Artikel ini membahas tentang putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan perselisihan hasil pilpres 2014, mengakhiri proses politik pilpres. Ditegaskan bahwa keputusan MK harus dihormati sebagai bagian dari proses demokrasi berdasar hukum di Indonesia, meskipun ada pihak yang kecewa dengan hasilnya.
Dokumen tersebut membahas tentang bela negara, yang mencakup pengertian, tujuan, bentuk-bentuk pelaksanaannya, serta tanggung jawab setiap warga negara untuk ikut serta dalam upaya pembelaannya. Dibahas pula ancaman-ancaman terhadap kedaulatan negara dan cara-cara berpartisipasi dalam upaya bela negara di lingkungan masyarakat.
Geopolitik Indonesia membahas konsep ruang hidup, perkembangan teori geopolitik, dan konsepsi Wawasan Nusantara yang mendasarkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam kerangka kekeluargaan dan kebhinekaan.
Makalah ini membahas konsep Wawasan Nusantara sebagai pandangan bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya yang menegaskan persatuan dan kesatuan wilayah. Wawasan Nusantara lahir dari latar belakang sejarah perjuangan melawan penjajahan dan keinginan memiliki wilayah yang utuh, serta didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Makalah ini menjelaskan pengertian, konsepsi, dan unsur-unsur Wawasan Nusantara
1. Pemberontakan PKI di Madiun 1948 merupakan salah satu contoh ancaman militer yang pernah terjadi di Indonesia dimana PKI melakukan pemberontakan bersenjata untuk menggantikan sistem pemerintahan Republik Indonesia. 2. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di bawah pimpinan Kartosuwiryo pada 1949 juga merupakan ancaman militer yang melawan kekuasaan pemerintah Republik Indonesia. 3. Pemberontakan Pemerintahan
Dokumen tersebut membahas tentang bela negara, yang mencakup pengertian, tujuan, bentuk-bentuk pelaksanaannya, serta tanggung jawab setiap warga negara untuk ikut serta dalam upaya pembelaannya. Dibahas pula ancaman-ancaman terhadap kedaulatan negara dan cara-cara berpartisipasi dalam upaya bela negara di lingkungan masyarakat.
Geopolitik Indonesia membahas konsep ruang hidup, perkembangan teori geopolitik, dan konsepsi Wawasan Nusantara yang mendasarkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam kerangka kekeluargaan dan kebhinekaan.
Makalah ini membahas konsep Wawasan Nusantara sebagai pandangan bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya yang menegaskan persatuan dan kesatuan wilayah. Wawasan Nusantara lahir dari latar belakang sejarah perjuangan melawan penjajahan dan keinginan memiliki wilayah yang utuh, serta didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Makalah ini menjelaskan pengertian, konsepsi, dan unsur-unsur Wawasan Nusantara
1. Pemberontakan PKI di Madiun 1948 merupakan salah satu contoh ancaman militer yang pernah terjadi di Indonesia dimana PKI melakukan pemberontakan bersenjata untuk menggantikan sistem pemerintahan Republik Indonesia. 2. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di bawah pimpinan Kartosuwiryo pada 1949 juga merupakan ancaman militer yang melawan kekuasaan pemerintah Republik Indonesia. 3. Pemberontakan Pemerintahan
Selamatkan Negara & Lindungi Rakyat, Perang Dunia 3–Abad 21 Segera Tiba (Worl...Asean Damai
Buku ini sangat penting dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat mulai dari kalangan bawah sampai atas, terutama pemerintah dan berbagai lembaga lainnya yang memiliki tanggung jawab serta kepedulian yang tinggi terhadap prediksi kuat segera terjadinya “Perang Dunia 3”, sehingga sangat dibutuhkan adanya berbagai persiapan awal dan antisipasi dini, yang bertujuan untuk menyelematkan negara dan melindungi seluruh rakyat Indonesia.
Melalui publikasi penerbitan buku ini lapisan masyarakat Indonesia dapat menikmati berbagai informasi menarik, hangat dan crusial, oleh karenanya penting untuk disimak dan ikuti terus isi dari tulisan ini. Pembaca akan menemukan jawaban kenapa dan apa sesunguhnya yang menyebabkan prediksi kuat terjadinya “Perang Dunia 3 Abad 21 Segera Tiba”. Dengan menyimak isi tulisan ini dan menghayati maknanya, dengan sendirinya akan tumbuh semangat kebangsaan dan bela negara sekaligus akan terwujud persatuan dan kesatuan Indonesia.
Dokumen tersebut membahas tentang ketahanan nasional di bidang pertahanan militer dan keamanan Indonesia. Secara singkat, dokumen menjelaskan tentang ancaman-ancaman militer dari dalam dan luar negeri bagi Indonesia serta peran Tentara Nasional Indonesia dalam menanggulangi ancaman-ancaman tersebut untuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah negara.
Setiap bangsa dan negara memiliki cita ciita baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Cita cita tersebut sangat penting bagi bangsa dan negara guna memberikan gairah hidup dan menentukan arah untuk mencapai tujuan nasional. Bangsa Indonesia juga memiliki cita cita yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 2, yaitu untuk menjadi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Yang selanjutnya rumusan dari cita cita dan tujuan Bangsa Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4. Ada 3 faktor penentu untuk mewujudkan cita cita dan tujuan nasional tersebut yaitu faktor geografi , lingkungan dan manusia. Yang mana ketiga faktor tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan lingkungan geografis, sejarah dan kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Selain itu juga bagaimana bangsa ini memandang diri dan lingkungannya dengan memahami wawasan nusantaranya.
1. Dokumen tersebut membahas tentang Munir Said Thalib, seorang aktivis HAM Indonesia yang meninggal misterius di pesawat pada tahun 2004. Dokumen juga menjelaskan upaya penegakan HAM di Indonesia seperti yang dijamin dalam UUD 1945 serta perlunya dukungan dari berbagai pihak.
Dokumen tersebut membahas berbagai ancaman terhadap integrasi nasional, baik ancaman militer maupun non-militer. Ancaman militer meliputi agresi, invasi, pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata, spionase, teror bersenjata, dan ancaman keamanan laut dan udara. Sedangkan ancaman non-militer termasuk ancaman di bidang ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya. Untuk mengatasi berbagai ancaman terse
Ancaman militer dapat berupa agresi, pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi teror bersenjata, ancaman keamanan laut dan udara, konflik komunal, atau perang saudara yang melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata untuk membahayakan kedaulatan, keutuhan wilayah, atau keamanan suatu negara.
Dokumen tersebut membahas tentang wawasan nusantara dan geopolitik Indonesia. Wawasan nusantara didefinisikan sebagai pandangan yang menekankan persatuan dan kesatuan wilayah Indonesia. Geopolitik Indonesia merupakan ilmu yang mempertimbangkan letak pulau-pulau Indonesia dalam menentukan kebijakan nasional untuk mencapai tujuan persatuan bangsa. Dokumen ini juga membahas implementasi geopolitik Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan dan up
Dokumen tersebut membahas mengenai ancaman terhadap negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, baik secara militer maupun non militer. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah ancaman antara lain meningkatkan rasa kebangsaan, membangun toleransi, memperkuat pertahanan negara, serta menerapkan prinsip bebas aktif di dunia internasional. Warga negara
Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesia menurut UUD Negara RI Tahun 1945Asep Wahyudin
Dokumen tersebut membahas pentingnya pembelaan negara untuk keutuhan wilayah, keselamatan bangsa dan negara, dan terciptanya keamanan negara. Hal ini dapat tercapai jika setiap warga negara sadar akan hak dan kewajibannya untuk membela tanah air serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Dokumen tersebut membahas tiga dasar pemikiran Wawasan Nusantara yaitu: (1) Dasar geografis dan geostrategis yang menggambarkan konsep Nusantara sebagai kesatuan wilayah kepulauan Indonesia, (2) Dasar sejarah yang menjelaskan perkembangan penentuan batas wilayah perairan Indonesia, (3) Dasar kepentingan nasional untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang pentingnya pembangunan berbasis maritim bagi Indonesia dengan mempertimbangkan sejarah, potensi, dan tantangan yang dihadapi sektor kelautan Indonesia. Dokumen tersebut juga memberikan berbagai perspektif untuk memajukan pembangunan maritim di Indonesia.
Selamatkan Negara & Lindungi Rakyat, Perang Dunia 3–Abad 21 Segera Tiba (Worl...Asean Damai
Buku ini sangat penting dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat mulai dari kalangan bawah sampai atas, terutama pemerintah dan berbagai lembaga lainnya yang memiliki tanggung jawab serta kepedulian yang tinggi terhadap prediksi kuat segera terjadinya “Perang Dunia 3”, sehingga sangat dibutuhkan adanya berbagai persiapan awal dan antisipasi dini, yang bertujuan untuk menyelematkan negara dan melindungi seluruh rakyat Indonesia.
Melalui publikasi penerbitan buku ini lapisan masyarakat Indonesia dapat menikmati berbagai informasi menarik, hangat dan crusial, oleh karenanya penting untuk disimak dan ikuti terus isi dari tulisan ini. Pembaca akan menemukan jawaban kenapa dan apa sesunguhnya yang menyebabkan prediksi kuat terjadinya “Perang Dunia 3 Abad 21 Segera Tiba”. Dengan menyimak isi tulisan ini dan menghayati maknanya, dengan sendirinya akan tumbuh semangat kebangsaan dan bela negara sekaligus akan terwujud persatuan dan kesatuan Indonesia.
Dokumen tersebut membahas tentang ketahanan nasional di bidang pertahanan militer dan keamanan Indonesia. Secara singkat, dokumen menjelaskan tentang ancaman-ancaman militer dari dalam dan luar negeri bagi Indonesia serta peran Tentara Nasional Indonesia dalam menanggulangi ancaman-ancaman tersebut untuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah negara.
Setiap bangsa dan negara memiliki cita ciita baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Cita cita tersebut sangat penting bagi bangsa dan negara guna memberikan gairah hidup dan menentukan arah untuk mencapai tujuan nasional. Bangsa Indonesia juga memiliki cita cita yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 2, yaitu untuk menjadi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Yang selanjutnya rumusan dari cita cita dan tujuan Bangsa Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4. Ada 3 faktor penentu untuk mewujudkan cita cita dan tujuan nasional tersebut yaitu faktor geografi , lingkungan dan manusia. Yang mana ketiga faktor tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan lingkungan geografis, sejarah dan kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Selain itu juga bagaimana bangsa ini memandang diri dan lingkungannya dengan memahami wawasan nusantaranya.
1. Dokumen tersebut membahas tentang Munir Said Thalib, seorang aktivis HAM Indonesia yang meninggal misterius di pesawat pada tahun 2004. Dokumen juga menjelaskan upaya penegakan HAM di Indonesia seperti yang dijamin dalam UUD 1945 serta perlunya dukungan dari berbagai pihak.
Dokumen tersebut membahas berbagai ancaman terhadap integrasi nasional, baik ancaman militer maupun non-militer. Ancaman militer meliputi agresi, invasi, pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata, spionase, teror bersenjata, dan ancaman keamanan laut dan udara. Sedangkan ancaman non-militer termasuk ancaman di bidang ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya. Untuk mengatasi berbagai ancaman terse
Ancaman militer dapat berupa agresi, pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi teror bersenjata, ancaman keamanan laut dan udara, konflik komunal, atau perang saudara yang melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata untuk membahayakan kedaulatan, keutuhan wilayah, atau keamanan suatu negara.
Dokumen tersebut membahas tentang wawasan nusantara dan geopolitik Indonesia. Wawasan nusantara didefinisikan sebagai pandangan yang menekankan persatuan dan kesatuan wilayah Indonesia. Geopolitik Indonesia merupakan ilmu yang mempertimbangkan letak pulau-pulau Indonesia dalam menentukan kebijakan nasional untuk mencapai tujuan persatuan bangsa. Dokumen ini juga membahas implementasi geopolitik Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan dan up
Dokumen tersebut membahas mengenai ancaman terhadap negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, baik secara militer maupun non militer. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah ancaman antara lain meningkatkan rasa kebangsaan, membangun toleransi, memperkuat pertahanan negara, serta menerapkan prinsip bebas aktif di dunia internasional. Warga negara
Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesia menurut UUD Negara RI Tahun 1945Asep Wahyudin
Dokumen tersebut membahas pentingnya pembelaan negara untuk keutuhan wilayah, keselamatan bangsa dan negara, dan terciptanya keamanan negara. Hal ini dapat tercapai jika setiap warga negara sadar akan hak dan kewajibannya untuk membela tanah air serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Dokumen tersebut membahas tiga dasar pemikiran Wawasan Nusantara yaitu: (1) Dasar geografis dan geostrategis yang menggambarkan konsep Nusantara sebagai kesatuan wilayah kepulauan Indonesia, (2) Dasar sejarah yang menjelaskan perkembangan penentuan batas wilayah perairan Indonesia, (3) Dasar kepentingan nasional untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang pentingnya pembangunan berbasis maritim bagi Indonesia dengan mempertimbangkan sejarah, potensi, dan tantangan yang dihadapi sektor kelautan Indonesia. Dokumen tersebut juga memberikan berbagai perspektif untuk memajukan pembangunan maritim di Indonesia.
Tiga kendala utama dalam mewujudkan Wawasan Nusantara adalah sentralisme pemerintahan, orientasi masyarakat yang terlalu daratan, dan kurangnya pemanfaatan ruang angkasa. Untuk mengatasinya, pemerintah perlu mendorong desentralisasi, meningkatkan kesadaran akan potensi laut, dan memajukan pendidikan serta penelitian kelautan. Peran serta swasta dan pemuda juga diperlukan dalam mewujudkan Indonesia sebag
Menjelang 100 tahun kemerdekaan Indonesia pada tahun 2045, Indonesia diproyeksikan menjadi negara berpendapatan tinggi dan menjadi peringkat kelima negara dengan PDB terbesar di dunia.
Untuk memastikan gambaran tersebut dapat terwujud, Visi Indonesia Tahun 2045 menetapkan empat pilar pembangunan sebagai tahapan dan prasyarat yang harus dilalui oleh bangsa Indonesia, terdiri dari: (i) Pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; (ii) Pembangunan ekonomi berkelanjutan; (iii) Pemerataan pembangunan; serta (iv) Pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang dua pertiga wilayahnya terdiri atas lautan dan kaya akan sumberdaya alam laut. Kita sering melihat atau mendengar istilah kelautan dan kemaritiman. Ada yang menganggap bahwa istilah kemaritiman dan kelautan mempunyai arti yang sama, tetapi sementara ada pendapat bahwa pengertian kelautan mempunyai arti yang lebih luas daripada pengertian kemaritiman, sehingga masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang kelautan dan kemaritiman itusendiri. Salah satu tujuan utama berpolitik adalah untuk menggapai kesejahteraan bagi khalayak. Setiap insan yang berperan dalam bidang politik senantiasa berkewajiban untuk memberikan kontribusi kepada rakyat, bangsa, dan negara. Sehingga setiap insan dapat merasakan manisnya kesejahteraan yang dibangun oleh suatu kekuatan politik dengan cara memaksimalkan potensi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang ada di negeri ini.
Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat kaya. Sumber Daya Alam yang begitu melimpah menjadikan negeri ini, negeri impian bagi berbagai bangsa. Terlebih Sumber Daya Alam yang tersimpan di laut Indonesia, yang kaya akan mineral dan keanekaragaman hayati dan hewani yang terkandung di dalamnya. Potensi laut Indonesia yang begitu istimewa, seharusnya menjadi salah satu indikator utama dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakat.
Ketika seharusnya potensi maritim negeri ini yang begitu istimewa dimaksimalkan, maka banyak permasalahan bangsa akan teratasi. Berbagai macam kajian politik dalam konteks mensejahterakan masyarakat menjadi acuan bahwa konsep politik maritim haruslah dikaji lebih dalam, sehingga pemberdayaan maritim di Indonesia bisa dioptimalisasi dan tidak lain tujuaanya adalah menjadikan Indonesia menjadi negara yang sejahtera dengan kemaritimannya.
Teks tersebut membahas strategi pertahanan negara kepulauan Indonesia dan perlunya memperkuat diplomasi kelautan. Teks tersebut menjelaskan bahwa pertahanan negara tidak hanya tergantung pada kekuatan angkatan laut, tetapi juga unsur-unsur lain seperti penjaga pantai, polisi laut, dan diplomat kelautan. Teks tersebut juga menyoroti pentingnya manuverabilitas dibandingkan kekuatan besar yang terpaku pada satu tempat.
