Dokumen tersebut membahas tentang kontroversi labelisasi halal pada produk farmasi di Indonesia. Menteri Kesehatan menyatakan bahwa hampir 90% bahan baku produk farmasi berasal dari babi dan bahan haram lainnya, namun menolak produk farmasi diberi label halal. Sementara itu, MUI mendesak agar produk farmasi segera dilabelisasi halal untuk melindungi umat Islam.
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
More Related Content
Similar to RUBRIK LAPORAN UTAMA MAJALAH HIDAYATULLAH - Titik Kritis Kehalalan Produk Farmasi
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh.
Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Dakwah Islam penyambung Silaturrahmi antara Baitul Maal Hidayatullah (BMH) dengan Donatur/Muzaki yang memuat beragam informasi, edukasi dan Progrest Report BMH sebagai Amil Zakat Nasional
Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh.
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh.
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh.
RUBRIK LAPORAN UTAMA MAJALAH HIDAYATULLAH - Titik Kritis Kehalalan Produk Farmasi
1. FEBRUARI 2014/RABIUL AWWAL 1435 21
A
wal Desember
2013, Menteri
Kesehatan
Nafsiah Mboi
mengeluarkan
pernyataan, bahwa
hampir 90 persen
bahan baku produk
farmasi berasal dari
babi dan bahan-bahan
haram lainnya.
Berbarengan
dengan itu, Lembaga
Pengkajian Pangan,
Obat-obatan, dan
Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia
(LPPOM MUI)
mendesak agar produk
farmasi harus segera
dilabelisasi halal.
Namun, Menteri
Kesehatan menolak
jika obat-obatan dan
vaksinasi diberi label
halal.
Sebenarnya bahan-
bahan haram apa saja
yang terkandung pada
obat-obatan? Titik
kritis halal mana yang
perlu kita waspadai
pada produk farmasi?
Laporan Utama
Suara Hidayatullah
edisi kali ini membahas
masalah yang menuai
pro-kontra tersebut.
Berikut laporannya
untuk Anda.
LAPORAN UTAMA
Titik Kritis
Kehalalan
Produk
Farmasi TIM LAPORAN UTAMA
Penanggungjawab/Koordinator:
NIESKY HAFUR PERMANA
Reporter:
ABU GAZA
SURYA FACHRIZAL
Ngadiman
FOTOGRAFer:
MUH. ABDUS SYAKUR
Editor:
Dadang Kusmayadi
2. SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com22
M
usim haji tahun 2007
sudah di depan mata. Bagi
Ummu Salamah, salah satu
rukun Islam tersebut telah dinantinya
sejak lama. Ia ingin khusyuk dalam
ibadah ini. Namun kekhusyukan
yang diharapkan tersebut sedikit
ternodai. Pasalnya, ia dipaksa untuk
disuntik vaksin meningitis. Padahal,
dirinya saat itu sudah membuat
pernyataan tertulis ke Dinas Ke
sehatan Tangerang, Banten, bahwa ia
menolak untuk divaksin.
“Saya sudah menolak dan pulang,
tapi dikejar, tangan saya dipegang,
saya meronta dan berteriak. Seten-
gah tube vaksin masuk ke tubuh
saya,” kenang Ummu Salamah kepada
Suara Hidayatullah, Januari lalu.
Ia melihat sendiri bahwa vaksin
itu berlabel merah dengan merek
Glaxo Smith Kline (GSK), vaksin
yang telah difatwakan haram oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pusat.
Miris melihat kejadian di atas.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sampai
detik ini, masyarakat masih belum
bisa mengetahui secara jelas bahan-
bahan apa saja yang digunakan untuk
membuat obat-0batan dan vaksin.
Terlebih ketika Desember 2013
lalu, Menteri Kesehatan (Men-
kes), Nafsiah Mboi dengan gamblang
mengeluarkan pernyataan, kalau
bahan-bahan yang dipakai untuk
membuat obat dan vaksin mengan
dung babi.
Ketua Harian MUI Pusat, KH
Ma’ruf Amin membenarkan per
nyataan Menkes, kalau obatan-
obatan yang telah disertifikasi halal
hanya sedikit sekali jumlahnya di
Indonesia.
