi tulah pragmatisme menemukan suatu metoda yang spesifik, yaitu dengan mencari
konsekwensi praktis dari setiap konsep atau gagasan dan pendirian yang dianut masing-masing
pihak.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, metode tersebut diterapkan dalam setiap bidang kehidupan
manusia. Karena pragmatisme adalah suatu filsafat tentang tindakan manusia, maka setiap bidang
kehidupan manusia menjadi bidang penerapan dari filsafat yang satu ini. Dan karena metode yang
dipakai sangat populer untuk di pakai dalam mengambil
keputusan melakukan tindakan tertentu, karena menyangkut pengalaman manusia sendiri, filsafat
inipun segera menjadi populer. Dan filsafat ini yang berkembang di Amerika pada abad ke-19
sekaligus menjadi filsafat khas Amerika dengan tokoh-tokohnya seperti Charles Sander Peirce,
William James, dan John Dewey menjadi sebuah aliran pemikiran
yang sangat mempengaruhi segala bidang kehidupan Amerika.
Namun filsafat inl akhirnya menjadi lebih terkenal sebagai suatu metode dalam mengambil
keputusan melakukan tindakan tertentu atau yang menyangkut kebijaksanaan tertentu. Lebih dari
itu, karena filsafat ini merupakan filsafat yang khas Amerika, ia dikenal sebagaimana suatu model
pengambilan keputusan, model bertindak, dan model praktis Amerika.
2. Bagi kaum pragmatis, untuk mengambil tindakan tertentu, ada dua hal penting. Pertama, ide atau
keyakinan yang mendasari keputusan yang harus diambil untuk melakukan tindakan tertentu. Dan
yang kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan
suatu paket tunggal dari metode bertindak yang pragmatis. Pertama-tama manusia memiliki ide atau
keyakinan itu yang ingin direalisasikan.
Untuk merealisasikan ide atau keyakinan itu, manusia mengambil keputusan yang berisi: akan
dilakukan tindakan tertentu sebagai realisasi ide atau keyakinan tadi. Dalam hal ini, sebagaimana
diketahui oleh Peirce, tindakan tersebut tidak dapat diambil lepas dari tujuan tertentu. Dan tujuan itu
tidak lain adalah hasil yang akan diperoleh dari tindakan itu sendiri, atau konsekwensi praktis dari
adanya tindakan itu.
Apa yang dikatakan oleh Peirce tersebut merupakan prinsip pragmatis dalam arti yang sebenarnya.
Pragmatisme dalam hal ini tidak lain adalah suatu metode untuk menentukan konsekwensi praktis
dari suatu ide atau tindakan.
Karena itulah pragmatisme diartikan sebagal suatu filsafat tentang tindakan. Itu berarti bahwa
pragmatisme bukan merupakan suatu sistem filosofis yang siap pakai yang sekaligus memberikan
jawaban terakhir atas masalah-masa1ah filosofis. Pragmatisme
2 hanya berusaha menentukan konsekwensi praktis dari masa1ah-masalah itu, bukan memberikan
jawaban final atas masa1ah-masalah itu.
3. Latar Belakang Munculnya Pragmatisme
Kendati pragmatisme merupakan filsafat Amerika, metodenya bukanlah sesuatu yang sama sekali
baru, Socrates sebenarnya ahli dalam hal ini, dan Aristoteles telah menggunakannya secara metodis
John Locke (1632 – 1704), George Berkeley (1685 -
1753), dan Dayid Hume (1711 – 1776) mempunyai sumbangan yang sangat berarti dalam pemikiran
pragmatis ini (Copleston, 1966: 342).
Dari segi historis, abad ke-19 di tandai dengan skeptisisme yang di tiupkan oleh teori evolusi Darwin.
Nilai religius dan spiritual menjadi, dipertanyakan. Filsafat Unitarian, suatu aliran pemikiran yang
hanya menerima ke Esaan, Tuhan yang bergantung pada argumen-argumen tentang teologi kodrati
dan perwahyuan, lemah dalam membela diri terhadap evolusi onisme. Karena kaum ilmuan
menerima teori evolusi Darwin, filosof- filosof Unitarian menjadi tenggelam. Lebih lagi karena
keyakinan bahwa pemikiran mengenai proses seleksi dan evolusi alamiah berakhir dengan atheisme
dan bahwa manusia hanya bisa membenarkan eksistensinya dengan agama, mereka tidak dapat
mengintegrasikan hipotesis evolusi ke dalam keyakinan mereka (Bukhart, 1978: xiii).
Pada saat yang sama, suatu kelompok pemikir dari Harvard menemukan suatu jalan untuk
menghadapi krisis teologi ini tanpa mengorbankan ajaran agama yang essensial. Kelompok ini
melihat bahwa suatu interpretasi yang mekanistis tentang teori Darwin dapat menghancurkan agama
dan dapat mengarah ke aliran ateisme yang fatalistis. Mereka khawatir bahwa interpretasi ini dapat
berakhir dengan sikap yang pasif, apatis, bunuh diri dan semacamnya. Karena itu mereka
menganjurkan agar evolusi Darwin dipahami secara lain. Dan karena filsafat Unitarian sendiri hampir
mati, kelompok ini yang dikenal dengan “Perkumpulan Metafisika”, menyusun prinsip-prinsip
pragmatism baik secara bersama maupun secara individual dalam menghadapi evolusi Darwin (Kuck-
lick, 1979: xix).
Istilah pragamatisme sebenarnya diambil oleh C.S. Peirce dari Immanuel Kant. Kant sendiri memberi
nama “keyakinan-keyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang
merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu?. Manusia memiliki keyakinan-
keyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan belaka, sebagaimana dimiliki oleh
seorang dokter yang member resep untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Tetapi Kant baru
melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis atau berguna seperti itu dapat di terapkan misalnya
dalam penggunaan obat atau semacamnya.
la belum menyadari bahwa keyakinan seperti itu juga cocok untuk filsafat. Karen Peirce sangat
tertarik untuk membuat filsafat dapat diuji secara ilmiah atau eksperiemntal, ia mengambil alih
istilah pragmatisme untuk merancang suatu filsafat yang mau berpeling kepada konsekwensi praktis
atau hasil eksperimental sebagai ujian bagi arti dan validitas idenya.
3. Filsafat tradisional, menurut Peirce, sangat lemah dalam metode yang akan memberi arti kepada
ide-ide filosofis dalam rangka eksperimental serta metode yang akan menyusun dan memperluas ide-
ide dan kesimpulan-kesimpulan sampai mencakup fakta-fakta baru. Metafisika dan logika tradisional
hanya mengajukan teori-teori yang tertutup dan murni
tentang arti, kebenaran, dan alam semesta. Pendeknya, Filsafat tradisional tidak menambah sesuatu
yang baru. Dengan sistemnya yang tertutup tentang kebenaran yang absolut, filsafat tradisional lebih
menutup jalan untuk diadakan penyelidikan dan bukannya membawa kemajuan bagi filsafat dan ilmu
pengetahuan
3. Dalam rangka itulah Peirce mencoba merintis suatu pemikiran filosofis baru yang agak lain dari
pemikiran filosofis tradisional. Pemikiran filosofis yang baru ini diberi nama Pragmatisme.
Pragmatisme lalu dikenal pada permulaannya sebagai usaha Peirce untuk merintis suatu metode bagi
pemikiran filosofis sebagaimana yang dikehendaki di atas.
Pragmatisme merupakan bagian sentral dari usaha membuat filsafat tradisional menjadi ilmiah.
Tetapi untuk merevisi seluruh pemikiran filosofis tradisional bukan suatu hal yang mudah. Untuk
maksud benar-benar dibutuhkan revisi dalam logika dan metafisika yang merupakan dasar filsafat.
Dengan demikian, progmatisme muncul sebagai usaha refleksi analitis dan filosofis mengenai
kehidupan Amerika sendiri yang dibuat oleh orang Amerika di Amerika sebagai suatu bentuk
pengalaman mendasar, dan meninggalkan jejaknya pada setiap
kehidupan Amerika. Oleh karena itu ada suatu alasan yang kuat untuk meyakini bahwa pragmatisme
mewakili suatu pandangan asli Amerika tentang hidup dan dunia. Atau barangkali lebih tepat kalau
dikatakan bahwa pragmatisme mengkristalisasikan
keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap yang telah menentukan perkembangan Amerika sebagaimana
menggejala dalam berbagai aspek kehidupannya, misalnya dalam penerapan teknologi,
kebijaksanaan-kebijaksanaan politik pemerintah, dan sebagainya.
4. Pencetus dan Tokoh-tokoh Pragmatisme
Berbicara tentang suatu aliran tertentu, kita tidak lepas dari siapa pencetus Pragmatisme di Amerika
Serikat, serta tokoh-tokohnya yang berpengaruh. Ini berarti bahwa kita di bawa untuk melihat siapa
pencetus dan tokoh-tokoh lainnya. Menurut Copleston dalam A History of Philosophy (Vol. VIII,
London, 1966, Part IV), pemula aliran pragmatisme di Amerika Serikat dalam C.S. Peirce (1839-1914).
Secara pasti, pragmatisme lebih populer dan selalu dikaitkan dengan nama William James,
karena dialah yang mempopulerkannya.
Hal ini bisa dimenegerti karena James sebagai lektor dan penulis lebih cepat terkenal dari pada Peirce
sebagai filosof selama hidupnya.
4. Tahun akademis 1864-1865 dan tahun 1869-1879 digunakan Peirce untuk menekuni sejarah ilmu
pengetahuan modern. Ia belajar logika secara sungguh-sungguh pada tahun 1870-1871. Pada tahun
1879-1884 ia menjadi rektor pada universitas John Hopkins. Pada tahun 1905, Peirce mengubah teori
pragmatisme. Pada tahun ini juga, ia berkenalan dan kemudian bersahabat erat dengan William
James. Jameslah yang mengolah, mengerjakan, dan menyempurnakan karya-karya yang
terbengkalai. Pada tahun 1914, kanker merenggut kehidupan Peirce (Sutrisno, 1977: 92).
5. Kekhasan Pragmatisme Peirce
Seperti kita lihat dalam uraian sebelumnya, secara umum orang memakai istilah pragmatisme sebagai
ajaran yang mengatakan bahwa suatu teori itu benar sejauh sesuatu mampu dihasilkan oleh teori
tersebut. Misalnya sesuatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna bagi masyarakat. Sutrisno
lebih lanjut menyatakan bahwa pragmatism Peirce yang kemudian hari ia namakan pragmatisme
lebih merupakan suatu teori mengenai arti (Theory of Meaning) daripada teori tentang kebenaran
(Theory of Truth).
Menurut Peirce kebenaran itu ada bermacam-macam. la sendiri membedakan kemajemukan
kebenaran itu sebagai berikut :
Pertama, transcendental truth yang diartikan sebagai letak kebenaran suatu hal itu bermukim pada
kedudukan benda itu sebagai benda itu sendiri. Singkatnya letak kebenaran suatu hal adalah pada
“things as things “.
Kedua, complex truth yang berarti kebenaran dari pernyataan-pernyataan. Kebenaran kompleks ini
dibagi dalam dua hal yaitu kebenaran etis disatu pihak dan kebenaran logis dilain pihak.
Kebenaran etis adalah seluruhnya pernyataan dengan siapa yang diimani oleh sipembicara.
Sedangkan kebenaran logis adalah selarasnya suatu pernyataan dengan realitas yang didefinisikan.
Patokan kebenaran proporsi atau pernyataan itu dilandaskan pada pengalaman. Artinya; suatu
proposisi itu benar bila pengalaman membuktikan kebenarannya. Proposisi itu keliru apabila
bertentangan dengan realitas yang diucapkannya, bertentangan dengan pengalaman realitas.
Menurut Peirce, ada beberapa proposisi yang tidak dapat dikatakan salah, yaitu proposisi dari
matematika murni.