Kelebihan dan kekurangan wawasan nusantara dalam aspek sosialFarmaSea
Dokumen tersebut membahas kelebihan dan kekurangan wawasan Nusantara dalam aspek sosial. Wawasan Nusantara dijelaskan mencakup lima aspek yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum dan keamanan. Kelebihan wawasan Nusantara antara lain meningkatkan partisipasi masyarakat dan memiliki dasar negara Pancasila, sementara kekurangannya mencakup persepsi beragam
Teks tersebut membahas tentang pentingnya memberikan otonomi daerah untuk memperkuat NKRI. Otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, mempercepat pembangunan ekonomi di daerah, dan meningkatkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Namun, otonomi daerah harus dipertimbangkan berdasarkan kemampuan keuangan daerah, tingkat kesejahteraan masyarakat,
Dokumen tersebut merangkum sejarah perekonomian Indonesia mulai dari masa prakemerdekaan hingga masa reformasi. Terdapat 4 masa perekonomian yaitu masa sebelum kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru, dan masa reformasi. Selain itu, dibahas pula masalah-masalah utama dalam pembangunan ekonomi Indonesia seperti pengangguran dan inflasi.
Dokumen tersebut membahas pentingnya kebijakan maritim bagi Indonesia untuk merealisasikan potensi ekonomi kelautannya dan menjadikan negara sebagai negara maritim yang kuat. Indonesia memiliki sumber daya alam laut yang besar namun belum dimanfaatkan maksimal karena kebijakan pembangunan yang terfokus ke darat. Diperlukan satu kementerian koordinator untuk mengintegrasikan program-program kelautan dan mengubah paradigma pembangun
Makalah ini membahas tentang perekonomian Indonesia secara umum, mulai dari sejarah, sistem ekonomi, pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur ekonomi, kemiskinan, pembangunan daerah, peranan sektor pertanian, industrialisasi, UKM, neraca pembayaran, utang luar negeri, dan prospek masa depan.
Modul ini membahas perkembangan kehidupan politik dan ekonomi Indonesia pada masa awal kemerdekaan hingga masa demokrasi liberal. Materi dibahas melalui dua kegiatan pembelajaran yang mencakup kondisi Indonesia pasca kemerdekaan, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan upaya pemerintah menata kehidupan politik dan ekonomi negara. Modul ini diharapkan dapat menambah wawasan siswa tentang perjalanan sejarah
Similar to (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014 (20)
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
1. 1
DAFTAR ISI
INDONESIA, BANGSA MARITIM YANG TERSESAT
Bagus Jatmiko 4
DEMOKRASI DAN KEPATUHAN
Janedjri M Gaffar 8
TATA KELOLA KOMUNIKASI PEMERINTAHAN BARU
Gun Gun Heryanto 11
PEPESAN KOSONG KOALISI TANPA SYARAT
Moch Nurhasim 14
OPOSISI JUGA SEKSI
Iding Rosyidin 17
PEMILIHAN WAKIL GUBERNUR DKI: UJIAN “PANAS” KOALISI
MERAH PUTIH
Eko Ardiyanto 20
PEJABAT PUBLIK & SISTEM POLITIK
Dinna Wisnu 22
MENGAPA HENDROPRIYONO?
Bawono Kumoro 25
MELACAK AKAR KONFLIK ARAB-YAHUDI
Faisal Ismail 28
KEADILAN SUBSTANTIF
Moh Mahfud MD 31
DEMOKRASI INDONESIA
Firman Noor 34
ANALISIS DAMPAK REGULASI
Romli Atmasasmita 37
PENUMPANG GELAP JOKOWI-JK
Bambang Soesatyo 40
PARASIT DI TUBUH POLRI
Marwan Mas 43
GAWAT DARURAT HUKUM KONSERVATIF
Moh Mahfud MD 46
ABORSI PADA KASUS PEMERKOSAAN
2. 2
Sofyan Hasdam 48
KOALISI ABADI
Sarlito Wirawan Sarwono 50
ANAS DAN OPINI YANG BERUBAH
Ma’mun Murod Al-Barbasy 53
PENGUNDURAN DIRI JOKOWI
Zainal Arifin Mochtar 57
MUNIR, 10 TAHUN MENOLAK LUPA
Tom Saptaatmaja 60
KORUPSI DI SEKTOR MIGAS
Marwan Batubara 63
DUA PRESIDEN
Andi Syafrani 66
PERUBAHAN SISTEM DAN POLEMIKNYA
M Alfan Alfian 70
PILKADA YANG KONSTITUSIONAL, DEMOKRATIS, DAN EFISIEN
Ahmad Yani 73
PENGUNDURAN DIRI AHOK
Muhammad Tri Andika 76
MK BUKAN LEGISLATIF
Moh Mahfud MD 78
PARADOKS PILKADA LANGSUNG ATAU TAK LANGSUNG
Moch Nurhasim 80
KEPASTIAN ARAH PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA
Samsul Wahidin 83
PRESIDENSIAL PASCA-PEMILU 2014
Janedjri M Gaffar 86
MORALITAS VS EFISIENSI
Romli Atmasasmita 89
RUSAK AKIBAT PILKADA LANGSUNG
Bambang Soesatyo 92
QUO VADIS PILKADA?
Ma’mun Murod Al-Barbasy 96
3. 3
KITA DAN REFERENDUM SKOTLANDIA
Dinna Wisnu 99
FEDERASI ADVOKAT INDONESIA
Amzulian Rifai 102
WAJAH GANDA JOKOWI-JK
Romanus Ndau Lendong 105
KADO PAHIT DI AKHIR JABATAN
Marwan Mas 108
KELIRUMOLOGI DALAM HUKUM
Moh Mahfud MD 111
ADVOKAT DALAM CENGKERAMAN POLITIK
Andi Syafrani 113
HADIRKAN FAKTA YANG BENAR (I)
Anas Urbaningrum 116
HADIRKAN FAKTA YANG BENAR (II)
Anas Urbaningrum 119
HADIRKAN FAKTA YANG BENAR (III)
Anas Urbaningrum 122
PLEIDOI ANAS, MERINDU KEADILAN
Ma’mun Murod Al-Barbasy 125
PELANTIKAN ANGGOTA DPR YANG TERSANGKUT KORUPSI
Jamal Wiwoho 128
DEMOKRASI BUKAN UNTUK MENYESATKAN
Arissetyanto Nugroho 131
MEMPERSOALKAN KONSISTENSI JOKOWI
Bambang Soesatyo 134
KELIRUMOLOGI KEADILAN SUBSTANTIF
Moh Mahfud MD 137
BECERMIN PADA NEGARA HUKUM YANG RETAK
W Riawan Tjandra 139
PEMBEBASAN BERSYARAT: KELIRU ASAL, MELESET TUJUAN
Reza Indragiri Amriel 142
4. 4
Indonesia, Bangsa Maritim yang Tersesat
Koran SINDO
23 Agustus 2014
Indonesia adalah negara kepulauan, itu adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan, dengan
lebar wilayah yang menyamai Amerika Serikat.
Sebutan Indonesia sebagai negara maritim sudah merupakan julukan yang melekat selama
ini, melihat kondisi geografis Indonesia dengan menimbang fakta bahwa tiga perempat
wilayah teritorial Indonesia merupakan wilayah perairan. Namun, ada hal yang belum
disepakati bersama dan mungkin masih menjadi bahan perdebatan, adalah kenyataan apakah
Indonesia, dilihat dari sudut pandang pemerintah dan juga rakyatnya sendiri, sudah bertindak
sesuai dengan takdir geografisnya sebagai sebuah negara maritim kepulauan ataukah masih
jauh dari hal tersebut?
Beberapa pihak akan menyatakan bahwa arah pembangunan Indonesia sudah cukup sesuai
dengan kondisi geografis kepulauan yang dimiliki, apabila dilihat dari beberapa kebijakan
pemerintah serta berbagai event internasional yang telah diadakan di bidang kemaritiman.
Namun, anggapan ini akan segera mendapatkan bantahan dari pihak lainnya yang
menyatakan bahwa hal tersebut belum cukup sebagai indikasi bahwa Indonesia telah kembali
menjelma sebagai sebuah negara maritim besar.
Justru sebenarnya Indonesia masih jauh dari layak untuk mendapatkan sebutan negara
maritim, terutama bila dilihat dari sudut kebijakan pemerintah secara keseluruhan dan
bagaimana rakyat Indonesia memandang negerinya sendiri yang sama sekali tidak
mencerminkan garis kebijakan dan wawasan sebuah bangsa maritim.
Hal ini karena tidak konsistennya kebijakan pemerintah yang ada saat ini dengan fakta
geografi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia sehingga Indonesia
dapat disebut sebagai sebuah negeri yang menyangkal takdirnya sendiri. Untuk memahami
alasan di balik semua ini, kita harus melihat kilas balik sejarah Indonesia untuk dapat melihat
alasan penyebab hal ini terjadi.
Jauh sebelum era kolonialisme yang berlangsung lebih dari tiga abad, masyarakat Indonesia
adalah orang-orang yang berorientasi maritim yang dapat terindikasi dari warna budayanya
serta juga sistem pemerintahannya yang bercorak maritim. Namun, setelah masa kolonial,
yang diawali oleh Spanyol, kemudian Portugal serta Belanda, sebagai kolonialis paling lama
di bumi Indonesia, terjadi pergeseran karakteristik bangsa Indonesia secara sistematis karena
pengaruh para kolonialis yang didominasi oleh dasar pemikiran kontinental yang kemudian
mengikis pemahaman asli bangsa Indonesia yang sejatinya berjati diri sebagai bangsa
5. 5
maritim. Sebagai konsekuensi dari perubahan pola pikir tersebut, prioritas kebijakan
pembangunan nasional pun bergeser jauh tanpa mempertimbangkan lagi sektor maritim
sebagai faktor penting di tataran strategis perkembangan bangsa.
Tindakan ini sangat disesalkan karena merupakan indikasi yang sangat jelas bahwa negara
dengan sengaja mengabaikan aset dan mungkin juga kekuatan terbesarnya. Arah
perkembangan ekonomi nasional yang lebih menekankan pada sektor agraria (agrikultur)
daripada sektor maritim (akuakultur) sudah terjadi selama lebih dari tiga dekade di bawah
rezim Orde Baru dan masih berlanjut hingga sekarang.
Akibatnya, Indonesia lebih dilihat sebagai negara yang berorientasi pada pertanian daripada
berorientasi pada maritim. Sudut pandang demikian juga membuat fokus pengembangan
wilayah yang lebih ke arah daratan, yang juga berefek samping pada pengabaian
pembangunan di wilayah pesisir, belum lagi pembangunan pulau-pulau kecil di daerah
perbatasan.
***
Pengabaian pentingnya sektor maritim juga dapat mengakibatkan terciptanya daerah-daerah
vakum yang disebabkan ketiadaan peran pemerintah di daerah tersebut. Daerah vakum ini
kemudian akan diisi entitas-entitas lain selain dari pemerintahan yang sah. Di banyak daerah
yang ditelantarkan pemerintah, kekosongan tersebut akan diisi kekuatan-kekuatan lain yang
dapat mengambil bentuk seperti organisasi kriminal, pemberontak, bahkan memungkinkan
munculnya klaim wilayah dari negara lain terhadap daerah vakum tersebut.
Bukti akan fakta pahit ini adalah kasus Pulau Sipadan-Ligitan yang masih segar dalam
ingatan bangsa Indonesia, ketika itu klaim pemerintah Malaysia dimenangkan Mahkamah
Internasional (International Court of Justice-ICJ) pada tahun 2002 atas dasar penilaian
“effective occupation” atau pendudukan efektif yang berarti bahwa justru pihak Malaysia
yang memberikan perhatian berupa pasokan kebutuhan bagi para penduduk di pulau-pulau
tersebut melebihi pemiliknya yang sah, Indonesia, yang pada faktanya justru menelantarkan
mereka.
Melihat arah perkembangan pertahanan nasional, merupakan suatu hal yang patut dicatat
bahwa konsep pertahanan suatu bangsa akan sangat dipengaruhi oleh pola pikir pemimpin
bangsa tersebut. Contoh dari bagaimana seorang pemimpin dapat memengaruhi sudut
pandang suatu bangsa dapat dilihat dari fakta sejarah. Winston Churchill, mantan perdana
menteri Inggris pada masa Perang Dunia ke-II, merupakan“ First Lord of Admiralty” atau
semacam menteri angkatan laut Inggris Raya, sebelum menempati posisi sebagai perdana
menteri.
Dia paham benar bahwa Inggris Raya harus selalu menggantungkan diri pada keberadaan
lautannya untuk dapat menahan semua ancaman yang datang. Franklin Delano Roosevelt,
mantan presiden ke-32 Amerika Serikat, sebelum menjabat sebagai presiden AS, pernah
6. 6
menjabat sebagai “Assistant Secretary of the Nacy” atau deputi menteri angkatan laut dalam
kariernya di pemerintahan AS. Dia sangat mengerti bagaimana strategi kemaritiman dapat
memengaruhi kejayaan atau kemunduran suatu negara.
Kedua pemimpin dunia ini merupakan beberapa contoh pemimpin yang paham akan peran
vital sektor maritim dalam menjamin keamanan negaranya masing-masing, dan bahwa
pembangunan sektor maritim sangat fundamental guna mendukung kekuatan sebuah bangsa.
Bagi sebuah negara maritim, merupakan hal yang sangat kritis untuk memiliki pemimpin-pemimpinnya
yang berwawasan, serta mempunyai perspektif maritim.
Hal ini diperlukan agar mereka mampu mengarahkan negaranya pada kejayaan yang
bertumpu pada kekuatan di bidang maritim. Dikarenakan kesadaran akan pentingnya
kekuatan maritim, Sekutu mampu membalikkan keadaan terhadap musuh-musuhnya pada
Perang Dunia ke-II. Di lain pihak, kekalahan Nazi Jerman disebabkan oleh salah satu
faktornya adalah pengabaian kekuatan AL Jerman (Kriegsmarine) oleh Hitler sang Fuhrer
yang kemudian berakibat fatal.
Fokus pada sektor maritim sebagai tulang punggung pertahanan negara merupakan suatu
keniscayaan yang harus benar-benar dimengerti oleh pemimpin sebuah negara maritim,
terutama bagi sebuah negara kepulauan terbesar di dunia. Poros pertahanan sebuah negara
maritim sudah semestinya bertumpu kepada aspek kemaritiman. Hal ini bertolak belakang
dengan apa yang digariskan Indonesia saat ini, yang justru mengabaikan sektor pertahanan
maritimnya.
Harus dicatat bahwa kekuatan maritim suatu bangsa terletak tidak hanya pada angkatan
lautnya atau hanya sebatas pada kesatuan penegak hukum maritimnya, juga seperti yang
ditekankan oleh Geofrey Till, penulis buku Sea Power bahwa kekuatan maritim itu juga
melingkupi semua pihak dalam lingkup kemaritiman, termasuk pihak-pihak di sektor
nonpemerintahan yang juga akan melingkupi sektor swasta.
Para pelaku maritim nonpemerintah ini terdiri atas agensi-agensi yang mempunyai
kepentingan terhadap aktivitas kemaritiman, seperti galangan kapal, industri perkapalan,
perusahaan pelayaran, agensi keamanan maritim, serta asosiasi-asosiasi kemaritiman lainnya
yang sebagian besar dari mereka berasal dari sektor swasta.
Peran serta para pelaku maritim ini sangat krusial dalam upaya untuk mengembalikan
kejayaan maritim bangsa Indonesia yang sebenarnya merupakan takdirnya bangsa ini yang
sebenarnya. Tugas mulia ini akan menjadi mustahil untuk dilakukan apabila hanya ditangani
oleh pemerintah tanpa adanya peran serta dari para pelaku maritim tersebut di atas.
Kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap diri kita
sendiri, dan juga kepada rekan sebangsa lainnya, untuk mengembalikan haluan negara kita
yang salah arah selama ini, yang terhentakkan keluar dari jalurnya oleh perjalanan sejarah.●
7. 7
MAYOR BAGUS JATMIKO
Perwira TNI AL, Kandidat Master dalam Bidang Analis Pertahanan di Naval Postgraduate
School, Monterey, California
8. 8
Demokrasi dan Kepatuhan
Koran SINDO
25 Agustus 2014
Kamis, 21 Agustus 2014 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara
perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) dengan amar putusan
menyatakan menolak permohonan pemohon.
Proses persidangan perkara perselisihan hasil pilpres yang menentukan presiden dan wakil
presiden Indonesia untuk masa jabatan lima tahun ke depan ini mendapat perhatian besar,
baik dari masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Pembacaan putusan perkara Nomor
1/PHPU.PRES-XII/2014 ini pun menyudahi proses politik pilpres dengan berbagai konstelasi
yang melingkupinya.
Penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilu, baik terkait dengan perselisihan hasil pemilu
anggota lembaga perwakilan (pileg) maupun pilpres, tidak hanya keberhasilan bagi MK,
namun juga bagi segenap bangsa Indonesia karena telah berhasil menjalani pemilu secara
damai dalam menentukan pemerintahan yang akan datang. Keberhasilan bangsa Indonesia
menjalani dua pemilu pada 2014 ini juga merupakan bentuk nyata keberhasilan menjalankan
prinsip negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum.
Final dan Mengikat
Pasal 24C UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan tentang hasil
pemilu. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and
binding). Artinya, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan
tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Putusan MK wajib dipatuhi dan
dilaksanakan. Ini adalah perintah konstitusi sebagai wujud kesepakatan bersama segenap
warga negara.
Desain putusan MK bersifat final dan mengikat tentu tidak dapat dilepaskan dari hakikat
keberadaan MK dalam konteks negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi
berdasarkan hukum. MK adalah pengadilan konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan
memutus obyek sengketa atau perkara dengan ukuran konstitusionalitas. Pada posisi ini MK
menjadi penafsir akhir konstitusi yang harus menghindari ambiguitas atau pertentangan tafsir
demi berjalannya kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang konstitusional. Karena itu,
diperlukan satu otoritas akhir di tangan hakim konstitusi yang ketika menjatuhkan putusan
akan menghilangkan semua perbedaan.
9. 9
Dalam konteks demokrasi, otoritas akhir penentu perselisihan hasil pemilu diperlukan agar
kontestasi pemilu yang tak berkesudahan tidak terjadi. Agar otoritas akhir pemutus
perselisihan hasil pemilu memiliki legitimasi yang diakui semua pihak, ia harus bersifat
independen dan imparsial terhadap aktor-aktor yang terlibat dalam pemilu, baik peserta
maupun penyelenggara. Hakim akan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara
mendalam berdasarkan keadilan hukum. Hal ini sekaligus merupakan wujud nyata kepatuhan
proses politik terhadap putusan hukum.
Konstruksi ini dapat dijumpai di semua negara-negara demokrasi modern, terlepas dari
perbedaan pengadilan mana yang diberi kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu.
Legalitas putusan final dan mengikat harus disertai legitimasi sehingga melahirkan
kepatuhan. Legitimasi itu bersumber dari proses persidangan, personal hakim, dan
argumentasi putusan. Proses persidangan harus berjalan secara adil dan transparan,
memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak serta dapat diikuti oleh masyarakat.
Transparansi sangat penting karena putusan yang akan dijatuhkan dapat dinilai dengan rasio
publik. Legitimasi juga ditentukan oleh personal hakim yang memeriksa, mengadili dan
memutus perkara.
UUD 1945 mensyaratkan hakim konstitusi adalah seorang negarawan yang menguasai
konstitusi. Negarawan memiliki makna yang luas, namun setidaknya dapat diartikan sebagai
seseorang yang sudah terlepas dari kepentingan individu dan kelompok politik. Kepentingan
bangsa dan negaralah yang menjadi orientasi satu-satunya. Sumber legitimasi ketiga adalah
argumentasi putusan. Bagian utama putusan yang menjadi kekuatan legitimasi adalah
argumentasi yang menjadi pertimbangan hukum putusan.
Pertimbangan hukum putusan yang komprehensif, mempertimbangkan semua alat bukti dan
fakta yang terungkap di persidangan, serta memiliki kejelasan nalar hukum akan menjadi
sumber utama legitimasi putusan itu sendiri. Pasal 24C UUD 1945 adalah sumber legalitas
konstitusional putusan MK yang bersifat final dan mengikat. MK sadar sepenuhnya akan arti
strategis putusan yang dijatuhkan. Karena itu, putusan harus memiliki legitimasi kuat dengan
cara menggelar persidangan yang adil dan transparan, menjaga independensi dan
imparsialitas hakim, serta menyusun pertimbangan hukum putusan secara komprehensif dan
mendalam.
Kepatuhan
Legalitas dan legitimasi adalah dasar bagi kepatuhan. Suatu putusan yang legal dan memiliki
legitimasi kuat dengan sendirinya akan mendatangkan kepatuhan. Kepatuhan adalah
kesediaan untuk menerima dan menjalankan putusan, tidak selalu terkait dengan persetujuan,
apalagi kepuasan. Terhadap perkara yang melibatkan dua atau lebih pihak yang saling
berhadapan hampir tidak mungkin ada putusan yang disetujui oleh semua pihak, apalagi
memuaskan. Kita patut bangga bahwa putusan MK dalam perkara PHPU Presiden 2014
dipatuhi oleh semua pihak, dalam arti diterima dan dihormati, baik oleh pemohon, termohon,
maupun pihak terkait.
10. Kebanggaan ini tidak semata-mata milik MK, melainkan milik bangsa Indonesia yang telah
menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi sesuai prinsip negara hukum yang demokratis
dan negara demokrasi berdasarkan hukum. Kepatuhan tersebut tentu tidak mensyaratkan
adanya persetujuan atau kepuasan. Artinya, bisa saja ada pihak yang masih tidak setuju atau
tidak puas dengan putusan yang telah dijatuhkan, namun dalam hal ini yang terpenting adalah
putusan itu diterima, dihormati, dipatuhi dan dilaksanakan sebagai hukum.
Dalam konteks perselisihan hasil pilpres, putusan MK adalah putusan akhir yang bersifat
final dan mengikat. Kalaupun masih terdapat proses hukum atau proses politik lain yang
dilakukan harus ditempatkan bukan sebagai forum untuk mempersoalkan hasil pilpres,
melainkan lebih untuk memperbaiki penyelenggaraan pilpres di masa yang akan datang.
Hanya dengan kepatuhan demikian demokrasi dapat berlanjut ke tahapan yang lebih
substantif, yaitu proses pengambilan keputusan dan penyelenggaraan pemerintahan yang
senantiasa melibatkan partisipasi masyarakat. Semua pihak harus berpartisipasi, baik sebagai
pemegang pemerintahan maupun sebagai penyeimbang. Keduanya harus ada dan dijalankan.
●
10
JANEDJRI M GAFFAR
Doktor Ilmu Hukum, Alumnus PDIH Universitas Diponegoro, Semarang
11. 11
Tata Kelola Komunikasi Pemerintahan Baru
Koran SINDO
Senin, 25 Agustus 2014
PERHELATAN pemilihan umum yang reguler dilakukan setiap lima tahunan telah usai
dengan beragam cerita yang mengiringinya. Kita patut bersyukur, meskipun tensi politik
sangat panas sebagai ekses polarisasi dukungan terhadap dua arus utama pasangan
capres/cawapres, pada akhirnya bangsa kita dewasa menyikapinya.
Pemilu secara umum berjalan damai dan tiap pihak menghormati hukum, peraturan, etika,
dan keadaban publik sebagai saluran berkompetisi. Ke depan jalan panjang terbentang, terjal
dan butuh daya tahan luar biasa saat menghadapi tantangan nyata dari dalam maupun luar
negeri.
Tantangan Global
Presiden terpilih lima tahun ke depan akan dihadapkan pada kompleksitas persolan di segala
lini. Karena itu, butuh kemauan dan kemampuan untuk mengelola sumber daya alam, sumber
daya manusia, sumber daya politik berupa dukungan, dan public trust sebagai modal sosial.
Salah satu tantangan faktual di era baru ini adalah pengelolaan komunikasi pemerintahan
dalam optimalisasi peran di dalam negeri, kawasan maupun dunia internasional. Ada
sejumlah tantangan nyata di depan mata yang mengharuskan pemerintah memiliki visi
komunikasi yang jelas, terarah, dan adaptif dengan konteks perubahan yang terjadi.
Tantangan geopolitik terutama kompetisi di kawasan ASEAN dan dunia. Geopolitik
mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi mencakup lokasi, luas, serta
sumber daya alam wilayah tersebut. Geopolitik mempunyai empat unsur pembangun, yaitu
keadaan geografis, politik dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan politik,
serta unsur kebijakan.
Kondisi geografi suatu negara tentu sangat memengaruhi berbagai aspek dalam
penyelenggaraan negara bersangkutan seperti pengambilan keputusan, kebijakan politik luar
negeri, hubungan perdagangan. Jika kita identifikasi ada sejumlah tantangan nyata di depan
mata.
Pertama, tahun 2015 Indonesia dihadapkan pada tantangan mulai berlakunya Masyarakat
Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community). Pemberlakuan action dari Masyarakat
Ekonomi ASEAN ini bertujuan memenuhi target MDGs (Milennium Development Goals).
Kesepakatan ASEAN Free Trade Area (AFTA) mengharuskan kita mampu bersaing secara
12. 12
sehat di berbagai bidang.
Dengan konsep area ASEAN sebagai pasar tunggal, pembebasan bea tarif masuk antarnegara
dan kerja sama saling menguntungkan mengharuskan Pemerintah Indonesia mengoptimalkan
strategi komunikasi di kawasan. Indonesia harus meyakinkan pihak lain sebagai engine of
growth bagi ekonomi kawasan dan dunia. Strategi komunikasi digunakan untuk promosi
ekspor, membangun global brand, standardisasi internasional, penetrasi pasar baru di luar
negeri, serta mengelola citra dan reputasi produk lokal kita kompetitif dalam persaingan
global.
Kedua, di skala global, Indonesia juga menjadi anggota The Group of Twenty (G-20) atau
lazim dikenal dengan sebutan G-20. Dalam konteks kerja sama ini pun Indonesia belum
tampil optimal. Indonesia terjebak utang yang besar dan cadangan devisa yang lemah.
Kita kerapkali tak punya tawaran yang spesifik, bahkan kerap dipandang sinis bahwa
keberadaan Indonesia hanya menjadi kanal kepentingan Amerika untuk merayu India dan
China. Tentu stigma negatif ini harus diubah dengan mengoptimalkan peran di G-20 untuk
kemajuan Indonesia.
Ketiga, tantangan zona perang informasi global yang bersifat asimetris (zone of asymetric
warfare) yang tak lagi berbasis gerakan militer sebagaimana kita pahami dalam konsep
perang konvensional, melainkan melalui penetrasi informasi. Misalnya di pengujung 2013,
SBY dan sejumlah pejabat Indonesia lainnya gusar sekaligus marah saat mengetahui
penyadapan yang dilakukan Australia.
Ironis memang karena Australia dan Indonesia merupakan negara bertetangga yang pasti
memiliki banyak persinggungan kepentingan. Laporan yang dipublikasikan harian Australia
Sydney Morning Herald (SMH), Kamis (31/10/2013), menyebutkan negara-negara di Asia
Timur dan Tenggara termasuk Indonesia menjadi objek penyadapan berskala global.
Tentunya dunia terperangah! Harian ternama Inggris The Guardian juga melaporkan Badan
Keamanan Nasional AS (NSA) telah memantau komunikasi 35 pemimpin negara pada tahun
2006, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Brasil Dilma Rousseff.
Bocornya dokumen intelijen dari whistleblower bernama Edward Snowden yang dulu bekerja
di NSA ini membuka mata banyak pihak bahwa perang informasi itu kini bersifat asimetris.
Belum lagi tantangan perang cyber. Fenomena seperti ini dibahas panjang lebar oleh Richard
A Clarke dan Robert K Knake dalam bukunya Cyber War (2010) sebagai serangan
kontemporer yang harus diwaspadai bagi keamanan nasional.
Metode seperti ini misalnya yang dipilih Wikileaks yang membocorkan dokumen-dokumen
rahasia untuk memerangi korupsi dan rezim ketertutupan informasi. Beberapa informasi yang
dibocorkan Wikileaks juga pernah menohok kehormatan SBY dan pemerintahan Indonesia.
13. 13
Prioritas Pemerintah
Tata kelola komunikasi nasional juga harus menjadi prioritas pemerintahan baru. Komunikasi
sangat vital sehingga perlu ditempatkan pada posisi yang strategis. Pemerintah baru harus
mampu mengelola harapan publik yang begitu tinggi dan menjaga modal sosial berbentuk
public trust.
Sejumlah tindakan komunikasi bisa dilakukan misalnya dengan mengoptimalkan akses
informasi dari pemerintah untuk masyarakat, sosialisasi program jangka pendek, menengah
dan panjang secara sistematis, kanal aduan, sinergi komunikasi antarlembaga pemerintah,
komunikasi strategis terkait isu kontekstual yang muncul dari kondisi yang membutuhkan
respons cepat pemerintah.
Pemerintah harus memiliki blue print yang jelas mengenai pengelolaan opini publik, public
relations politik, marketing komunikasi, komunikasi sosial, komunikasi internasional,
komunikasi antarbudaya dll. Oleh karena begitu penting dan strategisnya komunikasi bagi
pemerintahan baru diperlukan kebijakan dan tata kelola komunikasi yang optimal.
Presiden SBY telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2014 yang
ditandatanganinya pada 20 Januari 2014 mengenai pembentukan Dewan Teknologi Informasi
dan Komunikasi Nasional (Detiknas). Detiknas adalah lembaga koordinasi eksekutif yang
dibentuk dan diketuai Presiden Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia No 20 Tahun 2006. Detiknas memiliki visi untuk mempercepat
pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia secara efisien dengan
membuat kebijakan TIK secara nasional melalui sinkronisasi program-program TIK di
seluruh kementerian/lembaga.
Sayangnya, peran dewan ini antara ada dan tiada! Ke depan, menurut saya, harus ada tata
kelola yang lebih fokus pada sinkronisasi komunikasi nasional dan internasional. Mampu
merumuskan kebijakan umum, arahan strategis, koordinasi sistemik guna menyelesaikan
persoalan komunikasi pemerintahan baru.
DR GUN GUN HERYANTO
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Komunikasi
Indonesia (ISKI)
14. 14
Pepesan Kosong Koalisi Tanpa Syarat
Koran SINDO
26 Agustus 2014
Hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), 21 Agustus 2014 telah mengukuhkan Joko
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai presiden terpilih dan tinggal menunggu pelantikan
pada 20 Oktober 2014 mendatang. Keputusan MK yang menolak seluruh gugatan pasangan
capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menyebabkan dinamika politik koalisi yang kian
menarik.
Masalahnya, apakah model koalisi yang digagas oleh Jokowi sebagai koalisi yang tanpa
syarat dapat diwujudkan. Beberapa kali Jokowi mengingatkan agar partai pendukungnya
berkoalisi tanpa syarat dan menteri yang terpilih melepaskan jabatan partai politik (parpol).
Artinya, tidak ada syarat apa pun termasuk soal jabatan menteri ketika kemudian dalam
pilpres menang (KORAN SINDO, 12/8).
Gagasan Jokowi sebagai presiden terpilih di atas bukan tanpa tantangan. Secara ideal bisa
saja dilakukan, tetapi politik adalah politik, penuh dinamika, onak, dan duri. Dengan
dukungan yang kecil dari partai pengusung di parlemen, amat mustahil konsep koalisi tanpa
syarat dapat diterapkan. PDIP sebagai partai utama pendukung Jokowi hanya memperoleh
109 kursi (19,46%). Jika ditambah dengan kursi Nasdem 6,25%, PKB 8,39%, dan kursi
Hanura 2,85% dari 560 kursi DPR, tampak jelas modal dan dukungan presiden terpilih sangat
minim. Total jumlah kursi pendukung Jokowi hanya 207 kursi atau 36,96%.
Selain dukungan yang minim, publik pun tahu presiden tidak bekerja sendiri dalam
memutuskan kebijakan. Memang benar Jokowi-JK sebagai pemenang pemilu yang langsung
dipilih oleh rakyat. Akan tetapi, Indonesia menganut sistem presidensial yang meniscayakan
adanya hubungan kerja sama antara presiden dan DPR dalam membuat kebijakan.
Argumentasi presiden memiliki legitimasi karena dipilih langsung oleh rakyat, sama halnya
dengan mengasumsikan presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dapat bekerja
sendiri.
Dalam sistem presidensial, ada perbedaan mendasar antara relasi DPR-presiden dan presiden-
DPR dalam membangun mekanisme checks and balances. Format hubungan DPR-presiden
berbeda dengan hubungan presiden-DPR untuk sebuah proses kebijakan atau lahirnya sebuah
undang-undang. DPR posisinya lebih tinggi, karena sebuah undang-undang tanpa persetujuan
presiden secara otomatis akan berlaku setelah 30 hari. Sebaliknya, kebijakan presiden tanpa
dukungan DPR dengan mudah akan dihentikan di tengah jalan.