“Hanya nol sekian persen, tidak
sampai satu persen,” kata Ma’ruf
Amin kepada Suara Hidayatullah
saat ditemui di kediamannya, Tan-
jung Priok, Jakarta Utara.
Jika kondisinya sudah separah
ini, seharusnya obat-obatan dan
produk farmasi lainnya dilabelisasi
halal dengan segera. Sebab, dengan
mencantumkan logo halal, umat
akan terjamin dari mengosumsi
yang haram.
Sementara itu, pernyataan MUI
ini bertolak belakang dengan Men-
kes yang menolak obat-obatan dan
vaksin diberi label halal. Alasannya,
produk farmasi bukan makanan atau
minuman yang wajib disertifikasi
halal.
“Mohon dipertimbangkan supaya
obat dan vaksin jangan dimasukkan
sama dengan makanan dan minu-
man,” tegas Menkes di Jakarta, seperti
dikutip detik.com, (9/12/2013).
Pendapat Ikatan Dokter Indo-
nesia (IDI) berbeda dengan Ke-
menterian Kesehatan (Kemenkes).
LAPORAN UTAMA
IDI justru mendesak supaya dalam
waktu dekat Lembaga Pengkajian
Pangan, Obat-Obatan dan Kosme-
tika Majelis Ulama Indonesia (LP-
POM MUI) memberikan labelisasi
halal pada produk farmasi, termasuk
obat-obatan dan vaksin.
“Kami menyambut baik ren-
cana LPPOM MUI, karena kami
juga pengguna obat bukan produsen.
Informasi bahan obat itu penting
bagi dokter untuk disampaikan ke
pasien,” kata Ketua Umum Pengurus
Besar IDI, Zainal Abidin saat ditemui
Suara Hidayatullah di kantornya
daerah Menteng, Jakarta Pusat.
Zainal mengatakan, dokter di tan-
ah air kebanyakan tidak mengetahui
bahan-bahan apa saja yang terdapat
dalam obat-obatan. Pasalnya, sam-
bung Zainal, Kemenkes dan produsen
obat tidak pernah memberi tahu
kandungan zat yang ada di dalamnya.
Padahal, itu sangat diperlukan sebagai
informasi kepada pasien.
”Kalau kita ingin melindungi
masyarakat seharusnya diberi tahu
Obat Halal Kurang dari Satu Persen
Bukan masyarakat awam saja yang tidak tahu kehalalan obat-obatan, tetapi dokter juga
banyak yang tidak mengerti.
Toko obat Pasar Pramuka, Jakarta.
3. FEBRUARI 2014/RABIUL AWWAL 1435 23
haram atau tidak benda yang dikon-
sumsi,” tutur politisi Partai Keadilan
Sejahtera ini saat ditemui Suara Hi-
dayatullah di Bandung, Jawa Barat,
Desember lalu.
Pertahankan Pasal
Draft RUU JPH saat ini masih
digodok di DPR. Beberapa lembaga,
salah satunya Kemenkes disebut-
sebut tidak setuju jika labelisasi halal
obat-obatan masuk dalam RUU yang
telah masuk prolegnas sejak 2007
silam.
Ketua LPPOM MUI, Lukmanul
Hakim mengatakan, jika pasal terse-
but ditiadakan, maka ini merupakan
pelanggaran hak atas umat Islam.
kandungan obat dan vaksin itu apa
saja,” sambungnya.
Pria yang menamatkan S1 dan
S2-nya di Universitas Hasanudin,
Makassar, Sulawesi Selatan ini juga
mengatakan, bahwa dalam kode etik
dokter Indonesia, hak pasien untuk
mengetahui apa yang dikosumsi juga
dijelaskan.
Walaupun bunyi pasal tersebut
tidak langsung, tapi itu termasuk
salah satu maknanya. “Seorang
dokter harus menghormati keyaki-
nan agama pasien, begitu bunyi
pasalnya,” imbuh Zainal.
Selain dokter, para pedagang
grosir di toko obat Pasar Pramuka,
Jakarta Timur juga mengaku tidak
tahu obat-obatan yang mengandung
bahan-bahan haram. “Kami tidak
tahu, kami hanya pedagang yang
menjual dan membeli saja,” kata
Evaldi salah seorang pedagang di
Pasar Pramuka.