Di sini kreteria kebenaran matematika murni letaknya dalam hal “Ketidakmungkinannya lagi “, untuk
menemukan kasus yang lemah. Dalam matematika murni, semua kasus dan proposisi serba kuat.
Proposisi matematika murni samasekali juga tidak mengatakan
sesuatu tentang hal-hal yang faktual ada atau fakta aktual karena matematika murni tidak pernah
menghiraukan apakah ada hal real atau fakta yang cocok dengan pernyataan itu atau tidak. Karena
itulah Peirce mengatakan bahwa proposisi matematika murni tidak
5. dapat diklasifikasi secara pasti benarnya. Masalah penentuan hal “benar” memang bias dilihat dari
bermacam-macam segi yaitu disatu pihak benar bisa diartikan sebagai “the universe of all truth
4. (universe of all universes). Dilain pihak, dari sudut epistemologi, kebenaran didefinisikan sebagai
kesesuaian antara pernyataan dengan penyelidikan empiris.
Karena itu, teori pragmatisme Peirce lebih mencanangkan teori tentang arti daripada teori tentang
kebenaran. Pandangan Peirce tentang kebenaran dalam uraian di atas, lebih merupakan pandangan
seorang idealis daripada pandangan seorang pragmatis.
Menurut Peirce, pragmatisme adalah suatu metode untuk membuat sesuatu ide menjadi jelas atau
terang dan menjadi berarti. Kelihatan lagi tekanan teori arti Peirce pada pragmatisismenya, baginya
pragmatisme adalah metode untuk menditerminasi makna dari ide-ide. Ide itulah yang mau
diditerminasikan atau artinya melalui pragmatisme.
Ada bermacam-macam ide yaitu pertama ide persepsi (sense datum). Ide lni dipandang dalam dirinya
sendiri tanpa berhubungan dengan yang lain.
Persepsi adalah ide yang dipandang berdiri sendiri, lepas dari yang lain. Contohnya ide kebiruan, ide
kemerahan. Dalam mulut Peirce, ide persepsi ini ia sebut sebagai ide “kepertmaan”. Kedua adalah ide
tindakan yang meliputi aspek subyek pelaku dan obyek sasaran. Istilah Peirce untuk ide ini adalah ide
keduaan.
Ketiga, yaitu ide tentang kaitan salah satu bentuk pasti dari obyek yang diamati oleh penilik. Peirce
menamai ide ini ide ketigaan. Secara praktis, kekhasan pragmatism Peirce merupakan suatu metode
untuk memastikan arti ide-ide di atas.
Penekanan segi teori arti dalam pragmatisme Peirce dapat kita lihat dalam rumusan lengkapnya
mengenai pragmatisme. Pragmatisme adalah suatu teori untuk dapat memastikan makna dari suatu
ide intelektual. Caranya adalah orang harus
mempertimbangkan konsekwensi-konsekwensi praktis dari teori tersebut. Inilah yang menentukan
arti ide tersebut, inilah kekhasan pragmatisme Peirce.
Karena perumusan tadi masih terlalu abstrak, ia memberi contoh. Coba bayangkan bila seseorang
mengatakan kepada anda, bahwa suatu benda itu keras, tetapi anggaplah diri anda belum tahu arti
keras itu yang bagaimana. Setelah itu, orang itu akan menjelaskan kepada bahwa suatu benda itu
keras bila konsekwensi-konsekwensi praktisnya adalah bila benda itu disentuh tidak akan
memberikan rasa lembut pada tangan anda bila orang duduk di atasnya tidak akan tenggelam di
dalamnya, begitu seterusnya.
Dari pengumpulan akibat-akibat praktis tadi, dapatlah kini dirumuskan bahwa benda itu keras.
Dengan perkataan lain, konsekwensi-konsekwensi praktis tadi memberi arti penuh mengenai benda-
benda tadi. Karena itulah, bisa kita mengerti kalau di tempat lain Peirce menegaskan bahwa teori arti
pragmatisme itu menolak nominalisme dan menerima
realisme.
6
Inilah kekhasan Peirce dalam pragmatismenya. Berkat analisisnya mengenai arti, ia membantu kita
untuk mengerti kejelasan suatu konsep. Ia membantu kita untuk menganalisis konsep-konsep dengan
mengujinya melalui konsekwensi-konsekwensi
praktis sehingga menjadi kongkrit.
6. William James
Pada tokoh ini, Sutrisno juga menjelaskan bahwa James adalah tokoh pragmatisme yang lebih
terkenal daripada Peirce. Dialah yang mempublikasikan ajaran pragmatisme. Dalam tokoh ini,
pragmatisme mencapai keradikalannya.
Dalam kata pengantar buku The Will to Believe (1903), James menulis sikap filsafatnya sebagai
empirisme radikal. Dengan empirisnya James memaksudkan sebagai pandangan yang “contented to
regard its most assured conclusions concerning matters of future experience “.
Segi radikalnya terletak dalam perlakuannya terhadap ajaran monisme. Seperti kita ketahui, monisme
adalah teori yang mengatakan bahwa dunia ini merupakan suatu entitas saja yang unik. Kebanyakan
orang terutama kaum filosof abad lalu memperlakukan tidak demikian.
Keradikalannya, justeru karena ajaran monisme sendiri ia perlakukan sebagai hipotesis. Pahamnya
mengenai monisme adalah keanekaragaman hal yang membentuk suatu kesatuan yang dapat
dimengerti.
Dengan sikap filsafat empirisme radikal, ia menegaskan bahwa kesatuan dari kemacam- ragaman hal-
hal yang memberi pengertian itu sendiri merupakan hipotesis. Dia masih harus diversifikasi benar-
tidaknya berdasarkan pengalaman dan bukan begitu saja di terima sebagai dogma.
Dalam buku Some Problems of Philosophy (1911), James lebih tandas mengemukakan pendirian
empirisme radikalnya. Di situ, ia melawankan empirisme dengan rasionalisme. Menurut James, para
rasionalis adalah orang-orang prinsip. Sedangkan kaum empiris adalah orang-orang fakta. Seorang
filosof rasionalis sebagaimana dilihat James adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu
secara deduktip, dari yang menyeluruh menuju kebagian-bagian.
5. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum menuju yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip.
Sebaliknya filosof empirisme mulai dari yang khusus (partikuler), dari situ menuju kemenyeluruh. Ia
lebih senang menerangkan prinsip-prinsip sebagai prosesinduksi dari fakta. Usaha sebaliknya yaitu
mau memastikan suatu kebenaran yang total dan final adalah asing bagi filosof empiris. Pendapatnya
ini diperketat dengan pendapatnya tentang arti kebenaran. Pendapat ini terdapat dalam bukunya, The
Meaning
Of Truth (1909).7
Di sana ia mengartikan kebenaran pertama-tama kebenaran itu merupakan suatu postulat, yaitu
semua hal yang disatu pihak bisa ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman. Dilain pihak
siap untuk diuji denga diskusi.
Kedua arti kebenaran itu merupakan suatu pernyataan fakta. Artinya segala hal yang ada sangkut-
pautnya dengan pengalaman. Ketiga kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum
(digeneralisasikan) dari pernyataan fakta. perumusan kesimpulan ini sifatnya sudah kompleks. Inilah
penegasan James mengenai kebenaran. Karena itu, bagi
James, pragmatisme hanyalah merupakan suatu metode. Suatu metode untuk memastikan atau
menyelesaikan pertentangan antara teori A dan B.
Dengan demikian pragmatisme James adalah metode untuk mencapai kejelasan pengertian kita
tentang suatu obyek dengan cara menimbang dan menguji akibat-akibat praktis yang dikandung
obyek tersebut.
Dari cara James menguji teori di atas berdasarkan konsekwensi praktisnya, kita melihat garis
penekanan yang sama dengan metode pragmatisme Peirce. Memang sudah menjadi rahasia umum
diantara para ilmuwan dan filosof bahwa James berhutang budi banyak pada Peirce. Malahan hal ini
terang-terangan ia ungkapkan “nilai prinsip Peirce yang adalah prinsip pragmatisme?. Dalam buku
Pragmatism (1907), ia menulis: “ajaran Peirce tetap tinggal tertutup sampai saat saya membukanya
kepada umum dalam tahun 1898 It. James menerapkannya dalam bidang agama, hal ini nyata
kelihatan dalam buku the Will to Believe maupun Varieties of Religious experience (1902) (hal. 98).
7. John Dewey (1859-1952) Pada tokoh ini Sutrisno menjelaskan bahwa berlainan dengan gaya
empirisme James,
Dewey juga termasuk tokoh empirisme yang di sangkutkan pula dengan pragmatisme. Kekhususan
filsafatnya terutama berdasarkan pada prinsip “naturalisme empiris atau empirisme naturalis”. Istilah
“naturalisme” ia terangkan sebagai pertama-tama bagi Dewey akal budi bukanlah satu-satunya
pemerosesan istimewa dari realitas obyektip secara metafisis. Pokoknya Dewey menolak untuk
merumuskan realitas berdasar pada pangkalan perbedaan antara subyek yang memandang obyek.
Dewey lebih mau memandang proses intelektual manusia sebagaimana berkembang dari alam.
Menurut Dewey, akal budi adalah perwujudan proses tanggap antara rangsangan dengan tanggapan
panca indera pada tingkat biologis. Rangsangan tersebut aslinya dari alam, manusia mula-mula
bertindak menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Setelah
refleksinya bekerja, ia mulai berhenti dan tidak mau hanya asal beraksi saja terhadap lingkungan.
Mulailah ia mempertanyakan lingkungan alam itu. Selama itu pulalah proses tanggapan berlangsung
terus. Berkat proses ini, terwujud adanya perubahan dalam lingkungan.
Dewey menyebut situasi tempat manusia hidup sebagai situasi problematis. Cara manusia bertindak
dalam situasi problematis ini tidak hanya fisik belaka tetapi juga kultural. Maka bila seseorang dalam
menghadapi situasi problematis dan terdorong untuk berpikir dan mengatasi soal di dalamnya,
pertimbangan moral ia buat sebagai rencana untuk
8. memungkinkan tindakannya, walaupun akal budi sudah mengarah ke tindakan, tindakan itu
sendiri belum muncul. Baru setelah orang bertindak dalam situasi problematisnya, tindakannya
benar-benar mewujud. Dari dasar di atas, Dewey mempunyai gagasan tentang sifat naturalistis
sebagai ?perkembangan terus-menerus hubungan organism dengan lingkungannya”.
Dari pandangan tersebut bisalah kita menggolongkan Dewey sebagai seorang empiris karena ia
bertitik tolak dari pengalaman dan kembali kepengalaman. Si subyek bergumul dengan situasi
problematika yang real empiris dan memecahkannya sedapat mungkin sehingga menghasilkan
perubahan-perubahan .
Pengalaman sendiri boleh dikatakan sebagai transaksi proses ?doing dan undergoing”, suatu
hubungan aktif antara organisme dengan lingkungannya. Dewey tidak membedakan antara subyek
dengan obyek, antara tindak dengan benda material. Meskipun demikian didalam pengalaman kedua
hal tadi tercakup dalam ketotalan yang mampat.
Dalam memberi patokan tentang kebenaran, Dewey mencantumkan ukuran yang sama dengan
Peirce, yaitu bahwa suatu hipotesis itu benar bila bisa diterapkan dan dilaksanakan menurut tujuan
kita. Dengan hati-hati dan teliti, ia menekankan bahwa
sesuatu itu benar bila berguna. Kegunaan di sini harus di tafsir dalam konteks Dewey yaitu proses
transformasi situasi problematis seperti telah diterangkan di atas (sutrisno, 1977: 99).
6. Seperti apa yang telah dijelaskan di atas, tentang gagasan atau ajaran Peirce terhadap pragmatisme.
Horton dan Edwards di dalam sebuah buku yang berjudul Background of American Literary Thought
(1974) menjelaskan bahwa Peirce memformulasikan tiga prinsip-prinsip lain yang menjadi dasar bagi
pragmatisme antara lain sebagai berikut :
1. Bahwa kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih dari pada kemurnian opini manusia. 2.
Bahwa apa yang kita namakan “universal” adalah opini-opini yang pada akhirnya setuju dan
menerima keyakinan dari: ?Community of knowers”
3. Bahwa filsafat dan matematika harus di buat lebih praktis dengan membuktikan bahwa problem-
problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal
yang nyata bagi masyarakat (komunitas).
