Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tanggung jawab pemerintah dalam memberikan kompensasi dan restitusi kepada korban pelanggaran HAM berat berdasarkan peraturan pemerintah, namun implementasinya masih jauh dari harapan karena aturan terkait masih lemah.
Makalah ini membahas tentang hak-hak korban dalam pelanggaran HAM yang mencakup hak atas keadilan, ganti rugi, perlindungan, dan informasi mengenai kasusnya berdasarkan deklarasi PBB dan hukum internasional. Tulisan ini juga menjelaskan definisi korban dalam hukum nasional Indonesia serta hak-hak korban seperti kompensasi dan bantuan yang diatur dalam undang-undang."
Perlindungan hukum terhadap korban penyalahgunaan narkotikaDeny Ridha
Bab pertama membahas latar belakang permasalahan penyalahgunaan narkotika yang menjadi penyakit masyarakat dan membahayakan stabilitas sosial. Bab kedua membahas pengertian korban sebagai pihak yang menderita akibat tindakan orang lain dan model-model perlindungan hukum bagi korban penyalahgunaan narkotika melalui sistem peradilan pidana."
Perlindungan Saksi & Korban Sebagai WhistleblowerAbdillah Mt
Ringkasan dokumen tersebut adalah tentang peran penting whistleblower dalam mengungkapkan pelanggaran hukum dan kejahatan, serta mekanisme perlindungan yang disediakan untuk melindungi pelapor seperti perlindungan hukum, fisik, kerahasiaan, dan pemenuhan hak-hak prosedural melalui lembaga seperti LPSK.
Dokumen tersebut membahas tentang viktimologi sebagai ilmu yang mempelajari korban kejahatan dan berbagai aspeknya. Dokumen ini juga membahas tentang kasus kecelakaan yang melibatkan AQJ, anak Ahmad Dhani, yang menabrak mobil dan menewaskan enam orang. Dokumen ini juga membahas tentang perlindungan hukum bagi korban kejahatan berdasarkan Undang-Undang terkait.
Dokumen tersebut membahas tentang viktimologi sebagai ilmu yang mempelajari korban kejahatan, termasuk definisi, jenis korban, tujuan, dan perbedaan dengan kriminologi. Dokumen ini juga membahas tentang hak asasi manusia (HAM) dan perlindungan terhadap korban kejahatan, terutama peran aparat penegak hukum.
Makalah ini membahas tentang hak-hak korban dalam pelanggaran HAM yang mencakup hak atas keadilan, ganti rugi, perlindungan, dan informasi mengenai kasusnya berdasarkan deklarasi PBB dan hukum internasional. Tulisan ini juga menjelaskan definisi korban dalam hukum nasional Indonesia serta hak-hak korban seperti kompensasi dan bantuan yang diatur dalam undang-undang."
Perlindungan hukum terhadap korban penyalahgunaan narkotikaDeny Ridha
Bab pertama membahas latar belakang permasalahan penyalahgunaan narkotika yang menjadi penyakit masyarakat dan membahayakan stabilitas sosial. Bab kedua membahas pengertian korban sebagai pihak yang menderita akibat tindakan orang lain dan model-model perlindungan hukum bagi korban penyalahgunaan narkotika melalui sistem peradilan pidana."
Perlindungan Saksi & Korban Sebagai WhistleblowerAbdillah Mt
Ringkasan dokumen tersebut adalah tentang peran penting whistleblower dalam mengungkapkan pelanggaran hukum dan kejahatan, serta mekanisme perlindungan yang disediakan untuk melindungi pelapor seperti perlindungan hukum, fisik, kerahasiaan, dan pemenuhan hak-hak prosedural melalui lembaga seperti LPSK.
Dokumen tersebut membahas tentang viktimologi sebagai ilmu yang mempelajari korban kejahatan dan berbagai aspeknya. Dokumen ini juga membahas tentang kasus kecelakaan yang melibatkan AQJ, anak Ahmad Dhani, yang menabrak mobil dan menewaskan enam orang. Dokumen ini juga membahas tentang perlindungan hukum bagi korban kejahatan berdasarkan Undang-Undang terkait.
Dokumen tersebut membahas tentang viktimologi sebagai ilmu yang mempelajari korban kejahatan, termasuk definisi, jenis korban, tujuan, dan perbedaan dengan kriminologi. Dokumen ini juga membahas tentang hak asasi manusia (HAM) dan perlindungan terhadap korban kejahatan, terutama peran aparat penegak hukum.
Makalah ini membahas cara merumuskan tindak pidana dalam 3 bab yang mendiskusikan definisi tindak pidana, cara merumuskan tindak pidana melalui pasal hukum pidana, dan jenis subjek tindak pidana."
Dokumen tersebut membahas tentang hukum pidana dan perdata. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum yang diancam dengan hukuman. Hukum perdata mengatur hubungan antar warga negara yang satu dengan yang lain. Terdapat perbedaan antara kedua hukum yaitu pada isi, pelaksanaan, dan penafsiran.
Tindak pidana perdagangan orang didefinisikan sebagai perekrutan, pengangkutan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan cara kekerasan, paksaan, atau penipuan untuk tujuan eksploitasi. Dokumen ini menjelaskan unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang, sistem pembuktiannya, dan sanksi yang diberikan kepada pelaku seperti pidana penjara dan denda berat.