“Labelisasi halal itu lebih bagus, jadi
umatIslambisaterjaga.Asalhargaobat
jangan naik jika nanti ada labelisasi,”
ucap pria asal Padang tersebut.
Sementara itu, Ketua Umum
Halal Wacth, Rachmat Os Halawa
mengatakan, bahwa regulasi yang
mengatur tentang labelisasi halal
produk farmasi tersebut harus segera
dibuat oleh pemerintah.
Jadi, ketika sudah dibuat undang-
undang, maka sifat dari sertifikasi
halal obat-obatan itu menjadi sebuah
keharusan. Saat ini, sifatnya masih
secara sukarela dan bukan kewa-
jiban.
“Nantinya kalau sudah ada
undang-undang, maka produsen
obat-obatan jika tidak mendaftar itu
bisa dikenai sanksi hukum pidana
atau perdata,” kata Rachmat kepada
Suara Hidayatullah.
Menurutnya, saat ini Indonesia
belum mempunyai standar halal. Ia
berpendapat LPPOM MUI sifatnya
masih sukarela, belum kewajiban.
“Kita belum punya payung hukum,
kalah dengan Singapura dan Malay-
sia.”
Senada dengan Zainal dan Rach-
mat, Wakil Ketua Komisi VIII DPR
RI, Ledia Hanifah Amalia mengata-
kan, labelisasi halal obat-obatan dan
produk farmasi lainnya sangat dibu-
tuhkan. Semua itu bertujuan untuk
melindungi konsumen, apalagi pen-
duduk Indonesia mayoritas Islam.
“Dalam undang-undang kon-
sumen juga tertera pasal yang
menerangkan konsumen harus tahu
“Secara substansif, itu telah melang-
gar hak asasi konsumen Islam dan
hak konstutisional yang ada pada
Undang-undang Dasar,” ucap Luk-
man.
Sementara itu, Ledia Hanifah
mengatakan, memang ada wacana
kalau pasal yang berkaitan dengan
produk farmasi akan dihapus.
Tetapi, Ledia dan anggota Komisi
VIII lainnya berjanji akan berupaya
pasal itu tidak dihilangkan. “Sejak
awal DPR sudah berkomitmen tidak
akan mencabut klausul itu,” tegasnya.
Menurut Rachmat, undang-
undang yang mengatur pangan yang
ada saat ini di Indonesia tidak men-
cakup soal halal. “Pasal-pasalnya
hanya untuk makanan yang thayyib
(baik) atau layak konsumsi, bukan
melihat halal tidaknya,” ujar Rahmat.
Ketua Harian
MUI Pusat,
KH Ma’ruf
Amin
Obat herbal
“Labelisasihalalitulebih
bagus,jadiumatIslambisa
terjaga.Asalhargaobat
jangannaikjikanantiada
labelisasi.”
4. SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com24
LAPORAN UTAMA
H
ari belum terlalu siang,
namun kesibukan di pusat
grosir obat Pasar Pramuka,
Jakarta Timur sudah tampak. Lalu
lalang pembeli mulai mendatangi
beberapa kios yang buka. Kios khu-
sus yang menjual obatan-obatan dan
produk farmasi menempati lantai 1
dan lantai 2.
Mereka yang berbelanja keba
nyakan untuk memenuhi kebutuhan
obat-obatan yang sudah habis di
warungnya. Obat yang dibeli akan
dijual kembali. Tapi, tidak sedikit
yang mencari obat untuk dikonsumsi
sendiri.
Berbagai obat dijual di pasar yang
sudah ada sejak tahun 1975 ini. Mulai
dari obat murah, sejenis obat-obatan
warung, obat generik, bahkan obat
paten, yang penggunaannya harus
memakai resep dokter juga tersedia
di sini.
Pusat grosir obat-obatan ini
dikunjungi bukan saja dari rakyat
golongan ekonomi menengah ke
bawah, tetapi juga mahasiswa Fakul-
tas Kedokteran, sampai apoteker
pun ada yang berbelanja di sini.