Walaupun penggunaan istilah “universal” memperlihatkan bahwa Peirce masih memikirkan
sehubungan dengan “Pre-existing truths” dimana semua opini manusia harus dipertegas pada
akhirnya, konsepnya atas kebenaran berangkat secara induktip oleh kumpulan akal (pikiran)
memberikan William James dengan titik awal bagi versinya sendiri atas pragmatisme (hal. 168).
Di samping itu pula, William James mengajukan prinsip-prinsip dasar terhadap pragmatisme,
sebagai berikut :
9. 1. Bahwa dunia tidak hanya terlihat menjadi spontan, berhenti dan tak dapat diprediksi tetapi
dunia benar adanya.
2. Bahwa kebenaran tidaklah melekat dalam ide-ide, tetapi sesuatu yang terjadi pada ide-ide dalam
proses yang dipakai dalam situasi kehidupan nyata.
3. Bahwa manusia betas untuk meyakini apa yang menjadi keinginannya untuk percaya akan dunia,
sepanjang keyakinannya tidak berlawanan dengan pengalaman praktisnya maupun penguasaan ilmu
pengetahuannya.
4. Bahwa nilai akhir kebenaran tidak merupakan satu titik ketententuan yang absolut, tetapi semata-
mata terletak dalam kekuasaannya mengarahkan kita kepada kebenaran-kebenaran yang lain tentang
duinia dimana kita tinggal di dalamnya
(Horton dan Edwards, 1974: 172 ).
James telah berhasil membuat satu pandangan filosofis terhadap dunia yang pada hakekatnya sejajar
dengan opini publik yang berasal dari orang-orang awam dan bahkan memberi ruang baginya dalam
alam jagad raya ini sebagai agen yang bebas dan bertanggung jawab, memecahkan problem-problem
melalui penggunaan intelegensia praktisnya.
Semua pengalaman adalah hal yang nyata, James berpendapat bahwa “manusia tidak diminta untuk
menjelaskan semuanya sesegera mungkin”.
Kecukupan yang digunakan ke dalam situasi tertentu adalah kebenaran, dengan pengertian bahwa
kita bekerja dalam situasi itu sendiri. Dengan perkataan lain, kita harus bekerja sesuai dengan situasi
yang telah ditentukan dan tidak boleh melebihinya.
8. KESIMPULAN
Bagi pragmatisme, filsafat itu adalah alat untuk menolong manusia dalam hidup sehari- hari dan
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan mewujudkan dunia teknik (praktis). Dalam segalanya
itu, pelaksanaan atau praktek hiduplah yang penting bukan
pendapat atau teori rang hipotesis atau sepihak. Untuk menilai bermanfaat atau tidaknya ilmu
pengetahuan, anggapan hidup, malahan filsafat sendiripun perlu diperhatikan segala hasil den
kesimpulan atau akibat yang terjadi atas dasar hipotesis-hipotesis itu. Yang pokok adalah manusia
berbuat dan bukan berfikir. Pikiran atau teori merupakan alat yang
hanya berguna untuk memungkinkan timbulnya pengalaman yang semakin ikut mengembangkan
hidup manusia dalam praktek pelaksanaannya.
Demikianlah pragmatisme berpendapat bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup
manusia serta yang berguna dalam praktek, yang dapat memenuhi tuntutan hidup manusia, Filsafat
pragmatisme penting di terapkan di Indonesia apalagi kita sedang hangat-hangatnya melaksanakan
pembangunan nasional jangka panjang 25 tahun yang kedua. Yang penting buat kita berbuat bukan
berteori.
7. http://simpangtigofilsafat.blogspot.com/
NEGASI DARI NEGASI
Hukum kedua dari dialektika adalah 'hukum negasi dari negasi', dan sekali lagi, ini kedengaran lebih
rumit daripada yang sebenarnya. 'Negasi' dalam hal ini secara sederhana berarti gugurnya sesuatu,
kematian suatu benda karena ia bertransformasi (berubah) menjadi benda yang lain. Sebagai contoh,
perkembangan masyarakat kelas dalam sejarah kemanusiaan menunjukkan negasi (gugurnya)
masyarakat sebelumnya yang tanpa-kelas. Dan di masa yang akan datang, dengan adanya
perkembangan komunisme, kita akan mendapati suatu masyarakat tanpa-kelas yang lain, yang ini
akan berarti negasi terhadap semua masyarakat kelas yang ada sekarang.
Jadi, hukum negasi dari negasi secara sederhana menyatakan bahwa seiring munculnya suatu
sistem (menjadi ada/eksis), maka ia akan memaksa sistem lainnya untuk sirna (mati). Tetapi, ini
bukan berarti bahwa sistem yang kedua ini bersifat permanen atau tak bisa berubah. Sistem yang
kedua itu sendiri, menjadi ter-negasi-kan akibat perkembangan-perkembangan lebih lanjut dan
proses-proses perubahandalam masyarakat. Karena masyarakat kelas telah menjadi negasi dari
masyarakat tanpa-kelas, maka masyarakat komunis akan menjadi negasi dari masyarakat kelas –
negasi dari negasi.
Konsep lainnya dari dialektika adalah hukum 'interpenetration of opposites' (saling-menerobos dari
hal-hal yang bertentangan). Hukum ini secara cukup sederhana menyatakan bahwa proses-proses
perubahan terjadi karena adanya kontradiksi-kontradiksi – karena konflik-konflik yang terjadi di antara
elemen-elemen yang berbeda, yang melekat dalam semua proses alam maupun sosial.
Barangkali contoh paling tepat dari 'interpenetration of opposites' dalam ilmu pengetahuan alam
adalah 'teori quantum'. Teori ini didasarkan atas konsep bahwa energi memiliki karakter ganda – yaitu
untuk beberapa tujuan, menurut beberapa eksperimen, energi eksis dalam bentuk gelombang,
misalnya gelombang elektro magnetik. Tetapi untuk tujuan-tujuan lain, energi mewujudkan diri
sebagai partikel. Dengan kata lain, sama sekali diterima di kalangan ilmuwan bahwa materidan energi
sebetulnya bisa eksis dalam dua bentuk yang berbeda pada satu waktu yang sama – di satu sisi,
sebagai sejenis gelombang yang tak kelihatan, dan di sisi lain, sebagai sebuah partikel dengan
'quantum' (jumlah) energi tertentu yang ada di dalamnya.
Karena itu, basis dari teori quantum dalam ilmu fisika modern adalah kontradiksi. Namun ada banyak
lagi kontradiksi yang dikenal dalam ilmu pengetahuan. Energi elektromagnetik, misalnya, menjadi
bergerak akibat dorongan positif dan negatif atas satu sama lain. Magnetisme tergantung pada
eksistensi kutub utara dan kutub selatan. Hal-hal ini tidak bisa eksis secara terpisah (sendiri-sendiri).
Mereka eksis dan beroperasi justru akibat kekuatan-kekuatan yang bertentangan, yang ada dalam
sistem yang satu dan sama.
Hal yang serupa, setiap masyarakat saat ini terdiri atas elemen-elemen berbeda yang bertentangan,
yang bergabung bersama dalam satu sistem, yang membuat mustahil bagi masyarakat apapun, di
negeri manapun untuk tetap stabil dan tak berubah. Metode dialektis – bertentangan dengan metode
logika formal – melatih kita untuk mengidentifikasi (mengenali) kontradiksi-kontradiksi ini, dan dengan
demikian berarti mempelajari secara mendalam perubahan yang sedang terjadi.
Kaum Marxis tidak merasa malu untuk mengatakan bahwa terdapat elemen-elemen yang
bertentangan dalam setiap proses sosial. Sebaliknya, justru dengan mengenali dan memahami
kepentingan-kepentingan yang bertentangan, yang terdapat dalam proses yang sama itu, maka kita
akan mampu untuk mengarahkan perubahan yang diinginkan, dan konsekuensinya juga berusaha
untuk mengidentifikasi maksud dan tujuan yang perlu dan mungkin dalam situasi seperti itu untuk
8. dirumuskan dari sudut pandang kelas-buruh.
Pada saat yang sama, Marxisme tidaklah mengabaikan logika formal sama sekali. Akan tetapi,
adalah penting untuk melihat – dari sudut pandang pemahaman terhadap perkembangan-
perkembangan sosial – bahwa logika formal haruslah ditempatkan pada posisi kedua.
Kita semua menggunakan logika formal untuk keperluan sehari-hari. Logika formal memberikan
perhitungan-perhitungan yang berguna bagi kita untuk komunikasi dan melaksanakan aktivitas
sehari-hari. Kita tidak akan bisa menjalani kehidupan normal tanpa berbasa-basi menggunakan logika
formal, tanpa menggunakan perhitungan bahwa satu sama dengan satu. Akan tetapi, di sisi lain, kita
harus melihat keterbatasan-keterbatasan logika formal – keterbatasan-keterbatasan yang menjadi
jelas dalam ilmu pengetahuan jika kita mempelajari proses-proses secara mendalam dan mendetail,
dan juga ketika kita mempelajari proses-proses sosial dan politik dengan lebih teliti.
Dialektika sangat jarang diterima oleh para ilmuwan. Beberapa ilmuwan dialektis, tetapi mayoritas,
bahkan sampai saat ini, selalu mencampur-adukkan pendekatan materialis dengan segala macam
ide-ide formal dan idealistik. Kalau seperti itu yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan alam, maka di
bidang ilmu pengetahuan sosial adalah jauh lebih parah. Penyebabnya cukup jelas. Jika Anda
mencoba meneliti masyarakat dan proses-proses sosial dari sudut pandang ilmiah, maka Anda tidak
bisa menghindari untuk sampai pada kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat kapitalis, dan
kebutuhan untuk transformasi sosial masyarakat.
Namun perguruan-perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi pusatstudi dan penelitian, dibawah
sistem kapitalis ini jauh dari independent terhadap kelas yang berkuasa dan negara. Itulah sebabnya
mengapa ilmu pengetahuan alam masih memiliki suatu metode ilmiah yang cenderung kepada
materialisme dialektis; tetapi ketikasampai pada ilmu pengetahuan sosial, maka Anda akan
mendapati di sekolah tinggi dan politeknik, serta universitas-universitas, formalisme dan idealisme
yang paling parah. Hal ini bukannya tidak berhubungan dengan kepentingan-kepentingan tertentu
dari para profesor dan akademisi yang digaji tinggi. Adalah jelas dan tak bisa dihindari bahwa posisi
istimewa mereka di mata masyarakat akan memiliki beberapa cerminan dan pengaruh pada apa yang
harus mereka ajarkan. Pandangan dan prasangka-prasangka subyektif mereka sendiri akan
disertakan dalam 'pengetahuan' yang mereka sampaikan kepada mahasiswa mereka, dan begitu
seterusnya sampai ke tingkat sekolah-sekolah.
Sejarawan borjuis, khususnya, adalah di antara ilmuwan-ilmuwan sosial yang paling berpandangan
sempit. Berapa banyak kita telah melihat contoh-contoh sejarawan borjuis yang membayangkan
bahwa sejarah berakhir kemarin! Di sini, di Inggris, mereka semua nampaknya mengakui masa-masa
mengerikan sewaktu imperialisme Inggris abad ke-17, 18, sampai abad ke-19; bahwa Inggris terlibat
dalam lalu lintas perdagangan budak; bahwa Inggris juga bertanggung jawab terhadap penaklukan
rakyat di tanah-tanah jajahan yang paling berdarah; bahwa Inggris juga harus bertanggung jawab
terhadap eksploitasi paling buruk terhadap buruh Inggris, termasuk wanita dan anak-anak di
tambang-tambang batu bara, di pabrik-pabrik pemintalan kapas, dst.