15. 15
***
Dengan kondisi seperti itu, pernyataan Jokowi, presiden terpilih yang menyatakan bahwa
koalisi yang akan dibentuk adalah koalisi tanpa syarat, ibarat menegakkan benang basah.
Artinya, secara politik koalisi tanpa syarat dan struktur kabinet tanpa menteri dari partai
hampir mustahil dilakukan. Ibaratnya, tak ada dukungan yang gratis, dan tak ada dukungan
politik yang tidak menginginkan jabatan kekuasaan di pemerintahan.
Membayangkan kabinet Jokowi-JK tanpa orang-orang partai ibarat membangun
pemerintahan yang selalu berada dalam ancaman. Pengalaman di era Gus Dur, Mega, dan
SBY dapat menjadi contoh, dengan kabinet yang didukung oleh partai politik yang
jumlahnya cukup signifikan saja, seperti Presiden Gus Dur yang diusung poros tengah saja
dimakzulkan. Begitu pula dengan beberapa kasus kebijakan SBY yang ditentang keras oleh
DPR, padahal SBY membangun pemerintahannya dengan koalisi yang besar, hampir 70%
partai koalisinya menguasai kursi parlemen.
Dalam konteks seperti itu, PDIP sebagai partai pengusungnya lebih realistis. PDIP menyadari
dengan kekuasaan koalisi 36% di parlemen, masih perlu mencari kawan baru untuk
bergabung. Pilihannya hanya satu, menarik partai yang sudah berkoalisi dengan Prabowo-
Hatta atau Partai Demokrat yang ingin menjadi partai penyeimbang. Dengan modal partai
pendukung yang kecil pula, Jokowi mengalami dilema dalam melakukan negosiasi dengan
partai-partai yang akan diajak berkoalisi. Sebut sebagai contoh, penolakan PKB atas gagasan
Jokowi agar menteri tidak merangkap jabatan partai dan PKB menagih janji jatah menteri,
termasuk menteri agama, adalah sinyal awal bahwa koalisi tanpa syarat bukan tanpa masalah.
Sama halnya dengan itu, keinginan untuk menarik kawan baru apakah PPP, Partai Demokrat,
atau Golkar, menurut hemat penulis bergantung pada tawaran yang akan diberikan. Istilahnya
tak ada jatah menteri, tak ada dukungan, tidak mungkin ada politik yang gratis, partai
dibentuk untuk berkuasa, pasti mereka memiliki kepentingan untuk memperoleh jabatan.
Dengan kekuatan yang hanya 36,96% pula, rasanya hampir mustahil menegakkan kepala
dengan mengatakan bahwa koalisi tidak boleh macam-macam, partai yang mendukung tidak
boleh meminta balas budi, dan semua kuasa hanya ada pada presiden terpilih.
Situasi itulah yang kini sedang dihadapi oleh PDIP dan Jokowi. Itulah realitas politik yang
sedang bergolak di dalam. Pencitraan bahwa calon-calon menteri sedang digodok dengan
mekanisme keikutsertaan publik dalam mengusulkan nama-nama adalah sebuah proses yang
bisa menjadi antiklimaks. Proses penyusunan struktur kabinet yang dikemukakan ke publik
sebagai kabinet yang profesional, ramping, dan minim orang partai, dapat saja mengangkat
nama presiden terpilih. Tetapi sebaliknya apabila bertentangan dengan susunan nama-nama
kabinetnya, justru akan memunculkan kekecewaan politik dan awal ketidakpercayaan
terhadap presiden terpilih.
Komunikasi yang mulai gencar dilakukan oleh PDIP dan sejumlah pihak pendukung presiden
terpilih memperlihatkan pula bahwa mereka merasa “tidak aman”. Kekuatan oposisi yang
16. 16
berasal dari barisan Merah Putih Prabowo yang terdiri atas PAN, PPP, Golkar, PKS, dan
Gerinda, jika benar akan permanen dan tak ada yang membelot adalah sebuah buldoser
oposisi dengan penguasaan 52,14%. Sebuah kekuatan oposisi yang bukan saja akan
mengancam, melainkan justru dapat menimbulkan “huru-hara” politik di parlemen. Oleh
karena itu, wacana koalisi tanpa syarat, tidak ada bagi-bagi jabatan dapat disebut sebuah
pepesan kosong, sesuatu yang mustahil terjadi.
Apa maknanya? Kontestasi koalisi pascakeputusan MK adalah sebuah proses koalisi yang
sedang dibangun oleh presiden terpilih untuk mengamankan dukungan politiknya di
parlemen. Dalam suasana politik Indonesia saat ini, adakah koalisi yang ikhlas, koalisi tanpa
imbal jasa? ●
MOCH NURHASIM
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik-LIPI
17. 17
Oposisi juga Seksi
Koran SINDO
27 Agustus 2014
Kini pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) telah resmi sebagai presiden dan
wakil presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 setelah Mahkamah Konstitusi (MK)
menolak seluruh gugatan yang dilayangkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Upaya-upaya hukum yang ditempuh penggugat, dengan demikian, telah berakhir karena
keputusan MK bersifat final dan mengikat. Terkait masalah ini, banyak pertanyaan yang
muncul tentang bagaimana masa depan Koalisi Merah Putih yang beranggotakan partai-partai
politik pendukung pasangan nomor urut dua tersebut. Apakah mereka akan tetap berkoalisi
setidaknya sampai lima tahun ke depan sehingga memilih berada di luar kekuasaan ataukah
akan bubar di tengah jalan karena sebagian anggotanya tergiur masuk ke dalam kekuasaan?
Kekuasaan yang Menggoda
Bukan tidak mungkin sebagian anggota Koalisi Merah Putih akan berpindah haluan untuk
mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Seperti diwacanakan belakangan ini bahwa Demokrat
dan PAN tengah didekati PDIP agar bergabung ke dalam gerbongnya. Meski Demokrat
sudah mengeluarkan pernyataan resmi untuk bersikap netral, sejumlah elite partai ini banyak
yang melakukan pendekatan dengan partai pemenang pemilu. Sementara para elite partai-partai
anggota Koalisi Merah Putih lain mulai melakukan manuver.
Golkar misalnya bahkan telah cukup lama diramaikan dengan wacana penyelenggaraan
musyawarah nasional (munas) pada Oktober 2014, dipercepat dari yang seharusnya pada
2015 sebagaimana kesepakatan Munas VIII di Riau. Calon kuat ketua umum partai beringin
yang muncul, Agung Laksono, tegas-tegas menyatakan akan mendukung pemerintahan
Jokowi-JK. Jika ini terjadi, Golkar jelas akan keluar dari Koalisi Merah Putih. Hal yang sama
juga tengah menimpa PPP. Adanya keinginan elite-elite partai politik pendukung koalisi
untuk berubah haluan kian menahbiskan bahwa kekuasaan memiliki daya penggoda yang luar
biasa.
Ironisnya, di republik ini partai-partai politik dalam banyak hal kerap menggantungkan
hidupnya pada ketiak kekuasaan. Karena itu, ketika dihadapkan pada pilihan untuk berada di
luar, mereka seolah-olah merasa tidak akan mampu berbuat banyak. Ini diperparah dengan
kecenderungan pragmatisme partai-partai politik tersebut di mana kursi atau kekuasaan
merupakan segala-galanya dalam berpolitik. Politik semata-mata dimaknai seperti yang
18. 18
dikatakan Harold D. Lasswell sebagai siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana (who
gets what, when and how). Akibat itu, mereka lebih memilih untuk berada di dalam
kekuasaan yang dianggapnya sebagai zona nyaman ketimbang mengambil risiko untuk
berada di luar kekuasaan.
Oposisi, Mengapa Tidak?
Padahal sesungguhnya politik yang sehat memerlukan keseimbangan kekuasaan. Kekuasaan
tanpa penyeimbang akan mudah terjatuh pada otoritarianisme dan bentuk-bentuk
kesewenangan lain. Tesis Lord Acton yang sangat terkenal, kekuasaan cenderung korup dan
kekuasaan absolut cenderung korup secara mutlak (power tends to corrupt and absolute
power corrupts absolutely), tampaknya sulit dibantah. Berbagai praktik kekuasaan tanpa
kekuatan penyeimbang dengan mudah ditemukan di negara-negara otoriter, termasuk di
negeri ini pada masa Orba.
Kekuatan penyeimbang tidak dapat disangkal lagi merupakan prasyarat mutlak (conditio sine
qua non) bagi tegaknya demokrasi di negeri ini. Karena itu, partai-partai politik anggota
Koalisi Merah Putih, kalaupun tidak semuanya, seyogianya ada yang tetap memainkan peran
penyeimbang atau oposisi untuk lima tahun ke depan. Mereka tidak perlu ragu-ragu untuk
menyatakan dirinya sebagai partai oposisi bagi pemerintahan Jokowi-JK. Hemat penulis,
peran sebagai oposisi bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi partai-partai politik.
Jika peran oposisi yang dimainkannya berjalan secara benar, besar kemungkinan oposisi akan
menjadi investasi politik pada masa-masa yang akan datang.
Artinya, mereka akan dapat memanen dividen investasi politik itu pada waktunya nanti.
Demikianlah kita misalnya menyaksikan silih bergantinya partai yang berkuasa di AS. Yang
menjadi oposisi bisa menarik hati publik sehingga kemudian mampu berkuasa pada periode
berikutnya. Karena itu, publik sangat berharap anggota Koalisi Merah Putih seperti Gerindra,
PKS, dan PBB, syukur-syukur juga anggota-anggota Koalisi Merah Putih lainnya, konsisten
memainkan peran oposisi paling tidak selama lima tahun ke depan.
Peran oposisi yang baik, menurut hemat penulis, harus diorientasikan pada ihwal berikut.
Pertama, oposisi seyogianya didasarkan pada niat untuk melakukan politik keseimbangan
terhadap kekuasaan. Mereka sadar sepenuhnya bahwa dalam kultur demokrasi kekuasaan
tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri, tapi harus ada yang mengimbanginya. Jangan sampai
oposisi dipengaruhi oleh motif balas dendam atas kekalahan yang diderita partai-partai
oposisi saat pemilu. Kalau motif ini yang mengemuka, bisa dipastikan peran oposisi yang
dimainkannya tidak akan berjalan dengan baik.
Kedua, peran oposisi harus dilakukan secara cerdas, jangan asal-asalan. Dengan kata lain,
partai-partai oposisi harus bisa menempatkan dirinya kapan untuk bersikap kritis atas
kebijakan pemerintah dan kapan saatnya memberikan dukungan. Asal kritis saja atau lebih
parah asal berbeda dengan pemerintah, alih-alih akan mendatangkan simpati justru akan
menimbulkan antipati publik. Ini malah membahayakan bagi partai-partai itu.
19. Ketiga, oposisi seyogianya dimaknai sebagai bentuk merawat tradisi politik yang baik di
republik ini. Sebagaimana diketahui, budaya politik Indonesia hampir tidak mengenal tradisi
oposisi apalagi selama kendali kekuasaan dipegang rezim Orba. Jangankan oposisi, potensi-potensi
19
perbedaan sikap dan pandangan dengan pemerintah saja ketika itu segera disapu
bersih oleh penguasa bahkan dengan menggunakan kekerasan. Baru setelah memasuki
reformasi oposisi mulai muncul meski belum menjadi tradisi politik yang melembaga. Pada
dua periode pemerintahan kemarin misalnya PDIP telah memainkan peran oposisi dengan
cukup baik dan kini dapat menunai hasilnya. Maka itu, sangat tepat kalau Gerindra, PKS, dan
partai anggota Koalisi Merah Putih lain juga ikut merawat tradisi politik yang baik ini dengan
menempuh jalur oposisi.
Pada masa-masa yang akan datang bukan tidak mungkin kita dapat menyaksikan silih
berganti kekuasaan di Indonesia antara penguasa dan oposisi. Dengan demikian, oposisi tidak
lagi menjadi sesuatu yang dianggap tabu di negeri ini. Sebaliknya, ia justru isu seksi yang
mesti dimanfaatkan partai-partai politik yang mengalami kekalahan dalam pemilu. Sekali
lagi, tidak perlu ragu untuk menempuh jalur oposisi.
IDING ROSYIDIN
Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur the Political Literacy
Institute
20. 20
Pemilihan Wakil Gubernur DKI: Ujian
”Panas” Koalisi Merah Putih
Koran SINDO
27 Agustus 2014
Senin (25/8) lalu 106 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
dilantik dan diambil sumpahnya. Aroma pertarungan politik sudah langsung merebak di
Kantor DPRD yang bersebelahan dengan Balai Kota tempat gubernur dan wakil gubernur
berkantor.
Dengan keterpilihan Joko Widodo sebagai presiden RI 2014-2019, secara otomatis sesuai
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 26 Ayat 3,
Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan naik menjadi gubernur DKI Jakarta.
Lalu, siapa wakil gubernurnya yang akan mendampingi Ahok? Di sinilah ”ujian panas”
pertama Koalisi Merah Putih pendukung calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa
ditentukan. Merujuk komposisi anggota DPRD DKI 2014-2019 kekuatan Koalisi Merah
Putih berjumlah 57 kursi (Gerindra 15, PKS 11, PPP 10, Demokrat 10, Golkar 9, dan PAN
2), sedangkan koalisi pendukung Jokowi-JK berjumlah 49 kursi (PDIP 28 kursi, Hanura 10,
PKB 6, dan NasDem 5).
Seperti diketahui, pasangan Jokowi-Ahok di Pilkada DKI diusulkan PDIP dan Gerindra,
hanya dua partai inilah yang berhak mengajukan calon wakil gubernur ke DPRD, ini sesuai
Undang-Undang Pemerintahan Daerah Pasal 26 ayat 4 yang isinya: ”Kepala daerah
mengajukan dua calon wakil kepala daerah berdasarkan usul partai politik atau gabungan
partai politik pengusungnya dulu untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD”. Aroma
persaingan ”merebut” kursi DKI-2 sudah terlihat dari sikap Partai Gerindra dan PDI
Perjuangan yang ”ngotot” mengajukan calon masing-masing.
Dari Gerindra ada nama M Sanusi (ketua Fraksi Gerindra DPRD DKI 2009-2014) dan M
Taufik (ketua DPD Gerindra DKI), sementara PDIP mengantongi tiga calon yakni Boy
Sadikin (ketua DPD PDIP DKI Jakarta), Djarot Saiful (mantan Wali Kota Blitar), dan
Bambang DH (mantan Wali Kota Surabaya). Partai Gerindra tentu akan bertarung habis-habisan
untuk merebut kursi wakil gubernur DKI karena partai pendukung Prabowo Subianto
ini tak ingin kehilangan muka dua kali setelah kalah di pilpres lalu.
Tawaran-tawaran politik di panggung pimpinan DPRD DKI akan menjadi ”hadiah” jika
anggota Koalisi Merah Putih solid. Bukan tidak mungkin, jika kursi wakil gubernur DKI diisi
21. kader Gerindra, ketua DPRD akan diisi anggota dari PPP atau Demokrat, sedangkan posisi
wakil ketua DPRD dan ketua komisi akan dibagi rata pendukung Koalisi Merah Putih.
Namun, kalkulasi politik Koalisi Merah Putih ini sebaiknya juga harus mempertimbangkan
masukan Ahok sebagai gubernur DKI pengganti Jokowi, yang menginginkan pendampingnya
orang yang jujur, pekerja keras, dan bisa mengimbangi sikap dinamis dirinya.
21
Syarat menjadi kepala daerah juga pernah disampaikan Ahok. Selain pertimbangan dari
Ahok, Partai Gerindra sebagai motor Koalisi Merah Putih di DPRD DKI Jakarta juga harus
memperhitungkan masa depan politik untuk pilkada selanjutnya. Jangan sampai, karena
hanya ingin memaksakan kehendak merebut kursi DKI-2, prestasi Ahok dan wakil
gubernurnya nanti justru menjadi bumerang.
Fraksi Demokrat Jadi Penentu
Hampir mirip dengan situasi di DPR pusat, Fraksi Demokrat di DPRD DKI Jakarta akan
menjadi penentu peta koalisi. Hitungan politik Koalisi Merah Putih di DPRD DKI bisa bubar
jalan jika Fraksi Demokrat yang memiliki 10 kursi memilih bergabung ke koalisi pendukung
Jokowi-JK dan mendukung calon wakil gubernur yang akan diajukan PDI Perjuangan. Fraksi
Demokrat tentu punya kalkulasi politik tersendiri, jika mereka memilih bergabung dengan
PDIP daripada Gerindra, bisa jadi partai besutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memiliki target di Pilkada atau Pemilu Legislatif 2019 mendatang agar bisa kembali menjadi
fraksi mayoritas seperti pada 2004-2009. Jika Fraksi Demokrat benar bergabung dengan
PDIP, dukungan ini tentu tak ”gratis”, pasti ada tawar-menawar politik bagi kader Demokrat
di DPRD DKI.