Pernyataan Menkes yang me
ngatakan hampir semua obat-obatan
terdapat bahan haram tidak menyu-
rutkan pembeli di grosir obat Pasar
Pramuka ini. “Tidak berpengaruh,”
Ma’ruf Amin mengatakan,
masyarakat atau lembaga yang
ingin menghapus pasal mengenai
obat-obatan dalam RUU JPH tidak
perlu khawatir. Sebab, klausul itu
sangat bermanfaat bagi umat.
“Mengapa Kemenkes harus takut.
Jangan sampai ada pernyataan tidak
perlu sertifikasi halal obat-obatan, itu
pernyataan menyesatkan,” tegasnya.
Fatwa Darurat Hanya Milik Ulama
kata Evaldi, Sekretaris Himpunan
Pedagang Farmasi Pasar Pramuka,
Jakarta Timur.
Direktur LPPOM MUI, Luk-
manul Hakim mengatakan, bahwa
obat yang dikategorikan sebagai obat
untuk rakyat dan berharga murah ini
juga bisa mengandung bahan-bahan
haram.
“Obatpatendanobatgeneriksama-
samaberpeluangterdapatbahan-bahan
haram,” kata Lukmanul Hakim.
Bahan-bahan yang dipakai untuk
obat-obatan saat ini, kata Lukman,
hampir 90 persen dari luar negeri.
Hal tersebut yang dijadikan alasan
mengapa obat-obatan generik tidak
menutup kemungkinan bisa terkon-
taminasi bahan-bahan haram.
Kata Lukman, proses pengolahan
sangat mempengaruhi kehalalan
sebuah obat. Semua cara bisa berpe-
luang menjadi haram, baik itu diolah
memakai bahan alami, sintetika,
biokimia, atau mikrobiologi.
Jika memakai bahan mikrobi-
ologi produk, selain dilihat bahan
bakunya dari awal, medianya juga
sangat mempengaruhi. Misalnya
media itu seperti apa, dari apa, dan
pertumbuhan bakterinya diperoleh
dengan cara seperti apa.
Kalau medianya pernah ber-
sentuhan dengan babi walau hanya
sedikit, maka itu sudah tidak halal.
“Itu sudah dikategorikan haram,”
katanya.
Tetapi, menurut Ketua Umum
IDI, Zainal Abidin, obat-obatan tidak
semuanya harus disertifikasi halal.
Terutama yang sudah jelas bahan
baku dan bahan dasarnya berasal
dari tumbuhan dan ikan. “Antibiotik
kan dari jamur, bahan obat yang
berasal dari ikan atau hewan laut
itu juga kan halal, jadi tidak perlu
disertifikasi lagi,” ujarnya.
Permasalahan lain yang timbul
saat membahas tentang kehalalan
obat dan produk farmasi adalah fak-
tor darurat.
MenteriKesehatan,NafsiahMboi
dan Guru Besar Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia
Hasbullah Thabrany mengatakan,
obat-obatan berbahan haram tidak
apa-apa karena sifatnya darurat.
“Karena keterbatasan, terkadang
dokterharusmemberikanobat-obatan
untuk pasien meski di dalamnya me-
miliki unsur dari tubuh babi. Menurut
saya dalam keadaan darurat boleh
dipakai dan itu tidak masalah,” kata
Hasbullah Thabrany seperti dikutip
antaranews.com (17/12/2013).
Pernyataan guru besar ini diban-
tah oleh Ketua Harian MUI Pusat,
KH Ma’ruf Amin. Menurutnya,
siapapun tidak berhak mengatakan
halal atau haram karena kedaan
darurat. Hanya ulama yang meng-
etahui ilmu agama dan fikih yang
Negara dan perusahaan farmasi mempunyai cukup dana
untuk meracik formula bahan obat halal.
Direktur LPPOM MUI,
Lukmanul Hakim
5. FEBRUARI 2014/RABIUL AWWAL 1435 25
TITIK KRITIS
KEHALALAN
PRODUK-PRODUK
FARMASI
Protein, asam amino, vitamin, mineral,
Enzim, asam lemak dan turunannya, khondroi�nn,
Darah, serum, plasma, hormon hingga karbon ak��.