Mereka akan menerima kenyataan adanya kekejaman dan ketidakadilan ini, tetapi hanya sampai
kemarin. Namun jika kita bicara tentang masa sekarang, tentu saja, mereka akan menganggap
bahwa imperialisme Inggris tiba-tiba jadi demokratis dan progressif.
dan hal tersebut sepenuhnya cuma satu sisi saja, satu cara pandang yang sepenuhnya berat sebelah
dalam melihat sejarah, yang secara diametris berlawanan dengan metode Marxisme. Marx dan
Engels terbiasa untuk memandang proses-proses sosial dari sudut pandang dialektis yang sama
sebagaimana mereka memandang alam - yaitu memandangnya dari sudut pandang proses-proses
itu sebenarnya terjadi.
9. dalam berbagai diskusi dan debat kita sehari-hari di dalam gerakan buruh, kita akan seringkali
menjumpai orang-orang yanf formalis. Bahkan banyak orang kiri akan memandang berbagai hal
dalam cara yang kaku dan formal, tanpa pemahaman akan arah yand di dalamnya hal-hal tersebut
tadi bergerak.
Sayap kanan di dalam gerakan buruh, dan juga beberapa orang di sayap kiri, percaya bahwa teori
Marxis adalah dogma, yakni, mereka percaya bahwa "teori" itu selayaknya beban seberat 600 pound
(1 pound = 2,2 kg) di atas pundak seorang aktivis, dan semakin cepat si aktivis itu membuang beban
tersebut, maka ia akan bisa makin aktiv dan efektif jadinya.
namun itu adalah konsepsi yang sepenuhnya keliru mengenai keseluruhan sifat teori Marxis. pada
kenyataan yang sesungguhnya, Marxisme adalah lawan dari dogma. Marxisme setepat-tepatnya
adalah metode untuk memahami sepenuhnya proses-proses perubahan yang terjadi di sekitar kita.
Tidak ada satupu hal yang ajeg, dan tiada pula sesuatupun yang tetap tak berubah. adalah kaum
formalis yang melihat masyarakat sebagai foto yang tak bergerak, mereka dikuasai oleh situasi-
situasi yang mereka hadapi sebab mereka tidak mampu melihat bagaimana dan mengapa berbagai
hal akan berubah. pendekatan macam beginilah yang dapat dengan mudah menggiring orang pada
penerimaan yang dogmatis dari adanya berbagai hal sebagaimanan hal itu ada ataupun telah ada
sebagai benda yang ajeg, tanpa pemahaman tentang ketidakmungkinannya perubahan untuk
dielakkan.
DIALEKTIKA
Dialektika secara sederhana adalah logika gerak, atau logika pemahaman umum dari para aktivis
dalam gerakan.Kita semua tahu bahwa benda-benda tidaklah diam; dan benda-benda itu berubah.
Akan tetapi, ada suatu bentuk logika lain yang bertentangan dengan dialektika, yang kita sebut 'logika
formal', yang sekali lagi juga melekat dalam masyarakat kapitalis. Barangkali perlu untuk mulai
menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan metode ini.
Logika formal didasarkan pada apa yang dikenal sebagai 'hukum identitas', yang menyatakan bahwa
'A' sama dengan 'A' – yaitu bahwa benda-benda adalah seperti itu apa adanya, dan bahwa benda itu
berposisi pada hubungan yang tertentu (pasti) satu sama lain. Ada hukum-hukum turunan lain yang
didasarkan pada hukum identitas; yaitu misalnya, jika 'A' sama dengan 'A', maka 'A' tidak mungkin
sama dengan 'B' atau 'C'.
Secara sekilas, metode pemikiran ini nampak seperti pemahaman umum; dan pada kenyataannya,
logika formal telah menjadi alat yang sangat penting, sarana yang sangat penting dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan revolusi industri, yang membentuk masyarakat sekarang
ini. Perkembangan matematika dan aritmatika dasar, misalnya, adalah didasarkan pada logika formal.
Anda tidak bisa mengajarkan tabel perkalian atau penjumlahan kepada seorang anak tanpa
menggunakan logika formal. Satu ditambah satu sama dengan dua, bukan tiga. Hal yang sama,
metode logika formal juga merupakan basis bagi perkembangan ilmu mekanika, kimia, biologi, dll.
Sebagai contoh, pada abad ke-18 ahli biologi Skandinavia, Linnaeus, mengembangkan sebuah
sistem klasifikasi untuk semua tumbuhan dan hewan yang dikenal. Linnaeus membagi semua benda
hidup ke dalam kelas-kelas, ordO-ordo, dan keluarga; misalnya dalam ordo primata, keluarga
hominid, genus homo, dan mewakili species homo sapiens.
Sistem klasifikasi merupakan sebuah langkah maju besar dalam biologi. Untuk pertama kalinya,
sistem ini memungkinkan dilakukannya studi mengenai tumbuhan dan hewan yang betul-betul
sistematis, untuk membandingkan dan membedakan species hewan dan tumbuhan. Tetapi sistem ini
didasarkan pada logika formal. Sistem ini didasarkan pada pernyataan bahwa homo sapiens sama
10. dengan homo sapiens; bahwa musca domestica (lalat) sama dengan musca domestica; bahwa
cacing tanah sama dengan cacing tanah; dst. Dengan kata lain, sistem klasifikasi ini adalah sistem
yang kaku dan pasti. Menurut sistem ini, tidak mungkin suatu species sama dengan species lain.
Atau, jika bisa sama, berarti sistem klasifikasi ini akan gugur.
Hal yang sama diterapkan dalam bidang kimia, dimana teori atom Dalton merupakan langkah maju
yang sangat besar. Teori Dalton didasarkan pada ide bahwa materi tersusun atas atom-atom, dan
bahwa masing-masing tipe atom sama sekali khusus dan khas untuk tipe itu sendiri – bahwa bentuk
dan berat suatu atom adalah khusus untuk unsur tertentu itu, dan tidak sama dengan yang lain.
Setelah Dalton, juga ada sebuah sistem klasifikasi unsur-unsur yang hampir sama kaku-nya dengan
sistem Dalton, yang kembali didasarkan pada logika formal yang kaku, yang mengatakan bahwa
sebuah atom hidrogen adalah sebuah atom hidrogen; sebuah atom karbon adalah sebuah atom
karbon; dsb. Dan jika sebuah atom bisa menjadi atom lainnya, maka keseluruhan sistem klasifikasi
ini, yang telah membentuk basis bagi ilmu kimia modern, akan gugur.
Kini penting bagi kita untuk melihat bahwa terdapat keterbatasan-keterbatasan dalam metode logika
formal. Logika formal adalah metode sehari-hari yang sangat bermanfaat, dan memungkinkan kita
untuk mempunyai perhitungan-perhitungan dalam mengidentifikasi benda-benda. Misalnya, sistem
klasifikasi Linnaean masih berguna bagi ahli-ahli biologi; tetapi, terutama sejak munculnya karya
Charles Darwin, kita juga jadi bisa melihat kelemahan-kelemahan dalam sistem klasifikasi itu.
Sebagai contoh, Darwin menunjukkan bahwa dalam sistem Linnaean, tipe-tipe tumbuhan diberi
nama-nama tersendiri sebagai species khusus, namun sebenarnya tipe-tipe tumbuhan itu sangat
mirip satu sama lain.
Jadi, bahkan di masa Darwin, sudah mungkin untuk melihat sistem klasifikasi Linnaean, dan
mengatakan, 'Oh, ternyata ada yang salah'. Dan tentu saja, karya Darwin sendiri memberikan basis
yang sistematis untuk teori evolusi, yang untuk pertama kalinya mengatakan adalah mungkin bagi
satu species untuk berubah (bertransformasi) menjadi species lainnya. Dan ini menunjukkan adanya
lobang besar dalam sistem Linnaean. Sebelum Darwin, orang menganggap bahwa jumlah species di
planet ini tepat sama dengan jumlah species yang diciptakan oleh Tuhan dalam masa enam hari
proses penciptaan – kecuali, tentu saja, species-species yang musnah akibat Banjir Besar – dan
bahwa species-species itu tetap tidak berubah selama berjuta-juta tahun. Namun Darwin
menghasilkan ide perubahan species, sehingga tidak bisa dihindari lagi, metode klasifikasi juga harus
diubah.
Apa yang berlaku di bidang biologi juga berlaku di bidang kimia. Di akhir abad ke-19, para pakar
kimia menjadi sadar bahwa adalah mungkin bagi satu unsur atom untuk berubah menjadi unsur
lainnya. Dengan kata lain, atom tidaklah mutlak bersifat khusus dan tertentu saja pada unsurnya
sendiri. Kini kita mengetahui bahwa banyak atom, banyak unsur kimia yang tidak stabil. Sebagai
contoh, uranium dan atom-atom radioaktif lainnya akan pecah dalam proses perjalanan waktu, dan
menghasilkan atom-atom yang sama sekali berbeda, dan dengan kandungan serta berat kimia yang
berbeda pula.
Jadi, kita bisa melihat bahwa metode logika formal mulai gugur dengan adanya perkembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Akan tetapi, metode dialektika-lah yang menyebabkan bisa ditariknya
kesimpulan-kesimpulan dari penemuan-penemuan faktual ini, dan menunjukkan bahwa tidak ada
kategori yang mutlak atau pasti, baik di alam ataupun di masyarakat. Sementara seorang yang
mengatakan logika formal mengatakan 'A' sama dengan 'A', maka seorang yang dialektis akan
mengatakan bahwa 'A' belum tentu sama dengan 'A'. Atau ambillah contoh praktis yang digunakan
Trotsky dalam tulisan-tulisannya tentang hal ini: satu ons gula pasir tidak akan tepat sama dengan
satu ons gula pasir lainnya. Adalah hal yang baik jika Anda menggunakan patokan takaran seperti itu
untuk membeli gula pasir di toko, tetapi jika Anda lihat secara teliti, akan kelihatan bahwa takaran itu
tidak tepat sama.
11. Jadi, kita perlu memiliki suatu bentuk pemahaman, suatu bentuk logika, yang menjelaskan kenyataan
bahwa benda-benda, kehidupan, dan masyarakat, berada dalam keadaan pergerakan dan perubahan
yang konstan. Dan bentuk logika itu, tentu saja adalah: dialektika.
Akan tetapi, di sisi lain, adalah salah jika kita berpikir bahwa, dialektika menyatakan bahwa proses di
alam semesta adalah setara (genap) dan perlahan (gradual). Hukum-hukum dialektika – dan perlu
dicatat: konsep-konsep ini kedengaran lebih rumit daripada kenyataan sesungguhnya – hukum-
hukum dialektika menjelaskan cara dimana proses-proses perubahan dalam realitas terjadi.
Matrealisme
JIKA kita membahas metode Marxisme, maka kita sedang bergelut dengan ide-ide yang memberikan
basis bagi aktivitas-aktivitas kita dalam gerakan buruh, argumen-argumen yang kita kemukakan
ketika kita mengikuti berbagai diskusi, dan artikel-artikel yang kita tulis.
Telah secara umum diterima bahwa Marxisme mengambil bentuknya dari tiga akar pokok. Salah satu
dari akar itu ialah analisis Marx tentang politik Prancis, khususnya revolusi borjuis di Prancis tahun
1790an, dan perjuangan-perjuangan kelas berikutnya selama awal abad ke-19. Akar lain dari
Marxisme adalah apa yang disebut 'ekonomi Inggris', yaitu analisis Marx tentang sistem kapitalis
seperti yang berkembang di Inggris. Akar ketiga dari Marxisme, yang menurut sejarahnya merupakan
titik permulaan Marxisme, adalah 'filsafat Jerman', dan aspek filsafat inilah yang ingin saya bahas di
sini.
Untuk memulainya, kita katakan bahwa basis Marxisme adalah materialisme. Maksudnya, Marxisme
dimulai dengan ide bahwa materi adalah esensi dari semua realitas, dan bahwa materi membentuk
akal, dan bukan sebaliknya.
