Dokumen tersebut membahas perkembangan siswa menurut teori-teori psikologi, meliputi perkembangan kognitif menurut Piaget, perkembangan sosial menurut Erikson, dan perkembangan moral menurut Kohlberg. Teori-teori tersebut dijelaskan beserta tahapan-tahapannya yang relevan dengan perkembangan siswa di sekolah.
1. PSIKOLOGI PENDIDIKAN
STUDENT DEVELOPMENT (PERKEMBANGAN SISWA)
Dosen Pengampu:
Dr. Endri Boeriswati
Oleh :
Aminah Maulidah
Eva Nurchurifiani
Ledy Nur Lely
Program Pascasarjana
Program Pendidikan Bahasa
Universitas Negeri Jakarta
2010
2. STUDENT DEVELOPMENT (PERKEMBANGAN SISWA)
Perkembangan adalah perubahan pribadi jangka panjang yang memiliki banyak
sumber dan efek. Perubahan yang cepat dan sederhana lebih sering disebut dengan
‘pembelajaran’atau learning bukan perkembangan. Sebagai contoh ketika seorang anak
belajar tentang nama-nama planet dalam system tata surya, anak tersebut mungkin tidak
butuh banyak waktu tanpa melibatkan pengalaman. Jadi perbedaan antara
learning/pembelajaran dengan perkembangan/development adalah terletak pada
derajatnya/kualitas belajar itu sendiri. Hal ini seperti di ungkapkan oleh Salkind, 2004;Lewis,
1997.
Perkembangan merupakan perubahan jangka panjang. Perkembangan meliputi
perkembangan fisik dari mulai tinggi badan, berat badan, pubertas. Perkembangan
keterampilan motorik, kesehatan dan daya tahan tubuh.
Perkembangan siswa meliputi, perkembangan kognitif, perkembangan sosial dan
perkembangan moral.
Perkembangan kognitif berdasarkan teori dari Jean Piaget, seorang psikolog asal Swiss
(1896-1980).
Kognitif yaitu proses atau aktivitas pikiran dalam mencari, menemukan, mengetahui,
dan memahami informasi. Perkembangan kognitif menurut Piaget meliputi empat tahapan
yaitu sensorimotor, praoperasional, operasional konkrit dan operasional formal.
1. Tahapan sensorimotor (dari lahir sampai usia 2 tahun)
Tahap Piaget yang pertama ini dimulai dari kelahiran sampai sekitar umur dua tahun, dimana
bayi membangun pemahaman tentang dunia dengan mengordinasikan pengalaman indra
(sensori) seperti melihat dan mendengar dengan gerakan motorik mereka seperti menggapai,
menyentuh.
2. Tahapan praoperasional (sekitar umur 2 sampai 7 tahun)
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Pada tahap pra-operasinal, anak-
anak menggunakan kemampuan baru mereka untuk mewakili objek dalam berbagai kegiatan
tetapi mereka belum melakukannya dengan terorganisir atau logis. Pada tahap ini, anak mulai
merepresentasikan dunia dengan kata-kata dan gambar. Sebagai contoh kognisi dalam tahap
ini adalah bermain peran, misal ada sebuah mainan pisang yang dianggapnya adalah sebuah
3. gagang telepon lalu berdering dan ia akan melakukan percakapan. Hal ini bukanlah untuk
anggapan bahwa ia gila tetapi ini adalah bentuk representasi/gambaran dari sebuah telepon.
3. Tahapan operasional konkrit
Ini adalah tahap ketiga usia sekitar 7 sampai 11 tahun. Pada tahap ini anak telah bisa berfikir
logis tentang kejadian-kejadian konkrit dan mampu mengklasifikasi objek kedalam kelompok
yang berbeda-beda. Dalam berfikir konkrit bagi anak-anak berbeda dengan berfikir
praoperasional. Salah satu perbedaan itu adalah reversibility (keterbalikan) adalah
kemampuan berfikir tentang langkah-langkah dari proses dalam sebuah pesan. Sebagai
contoh untuk mengeksplorasi mengapa benda tenggelam atau mengapung disuatu baskom
yang berisi air. Baik praoperasional maupun operasional konkrit adalah sama-sama
menggambarkan langkah dari pengalaman. Decenter atau fokus pada lebih dari suatu masalah
dalam suatu waktu.