Penggunaanya dari tulang, kulit, lemak hingga jeroannya,
Termasuk penggunaan bahan pewarna. Gela�nn beasal
Dari tulang maupun kulit babi. Media untuk pembuatan vaksin
BAHAN AKTIF OBAT YANG BERASAL DARI BABI
BAHAN AKTIF
LAIN YANG
BERASAL
DARI MANUSIA
Keratin rambut,
Untuk pembentukan
Sistein, placenta manusia,
Sebagai bahan obat
Luka bakar
Dan yang lainnya.
Ari-ari atau placenta
Untuk obat leukemia,
Kanker,
Kelainan darah, stroke,
Liver, diabetes dan
Jantung.
PRODUK-PRODUK FARMASI YANG
RENTAN BERBAHAN HARAM
ALKOHOL UNTUK
MENGISOLASI BAHAN
AKTIF YANG BERASAL DARI
TUMBUHAN ALKALOID,
GLIKOSIDA
Dari ke 28 jenis bahan farmaseutik tersebut
terdapat beberapa bahan yang memiliki titik kritis
kehalalan. Yakni bahan pengemulsi, bahan
pewarna, bahan perisa, bahan pengisi tablet,
bahan pengkilap, bahan pemanis, bahan pelarut
dan bahan enkapsulasi. Bahan tersebut memiliki
titik kritis kehalalannya sebab bisa saja berasal
dari bahan haram dan najis seperti babi, alcohol,
organ manusia maupun bahan hewani lain yang
tidak jelas asal-usul maupun proses
penyembelihannya.
BAHAN
FARMASEUTIK
(BAHAN TAMBAHAN OBAT
AGAR MUDAH DISERAP
TUBUH)
BAHAN PENGASAM
BAHAN PEMBASAH
BAHAN PENJERAP
BAHAN AEROSOL
BAHAN PENGAWET
ANTIOKSIDAN
BAHAN PENDAPAR
BAHAN PENGKHELAT
BAHAN PENGEMULSI
BAHAN PEWARNA
BAHAN PERISA
BAHAN PELEMBAB
BAHAN PELEMBUT
BAHAN DASAR SALEP
BAHAN PENGERAS
BAHAN PEMANIS
BAHAN PENSUSPENSI
BAHAN PENGHANCUR
TABLET
BAHAN PENGISI
TABLET
BAHAN PENYALUT
BAHAN PELINCIR
TABLET
BAHAN PEREKAT
TABLET
BAHAN PELUMAS
BAHAN PENGKILAP
BAHAN
PENGISOTONIS
LARUTAN
PELARUT/PEMBAWA
BAHAN ENKAPSULASI
PENGGANTI UDARA
Demikian halnya
penggunaan
protein darah
manusia dalam
obat injeksi. Etanol
dan gliserin pun
dapat digunakan
dalam obat-
berbentuk suntik
tersebut. Contoh
lain adalah Insulin
yang bisa berasal
dari pankreas
babi, atau lovenox
(obat injeksi anti
penggumpalan
darah) yang juga
bisa berasal dari
babi.
Obat berbentuk pil
injeksi (suntik) ,
bahan penyusun
obat seperti
gliserin,bisa
berasal dari
turunan lemak dan
ini harus
diperhatikan.
Termasuk juga
penggunaan
bahan gelatin
yang banyak
digunakan.
Cangkang kapsul,
dalam proses
pembuatannya
menggunakan
gelatin.
Obat cair atau
liquid , bahan
tambahan
memakai etanol
atau alkohol dan
flavor (perasa)
yang digunakan.
Flavor bisa
terbuat dari bahan
penyusun
(ingredient) dan
pelarut yang tidak
jelas
kehalalannya.
Obat tablet
memakai
magnesium stearat,
monogliserida yang
berasal dari
turunan lemak Obat
serbuk dan kaplet,
penggunaan
laktosa dalam
proses produksi
obat serbuk harus
diperhatikan
diperhatikan.Enzim
hewani bisa saja
berperan dalam
pembuatan laktosa
ini. Termasuk
penggunaan bahan
pewarna.
Gelatin berasal dari
tulang maupun kulit
hewan, seperti
babi, sapi atau
ikan.