Menurut prediksi penulis, selaku gubernur DKI Jakarta yang baru nanti, Ahok pasti
menginginkan pendampingnya berasal dari koalisi yang dimotori PDI Perjuangan agar
dukungan di legislatif semakin kuat karena Ahok yang berasal dari Gerindra dan wagub yang
berasal dari PDIP akan memiliki kepentingan yang sama yakni kepemimpinan yang sukses
hingga 2017.
Jika pasangan ideal ini terwujud, masalah penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) tentu tidak akan menjadi masalah seperti tahun sebelumnya. Lalu,
bagaimana akhir ”drama” pemilihan wakil gubernur DKI Jakarta ini? Jawabannya akan mulai
terlihat pada proses pemilihan pimpinan DPRD DKI 2014-2019 hingga penetapan wakil
gubernur. Apakah Koalisi Merah Putih akan lolos pada ”ujian panas” pertamanya ini? Kita
lihat saja nanti.
EKO ARDIYANTO
Mahasiswa Program Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Persada Indonesia Y.A.I
Jakarta
22. 22
Pejabat Publik & Sistem Politik
Koran SINDO
27 Agustus 2014
Tiga hari lalu Jenderal Prayuth Chan-ocha menjadi orang nomor dua terkuat di Thailand
setelah Raja King Bhumibol Adulyadej. Dia adalah perdana menteri ke-29 dan akan
memimpin Thailand menuju pemilihan umum di bulan Oktober 2015. Dia saat ini masih
menjabat sebagai kepala staf Angkatan Darat Thailand, tetapi akan memasuki masa pensiun
pada bulan September tahun ini.
Meski begitu masyarakat Thailand masih ragu apakah sang jenderal akan legawa meletakkan
jabatannya mengingat sejarah sepak terjang militer sebagai kekuatan politik yang mampu
memotong seluruh jalur prosedur demokrasi yang dibangun di Thailand. Kalaupun Jenderal
Prayuth memiliki niat baik untuk meletakkan jabatan militernya, sang pengganti haruslah
seseorang yang ia kenal baik dan loyal. Hal ini mengandung makna bahwa kepangkatan tidak
menjamin loyalitas bila tidak disertai hubungan antarpribadi yang dekat.
Selain itu, konsultasi dengan pihak kerajaan juga tidak dapat diabaikan karena Raja Thailand
masih menjadi figur kuat dalam menentukan arah politik (termasuk upaya menuju demokrasi)
di Thailand walaupun secara fisik beliau semakin hari lemah karena usia. Ujian terdekat
Jenderal Prayuth adalah penyusunan kabinet. Apakah ia akan mengakomodasi kelompok
Kaus Merah dan Kuning? Siapakah yang mendapatkan posisi penting dalam kabinet?
Beberapa analis politik mengatakan politik tidak beda dengan sistem ekonomi pasar. Para
aktor saling bertransaksi untuk mendapatkan legitimasi dari aktor lain. Istilah umumnya,
tidak ada makan siang gratis. Di Amerika misalnya dikenal dengan istilah pork-barrel, yaitu
tukar-menukar dukungan dengan mengucurkan proyek pembangunan di sebuah wilayah.
Namun perumpamaan ini juga tidak sepenuhnya benar. Pertama karena dalam ekonomi pun
tidak ada yang namanya persaingan bebas. Pertukaran dalam ekonomi pasar juga memiliki
biaya yang membuat hukum permintaan-penawaran tidak selalu berjalan sempurna. Para
ekonom menyebutnya anomali, tetapi ahli sosiologi dan politik menyebutnya sebagai aspek
sosial ekonomi.
Maksudnya bahwa ekonomi hidup dalam sebuah ruang yang sesak dengan berbagai macam
sistem, aturan, nilai, moral, etika, sistem rasional, dan sebagainya. Pada saat permintaan
BBM tinggi dan persediaan rendah, harga minyak di SPBU semestinya mengikuti hukum
tersebut. Namun dalam kenyataannya tidak terjadi karena sistem politik menahan harga
tersebut walaupun akibatnya pembangunan di sektor lain seperti infrastruktur, pendidikan
23. 23
atau kesehatan menjadi tersendat-sendat pelaksanaannya. Demokrasi Thailand adalah salah
satu contoh terdekat yang dapat kita diskusikan.
Demokrasi di sana selalu dibayang-bayangi dengan ketakutan akan selalu terjadinya kudeta
militer apabila masyarakat sipil tidak dapat menyelesaikan persoalan mereka secara sipil.
Penjelasan yang umum yang melatarbelakangi kekhawatiran itu antara lain karena sistem
demokrasi Thailand masih mencampuradukkan antara kekuasaan monarki dan kekuasaan
politik modern. Secara formal kekuasaan Raja Thailand telah berkurang dibandingkan 80
tahun lalu. Ketika itu raja menyetujui desakan kaum reformis untuk memberikan hak
konstitusi kepada warga di mana raja melepaskan kekuasaan eksekutif, yudikatif dan
legislatif.
Meski demikian, raja Thailand saat ini masih merupakan pimpinan tertinggi dari angkatan
bersenjata dan memiliki kekuasaan untuk memberikan pengampunan. Kebebasan
berpendapat dijamin selama tidak menyinggung simbol-simbol kerajaan. Siapapun yang
melanggar akan masuk ke penjara. Pertanyaannya kemudian apakah demokrasi dengan
percampuran antara kekuasaan raja dan sistem politik yang modern adalah sebuah bentuk
demokrasi yang ideal untuk masyarakat Thailand? Jawabannya sangat relatif.
Bagi kaum rational choice, demokrasi di Thailand bukan demokrasi yang ideal karena sistem
politiknya tidak menyediakan atau mendukung tumbuhnya tindakan-tindakan rasional untuk
mencapai tujuannya. Sistem politik harus menciptakan lingkungan di mana para aktor dan
tindakannya didorong berpolitik dengan menggunakan etika, moral, dan pertimbangan-pertimbangan
yang dapat diterima akal manusia khususnya etika dan moral. Apabila sistem
politik tidak mendukung hal tersebut, yang terjadi adalah tindakan para aktor politik yang
tidak bermoral dan tidak beretika.
Pandangan demikian banyak berbenturan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Contoh
adalah China dengan sistem satu partainya. Apakah kita dapat menyatakan bahwa China
lebih baik dari Thailand atau sebaliknya Thailand lebih baik dari China? Kaum realis-pragmatis
berpandangan baik atau tidaknya demokrasi harus dikembalikan kepada rakyat itu
sendiri. Apabila sistem itu tidak cocok, rakyat pasti akan menolak dan melakukan perubahan.
Namun, apabila cocok, masyarakatnya akan baik-baik saja.
Negara-negara sosialis sebelum Tembok Berlin runtuh menolak sistem demokrasi Barat.
Mereka menganggap demokrasi itu adalah demokrasi borjuis. Hanya Kuba dan China yang
secara resmi menyatakan menganut ideologi sosialis yang masih bertahan. Negara-negara
Timur Tengah yang masih memiliki kekuasaan monarki juga menolak demokrasi tersebut
karena terlalu sekuler dan tidak sesuai dengan ajaran agama mayoritas. Apabila kita
menyerahkan definisi yang ideal dan tidak dari sejauh mana masyarakat bereaksi, apakah kita
tidak terjebak dalam relativisme atau pendapat yang menyatakan tidak ada satu kebenaran
yang sah karena kebenaran itu bersifat terbatas baik oleh waktu maupun ruang?
Saya tidak berniat menjawab pertanyaan itu karena selain ruang yang terbatas, pertanyaan
24. tersebut lebih baik dijawab oleh pejabat publik yang akan menggantikan atau memperpanjang
kekuasaan mereka seusai hiruk pikuk pemilihan legislatif dan presiden bulan lalu.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini semestinya menjadi pertanyaan yang harus hidup dalam
benak seluruh pejabat politik di Indonesia, terutama mereka yang duduk di kursi presiden,
parlemen, kabinet, badan-badan negara dan lembaga publik lain. Para pejabat harus hati-hati
dalam memutuskan dan bertindak karena apa yang mereka lakukan akan memiliki dampak
yang besar kepada masyarakat.
Para pejabat publik tidak boleh berhenti mencari jawaban ideal tentang mengapa mereka
ingin maju dan duduk di kursi kekuasaan. Apakah karena berjuang untuk mengurangi
kemiskinan? Berjuang memperbesar biaya pendidikan atau kesehatan? Melakukan perubahan
untuk kehidupan toleransi atau hanya iseng demi memperbaiki status sosial ekonomi?
Apabila para anggota parlemen tidak lagi peduli untuk mencari tahu apa yang membuat
mereka terdorong masuk di parlemen, sejak saat itulah mereka tidak lagi berarti. ●
24
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
25. 25
Mengapa Hendropriyono?
Koran SINDO
28 Agustus 2014
Usai sudah pesta demokrasi lima tahunan pemilihan presiden (pilpres). Komisi Pemilihan
Umum (KPU) telah menetapkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemenang
pilpres tahun 2014 dengan perolehan 70.997.833 suara (53,15%).
Sementara pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa memperoleh 62.576.444 suara
(46,85%). Kemenangan pasangan nomor urut satu itu kian kukuh pascapenolakan Mahkamah
Konstitusi terhadap gugatan perselisihan hasil pemilihan umum yang diajukan oleh pasangan
Prabowo-Hatta pada Kamis (21/8) lalu. Berbagai pekerjaan rumah terkait kehidupan bangsa
dan negara–baik di bidang ekonomi, politik, maupun hukum–telah menanti untuk segera
dituntaskan setelah pasangan nomor urut dua tersebut secara resmi dilantik sebagai presiden
dan wakil presiden pada 20 Oktober mendatang.
Seiring dengan hal itu, presiden terpilih Joko Widodo telah membentuk tim transisi dengan
komposisi keanggotaan Rini Mariani Soemarno, Anies Baswedan, Andi Widjajanto, Hasto
Kristianto, dan Akbar Faizal. Beberapa tugas utama tim transisi adalah mempersiapkan hal-hal
strategis terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2015,
mempersiapkan arsitektur kabinet, dan mempersiapkan kelancaran rencana program Joko
Widodo- Jusuf Kalla. Pembentukan tim transisi menuai apresiasi karena dinilai sebagai
ikhtiar politik Joko Widodo selaku presiden terpilih, untuk menghemat waktu agar
pemerintahan mendatang dapat langsung bekerja setelah pelantikan.
Meskipun demikian, tidak sedikit pula kritik tajam publik ditujukan kepada Joko Widodo
terkait pembentukan tim transisi, terutama soal keberadaan tokoh kontroversial AM
Hendropriyono di jajaran penasihat. Tidak kurang istri almarhum Munir, Suciwati,
mengkritik keras keputusan Joko Widodo tersebut. Mantan wali kota Solo itu berdalih
memilih AM Hendropriyono sebagai penasihat semata-mata untuk kepentingan urusan
intelijen bagi kantor transisi.
Sudah menjadi rahasia umum bila nama AM Hendropriyono termasuk tokoh penuh
kontroversi dan memiliki resistensi tinggi di mata publik, terutama para aktivis dan pegiat
hak asasi manusia (HAM). Guru besar bidang ilmu intelijen ini diduga terkait peristiwa
pelanggaran HAM di Talangsari tahun 1989 saat menjabat danrem 043 Garuda Hitam
Lampung. Selain itu, dia juga diduga terlibat dalam usaha pembunuhan mantan aktivis Munir
saat menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2004. Karena itu, wajar
bila keberadaan nama AM Hendropriyono sebagai penasihat tim transisi mengundang
keprihatinan publik.
26. Bukan tidak mungkin jabatan sebagai penasihat tim transisi merupakan awal pembuka jalan
untuk menduduki posisi strategis di kabinet Joko Widodo mendatang, seperti menteri
koordinator politik, hukum, dan keamanan (menko polhukam). Apalagi, AM Hendropriyono
memiliki kedekatan dengan Megawati Soekarnoputri yang notabene ketua umum Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan sekaligus mentor politik Joko Widodo. Harus diakui, dalam
konteks Indonesia, penegakan HAM masih menjadi sebuah pekerjaan rumah besar yang
belum dituntaskan.
Di tengah hiruk-pikuk politik pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014, pekerjaan rumah itu
pun terasa kian berat untuk dituntaskan karena sejumlah tokoh terduga pelanggar HAM
masih belum menjauh dari pusat-pusat kekuasaan negara. Atau justru kian mendekat dengan
lingkaran terdalam kekuasaan? Sulit dipungkiri kemunculan kembali para elite dengan rekam
jejak kelam di masa lalu di langgam politik nasional saat ini merupakan gambaran konkret
tentang tidak adanya perasaan bersalah dan penyesalan diri atas berbagai dosa politik di masa
lalu, termasuk masalah pelanggaran HAM.
Keterlibatan mereka dalam kontestasi politik saat ini dapat dilihat sebagai bentuk
ketidakrelaan tinggal di pinggiran sejarah. Ada sebuah kepercayaan besar dalam diri mereka
dengan berkiprah di dunia politik peluang untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan akan
kembali terbuka. Boleh jadi pula mereka meyakini jabatan di pemerintahan kelak akan dapat
melindungi mereka dari berbagai tuntutan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
26
Terkait hal itu ada baiknya apabila kita melihat pengalaman Sudan. Lima tahun lalu
International Criminal Court mengesahkan perintah penangkapan internasional (arrest
warrant) terhadap Presiden Sudan Omar Hassan Ahmad al-Bashir sebagai pelaku tidak
langsung dari kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Darfur. Statuta International
Criminal Court tidak mengakui adanya kekebalan hukum sekalipun pihak bersangkutan
tengah menjabat sebagai kepala negara. Ditegaskan dengan jelas, seorang pejabat negara
tetap dapat dituntut secara pidana oleh pengadilan internasional.
Pengalaman Sudan memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa merupakan kesalahan
besar jika mengira sebuah jabatan politik pemerintahan dapat melindungi seseorang dari
tuntutan hukum pelanggaran HAM. Sebagai bangsa, kita kelak tentu tidak ingin mendapatkan
aib karena seorang pejabat tinggi negara diseret ke pengadilan internasional atas tuduhan
pelanggaran HAM. Mungkin benar perkataan seorang tokoh bernama Mirek dalam novel The
Book of Laugher and Forgetting karya Milan Kundera bahwa perjuangan manusia melawan
kekuasaan merupakan perjuangan melawan lupa.
Ketika deretan kejahatan kemanusiaan dan kekerasan oleh negara terhapus dari memori
kolektif publik, tidak aneh bila tokoh-tokoh dengan catatan kelam di masa lalu dapat berganti
peran menjadi seorang pahlawan. Harus diingat bila keterbukaan dan kebebasan politik kita
nikmati di era reformasi seperti saat ini bukanlah cek kosong. Segala keterbukaan dan
kebebasan politik itu dapat hadir karena ditebus dengan tetesan peluh dan darah dari para
27. 27
pejuang gerakan-gerakan reformasi.
Kehadiran era reformasi merupakan kesempatan emas bagi negara untuk membayar lunas
utang kepada mereka yang pernah menjadi korban rezim masa lalu. Semoga Joko Widodo
belum lupa dan masih mengingat hal ini dengan baik sebagaimana janji-janji saat kampanye
pilpres lalu. Menempatkan tokoh- tokoh dengan rekam jejak kelam di lingkaran kekuasaan
cuma akan mempersingkat masa “bulan madu” Joko Widodo dengan publik. ●
BAWONO KUMORO
Peneliti Politik The Habibie Center
28. 28
Melacak Akar Konflik Arab-Yahudi
Koran SINDO
29 Agustus 2014
Dari segi akidah dan syariah, bangsa Arab dan Yahudi mempunyai banyak ikatan pertalian,
kedekatan, dan persamaan. Jika dirunut sampai ke nenek moyang, bangsa Arab dan Yahudi
masih keturunan Nabi Ibrahim.
Agama Islam dan agama Yahudi sama-sama melarang umatnya makan babi. Kedua agama
sama-sama mengajarkan kepada komunitasnya untuk berkhitan. Kedua komunitas (dan
Kristen) sama-sama menjadikan Yerusalem sebagai kota suci. Akan tetapi, karena muatan
sentimen politik antara umat Arab dan umat Yahudi jauh lebih dominan, konflik berdarah
pun terjadi secara turun-temurun sampai sekarang ini.
