Dokumen tersebut membahas tentang pencegahan dan pengendalian penyakit vektor di Indonesia, khususnya tiga penyakit yaitu Chikungunya, Demam Berdarah Dengue, dan Filariasis. Penyakit-penyakit tersebut ditularkan oleh nyamuk dan masing-masing memiliki gejala, cara penularan, serta program pencegahan dan pengendaliannya di Indonesia.
Salah Satu Kajian Penyelidikan(Thesis) dan CourseWork dalam menamatkan pengajian ijazah sarjana muda dalam Teknologi Kreatif (Komunikasi Visual) di Universiti Malaysia Kelantan bagi sesi (2011/2015)
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai Penyakit Kusta atau Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan biasanya mempengaruhi kulit serta saraf tepi, namun memiliki berbagai macam manifestasi klinis. (WHO, 2010). Penyakit ini ditandai dengan borok dari tulang dan kulit yang menyebabkan hilangnya sensasi, lumpuh, gangrene, dan deformasi. (The American Heritage-Dictionary of the English language).
150111001 ainun musrifah tohir studi kasus_bab 1Dodit Mujiono
STUDY KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER (DHF) DENGAN MASALAH KEPERAWATAN
GANGGUAN PERFUSI JARINGAN
DI UPT PUSKESMAS KEBOMAS
KABUPATEN GRESIK
Salah Satu Kajian Penyelidikan(Thesis) dan CourseWork dalam menamatkan pengajian ijazah sarjana muda dalam Teknologi Kreatif (Komunikasi Visual) di Universiti Malaysia Kelantan bagi sesi (2011/2015)
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai Penyakit Kusta atau Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan biasanya mempengaruhi kulit serta saraf tepi, namun memiliki berbagai macam manifestasi klinis. (WHO, 2010). Penyakit ini ditandai dengan borok dari tulang dan kulit yang menyebabkan hilangnya sensasi, lumpuh, gangrene, dan deformasi. (The American Heritage-Dictionary of the English language).
150111001 ainun musrifah tohir studi kasus_bab 1Dodit Mujiono
STUDY KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER (DHF) DENGAN MASALAH KEPERAWATAN
GANGGUAN PERFUSI JARINGAN
DI UPT PUSKESMAS KEBOMAS
KABUPATEN GRESIK
Diagnosis DBD dapat ditegakkan bila ditemukan manifestasi gejala dan tanda utama DBD :
Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus menerus.
petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena maupun berupa uji tourniquet positif
Trombositopnia (Trombosit ≤ 100.000/mm³)
Peningkatan hematokrit
Efusi pleura, asites atau hipoproteinemia/ hipoalbuminemia
Hepatomegali
Syok
2. Vektor penyakit
Vektor : tidak menyebabkan penyakit tetapi
menyebarkannya dengan membawa patogen dari
satu inang ke yang lainnya.
Vektor penyakit juga dikenal sebagai arthropod -
borne diseases atau sering juga disebut sebagai
vector – borne diseases yang merupakan penyakit
yang penting dan seringkali bersifat endemis
maupun epidemis dan menimbulkan bahaya bagi
kesehatan sampai kematian.
Vektor merupakan arthropoda yang dapat
menularkan, memindahkan atau menjadi sumber
penularan penyakit pada manusia
(Peraturan Menteri Kesehatan No.374 tahun 2010)
3. Berdasarkan laporan WHO (2004), angka
kematian akibat penyakit tular vektor di
Indonesia berkisar antara 50-200 juta jiwa. Saat
ini Indonesia menjadi daerah endemis bagi
beberapa wabah penyakit yang ditularkan oleh
vektor seperti Demam Berdarah Dengue
(DBD), kaki gajah (filariasis), dan Chikungunya
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti.
5. 1. chikungunya
Chikungunya disease atau demam Chikungunya
adalah satu di antara penyakit tular vektor
(nyamuk) yang saat ini banyak terjadi di
Indonesia tidak hanya di daerah perkotaan tetapi
banyak juga di daerah pedesaan.
Penyebab penyakit ini adalah sejenis virus, yaitu
Alphavirus (famili Togaviridae).
Pertama kali tahun 1952 di Afrika pada suatu
tempat yang dinamakan Makonde Plateau.
6. Di Indonesia, infeksi virus Chikungunya telah
ada sejak abad ke-18 seperti yang dilaporkan
oleh David Bylon seorang dokter
berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus ini
menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai
penyakit demam 5 hari (vijfdaagse koorts) yang
kadangkala disebut juga sebagai demam sendi
(knokkel koorts).
7. Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit Chikungunya pertama
kali dilaporkan pada tahun 1973 di Samarinda Provinsi
Kalimantan Timur dan di Jakarta.
Sejak tahun 1985 seluruh provinsi di Indonesia pernah
melaporkan adanya KLB Chikungunya. KLB Chikungunya
mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999-2011.
Penderita sebagian besar perempuan (56,5%) dan
diderita paling banyak pada kelompok umur di atas 31-40
tahun sebanyak 42 kasus, kelompok umur 10-20 tahun
sebanyak 37 kasus, dan usia 21-30 tahun sebanyak 37
kasus (Kemenkes, 2012).
8. Cara Penularan
Virus chikungunya (Alphavirus) ditularkan melalui gigitan
Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Umumnya penderita sembuh secara spontan dan diikuti
dengan imunitas homolog yang berlangsung
lama, terjadinya serangan kedua oleh penyakit ini belum
di ketahui.
Infeksi yang tidak jelas sering terjadi, terutama pada
anak-anak. Pada saat terjadi wabah, poliartritis, arthritis
lebih sering terjadi pada wanita dewasa dan pada orang-
orang yang secara genetis memiliki fenotipe HLA DR7
Gm a+x+b+ .
9. gejala
Tanda utama: tiba-tiba tubuh terasa demam diikuti dengan
linu di persendian (timbulnya rasa pegal-pegal, ngilu, juga
timbul rasa sakit pada tulang-tulang, ada yang menamainya
sebagai demam tulang atau flu tulang). Masa inkubasi 7-10
hari.
Penyakit ini tidak sampai menyebabkan kematian.
Nyeri pada persendian tidak akan menyebabkan kelumpuhan.
Setelah lewat lima hari, demam akan berangsur-angsur
reda, rasa ngilu maupun nyeri pada persendian dan otot
berkurang, dan penderitanya akan sembuh seperti semula.
Penderita dalam beberapa waktu kemudian bisa
menggerakkan tubuhnya seperti sedia kala.
Nyeri tertinggal hanya jika sebelumnya, penderita memiliki
riwayat nyeri tulang dan otot.
10. Program di Indonesia
Upaya pengendalian Chikungunya pada dasarnya sama dengan
pengendalian DBD, yaitu:
1. mengobati penderita dengan memberi obat penurun panas dan obat
nyeri sendi;
2. Istirahat;
3. penyemprotan wilayah untuk membunuh nyamuk yang terinfeksi;
4. membersihkan lingkungan dari jentik dan genangan air melalui PSN
(Pemberantasan Sarang Nyamuk) 3M-plus secara teratur seminggu
sekali dan lebih sering ketika setelah hujan turun.
5. promosi kesehatan yang dapat menciptakan perilaku baru (perubahan
perilaku).
strategi promosi kesehatan: pemberdayaan masyarakat, pembinaan
suasana lingkungan sosialnya dan advokasi kesehatan kepada pihak-pihak
yang dapat mendukung terlaksananya kegiatan pengendalian Chikungunya.
Adanya kemitraan dengan melibatkan berbagai sektor yaitu lembaga
pemerintah, dunia usaha, media massa dan organisasi masyarakat lainnya
dalam upaya menanggulangi masalah kesehatan.
11. Program di Hong Kong
Aedes aegypty sudah tidak ditemukan lagi sejak
pertengahan tahun 1950
Pada tahun 2006-2008 ditemukan 5 kasus chikungunya
karena adanya riwayat perjalanan ke luar negeri.
strategi pengendalian chikungunya berupa pelaporan
dini, investigasi kasus, surveilens dan pengengendalian
vektor, serta pendidikan kesehatan masyarakat berupa
pameran kesehatan, talk-show, poster, dan lain-lain
12. Perbedaan
Program yang dilaksanakan di Hong Kong lebih
menekankan kepada Health Education yang
mengarahkan perubahan perilaku masyarakat
secara sukarela,
sedangkan program di Indonesia lebih
menekankan pada Health Promotion yang
menggabungkan antara Health Education dengan
aspek-aspek pendukung seperti
sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain yang
membantu tercapainya perubahan perilaku.
13. 2. DBD (Demam Berdarah Dengue)
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue yang
termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4.
Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap
serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk
terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat
memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain
tersebut.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi
oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus
dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.