DARI 18 RIBU JENIS
PRODUK FARMASI,
22 JENIS YANG
BERSERTIFIKASI HALAL
sumber:www.halalmui.org
6. SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com26
LAPORAN UTAMA
26
Saatnya Kurangi
Minum Obat Sintetis
Klinik pengobatan ala Nabi SAW, Pondok Sehat Anabawiyah milik Ummu Sala-
mah di Ciputat, Tangerang Selatan setiap hari selalu ramai dikunjungi pasien.
Selain berobat, banyak juga pasien yang berkonsultasi mengenai kesehatan.
Terlebih ketika Menteri Kesehatan mengatakan kebanyakan obat-obatan kimia
mengandung bahan haram. Pasien yang datang banyak menanyakan dampak
negatif dan bahan-bahan yang dikandung dari obat kimia sintetis.
Wanita yang juga penulis buku Imunisasi, Dampak, Konspirasi dan Solusi Sehat
Ala Rasulullah SAW ini, sejak tahun 2005 tidak mengonsumsi obat-obatan kimia
sintetis. Ia telah merasakan hidup sehat dengan pengobatan cara Nabi SAW.
Ummu Salamah pernah memiliki pengalaman dengan obat-obatan kimia
sintetis. Tahun 2002, ia bolak-balik ke sebuah rumah sakit di kawasan Bintaro,
Tangerang untuk berobat. Namun, kesembuhan tak kunjung datang. “Tidak ada
perubahan selama satu tahun berobat,” katanya.
Akhirnya, seorang tem annya memberitahu pengobatan cara lain. “Setelah rutin
berbekam, perlahan tapi pasti, alhamdulillah ada perubahan,” katanya.
Seperti juga yang dialami Muhammad Ro’inul Balad, asal Bandung, Jawa Barat.
Roin, demikian ia akrab dipanggil, bercerita bahwa beberapa tahun lalu kesehatan-
nya terganggu dengan keluhan pada lambungnya. Aktivitasnya yang padat sebagai
dai dan aktivis Islam membuat dirinya sering telat makan. Setelah diperiksa, dokter
menyimpulkan bahwa Roin menderita sakit maag.
“Dokter menyarankan untuk berobat rutin dengan mengonsumsi obat-obatan
kimia sintetis yang saya sendiri tidak tahu kehalalannya. Namun sebagai Muslim kita
harus berbaik sangka kepada orang lain termasuk dokter,” katanya.
Selama beberapa bulan ayah dari lima anak ini rutin kontrol dan mengonsumsi
obat resep dokter tersebut. Setelah itu, lambungnya terasa lebih baik. Tetapi, akibat
adanya pantangan terhadap makanan tertentu, maka terjadi sedikit penyumbatan
pembuluh darah sebagai akibat tingginya kadar kolesterol. “Saya didiagnosa terkena
penyakit jantung,” ujarnya.
Singkat cerita, Roin berusaha berobat ke sebuah rumah sakit yang melakukan
pengobatan dengan herbal. Meski menggunakan herbal, namun rumah sakit
tersebut telah menggunakan standar modern. Mulai dari labotarium, perawat,
dokter ahli, dan apotekernya.
Roin mengakui, pengobatan dengan herbal waktunya lebih lama jika diband-
ingkan dengan pengobatan kimia sintetis. Kata dokternya, tutur Roin, pengobatan
dengan herbal sifatnya holistik. Tidak hanya mengobati penyakitnya, tetapi juga
menguatkan organ lain sebagai pendukung proses penyembuhan penyakit tersebut.
“Berbeda dengan pengobatan konvensional yang justru menimbulkan penyakit
baru sebagai dampak dari penggunaan obat tertentu. Sakitnya mungkin sembuh
tetapi ada penurunan fungsi organ lain,” jelas Roin yang menjabat Sekretaris Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jawa Barat.
Kendati penyembuhan cukup lama dan berbiaya agak mahal, tetapi Roin cukup
puas. Setelah melakukan pengobatan dengan herbal secara rutin, ia merasakan ada
perubahan mendasar pada kesehatannya selain penyakitnya berangsur sembuh juga
membaiknya fungsi organ lainnya.