4. Tahapan operasional formal: Umur 11 sampai dewasa
Pada tahap teori Piaget yang terakhir, seorang anak sudah mulai mampu memikirkan
sesuatu yang bersifat abstrak atau hipotesis, tidak hanya memikirkan benda atau kejadian
nyata. Tahap ini disebut tahap operasional formal, periode dimana seorang individu dapat
merumuskan, memikirkan, atau menggambarkan sesuatu. Untuk siswa yang berada pada
level ini, guru dapat mengajukan masalah yang bersifat hipotesis atau yang sifatnya yang
bertentangan menuju fakta yang ada seperti: apa yang terjadi jika dunia tidak pernah
menemukan minyak? Apa yang terjadi jika pertama kalinya penjelajah Eropa mendiami
California terlebih dahulu daripada daerah pesisir timur Amerika Serikat? Untuk menjawab
pertanyaan seperti itu, siswa harus menggunakan penalaran hipotesis yang berarti mereka
harus merumuskan ide atau gagasan tentang cara untuk memecahkan masalah dan mencapai
kesimpulan secara otomatis.
Penalaran hipotesis yang menjadi fokus perhatian Piaget secara keseluruhan
membicarakan masalah-masalah yang berbau ilmu pengetahuan. Penelitiannya tentang
penalaran operasional formal oleh karena itu seringkali dianggap seperti masalah yang
dihadapi oleh guru sekolah menengah atas atau siswa menengah pertama dalam kelas sains.
Salah satu masalah, contohnya seorang anak diperkenalkan tentang bandul sederhana untuk
menghitung perbedaan jumlah beban yang digantungkan pada bandul (Inhelder & Piaget,
1958). Peneliti bertanya apa yang menyebabkan kecepatan bandul berayun: panjang tali yang
terikat, beban yang menggantung pada sebuah bandul, ataukah jarak ketika bandul ditarik
4. dari samping? Untuk menjawab pertanyaan ini, si anak tidak diperbolehkan untuk mengatasi
menjawab masalah ini dengan uji coba terhadap material tersebut, tapi permasalahan di atas
harus dijawab dengan pemikiran yang sifatnya penalaran. Untuk menjawab petanyaan di atas
secara sistematik, dia harus membayangkan berbagai macam faktor penyebab secara terpisah
atau satu persatu sambil tetap membayangkan faktor-faktor tetap lainnya. Proses berpikir ini
mengharuskan tersedianya berbagai macam faktor pendukung untuk berpikir tentang objek
atau tindakan yang relevan dengan tepat terutama kemampuan yang menjelaskan teori
operasional formal.
Seperti perkiraan kita, siswa dengan kemampuan berpikir hipotesis memiliki banyak
keunggulan dalam kegiatan-kegiatan sekolah; disini dijelaskan bahwa mereka dianggap
seperti tiang yang dapat mengatasi masalah-masalah yang ada. Siswa dengan pola pemikiran
operasional formal menguji hipotesis mereka dengan pengujian yang cermat dibandingkan
siswa dengan pemikiran kongkret- tentu saja ini merupakan kualitas siswa yang paling
diinginkan oleh kebanyakan guru. Sebagai catatan, pemikiran operasional formal dibutuhkan
namun tidak cukup untuk mendukung kesuksesan di sekolah, dan hal itu bukanlah satu-
satunya jalan untuk mencapai kesuksesan pendidikan siswa. Kemampuan berpikir formal
tidak memastikan siswa untuk termotivasi atau memiliki kepribadian yang baik, sebagai
contoh, tidak hanya itu yang menjamin pun ada kemampuan lain yang diharapkan seperti
kemampuan dalam bidang olahraga, music, atau seni. Tahap ke empat dalam teori Piaget ini
khusus membahas tentang penalaran formal, sebuah tahap yang dibutuhkan untuk menjawab
masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu sains dan memikirkan penelitian-penelitian
ilmiah. Sejak banyak orang tidak setuju dengan masalah-masalah yang terjadi pada proses
penbelajaran secara normal, hal itu tidak mengejutkan lagi ketika para peneliti menemukan
bahwa banyak orang tidak pernah mencapai proses berpikir secara operasional atau benar-
benar menggunakannya secara konsisten atau mereka hanya menggunakannya dalam wilayah
yang dianggap familiar bagi mereka (Case & Okomato, 1996). Bagi guru, batasan-batasan
yang diberikan oleh teori Piaget ini sangat membatasi mereka sehingga mereka
membutuhkan teori lain tentang perkembangan siswa yang salah satunya lebih terfokus pada
masalah sosial dan nasalah tentang masa kanak-kanak dan masa remaja.
