Teks tersebut menjelaskan penyebaran agama Hindu dari India ke berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Agama Hindu pertama kali berkembang di India sebelum menyebar ke Mesir, Meksiko, Peru, Australia, dan akhirnya mencapai Indonesia, diperkirakan sejak abad pertama Masehi melalui pedagang dan penyebar agama seperti Resi Agastya.
1. PERKEMBANGAN AGAMA HINDU : DARI INDIA HINGGA KE INDONESIA
Agama Hindu merupakan agama yang mempunyai usia tertua dan merupakan agama
yang pertama kali dikenal oleh manusia. Agama Hindu pertama kali dikenal di India.
Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 Jaman/fase,
yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan
benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang
tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu
peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa.
Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal
adanya penyembahan terhadap Dewa-dewa.
1. Jaman Weda
Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa
Arya berada di Punjab di Lembah Sungai
Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun
sebelum Masehi, setelah mendesak
bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai
ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya
telah memiliki peradaban tinggi, mereka
menyembah Dewa-dewa seperti Agni,
Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan
sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu
banyak, namun semuanya adalah
manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang
Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan
Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur
tertib alam semesta, yang disebut “Rta”.
Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas
kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan
Sudra.
2. Jaman Brahmana
Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum
Brahmana amat besar pada kehidupan
keagamaan, kaum brahmanalah yang
mengantarkan persembahan orang kepada
para Dewa pada waktu itu. Jaman
Brahmana ini ditandai pula mulai
tersusunnya “Tata Cara Upacara”
beragama yang teratur. Kitab Brahmana,
adalah kitab yang menguraikan tentang
saji dan upacaranya. Penyusunan tentang
Tata Cara Upacara agama berdasarkan
wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di
dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
3. Jaman Upanisad
Pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan
tidak hanya terbatas pada Upacara dan
Saji saja, akan tetapi lebih meningkat
pada pengetahuan bathin yang lebih
tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia
alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah
jaman pengembangan dan penyusunan
falsafah agama, yaitu jaman orang
berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman
ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-
tinggi, yang kemudian dikembangkan
pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan
Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan
Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
4. Jaman Budha
Pada Jaman Budha ini, dimulai ketika
putra Raja Sudhodana yang bernama
“Sidharta”, menafsirkan Weda dari sudut
logika dan mengembangkan sistem yoga
dan semadhi, sebagai jalan untuk
menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu makin lama semakin
menyebar mulai dari India Selatan hingga
keluar dari India dengan berbagai cara,
terutama melalui perdagangan bebas
Internasional. Dalam suatu penggalian di
Mesir ditemukan sebuah inskripsi yang
diketahui berangka tahun 1200 SM. Isinya
adalah perjanjian antara Ramses
II dengan Hittites. Dalam perjanjian ini
“Maitra Waruna” yaitu gelar manifestasi
2. Sang Hyang Widhi Wasa menurut agama
Hindu yang disebut- sebut dalam Weda
dianggap sebagai saksi.
Gurun Sahara yang terdapat di
Afrika Utara menurut penelitian Geologi
adalah bekas lautan yang sudah mengering.
Dalam bahasa Sanskerta Sagara artinya laut;
dan nama Sahara adalah perkembangan dari
kata Sagara. Diketahui pula bahwa
penduduk yang hidup di sekelilingnya pada
jaman dahulu berhubungan erat dengan Raja
Kosala yang beragama Hindu dari India.
Penduduk asli Mexico mengenal dan
merayakan hari raya Rama Sinta, yang
bertepatan dengan perayaan Nawa Ratri di
India. Dari hasil penggalian di daerah itu
didapatkan patung- patung Ganesa yang erat
hubungannya dengan agama Hindu. Di
samping itu penduduk purba negeri tersebut
adalah orang- orang Astika (Aztec), yaitu
orang- orang yang meyakini ajaran- ajaran
Weda. Kata Astika ini adalah istilah yang
sangat dekat sekali hubungannya dengan
“Aztec” yaitu nama penduduk asli daerah
itu, sebagaimana dikenal namanya sekarang
ini.
Penduduk asli Peru mempunyai hari
raya tahunan yang dirayakan pada saat- saat
matahari berada pada jarak terjauh dari
katulistiwa dan penduduk asli ini disebut
Inca. Kata “Inca” berasal dari kata “Ina”
dalam bahasa Sanskerta yang berarti
“matahari” dan memang orang- orang Inca
adalah pemuja Surya.
Uraian tentang Aswameda
Yadnya (korban kuda) dalam Purana yaitu
salah satu Smrti Hindu menyatakan bahwa
Raja Sagara terbakar menjadi abu oleh Resi
Kapila. Putra- putra raja ini berusaha ke
Patala loka (negeri di balik bumi= Amerika
di balik India) dalam usaha korban kuda itu.