“Bagi saya berobat bukan sekadar mencari kesembuhan, namun yang lebih pent-
ing berikhtiar dengan cara yang halal termasuk obatnya. Sehingga dalam berobat
tidak sampai jatuh pada hal yang haram baik cara maupun obatnya,” tegas Roin.
pantas mengatakan halal atau
tidaknya. “Masalah halal itu
soal hukum agama dan ulama saja
yang bisa mengatakan, jadi jangan
seenaknya,” tegas Ma’ruf.
Ia menjelaskan bahwa kondisi
darurat tidak boleh berlangsung
selamanya. Harus ada usaha yang
dilakukan sehingga jangan selalu
mempunyai alasan karena darurat,
maka boleh memakan barang yang
haram.
“Saat ini MUI sedang merumus-
kan working group dengan Kemen-
trian Kesehatan, Asosiasi Farmasi,
dan Ikatan Dokter Indonesia untuk
memverifikasi obat-obatan yang
halal dan yang darurat,” ujarnya.
Syarat darurat, tambah Ma’ruf,
diperlukan saat tidak ada obat lain
yang halal. Juga, jika tidak diminum
akan bertambah sakit dan membuat
mati. Namun, status obat itu tidak
menjadi halal.
Kiai berusia 70 tahun itu menya
yangkan ilmuwan di Indonesia yang
enggan mencari bahan pengganti
obat-obatan yang haram. Padahal,
bahan tersebut banyak tersedia di
tanah air. “Dalam al-Qur`an jelas
Allah Ta’ala tidak menjadikan obat
dari sesuatu yang haram, berarti
yang halal ada,” katanya.
Namun, sambung Ma’ruf, kita
belum mampu, karena kiblat dokter
dan peneliti kita kebanyakan ke Barat.
Ketua Umum IDI, Zainal Abidin
juga menyatakan hal serupa. Negara
harus mencari jalan lain supaya ja
ngan selalu mengedepankan alasan
darurat. “Negara wajib melindungi
warganya dalam mengonsumsi obat,
jangan pakai isu darurat terus, harus
ada upaya jalan keluar. Saya yakin
ada unsur yang bisa dipakai selain
babi,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua
Komisi VIII DPR RI, Ledia Hanifa
Amalia menyarankan dan mengim-
bau ke pemerintah supaya membuat
terobosan baru mencari bahan yang
halal untuk produk farmasi.
“Perusahaan farmasi dan ne-
gara punya dana untuk meneliti dan
pengembangan, sampai kapan kita
mau mengatakan darurat?” kata
Ledia.
7. FEBRUARI 2014/RABIUL AWWAL 1435 27
B
ulan Desember lalu, Menteri
Kesehatan, Nafsiah Mboi
membuat resah masyarakat. Ia
menyatakan tidak setuju jika
produk farmasi disertifikasi
halal. Menurutnya, obat-obatan dan
produk farmasi jangan disamakan de
ngan makanan atau minuman.
Majalah Suara Hidayatullah men
coba mengkonfirmasi pernyataan
Menkes tersebut. Nafsiah Mboi men-
jawab pertanyaan Suara Hidayatullah
melalui surat elektronik. Berikut petikan
wawancaranya.
Bagaimana perhatian Kemenkes
terhadap status kehalalan produk-
produk farmasi di Indonesia?
Kementrian Kesehatan RI men-
dukung sepenuhnya upaya-upaya
dalam memberikan jaminan, perlin
dungan, dan kepastian kehalalan
produk yang akan dikonsumsi dan atau
digunakan masyarakat. Oleh karena itu,
pada tahun 1996 ditandatangani pia
gam kerjasama Departemen Kesehatan,
Departemen Agama, dan MUI tentang
pelaksanaan pencantuman label halal.
Di bidang obat, sampai saat ini tidak
ada landasan hukum yang mewajibkan
sertifikasi halal untuk produk obat
maupun vaksin. Sertifikasi halal untuk
produk obat kepada MUI diajukan oleh
pemilik produk dan bersifat sukarela.
Obat yang beredar di Indonesia
harus didaftarkan terlebih dahulu
atau disertifikasi. Hal ini sesuai dengan
mandat UU No. 36 Thn 2009 tentang
kesehatan, bahwa tugas pemerintah di
bidang obat adalah menjamin keterse-
diaan obat esensial, pengawasan obat,
dan penggunaan obat yang rasional.
