Urutan ke 31 mutu pendidikan aceh diukur dari hasil umnptn
KUALITAS_PENDIDIKAN
1. Anggaran Semu Pendidikan
Seorang calon wakil presiden, baru-baru ini membanggakan porsi anggaran pendidikan kita
dalam APBN sebesar 20 persen lebih. Tidak banyak negara mengalokasikan anggaran sebesar
itu, sehinggga Indonesia mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara
memadai. Lalu, mengapa kualitas pendidikan kita masih terpuruk? Data The Learning Curve
Pearson 2014, lembaga pemeringkatan pendidikan dunia, menempatkan Indonesia di posisi
paling bontot.
Dengan indeks -1,84, Indonesia menempati posisi ke-40, terendah di Asia Tenggara, di bawah
Meksiko, Brasil, Argentina, dan Kolombia. Pada 2012, UNESCO menempatkan kita di peringkat
ke-64 dari 120 negara berdasarkan penilaian Education Development Index atau Indeks Pemba-
ngunan Pendidikan. Sementara anggaran pendidikan dalam APBN dari tahun ke tahun naik
hingga 20 persen lebih. Tahun ini naik 7,5 persen dari Rp 345,3 triliun menjadi Rp 371,2 triliun
atau 20,67 persen.
Sebelum 2009, Pemerintah enggan merealisasikan minimum 20 persen anggaran untuk
pendidikan. Bisa dimaklumi, mengingat anggaran pendidikan sebagaimana Pasal 49 Ayat 1
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tidak termasuk gaji
pendidik. Negara butuh ratusan triliun rupiah lagi, mengingat gaji pendidikan menyedot ratusan
triliun per tahun. Jika ditambah alokasi 20 persen, total anggaran pendidikan sedikitnya 30
persen dari APBN.
Pemerintah akhirnya lega, setelah pada awal 2008 Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji
materi Pasal 49 Ayat 1 itu. MK berpendapat, gaji pendidik seharusnya masuk komponen sistem
pendidikan nasional, sebagaimana Pasal 1 angka 3 UU Sisdiknas. Keputusan itu merupakan
berkah sekaligus musibah. Mulai 2009, anggaran pendidikan melonjak menjadi 20 persen dari 9
persen. Namun tanpa disadari, hal itu merugikan pembangunan pendidikan secara kesuluruhan.
Realitasnya, dari 20 persen alokasi APBN, 70 persen habis untuk gaji pendidik yang diperbesar
oleh meningkatnya dana sertifikasi guru dan berbagai tunjangan. Akibatnya, dana operasional
pendidikan minim. Padahal kita butuh dana besar untuk peningkatan mutu infrastuktur, sarana
prasarana — ratusan ribu sekolah rusak —, pemerataan dan komitmen membantu sekolah
swasta. Sementara peningkatan mutu pengajaran terkendala rendahnya mutu dan persebaran
guru.
Politik anggaran semu ini perlu diubah untuk menjamin peningkatan kualitas pendidikan. Selain
itu, dana besar mutlak butuh pengawasan profesional, independen, dan akuntabel agar tepat
sasaran, efektif-efisien, dan menekan kebocoran. Ke depan kita berharap anggaran pendidikan
bukan retorika politik, pencintraan, berorientasi jangka pendek dan ajang tawar-menawar.
Kehebohan ini sejatinya jauh dari idealisme dan semangat untuk mewujudkan pendidikan
berkualitas.