14. Cara Penularan
Vektor DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor
utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder.
Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan berkembang biak di tempat-
tempat penampungan air buatan antara lain: bak mandi, ember, vas
bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di
dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah
perkotaan
Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di luar
rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan
sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan, namun juga
ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah.
Bersifat anthrofilik dan multiple feeding. Sifat tersebut meningkatkan
risiko penularan DBD di wilayah perumahan yang penduduknya lebih
padat.
15. Gejala
Gejala klinis DBD pada awalnya muncul menyerupai gejala flu dan tifus (typhoid).
Gejala-gejala tersebut, yaitu:
• Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38 - 40 derajat Celsius)
• Pada pemeriksaan uji torniquet, tampak adanya bintik-bintik perdarahan
• Adanya bentuk perdarahan di kelopak mata bagian dalam
(konjungtiva), mimisan (epitaksis), buang air besar dengan kotoran (feses)
berupa lendir bercampur darah (melena), dan lain-lain
• Adanya pembesaran hati (hepatomegali)
• Tekanan darah menurun sehingga menyebabkan syok
• Pada pemeriksaan laboratorium (darah) hari ke 3 - 7 terjadi penurunan
trombosit dibawah 100.000 /mm3 (trombositopeni), terjadi peningkatan
nilai hematokrit diatas 20% dari nilai normal (hemokonsentrasi)
• Timbulnya beberapa gejala klinik yang menyertai seperti
mual, muntah, penurunan nafsu makan (anoreksia), sakit
perut, diare, menggigil, kejang dan sakit kepala
• Mengalami perdarahan pada hidung (mimisan) dan gusi
• Demam yang dirasakan penderita menyebabkan keluhan pegal/sakit pada
persendian
• Munculnya bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah
17. Program di Indonesia
Adanya program pengendalian vektor yang diatur dalam Kepmenkes
No. 581 tahun 1992, bahwa kegiatan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN) dilakukan secara periodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh
RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus.
Kegiatan PSN telah dilaksanakan secara intensif sejak tahun 1992 dan
pada tahun 2002 dikembangkan menjadi 3M Plus, dengan cara
menggunakan larvasida, memelihara ikan dan mencegah gigitan
nyamuk.
Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka
Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95%
diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Tetapi
selama tiga tahun terakhir pada tahun 2007 sampai tahun 2009 angka
Bebas Jentik belum berhasil mencapai target (>95%).
18. Penyebab: belum adanya perubahan perilaku
masyarakat dalam upaya PSN
Solusi pemerintah: mengembangkan teknik komunikasi
perubahan perilaku masyarakat secara spesifik yaitu
Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP)/Communication
for Behavioral Impact (COMBI) yang dapat menjadi salah
satu upaya pengendalian DBD di Indonesia. Penerapan
metode tersebut dimulai dengan pengadaan sumber
daya manusia yang memiliki ketrampilan yang memadai
melalui pelatihan disetiap jenjang administrasi.
19. Program di Morelos, Mexico
• Pengendalian vektor (penyuluhan, implementasi, dan monitoring),
• bangunan publik yang bebas perindukan nyamuk (inspeksi dan
pemberian sanksi),
• kampanye kesehatan (brosur untuk sekolah, poster, radio, televisi),
• kerja bakti pada hari senin di sekolah tingkat SD dan SMP
Tetapi untuk pelaksanaan di tingkat SMA dan universitas kurang
berhasil karena kurangnya antusiasme dari murid.
Semakin tinggi institusi pendidikan tersebut maka semakin rendah
masalah tempat perindukan nyamuk sejalan dengan banyaknya
sarana dan prasarana yang memadai untuk kebersihan dan perbaikan
daripada sekolah tingkat SD dan SMP.
20. Penyebab
• Tingkat keberhasilan program pencegahan dan
pengendalian DBD di Morelas, Mexico sangat
dipengaruhi oleh perubahan pemikiran masyarakat dan
keadaan sosio-ekonominya karena adanya daerah di
Morelos yang mengalami kemiskinan sehingga tidak
tersedianya fasilitas publik.
masyarakat di Indonesia juga dipengaruhi oleh sosio-
ekonomi sehingga memerlukan promosi kesehatan yang
intensif.
21. 3. Filariasis (Kaki Gajah)
Filariasis merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan melalui
berbagai jenis nyamuk.
Terdapat tiga spesies cacing penyebab Filariasis yaitu:
Wuchereria bancrofti; Brugia malayi; Brugia timori.