Akar masalah konflik Arab-Yahudi bermula sejak zaman Nabi Muhammad di Madinah pada
abad ke-7 M. Awalnya, komunitas Yahudi menandatangani Piagam Madinah dan
menyatakan setia kepada Nabi Muhammad sebagai kepala negara. Tapi ketika Perang Ahzab
(Khandaq) terjadi pada 627 M, komunitas Yahudi (Bani Quraizhah) berkhianat, mereka
membantu kaum Quraisy menyerang umat Islam. Akibat pengkhianatan ini, kaum Yahudi
banyak yang dijatuhi hukum mati. Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M) mengusir
komunitas Yahudi dari Madinah karena mereka merupakan musuh dalam selimut. Kaum
Yahudi menyebar di daerah Khaibar dan sekitarnya. Keberadaan Yahudi di wilayah itu tetap
menjadi ancaman bagi umat Islam. Karena itu, pasukan muslim menyerang dan menaklukkan
mereka.
Jika dihitung sejak zaman Nabi (abad ke-7 M), konflik Arab-Yahudi sudah berlangsung lebih
dari 14 abad dan belum berakhir sampai sekarang. Jika dihitung sejak berdirinya negara Israel
tahun 1948, konflik Arab (Palestina)-Israel sudah berlangsung selama 66 tahun. Belum juga
ada penyelesaian politik. Tidak tercapainya penyelesaian secara adil dan permanen telah
menyebabkan terjadinya serangkaian konflik berdarah yang mengerikan. Di tahun 1967,
perang enam hari Arab-Israel pecah dan berakhir dengan kekalahan pihak Arab (yang
melibatkan tentara gabungan Mesir, Suriah, Lebanon, dan Palestina). Karena tentara Israel
memiliki persenjataan yang lebih canggih dan modern, negara zionis itu menang. Resolusi
DK PBB agar Israel mundur ke wilayah perbatasan sebelum perang tidak diindahkan Israel.
Sampai sekarang Israel menganeksasi Dataran Tinggi Golan milik Suriah.
Israel menyerang Lebanon pada September 1982 dan tentaranya mengepung Sabra dan
Shatila yang menjadi konsentrasi pengungsian Palestina. Dalam situasi terkepung, pasukan
Kristen Maronit Falangis dengan mudah memasuki Sabra dan Shatila dan membantai rakyat
sipil. Diperkirakan 3.500 orang terbantai (kebanyakan pengungsi Palestina). Tindakan milisi
Kristen Falangis merupakan “balasan” terhadap milisi muslim menyusul terbunuhnya Bashir
29. 29
Gamayel (dari Partai Kristen Kataeb) dalam suatu ledakan bom di Beirut. Saat itu Gamayel
dinyatakan menang dalam pemilu dan sebagai presiden terpilih. PM Ariel Sharon dan rezim
zionis Israel harus bertanggung jawab atas terjadinya “massacre“ ini karena tentaranya
memuluskan jalan bagi milisi Falangis ke Sabra dan Shatila untuk melakukan pembantaian.
Agresi tentara Israel ke Gaza yang pertama terjadi pada 27 Desember 2008. Pasukan Israel
secara gencar menyerang Gaza secara eksesif, masif, dan membabi buta. Tiga pekan lamanya
tentara Israel melakukan serangan ke Gaza dan berakhir pada 18 Januari 2009. Pasukan Israel
menjatuhkan berton-ton bom ke Gaza. Militer Israel melancarkan serangan dari udara, darat,
dan laut dengan persenjataan yang modern dan canggih. Sementara Hamas hanya
mengandalkan roket. Akibat gempuran ini, banyak korban tragis berjatuhan di pihak
Palestina: lebih dari 1.300 orang tewas dan lebih dari 3000 orang luka-luka. Mayoritas
mereka adalah anak-anak, wanita, dan rakyat sipil yang tidak berdosa.
Banyak gedung, masjid, sekolah yang dikelola oleh PBB, dan rumah penduduk Palestina
ludes. Fasilitas- fasilitas umum seperti jaringan listrik, telepon, dan saluran air bersih hancur.
Di pihak Israel, 13 tentaranya tewas dan beberapa orang terluka terkena roket Hamas. Gaza
sangat mengalami kekurangan makanan, air, dan aliran listrik. Rumah sakit sangat kewalahan
merawat ratusan korban (anak-anak, perempuan, dan rakyat sipil) yang terluka.
Dewan Keamanan (DK) PBB mengeluarkan Resolusi No 1860 yang isinya menyerukan
kepada Israel untuk menghentikan serangannya ke Gaza. Namun, rezim zionis Israel tak
bergeming sedikit pun dan terus menggempur Gaza. Dalam sidang DK PBB, Amerika Serikat
(AS) abstain. Sikap politik AS—baik di bawah pemerintahan Partai Republik maupun Partai
Demokrat—tetap pro-Israel. Gencatan senjata tercapai setelah Gaza porak poranda digempur
tentara Israel.
Agresi militer Israel ke Gaza yang kedua terjadi pada 8 Juli 2014. Pola, taktik, dan strategi
serangan tentara Israel ke Gaza serupa dengan serangan pada tahun 2008-2009. Berawal
dengan membombardir Gaza dari udara, pasukan Israel lantas menyerbu dari darat secara
besar-besaran. Pihak Hamas, yang hanya mengandalkan roket, tidak berdaya menghadapi
serangan tentara Israel yang menggunakan tank, senjata berat, dan rudal yang modern dan
canggih. Israel di bawah rezim Benjamin Netanyahu mempersenjatai diri dengan Iron Dome
yang dapat menangkis serangan roket Hamas sebelum mencapai sasaran. Dengan cara ini,
pihak Israel dapat meminimalisasi korban penduduk sipil.
Agresi brutal Israel ke Gaza telah menewaskan lebih dari 2.000 orang Palestina dan melukai
lebih dari 8.000 orang Palestina (termasuk anak-anak, perempuan, dan penduduk sipil).
Gedung, masjid, rumah penduduk, universitas, sekolah (termasuk sekolah PBB) dan fasilitas
umum seperti jaringan telepon, aliran listrik, dan saluran air minum hancur remuk. Penduduk
Gaza sangat kekurangan makanan, air bersih, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan
lainnya.
Di pihak Israel, sejumlah kecil tentaranya tewas dan beberapa penduduk sipil terluka terkena
30. serangan roket dari Gaza. Atas inisiatif Sekjen PBB Ban Ki-moon dan Menlu AS John Kerry,
gencatan senjata antara Hamas-Israel tercapai, tetapi hanya dalam hitungan jam dan tidak
efektif. Kini Mesir terus memediasi agar terjadi gencatan senjata antara kedua belah pihak,
tetapi belum maksimal.
Perang terus berlanjut: Hamas meroket Israel, Israel mengebom Gaza. Dua petinggi militer
Hamas beserta istri dan anaknya tewas terkena bom Israel. Masih sulit ditemukan solusi
politik yang dapat mendamaikan Palestina (Hamas) dan Israel yang telah begitu lama terlibat
konflik. Masing-masing pihak hendaknya bersikap realistis, yaitu dapat menerima tawaran
“two state solution”. Palestina hendaknya menerima dan mengakui eksistensi negara Israel,
begitu juga Israel hendaknya menerima dan mengakui keberadaan Negara Palestina.
Kedua negara hidup berdampingan secara damai. Inilah seruan yang terdengar di kalangan
masyarakat internasional dan inilah opsi yang dapat dipandang sebagai “win-win solution.” ●
30
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
31. 31
Keadilan Substantif
Koran SINDO
30 Agustus 2014
Belakangan ini, terutama saat ramai sengketa Pemilu Presiden 2014 di Mahkamah Konstitusi
(MK), istilah keadilan substantif sebagai prinsip dan konsep hukum mencuat sebagai bahan
polemik dan debat-debat terbuka. Istilah ini muncul setiap hari, baik di forum-forum
persidangan MK maupun dalam ulasan (komentar-komentar) di media massa.
“Hakim harus berani membuat terobosan untuk menggali rasa keadilan. Hakim tidak boleh
terbelenggu oleh formalitas prosedural atau pasal-pasal undang-undang,” demikian seruan
yang ditujukan kepada hakim. Menariknya, kedua kubu yang bersengketa sama-sama
meminta putusan yang sesuai dengan keadilan substantif. Untuk itu, hakim dituntut berbicara
dengan hati nuraninya guna menggali rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat, bukan
hanya berbicara dengan rasionalitas pada bunyi pasal-pasal undang-undang.
Hakim harus berani berijtihad di luar ketentuan UU agar keadilan bisa ditemukan untuk
bahan putusan. Keadilan substantif, dengan demikian, adalah keadilan yang diciptakan oleh
hakim dalam putusan-putusannya berdasar hasil galiannya atas rasa keadilan di dalam
masyarakat, tanpa dibelenggu bunyi pasal undang-undang yang berlaku. Bentuk perbuatan
yang sama bisa divonis secara berbeda, tergantung pada hasil penggalian hakim atas rasa
keadilan. Namanya pengadil, bukan penghukum. Itulah makna judge makes law, hakim
membuat hukum.
Keadilan substantif (substantive justice) kerap dilawankan dengan keadilan prosedural
(procedural justice), yakni putusan hakim atau proses penegakan hukum yang sepenuhnya
didasarkan pada bunyi undang-undang. Menurut konsep keadilan prosedural, sesuatu
dianggap adil apabila pelaksanaan dan putusan hakim selalu mengikuti bunyi pasal-pasal di
dalam undang-undang. Jika hakim memutus di luar ketentuan undang-undang bisa dianggap
tidak adil karena melanggar kepastian-kepastian yang sudah ditentukan oleh UU. Yang
dikatakan adil di dalam keadilan prosedural itu adalah apabila putusan hakim diletakkan pada
aturan-aturan resmi yang ada sebelumnya. Ini diperlukan agar ada kepastian bagi orang-orang
yang akan melakukan sesuatu sehingga bisa memprediksi apa akibat yang akan timbul dari
perbuatannya itu.
Sebenarnya, kalau ditilik dari latar belakangnya, baik keadilan substantif maupun keadilan
prosedural sama-sama berangkat dari esensi kebaikan hukum yang sama. Dulu, pada saat
kekuasaan ada di satu tangan, monarki atau raja, kalau ada warga masyarakat merasa
dirugikan haknya maka mereka mengajukan perkara itu kepada raja. Raja kemudian
menunjuk hakim untuk mengadili perkara itu tanpa ada aturan tertulis. Pokoknya hakim yang
32. 32
ditunjuk disuruh mencari sendiri putusan yang baik dan adil, tanpa hukum tertulis yang bisa
dijadikan pedoman.
Setiap perkara yang muncul kemudian diserahkan kepada hakim-hakim oleh raja agar diadili
menurut kreasinya masing-masing, sesuai dengan rasa keadilan yang ditemukan dalam
penggaliannya. Putusan-putusan itu kemudian menjadi hukum yang mengikat sebagai
putusan hukum negara. Tetapi ketika kemudian muncul negara-negara demokrasi modern,
terutama di kawasan Eropa Kontinental, muncul pula ide tentang perlunya hukum tertulis.
Hakim tak bisa lagi dibiarkan membuat putusan sendiri-sendiri, melainkan harus memutus
sesuai dengan hukum tertulis.
Untuk itu di dalam negara harus ada lembaga legislatif (yang membuat hukum tertulis atau
undang-undang) sedangkan hakim dimasukkan dalam lembaga yudikatif (yang menegakkan
undang-undang di pengadilan jika ada sengketa). Hakim tak boleh membuat hukum, tapi
harus menjadi corong pembuat UU. Pembatasan kepada hakim agar tidak membuat hukum
(putusan) sendiri di luar undang-undang dimaksudkan agar ada kepastian sehingga
masyarakat bisa mengukur dan memprediksi sendiri akibat-akibat hukum dari setiap
perbuatannya. Dalam mengadili sengketa, hakim harus berpedoman pada undang-undang
karena menurut paham (legisme) ini keadilan terletak justru terletak pada kepastian
hukumnya.
Selanjutnya sejarah berputar lagi. Keadilan dalam bentuk putusan-putusan hakim di luar
undang-undang ternyata dibutuhkan karena di dalam kasus yang sama sering kali terdapat
latar belakang situasi yang berbeda. Keadilan dipandang selalu dinamis, tak bisa dikunci
dengan undang-undang yang statis. Meski bentuk dan akibat suatu perbuatan sama, vonis
hakim harus berbeda jika latar belakang dan situasi yang melingkupinya berbeda. Bukan
kepastian, tetapi keadilanlah yang diperlukan dalam hukum. Kepastian hanya bisa diikuti
sepanjang bisa memastikan bahwa keadilan ditegakkan.
Sejak ada MK konsep keadilan substantif tidak lagi hanya dijadikan polemik literatur dalam
wacana akademik tetapi sudah dituangkan di dalam vonis-vonis. Banyak vonis MK yang
sengaja keluar dari ketentuan resmi UU guna menciptakan keadilan yang ternyata disambut
baik dalam dunia penegakan hukum di Indonesia.
Gagasan keadilan substantif bertemu secara esensial dengan gagasan hukum progresif yang
digencarkan oleh Prof Satjipto Rahardjo melalui Universitas Diponegoro. Satjipto
mengatakan bahwa keadilan itu tidak hanya ada dalam pasal-pasal UU, tetapi harus lebih
banyak dicari di dalam denyut-denyut kehidupan masyarakat. Tetapi bagi MK, keadilan
substantif tak boleh secara hitam-putih diartikan sebagai keharusan membuat vonis yang
selalu keluar dari UU. Keadilan substantif harus dicari sendiri dengan menggali rasa keadilan
dalam masyarakat, tetapi sekaligus bisa menerapkan ketentuan UU selama ketentuan di
dalam UU dirasa sudah adil. Dengan demikian, memahami vonis MK harus dilihat dari latar
belakang kasus dan pertimbangannya untuk setiap kasus. ●
34. 34
Demokrasi Indonesia
Koran SINDO
1 September 2014
Sekitar empat belas tahun yang lalu saat George Walker Bush dinyatakan sebagai pemenang
presiden mengalahkan Al Gore, penulis sempat tercenung apakah mungkin bangsa Indonesia
dapat mengikuti jejak kedewasaan berpolitik masyarakat AS, khususnya yang menghormati
hasil pemilihan dengan elegan dan damai.
Saat itu Bush junior menang dengan situasi yang agak unik. Dia memang memenangkan
electoral college (EC), kerap ditafsirkan sebagai dewan pemilih, lebih banyak, namun jumlah
total suara pemilih (popular vote) dimenangkan oleh Gore. Sepintas Gore, dengan
keunggulan popular vote sekitar setengah juta suara, lebih layak memimpin. Namun,
memang dalam sistem pemilihan presiden AS presiden terpilih ditentukan oleh seberapa
besar jumlah EC dan bukan oleh jumlah suara yang diperolehnya.
Akhirnya masyarakat dan elite AS taat pada aturan main itu dan mengakui Bush sebagai
presiden baru. Tidak terkecuali Gore, yang dengan legawa dapat menerima kekalahan yang
menyakitkan itu. Pemilihan presiden pun tidak menjadi sumber konflik berkepanjangan.
Kesadaran Konstitusional
Dengan ditetapkan keputusan MK beberapa waktu lalu, perjalanan pilpres di Tanah Air telah
sampai pada tahap akhir. Dengan situasi yang berbeda, namun dalam substansi yang sama,
terbangun situasi kondusif yang terjadi hingga hari ini menunjukkan sebuah kualitas
kematangan berpolitik bangsa Indonesia yang tidak kalah dengan negara sekaliber AS.
Seluruh pihak menerima hasil keputusan MK dengan baik.
Pascapemungutan suara akhir Juli yang menimbulkan kehebohan, hingga akhirnya MK
mengambil keputusannya sebulan setelahnya, kehidupan masyarakat secara umum
berlangsung normal. Tidak ada upaya-upaya yang sistematis untuk memperkeruh suasana.
Sebaliknya, semua pihak tampak berupaya untuk berkontribusi secara positif dan bersikap
secara proporsional dan profesional. Baik pihak teradu maupun yang mengadu siap untuk
menjaga berjalannya sidang ini dengan baik. Kalaupun ada kericuhan saat persidangan,
terbukti hanya sebuah riak-riak kecil.
Sementara pihak MK telah bersikap profesional. Aspek-aspek yang bernuansakan dugaan,
namun tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan benar-benar disingkirkan. Afiliasi dan latar
belakang politik para hakim juga tampak sama sekali tidak berpengaruh dalam proses
pengambilan keputusan mereka. Kekhawatiran bahwa beberapa hakim akan bersikap bias
35. 35
karena kedekatan dengan partai-partai pendukung kelompok pengadu tertentu terbukti tidak
terjadi.