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptorIka Nurrohmah
Makalah ini membahas tentang wacana pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia. Makalah ini menjelaskan pengertian korupsi dan dampaknya, kondisi korupsi di Indonesia yang semakin parah, serta pro dan kontra penerapan hukuman mati bagi koruptor dari perspektif Pancasila. Wacana ini mendapat dukungan karena diharapkan memberi efek jera, namun juga ditentang lantaran melanggar hak
P. 1 pengertian, tujuan, fungsi dan manfaat viktimologi..yudikrismen1
Viktimologi adalah studi tentang korban, penyebab timbulnya korban, dan akibat yang ditimbulkan. Korban didefinisikan secara luas dan tidak terbatas pada individu yang menderita kerugian secara langsung, tetapi juga kelompok, korporasi, dan lingkungan. Tujuan viktimologi antara lain mempelajari peran korban dalam terjadinya kejahatan dan perlindungan yang harus diberikan kepada korban.
Dokumen tersebut membahas tentang pengertian tindak pidana korupsi menurut perspektif hukum dan para ahli serta upaya yang dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia. Secara ringkas, dokumen menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi didefinisikan dalam undang-undang dan mencakup perbuatan yang merugikan negara, suap, penggelapan, dan penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan pribadi. Komisi Pem
Dokumen tersebut membahas kesulitan mendefinisikan korupsi secara tepat karena berbagai faktor. Korupsi memiliki ciri-ciri pengkhianatan terhadap kepercayaan dan penipuan terhadap pemerintah untuk kepentingan pribadi. Dokumen tersebut juga membedah berbagai tipologi korupsi.
Materi Viktimologi Fakultas Hukum Unsoed semester 5.
materi ini di upload dengan itikad baik, bukan plagiarism tetapi untuk bahan ajar, untuk dikonsumsi oleh mahasiswa fakultas Hukum
PELAKU PEMBANTU DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANGPaul SinlaEloE
Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan subjek hukum yang melakukan setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur TPPO. Pelaku TPPO dalam banyak literatur dan dokumen penelitian, selalu diuraikan berdasarkan status, kedudukan atau jabatan. Secara yuridis, Paul SinlaEloE (2017:39) berpendapat bahwa keterlibatan pelaku dalam suatu TPPO bukan ditentukan oleh status, kedudukan atau jabatan, melainkan perannya dalam suatu peristiwa pidana.
Berkaitan dengan peran dari pelaku TPPO, tulisan ini akan membahas tentang orang yang membantu melakukan TPPO. Ada 2 (dua) alasan mengapa pembahasan terkait orang yang membantu melakukan TPPO adalah penting dalam rangka pemberantasan TPPO. Pertama, agar penegak hukum dapat menuntut pertanggungjawaban atau menghukum pelaku TPPO, berdasarkan peran dari keterlibatannya. Kedua, banyak dari mereka yang menjadi pelaku, mungkin saja tidak menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya merupakan kejahatan TPPO.
Makalah ini membahas tentang pengertian hukum, pengantar ilmu hukum, sumber hukum, pembagian sumber hukum, dan peristiwa hukum. Beberapa poin penting yang dijelaskan adalah definisi hukum menurut para ahli, tujuan pengantar ilmu hukum, dan pembagian sumber hukum menjadi hukum material dan formil.
Rpp ppkn sma xi bab 1 sd 9 daripertemuan awal sd akhir diberikan gratis untuk siapa saja untuk bahan pertimbangan jika ada kesalahan mohon kirim email ke dasepggl@gmail.com ataus sms ke 0856 5990 0626
Dokumen tersebut membahas mengenai sistem hukum di Indonesia. Secara garis besar dibahas mengenai berbagai bidang hukum seperti hukum pidana, perdata, tata negara, dan acara. Sayangnya penegakan hukum di Indonesia dinilai masih buruk karena pengaruh uang yang dapat memengaruhi proses hukum, seperti terlihat dari kasus korupsi dan pencurian sandal yang dibahas. Transparansi hukum juga masih perlu d
Korupsi adalah perilaku pejabat publik yang secara tidak sah memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka. Tindakan korupsi dapat berupa penyuapan, penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan pribadi, atau penggelapan dalam jabatan. Undang-undang nomor 31 tahun 1999 mengatur pidana untuk korupsi seperti pidana penjara seumur hidup atau denda.
Lembaga Perlindungan Saksi & Korban di DaerahPaul SinlaEloE
Makalah ini membahas urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di daerah. Secara garis besar, makalah menyebutkan beberapa catatan kritis terhadap UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seperti tujuan yang terlalu sempit dan belum memperhatikan perspektif pemberantasan korupsi. Makalah ini juga menjelaskan tugas dan wewenang LPSK serta alasan mengapa kehadiran LPSK di
Makalah ini membahas cara merumuskan tindak pidana dalam 3 bab yang mendiskusikan definisi tindak pidana, cara merumuskan tindak pidana melalui pasal hukum pidana, dan jenis subjek tindak pidana."
Dokumen tersebut membahas tentang hukum pidana dan perdata. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum yang diancam dengan hukuman. Hukum perdata mengatur hubungan antar warga negara yang satu dengan yang lain. Terdapat perbedaan antara kedua hukum yaitu pada isi, pelaksanaan, dan penafsiran.
Tindak pidana perdagangan orang didefinisikan sebagai perekrutan, pengangkutan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan cara kekerasan, paksaan, atau penipuan untuk tujuan eksploitasi. Dokumen ini menjelaskan unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang, sistem pembuktiannya, dan sanksi yang diberikan kepada pelaku seperti pidana penjara dan denda berat.