Perkembangan sosial: hubungan dengan orang lain, keinginan pribadi, dan moralitas
Perkembangan sosial mengacu pada perubahan hubungan yang panjang dalam sebuah
hubungan dan interaksi yang mencakup diri sendiri, teman sebaya, dan keluarga. Termasuk
dalam hubungan itu, yang bersifat perubahan yang positif seperti perkembangan hubungan
persahabatan, dan perubahan negatif seperti suka menyerang dan mengganggu.
5. Perkembangan sosial adalah hal yang paling nyata dan relevan dengan situasi di kelas yang
terdiri dari tiga poin utama: (1) perubahan konsep dalam diri sendiri dalam sebuah hubungan
antara guru dan siswa, (2) perubahan dalam kebutuhan dasar atau keinginan pribadi, dan (3)
perubahan dalam kesadaran akan hak dan tanggung jawab. Sama dengan perkembangan
kognitif, tiap poin tersebut memiliki garis besar tersendiri, teori yang dikenal baik (dan
pencetusnya) menyediakan kerangka berpikir mengenai bagaimana hal tersebut berhubungan
dengan pengajaran. Untuk perkembangan konsep diri serta hubungan antar manusia, ada teori
Erik Erikson; untuk perkembangan keinginan pribadi, ada teori Abraham Maslow; dan untuk
perkembangan pengetahuan etika dan keoercayaan, ada teori Lawrence Kohlberg dan
pengkritiknya, Carol Gilligan. Teori-teori mereka tidak hanya salah satunya yang
berhubungan erat dengan perkembangan sosial siswa dan pendapat-pendapat mereka juga
seringkali diperdebatkan oleh peneliti lain. Tapi dengan teori mereka telah banyak
menjelaskan tentang perkembangan sosial yang berhubungan dengan pengajaran dan
pendidikan.
Erik Erikson: Delapan Tahap Perkembangan Manusia
Seperti Piaget, Erik Erikson mengembangkan teori perkembangan sosial yang berpijak
pada teori sebelumnnya, terkecuali jika Erikson berpikir bahwa yang sebelumnya adalah
salah satu bagian dari psikologi atau crisis sosial (psikososial) yang menunjukkan hubungan
dan perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri dalam menghadapi krisis (Erikson,
1963,1980). Tiap krisis terdiri dari dilema dan pilihan yang membawa keuntungan dan resiko
tetapi salah satu dari pilihan itu atau alternatif lain sesungguhnya dipertimbangkan sesuai
dengan keinginannya atau secara sehat. Semakin sukses seseorang mengatasi krisisnya,
semakin sehat psikologi individu tersebut. Pemecahan masalah sangat menolong seseorang
untuk membentuk perkembangan kepribadian seseorang. Erikson memaparkan delapan tahap
perkembangan manusia dimulai dari lahir sampai menjadi tua dalam tabel 7 di bawah ini.
Empat tahap pertama muncul selama keberadaan mereka di sekolah, sehingga perhatian
khusus harus diberikan oleh guru pada tahap ini, pemaparan ini akan sangat membantu guru
juga sebagai informasi mengenai bagaimana kisis itu terjadi sebelum dan sesudah keberadaan
mereka di sekolah.