Seluruh obat yang beredar di Indonesia
harus didaftarkan dahulu atau diserti-
fikasi oleh BPOM sebagai bagian dari
pengawasan pre-market yang dilakukan
sebelum obat beredar. Hal ini dilakukan
untuk memastikan keamanan, khasiat,
mutu, dan kebenaran informasi yang
tercantum pada label penandaan obat.
Obat yang lulus pre-market mendapat
sertifikat Nomer Izin Edar (NIE).
Sejauh mana Kemenkes meng-
etahui bahan-bahan untuk membuat
obat-obatan?
Saat ini tidak banyak obat-obatan
yang mengandung bahan tertentu atau
sesuatu yang tidak halal, seperti babi
atau bahan bersumber babi. Contoh,
ada tiga jenis heparin berat molekul
rendah sebagai obat pengencer darah,
produk-produk ini mengandung DNA
babi, berasal dari usus babi dan belum
ada yang dari sapi.
Bagaimana sikap Kemenkes
terhadap upaya sertifikasi halal obat-
obatan yang beredar di Indonesia?
Penemuan dan pengembangan
obat baru dilakukan melalui penelitian
yang lama, 10-20 tahun dan umumnya
dilakukan di luar negeri. Pada pengem-
bangan obat harus dilakukan studi
pre-klinik dan studi klinik, formulasi
dan teknologi untuk membuktikan dan
memastikan keamanan, khasiat, dan
mutu produk tersebut. Penemuan obat
yang berasal dari binatang akan riskan
dengan sesuatu yang tidak halal, mi
salnya kandungan aktifnya berasal dari
babi atau pada proses pembuatannya
pernah bersinggungan dengan bahan
bersumber babi.
Dalam hal ini prinsip penerimaan
obat tersebut di Indonesia adalah
kedaruratan, apabila tidak ada alternatif
lain.
Apakah sertifikasi ini diperlukan?
Apabila masih ada alternatif lain,
misalnya tersedia bahan bersumber
sapi, maka terhadap obat tersebut
tidak dapat diberikan izin edar. Apabila
tidak ada alternatif lain, maka akan di-
kaji manfaat secara medis dan diberikan
transparansi pada label produk.
RUU Jaminan Produk Halal (JPH)
yang saat ini sedang digodok di DPR
salah satunya mengatur masalah ini,
bagaimana tanggapan Anda?
Kementrian Kesehatan sepenuhnya
mendukung upaya-upaya dalam mem
berikan jaminan perlindungan dan
kepastian kehalalan produk yang akan
dikonsumsi atau digunakan masyarakat.
Salah satu pasal dalam RUU JPH men-
gatakan bahwa bahan yang berasal dari
mikroba dan bahan yang dihasilkan
melalui proses kimia, proses biologi
atau proses rekayasa genetika diharam-
kan jika proses pertumbuhan dan atau
pembuatannya tercampur, terkandung,
dan atau terkontaminasi dengan bahan
yang diharamkan.
Oleh karena itu, Kemenkes me-
mandang perlu dan telah mengusulkan
agarprodukberupaobattermasukproduk
biologi (vaksin) dan produk rekayasa
genetik yang digunakan untuk diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
dan peningkatan kesehatan manusia
dikecualikan dalam RUU JPH. Bahkan, di
seluruh dunia tidak ada yang menerapkan
itu, termasuk negara-negar Arab, sekalipun
tidak masuk masalah obat-obatan dalam
sertifikasi halal mereka.
Apakah dalam peraturan atau
Undang-Undang Kesehatan menga-
tur mengenai bahan baku yang dipe-
runtukan bagi obat-obatan?
Sesuai dengan UU No.36 tahun
2009 tentang kesehatan, obat adalah
bahan atau paduan bahan, termasuk
produk biologi (vaksin) yang diguna-
kan untuk mempengaruhi atau me-
nyelidiki sitem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembu-
han pemulihan dan peningkatan
kesehatan untuk manusia.
Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI
“Prinsip Penerimaan Obat
Berbahan Babi karena Darurat”
SURYAFACHRIZAL
Kantor Kementrian Kesehatan RI