Dengan kata lain, pikiran dan segala sesuatu yang dikatakan berasal dari pikiran – misalnya ide-ide
tentang seni, hukum, politik, moralitas, dan sebagainya – hal-hal ini pada kenyataannya berasal dari
dunia material. 'Akal', yaitu pikiran dan proses berpikir, adalah sebuah produk dari otak; dan otak itu
sendiri, yang berarti juga ide-ide, muncul pada suatu tahap tertentu dari perkembangan materi hidup.
Jadi, akal adalah produk dari dunia material.
Oleh karena itu, untuk memahami sifat sesungguhnya dari kesadaran dan masyarakat manusia,
sebagaimana diungkapkan oleh Marx sendiri, persoalannya adalah "bukan berangkat dari apa yang
dikatakan, dikhayalkan, atau dibayangkan oleh manusia… agar sampai pada yang namanya manusia
dengan bentuk seperti sekarang; melainkan berangkat dari manusia riil (nyata) dan aktif, dan
berdasarkan basis proses-kehidupan riil manusia yang menunjukkan perkembangan refleks-refleks
dan gaungan-gaungan ideologis dari proses kehidupan ini. Bayangan-bayangan yang terbentuk
dalam otak manusia adalah juga gambaran-gambaran dari proses-kehidupan material, yang secara
empiris dapat dibuktikan kebenarannya dan terikat pada premis-premis(dalil) material. Jadi, moralitas,
agama, metafisika, dan segala macam ideologi serta bentuk-bentuk kesadaran yang berhubungan
(serupa) dengan itu, tidaklah independent (bebas). Moralitas, agama, metafisika, dan segala macam
bentuk ideologi itu tidak memiliki sejarah, tidak memiliki perkembangan; tetapi manusia, yang
mengembangkan produksi material dan hubungan material mereka, mengubah – seiring dengan
eksistensi riil mereka – pemikiran dan produk-produk pemikiran mereka. Kehidupan tidak ditentukan
oleh kesadaran, tetapi kesadaran ditentukan oleh kehidupan. Dalam metode pendekatan pertama
(non materialis), titik mulanya adalah kesadaran yang dianggap sebagai individu hidup; dalam
metode pendekatan kedua (materialis), yang menyesuaikan diri (terhadap keadaanmaterial) adalah
individu-individu hidup riil itu sendiri, sedangkan kesadaran dianggap hanya sebagai kesadaran
mereka."(Ideologi Jerman, Bab Satu).
Karena itu, seorang materialis selalu berusaha mencari penjelasan bukan hanya tentang ide-ide,
melainkan juga tentang gejala-gejala material itu sendiri, dalam hal sebab-sebab material, dan bukan
campur tangan supranatural oleh Tuhan, Dewa, atau yang semacam itu. Dan ini adalah aspek yang
12. sangat penting dari Marxisme, yang secara tegas menolak metode-metode pemikiran dan logika yang
telah mapan dalam masyarakat kapitalis.
Perkembangan pemikiran ilmiah di negeri-negeri Eropa pada abad ke-17 dan 18 menunjukkan ciri-ciri
yang sangat kontradiktif (bertentangan), yang masih tetap khas (serupa) dengan pendekatan para
teoritisi borjuis masa kini. Di satu sisi, terdapat perkembangan ke arah metode materialis.
Para
ilmuwan mencari sebab-sebab. Mereka tidak semata-mata menerima gejala-gejala alam sebagai
keajaiban Tuhan, melainkan mencari penjelasan atas gejala-gejala itu. Namun seiring dengan itu,
para ilmuwan ini tidak memiliki pemahaman materialis yang konsisten dan menyeluruh; dan sering
kali, di balik penjelasan-penjelasan tentang gejala alam, ujung-ujungnya mereka masih mencari
kaitannya dengan campur tangan Tuhan dalam proses itu.
Pendekatan seperti itu berarti menerima, atau setidaknya membuka kemungkinan, bahwa dunia
material yang kita diami ini dibentuk oleh keuatan dari luar dunia, dan bahwa kesadaran atau ide-ide
muncul lebih dahulu, yaitu dalam hal bahwa kesadaran atau ide-ide bisa eksis (ada) secara
independent (tidak terikat) pada dunia riil. Pendekatan ini, yang merupakan lawan filosofis dari
materialisme, kita sebut 'idealisme'.
Menurut pendekatan idealis ini, perkembangan umat manusia dan masyarakat – baik seni, ilmu
pengetahuan, dll. – ditentukan bukan oleh proses material, melainkan oleh perkembangan ide-ide,
oleh penyempurnaan atau turun-temurunnya pemikiran manusia. Dan bukanlah kebetulan belaka
bahwa pendekatan umum ini, dinyatakan atau tidak, ternyata menyelubungi semua filsafat
kapitalisme.
Para
filsuf dan sejarawan borjuis secara umum menerima sistem yang ada sekarang secara apa adanya.
Mereka menerima bahwa kapitalisme adalah suatu sistem yang telah lengkap dan tuntas, yang tidak
bisa digantikandengan sebuah sistem yang baru dan lebih maju. Dan mereka berusaha untuk
menjelaskan semua sejarah masa lalu sebagai usaha dari umat manusia yang belum maju untuk
mencapai semacam 'masyarakat yang sempurna', yang mereka yakin bahwa kapitalisme telah
mencapainya atau bisa mencapainya.
Jadi, jika mempelajari karya dari beberapa ilmuwan atau pemikir besar borjuis di masa lalu atau
bahkan sekarang, kita dapat melihat betapa mereka cenderung untuk mencampur-adukkan ide-ide
materialis dan ide-ide idealis dalam pikiran mereka. Isaac Newton misalnya, yang telah meneliti
hukum-hukum mekanik, gerakan planet, dan benda-benda planet, tidak percaya bahwa proses-
proses ini ditentukan oleh akal atau pikiran. Namun apa yang dia percaya ialah bahwa tenaga
penggerak awal diberikan kepada semua materi, dan bahwa dorongan awal ini ditentukan oleh
semacam kekuatan supranatural, yaitu oleh Tuhan.
Hal yang serupa, adalah mungkin bagi banyak ahli biologi saat ini untuk menerima ide bahwa species
tumbuhan dan hewan berevolusi dari satu jenis menjadi jenis lainnya, dan bahwa manusia sendiri
adalah hasil perkembangan dari species terdahulu. Namun demikian, banyak di antara mereka yang
terpaku pada gagasan bahwa terdapat suatu perbedaan kualitatif antara akal manusia dengan akal
hewan, yaitu bahwa ada 'jiwa yang abadi' yang meninggalkan tubuh manusia setelah kematiannya.
Bahkan beberapa di antara ilmuwan yang paling termahsyur juga mencampuradukkan metode
materialis dengan ide-ide idealis seperti ini, yang – kalau kita bicara secara ilmiah – ini sungguh-
sungguh terbelakang, serta lebih dekat kepada magic dan takhayul daripada kepada ilmu
pengetahuan.
Karena itu, Marxisme mewakili pertentangan yang sistematis dan fundamental dengan idealisme
dalam segala bentuknya, dan perkembangan Marxisme mencerminkan suatu pemahaman materialis
tentang apa yang tengah terjadi dalam realitas (kenyataan).
DIALEKTIKA
13. Dialektika secara sederhana adalah logika gerak, atau logika pemahaman umum dari para aktivis
dalam gerakan.Kita semua tahu bahwa benda-benda tidaklah diam; dan benda-benda itu berubah.
Akan tetapi, ada suatu bentuk logika lain yang bertentangan dengan dialektika, yang kita sebut 'logika
formal', yang sekali lagi juga melekat dalam masyarakat kapitalis. Barangkali perlu untuk mulai
menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan metode ini.
Logika formal didasarkan pada apa yang dikenal sebagai 'hukum identitas', yang menyatakan bahwa
'A' sama dengan 'A' – yaitu bahwa benda-benda adalah seperti itu apa adanya, dan bahwa benda itu
berposisi pada hubungan yang tertentu (pasti) satu sama lain. Ada hukum-hukum turunan lain yang
didasarkan pada hukum identitas; yaitu misalnya, jika 'A' sama dengan 'A', maka 'A' tidak mungkin
sama dengan 'B' atau 'C'.
Secara sekilas, metode pemikiran ini nampak seperti pemahaman umum; dan pada kenyataannya,
logika formal telah menjadi alat yang sangat penting, sarana yang sangat penting dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan revolusi industri, yang membentuk masyarakat sekarang
ini. Perkembangan matematika dan aritmatika dasar, misalnya, adalah didasarkan pada logika formal.
Anda tidak bisa mengajarkan tabel perkalian atau penjumlahan kepada seorang anak tanpa
menggunakan logika formal. Satu ditambah satu sama dengan dua, bukan tiga. Hal yang sama,
metode logika formal juga merupakan basis bagi perkembangan ilmu mekanika, kimia, biologi, dll.
Sebagai contoh, pada abad ke-18 ahli biologi Skandinavia, Linnaeus, mengembangkan sebuah
sistem klasifikasi untuk semua tumbuhan dan hewan yang dikenal. Linnaeus membagi semua benda
hidup ke dalam kelas-kelas, ordO-ordo, dan keluarga; misalnya dalam ordo primata, keluarga
hominid, genus homo, dan mewakili species homo sapiens.
Sistem klasifikasi merupakan sebuah langkah maju besar dalam biologi. Untuk pertama kalinya,
sistem ini memungkinkan dilakukannya studi mengenai tumbuhan dan hewan yang betul-betul
sistematis, untuk membandingkan dan membedakan species hewan dan tumbuhan. Tetapi sistem ini
didasarkan pada logika formal. Sistem ini didasarkan pada pernyataan bahwa homo sapiens sama
dengan homo sapiens; bahwa musca domestica (lalat) sama dengan musca domestica; bahwa
cacing tanah sama dengan cacing tanah; dst. Dengan kata lain, sistem klasifikasi ini adalah sistem
yang kaku dan pasti. Menurut sistem ini, tidak mungkin suatu species sama dengan species lain.
Atau, jika bisa sama, berarti sistem klasifikasi ini akan gugur.
Hal yang sama diterapkan dalam bidang kimia, dimana teori atom Dalton merupakan langkah maju
yang sangat besar. Teori Dalton didasarkan pada ide bahwa materi tersusun atas atom-atom, dan
bahwa masing-masing tipe atom sama sekali khusus dan khas untuk tipe itu sendiri – bahwa bentuk
dan berat suatu atom adalah khusus untuk unsur tertentu itu, dan tidak sama dengan yang lain.
Setelah Dalton, juga ada sebuah sistem klasifikasi unsur-unsur yang hampir sama kaku-nya dengan
sistem Dalton, yang kembali didasarkan pada logika formal yang kaku, yang mengatakan bahwa
sebuah atom hidrogen adalah sebuah atom hidrogen; sebuah atom karbon adalah sebuah atom
karbon; dsb. Dan jika sebuah atom bisa menjadi atom lainnya, maka keseluruhan sistem klasifikasi
ini, yang telah membentuk basis bagi ilmu kimia modern, akan gugur.
Kini penting bagi kita untuk melihat bahwa terdapat keterbatasan-keterbatasan dalam metode logika
formal. Logika formal adalah metode sehari-hari yang sangat bermanfaat, dan memungkinkan kita
untuk mempunyai perhitungan-perhitungan dalam mengidentifikasi benda-benda. Misalnya, sistem
klasifikasi Linnaean masih berguna bagi ahli-ahli biologi; tetapi, terutama sejak munculnya karya
Charles Darwin, kita juga jadi bisa melihat kelemahan-kelemahan dalam sistem klasifikasi itu.
Sebagai contoh, Darwin menunjukkan bahwa dalam sistem Linnaean, tipe-tipe tumbuhan diberi
nama-nama tersendiri sebagai species khusus, namun sebenarnya tipe-tipe tumbuhan itu sangat
mirip satu sama lain.
