Kesehatan Publik Lebih Penting dari Ekonomi dalam Kasus Susu Formula
1. Hal : Surat Pengantar
Kepada :
Yth. Redaksi Kedaulatan Rakyat
Dengan hormat,
Berikut ini saya kirimkan artikel untuk kolom ANALISIS Harian Kedaulatan Rakyat, sebelumnya saya
terangkan identitas saya:
Nama : Wahyu Yun Santosa, S.H., LL.M
Tempat/Tanggal lahir : Cilacap, 21 Juni 1981
Alamat : Fakultas Hukum UGM Jl. Sosio Yustisia No.1 Bulaksumur Yogyakarta 55281
Telepon : 0815 7865 7800
Fax : (0274) 512781
Aktivitas : Dosen Hukum Lingkungan
Pendidikan Terakhir : Master of Globalisation and Law Universiteit Maastricht, the Netherlands.
Besar harapan saya artikel ini bisa dimuat dalam kolom ANALISIS KR.
Demikian surat pengantar ini saya buat,
atas perhatiannya saya ucapkan terimakasih.
Yogyakarta, 17 Februari 2011
Wahyu Yun Santosa
2. ANALISIS
Ketidakpastian “Formula” Susu Formula
Dua tahun lebih berlalu setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan David
Tobing atas Menteri Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Institut Pertanian
Bogor dalam kasus susu formula yang ditengarai mengandung Enterobacter Sakazakii. Pun setelah
Mahkamah Agung menetapkan permohonan kasasi atas putusan ini, hingga Kamis, 17 Februari ini para
pihak yang ”dipaksa” pengadilan untuk mengumumkan kepada publik perihal hal ini pun masih terkesan
enggan.
Keresahan publik mengenai susu formula mengandung bakteri yang dapat menyebabkan radang
usus pada bayi dan sekaligus berbahaya bagi otak bayi ini memang topik lama yang bersemi kembali.
Berawal dari hasil penelitian tim IPB atas 22 sampel merek susu formula yang ada di pasaran pada
kisaran tahun 2003-2006, dihasilkan kesimpulan bahwa sampel tersebut mengandung bakteri E.
Sakazakii. Temuan ini pun bergulir ke masyarakat dan menimbulkan keresahan masyarakat, kaum ibu
pada khususnya, akan keamanan susu formula yang dikonsumsi oleh bayi mereka.
Sekian lama polemik ini bergulir di publik, tanpa ada satupun ketegasan upaya dan langkah tegas
dari pemerintah dalam hal kebijakan menyikapi hal ini. Baik dari pihak peneliti IPB, Menteri Kesehatan,
maupun BPOM sama-sama bergeming untuk tidak mengumumkan kepada publik (public disclosure)
tentang temuan tersebut. Bahkan saling tuduh antar pihak sempat terjadi. Setelah digugat oleh
masyarakat pada September 2008, isu ini pun menghilang tertutup Century dan Gayus. Kini setelah
kembali mengemuka, dan digelar Dengar Pendapat di DPR RI, Pemerintah masih tetap ”kekeh” untuk
tidak membocorkan nama-nama produsen susu formula, dengan dasar pertimbangan untung rugi. Toh,
berdasarkan penelitian ulang IPB pada tahun 2009, dari 42 sampel susu formula yang ada di pasaran,
bersih dari cemaran E. Sakazakii. Termasuk 22 sampel yang menjadi “biang heboh” isu ini.
Prinsip Kehatian-hatian
Dasar pertimbangan untung-rugi yang digunakan Pemerintah memang bukan tidak beralasan. Hal
ini sesuai dengan pendekatan hukum yang diterapkan dalam aplikasi prinsip kehati-hatian
(precautionary principle). Dimana penerapan prinsip kehati-hatian dalam kebijakan publik perlu
mempertimbangkan aspek kemanfaatan dan kerugian (cost-benefit analysis) dari kebijakan tersebut.
3. Lantas apa itu precautionary principle?. Prinsip kehati-hatian merupakan salah satu prinsip hukum
lingkungan internasional yang diadopsi oleh the United Nations Conference on Human and Development
yang berlangsung di Rio de Janeiro Brazil tahun 1992 (Rio Declaration 1992). Prinsip ke 15 Deklarasi Rio
ini menyatakan bahwa “dalam hal terdapat ancaman yang serius bagi kesehatan publik atau ancaman
kerusakan lingkungan yang tidak tertanggulangi, ketiadaan bukti ilmiah yang kuat tidak bisa dijadikan
alasan untuk menunda pengambilan kebijakan atau langkah-langkah yang diperlukan oleh Negara”.
Secara singkat hal ini dimaknai, meskipun bukti ilmiah tidak mendukung 100 %, namun dalam hal
ada risiko bahaya yang nyata, kebijakan publik wajib dikeluarkan untuk melindungi kesehatan
masyarakat. Identik dengan kasus susu formula di Indonesia. Adalah suatu kewajaran ketika masyarakat
resah karena ini terkait dengan kesehatan public dan mengharap kebijakan tegas. Namun yang terjadi
justru sebaliknya.