6. Tahap Krisis Psikososial Periode Gambaran
Perkembangan
Kepercayaan vs. 0 bulan - 1 tahun Berkembangnya kepercayaan antara
Ketidakpercayaan pengasuh dan anak-anak
Otonomi versus malu dan 1 – 3 tahun Berkembangnya fungsi kontrol
ragu terhadap diri dan aktifitas
Inisiatif vs. Rasa bersalah 3 – 6 tahun Mengalami tantangan untuk lebih
bertanggung jawab terhadap diri
sendiri
Usaha vs. Sikap rendah diri 6 – 12 tahun Berkembangnya rasa untuk
menguasai pengetahuan dan
keterampilan intelektual
Identitas vs. Kebingungan 12 – 19 tahun Berkembangnya keingintahuan
identitas untuk mencari jadi diri sendiri dan
mendapatkan pengakuan dari orang
lain
Intimasi vs. Isolasi 19 – 25 tahun Membentuk hubungan yang positif
dan membuat komitmen dengan
orang lain
Generativitas vs. Stagnasi 25 – 50 tahun Berkembangnya kegiatan yang
produktif atau kreatif yang dapat
memberikan kontribusi positif
terhadap generasi selanjutnya
Integritas vs. Putus asa 50 tahun ke atas Merenung kembali tentang sejarah
hidup dan memaafkan diri sendiri
dan orang lain
Krisis yang dihadapi bayi dan anak-anak usia pra sekolah: kepercayaan, kemandirian, dan
inisiatif
Hampir sepanjang hari ketika bayi baru lahir, mereka menghadapi krisis (dalam
pandangan Erikson) kepercayaan versus ketidakpercayaan. Mereka sangat senang jika
waktu makan, tidur, dan buang air sesuai dengan keadaan psikologis mereka, menganggap
bahwa waktu-waktu tersebut tidak menyusahkan bagi pengasuh atau ibu mereka.
Perkembangan kepercayaan (trust) membutuhkan pengasuhan yang hangat dan bersahabat.
Hasil positifnya adalah rasa nyaman dan berkurangnya ketakutan sampai pada titik minimal.
Ketidakpercayaan akan tumbuh jika bayi diperlukan terlalu negatif atau diabaikan. Setelah
7. tahap pertama atau krisis pertama telah berhasil dilewati, tahap selanjutnya yang akan
dihadapi adalah otonomi dan rasa malu. Tahap ini terjadi pada masa bayi akhir dan masa
belajar berjalan. Setelah mempercayai pengasuh atau ibunya, sang bayi mulai menemukan
bahwa tindakannya adalah tindakannya sendiri. Mereka menegaskan independensi dan
menyadari kehendaknya sendiri. Jika bayi dibatasi terlalu banyak atau dihukum terlalu keras,
mereka akan mengembangkan rasa malu dan ragu.
Anak-anak di usia prasekolah dan di program pendidikan untuk kanak-kanak awal
harus diberi banyak kebebasan untuk mengeksplorasi diri mereka. Mereka seharusnya
diizinkan untuk memilih beberapa aktivitas sendiri. Jika mereka meminta melakukan
aktivitas tertentu yang masuk akal, permintaan itu harus dituruti. Proyek-proyek dan
keingintahuan anak menghasilkan tahap inisiatif dan rasa bersalah, karena anak menyadari
apa yang mereka lakukan berdasarkan inisiatifnya kadang-kadang dapat memberikan efek
negatif untuk orang lain. Oleh karena itu guru atau pengasuh harus mendukung inisiatif anak
jika itu mungkin dan meminimalisir kritik sehingga si anak tidak mengembangkan rasa
bersalah dan kecemasan yang tinggi.