Jadi, bahkan di masa Darwin, sudah mungkin untuk melihat sistem klasifikasi Linnaean, dan
mengatakan, 'Oh, ternyata ada yang salah'. Dan tentu saja, karya Darwin sendiri memberikan basis
14. yang sistematis untuk teori evolusi, yang untuk pertama kalinya mengatakan adalah mungkin bagi
satu species untuk berubah (bertransformasi) menjadi species lainnya. Dan ini menunjukkan adanya
lobang besar dalam sistem Linnaean. Sebelum Darwin, orang menganggap bahwa jumlah species di
planet ini tepat sama dengan jumlah species yang diciptakan oleh Tuhan dalam masa enam hari
proses penciptaan – kecuali, tentu saja, species-species yang musnah akibat Banjir Besar – dan
bahwa species-species itu tetap tidak berubah selama berjuta-juta tahun. Namun Darwin
menghasilkan ide perubahan species, sehingga tidak bisa dihindari lagi, metode klasifikasi juga harus
diubah.
Apa yang berlaku di bidang biologi juga berlaku di bidang kimia. Di akhir abad ke-19, para pakar
kimia menjadi sadar bahwa adalah mungkin bagi satu unsur atom untuk berubah menjadi unsur
lainnya. Dengan kata lain, atom tidaklah mutlak bersifat khusus dan tertentu saja pada unsurnya
sendiri. Kini kita mengetahui bahwa banyak atom, banyak unsur kimia yang tidak stabil. Sebagai
contoh, uranium dan atom-atom radioaktif lainnya akan pecah dalam proses perjalanan waktu, dan
menghasilkan atom-atom yang sama sekali berbeda, dan dengan kandungan serta berat kimia yang
berbeda pula.
Jadi, kita bisa melihat bahwa metode logika formal mulai gugur dengan adanya perkembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Akan tetapi, metode dialektika-lah yang menyebabkan bisa ditariknya
kesimpulan-kesimpulan dari penemuan-penemuan faktual ini, dan menunjukkan bahwa tidak ada
kategori yang mutlak atau pasti, baik di alam ataupun di masyarakat. Sementara seorang yang
mengatakan logika formal mengatakan 'A' sama dengan 'A', maka seorang yang dialektis akan
mengatakan bahwa 'A' belum tentu sama dengan 'A'. Atau ambillah contoh praktis yang digunakan
Trotsky dalam tulisan-tulisannya tentang hal ini: satu ons gula pasir tidak akan tepat sama dengan
satu ons gula pasir lainnya. Adalah hal yang baik jika Anda menggunakan patokan takaran seperti itu
untuk membeli gula pasir di toko, tetapi jika Anda lihat secara teliti, akan kelihatan bahwa takaran itu
tidak tepat sama.
Jadi, kita perlu memiliki suatu bentuk pemahaman, suatu bentuk logika, yang menjelaskan kenyataan
bahwa benda-benda, kehidupan, dan masyarakat, berada dalam keadaan pergerakan dan perubahan
yang konstan. Dan bentuk logika itu, tentu saja adalah: dialektika.
Akan tetapi, di sisi lain, adalah salah jika kita berpikir bahwa, dialektika menyatakan bahwa proses di
alam semesta adalah setara (genap) dan perlahan (gradual). Hukum-hukum dialektika – dan perlu
dicatat: konsep-konsep ini kedengaran lebih rumit daripada kenyataan sesungguhnya – hukum-
hukum dialektika menjelaskan cara dimana proses-proses perubahan dalam realitas terjadi.
Diposkan oleh Aprio Rabadi di 00.19 Tidak ada komentar:
MDH (1)
Matrealisme
JIKA kita membahas metode Marxisme, maka kita sedang bergelut dengan ide-ide yang memberikan
basis bagi aktivitas-aktivitas kita dalam gerakan buruh, argumen-argumen yang kita kemukakan
ketika kita mengikuti berbagai diskusi, dan artikel-artikel yang kita tulis.
Telah secara umum diterima bahwa Marxisme mengambil bentuknya dari tiga akar pokok. Salah satu
dari akar itu ialah analisis Marx tentang politik Prancis, khususnya revolusi borjuis di Prancis tahun
1790an, dan perjuangan-perjuangan kelas berikutnya selama awal abad ke-19. Akar lain dari
Marxisme adalah apa yang disebut 'ekonomi Inggris', yaitu analisis Marx tentang sistem kapitalis
seperti yang berkembang di Inggris. Akar ketiga dari Marxisme, yang menurut sejarahnya merupakan
titik permulaan Marxisme, adalah 'filsafat Jerman', dan aspek filsafat inilah yang ingin saya bahas di
sini.
15. Untuk memulainya, kita katakan bahwa basis Marxisme adalah materialisme. Maksudnya, Marxisme
dimulai dengan ide bahwa materi adalah esensi dari semua realitas, dan bahwa materi membentuk
akal, dan bukan sebaliknya.
Dengan kata lain, pikiran dan segala sesuatu yang dikatakan berasal dari pikiran – misalnya ide-ide
tentang seni, hukum, politik, moralitas, dan sebagainya – hal-hal ini pada kenyataannya berasal dari
dunia material. 'Akal', yaitu pikiran dan proses berpikir, adalah sebuah produk dari otak; dan otak itu
sendiri, yang berarti juga ide-ide, muncul pada suatu tahap tertentu dari perkembangan materi hidup.
Jadi, akal adalah produk dari dunia material.
Oleh karena itu, untuk memahami sifat sesungguhnya dari kesadaran dan masyarakat manusia,
sebagaimana diungkapkan oleh Marx sendiri, persoalannya adalah "bukan berangkat dari apa yang
dikatakan, dikhayalkan, atau dibayangkan oleh manusia… agar sampai pada yang namanya manusia
dengan bentuk seperti sekarang; melainkan berangkat dari manusia riil (nyata) dan aktif, dan
berdasarkan basis proses-kehidupan riil manusia yang menunjukkan perkembangan refleks-refleks
dan gaungan-gaungan ideologis dari proses kehidupan ini. Bayangan-bayangan yang terbentuk
dalam otak manusia adalah juga gambaran-gambaran dari proses-kehidupan material, yang secara
empiris dapat dibuktikan kebenarannya dan terikat pada premis-premis(dalil) material. Jadi, moralitas,
agama, metafisika, dan segala macam ideologi serta bentuk-bentuk kesadaran yang berhubungan
(serupa) dengan itu, tidaklah independent (bebas). Moralitas, agama, metafisika, dan segala macam
bentuk ideologi itu tidak memiliki sejarah, tidak memiliki perkembangan; tetapi manusia, yang
mengembangkan produksi material dan hubungan material mereka, mengubah – seiring dengan
eksistensi riil mereka – pemikiran dan produk-produk pemikiran mereka. Kehidupan tidak ditentukan
oleh kesadaran, tetapi kesadaran ditentukan oleh kehidupan. Dalam metode pendekatan pertama
(non materialis), titik mulanya adalah kesadaran yang dianggap sebagai individu hidup; dalam
metode pendekatan kedua (materialis), yang menyesuaikan diri (terhadap keadaanmaterial) adalah
individu-individu hidup riil itu sendiri, sedangkan kesadaran dianggap hanya sebagai kesadaran
mereka."(Ideologi Jerman, Bab Satu).
Karena itu, seorang materialis selalu berusaha mencari penjelasan bukan hanya tentang ide-ide,
melainkan juga tentang gejala-gejala material itu sendiri, dalam hal sebab-sebab material, dan bukan
campur tangan supranatural oleh Tuhan, Dewa, atau yang semacam itu. Dan ini adalah aspek yang
sangat penting dari Marxisme, yang secara tegas menolak metode-metode pemikiran dan logika yang
telah mapan dalam masyarakat kapitalis.
Perkembangan pemikiran ilmiah di negeri-negeri Eropa pada abad ke-17 dan 18 menunjukkan ciri-ciri
yang sangat kontradiktif (bertentangan), yang masih tetap khas (serupa) dengan pendekatan para
teoritisi borjuis masa kini. Di satu sisi, terdapat perkembangan ke arah metode materialis.
Para
ilmuwan mencari sebab-sebab. Mereka tidak semata-mata menerima gejala-gejala alam sebagai
keajaiban Tuhan, melainkan mencari penjelasan atas gejala-gejala itu. Namun seiring dengan itu,
para ilmuwan ini tidak memiliki pemahaman materialis yang konsisten dan menyeluruh; dan sering
kali, di balik penjelasan-penjelasan tentang gejala alam, ujung-ujungnya mereka masih mencari
kaitannya dengan campur tangan Tuhan dalam proses itu.
Pendekatan seperti itu berarti menerima, atau setidaknya membuka kemungkinan, bahwa dunia
material yang kita diami ini dibentuk oleh keuatan dari luar dunia, dan bahwa kesadaran atau ide-ide
muncul lebih dahulu, yaitu dalam hal bahwa kesadaran atau ide-ide bisa eksis (ada) secara
independent (tidak terikat) pada dunia riil. Pendekatan ini, yang merupakan lawan filosofis dari
materialisme, kita sebut 'idealisme'.
Menurut pendekatan idealis ini, perkembangan umat manusia dan masyarakat – baik seni, ilmu
pengetahuan, dll. – ditentukan bukan oleh proses material, melainkan oleh perkembangan ide-ide,
16. oleh penyempurnaan atau turun-temurunnya pemikiran manusia. Dan bukanlah kebetulan belaka
bahwa pendekatan umum ini, dinyatakan atau tidak, ternyata menyelubungi semua filsafat
kapitalisme.
Para
filsuf dan sejarawan borjuis secara umum menerima sistem yang ada sekarang secara apa adanya.
Mereka menerima bahwa kapitalisme adalah suatu sistem yang telah lengkap dan tuntas, yang tidak
bisa digantikandengan sebuah sistem yang baru dan lebih maju. Dan mereka berusaha untuk
menjelaskan semua sejarah masa lalu sebagai usaha dari umat manusia yang belum maju untuk
mencapai semacam 'masyarakat yang sempurna', yang mereka yakin bahwa kapitalisme telah
mencapainya atau bisa mencapainya.
Jadi, jika mempelajari karya dari beberapa ilmuwan atau pemikir besar borjuis di masa lalu atau
bahkan sekarang, kita dapat melihat betapa mereka cenderung untuk mencampur-adukkan ide-ide
materialis dan ide-ide idealis dalam pikiran mereka. Isaac Newton misalnya, yang telah meneliti
hukum-hukum mekanik, gerakan planet, dan benda-benda planet, tidak percaya bahwa proses-
proses ini ditentukan oleh akal atau pikiran. Namun apa yang dia percaya ialah bahwa tenaga
penggerak awal diberikan kepada semua materi, dan bahwa dorongan awal ini ditentukan oleh
semacam kekuatan supranatural, yaitu oleh Tuhan.
Hal yang serupa, adalah mungkin bagi banyak ahli biologi saat ini untuk menerima ide bahwa species
tumbuhan dan hewan berevolusi dari satu jenis menjadi jenis lainnya, dan bahwa manusia sendiri
adalah hasil perkembangan dari species terdahulu. Namun demikian, banyak di antara mereka yang
terpaku pada gagasan bahwa terdapat suatu perbedaan kualitatif antara akal manusia dengan akal
hewan, yaitu bahwa ada 'jiwa yang abadi' yang meninggalkan tubuh manusia setelah kematiannya.
Bahkan beberapa di antara ilmuwan yang paling termahsyur juga mencampuradukkan metode
materialis dengan ide-ide idealis seperti ini, yang – kalau kita bicara secara ilmiah – ini sungguh-
sungguh terbelakang, serta lebih dekat kepada magic dan takhayul daripada kepada ilmu
pengetahuan.
Karena itu, Marxisme mewakili pertentangan yang sistematis dan fundamental dengan idealisme
dalam segala bentuknya, dan perkembangan Marxisme mencerminkan suatu pemahaman materialis
tentang apa yang tengah terjadi dalam realitas (kenyataan).