Kementerian Kesehatan pada awal isu ini merebak, menyatakan bahwa kasus E. Sakazakii ini tidak
perlu dikhawatirkan karena bukti ilmiahnya tidak kuat. Pun, hanya terdapat 20 kasus di dunia. Dari 20
kasus ini pun disyaratkan adanya dua kondisi: penyajian tidak dalam kondisi steril dan gen bawaan bayi
untuk cedera otak. Alhasil, Pemerintah menyimpulkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari
hasil penelitian IPB tersebut, selama susu formula untuk bayi disajikan dalam wadah yang steril dan
diseduh dengan air matang.
Meskipun demikian, kebijakan untuk tidak mengumumkan merek susu formula yang diduga
terkontaminasi bakteri E. Sakazakii pada kurun 2003-2006, menjadi kontradiktif dengan prinsip kehati-
hatian ini. Indonesia telah mengadopsi prinsip ini dalam keikutsertaannya pada Konferensi Rio, bahkan
tertuang tegas di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dalam pasal mengenai asas/prinsip yang diterapkan.
Sandin (1999) dalam artikelnya yang berjudul “Dimensions of the Precautionary Principle”
mengatakan setidaknya terdapat empat unsur yang perlu diperhatikan di dalam penerapan prinsip ini.
Pertama mengenai keharusan adanya threshold atau ambang batas atau “batasan bahaya”. Pada
umumnya, batasan ini identik dengan tercapainya unsur “adanya kemungkinan bahaya yang nyata”
ataupun “berbahaya atau dapat membahayakan manusia atau lingkungan”.
Unsur kedua adalah “keterbatasan kepastian ilmiah”. Keterbatasan atau ketidakpastian ilmiah ini
biasanya diidentikkan dengan tidak adanya bukti tegas untuk menghubungkan secara kausal antara
sebab dengan akibat. Unsur ketiga terkait dengan upaya yang perlu dilakukan. Biasanya hal ini
diwujudkan dalam upaya-upaya yang bersifat “menghindari” atau “mencegah” dari ancaman bahaya
4. yang mungkin ditimbulkan. Oleh karena itu, prinsip kehati-hatian sangat dekat ketersinggungannya
dengan prinsip pencegahan (principle of prevention).
Unsur keempat dari penerapan prinsip kehati-hatian adalah status kebijakan yang diterapkan
untuk menghindari atau mencegah biaya tersebut. Elemen terakhir inilah yang menjadi kendala dalam
penerapan prinsip kehati-hatian pada sistem hukum nasional. Interpretasi hukum yang sering dilekatkan
lebih menyatakan bahwa “ketidakpastian ilmiah tidak menjustifikasi ketiadaan upaya pencegahan”.
Namun tidak menegaskan apakah upaya pencegahan tersebut bersifat wajib ataupun pilihan sesuai
pertimbangan pemerintah.
Atas aras inilah, precautionary principle selayaknya diterapkan oleh Pemerintah untuk kasus E.
Sakazakii di susu formula. Sehingga dalam hal bukti ilmiah dirasa kurang mencukupi, kebijakan yang
tepat sebagai mekanisme pencegahan wajib diamanatkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan
alasan keamanan dan kesehatan publik.
Kesehatan Publik Lebih Utama
Prinsip kehati-hatian cukup banyak penerapannya di Indonesia. Sebut saja kebijakan mengenai
SUTET, larangan impor daging sapi dari Amerika karena ancaman penyakit sapi gila, ataupun
pembatasan produk-produk impor yang masih diragukan kandungannya. Pun dalam kasus susu formula,
tegas kita katakan bahwa keresahan masyarakat ini harus diselesaikan dengan pendekatan asas kehati-
hatian.
Tidak salah ketika Pemerintah enggan mengungkapkan merek dan produsen susu formula yang
terkontaminasi E. Sakazakii pada kisaran 2003-2006, dengan alasan saat ini tidak ada lagi produk
tersebut dan kekhawatiran imbasnya terhadap industri susu formula. Namun sangatlah tidak bijak ketika
kesehatan publik dipertaruhkan dengan alasan ini. Semestinya Pemerintah segera mengambil langkah
yang efektif untuk menyudahi kebimbangan masyarakat. Terlebih putusan kasasi yang menguatkan
perintah atas public disclosure pun telah dikeluarkan.
Dalam hal kekhawatiran imbas pada industri susu formula, toh industri juga memiliki hak untuk
menjawab, mengklarifikasi, dan sekaligus menginformasikan kepada publik mengenai hal-hal terkait
keamanan pangan dari produk mereka. Kartu As pun kini ada di tangan Pemerintah. Apakah di tengah
himpitan ekonomi, masyarakat masih harus diresahkan dengan gizi bayi mereka. Ataukah ada langkah
cerdas dan berani untuk menyudahi ketidakpastian ini?.