Krisis pada masa kanak-kanak: upaya dan rasa tidak percaya diri
Ketika memasuki sekolah dasar, anak mulai menyadari bahwa kehidupan mereka sudah
mulai diwarnai oleh hal-hal baru. Mereka menemukan dunia yang berbeda dengan dunia
sewaktu mereka masih bayi. Di sekolah mereka bertemu dengan guru juga teman-teman
sebaya. Inisiatif anak membuat mereka berhubungan dengan banyak pengalaman baru. Saat
mereka masuk sekolah dasar, mereka menggunakan energinya untuk menguasai pengetahuan
dan keterampilan intelektual. Masa kanak-kanak akhir adalah masa di mana anak-anak
paling bersemangat untuk belajar, saat imajinasi mereka berkembang. Bahaya di masa
sekolah dasar ini adalah munculnya perasaan rendah diri (inferior), ketidakproduktivan, dan
inkompetensi.
Krisis pada masa pubertas: identitas dan kebingungan identitas
Ketika usia seorang anak menginjak usia remaja, maka dia akan mulai mencari siapa
atau bagaimanakah dia sebenarnya. Dia akan mulai bertanya pada dirinya sendiri tentang
bakat dan sikap mereka sesungguhnya untuk apa. Siapakah aku yang dilekatkan identitas
dengan kualitas seperti ini dan pertanyaan sejenisnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah
ynerasi ang menunjukkan krisis identitas dan kebingungan anak remaja. Pada tahap ini,
mereka berhadapan dengan banyak peran baru dan status dewasa lainnya. Remaja perlu
8. diberi kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai cara untuk memahami identitas dirinya.
Apabila remaja tidak cukup mengeksplorasi peran yang berbeda, dan tidak merancang jalan
ke masa depan yang positif, mereka bisa tetap bingung akan identitas mereka.
Krisis pada masa dewasa: intimasi, generatifitas, dan integritas
Ketika anak menginjak usia dewasa, seorang anak akan menghadapi semakin banyak
tahap atau krisis dalam kehidupannya. Krisis yang dihadapi adalah intimasi dan isolasi.
Intimasi menyangkut keeratan atau kedekatan hubungan yang dijalin dengan beberapa orang
yang berlatar belakang berbeda dalam sebuah lingkungan dan tanpa itu anak akan merasa
terisolasi. Setelah melalui tahap itu, remaja akan menghadapi tahap generativitas dan
stagnasi. Generativitas yaitu bagaimana seseorang berpikir kreatif yang dapat memberikan
kontribusi untuk generasi selanjutnya. Tahap terakhir yaitu integritas.
Abraham Maslow: Hierarki motif dan kebutuhan
Abraham Maslow membatasi teorinya pada kebutuhan pribadi atau motif seseorang
sebagai hal yang utama. Ketika kebutuhan yang satu telah terpenuhi maka seseorang bisa
naik pada tahap selanjutnya atau tahap yang lebih tinggi. Maslow membedakan kebutuhan
menjadi dua tahap yaitu kebutuhan dasar dan kebutuhan akan eksistensi diri.
Kebutuhan dasar: mendapatkan kebutuhan hidup yang utama
Kebutuhan dasar adalah kebutuhan utama yang dimiliki oleh seorang individu secara
fisik dan emotional. Kebutuhan psikologikal seperti makan, tidur, pakaian, dan kesenangan
lain. Seorang siswa yang tidak mendapatkan makanan yang cukup, tidak akan merasakan
kenyamanan dalam belajar. Ketika kebutuhan ini terpenuhi maka kebutuhan lain yang
muncul adalah:
a. Kebutuhan akan keamanan dan keselamatan. Kebutuhan ini juga menjadi hal yang
penting. Contohnya seorang siswa akan lebih menghargai kelas yang terorganisasi dengan
baik dengan berbagai aturan yang menjamin keamanan dan keselamatan siswa-siswa
dalam kelas dan dapat diprediksi, meskipun kelasnya tidak menyenangkan untuk belajar.
b. Kebutuhan akan cinta dan kebersamaan. Setelah kebutuhan di atas terpenuhi, maka
kebutuhan akan cinta dan kepemilikan juga penting. seseorang menjadi lebih tertarik pada
hubungan pertemanan, menjadi seorang teman, dan menjalin pertemanan dengan banyak
orang pada umumnya. Sebagai contoh, siswa yang termotivasi akan membuat persetujuan
dengan teman sebaya atau guru. Walaupun kebutuhan itu terpenuhi tapi kebutuhan
9. seseorang akan cinta juga penting. Jika siswa tidak menemukan cinta dan rasa
kebersamaan ini, maka motivasi mereka akan berubah, inilah yang disebut kebutuhan
akan penghargaan.