Diposkan oleh Aprio Rabadi di 00.12 Tidak ada komentar:
Minggu, 15 Juni 2008
PETA PEMIKIRAN HEGEL (4)
Negara
Negara merupakan tema sentral dalam pembahasan tentang kehidupan dalam masyarakat politik.
Sebagai seorang filosof, Hegel kemudian merumuskan bentuk negara ideal baginya, pandangannya
tentang negara tersebut dapat dilihat pada dua karyanya yaitu The Philosopy of History dan The
Philosopy of Law. Tentu saja pandangannya tentang negara tidak lepas dari sistem filsafat yang
dibangunnya.
Hegel menunjukkan bahwa hakekat manusia dimasukkan dan diwujudkan dalam kehidupan negara-
bangsa. Menurutnya, negara-bangsa merupakan totalitas organik (kesatuan organik) yang mencakup
pemerintahan dan institusi lain yang ada dalam negara termasuk keseluruhan budayanya. Hegel juga
menyatakan bahwa totalitas dari budaya bangsa dan pemerintahannya merupakan individu sejati.
17. “Individu sejarah dunia adalah negara-bangsa”, maksudnya negara merupakan individu dalam
sejarah dunia.
Negara merupakan manifestasi dari ide universal. Sedangkan individu (orang per orang)
merupakan penjelmaan dari ide partikular yang tidak utuh, dan merupakan bentuk kepentingan
yang sempit. Negara memperjuangkan kepentingan yang lebih besar,
memperjuangkan/merealisasikan ide besar. keinginan negara merupakan keinginan umum untuk
kebaikan semua orang, karenanya negara harus dipatuhi dan negara dapat memaksakan
keinginannya pada warganya. Negara adalah “penjelmaan dari kemerdekaan rasional, yang
menyatakan dirinya dalam bentuk objektif”.
Karena itulah negara yang dibentuk Hegel adalah absolut. Negara baginya bukan apa yang di
gambarkan John Lock atau teoritisi-teoritisi kontrak sosial yang dibentuk dari kesepakatan bersama
dari rakyatnya, Hegal berpendapat sebaliknya ,negaralah yang membentuk rakyatnya. Hegel
memang mensakralkan negara sampai ia menganggap bahwa sepak terjang negara di dunia ini
sebagai “derap langkah Tuhan di bumi” The State is devine idea as it exists on earth. (Ahad Suhelmi:
256-259)
Dalam perspektif ini individu tidaklah dimungkinkan untuk menjadi oposisi negara sebab ia
membawa kepentingan parsial. Negara adalah sumber budaya, kehidupan institusional dan
moralitas. Hegel menyatakan dalam Reason of History: segala yang ada pada manusia, dia menyewa
pada negara, hanya dalam negara dia mendapatkan jati dirinya. Maka tidak seorang pun bisa
melangkah di belakang negara, dia mungkin bisa memisahkan diri dari individu lain namun tidak dari
jiwa manusia.
Lalu dimanakah existensi individu ketika ia tidak lagi memiliki kekuasaan dan kebebasan?
Hegel menjawabnya dengan membedakan kebebasan formal dan kebebasan substansial. Berikut ini
penjelasanya
1. Kebebasan formal merupakan kebebasan yang diasumsikan oleh kaum atomis di
masa pencerahan, dimana individu terisolasi, kebebasan ini diraih dari sifat
alamiah seperti: kehidupan, kebebasan dan properti (hak milik), kebebasan ini
bersifat abstrak dan negatif. Bagi Hegel, inilah kebebasan dari penguasa yang
menindas.
2. Kebebasan substansial adalah merupakan kebebasan ideal bagi Hegel, hal ini cita-
cita moral masyarakat yang berasal dari kehidupan spiritual masyarakat
tertentu. Kebebasan ini hanya dapat diraih dari negara, di sinilah cita-cita etika
dan jiwa fundamental orang-orang dalam hukum-hukum dan institusi-
institusinya dapat dicapai.
Dalam pandangan Hegel, jika kita membenci budaya kita dan tidak sependapat dengan cita cita dan
institusi masyarakat kita maka kita berada dalam keterasingan. Keterasingan merupakan terdiri dari
banyak komponen yaitu: perasaan menjadi asing diri, terputus dari perasaan sendiri ataupun
identitasnya sendiri; perasaan tidak memiliki norma; tidak memiliki arti; lemah dan lain
lain.Keterasingan yang dipahami Hegel merupakan kegagalan kehendak individu untuk beradaptasi
dengan yang lebih besar yaitu kemauan masyarakat. Keterasingan merupakan kondisi dimana
seseorang tidak bisa mengidentifikasikan diri dengan moralitas publik dan institusi masyarakat
Diposkan oleh Aprio Rabadi di 16.39 Tidak ada komentar:
18. PETA PEMIKIRAN HEGEL (3)
FILSAFAT SEJARAH
Setelah Hegel menyatakan bahwa yang sejati adalah rasional dan kemudian menerangkan tentang
dialektika yang membawa ruh kepada titik absolut, maka kita kemudian akan di bawa pada
pemahaman hakekat sejarah. Sejarah bagi Hegel dapat dipahami sebagai proses dialektika ruh.
Filsafat sejarah Hegel merupakan perwujudan atau pengejewantahan dari ide universal menuju pada
absolutisme dengan menjelaskan semua yang terjadi sebagai proses.
Bagi Hegel, sejarah berlaku pada kelompok bukan dalam individu. Searah berkaitan dengan jiwa
manusia dan seluruh budayanya bukan dengan Ilmu dan tekhnologi seperti yang di jelaskan oleh
para pemikir pencerahan. Hegel mengangap sejarah tidakah bergerak secara lurus terhadap
kemajuan, namun ia bergerak secara dialektis melalui jalan melingkar.
Dalam The Philosophy of History Hegel mengatakan bahwa Esensi dari ruh adalah kebebasan , maka
kebebasan adalah tujuan dari sejarah. Sejarah baginya merupakan gerak kearah rasionalitas dan
kebebasan yang semakin besar. Hegel kemudian merumuskan perkembangan historis ruh, yang
terbagi dalam tiga tahap : Pertama, Timur.Kedua, Yunani dan Romawi dan Ketiga, Jerman. Pada fase
pertama kita akan temui bahwa yang bebas hanyalah satu orang, seperti yang kita lihat dalam
monarki Cina dan Timur Tengah , lalu sejarah bergerak pada masa Yunani Kuno dan Romawi dimana
yang bebas menjadi beberapa orang sebab masih ada pembedaan antara tuan dan budak maka
bentuk yang sempurna adalah Jerman dimana yang bebas adalah semuanya Pemikiran Hegel
mengarahkan kita pada pemahaman bahwa sejarah merupakan pergerakan penuh tujuan atas cita-
cita Tuhan untuk kemanusiaan. Hegel pun memahami bahwa sejarah memang merupakan meja
pembantaian dimana kesengsaraan, kematian , ketidakadilan dan kejahatan menjadi bagian dari
panggung dunia. Namun Filsafat sejarah merupakan teodisi atau usaha untuk membenarkan tuhan
dan mensucikan tuhan data tuduhan bahwa tuhan membiarkan kejahatan berkuasa di dunia. Dia
menunjukkan anggapan yang salah tentang sejarah di sebabkan karena merekan hanya melihat
permukaanya saja, tetapi mereka tidak melihat aspek Laten serta potensial dalam sejarah yaitu jiwa
absolut dan esensi jiwa yaitu kebebasan .
Diposkan oleh Aprio Rabadi di 16.38 Tidak ada komentar:
PETA PEMIKIRAN HEGEL (2)
DIALEKTIKA
Dialektika merupakan metode yang dipakai Hegel dalam memahami realitas sebagai perjalanan ide
menuju pada kesempurnaan. Menelusuri meteri baginya adalah kesia-siaan sebab materi hanyalan
manifestasi dari perjalanan ide tersebut. Dengan dialektika, memahami ide sebagai realitas menjadi
dimungkinkan.
Dialektika dapat dipahami sebagai “The Theory of the
Union
of opposites” (teori tentang persatuan hal-hal yang bertentangan). Terdapat tiga unsur atau konsep
dalam memahami dialektika yaitu pertama, tesis, kedua sebagai lawan dari yang pertama disebut
dengan antitesis. Dari pertarungan dua unsur ini lalu muncul unsur ketiga yang memperdamaikan
keduanya yang disebut dengansinthesis. Dengan demikian, dialektika dapat juga disebutsebagai
19. proses berfikir secara totalitas yaitu setiap unsur saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling
berkontradiksi (melawan dan dilawan), serta saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai).
Untuk memahami proses triadic itu (thesis, Antitesis, dan sithesis), Hegel menggunakan kata
dalam bahsa Jerman yaitu aufheben Kata ini memiliki makna “menyangkal”, “menyimpan” dan
“mengangkat”. Jadi dialektika bagi Hegel bukanlah penyelesaian kontradiksi dengan meniadakan
salah satunya tetapi lebihdari itu. Proposi atau tesis dan lawannya antitesis memiliki kebenaran
masing-masing yang kemudian diangkat menjadi kebenaran yang lebih tinggi. Tj. Lavine
menerangkan proses ini sebagai berikut:
1. menunda klonflik antara tesis dan antitesis.
2. Menyimpan elemen kebenaran dari tesis dan antitesis.
3. Memgungguli perlawanan dan meninggikan konflik hingga mencapai kebenaran yang lebih
tinggi.
Hagel memberikan contoh sebagai berikut “yang mutlak adalah yang berada murni (pure
being)” yang tidak memiliki kualitas apapun. Namun yang berada murni tanpa kualitas apapun
adalah “yang tiada (nothing)” ini merupakan regasi dari proposi atau tesis, oleh sebab itu kita
terarah pada antitesis “yang mutlak adalah yang tiada”. Penyatuan antara tesis dan antitsis tersebut
menjadi sinthesis yaitu apa yang disebut menjadi (becoming) maka “yang mutlak adalah yang
menjadi”, sinthesis inilah kebenaran yang lebih tinggi.
Dialektika Hegel merupakan alternatif tradisional yang mengasumsikan bahwa proposi
haruslah terdiri dari subjek dan predikat. Logika seperti ini bagi Hegel tidaklah memadai. Berikut
contoh yang bisa sedikit menerangkan tentang hal tersebut, dalam logika tradisional terdapat
proposi sebagai berikut Heru adalah seorang paman”, kata paman disini merupakan predikat yang
dinyatakan begitu saja benar (benar dengan sendirinya), Heru tidak perlu mengetahui
keberadaannya sebagai paman, maka dalam hal ini logika tradisional mengandung cacat. Hegel
menggantinya dengan dialektika untuk menuju pada kebenaran mutlak, paman bagi Hegel tidaklah
benar dengan sendirinya, sebab eksistensinya sebagai paman juga membutuhkan eksistensi orang
lain sebagai keponakan. Dari perseteruan antara paman sebagai tesis dan keponakan sebagai antitsis
maka tidaklah memungkinkan kebenaran parsial atau individual, kesimpulannya adalah kebenaran
terdiri dari paman dan keponakan. Jika dialektika ini diteruskan akan mencap[ai kebenaran absolut
yang mencakup keseluruhan.
Tidak ada kebenaran absolut tanpa melalui keseluruhan dialektika. Setiap tahap yang
belakangan mengandung semua tahap terdahulu. Sebagaimana larutan, tak satupun darinya yang
secara keseluruhan digantikan, tetapi diberi tempat sebagai suatu unsur pokok di dalam
keseluruhan.
June 02, 2008 in filsafat | Permalink
Diposkan oleh Aprio Rabadi di 16.36 Tidak ada komentar:
PETA PEMIKIRAN HEGEL (1)
METAFISIKA DAN RUH ABSOLUT
Filsafat Hegel sering disebut sebagai puncak idealisme Jerman. Filsafatnya banyak
diinspirasikan oleh Imanuel Kant dengan filsafat ilmunya ( filsafat dualisme), Kant melakukan
pengkajian terhadap kebuntuan perseteruan antara Empirisme dan Rasionalisme, keduanya bagi
20. Kant terlalu ekstrem dalam mengklaim sumber pengetahuan. “Revolusi Kantian” kemudian berhasil
menemukan jalan keluarnya.