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptorIka Nurrohmah
Makalah ini membahas tentang wacana pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia. Makalah ini menjelaskan pengertian korupsi dan dampaknya, kondisi korupsi di Indonesia yang semakin parah, serta pro dan kontra penerapan hukuman mati bagi koruptor dari perspektif Pancasila. Wacana ini mendapat dukungan karena diharapkan memberi efek jera, namun juga ditentang lantaran melanggar hak
P. 1 pengertian, tujuan, fungsi dan manfaat viktimologi..yudikrismen1
Viktimologi adalah studi tentang korban, penyebab timbulnya korban, dan akibat yang ditimbulkan. Korban didefinisikan secara luas dan tidak terbatas pada individu yang menderita kerugian secara langsung, tetapi juga kelompok, korporasi, dan lingkungan. Tujuan viktimologi antara lain mempelajari peran korban dalam terjadinya kejahatan dan perlindungan yang harus diberikan kepada korban.
Dokumen tersebut membahas tentang pengertian tindak pidana korupsi menurut perspektif hukum dan para ahli serta upaya yang dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia. Secara ringkas, dokumen menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi didefinisikan dalam undang-undang dan mencakup perbuatan yang merugikan negara, suap, penggelapan, dan penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan pribadi. Komisi Pem
Dokumen tersebut membahas kesulitan mendefinisikan korupsi secara tepat karena berbagai faktor. Korupsi memiliki ciri-ciri pengkhianatan terhadap kepercayaan dan penipuan terhadap pemerintah untuk kepentingan pribadi. Dokumen tersebut juga membedah berbagai tipologi korupsi.
Materi Viktimologi Fakultas Hukum Unsoed semester 5.
materi ini di upload dengan itikad baik, bukan plagiarism tetapi untuk bahan ajar, untuk dikonsumsi oleh mahasiswa fakultas Hukum
PELAKU PEMBANTU DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANGPaul SinlaEloE
Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan subjek hukum yang melakukan setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur TPPO. Pelaku TPPO dalam banyak literatur dan dokumen penelitian, selalu diuraikan berdasarkan status, kedudukan atau jabatan. Secara yuridis, Paul SinlaEloE (2017:39) berpendapat bahwa keterlibatan pelaku dalam suatu TPPO bukan ditentukan oleh status, kedudukan atau jabatan, melainkan perannya dalam suatu peristiwa pidana.
Berkaitan dengan peran dari pelaku TPPO, tulisan ini akan membahas tentang orang yang membantu melakukan TPPO. Ada 2 (dua) alasan mengapa pembahasan terkait orang yang membantu melakukan TPPO adalah penting dalam rangka pemberantasan TPPO. Pertama, agar penegak hukum dapat menuntut pertanggungjawaban atau menghukum pelaku TPPO, berdasarkan peran dari keterlibatannya. Kedua, banyak dari mereka yang menjadi pelaku, mungkin saja tidak menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya merupakan kejahatan TPPO.
Makalah ini membahas tentang pengertian hukum, pengantar ilmu hukum, sumber hukum, pembagian sumber hukum, dan peristiwa hukum. Beberapa poin penting yang dijelaskan adalah definisi hukum menurut para ahli, tujuan pengantar ilmu hukum, dan pembagian sumber hukum menjadi hukum material dan formil.
Rpp ppkn sma xi bab 1 sd 9 daripertemuan awal sd akhir diberikan gratis untuk siapa saja untuk bahan pertimbangan jika ada kesalahan mohon kirim email ke dasepggl@gmail.com ataus sms ke 0856 5990 0626
Dokumen tersebut membahas mengenai sistem hukum di Indonesia. Secara garis besar dibahas mengenai berbagai bidang hukum seperti hukum pidana, perdata, tata negara, dan acara. Sayangnya penegakan hukum di Indonesia dinilai masih buruk karena pengaruh uang yang dapat memengaruhi proses hukum, seperti terlihat dari kasus korupsi dan pencurian sandal yang dibahas. Transparansi hukum juga masih perlu d
Korupsi adalah perilaku pejabat publik yang secara tidak sah memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka. Tindakan korupsi dapat berupa penyuapan, penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan pribadi, atau penggelapan dalam jabatan. Undang-undang nomor 31 tahun 1999 mengatur pidana untuk korupsi seperti pidana penjara seumur hidup atau denda.
Lembaga Perlindungan Saksi & Korban di DaerahPaul SinlaEloE
Makalah ini membahas urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di daerah. Secara garis besar, makalah menyebutkan beberapa catatan kritis terhadap UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seperti tujuan yang terlalu sempit dan belum memperhatikan perspektif pemberantasan korupsi. Makalah ini juga menjelaskan tugas dan wewenang LPSK serta alasan mengapa kehadiran LPSK di
BUNGA RHAMASTA F-B1A018305- KELAS F.pdfbungarhamasta
1. Hak asasi manusia berkembang melalui tiga generasi yakni hak sipil dan politik, hak ekonomi sosial dan budaya, serta hak solidaritas. Beberapa ahli seperti John Locke dan Soekarno menentang konsep HAM karena dianggap individualistis.
2. Hukum internasional HAM mengakui individu sebagai subjek hukum internasional. Negara dapat dihukum jika melakukan pelanggaran HAM.
