1. QUO VADIS PUSKESMAS GRATIS
Mulai tahun 2008, Pemkot Semarang menggratiskan biaya pemeriksaan dan pengobatan
rawat jalan di Puskesmas. Untuk program Puskesmas gratis itu, Pemkot menganggarkan
Rp. 5 Milyar pada APBD 2008 (SM, 10 Desember 2007).
Sepanjang tahun 2007 ini program Puskesmas gratis kelihatannya makin diminati oleh
sebagian besar pemerintah daerah. Sangat menarik kalau kita mau mencermati dengan
lebih bijaksana antara manfaat dan risiko yang mungkin terjadi dari program Puskemas
gratis ini.
Komoditas Politik
Penggratisan biaya kesehatan selain pendidikan dan pengentasan kemiskinan
selalu menjadi isu yang paling menarik sekaligus sebagai komoditas politis yang mudah
dikemas oleh para politisi. Wacana penggratisan biaya kesehatan makin mendapatkan
momentum saat para politisi tersebut sedang menghadapi masa kampanye pemilihan.
Repotnya begitu harus membuktikan, para pimpinan tersebut terlihat belum paham dan
siap dengan berbagai konsekuensinya. Pada awalnya mereka berasumsi bahwa demi
“rasa keadilan” maka siapa saja berhak memperoleh pelayanan kesehatan secara gratis.
Mungkin setelah mengetahui untuk menggratiskan pelayanan kesehatan dasar di tingkat
Puskemas saja ternyata membutuhkan subsidi biaya yang besar, mereka akhirnya tersadar
dan mulai mencoba menawar untuk alokasi penggratisannya dibatasi hanya pada biaya
tarif retribusi Puskesmas saja.
Keterbatasan anggaran biasanya menjadi alasan klise. Bahkan saat mengetahui
bahwa kontribusi dari sektor kesehatan bagi pendapatan asli daerah ternyata selama ini
cukup signifikan, pimpinan daerah kembali bingung saat menghadapi dilema baru terkait
akan hilang/berkurangnya sumber pendapatan dari sektor ini. Alih-alih ingin menambah
subsidi untuk sektor kesehatan yang terjadi mereka malah tetap mengandalkan pola
kebijakan pendapatan daerahnya “diatas penderitaan masyarakat yang sakit”.
Ketidak adilan
Respon yang keliru dari pimpinan daerah dengan menjadikan isu kesehatan gratis
hanya sebagai komoditas politik saja, pada gilirannya telah melahirkan kebijakan subsidi
yang salah sasaran. Ketidak adilan justeru akan muncul manakala sasaran Puskesmas
gratis ternyata juga dinikmati oleh masyarakat non miskin. Bahkan dikhawatirkan porsi
subsidi akan lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat non miskin yang memiliki
aksesibilitas lebih baik dibandingkan masyarakat miskin. Tidak semua pimpinan daerah
memberikan perhatian serius terhadap berbagai kendala yang dialami masyarakat miskin
untuk memanfaatkan porsi subsidi ini. Perlu dipahami bahwa untuk mendapatkan
pelayanan di Puskesmas meskipun mereka tidak lagi terbebani oleh biaya retribusi yang
hanya sekitar Rp. 3000 - 5000 per kali datang, pada kenyataannya mereka justeru lebih
terbebani dengan biaya transportasi dan biaya lain yang mungkin jauh lebih besar.
Karakteristik lain dari masyarakat miskin adalah cenderung memiliki tingkat
pengetahuan dan kepedulian yang rendah terhadap kesehatan sehingga makin
memperkecil peluang pemanfaatan subsidi meski hanya rawat jalan di level Puskesmas
apalagi secara paripurna sampai dengan pelayanan rujukan rawat inap di rumah sakit.
2. Kearifan Subsidi
Jenis beban biaya kesehatan lain yang seharusnya perlu disubsidi oleh pemerintah
daerah selain kebijakan Puskesmas gratis adalah biaya perawatan di rumah sakit. Saat ini
komponen biaya kesehatan yang paling ”ditakuti” oleh siapa saja terutama rakyat miskin
adalah manakala harus sampai opname di rumah sakit. Seandainya alokasi subsidi untuk
program Puskemas gratis yang akan di alokasikan di tiap daerah di Jawa Tengah rata-rata
sebesar Rp 5 Milyar maka secara akumulatif dari 35 daerah akan terhimpun dana sebesar
Rp 175 Milyar/tahun. Jumlah ini setara dengan pemberian tambahan premi sesuai
program askeskin sebesar Rp 5000 /jiwa/bulan yaitu mencapai sekitar 1,5 juta jiwa atau
rata-rata 40 ribu orang miskin di tiap daerah. Melalui program askeskin tiap masyarakat
miskin akan lebih terjamin kesehatannya secara paripurna. Suatu manfaat yang luar biasa
besar, mengingat program askeskin sendiri saat ini masih banyak menghadapi kendala,
salah satunya adalah cakupannya yang masih sangat terbatas di masing-masing daerah.
Proyeksi sederhana ini seharusnya bisa menjadi salah satu pertimbangan saat
pemerintah daerah ingin memutuskan pola subsidi yang akan diberikan melalui program
Puskesmas gratis. Memang tidak ada yang salah jika pemerintah ingin memberikan
pelayanan kesehatannya secara murah bahkan gratis, namun jika tidak hati-hati maka
yang terjadi adalah fenomena ”nguyahi segoro” karena subsidi yang jelas salah sasaran.
Oleh karena itu anggaran subsidi yang katanya terbatas harus benar-benar secara arif
diprioritaskan untuk masyarakat yang memang paling membutuhkan yaitu masyarakat
miskin secara paripurna, bukan hanya secara parsial bahkan membabi buta.
Sutopo Patria Jati (staf pengajar Fakulatas Kesehatan Masyarakat UNDIP)