Semua spesies tersebut terdapat di Indonesia, namun
lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan
oleh Brugia malayi.
Cacing tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah
bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem
limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut dan
kronis.
22. Cara penularan
Melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva infektif.
- W. bancrofti ditularkan melalui berbagai spesies
nyamuk, yang paling dominan adalah Culex
quinquefasciatus, Anopheles gambiae, An.
funestus, Aedes polynesiensis, An. scapularis dan Ae.
pseudoscutellaris.
- Brugia malayi ditularkan oleh spesies yang bervariasi
dari Mansonia, Anopheles dan Aedes.
- Brugia timori ditularkan oleh An. barbirostris.
Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 23 spesies vektor
nyamuk penular filariasis yang terdiri dari genus
Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres. Untuk
menimbulkan gejala klinis penyakit filariasis diperlukan beberapa
kali gigitan nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama.
23. Gejala klinis akut
• Demam berulang ulang selama 3-5 hari, demam
dapat hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah
bekerja berat
• Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada
luka) di daerah lipatan paha, ketiak (limfadenitis)
yang tampak kemerahan, panas dan sakit
• Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa
panas dan sakit yang menjalar dari pangkal ke arah
ujung kaki atau lengan
• Abses filaria terjadi akibat seringnya pembengkakan
kelenjar getah bening, dapat pecah dan dapat
mengeluarkan darah serta nanah
• Pembesaran tungkai, lengan, buah dada dan alat
kelamin perempuan dan laki-laki yang tampak
kemerahan dan terasa panas.
24. Gejala klinis kronis
• Limfedema : Infeksi Wuchereria mengenai kaki
dan lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan
payudara, Infeksi Brugia dapat mengenai kaki
dan lengan dibawah lutut / siku (lutut dan siku
masih normal)
• Hidrokel : Pelebaran kantung buah zakar yang
berisi cairan limfe, dapat sebagai indikator
endemisitas filariasis bancrofti
• Kiluria : Kencing seperti susu (kebocoran sel
limfe di ginjal) jarang ditemukan
25.
26. Program di Indonesia
Pada tahun 1975 sampai 1983 program penanganan
filariasis menggunakan DEC dosis standar 5 mg/kg berat
badan/hari selama 10–15 hari.
tahun 1984 diganti menjadi dosis bertahap, yaitu Tahap I
untuk usia 2-10 tahun ½ tablet dan usia > 10 tahun 1 tablet
selama 4 hari. Dilanjutkan dengan tahap II, yaitu diberikan
5 mg/kgBB/hari selama 8-13 hari.
Tahun 1991 dosis yang digunakan adalah dosis
rendah, yaitu untuk usia 2-10 tahun diberi hanya ½
tablet, sedangkan > 10 tahun diberi 1 tablet; tetapi dosis
rendah ini diberikan selama 40 hari. Selain itu juga pernah
dicoba memberi DEC dalam garam dengan dosis 0.2-0.4 %
selama 9–12 bulan.
27. Pengobatan tidak berhasil karena
• pengobatan harus dilakukan dalam waktu
lama (tingkat kepatuhan (compliance) sangat
rendah)
• Masa terapi yang lama, dengan efek samping
yang terjadi sepanjang masa terapi
menyebabkan pasien DO dan program pun
gagal.
28. Program eliminasi filariasis
Program eleminasi filariasis di dunia dimulai
berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000. Filariasis
ditargetkan untuk dieliminasi sebagai penyebab
masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2020
Melalui program eliminasi global dengan
pengobatan kombinasi DEC 6 mg/kg BB dan
albendazol 400 mg yang diberikan sekali setahun
selama 4-6 tahun pada seluruh penduduk yang
tinggal di daerah endemis (prevalensi mf > 1%).
29. Program Eliminasi Filariasis merupakan salah satu program
prioritas nasional pemberantasan penyakit menular sesuai
dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7
tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional tahun 2004 – 2009.
Tujuan umum: filariasis tidak menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia pada tahun 2020.
Tujuan khusus : (a) menurunnya angka mikrofilaria
(microfilaria rate) menjadi kurang dari 1% di setiap
Kabupaten/Kota, (b) mencegah dan membatasi kecacatan
karena filariasis.