Karena Maha Resi Kapila yang sedang
bertapa di hutan (Aranya) terganggu, lalu
marah dan membakar semua putra- putra
raja Sagara sehingga menjadi abu.
Pengertian Patala loka adalah negeri di balik
India yaitu Amerika. Sedangkan nama
Kapila Aranya dihubungkan dengan nama
California dan di sana terdapat taman
gunung abu (Ash Mountain Park).
Di lingkungan suku- suku penduduk asli
Australia ada suatu jenis tarian tertentu yang
dilukiskan sebagai tarian Siwa (Siwa
Dance). Tarian itu dibawakan oleh penari-
penarinya dengan memakai tanda “Tri Kuta”
atau tanda mata ketiga pada dahinya. Tanda-
tanda yang sugestif ini jelas menunjukkan
bahwa di negeri itu telah mengenal
kebudayaan yang dibawa oleh agama Hindu.
Penyebaran Agama Hindu Di Indonesia
Berdasarkan beberapa pendapat,
diperkirakan bahwa Agama Hindu pertama
kalinya berkembang di Lembah Sungai
Shindu di India. Di lembah sungai inilah
para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi
dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci
Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran
Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok
dunia, yaitu ke India Belakang, Asia
Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya
sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan
pendapat tentang masuknya Agama Hindu
ke Indonesia.
Beberapa Teori tentang masuknya
Agama Hindu di Indonesia:
Krom (ahli – Belanda), dengan
teori Waisya.
Dalam bukunya yang
berjudul “Hindu Javanesche
Geschiedenis“, menyebutkan bahwa
masuknya pengaruh Hindu ke
Indonesia adalah melalui penyusupan
dengan jalan damai yang dilakukan
oleh golongan pedagang (Waisya)
India.
Mookerjee (ahli – India tahun
1912).
Menyatakan bahwa masuknya
pengaruh Hindu dari India ke
Indonesia dibawa oleh para
pedagang India dengan armada yang
besar. Setelah sampai di Pulau Jawa
3. (Indonesia) mereka mendirikan
koloni dan membangun kota-kota
sebagai tempat untuk memajukan
usahanya. Dari tempat inilah mereka
sering mengadakan hubungan
dengan India. Kontak yang
berlangsung sangat lama ini, maka
terjadi penyebaran agama Hindu di
Indonesia.
Moens dan Bosch (ahli – Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum
Ksatrya sangat besar pengaruhnya
terhadap penyebaran agama Hindu
dari India ke Indonesia. Demikian
pula pengaruh kebudayaan Hindu
yang dibawa oleh para para
rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
Data Peninggalan Sejarah di Indonesia
Data peninggalan sejarah
disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama
Hindu dari India ke Indonesia. Data ini
ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa
dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan
bahwa Sri Agastya menyebarkan agama
Hindu dari India ke Indonesia, melalui
sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan
India Belakang. Oleh karena begitu besar
jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama
Hindu, maka namanya disucikan dalam
prasasti-prasasti seperti:
Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628,
dimana seorang raja yang bernama
Gajahmada membuat pura suci untuk
Rsi Agastya, dengan maksud
memohon kekuatan suci dari Beliau.
Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785,
juga menyebutkan keagungan dan
kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat
kemuliaan Rsi Agastya, maka
banyak istilah yang diberikan kepada
beliau, diantaranya adalah: Agastya
Yatra, artinya perjalanan suci Rsi
Agastya yang tidak mengenal
kembali dalam pengabdiannya untuk
Dharma. Pita Segara, artinya bapak
dari lautan, karena mengarungi
lautan-lautan luas demi untuk
Dharma.
Sejarah Singkat Agama Hindu Di
Indonesia
Agama Hindu masuk ke Indonesia
diperkirakan pada awal Tarikh Masehi,
dibawa oleh para Musafir dari India antara
lain: Maha Resi Agastya yang di Jawa
terkenal dengan sebutan Batara
Guru atau Dwipayana dan juga para Musafir
dari Tiongkok yakni Musafir Budha
Pahyien. Ini dapat diketahui dengan adanya
bukti tertulis atau benda-benda purbakala
pada abad ke 4 Masehi denngan
diketemukannya tujuh buah Yupa
peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan
Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan
keterangan mengenai kehidupan keagamaan
pada waktu itu yang menyatakan bahwa:
“Yupa itu didirikan untuk memperingati dan
melaksanakan yadnya oleh Mulawarman”.