3. UU pornografi
Lokasi yang dijadikan tempat penelitian oleh peneliti kali ini adalah di Koramil pancur, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Alasan memilih tempat ini adalah karena lokasi yang dekat dan maraknya kasus tersebut. Berikut ini adalah dokumentasi lokasi penelitian
Materi Penegakan hukum di indonesia.pptxMayaRiantini1
Upaya penegakan hukum di suatu negara, sangat erat kaitannya dengan tujuan negara. Anda disarankan untuk mengkaji teori tujuan negara dalam buku “Ilmu Negara Umum”. Menurut Kranenburg dan Tk.B.Sabaroedin (1975) kehidupan manusia tidak cukup hidup dengan aman, teratur dan tertib, manusia perlu sejahtera. Apabila tujuan negara hanya menjaga ketertiban maka tujuan negara itu terlalu sempit. Tujuan negara yang lebih luas adalah agar setiap manusia terjamin kesejahteraannya di samping keamanannya. Dengan kata lain, negara yang memiliki kewenangan mengatur masyarakat, perlu ikut menyejahterakan masyarakat. Teori Kranenburg tentang negara hukum ini dikenal luas dengan nama teori negara kesejahteraan.
Makalah ini membahas tentang sifat melawan hukum dalam perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Ada dua jenis sifat melawan hukum yaitu materiil dan formil. Sifat melawan hukum materiil adalah melanggar hukum secara luas, sedangkan formil hanya melanggar hukum tertulis. Pertang
Pertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukanyudikrismen1
Hukum pidana bertujuan untuk melindungi hak-hak azasi manusia dan menegakkan keadilan dengan mempertimbangkan kepentingan individu, masyarakat, dan negara.
Dokumen tersebut membahas tentang substansi hak dan kewajiban asasi manusia dalam Pancasila, kasus pelanggaran HAM, dan upaya penegakan HAM di Indonesia. Pancasila menjamin HAM melalui nilai-nilai dasar, instrumental, dan praktisnya. Pelanggaran HAM disebabkan faktor internal dan eksternal, seperti penyalahgunaan kekuasaan. Upaya pemerintah dalam penegakan HAM meliputi pembentukan Komnas HAM dan pengad
Dokumen tersebut membahas tentang pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Ia mendefinisikan pelanggaran HAM, jenis-jenis pelanggaran HAM, contoh kasus pelanggaran HAM di Indonesia, serta upaya penanganan pelanggaran HAM.
Dokumen tersebut membahas tentang pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Ia mendefinisikan pelanggaran HAM, jenis-jenis pelanggaran HAM, contoh kasus pelanggaran HAM di Indonesia, serta upaya penanganan pelanggaran HAM.
Dokumen tersebut membahas tentang pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Ia mendefinisikan pelanggaran HAM, jenis-jenis pelanggaran HAM, dan contoh kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia seperti kasus Tanjung Priok, pembunuhan Marsinah, dan penculikan aktivis politik. Dokumen ini juga menjelaskan upaya-upaya yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam menangani pelanggaran HAM melalui instrumen HAM
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restitusi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat
1. EDISI III VOLUME 6 YUSTITIA RAHMANIYAH
1
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN DAN PENGAJUAN
KOMPENSASI DAN RESTITUSI TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM
BERAT BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 3 TAHUN
2002 DAN PP NOMOR 44 TAHUN 2008
Oleh : Andri Koswara, S.H., M.H. (NIDN. 0209118602)
Penulis adalah dosen tetap di STIH Rahmaniyah Sekayu
Abstrak
Kejahatan yang berupa pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah termasuk dalam kategori
Kejahatan Kemanusiaan (Crime Againt Humanity) dan Kajahatan yang berdampak Luar Biasa
(Extra Ordinary Crime). Terlebih apabila menyangkut Kejahatan HAM Yang Berat yang tentu saja
banyak menimbulkan masalah tidak hanya bersifat Nasional maupun Internasional, terutama
yang menyangkut persoalan penanganan Korban kejahatan tersebut. Dalam Statuta Roma Tahun
1998 sudah diatur tentang mekanisme pemberian dan cara pengajuan Kompensasi dan Restitusi
terhadap Korban pelanggaran HAM Berat. Dalam Peraturan Perundangan Indonesia memang
sudah ada pengaturan hal tersebut, namun belum efektif berjalan yang disebabkan banyak
faktor terutama faktor lemahnya atau ketidak jelasan dari regulasi tadi. Penelitian ini
menggunakan pendekatan Yuridis Normatif dengan melakukan studi pustaka dari buku-buku
literatur dan peraturan perundangan yang berhubungan dengan pokok masalah. Dari hasil
penelitian yang dilakukan, maka penulis mengambil kesimpulan, yaitu : Pembebanan tanggung
jawab dalam urusan pemberian dan cara mengajukan permohonan Korban HAM Berat untuk
mendapat hak-haknya sepenuhnya adalah Pemerintah, yaitu dengan mengeluarkan beberapa
kebijakan dengan membuat berbagai peraturan yang berhubungan dengan pemberian
Kompensasi dan Restitusi terhadap pelanggaran HAM Berat, yaitu membentuk Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang tugasnya mengurusi masalah Kompensasi dan
Restitusi untuk Korban pelanggaran HAM Berat. Walau harus disadari sampai sekarang ini hasil
yang diperoleh masih sangat jauh dari apa diharapkan.
Kata Kunci : Kompensasi, Restitusi terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat.
A. Pendahuluan
Hak Korban kejahatan dalam
sistem hukum Nasional sepertinya
belum mendapatkan perhatian serius.
Ini terbukti dari masih sedikitnya hak-
hak Korban kejahatan memperoleh
ruang pengaturan dalam peraturan
Per-Undang-Undangan Nasional.