Kebutuhan akan eksistensi diri : menjadi yang terbaik seperti yang kamu bisa
Kebutuhan akan eksistensi diri ini menjadikan seseorang menjadi individu seutuhnya
atau bagaimana menjadi orang terbaik yang bisa seseorang lakukan. Kebutuhan ini terbagi
atas kebutuhan kognitif (keinginan akan pengetahuan dan pemahaman), kebutuhan akan
keindahan (apresiasi terhadap keindahan dan permintaan), , dan kebutuhan akan aktualisasi
diri (keinginan agar dianggap sebgai seorang yang potensial). Kebutuhan akan eksistensi diri
ini muncul ketika kebutuhan dasar telah terpenuhi.
Seseorang yang dimotivasi oleh aktualisasi diri ini memiliki beragam kualitas positif yang
ingin Maslow identifikasi dan gambarkan. Individu dengan aktualisasi diri ini sangat
menghargai hubungan dengan orang lain tapi juga senang kesepian; mereka memiliki selera
humor tapi tidak digunakannya untuk bertentangan dengan orang lain; mereka menerima
dirnya sama baiknya dengan orang lain; mereka spontan, hangat, kreatif, dan bermoral.
Teori hirarki oleh Maslow ini masih sangat berguna untuk memikirkan motif-motif siswa.
Kebanyakan guru akan membuktikan bahwa bagaimana mudanya pemikiran siswa mereka,
dapat menunjukkan kualitas positif yang mereka miliki sebagaimana yang Maslow
gambarkan dalam karakter seseorang yang memiliki sifat aktualisasi diri. Dengan teori ini
diharapkan para guru lebih memahami dengan sunggh-sungguh sisi kemanusiaan yang ada
dalam diri siswa.
Perkembangan Moral: membentuk rasa akan hak dan tanggung jawab
Moralitas adalah sebuah sistem tentang keyakina mengenai mana yang benar dan baik
yang dibandingkan dengan apa yang buruk atau jelek. Perkembangan moral mengacu pada
perubahan dalam sikap dan tingkah laku yang mempercayai bahwa seseorang bisa berubah
menjadi lebih dewasa. Ketika hal ini sampai pada lingkungan sekolah dan pengajaran, moral
tidaklah diperbolehkan hanya pada situasi yang dramatis saja namun terdapat pada segala
aktivitas dalam kelas. Silahkan membayangkan situasi berikut ketika kita sedang mengajar
membaca dalam sebuah kelompok kecil pada siswa tingkat dua, siswa diberi kesempatan
secara bergiliran untuk membaca nyaring sebuah cerita. Bisakah kita sebagai seorang guru
memberikan kesempatan yang sama pada setiap anak meskipun mereka bisa saja untung dari
mendapatkan waktu tambahan atau bisakah kita memberi waktu tambahan kepada siswa yang
10. membutuhkan banyak bantuan meski kelas berjalan begitu membosankan dan siswa yang lain
kehilangan kesempatan yang sama. Pilihan mana dari ketiganya yang adil bagi mereka atau
mana yang harus dipertimbangkan? Pilihan-pilihan sederhana seperti ini yang selalu terjadi
setiap hari pada semua tingkatan kelas karena keadaan siswa yang bermacam-macam,
keterbatasan waktu yang tersedia, dan energi guru yang terbatas.
Perkembangan moral ini juga menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan keadilan pada
setiap manusia yang berbicara tentang penghormatan untuk keberanian, kejujuran,
persamaan, dan kemandirian seseorang. Selain itu juga berhubungan dengan kepedulian
seseorang terhadap orang lain atau dengan kata lain tanggung jawab individu, bagaimana dia
perhatian terhadap seseorang, menunjukkan kepedulian terhadap kebutuhan sseorang, dan
ketergantungan satu sama lain.