Dengan demikian, penjuru konstitusi dan aturan main telah dikedepankan secara
komprehensif para aktor pengambil keputusan pada masa-masa krusial itu. Tidak itu saja,
secara umum proses pilpres itu memperlihatkan bahwa kebebasan memilih dan
penghormatan terhadap perbedaan telah dipraktikkan dengan elegan. Tidak ada korban
nyawa satu pun di tengah salah satu perhelatan yang konon paling menegangkan ini.
Demokrasi di Tengah Mayoritas Muslim
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di seantero jagat, kasus pilpres dan
pileg damai yang melibatkan lebih dari 133 juta manusia harusnya mampu membuka mata
masyarakat dunia atas kemampuan negara dengan mayoritas penduduk muslim ini dalam
menjalankan ritual terpenting dalam kehidupan demokrasi. Apa yang telah terjadi
mematahkan mitos atau asumsi bahwa demokrasi tidak dapat berjalan di sebuah negara
dengan mayoritas warganya umat Islam.
Kenyataannya, demokrasi telah dianggap sebagai sistem yang terbaik untuk dijalankan di
negara ini. Mayoritas rakyat tampak tidak memberikan ruang atas bangkitnya otoritarianisme.
Hasil survei beberapa kalangan, termasuk dari Pusat Penelitian Politik-LIPI, menunjukkan
bahwa mayoritas masyarakat kita menganggap demokrasi sebagai sistem yang baik. Bahkan
ada di antaranya yang dengan yakinnya mengatakan sebagai sistem yang terbaik.
Yang terjadi saat ini adalah bukan benar-benar hal yang baru. Pileg 1955 yang berlangsung
damai diakui oleh banyak kalangan telah menunjukkan kekhidmatan masyarakat Indonesia
dalam berdemokrasi. Secara substansi hasil yang juga patut disyukuri dari pagelaran pilpres
adalah semakin terbangun kompromi.
Terlihat bahwa dalam membangun koalisi tidak terpatok pada sentimen primordialisme
ataupun sekat nasionalis versus agama (Islam) semata, namun lebih karena persoalan yang
jauh lebih prinsipiil. Tidak mengherankan jika kemudian di masing-masing kubu unsur-unsur
nasionalis dapat bergandengan tangan dengan unsur-unsur agama. Tidak saja pada level
partai, namun pula di level ormas dan relawan.
Beberapa Catatan
Meski menunjukkan gelagat peningkatan kualitas demokrasi yang membaik, tidak berarti
demokrasi kita telah sempurna. Jelas harus diakui di sana-sini masih banyak kelemahan dan
bahkan kemunduran. Di antara masalah klasik itu adalah persoalan penyakit kronis menahun
DPT yang tidak kunjung dapat diselesaikan. Padahal DPT adalah salah satu elemen kunci
baik dan buruk penyelenggaraan pemilu. Uniknya, tahun inilah terjadi situasi di mana jumlah
suara seorang kandidat pileg dapat jauh melebihi DPT.
36. Kinerja penyelenggara pemilu juga masih belum memuaskan. Teguran DKPP atas KPU dan
pemecatan di level KPUD adalah bukti belum seutuhnya performa baik itu terjaga. Belum
lagi keberatan dari banyak partai yang tersingkir pada Pemilu 2014 (Anam, 2013). Sementara
Bawaslu dalam batas tertentu tampak belum benar-benar berdaya meski beberapa
kewenangan dan perbaikan tunjangan sudah jauh membaik saat ini.
36
Begitu pula dengan sikap tidak dewasa dan keberpihakan yang berlebihan dari berbagai
institusi yang seharusnya menjadi penopang demokrasi. Mulai dari media massa hingga
lembaga survei dan polling tidak terbebas dari virus yang menggerogoti upaya pendidikan
politik masyarakat yang imbang, santun, dan bernalar. Sedihnya, sikap seperti itu juga
menjalar ke beberapa tokoh yang selama ini konon dipandang sebagai demokrat atau aktivis
yang memperjuangkan nilai-nilai perbedaan, baik dalam situs pribadi maupun komentar
lepasnya di beberapa media.
Berbagai catatan buruk itu juga tidak terlepas dari kondisi partai yang secara umum masih
dikelola jauh dari modern. Begitu pula sistem pemilu yang justru makin mendorong
individualisme dan pragmatisme. Mudah-mudahan di kemudian hari ihwal seperti itu tidak
terulang kembali sehingga kualitas demokrasi kita dapat semakin menjulang tinggi.
FIRMAN NOOR
Peneliti LIPI dan Pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP UI
37. 37
Analisis Dampak Regulasi
Koran SINDO
2 September 2014
Analisis Dampak Regulasi (ADR) atau Regulatory Impact Analysis (RIA) telah dipraktikkan
pada empat era pemerintahan Amerika Serikat dan di beberapa negara Eropa, termasuk
negara-negara baru di wilayah Eropa Timur.
Analisis ini menggunakan pendekatan analisis ekonomi mikro dalam proses penetapan
kebijakan publik yang berpijak pada apa yang seharusnya dilakukan (what ought to do) dan
tidak semata-mata pada apa yang terjadi (what is) atau apa yang telah terjadi (ex ante).
Evaluasi melalui ADR/RIA merupakan sarana hukum yang bertujuan menemukan solusi atas
perkiraan dampak yang akan terjadi dengan diberlakukannya suatu undang-undang yang
terkait kepentingan publik secara luas.
Evaluasi tersebut tidak menggunakan pendekatan abstraksi-logis dan metafisik sebagaimana
lama dianut para ahli hukum, melainkan menggunakan pendekatan ”cost and benefit ratio”.
Pendekatan kedua ini telah berhasil setidaknya di negara-negara yang telah disebutkan di
atas: mempertemukan penilaian benar (right) dan salah (wrong) dan penilaian ”risiko (cost )
dan untung (benefit)” sehingga jika disandingkan akan tampak sinkronisasi antara tujuan
hukum (Aristoteles) dan prinsip-prinsip ekonomi (Cooter dan Ullen). Sinkronisasi tersebut
ada pada tiga pasang variabel yaitu prinsip ekonomi keseimbangan dengan tujuan hukum
kepastian hukum; efisiensi dengan keadilan; serta maksimalisasi dengan kemanfaatan.
***
Keenam variabel tersebut merupakan interelasi yang solid dan bersifat interdepensi satu sama
lain. Jika hubungan tersebut dipahami benar oleh ahli hukum dan ahli ekonomi, dapat
membentuk suatu ekosistem peradilan pidana (EKOSPP) yang sangat produktif dan
mendukung keberhasilan sistem peradilan pidana Indonesia. Karena bekerjanya hukum dalam
kenyataan selalu dipertimbangkan dampak regulasi secara objektif, terukur, dan pasti.
Contohnya dalam pemberantasan korupsi, biaya perkara sekitar Rp50 juta-100 juta tidaklah
rasional jika kejaksaan atau KPK tetap melanjutkan proses penyidikan dan pemeriksaan
sidang pengadilan jika perkara korupsi telah merugikan keuangan negara jauh di bawah batas
biaya perkara tersebut. Sebaliknya, tentu masyarakat bertanya-tanya bagaimana dengan efek
jera terhadap pelakunya? Pandangan kita tentang efek jera dari suatu tindakan hukum pidana
seharusnya diartikan dalam konteks pemulihan status hukum pelaku dari orang hukuman
menjadi manusia berguna bagi bangsa dan negara.
38. 38
Konsep ini dalam referensi hukum modern dikenal sebagai ”keadilan restoratif”, lawan dari
”keadilan retributif” dan dampak terhadap kepentingan keuangan negara. Bukankah dengan
penanganan perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara jauh di bawah biaya
perkara tersebut hanya akan menghasilkan dua kerugian negara, yaitu pertama disebabkan
biaya perkara akan bertambah besar dan waktu yang cukup lama, 400 hari sampai putusan
PK, dan biaya makan seorang narapidana dalam waktu minimum empat tahun sebesar
Rp15.000 per hari.
Sebab kedua, negara kehilangan waktu dan fokus pada nilai kerugian keuangan negara yang
sangat signifikan setidaknya di atas biaya perkara tersebut di atas. Penanganan perkara yang
kontra-produktif ini mengakibatkan penambahan kerugian keuangan negara dua atau tiga kali
lipat dari kerugian keuangan negara yang seharusnya dikembalikan (diselamatkan) kepada
negara.
Penelitian M Jusuf (2013) menemukan nilai kerugian keuangan negara yang berhasil
diselamatkan dalam kurun waktu lima tahun (2007-2012) tidak mencapai 50% dari total
kerugian keuangan negara dari korupsi sebesar Rp180.309.318.403,96 (19,5%), dan
USD37.261.549,65 (20,28%). Bahkan dalam laporan ICW, nilai kerugian keuangan negara
dari pengelolaan sumber daya alam, yaitu Rp169,7 triliun dari illegal logging, dan Rp300
triliun dari illegal fishing, sampai saat ini belum secara maksimal diselamatkan/dikembalikan
kepada negara.
***
Merujuk pada pendekatan ”cost and benefit ratio” dibandingkan dengan pendekatan ”benar
dan salah” serta kenyataan inefisiensi pengembalian kerugian keuangan negara terbukti
bahwa politik hukum pidana nasional selama kurun waktu dua masa pemerintahan SBY,
khususnya dalam pemberantasan korupsi, telah gagal. Sebaliknya, klaim keberhasilan hanya
tampak dari sejumlah pejabat tinggi telah diseret KPK dan dijebloskan ke dalam penjara,
namun secara riil ternyata tidak tampak efek jera yang signifikan– dengan semakin
banyaknya korupsi dan koruptor–dan tidak jelas letak keuntungan (benefit) bagi kepentingan
tujuan mencapai kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan di dalam Bab XIV UUD
1945.
Kesejahteraan rakyat tidak berbanding lurus dan secara linear diklaim sebagai keberhasilan
sebanyak-banyaknya menjebloskan pelaku korupsi ke dalam penjara. Bahkan yang terjadi,
koruptor telah menjadi kelas masyarakat eksklusif di dalam penjara yang memiliki pengaruh
dan kekuatan uang untuk ”mengatur” kehidupan mereka di dalam penjara.
Solusi yang bijak adalah pemimpin nasional, eksekutif dan legislatif, serta masyarakat sipil
dan para ahli hukum dan ekonomi harus menyatukan visi dan misi serta program-program
nyata secara rasional (bukan emosional) melalui penegakan hukum dalam pemberantasan
korupsi.
40. 40
Penumpang Gelap Jokowi-JK
Koran SINDO
4 September 2014
Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan pemenang Pemilihan Presiden 2014 yaitu Joko
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).
Namun, hingga kini format kabinet kerja yang profesional yang selalu didengungkan masih
belum jelas. Banyak kalangan terus penasaran. Mampukah keduanya menangkal penetrasi
kelompok kepentingan? Kegagalan keduanya akan dengan mudah dilihat publik jika ada
penumpang gelap dalam formasi kabinet mereka. Menunggu kehadiran pemerintah baru,
sejumlah pemerhati masih menggarisbawahi pernyataan bernuansa komitmen Jokowi dalam
debat kandidat calon presiden putaran terakhir.
Dia saat itu menegaskan, ”Dalam (sektor) tambang, minyak, dan gas memang banyak
kelompok kepentingan. Semua sudah tahu pembagiannya. Tapi, apakah kita punya keinginan
untuk hentikan itu? Jika kelompok kepentingan itu masih ada, kita akan begini terus. Kami
(Jokowi-JK) tidak ingin terbebani dengan masa lalu.” Kelompok kepentingan, atau dalam
istilah lain disebut juga mafia, akan selalu ada, bahkan tak jarang berdampingan dengan
sebuah rezim pemerintahan.
Kelompok-kelompok itu tak pernah jauh dari pusat kekuasaan karena mereka punya andil
dalam proses keterpilihan seorang pemimpin. Target utama mereka bukan sekadar balik
modal, melainkan meraih untung sebesar-besarnya. Mereka mengincar proyek-proyek
pemerintah yang profitable atau meminta konsesi. Figur-figur dari kelompok kepentingan itu
tak akan pernah menampakkan wujud atau batang hidung mereka di sidang kabinet atau
ruang kerja menteri.
Dibuat kesan bahwa mereka tak pernah ada karena kelompok-kelompok itu hanya perlu
bermanuver di belakang layar. Lantas, siapa ujung tombak kelompok kepentingan itu di
pemerintahan atau di sidang kabinet? Bisa presidennya sendiri atau menteri. Maka itu, ketika
Jokowi memberi isyarat untuk tidak akan menanggapi dan tidak memberi akses bagi
kelompok-kelompok kepentingan memengaruhi kebijakan pemerintahannya, ia diacungi
jempol. Tetapi, pada saat bersamaan, muncul juga pertanyaan.
Mampukah presiden-wakil presiden terpilih menangkal penetrasi kelompok-kelompok
kepentingan yang sudah lama bergentayangan di republik ini? Benarkah Jokowi atau bahkan
Prabowo bebas dari sponsor kelompok ini? Wallahualam. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pernah menegaskan bahwa dari aspek skala, korupsi terbesar terjadi di sektor energi.
Modusnya bukan hanya rekayasa perjanjian bagi hasil dengan kontraktor asing atau cost
41. 41
recovery. Modus lainnya adalah monopoli dan rekayasa harga dalam perdagangan bahan
bakar minyak (BBM). Modus ini mengambil untung dari program subsidi BBM yang
membuat APBN berantakan dan tak berdaya. Penangguk untung terbesar dari modus ini
kelompok kepentingan yang disebut publik sebagai mafia migas. Modus korupsi ini bisa
berkesinambungan karena mafia migas itu punya orang kuat di kabinet.
Kelompok kepentingan lainnya bersekutu dalam kartel. Mereka memonopoli impor sejumlah
komoditas kebutuhan pokok rakyat. Ada kartel kedelai, kartel bawang putih, hingga kartel
daging sapi. Tentu saja kartel-kartel ini punya jagoan di kabinet sehingga mereka bisa
mendapatkan hak monopoli impor itu. Ulah kartel-kartel ini sempat sangat keterlaluan dan
merugikan masyarakat karena merekayasa kelangkaan untuk mendongkrak harga kedelai,
bawang putih, hingga daging sapi.
Ambisi Jokowi untuk mengakhiri sepak terjang kelompok kepentingan itu memang sangat
ideal dan menjadi harapan seluruh rakyat. Tetapi, apakah Jokowi-JK cukup kuat untuk
mengatakan ”tidak” pada kelompok-kelompok kepentingan? Inilah yang masih ditunggu
khalayak. Tetapi, di ruang publik para pemerhati mulai mengembuskan bisik-bisik. Ada yang
sudah melihat bahwa kelompok kepentingan bahkan sudah menempel ketat tim pemenangan
Jokowi-JK. Tak hanya itu, ada juga yang melihat figur penganut neoliberalisme di sekitar
Jokowi-JK.
Memang mengkhawatirkan kelompok kepentingan di sekitar Jokowi-JK pada tahap persiapan
transisi sekarang ini mungkin agak berlebihan. Tetapi, Jokowi-JK perlu mewaspadai ini agar
kabinet dan pemerintahan mereka nanti tidak disusupi penumpang gelap.
Suara Publik
Salah satu orang kepercayaan Jokowi yang paling banyak dipergunjingkan akhir-akhir ini
adalah Kepala Staf Tim Transisi Rini Mariani Soemarno. Kapabilitas dan kompetensi Rini
memang tak perlu diragukan. Dia pernah magang di Departemen Keuangan AS, menjabat
vice president Citibank, dan presiden direktur PT Astra International yang mengelola
pemasaran sejumlah merek mobil dari Jepang dan Eropa.
Dengan rekam jejak seperti itu, sangat mudah bagi publik untuk mengaitkan Rini dengan
kepentingan sejumlah kelompok usaha asing berskala multinasional. Toyota, Daihatsu, dan
Isuzu yang bernaung dalam Astra tentu khawatir dengan masa depan pangsa pasar mereka
jika Jokowi bersikukuh terus mendukung pengembangan mobil SMK. Ketika itu terjadi, patut
untuk diasumsikan bahwa tiga raksasa industri automotif dari Jepang itu akan mendekati Rini
sebagai teman lama guna memengaruhi arah kebijakan Pemerintah Indonesia di bidang
industri automotif.
Kedatangan senator Amerika Serikat (AS) John McCain ke Jakarta baru-baru ini juga
memunculkan beragam tafsir. Orang penting dari Partai Republik AS itu datang ke Jakarta
ketika masalah perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia seperti tidak berkepastian.