Adanya ketidak imbangan antara
perlindungan Korban kejahatan dengan
Pelaku kejahatan yang pada dasarnya
merupakan salah satu pengingkaran
dari asas setiap Warga Negara untuk
mendapatkan kedudukan sama di
hadapan hukum dan pemerintahan
sebagaimana diamanatkan oleh UU
Dasar 1945 sebagai landasan
konstitusional. Kemudian muncul
pandangan yang menyebutkan pada
saat Pelaku kejahatan telah diperiksa,
diadili dan dijatuhi hukuman pidana,
maka pada saat itu pula perlindungan
terhadap Korban telah diberikan.1
Dalam pembahasan hukum
Nasional maupun Internasional sering
ditemukan berbagai kajian untuk
melihat bagaimana seharusnya Korban
kejahatan memperoleh perlindungan
hukum serta bagaimana sistem hukum
1 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta
Hukum Pidana Internasional, Utomo, Bandung,
2012, hlm. 114
2. EDISI III VOLUME 6 YUSTITIA RAHMANIYAH
2
Nasional mengatur perihal
perlindungan Korban kejahatan. Dalam
peraturan beberapa Per-Undang-
Undangan Nasional masalah
perlindungan Korban kejahatan
memang sudah diatur, namun sifatnya
masih bersifat parsial dan tidak
berlaku secara umum untuk semua
Korban kejahatan. Adanya berbagai
permasalahan mengenai jenis Korban
dalam kehidupan masyarakat, maka ini
pulalah yang melatar belakangi
lahirnya cabang ilmu baru yang disebut
dengan “viktimologi”. Viktimologi atau
victimology (istilah dalam bahasa
Inggris) berasal dari bahasa Latin, yaitu
victima yang berarti “Korban”,
sedangkan logos yang berarti “ilmu
pengetahuan”. Secara singkat,
viktimologi adalah ilmu yang
mempelajari Korban dari berbagai
aspek.2
Sangatlah disadari, bahwa
Korban-Korban kejahatan itu, di satu
pihak dapat terjadi karena
perbuatan/tindakan seseorang (orang
lain) seperti Korban pencurian,
pembunuhan dan sebagainya (yang
lazim disebut sebagai Korban
kejahatan) dan di lain pihak, Korban
dapat pula terjadi oleh karena peristiwa
alam yang berada di luar jangkauan
manusia (yang lazimnya disebut
sebagai Korban bencana alam),
misalnya Korban letusan gunung
berapi, Korban banjir, Korban gempa
bumi dan lain-lain. Walaupun kategori
Korban di atas sungguh-sungguh
2 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum
Pidana Kriminologi dan Victimologi, Djambatan,
Jakarta, 2010, hlm. 34
terjadi berdasarkan realita, akan tetapi
para pakar beranggapan, bahwa
pengertian Korban atau victim
merupakan cikal bakal lahirnya kajian
viktimologi yang pada awalnya hanya
terbatas pada Korban kejahatan. Atas
dasar ini pula tanpa mengecilkan arti
dari upaya pengkajian jenis Korban
selain dari Korban kejahatan yang ada
dalam masyarakat tersebut, pengkajian
masalah Korban dalam tulisan ini
hanya difokuskan pada jenis Korban
yang timbul sebagai akibat dari
pelanggaran terhadap ketentuan
hukum pidana materil, yang lazimnya,
seperti yang disebutkan di atas disebut
sebagai Korban kejahatan. Korban
dalam konteks ini merupakan Korban
dalam pengertian yang konvensional
dan sekaligus sebagai cikal bakal yang
menjadi objek kajian pada awal
lahirnya viktimologi (klasik).3
Ketika terjadi kejahatan,
maka dapat dipastikan akan
menimbulkan kerugian pada
Korbannya. Korban kejahatan harus
menanggung kerugian karena
kejahatan, baik materiil maupun
imateriil. Korban kejahatan yang pada
dasarnya merupakan pihak yang paling
menderita dalam suatu tindak pidana,
tidak memperoleh perlindungan
sebanyak yang diberikan oleh UU
kepada Pelaku kejahatan. Akibatnya,
pada saat Pelaku kejahatan telah
dijatuhi sanksi pidana oleh Pengadilan
sedangkan kondisi Korban kejahatan
3 Ibid, hlm. 37
3. EDISI III VOLUME 6 YUSTITIA RAHMANIYAH
3
tidak dipedulikan.4 Dalam penyelesaian
perkara pidana, sering kali hukum
terlalu mengedepankan hak-hak
Tersangka/Terdakwa, sementara hak-
hak Korban diabaikan, sebagaimana
dikemukakan oleh Andi Hamzah :
“Dalam membahas hukum acara
pidana khususnya yang berkaitan
dengan hak-hak asasi manusia, ada
kecenderungan untuk mengupas hal-
hal yang berkaitan dengan hak-hak
Tersangka tanpa memperhatikan pula
hak-hak para Korban.”.5
Dalam penyelesaian perkara
pidana, banyak ditemukan Korban
kejahatan kurang memperoleh
perlindungan hukum yang memadai,
baik perlindungan yang sifatnya
imaterial maupun materiil. Korban
kejahatan ditempatkan sebagai alat
bukti yang memberikan keterangan,
yaitu sebagai Saksi sehingga
kemungkinan bagi Korban untuk
memperoleh keleluasaan dalam
memperjuangkan haknya adalah kecil.6
Korban tidak diberikan
kewenangan dan tidak terlibat secara
aktif dalam proses Penyidikan dan
persidangan sehingga ia kehilangan
kesempatan untuk memperjuangkan
hak-hak dan memulihkan keadaannya
akibat suatu kejahatan. Tidak jarang
4 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris
Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
Antara Norma dan Realita, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, hlm. 24
5 Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak
Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, Bina Cipta, Bandung,
2006, hlm. 33.