Di Indonesia
30. Strategi (2010-2014)
1. Memantapkan perencanaan dan persiapan
pelaksanaan termasuk sosialisasi pada masyarakat
2. Memastikan ketersediaan obat dan distribusinya
serta dana operasional
3. Meningkatkan peran Kepala Daerah dan para
pemangku kepentingan lainnya
4. Memantapkan pelaksanaan POMP filariasis yang
didukung oleh sistem pengawasan dan pelaksanaan
pengobatan dan pengamanan kejadian ikutan pasca
pengobatan
5. Meningkatkan monitoring dan evaluasi.
31. 2 pokok kegiatan (2010-2014)
1) Program akselerasi eliminiasi filariasis, ketersediaan dan
distribusi obat; mencakup: mempertahankan dan meningkatkan
cakupan pelaksanaan POMP filariasis untuk seluruh penduduk di
daerah endemis secara bertahap dengan target utama tahun
2014 adalah semua pulau di wilayah Indonesia Timur telah
melaksanakannya, meningkatkan pelaksanaan kasus klinis
filariasis dan pasca pengobatan, mengintegrasikan dengan
program terkait lain, serta menjamin ketersediaan dan distribusi
obat filariasis.
2) Program penguatan manejemen mencakup: penguatan
program dan sistem kesehatan dan sumber daya
manusia, peningkatan pencatatan dan pelaporan yang tepat
waktu, meningkatkan monitoring dan evaluasi, meningkatkan
komitmen dan dukungan pendanaan dan program melalui
advokasi, dan sosialisasi dan mobilisasi, meningkatkan
kesadaran masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan, serta
meningkatkan surveilans.
32. Tujuan program akselerasi eliminasi filariasis
adalah pada tahun 2014 semua kabupaten/kota
endemis wilayah Indonesia Timur telah
melakukan POMP filariasis.
Prioritas di Indonesia bagian timur dikarenakan
pertimbangan tingginya prevalensi microfilaria
yang tinggi (39%). Kabupaten/kota endemis
daerah Indonesia barat dan tengah juga
diharapkan akan melaksanakan POMP filariasis
secara bertahap.
33. Keberhasilan program pengendalian penyakit
Filariasis pada tahun 2012
Peningkatan prosentase cakupan pengobatan
massal filariasis terhadap jumlah penduduk
endemis, pada tahun 2012 56,53% sedangkan
data tahun 2011 adalah 37,84%
34. Program di Filipina
Untuk mendukung program eliminasi global
filariasis pada tahun 2020 yang dideklarasikan
oleh WHO, Filipina membuat program berskala
nasional dengan tujuan mengeliminasi Filariasis
limfatik sebagai masalah kesehatan masyarakat
di Filipina pada tahun 2017.
Target program tersebut mencakup
individu, keluarga, dan masyarakat yang hidup di
daerah endemic di 44 provinsi yang ada di
Filipina (30 juta orang untuk pengobatan masal
atau 1/3 total populasi penduduk Filipina).
35. Strategi
1. pemetaaan daerah endemic,
2. penyediaan sarana,
3. pengobatan masal,
4. program dukungan pengendalian,
5. monitoring dan supervisi,
6. evaluasi,
7. sertifikasi nasional,
8. Sertifikasi internasional.
36. Manajemen kegiatan yang dilakuakan
1. Pengobatan selektif (mengobati individu yang positif
mikrofilaria dalam darah saat pemeriksaan)
2. Pemberian obat: Diethylcarbamazine Citrate (dosis
tunggal berdasarkan 6 mg/kgBB)
3. Pengobatan masal (memberikan obat kepada semua
populasi dari usia 2 tahun keatas yang ada di daerah
endemic, obat berupa Diethlcarbamazine Citrate dan
Albendazole 400 mg yang diberikan sekali setahun)
4. Pencegahan kecacatan berupa perawatan di rumah
maupun di komunitas untuk penderita lymphedema &
elephantiasis
37. Secara umum program pencegahan dan
penanggulangan yang diadakan di Indonesia dan
Filipina hampir sama karena bertujuan untuk
mendukung program eliminasi global terhadap
filariasis tahun 2020, tetapi Filipina menargetkan
bebas filariasis pada tahun 2017 sedangkan
Indonesia menargetkan pada tahun 2014. Hal
tersebut disesuaikan dengan tinggi rendahnya
prevalensi filariasis dan kebijakan yang ada. Pada
tahun 1997, prevalensi penderita filariasis di
Filipina mencapai 9,7% per 1000 penduduk, 43
provinsi mengalami endemik filariasis dengan
total populasi yang berisiko sebanyak 30 juta
jiwa.