Hegel yang pada awalnya sangat terpengaruh oleh filsafat Kant tersebut kemudian menemukan jalan
keluarnya melalui kontemplasi yang terus menerus. Ketertarikan Hegel sejak awal pada metafisika,
meyakinkannya bahwa ada ketidak jelasan bagian dunia, bagi Bertrand Russell pemikirannya
kemudian merupakan Intelektualisasi dari wawasan metafisika
Pada dasarnya filsafat Hegel mematahkan anggapan kaum empiris seperti John Lock, Barkeley dan
David Hame. Mereka ( kaum empiris ) mengambil sikap tegas pada metafisika, bagi Lock metafisika
tidak mampu menjelaskan basis fundamental filsafat atau Epistimologi ( bagaimana realitas itu dapat
diketahui ) dan tidak dapat mencapai realitas total, pendapat ini diteruskan kembali oleh David
Hume bahwa metafisika tidaklah berharga sebagai ilmu dan bahkan tidak mempunyai arti., baginya
metafisika hanya merupakan ilusi yang ada diluar batas pengertian manusia.
Dengan metafisika kemudian Hegel mencoba membangun suatu sistem pemikiran yang mencakup
segalanya baik Ilmu Pengetahuan, Budaya, Agama, Konsep Kenegaraan, Etika, Sastra, dll. Hegel
meletakkan ide atau ruh atau jiwa sebagai realitas utama, dengan ini ia akan menyibak kebenaran
absolut dengan menembus batasan-batasan individual atau parsial. Kemandirian benda-benda yang
terbatas bagi Hegel dipandang sebagai ilusi, tidak ada yang benar nyata kecuali keseluruhan (The
Whole).
Hegel memandang Realitas bukanlah suatu yang sederhana, melainkan suatu sistem yang rumit. Ia
membangun filsafat melalui metafora pertumbuhan biologis dan perubahan perkembangan atau
bisa disebut dengan organisme. Pengaruh konsep organisme pada diri Hegel, membuatnya
memandang bahwa organisme merupakan model untuk memahami kepribadian manusia,
masyarakat, institusi, filsafat dan sejarah. Dalam hal ini organisme dipandang sebagai suatu hirarki,
kesatuan yang saling membutuhkan dan masing-masing bagian memiliki peran dalam
mempertahankan suatu keseluruhan.
Segala sesuatu yang nyata adalah rasional dan segala sesuatu yang rasional adalah nyata (all that is
real is rational and all that is rational is real) adalah merupakan dalil yang menegaskan bahwa
luasnya ide sama dengannya luasnya realitas. Dalil ini berbeda dengan yang dinyatakan oleh keum
empiris tentang realitas, “yang nyata” bagi kaum empiris secara tegas ditolak oleh Hegel, sebab
baginya itu tidaklah rasional, hal tersebut terlihat rasional karena merupakan bagian dari aspek
keseluruhan.
Hegel meneruskan bahwa keseluruhan itu bersifat mutlak dan yang mutlak itu bersifat spiritual yang
lambat laun menjadi sadar akan dirinya sendiri. Jadi realitas pada kesendiriannya bukanlah hal yang
benar-benar nyata, tetapi yang nyata pada dirinya adalah partisipasinya pada keseluruhan.
Dalam bukunya Phenomenologi of Mind (1807), Hegel menggambarkan tentang “yang mutlak”
sebagai bentuk yang paling sempurna dari ide yang selanjutnya menjadi ide absolut. Ide absolut
menurut Bertrand Russell adalah pemikiran murni, artinya adalah bahwa ide absolut merupakan
kesempurnaan fikiran atau jiwa yang hanya dapat memikirkan dirinya sendiri. Pikirannya dipantulkan
kedalam dirinya sendiri melalui kesadaran diri.
21. HTTP://FRENNDW.WORDPRESS.COM/2010/10/30/MEMBANGUN-
KERANGKA-TEORITIS/
MEMBANGUN KERANGKA TEORITIS
OCTOBER 30, 2010 BY DEVANIA ANNESYA
Devania Anesya/ 070810535
erangka teoritis merupakan satu komponen penting dalam penelitian kuantitatif. Apa yang
disebut dengan kerangka teoritis adalah penjelasan teoritis atas maslah empiris dalam
rumusan masalah penelitian. Tentunya teori yang digunakan untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan tentang mengapa dan bagaimana suatu masalah harus relevan dengan konteks dan
isi.
Dalam paradigma kuantitatif atau positivis, penelitian membutuhkan teori yang cukup sebab
prosedur penyelidikan (pengumpulan data) dan pemecahan masalah bergantung pada
pernyataan teori dan metodologi. Teori adalah suatu set proposisi yang menyatakan secara
logis saling hubungan antara dua atau lebih konsep (variabel) untuk tujuan menjelaskan suatu
fenomena atau hubungan antara satu fenomena tertentu untuk menjelaskan atau bahkan
memprediksi gejala-gejala tersebut (Kerlinger, 1994).
Karakteristik teori menurut Creswell (1994) adalah : pertama, berisi konsep atau konstruk
dan variabel ; kedua, dinyatakan dalam satu bentuk pernyataan hubungan yang secara umum
dikenal sebagai proposisi ; ketiga, secara sistematis menunjukkan pola, sifat, arah, dan bentuk
hubungan antarkonsep atau variabel ; dan keempat, bertujuan menjelaskan dan memprediksi
suatu fenomena sosial tertentu. Oleh karenanya dapat disimpulkan peran teori adalah
memberi kerangka pemikiran bagi pelaksanaan penelitian, membantu peneliti dalam
mengkonstruksi hipotesis penelitian, dapat dipergunakan sebagai dasar atau landasan dalam
menjelaskan dan memaknai data atau fakta yang telah dikumpulkan, dan dalam hubungannya
dengan perumusan masalah penelitian, teori akan membantu mendudukkan permasalahan
penelitian secara nalar dan runtut. Teori juga dapat membantu mengkonstruksi ide-ide yang
diperoleh dari hasil penelitian, sehingga konsep dan wawasannya menjadi lebih mendalam
dan bermakna. Dalam hubungannya dengan proses penyusunan desain penelitian, teori
memberikan acuan dan menunjukkan jalan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah
dilakukan para ahli melalui teori yang telah digeneralisasikan secara baik. Dalam
hubungannya dengan penyusunan instrumen penelitian, terutama yang menggunakan
validitas konstruk (construct validity) dan validitas isi (content validity), teori akan
memberikan dasar-dasar konseptual dalam menyusun definisi operasional. Dari definisi
22. operasional tersebut akan melahirkan indikator-indikator, dan dari indikator-indikator
tersebut akan menghasilkan deskriptor-deskriptor, sampai pada akhirnya menghasilkan butir-
butir pertanyaan atau pernyataan yang dipakai sebagai alat pengumpul data. Teori akan dapat
membantu untuk mendudukkan secara tepat dan rasional mengenai fungsi-fungsi dalam
melakukan sintesis dan mengintegrasikan gagasannya.
Teori yang ditulis oleh peneliti untuk menjelaskan gejala atau hubungan antara gejala yang
menadi perhatian dinamakan kerangka teoritis atau kerangka pemikiran teoritis (Hussey dan
Hussey, 1997), perspektif teoritis (Creswell, 1994), review teoritis, rasional teoritis. Hussey
dan Hussey, 1997).
Theoritical framework (kerangka teoritis) secara umum mendiskusikan hubungan
antarvariabel-variabel secara teori – berdasarkan teori yang berlaku, riset sebelumnya, dan
hal-hal logis lainnya – sehingga membantu peneliti didalam menyusun hipotesis dan
pengujian yang dilakukan.
Untuk riset yang bersifat pengujian (konfirmasi) teori, teori digunakan untuk membangun
hipotesis. Untuk kasus ini hipotesis dibangun berdasarkan teori penjelasan logis dan hasil-
hasil riset sebelumnya dan akan diuji dengan fakta yang ada. Sementara apa yang disebut
fakta menurut Kinney (1986) adalah keadaan atau kejadian-kejadian yang dapat diamati di
dunia nyata (fenonema). Sebaliknya untuk riset yang akan membangun teori, hipotesis yang
sudah diuji dan terbukti – dan konsisten dari waktu ke waktu maupun dari pengujian ke
pengujian hipotesis menjadi teori yang baru – teori ini akan tetap bertahan sampai teori yang
lain menggesernya. Pada dasarnya melalui tahap theoritical framework (kerangka teoritis),
hipotesis dikembangkan untuk menguji apakah teori yang diformulasi valid atau tidak. Oleh
karena proses ini berhubungan dengan pengujian variabel yang ada dalam penelitian (Teori
→ Konsep → Dimensi → Variabel → Indikator).
Variabel independen dinamakan pula dengan variabel yang diduga sebagai sebab (presumed
couse variabel) dari variabel dependen, yaitu variabel yang diduga sebagai akibat (presumed
effect variabel). Variabel independen juga dapat disebut sebagai variabel yang mendahului
(antecendent variable) dan variabel dependen sebagai variabel konsekuensi (consequent
variable).
Variabel dependen adalah tipe variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel
independen. Kedua tipe variabel ini merupakan kategori variabel penelitian yang paling
sering digunakan dalam penelitian karena mempunyai kemampuan aplikasi yang luas.
Penjelasan dan prediksi fenomena secara sistematis digambarkan dalam variabilitas variabel-
variabel dependen yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel-variabel independen.
23. Hubungan langsung antara variabel-variabel independen dengan variabel-variabel dependen
kemungkinan dipengaruhi oleh variabel-variabel lain. Salah satu diantaranya adalah variabel
moderating, yaitu tipe variabelvariabel yang memperkuat atau memperlemah hubungan
langsung antara variabel independen dengan variabel dependen. Variabel moderating
merupakan tipe variabel yang mempunyai pengaruh terhadap sifat atau arah hubungan antar
variabel. Sifat atau arah hubungan antara variabel-variabel independen dengan variabel-
variabel dependen kemungkinan positif atau negatif dalam hal ini tergantung pada variabel
moderating. Oleh karena itu, variabel moderating dinamakan pula dengan
variabelcontingency.
Sementara itu variabel intervening adalah tipe variabel-variabel yang mempengaruhi
hubungan antara variabel-variabel independen dengan variabel-variabel dependen menjadi
hubungan yang tidak langsung. Variabel intervening merupakan variabel yang terletak
diantara variabel-variabel dengan variabel-variabel dependen, sehingga variabel independen
tidak langsung menjelaskan atau mempengaruhi variabel dependen. Varibel laten adalah
variabel yang tidak dapat diukur langsung, tetapi melalui suatu dimensi atau indikator dari
masing-masing variabel.
Contoh dari kerangka teoritik yang menunjukkan mengenai model konseptual bagaimna satu
teori berhubungan dengan berbagai faktor faktor yang telah diidentifikasi penting terhadap
masalah penelitian misalnya:
Tingkat liberalisme ekonomi (sebagai variabel anteseden) → proporsi kelas menengah (v.
independen) → Intensitas tuntutan demokrasi (v.intervening) → tingkat demokrasi sistem
politik (v.dependen)
Dalam hubungan antara proporsi kelas menengah, intensitas tuntutan demokratisasi dan
tingkat demokratisasi sistem politik dipengaruhi oleh varibel spesifik yakni, misalnya:
tekanan internasional terhadap demokratisasi. Dan dalam mengukur tingkat demokratisasi
sistem politik masih dipengaruhi oleh variabel kontrol yakni fragmentasi kekuasaan elit
politik masa itu.
Sumber:
Silalahi, Ulber. 2006. “Paradigma Penelitian” dalam Metode Penelitian Sosial. Bandung:
Unpar Press