6 Chaerudin Ismail dan Syarif Fadillah,
Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi
dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta,
2004, hlm. 47
juga ditemukan Korban yang
mengalami penderitaan (fisik, mental
atau materiil) akibat dari suatu tindak
pidana yang menimpa dirinya, tidak
mempergunakan hak-hak yang
seharusnya dia terima, karena berbagai
alasan, misalnya Korban menolak
untuk mengajukan ganti kerugian,
karena dikhawatirkan prosesnya akan
menjadi semakin panjang dan berlarut-
larut yang dapat berakibat pada
timbulnya penderitaan yang
berkepanjangan.
Salah satu bentuk
perlindungan terhadap Korban
kejahatan dan merupakan hak dari
seseorang yang menjadi Korban tindak
pidana adalah untuk mendapatkan
Kompensasi dan Restitusi. Kompensasi
diberikan oleh Negara kepada Korban
pelanggaran HAM Berat, sedangkan
Restitusi merupakan ganti rugi pada
Korban tindak pidana yang diberikan
oleh Pelaku sebagai bentuk
pertanggung jawabannya.7 Sangat
jarang ada Korban tindak pidana yang
mendapatkan ganti rugi. Kasus-kasus
HAM yang terjadi di Indonesia sampai
saat ini belum pernah ada Korban
pelanggaran HAM yang mendapat
Kompensasi dan Restitusi walaupun
dalam amar putusan Pengadilan
Korban berhak untuk mendapatkan
Kompensasi dan Restitusi.8 Hak atas
Kompensasi, Restitusi dan rehabilitasi
yang secara jelas dinyatakan oleh UU
7 Ibid, hlm. 55.
8 Ibid, hlm. 56
4. EDISI III VOLUME 6 YUSTITIA RAHMANIYAH
4
bahkan tidak dapat dijalankan sama
sekali.9
Tidak diberikannya hak-hak
Korban yang secara tegas telah
dinyatakan dalam ketentuan per-UUan
dapat menimbulkan ketidak percayaan
Korban, bahwa hak-hak mereka akan
dilindungi bahkan diberikan ketika
mereka berpartisipasi dalam proses
peradilan untuk mendukung
penegakan hukum. Hal ini
menunjukkan, bukan saja dapat
dikatakan, bahwa Negara gagal
mewujudkan sistem peradilan yang
kompeten dan adil, Negara juga gagal
menjamin sistem kesejahteraan dari
Warga Negaranya yang menjadi Korban
pelanggaran HAM, karena hak Korban
akan ganti rugi pada dasarnya
merupakan bagian integral dari hak
asasi bidang kesejahteraan/jaminan
sosial (social security). Lebih jauh lagi
bahwa Negara juga telah mengurangi
hak-hak dari Saksi dan Korban yang
telah diakui oleh dunia Internasional.10
Sebuah contoh misalnya,
Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok
yang merupakan satu-satunya
Pengadilan yang memberikan putusan
Kompensasi kepada Korban belum
berhasil diimplementasikan karena
masih adanya hambatan prosedural.
Korban pelanggaran HAM Tanjung
Priok akhirnya mendapatkan putusan
dari Majelis Hakim untuk
mendapatkan Kompensasi dalam dua
putusan, di mana satu putusan hanya
9 Supriady Widodo Eddyono dkk.,
Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM
Berat, Elsam, Jakarta, 2010, hlm. 236
10 Ibid, hlm. 238
menyatakan, bahwa Korban
mendapatkan Kompensasi sedangkan
satu putusan lainnya dengan disertai
jumlah Kompensasi yang akan diterima
oleh para Korban.
Putusan Kompensasi di atas
dalam pelaksanaannya terhambat,
karena secara normatif di mana
eksekusi putusan tersebut hanya bisa
dilaksanakan setelah ada keputusan
Pengadilan yang bersifat tetap. Berarti
Kompensasi akan diterima oleh Korban
pada saat Terdakwa dinyatakan
bersalah di tingkat Mahkamah Agung,
sebaliknya jika ternyata Terdakwa
dibebaskan di tingkat banding atau
Mahkamah Agung, maka Kompensasi
tersebut akan gugur. Hal ini karena
konsep Kompensasi kepada Korban
menggantungkan faktor kesalahan dari
Terdakwa dan bukan karena hak yang
melekat terhadap setiap Korban
pelanggaran HAM. Pengadilan HAM ad
hoc Tanjung Priok telah secara nyata
menerapkan dan mengadopsi
kekeliruan dalam memahami konsep
Kompensasi dan Restitusi. Hal ini
tampak dari adanya prasyarat yang
harus terpenuhi agar Korban
mendapatkan Kompensasi dan
Restitusi, yaitu dinyatakan bersalah
dan dipidananya Pelaku.11 Pernyataan
di atas berbeda dengan apa yang sudah
menjadi prinsip hukum HAM
Internasional, bahwa Korban
pelanggaran HAM Berat berhak
mendapatkan Kompensasi (dan atau
11 Putusan Nomor 01/Pid. HAM/Ad
Hoc/2003/PN.JKT.PST atas nama Sutrisno
Mascung, dkk, 20 Agustus 2004, hlm. 143-145.
5. EDISI III VOLUME 6 YUSTITIA RAHMANIYAH
5
Restitusi) tanpa harus menunggu
apakah Pelakunya dipidana atau tidak.