Keterangan yang lain menyebutkan bahwa
raja Mulawarman melakukan yadnya pada
suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa.
Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara“.
Masuknya agama Hindu ke
Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang
besar, misalnya berakhirnya jaman
prasejarah Indonesia, perubahan dari religi
kuno ke dalam kehidupan beragama yang
memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan
kitab Suci Veda dan juga munculnya
kerajaan yang mengatur kehidupan suatu
wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan
Timur), agama Hindu juga berkembang di
Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan
diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni
prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir
Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak.
Semua prasasti tersebut berbahasa
Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.
4. Dari prasasti-prasasti itu didapatkan
keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja
Purnawarman adalah Raja Tarumanegara
beragama Hindu, Beliau adalah raja yang
gagah berani dan lukisan tapak kakinya
disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu”
Bukti lain yang ditemukan di Jawa
Barat adalah adanya perunggu di Cebuya
yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan
diperkirakan dibuat pada masa Raja
Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut,
maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah
penganut agama Hindu dengan memuja Tri
Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang
Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu
berkembang pula di Jawa Tengah, yang
dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng
gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa
sansekerta memakai huruf Pallawa dan
bertipe lebih muda dari prasasti
Purnawarman. Prasasti ini yang
menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu
Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga
Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari
tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan
dalam prasasti Canggal, yang berbahasa
sansekerta dan memakai huduf Pallawa.
Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja
Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi),
dengan Candra Sengkala berbunyi: “Sruti
indriya rasa”, Isinya memuat tentang
pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa
Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan
Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat
Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi
Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri
Murti yang didirikan pada tahun 856
Masehi, merupakan bukti pula adanya
perkembangan Agama Hindu di Jawa
Tengah. Disamping itu, agama Hindu
berkembang juga di Jawa Timur, yang
dibuktikan dengan ditemukannya prasasti
Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang
berbahasa sansekerta dan memakai huruf
Jawa Kuno. Isinya memuat tentang
pelaksanaan upacara besar yang diadakan
oleh Raja Dea Simha pada tahun 760
Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli
Veda, para Brahmana besar, para pendeta
dan penduduk negeri. Dea Simha adalah
salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan.
Candi Budut adalah bangunan suci yang
terdapat di daerah Malang sebagai
peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa
Timur.
Kemudian pada tahun 929-947
munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana
Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa,
yang artinya raja yang sangat dimuliakan
dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian
sebagai pengganti Mpu Sindok adalah
Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah
Airlangga (yang memerintah kerajaan
Sumedang tahun 1019-1042) yang juga
adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa
Timur munculah kerajaan Kediri (tahun
1042-1222), sebagai pengemban agama
Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak
muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab
Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab
Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab
Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan
Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman
kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi
Kidal, candi Jago dan candi Singosari
sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada
jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah
masa Singosari dan muncul kerajaan
Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi
seluruh Nusantara. Keemasan masa
Majapahit merupakan masa gemilang
kehidupan dan perkembangan Agama
Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan
berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan
Suci Hindu terbesar di Jawa Timur
disamping juga munculnya buku
Negarakertagama.
5. Selanjutnya agama Hindu
berkembang pula di Bali. Kedatangan agama
Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8.
Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan
adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca
Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa
Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama
dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur,
yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali,
bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu
agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang
ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa
pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu
Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-
sekte yang hidup pada jaman sebelumnya
dapat disatukan dengan pemujaan melalui
Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad
Khayangan dan Sanggah Kemulan
sebagaimana termuat dalam Usama Dewa.
Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya
pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan
Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa
beliau dibuatlah pelinggih Menjangan
Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu
selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke
Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19
masih terjadi pembaharuan dalam teknis
pengamalan ajaran agama. Dan pada masa
Dalem Waturenggong, kehidupan agama
Hindu mencapai jaman keemasan dengan
datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra)
ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat
besar di bidang sastra, agama, arsitektur.
Demikian pula dibidang bangunan tempat
suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget
dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah
runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali
pembinaan kehidupan keagamaan sempat
mengalami kemunduran. Namun mulai
tahun 1921 usaha pembinaan muncul
dengan adanya Suita Gama Tirtha di
Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di
Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di
Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa
Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di
Klungkung, Paruman Para Penandita tahun
1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun
1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha
tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23
Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama
Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23
Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil
menyelenggarakan Dharma Asrama para
Sulinggih di Campuan Ubud yang
menghasilkan piagam Campuan yang
merupakan titik awal dan landasan
pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun
1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan
Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan
Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu
Bali dengan menetapkan Majelis
keagamaan bernama Parisada Hindu Bali,
yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu
Dharma Indonesia.