Tahapan moral menurut Kohlberg
Tingkatan prakonvensional.
Tahap 1 : Kepatuhan dan hukuman
Tahap ini berada pada usia pra sekolah, di mana seorang anak masih memusatkan perhatian
pada dirinya sendiri dan kurang sensitif terhadap dampak moral atas tindakannya kepada
orang lain.
Tahap 2 : Perubahan situasi
Pada tahap ini seorang anak belajar memulai suatu tindakan ( bersifat aktif ), misalnya
bertukar kue dengan temannya. Hal ini dianggap benar secara moral jika temannya setuju.
Tahap 3 : Pendapat teman sebaya
Tahap ini berada pada usia sekolah, dimana kehidupan anak-anak banyak berinteraksi dengan
teman sebayanya. Seorang anak akan menganggap pendapat temannya sebagai pedoman
untuk bertindak. Ketika temannya mengatakan bersikap sopan kepada orang lain adalah baik,
maka dia mengikutinya.
Tahap 4 : Etika hukum dan perintah
Tahap ini berada pada masa remaja. Seorang remaja akan mengikuti kebiasaan/hukum
masyarakat disekitarnya.
Dalam memandang suatu perbuatan, suatu komunitas misalnya, memandang bahwa orang-
orang dari suku tertentu perlu di perlakukan secara hati-hati ketika berbuat salah.
Tahap 5 : Kesepakatan sosial
11. Pada tahap ini seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak, dimana dia dapat melihat
proses terjadinya suatu kebiasaan dalam suatu masyarakat. Misalnya, diberlakukannya aturan
memakai helm bagi pengendara motor di beberapa wilayah.
Tahap 6 : Prinsip-prinsip universal
Pada tahap terakhir ini, tindakan yang dianggap baik didasarkan atas prinsip-prinsip yang
menyangkut seluruh kehidupan manusia. Misalnya, proses demokrasi dan kepercayaan atas
suatu keyakinan / agama.
Pandangan Giligan Terhadap Kepedulian
Pandangan Giligan Terhadap Perkembangan Moral
Tahap 1 : Kepedulian terhadap kelangsungan hidup
Dimana seseorang memberikan perhatian kepada kesehatan / keselamatan dirinya sendiri.
Contoh : Seorang gadis yang sedang hamil dan berniat melakukan aborsi, hanya akan
mempertimbangkan resiko yang akan ia hadapi jika melakukannya, tanpa memikirkan
kondisi si calon bayi.
Posisi 2 : Kepedulian konvensional
Dimana seseorang memberikan perhatian kepada kebahagiaan dan keselamatan orang lain.
Seorang gadis yang akan melakukan aborsi akan mempertimbangkan kemungkinan apakah
orang tuanya atau dokter akan merawat anaknya seandainya ia tetap menjaga kehamilannya.
Posisi 3 : Kepedulian terpadu
Dimana terjadi keserasian antara kebutuhan pribadi beserta nilai-nilai dan kebutuhan orang
lain. Seorang gadis yang hendak melakukan aborsi akan mempertimbangkan faktor orang tua,
calon bayi, ayah bayi dan juga faktor dirinya sendiri.
Contoh lain :
Seorang guru yang memberikan kebebasan kepada murid-muridnya untuk membuat
keputusan.
Ketika guru berkata : Kerjakan tugas halaman 50 dan kumpulkan besok pagi.
Maka hal itu menjadi pemenuhan kewajiban, bukan pilihan moral.
Tetapi ketika guru berkata :
12. Dalam waktu dua bulan kedepan, buatlah tulisan tentang pemanfaatan sumber-sumber air di
kota kita. Aturlah program kegiatan yang kalian rencanakan, berbicara dengan orang yang
ahli di bidangnya, membaca buku yang relevan dan mendiskusikannya dengan teman-
teman,sehingga tulisan kalian menjadi berkualitas.
Penugasan seperti diatas memiliki tantangan moral yang tidak hanya mendidik, tapi juga
pertimbangan akan nilai.Karena :
1. Faktor pribadi
2. Faktor orang lain
3. faktor waktu