Berdasarkan uraian yang
telah dilakukan di atas, identifikasi
masalah yang penulis dapat
kemukakan yaitu bagaimana tanggung
jawab Pemerintah dalam pemberian
Kompensasi dan Restitusi terhadap
Korban pelanggaran HAM Berat
berdasarkan PP No. 3 Tahun 2002 jo.
PP Nomor 44 Tahun 2008. Penyusunan
penelitian ini mempergunakan jenis
penelitian normatif,12 yang
dititikberatkan pada studi dokumen
dalam penelitian kepustakaan, yaitu
penelitian yang dilakukan untuk
mempelajari bahan kepustakaan atau
data-data sekunder yang terkumpul,
berupa bahan-bahan hukum primer,
sekunder dan tersier, yang berkaitan
dengan Tanggung Jawab Pemerintah
dalam Pemberian Kompensasi dan
Restitusi terhadap Korban Pelanggaran
HAM berat berdasarkan PP No.3 Tahun
2002 jo PP No.44 Tahun 2008.
B. Tanggung Jawab Pemerintah dalam
Pemberian Kompensasi dan Restitusi
terhadp Korban Pelanggaran HAM
Berdasarkan PP No.3 Tahun 2002 jo
PP No.44 Tahun 2008.
Negara mempunyai kewajiban
untuk melindungi seluruh warga
Negaranya menurut tata kehidupan
masyarakat beradab yang menjunjung
tinggi norma-norma hukum. Kewajiban
Negara ini dijalankan oleh pemerintah
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Cetakan Keenam, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, hlm. 23.
dalam arti luas (eksekutif, legislatif dan
yudikatif). Hukum pidana telah
mengambil alih hak Korban dalam
memenuhi kebutuhannya untuk
melampiaskan balas dendam. Terkait
teori retributif dalam pemidanaan,
tuntutan keadilan yang sifatnya
absolut hanya boleh dilakukan oleh
Negara melalui alat-alat Penegak
hukumnya. Kepentingan Korban telah
diwakili Polisi pada tingkat penyidikan
dan Jaksa/Penuntut Umum pada
tingkat penuntutan dan peradilan.
Sejarah hukum pidana
menunjukkan, bahwa semula reaksi
terhadap tindak pidana sepenuhnya
menjadi hak Korban dalam bentuk
pemuasan keinginan untuk balas
dendam. Keinginan ini lambat laun
dapat digantikan dengan pembayaran
ganti rugi oleh pelaku. Ternyata akibat
tindak pidana tidak saja merupakan
urusan pelaku dan Korban, melainkan
juga keseimbangan ketertiban
masyarakat (Negara). Atas dasar ini,
maka Korban telah kehilangan haknya
untuk balas dendam, bahkan haknya
untuk mendapatkan ganti rugi dari
pelaku tindak pidana. Tanggung jawab
Negara (state responsibility) dalam
Hukum Internasional menurut Theo
van Boven timbul sebagai akibat dari
pelanggaran Hukum Internasional oleh
Negara. Elemen yang merupakan
pelanggaran Hukum Internasional
antara lain adalah :
1. Melakukan (action) tindakan yang
tidak dibolehkan atau tidak
melakukan (omission) tindakan
yang menjadi kewajiban Negara,
6. EDISI III VOLUME 6 YUSTITIA RAHMANIYAH
6
berdasarkan ketentuan Hukum
Internasional.
2. Melakukan tindakan yang
merupakan pelanggaran terhadap
kewajiban Internasional suatu
Negara.
Komisi hukum Internasional
lebih jauh memberikan rincian
mengenai pelanggaraan terhadap
kewajiban Internasional dan
membedakannya menjadi dua yaitu:
1. Kejahatan Internasional
(International Crimes) dan
2. Delik Internasional (International
Delicts).
Kejahatan Internasional adalah
pelanggaran terhadap kewajiban
Internasional yang demikian penting
untuk perlindungan kepentingan-
kepentingan masyarakat Internasional
dan dianggap sebagai kejahatan oleh
masyarakat itu secara keseluruhan.
Adapun yang masuk kategori ini antara
lain pelanggaran berat kewajiban
Internasional termasuk pelanggaran
HAM Berat. Sedangkan Delik
Internasional adalah tindakan yang
menyalahi atau melanggar ketentuan
Internasional tetapi tidak tergolong
sebagai kejahatan.13
Masalah tanggung jawab
Negara dalam kaitannya dengan
hukum Internasional untuk hak asasi
manusia akan mengemuka apabila
suatu Negara melanggar kewajiban
13 Theo van Boven, Mereka yang
Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi,
Kompensasi dan Rehabilitasi, ELSAM, Jakarta,
2002., hlm. 19.
untuk menghormati hak asasi
manusia.14 Di dalam sebuah
pelanggaran HAM terutama
pelanggaran HAM Berat Negara
mempunyai kewajiban yang pertama
Melakukan Investigasi, mengadili
pelaku dan menghukumnya apabila
terbukti bersalah. Kewajiban ini
menghendaki agar Negara menghormati
hak asasi manusia yang diakui secara
Internasional serta memastikan
penerapan hak-hak tersebut dan jika
memang kemudian pelanggaran terjadi,
maka pemerintah wajib untuk
memberikan hukuman yang setimpal
kepada pelaku untuk mencegah
terjadinya impunity terhadap kasus
tersebut. gagal untuk tidak melindungi
suatu pelanggaran HAM Berat yang
akan mengakibatkan Kedua,
memberikan santunan, rehabilitasi dan
Kompensasi kepada Korban. Kewajiban
ini mengandung makna bahwa Negara
bertanggung jawab untuk melakukan
pemulihan (reparation) yang efektif
terhadap Korban.
Ada dua istilah yang menunjuk
pada pertanggung jawaban dalam
kamus hukum, yaitu liability dan
responsibility. Liability merupakan
istilah hukum yang luas yang
menunjuk hampir semua karakter
risiko atau tanggung jawab, yang pasti,
yang bergantung atau yang mungkin
meliputi semua karakter hak dan
kewajiban secara aktual atau potensial
seperti kerugian, ancaman, kejahatan,
biaya atau kondisi yang menciptakan
tugas untuk melaksanakan undang-
14 Ibid, hlm. 24
7. EDISI III VOLUME 6 YUSTITIA RAHMANIYAH
7
undang. Responsibility berarti hal yang
dapat dipertanggung jawabkan atas
suatu kewajiban, dan termasuk
putusan, ketrampilan, kemampuan dan
kecakapan meliputi juga kewajiban
bertanggung jawab atas undang-
undang yang dilaksanakan. Dalam
pengertian dan penggunaan praktis,
istilah liability menunjuk pada
pertanggung jawaban hukum, yaitu
tanggung gugat akibat kesalahan yang
dilakukan oleh subyek hukum,
sedangkan istilah responsibility
menunjuk pada pertanggung jawaban
politik.15
Mengenai persoalan
pertanggung jawaban pejabat menurut
Kranenburg dan Vegtig ada dua teori
yang melandasinya yaitu:
1. Teori fautes personalles, yaitu teori
yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan
kepada pejabat yang karena
tindakannya itu telah
menimbulkan kerugian. Dalam
teori ini beban tanggung jawab
ditujukan pada manusia selaku
pribadi.
2. Teori fautes de services, yaitu teori
yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan
pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan. Menurut teori ini
tanggung jawab dibebankan
kepada jabatan. Dalam
penerapannya, kerugian yang
timbul itu disesuaikan pula apakah
kesalahan yang dilakukan itu
15 HR. Ridwan, Hukum Administrasi
Negara, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006, hlm. 335-337.
merupakan kesalahan berat atau
kesalahan ringan, dimana berat
dan ringannya suatu kesalahan
berimplikasi pada tanggung jawab
yang harus ditanggung.16
Pemerintah memang sudah selayaknya
bertanggung jawab sebagai Institusi
atau Organisasi Masyarakat (Negara)
terhadap persoalan-persoalan yang
menjadi tanggung jawabnya termasuk
bertanggung jawab dalam memberikan
Kompensasi dan Restitusi terhadap
Korban pelanggaran HAM Berat
sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002
Tentang Kompensasi, Restitusi dan
Rehabilitasi terhadap Korban
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
dan PP Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Tata Cara Perlindungan Saksi dan
Korban Pelanggaran HAM Berat.
C. Penutup
Tanggung jawab pihak Pemerintah
dalam bentuk membuat beberapa
kebijakan dengan dikeluarkannya
berbagai peraturan Per-Undang-
Undangan di Indonesia. Hal ini terlihat
dari pengaturan hak ganti rugi
terhadap Korban dalam KUHAP, UU
Pengadilan HAM, dan UU Perlindungan
Saksi dan Korban. Namun dengan
adanya berbagai peraturan tersebut
justru mengakibatkan adanya
kerancuan dalam penggunaan istilah
Kompensasi dan Restitusi yang apabila
tidak diselaraskan akan berimplikasi
pada benturan regulasi dan
menyebabkan ketidak-jelasan dalam
16 Ibid, hlm. 365.
8. EDISI III VOLUME 6 YUSTITIA RAHMANIYAH
8
penerapannya. Upaya yang dilakukan
oleh Pemerintah dalam hal pemenuhan
hak Korban berupa pemberian
Kompensasi dan Restitusi sudah
dilakukan dengan dikeluarkannya PP
Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi dan
Bantuan Kepada Korban dan Saksi.
Kemudian disusul dengan
dikeluarkannya PP Nomor 44 Tahun
2008 yang mengatur dengan jelas
tentang mekanisme pemberian
Kompensasi dan Restitusi terhadap
Korban, walaupun PP ini hanya sebatas
Korban secara umum, bukan khusus
ditujukan untuk Korban pelanggaran
HAM Berat.
Daftar Pustaka
Buku-buku
Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi
Manusia dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, Bina
Cipta, Bandung, 2006.
Chaerudin Ismail dan Syarif Fadillah,
Korban Kejahatan dalam Perspektif
Viktimologi dan Hukum Pidana
Islam, Ghalia Press, Jakarta, 2004.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris
Gultom, Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan Antara Norma
dan Realita, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006.
HR. Ridwan, Hukum Administrasi Negara,
Penerbit Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006.
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana
Kriminologi dan Victimologi,
Djambatan, Jakarta, 2010.
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum
Pidana Internasional, Utomo,
Bandung, 2012.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), Cetakan
Keenam, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003.
Supriady Widodo Eddyono dkk.,
Perlindungan Saksi dan Korban
Pelanggaran HAM Berat, Elsam,
Jakarta, 2010.
Theo van Boven, Mereka yang Menjadi
Korban, Hak Korban Atas Restitusi,
Kompensasi dan Rehabilitasi,
ELSAM, Jakarta, 2002.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2002 Tentang
Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
Terhadap Korban Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang Berat.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 2008 Tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi dan
Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
Sumber Lain (Surat Kabar/Majalah/
Internet / Wawancara).
Putusan Nomor 01/Pid. HAM/Ad
Hoc/2003/PN.JKT.PST atas nama
Sutrisno Mascung, dkk, 20 Agustus
2004.