Kedatangan McCain mengingatkan publik pada kunjungan Menteri Luar Negeri AS
42. Condoleezza Rice ke Jakarta pada 14-15 Maret 2006. Rice, juga dari Partai Republik, terbang
ke Jakarta ketika sengketa Pertamina dengan perusahaan minyak asal AS, ExxonMobil, untuk
menjadi operator ladang minyak Blok Cepu berlarut-larut.
Hanya sehari sebelum Rice mendarat di Jakarta, pemerintah menunjuk ExxonMobil sebagai
pengendali Blok Cepu. Pemerintah memaksa Pertamina mengalah. Maka itu, boleh jadi,
McCain juga datang ke Jakarta membawa titipan aspirasi kelompok kepentingan dari AS
untuk perpanjangan kontrak Freeport. McCain memang hanya menemui pimpinan DPR/MPR
serta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tidak bersilaturahmi dengan Jokowi-JK.
Tetapi, bisa dipastikan bahwa akan ada orang yang dipercaya menyampaikan pesan McCain
itu kepada Jokowi-JK.
Ketika persoalan Freeport dibuat final nanti, di situ publik menafsirkan bagaimana Jokowi-JK
menyikapi perilaku kelompok kepentingan AS itu. Kesediaan Samsung memproduksi ponsel
di Indonesia juga tak lepas dari peran kelompok kepentingan. Duta Besar Korea Selatan
untuk Indonesia, Cho Tai-young, sudah memberi kepastian tentang keputusan Samsung itu
dalam pertemuan dengan Jokowi di Kantor Gubernur DKI baru-baru ini. Kelompok
kepentingan yang berhasil memaksa Samsung mungkin saja akan meminta kompensasi
kepada tim Jokowi-JK.
42
Jadi, ada beragam cara dan strategi yang bisa digunakan kelompok-kelompok kepentingan
untuk mengusulkan sosok calon menteri. Pola pendekatannya nyaris sama dengan praktik
koalisi parpol yang bagi-bagi kursi menteri. Anda memberi sesuatu, Anda pun mendapatkan
sesuatu sebagai imbalannya. Dalam proses seperti itulah akan muncul penumpang gelap
dalam kabinet Jokowi-JK. Disebut penumpang gelap karena menteri titipan dari kelompok
kepentingan bisa merusak strategi presiden untuk merealisasikan visi dan misi yang
dijanjikannya semasa kampanye.
Tentu saja rakyat berharap Jokowi-JK tegar menghadapi kelompok kepentingan. Ajakan
kepada publik untuk memberi masukan tentang kandidat menteri adalah ide segar yang
diharapkan bisa memberi kekuatan tambahan bagi presiden terpilih dalam membentuk
kabinet. Masukan dari partai pengusung, relawan, dan tim internal Jokowi-JK mestinya
memberi keleluasaan lebih bagi Jokowi-JK untuk menentukan mana figur yang layak dan
tidak layak untuk menjabat menteri.
Harapan kita, pasangan Jokowi- JK yang telah dimenangkan MK ini nanti, tidak lagi
mengulangi kekeliruan pemerintahan sebelumnya yang lebih mengandalkan praktik
pencitraan, dengan gincu dan bedak tebal guna menutupi bopeng-bopeng pemerintahan yang
amburadul. Selamat bekerja!
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI/ Presidium Nasional KAHMI 2012- 2017 dan Wakil Ketua
Umum Kadin Indonesia
43. 43
Parasit di Tubuh Polri
Koran SINDO
5 September 2014
Tertangkapnya dua Anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang bertugas di Polda
Kalimantan Barat, karena diduga terkait kasus narkoba di Malaysia, bukan hanya
mempermalukan Polri, melainkan juga Indonesia sebagai sebuah bangsa bermartabat.
Keduanya ditangkap Polis Narkotik Diraja Malaysia (PDRM) di Kuching, Malaysia, Sabtu
(30/8). Banyaknya kasus di tubuh Polri yang seharusnya menjadi teladan bagi rakyat
merupakan parasit yang sepertinya sangat susah dihentikan. Salah satu kasus yang juga
memalukan menjelang Idul Fitri adalah tertangkapnya 10 anggota Satuan Lalu Lintas
(Satlantas) Polres Pemalang, Jawa Tengah (Jateng), lantaran diduga melakukan pungutan liar
(pungli) terhadap sopir-sopir truk agar bisa melintas di atas Jembatan Comal, Pemalang,
Sabtu 9 Agustus 2014 (Koran SINDO, 13/8/2014).
Peristiwa ini diibaratkan melalui pepatah kuno, ”Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.”
Sepertinya pimpinan Polri belum menemukan strategi jitu pembinaan personel agar
berperilaku terhormat. Selalu terdengar ada oknum polisi yang mengingkari sumpahnya
sebagai pelayan, pengayom, pelindung masyarakat, serta penegak hukum.
Setelah keberhasilan mengamankan pemilu legislatif, pemilu presiden, dan Operasi Ketupat
Lebaran 2014 yang menuai pujian karena mampu menekan jumlah kecelakaan di jalan dan
gangguan kamtibmas, kasus di Malaysia menjadi klimaks. Semuanya selalu mengarah pada
aspek finansial, seolah gaji dan tunjangan tidak cukup sehingga harus mencari penghasilan
tambahan yang melanggar hukum.
Polisi Jujur
Tanpa bermaksud mendahului penyelidikan Polis Diraja Malaysia soal keterlibatan kedua
anggota Polri, tetapi kesan yang muncul di ruang publik ialah institusi berbaju cokelat itu
betul-betul terpuruk. Hampir setiap hari ada berita tentang perilaku anggota Polri yang
memalukan. Ini menjadi indikasi bahwa pembinaan dan pengawasan di internal tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Janji pimpinan Polri yang akan mereformasi diri belum membawa hasil yang memuaskan.
Rakyat begitu merindukan sosok polisi yang bisa dibanggakan karena jujur, bersih,
profesional, dan berwibawa. Jika suatu kasus yang meresahkan berhasil dibongkar polisi,
dipastikan mendapat sambutan dan respek luar biasa dari masyarakat. Apalagi warga
masyarakat begitu mudah merasakan kekuasaan besar polisi yang hampir-hampir susah
44. 44
dilawan. Hampir semua kekuasaan yang besar itu sering diselewengkan saat melakukan
penegakan hukum.
Lebih celaka, karena tindakan itu selalu dibalut dengan penertiban dan penegakan hukum
yang membuat masyarakat gerah lantaran tidak proporsional. Untuk memberantas parasit di
tubuh Polri tentu bukan persoalan gampang, sebab terkait dengan perilaku dan kultur. Polri
harus sadar bahwa tugas menjaga kamtibmas dan penegakan hukum tidak akan berhasil
dengan baik tanpa mengubah perilaku dan kultur. Maka, reformasi Polri perlu didesain secara
totalitas dengan sasaran membangun kembali agar anggota polisi berperilaku jujur, bersih,
dan profesional.
Mental korup yang memanfaatkan suatu kasus sebagai sumber uang harus segera dihentikan.
Jangan sampai rakyat selalu merasa tidak nyaman jika bersentuhan dengan polisi karena takut
dicari-cari kesalahannya atau dimintai uang, sehingga menjadi saksi sekalipun tidak bersedia.
Kepala Polri Jenderal Sutarman yang terus berupaya mendapatkan kepercayaan dan simpati
dari masyarakat harus menjadi perhatian pimpinan Polri di daerah. Perilaku pungli dan masih
lemahnya profesionalitas dalam mengungkap kejahatan, ibarat pepatah ”menepuk angin”
dalam merebut kepercayaan dan simpati masyarakat.
Dalam berbagai dimensinya, bukan tidak mungkin praktik suap menguatkan dugaan banyak
orang untuk pemenuhan target setoran buat atasan. Jika betul seperti itu–meski kita berharap
tidak demikian– agaknya sulit bagi Polri membersihkan parasit institusi.
Diskresi Kepolisian
Kasus tertangkapnya dua anggota Polri di Malaysia, pungli Jembatan Comal di Pemalang dan
maraknya penyelewengan anggota menjadi momen bagi Polri untuk memperbaiki kinerja.
Kita percaya masyarakat akan terus membutuhkan polisi, sehingga aparat kepolisian harus
mampu menunjukkan perilaku yang baik.
Kejadian di Malaysia bukan hanya melanggar disiplin karena keberadaannya di sana bukan
melaksanakan tugas, melainkan termasuk kejahatan yang memalukan bangsa. Jika terbukti,
tentu layak dihukum berat, meskipun itu dilakukan di negeri orang. Kasus itu merusak upaya
yang tengah dibangun Kepala Polri untuk menjadikan polisi sebagai panutan bagi
masyarakat. Kita mendukung segala upaya membersihkan aparat kepolisian yang masih
sering berperilaku korup, baik yang kecil-kecil terlebih yang besar.
Artinya, bukan hanya polisi yang berjuang memperbaiki citranya, masyarakat juga selalu
berjuang mengubah persepsi terhadap polisi. Sebab tidak ada untungnya memupuk stigma
negatif kepada polisi. Apalagi polisi bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakat,
keduanya akan selalu hidup berdampingan dan saling membutuhkan.
Banyak polisi yang cerdas, berintegritas, dan punya hati nurani dalam melaksanakan fungsi
dan tugas. Mereka punya kompetensi dan profesionalitas, terutama saat berhadapan dengan
45. 45
persoalan masyarakat yang membutuhkan tindakan kepolisian. Tetapi kenapa polisi masih
sering dicemooh? Boleh jadi ini terkait dengan pelaksanaan ”diskresi” kepolisian yang
kadang melampaui kewenangan polisi. Ini yang acap menimbulkan salah tafsir yang
dilaksanakan oleh individu polisi yang sedang bertugas di tengah masyarakat. Padahal,
penerapan diskresi butuh kecerdasan dan kualitas kompetensi seorang anggota polisi, sebab
meskipun diskresi untuk kepentingan umum tetapi kadang tidak sejalan dengan ketentuan
tertulis.
Publik juga banyak tahu bahwa pekerjaan polisi penuh dinamika, yang kadang tidak semua
orang memahaminya. Di dalamnya butuh kemampuan khusus yang bukan sekadar
pengabdian, melainkan juga pola pikir yang rasional dan bijak. Jika itu mampu diapresiasi,
maka parasit di tubuh Polri setidaknya terhenti, atau paling tidak bisa diminimalkan.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
46. 46
Gawat Darurat Hukum Konservatif
Koran SINDO
6 September 2014
Minggu (31/8/2014) lalu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesetyo, biasa
dipanggil Bamsoet, meluncurkan buku berjudul Indonesia Gawat Darurat. Buku setebal
1.000 halaman tersebut menghimpun tulisan-tulisan Bamsoet di berbagai media massa
selama menjadi anggota DPR periode 2009-2014. Sesuai judulnya, buku tersebut
menggambarkan sisi suram Indonesia selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) atau Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II. Di dalam buku yang dibagi atas
sembilan isu gawat darurat Indonesia itu di-jelentreh-kan problem dan persoalan-persoalan
yang tak diselesaikan dengan baik oleh pemerintahan SBY.
Saya sendiri, sebagai seorang pemberi komentar atas buku itu, mempunyai kesan bahwa isi
buku itu hanya berisi serangan-serangan terhadap pemerintahan SBY. Saya mempertanyakan,
mengapa hanya menulis kritik dan tidak ada sama sekali tulisan apresiatif atas kemajuan-kemajuan
yang dicapai pemerintahan SBY. Atas kritik itu, Bamsoet mengatakan bahwa
bukunya itu memang berisi reaksi atas berbagai isu yang ditulis dari waktu ke waktu dari
posisinya sebagai pengawas pemerintah yakni anggota DPR. Isinya memang lebih pelototan
pengawas terhadap yang diawasi. Maka itu, kalau mau mencari catatan prestasi pemerintahan
SBY seperti meningkatnya demokratisasi dalam aspek tertentu, kebebasan pers, stabilitas,
dan pertumbuhan ekonomi tidak akan ditemukan di dalam buku ini.
Terlepas dari soal setuju atau tidak setuju pada Bamsoet atas berbagai isu yang dikupasnya,
buku ini menjadi penting karena seakan menjadi ensiklopedi atau glosarium berbagai
persoalan besar selama pemerintahan SBY periode kedua. Kalau kita ingin mengingat dan
melihat peristiwa penting dan panas pada era tersebut, kita bisa menemukan kata kunci pada
daftar isi buku dan mendapat penjelasan masalah dan waktu terjadinya di dalam uraian-uraiannya
meski opininya lebih berwajah Bamsoet.
Saya sependapat dengan mantan Wakil Gubernur DKI Prijanto yang hadir saat itu. Meski isi
buku Bamsoet ini memuat beragam masalah, intinya satu yakni merajalelanya korupsi yang
tak bisa dicegah dan ditangani dengan baik oleh pemerintahan SBY. Janji SBY yang pernah
mengatakan akan memimpin sendiri perang melawan korupsi tak benar-benar bisa dilakukan.
Malah tokoh-tokoh partai yang dipimpinnya, Partai Demokrat, baik yang ada di eksekutif
maupun di legislatif banyak yang terlibat korupsi.
Sejalan dengan kegagalan memerangi korupsi, jika keseluruhan isi buku ini dispesifikkan
pada sudut hukum atau diletakkan di dalam kerangka pemahaman hukum yang agak teoretis,
dapat dikatakan bahwa hukum-hukum kita saat ini sudah menjadi begitu konservatif. Hukum
konservatif ditandai oleh sekurang-kurangnya tiga hal. Pertama, pembuatannya lebih banyak
47. 47
ditentukan secara sepihak oleh lembaga-lembaga negara, miskin partisipasi rakyat. Pada
zaman Orde Baru semua rancangan undang-undang (UU) sampai penetapannya sangat
didominasi oleh lembaga eksekutif sehingga DPR lebih merupakan rubber stamps atau
stempel karet yang harus selalu membenarkan dan menyetujui rancangan UU yang diajukan
pemerintah. Sekarang, berkat reformasi, DPR sudah mempunyai peran lebih besar untuk
berinisiatif mengajukan rancangan UU, tetapi produknya tetap konservatif, lebih banyak
ditentukan oleh elite.
Tidak jarang pembicaraan tentang UU yang akan dibuat sebagai produk hukum dibicarakan
melalui lobi-lobi antarelite di luar Gedung DPR, termasuk di hotel-hotel, dan restoran-restoran.
Itulah sebabnya banyak UU yang isinya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
melalui judicial review, bahkan tidak sedikit anggota DPR yang kemudian ditangkap dan
dihukum oleh KPK.
Kedua, dalam penegakannya, hukum konservatif ditandai oleh banyak kolusi antarpenegak
hukum. Bukti-bukti tentang ini sudah banyak. Banyak hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan
pesakitan (terduga, tersangka, terdakwa) yang digelandang ke pengadilan karena penyuapan
dan permainan perkara. Hukum konservatif itu pembuatannya didominasi oleh elite,
sedangkan penegakannya diselimuti kolusi dan penyuapan-penyuapan.
Ketiga, hukum konservatif memberi peluang opened interpretative yakni memberi peluang
besar untuk ditafsirkan lebih lanjut oleh implementator dengan berbagai peraturan
pelaksanaan sehingga sang implementator bisa membuat aturan-aturan turunan berdasarkan
kehendaknya sendiri. Tidak jarang terjadi perdebatan penting atas satu materi RUU di DPR,
sulit dicapai titik temu, tetapi kemudian diambil jalan kompromi dengan kesepakatan bahwa
hal yang diperdebatkan itu diserahkan saja untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan
pelaksanaan oleh pemerintah atau unit-unit pelaksananya. Inilah yang kemudian membuka
terjadi korupsi kebijakan atau korupsi peraturan.
Dari bingkai teori tentang kelahiran hukum-hukum konservatif kemudian timbul pertanyaan
mendasar, mengapa setelah Era Reformasi ini hukum-hukum kita masih konservatif?
Bukankah reformasi kita lakukan agar kita bisa membangun sistem politik yang demokratis
sehingga bisa lahir hukum-hukum yang responsif? Jawabannya, karena sebenarnya
konfigurasi politik kita sudah berbelok dari demokratis pada awal reformasi menjadi oligarkis
pada masa sekarang ini.
Di dalam politik oligarkis keputusan-keputusan penting tak lagi didominasi oleh aspirasi
rakyat, tetapi ditentukan oleh kesepakatan elite dengan kepentingan-kepentingannya sendiri.
Di dalam konfigurasi politik yang oligarkis kemunculan gawat darurat hukum konservatif
menjadi niscaya.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi