SlideShare a Scribd company logo
1 of 13
Quo Vadis Otonomi Khusus Aceh
Peluang, Tatangan dan Gagasan Redesign
(Oleh: Zulfikri Armada)[1]
(Laode Syarif Indrawan)[2]
Latar Belakang Sejarah Otsus Aceh
Mesjid Raya Aceh
Udeep saree matee syahid, hidup mulia atau mati syahid. Begitulah bunyi potongan
sya’ir penuh makna yang dituliskan oleh penulis lepas Syaifuddin Abdullah. Potongan
kata tersebut bukanlah pepesan kosong belaka, melainkan merupakan kristalisasi nilai
yang benar-benar dihayati dan menjadi pegangan hidup rakyat Aceh. Hal tersebut dapat
kita saksikan dalam sejarah betapa teguhnya rakyat Aceh dalam mempertahankan
eksistensi kedaulatan Aceh dan Republik Indonesia.
Aceh dalam akar sejarahnya dikenal sebagai “bangsa” yang teguh mempertahankan
kedaulatannya dari kolonialisme Belanda dan Inggris. Paska ditandatanganinya Trety of
Sumatera (1871)[3] yang berisikan penyerahan Aceh dari Inggris kepada Belanda yang
berbuah perang panjang 1873-1914, pergolakan demi pergolakan terus dilakukan guna
mengusir para penjajah. Puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah Indonesia
menyatakan merdeka, residen Teungku Nyak arief dan Teungku Daud Beureh sepakat
untuk menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.[4]
Kemudian, terjadi beberapa perselisihan akibat ketidakpuasan atas keputusan
politik Republik Indonesia dibawah kabinet Hatta, benih gerakan separatispun tumbuh,
Daud Beureh menggabungkan diri sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat,
dikarenakan rasa kecewa elit Aceh atas keputusan “politik Jakarta” yang hanya
menjadikan aceh daerah setingkat Kabupaten dibawah Prov.Sumut, sehingga demikian
secara yuridis otomatis Prov.Aceh dibubarkan begitu saja.
Pilihan memberikan otonomi khusus sebagai affirmative action pun dilakukan
guna meredam konflik dan mengakomodir aspirasi masyarakat Aceh, genjatan senjata
dilakukan dengan syarat Aceh tidak hanya dijadikan daerah Provinsi tapi lebih dari itu
yaitu diakui sebagai Negara Bagian Aceh (NBA). Pendukung NBA ini antara lain adalah
Hasa Ali, Hasan Saleh, dan Ishak Amin. Mereka bersepakat dengan wakil pemerintah
yaitu Ali Hasjmy, Gaharu, dan Muhammad Insja (kepala polisi). Merapa sepakat dengan
tiga tujuan utama yaitu 1) Memajukan Islam: 2) Membangun Aceh dalam arti luas: 3)
Berusaha sekuat tenaga untuk memberikan kemakmuran dan kebahagiaan kepada
rakyat Aceh.[5]
Kesepakatan tersebut setelah dilakukan beberapa penyesuaian akhirnya
diberikan landasan yuridis dengan diterbitkannya Keputusan Wakil Perdana Menteri RI
No.1/Misi/1959 tanggal 31 Mei 1959, yaitu dengan pembentukan daerah Istimewa Aceh
berdasarkan UU No.1 tahun 1957 yang menganut otonomi yang seluas-luasnya terutama
di bidang agama, pendidikan, dan adat[6]
Akan tetapi pada perjalanannnya pemberian otonomi tersebut tidak efektif
pelaksanaannya, karena pada dekade 60’an NKRI disibukkan dengan pembebasan Irian
Barat dari tangan Belanda dan konfrontasi Ganyang Malaysia yang memberikan
Presiden Soekarno common enemy untuk diberantas sehingga konsentrasi kewenangan
secara de facto tertumpu di tangan Presiden Soekarno, yang pada gilirannya
mengakibatkan pelaksanaan otonomi daerah menjadi bias. Puncaknya pada era Orde
Baru pemerintahan Presiden Soeharto menerbitkan UU No.5 tahun 1974 yang justru
memperteguh sistem pemerintahan sentralistik di Indonesia sehingga mematikan inisiatif,
membelengu kewenangan, membunuh kearifan adat istiadat lokal yang dipaksakan
untuk menjadi seragam. Akumulasi dari kekecewaan atas kebijakan tersebut maka pada
tanggal 4 Desember 1976 Hasan Tiro memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka.
Pasca berakhirnya rezim orde baru dan lahirnya reformasi. Pemerintah mulai
menyadari bahwa bukanlah jalan yang tepat untuk mengatur wilyah otonom di Republik
ini dengan seragam. Oleh karena itu lahirlah UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah, kemudian khusus untuk kasus Papua dan Aceh beberapa ketetapan MPR
mengamanatkan kedua daerah itu diberlakukan otonomi khusus. Untuk memenuhi
amanat itu, maka pada tahun 2001 ditetapkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Aceh dan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Implementasi otonomi khusus di Aceh menarik untuk bersama kita kaji karena
pada proses pelaksaanya UU No.18 tahun 2001 belum mampu meredam konflik dan
perlawanan yang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut, berbarengan dengan momentum natural turbulance yaitu tragedi
tsunami yang meluluhlantakan Bumi Seurambi Mekah[7], sadar bahwa tindakan represif
melalui penetapan DOM (Daerah Oprasi Militer) gagal menyelesaikan akar
permasalahan seperatisme di aceh, pemerintah RI mengubah pendekatan penyelsaian
konflik dengan GAM, yaitu dengan kembali melakukan perundingan dan dialog. Dari
serangkaian perundingan yang dilakukan sejak pengesahan UU No 18 tahun 2001, pada
akhirnya pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia, akhirnya kelaurkan kata mufakat
dengan ditanda tanganinya Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI
dan GAM. Salah satu klausul kesepakatan itu, materi MoU Helsinki akan dituangkan
dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UU PA).
Untuk memenuhi klausul di atas, maka pada 11 Juli 2006 Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah
Aceh menjadi undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ( UUPA )
UUPA sendiri terdiri dari 40Bab dan 273 Pasal. Berikut ini beberapa kekhususan
pengaturan yang terdapat pada UUPA, antara lain: 1. Kewenangan Khusus, 2. Lembaga
di Daerah, 3. Gubernur Aceh, 4. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Kabupaten/Kota (
DPRA/K ), 5. Partai Politik Lokal, 6. Wali Nanggroe, 7. pengakuan terhadap Lembaga
Adat, 8. Syari’at Islam, 9. Mahkamah Sya’iyah, 10.Pengadilan HAM di Aceh, 11. Komisi
kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) di Aceh, 12. Pengelolaan Sumber Daya Alam, 13.
Keuangan, 14. Pertanahan.
Landasan dan Urgensi Otonomi Khusus Aceh
Bila kita baca kembali Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (UUPA) tersebut, setidaknya terdapat lima alasan yang
melatarbelakangi keputusan untuk pemberlakuan undang-undangan ini, yaitu:
1. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan Undang-Undang;
2. bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan
satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah
satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan
daya juang tinggi;
3. bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang
berlandaskan syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh
menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan
kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum
dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan,
pemenuhan, dan pelindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu
dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik;
dan
5. bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan
solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan
wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan
bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi asimetris yang dikenal dengan sebutan otsus dan daerah istimewa
merupakan pola relasi unik antara pemerintah pusat dan daerah karena sebab-sebab
khusus. Sebuah daerah menerima wewenang, lembaga, dan keuangan yang berbeda
dengan daerah lain. Pola relasi ini lazim terjadi dalam negara kesatuan. Indonesia
mempraktikkannya sejak 1950 ketika mengatur Yogyakarta.
Hanya saja, asimetrisme yang telah diberi ruang dalam semua konstitusi yang
pernah berlaku di Indonesia tidak menunjukkan perkembangan berarti di masa Orde
Baru. Tuntutan asimetrisme menguat sebagai alternatif sejak Reformasi. Apalagi setalah
dilakukannya Amandemen UUD 1945 oleh MPR, khususnya pada pasal-pasal yang
mengatur tentang pola hubungan pemerintah dan pemerintah daerah. Perubahan pada
pasal 18 UUD 1945 memberikan perubahan yang fudamental baik secara struktur dan
prosedur pelaksanaan hubungan kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Negara
mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khsusus dan
istimewa {Pasal 18 B ayat (1) } beserta kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya {Pasal 18B ayat (2) }. Akan tetapi tetap menjadi bagian yang hirarkis
dan menyatu sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia {Pasal 1 ayat
(1) }.
Lahirnya Undang-Undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)
merupakan satu momentum sejarah yang cukup penting dalam perjalanan bangsa
Indonesia, khususnya bagi masyarakat Aceh, karena dengan Undang-Undang ini kita
sama-sama berharap dapat mengakhiri konflik berdarah dari gerakan separatisme yang
sudah menyengsarakan seluruh pihak, sehingga terbuka kembalilah pintu menuju
perdamaian yang hakiki di Aceh, terciptanya masyarakat yang madani, adil, bermatabat
dan sejahtera, sekaligus sebagai wahana pelaksanaan pembangunan yang dahulu
semat terpinggirkan.
UUPA sejauh ini cukup sukses dalam menyelesaikan permasalahan separatisme di
Aceh, hal ini dapat kita lihat setelah adanya Otsus yang diberikan melalu UUPA, terjadi
transformasi, kekuatan GAM ke dalam struktur pemerintahan modern dalam NKRI yang
buahnya adalah peningkatan integrasi dan sinergitas bersama seluruh elemen. Dan tentu
saja seluruh masyarakat Aceh berharap bahwa dengan adanya UUPA mampu menjadi
titik pijak/fondasi untuk menciptakan Aceh yang sejahtera, coba saja kita bandingkan
dengan UU Otsus Papua yang hingga saat ini masih belum mampu menjawab tuntutan
pemenuhan pembangunan dan kesejateraan masyarakat serta penghapusan gerakan
separatisme OPM.
Kemudian dalam urgensitas dalam aspek percepatan pembangunan maka
pemberian kewenangan yang besar ini berakibat pula dengan perubahan pola financieele
verhouding (perimbangan keuangan) maka secara logis otonomi khusus yang diberikan
dibaregi pula dengan hubungan keuangan, yang kongkritnya Negara menyediakan
sebesar 2% dari DAU Nasional selama 15 tahun dan 1% DAU Nasional untuk 5 tahun
berikutnya dalam jangka waktu 20 tahun sebagaimana tersebut dalam Pasal 183 UU No.
11 Tahun 2006 untuk Pemerintah Aceh, ini merupakan kesempatan yang sangat besar
bagi Aceh untuk merealisasikan percepatan pembangunan tersebut melalui program
prioritas yang telah diamanatkan oleh undang-undang. Program prioritas tersebut adalah
pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan
ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan
kesehatan.
Kekhususan Provinsi Aceh, Peluang dan Tantangan.
Ada beberapa kekhususan yang menurut penulis sangat berbeda dengan daerah
lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana yang
terdapat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain akan penulis bagi menjadi
berberapa dimensi, antara lain:
Pertama, dalam dimensi sosial dan agama Provinsi Aceh terdapat pengadilan
Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Syar’iyah, yang terdiri dari
Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar’iyah
Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal
al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum
pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan
berdasarkan Qanun[8]. Qanun itu sendiri merupaka produk hukum setingkat Peraturan
Daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Qanun
dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan
kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan.
Pemberian kewengan khusus untuk mengimplementasikan syariat islam bagi para
pemeluk agama islam di Aceh, merupakan tuntutan klasik dari masa pemberontakan
Daud Bereuh hingga masa GAM, akhirnya dapat diakomordir oleh UUPA ini, dan tentu
saja pelaksanaanya harus sesuai dengan kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. nilai-nilai tradisional dan nilai modern di Aceh terbukti dapat berdampingan
satu sama lain. Walaupun Aceh merupakan daerah yang identik dengan tradisionalisme
yang menguat dari budaya berdasarkan syariat Islam, namun keterbukaan terhadap
pengaruh modern negara-negara maju semenjak bencana tsunami mulai meningkat,
sehingga penerapan syariat islam sebagai sistem nilai di Aceh diharapakan dapat
mengakselerasi konstruksi bangunan hukum dan keadilan di Aceh, kemudian yang harus
diperhatikan lagi ialah posisi Qanun aceh dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan di Indonesia, jangan samapai terjadi tumpang tindih dan kontradiksi dengan
peraturan diatasnya, karena bagaimanapun, Aceh sebagai bagian integral yang tidak
terpisahkan dari NKRI harus tetap tunduk kepada Pancasila dan UUD 1945 sebagai
landasan filsafat bangsa dan hukum tertinggi yang harus dipatuhi.
Kedua, dalam dimensi politik dan pemerintahan, Pemerintah Aceh dberikan
kewenangan untuk dapat membentuk partai lokal yang memiliki hak antara lain;
mengikuti Pemilu untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; mengusulkan pasangan
calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota
dan wakil walikota di Aceh[9]. Kemudian dalam hal penetapan kebijakan Pemerintah
pusat yang berkaitan langsung dengan kepentingan Provinsi Aceh maka harus melalui
proses konsultasi, yaitu konsultasi dan pertimbangan DPRA dalam hal pembetukan UU
oleh DPR-RI[10], kemudian dalam hal kebijakan administratif yang berkaitan langsung
Pemerintahan Aceh melalui konsultasi dan pertimbangan Gubernur[11]. Yang harus
digaris bawahi adalah kewengan DPRA dan Gubernur tersebut hanyalah sebatas
sifatnya konsultatif dan pertimbangan, untuk penentuan kebijakan finalnya tetap harus
dipegang oleh pemerintah pusat, karena pada hakikatnya Pemerintahan Aceh sebagai
bagian yang hirarkis didalam NKRI tidak memiliki Pouvior constituent, yaitu kewenagan
untuk membentuk UUD sendiri dan membentuk organisasi pemerintahan secara mandiri,
oleh karena itu segala sesuatu tetap berada dibawah dan diatur oleh pemerintah pusat
dan tunduk pada tata urutan hiraki perundang-undagan sebagai bentuk konsistensi
penyelenggaraan bentuk negara kesatuan di Indonesia, kewenangan yang besar ini kita
harapakan mampu menjadi medium sinkronisasi pembangunan antara pusat dan daerah,
bukan justru malah kontraproduktif dan menghambat proses percepatan pembangunan
nasional khususnya di Aceh.
Konsep pemberian kewengan untuk membuat partai lokal di Aceh tentu saja
membawa warna baru dalam perjalanan sejarah Negara kita, betapa desain otonomi
asimetrik melalui UU No.11 tahun 2006 memberikan kewenagan yang sangat luas bagi
suatu daerah. Kemudian hal positif yang dapat kita cermati adalah melalui UUPA ini
terjadi transformasi kekuatan yang semulanya mengidentifikasikan dirinya kedalam
gerakan separatis, mengangkat senjata dan bersembunyi digunung, kini telah
bermetamorfosa menjadi masyarakat yang demokratis, yang membawa perubahan aras
“pertarungan” kekuasaan yang semulanya melalui senjata kini beralih melalui medium
bilik suara, yang dilakukan secara LUBER dan JURDIL setiap 5 tahun sekali. Adapun
kesuksesan Partai Aceh sebagai sentra kekuatan politik di Aceh adalah sebuah
kewajaran karena tentu saja simpatisan GAM akan berafiliasi dan menjadi kader dan
mesin politik utama Partai Aceh, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan
penigkatan budaya politik yang lebih partisipatif dan terbuka maka peta kekuatan
politikpun dinamikanya akan menjadi lebih baik tanpa terkukung dengan satu kekuatan
saja. Kekhawatiran atas kecendurangan untuk bertahannya sifat paternalistik dan
menguatnya elitisme lokal yang bersandar pada tokoh-tokoh lokal, serta praktik money
politik, tentunya dapat kita reduksi sedemikian rupa, jika kita kembali bersandar kepada
pasal 77, 78 dan 79 UU 11/2006 tentang kedudukan, tujuan dan fungsi partai politik lokal
Aceh, dengan menciptakan pendidikan politik masyarakat dan mengembangkan
kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila menuju kesejahteraan.
Ketiga, dalam dimensi kelembagaan, Pemerintah Aceh dibagi kedalam
kabupaten/kota, kecamatan, mukim, kelurahan dan gampong. Mukim merupakan
kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa
gampong yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lainnya. Sedangkan kelurahan
dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim[12].
terdapat institusi atau lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh,
Kabupaten/Kota dan DPRA/DPRK. Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat
Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan unit Polisi
Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai penegak
Syari’at Islam.
Dalam dimensi kelembagaan ini harus difahami bahwa organisasi tersebut muncul dan
dibentuk atas kewenangan mandiri, akan tetapi diatur dalam UUPA yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat. Diharapkan dengan struktur organisasi pemerintahan aceh dewasa ini
yang didesainuntuk mampu mengawinkan pola kelembagaan tradisional dan sitem kerja
organisasi modern, mampu mengikat simpul-simpul kekuatan sosial-masyarakat,
penguasa dan para ulama untuk bisa bersinergi dengan baik. Yang harus diperhatikan
ialah jangan sampai lembaga-lembaga yang ada hanya hadir sebagai suatu struktur yang
hanya ada secara fisik tetapi secara defacto tidak memberikan kontribusi nyata dalam
pengembangan tugas dan tanggungjawabnya, yang pada ujung-ujungnya hanya sekedar
menggerus kuota anggaran belanja tidak langsung di APBA (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Aceh) yang isinya hanya pengalokasian belanja-belanja rutin aparatur, dan
akhirnya pembangunan infrasturuktur dan program-program untuk mengatrol
kesejahteraan rakyat menjadi dinomorduakan.
Keempat, dalam dimensi keuangan. Perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah merupakan subsitem keuangan negara sebagai konsekuensi terhadap
penyerahan-pelimpahanan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah. Pemberian sumber keuangan negara ini dilaksanakan berdasarkan
stabilitas dan keseimbangan fiskal nasional. Pendanaan ini merupakan suatu sistem
yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelanggaraan asas Desentralisasi,
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Atas dasar tersebutlah makan dalam UUPA juga
diatur mengenai perimbangan keuangan pusat-daerah yang asimetris pula. Bagian
desetralisasi asimetrik dalam dimensi fiskal ini menjadi sangat penting karena posisinya
dalam organisasi pemerintahan sebagai bahan bakar untuk menjalankan mesin
pemerintahan, tanpa ada desentralisasi asimetrik dalam konteks fiskal, maka
pemerintahanpun tidak dapat dapat berjalan dengan baik. Adapun suntikan dana dari
pemerintah kepada pemertahan aceh antaralain sebagai berikut:
1. Adanya tambahan Dana Bagi Hasil Pertambangan Minyak Bumi. Jika pada UU No. 18
Tahun 2001, dana ini, yang disebut sebagai “tambahan penerimaan Provinsi NAD dari
hasil SDA di wilayah Provinsi NAD setelah dikurangi pajak”, besarnya 55% dan akan
menjadi 35% mulai tahun ke-9 setelah pelaksanaan UU, dalam UU No. 11 Tahun 2006
diubah menjadi flat 55% tanpa dibatasi waktu[13];
2. Adanya tambahan Dana Bagi Hasil Pertambangan Gas Bumi. Jika pada UU No. 18 Tahun
2001, dana ini, yang disebut sebagai “tambahan penerimaan Provinsi NAD dari hasil SDA
di wilayah Provinsi NAD setelah dikurangi pajak” besarnya 40% dan akan menjadi 20%
mulai tahun ke-9 setelah pelaksanaan UU, dalam UU No. 11 Tahun 2006 diubah
menjadi flat 40 % tanpa dibatasi waktu[14].
3. Adanya Dana Alokasi Khusus selama tahun ke-1 sampai tahun ke-15 dengan besaran
2% dari plafon DAU Nasional dan akan turun menjadi 1% setelah tahun ke-16 sampai
tahun ke-20[15].
4. Sebagian pendapatan Pemerintah yang berasal dari BUMN yang hanya beroperasi di
Aceh, dengan besaran yang ditentukan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi
Aceh.
5. Pengelolaan dana-dana bagi hasil diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Aceh dan
tidak diatur secara rinci pembagiannya hingga ke daerah kabupaten/kota, kecuali untuk
penggunaannya. Untuk tambahan Dana Bagi Hasil migas, sebesar 30% ditetapkan untuk
pembiayaan pendidikan di Aceh dan 70% untuk program pembangunan yang disepakati
Provinsi dan Kabupaten/Kota[16].
Mengutip perktaaan Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power
corrupts abslutly, oleh karena itu pemberian kewenangan yang besar disertai dengan
penggelontaran sumberdaya financial yang besar, maka tidak ada pilihan lain kecuali
memperketat pengawasan serta memperjelas prosedur dan batasan kewenangan dalam
mengelola sumberdaya keuangan ini. Hal ini wajib dilakukan mengingat angka dugaan
korupsi di Aceh ternyata sangat fantastis. Selama tahun 2011 terdapat 122 kasus dugaan
korupsi yang terjadi di Aceh, dan potensi kerugian negara yang ditimbulkanpun tak main-
main yaitu mencapai Rp 1,7 triliun. Angka tersebut menempatkan Aceh ke dalam lima
besar daerah penyumbang kerugian negara terbesar akibat korupsi di Indonesia[17].
Oleh karena itu tidak ada pilihan lain selain meningkat pengawasan pengelolaan
anggaran, mendorong akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana oleh Pemerintah
baik pada tingkat Kab/Kota hingga tingkat Provinsi di Aceh merupakan sebuah
keniscayaan yang tidak dapat ditawar jika memang ingin otsus ini dapat membawa Aceh
menjadi Provinsi yang madani.
Kemudian kami berpendapat bahwa pemberian kewangan yang begitu besar dalam hak
pengelolaan keuangan dari hasil tabang dan gas bumi di aceh, bisa memacing
kecemburuan antar daerah lain yang jugan memiliki sumberdaya alam yang tak kalah
potensialnya seperti Riau dan Kalimantan Timur. Kebijakan “menganak emaskan” Aceh
ini dapat memicu daerah lain untuk menuntut pemberlakuan otonomi khusus yang sama,
karena konstitusi kita memungkinkan hal tersebut terjadi jangan sampai hal ini
memancing konflik vertikal antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Hal lain yang harus dicermati adalah dana otonomi khusus yang dinakmati
Pemprov Aceh bukanlah sesuatu yang sifatnya abadi, 20 tahun semenjak otosus
diberikan maka penggelonotran dana stimulus tersebut akan diberhentikan, padahal
faktanya APBA (APBD Provinsi) dan APBK (APBD Kab/Kota) strukturnya masih
didominasi oleh dana otsus. Oleh sebab itu Aceh harus cepat tanggap untuk tidak
tergantung dengan dana otsus tersebut, dana otsus harus dialokasikan untuk
pembangunan infrasturuktur dan pembangunan ekonomi yang dapat menggerakan roda
perekonomian di Aceh. Jika Pemerintah Aceh terlena untuk terus-terusan memanfaatkan
dana otsus untuk sekedar belanja aparatur dan belanja-belanja tidak langsung, maka
impian menuju Aceh yang aman dan sejahtera akan memudar.
Kecenderugan Otsus Aceh, Dilema Prioritaskan Simbol atau Substansi?
Otonomi khusus Aceh yang ditasbihkan melalui UU No.11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh merupakan momentum bagi masyarakat aceh untuk mmengejar
kertetnggalan yang terjadi selama ini akibat koflik dan gerakan separatisme yang
mengganngu dinamika pembangunan di daerah tersebut. Memasuki babak baru pasca
disepakatinya MoU antara Pemerintah Indonesia dan Agam, kita berharap seluruh
elemen masyarakat segera bertransformasi menjadi bagian integral dari NKRI, menjadi
masyarakat yang demokratis, adil, sejahtera, serta mampu menjembatani nilai-nilai
kearifan tradisional dan syariat islam dengan dinamika kehidupan berbangsa dan
bernegara yang modern.
Delapan (8) tahun pelaksanaan otsus di Aceh, kita dapat mencermati satu hal
yang cukup mencolok yaitu betapa pemrintahan Aceh masih sibuk berkutat dengan
kewenangan-kewenangan yang bersifat simbolik sehingga menduakan kepentingan-
kepentingan masyarakat yang lebih urgen.
Kita dapat berkaca pada kasus Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera
dan Lambang Aceh yang masih belum ada titik temu hingga saat ini. Memang pada
dasarnya UU No.11 tahun 2006 memberikan kewenangan kepada Pemprov Aceh untuk
dapat Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh,
lambang daerah, serta himne daerah sebagai lambang yang mencerminkan
keistimewaan dan kekhususan[18]. Akan tetapi yang disayangka adalah penetapan
Bendera Aceh tersebut menimbulkan polemik yang berkepanjangan karena identik
dengan bendera gerakan separatis GAM. Mendagri dan elit pusat dibuat harus bekerja
ekstra untuk menetralisir permalasalahan ini. Kemelud seperti ini hanya menghabiskan
energi yang seharusnya dapat digunakan untuk pelaksanaan tugas dan tanggungjawab
yang timbul akibat pemberian kewenangan otsus yang jauh lebih substansial, seperti
percepatan pembangunan, pemerataan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan.
Salah satu indikator bahwa Otsus masih belum dijalankan secara substansial
adalah angka jumlah penduduk miskin yang tak kunjung terjadi perubahan yang
berarti. Sesuai data BPS, tingkat kemiskinan Aceh pada Maret 2012 adalah 19,46% di
atas rata-rata kemiskinan nasional sebesar 12,36 %. Jumlah penduduk miskin cenderung
meningkat dari 861.000 jiwa pada tahun 2010 menjadi 900.000 jiwa pada tahun 2011.
BPS juga mengungkapkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Aceh pada tahun 2010
yang mencapai angka 8,60 %, lebih tinggi dari angka pengangguran Indonesia sebesar
7,41 % dan bahkan Papua (4,08 %) dan Papua Barat (7,77 %). Alhasil, pertumbuhan
ekonomi Aceh pada tahun 2012 pun mengalami penurunan. Berdasarkan data BPS
Aceh, pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan III tanpa migas turun menjadi 1,53 %
dari triwulan II yang mencapai 2,05 %. Padahal seyogyanya kewenangan dana yang
begitu besar dapat digunakan oleh Pemerintah daerah untuk mengakselerasi
pertumbuhan dan pemerataan kesejahteraan, hal seperti inilah yang seharusnya menjadi
skala prioritas untuk segera dibenahi, bukan justru terjebak dengan perseteruan bendera,
lambang dan himne daerah yang lebih bersifat simbolik tersebut.
Salah satu contoh kongkret lainnya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Data BPS menunjukkan bahwa IPM Aceh mengalami peningkatan, namun laju
perkembangannya masih tertinggal dari IPM Nasional. Pada tahun 2010, selisih IPM
Aceh dengan IPM Nasional adalah 0,57 poin. Pada tahun 2011, meningkat sebesar 0,61
poin, hingga pada tahun 2012 selisih IPM Aceh dan Nasional mencapai 0,78 poin. Ini
artinya tren perkembangan IPM Aceh semakin tertinggal jauh dibandingkan dengan IPM
nasional[19].
Beberapa indikator diatas cukup untuk menohok Pemerintah daerah aceh untuk
kembali serius membenahi hal-hal yang lebih substansial ketimbang mempersoalkan hal-
hal yang sifatnya simbolik semata.
Gagasan Redesign Otonomi Khusus Aceh
Ada beberapa hal yang layak untuk kita lakukan guna mengoptimalkan jalanya
otonomi khusus baik di aceh, papua maupun dearah lainnya. Yangpertama, pemerintah
pusat perlu membuat regulasi yang tegas terhadap standariasasi pola koordinasi,
hubungan kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah provinsi dengan
pemerintah kabupaten kota dibawahnya, sehingga relasi dalam membangun kemitraan
guna penyusunan program kerja dan kebijakan menjadi lebih komperhensif, serta
mencegah ke-otriterisme pemerintah provinsi untuk bersikap lebih superior dan
sentralisti.
Kedua, Pengawasan atas penggunaan kewenangan dan dana sebgai implikasi
dari otsus harus ditingkatkan, kami mengusulkan untuk dibentuk direktorat khusus di KPK
yang konsen mengawasi daerah otonom khusus sehingga kebocoran anggaran dapat
diminimalisir, hal ini sejalan dengan tugas KPK yang tidak hanya bergerak dihulu
(penangkapan dan penyidikan) saja, tetapi juga bertanggung jawab dalam hal koordinasi
dan supervisi pemberantasan korupsi.
Ketiga perlu dipertimbangkannya untuk membuat sebuah lembaga sementara (ad
hoc) yang memiliki tugas dan fungsi sebagai lembaga konsultatif bagi pemerintah daerah
yang diberikan otonomi khusus, lembaga ini bertugas untuk membantu pembenahan
birokrasi pada level provinsi maupun kabupaten kota, sehingga mampu menghadirkan
model birokrasi yang modern yang adaptif dengan kearifan lokal. Birokrasi yang mumpuni
merupakan salah satu faktor penting dalam kesuksesan pelaknaan otonomi khusus,
tanpa adanya birokrasi yang modern dan sehat, maka koodinasi antar lembaga
pemerintah maupun dengan aktor non-pemerintah (swasta) akan terhambat, yang
eksesnya adalah kemandulan dalam membuat inofasi dan gebrakan
percepatan pembangunan prioritas yang dimanatkan oleh UU Pemerintahan Aceh.
Keempat, perlu dikeluarkan regulasi pelksana yang mampu memberikan arah
kebijakan pengelolaan anggaran secara tuntas dan jelas, sehingga pembagian
sumberdaya keuangan serta pemanfaatannya antar pemerintah provinsi-kabupaten/kota
dapat teraksana dengan baik. Pemanfaatan dana otsus harus didorong kepada investasi
sumber daya manusia (pendidikan dan pelatihan), pembangunan wilayah ekonomi,
pembangunan usaha mikro kecil dan menengah ditengah masyarakat dan peran
koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional.
Kelima,peningkatan peran dari DPRA dan DPRK untuk melahirkan produk hukum
(Qanun) yang mampu menjawab tatangan modernisme dan kearifan lokal. Serta
optimalisasi peran Mahkamah Syari’ah Aceh baik pada tingkat Provinsi-Kabupaten/Kota
sebagai medium untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan hukum di Nanggroe Aceh
Darussalam.
Pada akhirnya pemerintah harus benar-benar jeli dalam pelaksanaan otonomi
khusus yang telah diberikan melalui UUPA tersebut, jangan sampai 20 tahun berlalu dana
otsus terhenti, dan tidak ada perubahan berarti di Aceh, mencapai masyarakat madani
bukanlah sebuah mimpi, jika berbagai pihak serius bekerja dari nuranina untuk
kepentingan Bumi Serambi Mekkah ini, janga sampai pelaksanaan otsus di Aceh terjebak
dengan hal-hal yang sifatnya simbolik semata sehingga melupakan hal-hal yang lebih
substantif da mendesak untuk dikerjakan.
[1] Penulis adalah Wasana Praja (Praja tingkat akhir) pada Program S1 Jurusan Manajemen
Keuangan, IPDN
[2] Penulis adalah Wasana Praja (Praja tingkat akhir) pada Program S1 Jurusan Manajemen
Keuangan, IPDN
[3] Syahda Guru LS , Menimbang otonomi vs federal, PT.Remaja Rosdakarya Bandung:2000,
hal.184
[4] Ibid
[5] Aris Arif Mudayat. Ulema dan Uleebalang di Aceh! Konsistensi ideologi islam. Dalam kisah dari
kampung halaman, masyarakat suku, agama resmi dan pembangunan. Jakarta interfdei 1996.
Hal.206
[6] Syamsudin Haris et.al Indonesia di Ambanng Perpecahan, Jakarta: Erlangga. 1999, hal.43
[7] Sebutan bagi Prov.Aceh
[8] Lihat: Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU No. 11Tahun 2006
[9] Lihat: Pasal 75 sampai dengan Pasal 88 UU No. 11 Tahun 2006
[10] Lihat: Pasal 8 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006
[11] Lihat: Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006
[12] Lihat: Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2006
[13] Pasal 181 ayat (3) poin a UU 11 Tahun 2006
[14] Pasal 181 ayat (3) poin b UU 11 Tahun 2006
[15] Pasal 183 ayat (2) UU 11 Tahun 2006
[16] Pasal 182 UU 11 Tahun 2006
[17]http://regional.kompas.com/read/2011/12/09/11323574/Korupsi.di.Aceh.Mencengangkan..
[18] Pasal 246 Ayat (1), (2), (3), dan (4) UU No.11 Tahun 2006
[19] http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=26&notab=2
Berdasarkan nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang
ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005, Aceh diberi sebuah status khusus dalam Negara Republik
Indonesia. Dalam batas-batas tertentu, Pemerintah Aceh berwenang untuk mengatur dirinya sendiri yang
memiliki perbedaan dengan daerah otonomi lainnya di Indonesia.
Status khusus yang diperoleh Aceh diantaranya diperbolehkannya Aceh memiliki partai politik yang dilokalisir
keikutsertaannya dalam pemilu di wilayah Aceh dan juga diperbolehkannya Aceh untuk memiliki lambang,
bendera, dan lagu daerah yang berlaku secara khusus di Aceh.
Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman tersebut, maka Pemerintah Indonesia bersama-samadengan DPR
lalu mengundangkan UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada 1 Agustus 2006. Sebagaimana
dalam Nota Kesepahaman, UU Pemerintahan Aceh juga mengatur bahwa Aceh berhak memiliki Bendera,
Lambang, dan Himne tersendiri yang tidak boleh dianggap sebagai lambang kedaulatan Aceh.
Namun, pada 10 Desember 2007 pemerintah juga mengeluarkan PP No 77 Tahun 2007tentang Lambang Daerah.
Regulasi ini melarang bendera, lambang, dan himne daerah memiliki persamaan pada pokoknya atau secara
keseluruhan dengan bendera, lambang, dan himne organisasi terlarang atau
organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis.
Pada 25 Maret 2013, Pemerintah Aceh bersama-sama dengan DPR Aceh telah mengesahkan Qanun No 2 Tahun
2013 tentang Penetapan Bendera dan Lambang Aceh Aceh. Bendera dan Lambang Aceh yang disahkan dalam
qanun ini pada dasarnya adalah bendera dan lambang yang dahulu digunakan oleh Gerakan Aceh Merdeka.
Pengesahan Qanun ini segera menuai kontroversi, yang tidak hanya datang dengan pemerintah pusat, namun
juga datang dari masyarakat Aceh sendiri.
Pemerintah pusat termasuk beberapa elemen dalam masyarakat Aceh dan Indonesia dalam hal ini tetap
bersikeras bahwa qanun mengenai bendera dan lambang Aceh tidak boleh melanggar PP No 77 Tahun 2007.
Kementerian Dalam Negeri juga telah mengumumkan akan melakukan evaluasi terhadap Qanun Aceh yang
mengesahkan bendera dan lambang Aceh yang dianggap terafiliasi dengan Gerakan Separatis. Sementara itu,
Pemerintah Aceh seperti dikutip dari sejumlah media mengatakan penetapan lambang dan bendera ini sudah
sesuai dengan aturan perundangan yang ada.
Keberadaan PP No 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah sendiri merupakan turunan dari berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan pemerintahan daerah dan juga pemerintahan daerah yang menyandang
status khusus. Secara khusus, dalam penjelasan PP No 77 Tahun 2007 telah menunjuk bahwa “Yang dimaksud
dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis
dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi
Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua,
serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.”
Entah disengaja ataupun tidak oleh pemerintah pusat, namun PP ini menunjukkan secara khusus bahwa logo dan
bendera bulan sabit digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, dan hal inilah yang diperkirakan akan
membulatkan keputusan pemerintah pusat untuk membatalkan Qanun Aceh mengenai Bendera Aceh
Kontroversi ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak menyadari status khusus yang disandang
Aceh sejak ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka.
Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman tersebut, maka Gerakan Aceh Merdeka telah secara eksplisit
mengakui status Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki karakteristik
khusus dibanding daerah lain. Gerakan Aceh Merdeka beserta seluruh perangkat yang dimilikinya tidak lagi
dapat dipandang sebagai bagian dari gerakan separatis, apalagi Pemerintah Indonesia juga telah mengumumkan
berbagai program khusus termasuk Amnesti bagi para Beligeren tersebut.
Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman, maka Gerakan Aceh Merdeka tidak lagi berstatus sebagai
gerakan separatis atau gerakan yang dapat dipandang berkehendak untuk memisahkan Aceh dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab itu penggunaan segala lambang, logo, dan juga himne yang dahulu
digunakan oleh Gerakan Aceh Merdeka tidak lagi dapat dipandang secara hukum sebagai bagian dari eksistensi
sebuah gerakan separatis.
Tentu berbeda pemaknaan PP No 77 Tahun 2007 apabila Aceh berstatus khusus dengan Gerakan Aceh Merdeka
yang masih mengangkat senjata untuk memerdekaan Aceh. Untuk itu, ketentuan yang melarang penggunaan
segala bendera, lambang, dan himne yang menyerupai dengan sebuah gerakan separatis patut dilarang.
Pelarangan berdasarkan PP No 77 Tahun 2007 ini tentu berlaku bagi daerah yang berstatus khusus namun masih
menyimpan bara konflik politik seperti di Papua.
Tak ada yang salah dengan pengesahan Qanun tentang bendera dan lambang Aceh tersebut, yang penting
diperbaiki adalah cara kita memahami, memaknai, dan menafsirkan sebuah legislasi terkait situasi dan
kondisi terkini di daerah yang menyandang status khusus.
*) Blogger, pemerhati masalah-masalah otonomi khusus
Share:

More Related Content

What's hot

Implementasi pancasila dengan uud 1945
Implementasi pancasila dengan uud 1945Implementasi pancasila dengan uud 1945
Implementasi pancasila dengan uud 1945Iko Ishva
 
Kaidah kaidah fundamental negara
Kaidah kaidah fundamental negara Kaidah kaidah fundamental negara
Kaidah kaidah fundamental negara ABU SUFYAN
 
makalah konflik
makalah konflik makalah konflik
makalah konflik Dede Irawan
 
makna proklamasi kemerdekaan
makna proklamasi kemerdekaanmakna proklamasi kemerdekaan
makna proklamasi kemerdekaanAlifka Ramadhan
 
Kwn bab ii
Kwn bab iiKwn bab ii
Kwn bab ii07051994
 
Makalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusi
Makalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusiMakalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusi
Makalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusiOperator Warnet Vast Raha
 
Kewarganegaraan negara dan konstitusi Firdayanti
Kewarganegaraan  negara dan konstitusi FirdayantiKewarganegaraan  negara dan konstitusi Firdayanti
Kewarganegaraan negara dan konstitusi Firdayantifirdayanti8
 
Kewarganegaraan negara dan konstitusi hasriani
Kewarganegaraan  negara dan konstitusi hasrianiKewarganegaraan  negara dan konstitusi hasriani
Kewarganegaraan negara dan konstitusi hasrianiArdiMawardi1
 
IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN (PERMASALA...
IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN(PERMASALA...IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN(PERMASALA...
IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN (PERMASALA...Yani Antariksa
 
Makalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusi
Makalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusiMakalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusi
Makalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusiOperator Warnet Vast Raha
 
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIASEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIABayu Rizky Aditya
 

What's hot (13)

Implementasi pancasila dengan uud 1945
Implementasi pancasila dengan uud 1945Implementasi pancasila dengan uud 1945
Implementasi pancasila dengan uud 1945
 
Uud nri tahun 1945
Uud nri tahun 1945Uud nri tahun 1945
Uud nri tahun 1945
 
Kaidah kaidah fundamental negara
Kaidah kaidah fundamental negara Kaidah kaidah fundamental negara
Kaidah kaidah fundamental negara
 
makalah konflik
makalah konflik makalah konflik
makalah konflik
 
Bab UNDANG -UNDANG 1945
Bab UNDANG -UNDANG 1945Bab UNDANG -UNDANG 1945
Bab UNDANG -UNDANG 1945
 
makna proklamasi kemerdekaan
makna proklamasi kemerdekaanmakna proklamasi kemerdekaan
makna proklamasi kemerdekaan
 
Kwn bab ii
Kwn bab iiKwn bab ii
Kwn bab ii
 
Makalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusi
Makalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusiMakalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusi
Makalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusi
 
Kewarganegaraan negara dan konstitusi Firdayanti
Kewarganegaraan  negara dan konstitusi FirdayantiKewarganegaraan  negara dan konstitusi Firdayanti
Kewarganegaraan negara dan konstitusi Firdayanti
 
Kewarganegaraan negara dan konstitusi hasriani
Kewarganegaraan  negara dan konstitusi hasrianiKewarganegaraan  negara dan konstitusi hasriani
Kewarganegaraan negara dan konstitusi hasriani
 
IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN (PERMASALA...
IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN(PERMASALA...IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN(PERMASALA...
IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN (PERMASALA...
 
Makalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusi
Makalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusiMakalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusi
Makalah penyebab dan kosekuensi terjadinya perubahan konstitusi
 
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIASEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
 

Similar to Quo vadis otonomi khusus aceh

Studi syari'at Islam di Aceh Pasca Kemerdekaan
Studi syari'at Islam di Aceh Pasca KemerdekaanStudi syari'at Islam di Aceh Pasca Kemerdekaan
Studi syari'at Islam di Aceh Pasca KemerdekaanHumairaMuslim1
 
Analisis konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Republik Indonesia (RI)
Analisis konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Republik Indonesia (RI)Analisis konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Republik Indonesia (RI)
Analisis konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Republik Indonesia (RI)Ely Goro Leba
 
UPAYA LEGETIMASI SYARI’AT ISLAM DALAM HUKUM NASIONAL (Dialektika Sejarah UUD ...
UPAYA LEGETIMASI SYARI’AT ISLAM DALAM HUKUM NASIONAL (Dialektika Sejarah UUD ...UPAYA LEGETIMASI SYARI’AT ISLAM DALAM HUKUM NASIONAL (Dialektika Sejarah UUD ...
UPAYA LEGETIMASI SYARI’AT ISLAM DALAM HUKUM NASIONAL (Dialektika Sejarah UUD ...Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
 
pptx_20230218_044841_0000.pptx
pptx_20230218_044841_0000.pptxpptx_20230218_044841_0000.pptx
pptx_20230218_044841_0000.pptxAldozezearabLoss
 
Dialektika Sejarah UUD 1945 dan Piagam Jakarta
Dialektika Sejarah UUD 1945 dan Piagam JakartaDialektika Sejarah UUD 1945 dan Piagam Jakarta
Dialektika Sejarah UUD 1945 dan Piagam JakartaKurniawan Sukawangi
 
9 Tahun Keistimewaan Yogyakarta-tahun 2021
9 Tahun Keistimewaan Yogyakarta-tahun 20219 Tahun Keistimewaan Yogyakarta-tahun 2021
9 Tahun Keistimewaan Yogyakarta-tahun 2021damarjatisupardal71
 
PANCASILA_DALAM_KONTEKS_KETATANEGARAAN_R.pptx
PANCASILA_DALAM_KONTEKS_KETATANEGARAAN_R.pptxPANCASILA_DALAM_KONTEKS_KETATANEGARAAN_R.pptx
PANCASILA_DALAM_KONTEKS_KETATANEGARAAN_R.pptxivanagusta1
 
Dalam kesempatan kali ini kami berkesempatan untuk menyampaikan makalah denga...
Dalam kesempatan kali ini kami berkesempatan untuk menyampaikan makalah denga...Dalam kesempatan kali ini kami berkesempatan untuk menyampaikan makalah denga...
Dalam kesempatan kali ini kami berkesempatan untuk menyampaikan makalah denga...Septian Muna Barakati
 
Dinamika Sistem Pemerintahan Indonesia
Dinamika Sistem Pemerintahan IndonesiaDinamika Sistem Pemerintahan Indonesia
Dinamika Sistem Pemerintahan Indonesiarusdiman1
 
Aceh Mo U Indonesia
Aceh Mo U IndonesiaAceh Mo U Indonesia
Aceh Mo U Indonesiaomcivics
 
KONDISI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA BIDANG POLITIK, EKONOMI, SOSIAL BUDAYA D...
KONDISI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA BIDANG POLITIK, EKONOMI, SOSIAL BUDAYA D...KONDISI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA BIDANG POLITIK, EKONOMI, SOSIAL BUDAYA D...
KONDISI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA BIDANG POLITIK, EKONOMI, SOSIAL BUDAYA D...Irsal Shabirin
 
Pancasila dalam konteks sejarah perjuangan bangsa indonesia
Pancasila dalam konteks sejarah perjuangan bangsa indonesiaPancasila dalam konteks sejarah perjuangan bangsa indonesia
Pancasila dalam konteks sejarah perjuangan bangsa indonesiaYabniel Lit Jingga
 
Pancsila dalam konteks sejarah perjuangan bangsa
Pancsila dalam konteks sejarah perjuangan bangsaPancsila dalam konteks sejarah perjuangan bangsa
Pancsila dalam konteks sejarah perjuangan bangsaTrisna Karya
 

Similar to Quo vadis otonomi khusus aceh (20)

Pkn
PknPkn
Pkn
 
Studi syari'at Islam di Aceh Pasca Kemerdekaan
Studi syari'at Islam di Aceh Pasca KemerdekaanStudi syari'at Islam di Aceh Pasca Kemerdekaan
Studi syari'at Islam di Aceh Pasca Kemerdekaan
 
Analisis konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Republik Indonesia (RI)
Analisis konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Republik Indonesia (RI)Analisis konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Republik Indonesia (RI)
Analisis konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Republik Indonesia (RI)
 
kerucut.pptx
kerucut.pptxkerucut.pptx
kerucut.pptx
 
UPAYA LEGETIMASI SYARI’AT ISLAM DALAM HUKUM NASIONAL (Dialektika Sejarah UUD ...
UPAYA LEGETIMASI SYARI’AT ISLAM DALAM HUKUM NASIONAL (Dialektika Sejarah UUD ...UPAYA LEGETIMASI SYARI’AT ISLAM DALAM HUKUM NASIONAL (Dialektika Sejarah UUD ...
UPAYA LEGETIMASI SYARI’AT ISLAM DALAM HUKUM NASIONAL (Dialektika Sejarah UUD ...
 
pptx_20230218_044841_0000.pptx
pptx_20230218_044841_0000.pptxpptx_20230218_044841_0000.pptx
pptx_20230218_044841_0000.pptx
 
Dialektika Sejarah UUD 1945 dan Piagam Jakarta
Dialektika Sejarah UUD 1945 dan Piagam JakartaDialektika Sejarah UUD 1945 dan Piagam Jakarta
Dialektika Sejarah UUD 1945 dan Piagam Jakarta
 
Hukum
HukumHukum
Hukum
 
9 Tahun Keistimewaan Yogyakarta-tahun 2021
9 Tahun Keistimewaan Yogyakarta-tahun 20219 Tahun Keistimewaan Yogyakarta-tahun 2021
9 Tahun Keistimewaan Yogyakarta-tahun 2021
 
PANCASILA_DALAM_KONTEKS_KETATANEGARAAN_R.pptx
PANCASILA_DALAM_KONTEKS_KETATANEGARAAN_R.pptxPANCASILA_DALAM_KONTEKS_KETATANEGARAAN_R.pptx
PANCASILA_DALAM_KONTEKS_KETATANEGARAAN_R.pptx
 
Dalam kesempatan kali ini kami berkesempatan untuk menyampaikan makalah denga...
Dalam kesempatan kali ini kami berkesempatan untuk menyampaikan makalah denga...Dalam kesempatan kali ini kami berkesempatan untuk menyampaikan makalah denga...
Dalam kesempatan kali ini kami berkesempatan untuk menyampaikan makalah denga...
 
Dinamika Sistem Pemerintahan Indonesia
Dinamika Sistem Pemerintahan IndonesiaDinamika Sistem Pemerintahan Indonesia
Dinamika Sistem Pemerintahan Indonesia
 
Penjelasan RUU PA
Penjelasan RUU PAPenjelasan RUU PA
Penjelasan RUU PA
 
MoU Helsinki
MoU HelsinkiMoU Helsinki
MoU Helsinki
 
Aceh Mo U Indonesia
Aceh Mo U IndonesiaAceh Mo U Indonesia
Aceh Mo U Indonesia
 
KONDISI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA BIDANG POLITIK, EKONOMI, SOSIAL BUDAYA D...
KONDISI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA BIDANG POLITIK, EKONOMI, SOSIAL BUDAYA D...KONDISI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA BIDANG POLITIK, EKONOMI, SOSIAL BUDAYA D...
KONDISI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA BIDANG POLITIK, EKONOMI, SOSIAL BUDAYA D...
 
Pancasila dalam konteks sejarah perjuangan bangsa indonesia
Pancasila dalam konteks sejarah perjuangan bangsa indonesiaPancasila dalam konteks sejarah perjuangan bangsa indonesia
Pancasila dalam konteks sejarah perjuangan bangsa indonesia
 
Pancsila dalam konteks sejarah perjuangan bangsa
Pancsila dalam konteks sejarah perjuangan bangsaPancsila dalam konteks sejarah perjuangan bangsa
Pancsila dalam konteks sejarah perjuangan bangsa
 
Bab 2 kelas x
Bab 2 kelas xBab 2 kelas x
Bab 2 kelas x
 
Bab Tata Hukum Indonesia
Bab  Tata Hukum IndonesiaBab  Tata Hukum Indonesia
Bab Tata Hukum Indonesia
 

Quo vadis otonomi khusus aceh

  • 1. Quo Vadis Otonomi Khusus Aceh Peluang, Tatangan dan Gagasan Redesign (Oleh: Zulfikri Armada)[1] (Laode Syarif Indrawan)[2] Latar Belakang Sejarah Otsus Aceh Mesjid Raya Aceh Udeep saree matee syahid, hidup mulia atau mati syahid. Begitulah bunyi potongan sya’ir penuh makna yang dituliskan oleh penulis lepas Syaifuddin Abdullah. Potongan kata tersebut bukanlah pepesan kosong belaka, melainkan merupakan kristalisasi nilai yang benar-benar dihayati dan menjadi pegangan hidup rakyat Aceh. Hal tersebut dapat kita saksikan dalam sejarah betapa teguhnya rakyat Aceh dalam mempertahankan eksistensi kedaulatan Aceh dan Republik Indonesia. Aceh dalam akar sejarahnya dikenal sebagai “bangsa” yang teguh mempertahankan kedaulatannya dari kolonialisme Belanda dan Inggris. Paska ditandatanganinya Trety of Sumatera (1871)[3] yang berisikan penyerahan Aceh dari Inggris kepada Belanda yang berbuah perang panjang 1873-1914, pergolakan demi pergolakan terus dilakukan guna mengusir para penjajah. Puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah Indonesia menyatakan merdeka, residen Teungku Nyak arief dan Teungku Daud Beureh sepakat untuk menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.[4] Kemudian, terjadi beberapa perselisihan akibat ketidakpuasan atas keputusan politik Republik Indonesia dibawah kabinet Hatta, benih gerakan separatispun tumbuh, Daud Beureh menggabungkan diri sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, dikarenakan rasa kecewa elit Aceh atas keputusan “politik Jakarta” yang hanya menjadikan aceh daerah setingkat Kabupaten dibawah Prov.Sumut, sehingga demikian secara yuridis otomatis Prov.Aceh dibubarkan begitu saja. Pilihan memberikan otonomi khusus sebagai affirmative action pun dilakukan guna meredam konflik dan mengakomodir aspirasi masyarakat Aceh, genjatan senjata dilakukan dengan syarat Aceh tidak hanya dijadikan daerah Provinsi tapi lebih dari itu yaitu diakui sebagai Negara Bagian Aceh (NBA). Pendukung NBA ini antara lain adalah
  • 2. Hasa Ali, Hasan Saleh, dan Ishak Amin. Mereka bersepakat dengan wakil pemerintah yaitu Ali Hasjmy, Gaharu, dan Muhammad Insja (kepala polisi). Merapa sepakat dengan tiga tujuan utama yaitu 1) Memajukan Islam: 2) Membangun Aceh dalam arti luas: 3) Berusaha sekuat tenaga untuk memberikan kemakmuran dan kebahagiaan kepada rakyat Aceh.[5] Kesepakatan tersebut setelah dilakukan beberapa penyesuaian akhirnya diberikan landasan yuridis dengan diterbitkannya Keputusan Wakil Perdana Menteri RI No.1/Misi/1959 tanggal 31 Mei 1959, yaitu dengan pembentukan daerah Istimewa Aceh berdasarkan UU No.1 tahun 1957 yang menganut otonomi yang seluas-luasnya terutama di bidang agama, pendidikan, dan adat[6] Akan tetapi pada perjalanannnya pemberian otonomi tersebut tidak efektif pelaksanaannya, karena pada dekade 60’an NKRI disibukkan dengan pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda dan konfrontasi Ganyang Malaysia yang memberikan Presiden Soekarno common enemy untuk diberantas sehingga konsentrasi kewenangan secara de facto tertumpu di tangan Presiden Soekarno, yang pada gilirannya mengakibatkan pelaksanaan otonomi daerah menjadi bias. Puncaknya pada era Orde Baru pemerintahan Presiden Soeharto menerbitkan UU No.5 tahun 1974 yang justru memperteguh sistem pemerintahan sentralistik di Indonesia sehingga mematikan inisiatif, membelengu kewenangan, membunuh kearifan adat istiadat lokal yang dipaksakan untuk menjadi seragam. Akumulasi dari kekecewaan atas kebijakan tersebut maka pada tanggal 4 Desember 1976 Hasan Tiro memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka. Pasca berakhirnya rezim orde baru dan lahirnya reformasi. Pemerintah mulai menyadari bahwa bukanlah jalan yang tepat untuk mengatur wilyah otonom di Republik ini dengan seragam. Oleh karena itu lahirlah UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, kemudian khusus untuk kasus Papua dan Aceh beberapa ketetapan MPR mengamanatkan kedua daerah itu diberlakukan otonomi khusus. Untuk memenuhi amanat itu, maka pada tahun 2001 ditetapkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh dan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Implementasi otonomi khusus di Aceh menarik untuk bersama kita kaji karena pada proses pelaksaanya UU No.18 tahun 2001 belum mampu meredam konflik dan perlawanan yang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, berbarengan dengan momentum natural turbulance yaitu tragedi tsunami yang meluluhlantakan Bumi Seurambi Mekah[7], sadar bahwa tindakan represif melalui penetapan DOM (Daerah Oprasi Militer) gagal menyelesaikan akar permasalahan seperatisme di aceh, pemerintah RI mengubah pendekatan penyelsaian konflik dengan GAM, yaitu dengan kembali melakukan perundingan dan dialog. Dari serangkaian perundingan yang dilakukan sejak pengesahan UU No 18 tahun 2001, pada akhirnya pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia, akhirnya kelaurkan kata mufakat dengan ditanda tanganinya Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM. Salah satu klausul kesepakatan itu, materi MoU Helsinki akan dituangkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UU PA).
  • 3. Untuk memenuhi klausul di atas, maka pada 11 Juli 2006 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh menjadi undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ( UUPA ) UUPA sendiri terdiri dari 40Bab dan 273 Pasal. Berikut ini beberapa kekhususan pengaturan yang terdapat pada UUPA, antara lain: 1. Kewenangan Khusus, 2. Lembaga di Daerah, 3. Gubernur Aceh, 4. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Kabupaten/Kota ( DPRA/K ), 5. Partai Politik Lokal, 6. Wali Nanggroe, 7. pengakuan terhadap Lembaga Adat, 8. Syari’at Islam, 9. Mahkamah Sya’iyah, 10.Pengadilan HAM di Aceh, 11. Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) di Aceh, 12. Pengelolaan Sumber Daya Alam, 13. Keuangan, 14. Pertanahan. Landasan dan Urgensi Otonomi Khusus Aceh Bila kita baca kembali Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) tersebut, setidaknya terdapat lima alasan yang melatarbelakangi keputusan untuk pemberlakuan undang-undangan ini, yaitu: 1. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang; 2. bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi; 3. bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 4. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; dan 5. bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desentralisasi asimetris yang dikenal dengan sebutan otsus dan daerah istimewa merupakan pola relasi unik antara pemerintah pusat dan daerah karena sebab-sebab khusus. Sebuah daerah menerima wewenang, lembaga, dan keuangan yang berbeda
  • 4. dengan daerah lain. Pola relasi ini lazim terjadi dalam negara kesatuan. Indonesia mempraktikkannya sejak 1950 ketika mengatur Yogyakarta. Hanya saja, asimetrisme yang telah diberi ruang dalam semua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia tidak menunjukkan perkembangan berarti di masa Orde Baru. Tuntutan asimetrisme menguat sebagai alternatif sejak Reformasi. Apalagi setalah dilakukannya Amandemen UUD 1945 oleh MPR, khususnya pada pasal-pasal yang mengatur tentang pola hubungan pemerintah dan pemerintah daerah. Perubahan pada pasal 18 UUD 1945 memberikan perubahan yang fudamental baik secara struktur dan prosedur pelaksanaan hubungan kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Negara mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khsusus dan istimewa {Pasal 18 B ayat (1) } beserta kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya {Pasal 18B ayat (2) }. Akan tetapi tetap menjadi bagian yang hirarkis dan menyatu sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia {Pasal 1 ayat (1) }. Lahirnya Undang-Undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan satu momentum sejarah yang cukup penting dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya bagi masyarakat Aceh, karena dengan Undang-Undang ini kita sama-sama berharap dapat mengakhiri konflik berdarah dari gerakan separatisme yang sudah menyengsarakan seluruh pihak, sehingga terbuka kembalilah pintu menuju perdamaian yang hakiki di Aceh, terciptanya masyarakat yang madani, adil, bermatabat dan sejahtera, sekaligus sebagai wahana pelaksanaan pembangunan yang dahulu semat terpinggirkan. UUPA sejauh ini cukup sukses dalam menyelesaikan permasalahan separatisme di Aceh, hal ini dapat kita lihat setelah adanya Otsus yang diberikan melalu UUPA, terjadi transformasi, kekuatan GAM ke dalam struktur pemerintahan modern dalam NKRI yang buahnya adalah peningkatan integrasi dan sinergitas bersama seluruh elemen. Dan tentu saja seluruh masyarakat Aceh berharap bahwa dengan adanya UUPA mampu menjadi titik pijak/fondasi untuk menciptakan Aceh yang sejahtera, coba saja kita bandingkan dengan UU Otsus Papua yang hingga saat ini masih belum mampu menjawab tuntutan pemenuhan pembangunan dan kesejateraan masyarakat serta penghapusan gerakan separatisme OPM. Kemudian dalam urgensitas dalam aspek percepatan pembangunan maka pemberian kewenangan yang besar ini berakibat pula dengan perubahan pola financieele verhouding (perimbangan keuangan) maka secara logis otonomi khusus yang diberikan dibaregi pula dengan hubungan keuangan, yang kongkritnya Negara menyediakan sebesar 2% dari DAU Nasional selama 15 tahun dan 1% DAU Nasional untuk 5 tahun berikutnya dalam jangka waktu 20 tahun sebagaimana tersebut dalam Pasal 183 UU No. 11 Tahun 2006 untuk Pemerintah Aceh, ini merupakan kesempatan yang sangat besar bagi Aceh untuk merealisasikan percepatan pembangunan tersebut melalui program prioritas yang telah diamanatkan oleh undang-undang. Program prioritas tersebut adalah pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan
  • 5. ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan. Kekhususan Provinsi Aceh, Peluang dan Tantangan. Ada beberapa kekhususan yang menurut penulis sangat berbeda dengan daerah lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain akan penulis bagi menjadi berberapa dimensi, antara lain: Pertama, dalam dimensi sosial dan agama Provinsi Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan berdasarkan Qanun[8]. Qanun itu sendiri merupaka produk hukum setingkat Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan. Pemberian kewengan khusus untuk mengimplementasikan syariat islam bagi para pemeluk agama islam di Aceh, merupakan tuntutan klasik dari masa pemberontakan Daud Bereuh hingga masa GAM, akhirnya dapat diakomordir oleh UUPA ini, dan tentu saja pelaksanaanya harus sesuai dengan kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. nilai-nilai tradisional dan nilai modern di Aceh terbukti dapat berdampingan satu sama lain. Walaupun Aceh merupakan daerah yang identik dengan tradisionalisme yang menguat dari budaya berdasarkan syariat Islam, namun keterbukaan terhadap pengaruh modern negara-negara maju semenjak bencana tsunami mulai meningkat, sehingga penerapan syariat islam sebagai sistem nilai di Aceh diharapakan dapat mengakselerasi konstruksi bangunan hukum dan keadilan di Aceh, kemudian yang harus diperhatikan lagi ialah posisi Qanun aceh dalam tata urutan peraturan perundang- undangan di Indonesia, jangan samapai terjadi tumpang tindih dan kontradiksi dengan peraturan diatasnya, karena bagaimanapun, Aceh sebagai bagian integral yang tidak terpisahkan dari NKRI harus tetap tunduk kepada Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan filsafat bangsa dan hukum tertinggi yang harus dipatuhi. Kedua, dalam dimensi politik dan pemerintahan, Pemerintah Aceh dberikan kewenangan untuk dapat membentuk partai lokal yang memiliki hak antara lain; mengikuti Pemilu untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; mengusulkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota di Aceh[9]. Kemudian dalam hal penetapan kebijakan Pemerintah pusat yang berkaitan langsung dengan kepentingan Provinsi Aceh maka harus melalui proses konsultasi, yaitu konsultasi dan pertimbangan DPRA dalam hal pembetukan UU
  • 6. oleh DPR-RI[10], kemudian dalam hal kebijakan administratif yang berkaitan langsung Pemerintahan Aceh melalui konsultasi dan pertimbangan Gubernur[11]. Yang harus digaris bawahi adalah kewengan DPRA dan Gubernur tersebut hanyalah sebatas sifatnya konsultatif dan pertimbangan, untuk penentuan kebijakan finalnya tetap harus dipegang oleh pemerintah pusat, karena pada hakikatnya Pemerintahan Aceh sebagai bagian yang hirarkis didalam NKRI tidak memiliki Pouvior constituent, yaitu kewenagan untuk membentuk UUD sendiri dan membentuk organisasi pemerintahan secara mandiri, oleh karena itu segala sesuatu tetap berada dibawah dan diatur oleh pemerintah pusat dan tunduk pada tata urutan hiraki perundang-undagan sebagai bentuk konsistensi penyelenggaraan bentuk negara kesatuan di Indonesia, kewenangan yang besar ini kita harapakan mampu menjadi medium sinkronisasi pembangunan antara pusat dan daerah, bukan justru malah kontraproduktif dan menghambat proses percepatan pembangunan nasional khususnya di Aceh. Konsep pemberian kewengan untuk membuat partai lokal di Aceh tentu saja membawa warna baru dalam perjalanan sejarah Negara kita, betapa desain otonomi asimetrik melalui UU No.11 tahun 2006 memberikan kewenagan yang sangat luas bagi suatu daerah. Kemudian hal positif yang dapat kita cermati adalah melalui UUPA ini terjadi transformasi kekuatan yang semulanya mengidentifikasikan dirinya kedalam gerakan separatis, mengangkat senjata dan bersembunyi digunung, kini telah bermetamorfosa menjadi masyarakat yang demokratis, yang membawa perubahan aras “pertarungan” kekuasaan yang semulanya melalui senjata kini beralih melalui medium bilik suara, yang dilakukan secara LUBER dan JURDIL setiap 5 tahun sekali. Adapun kesuksesan Partai Aceh sebagai sentra kekuatan politik di Aceh adalah sebuah kewajaran karena tentu saja simpatisan GAM akan berafiliasi dan menjadi kader dan mesin politik utama Partai Aceh, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan penigkatan budaya politik yang lebih partisipatif dan terbuka maka peta kekuatan politikpun dinamikanya akan menjadi lebih baik tanpa terkukung dengan satu kekuatan saja. Kekhawatiran atas kecendurangan untuk bertahannya sifat paternalistik dan menguatnya elitisme lokal yang bersandar pada tokoh-tokoh lokal, serta praktik money politik, tentunya dapat kita reduksi sedemikian rupa, jika kita kembali bersandar kepada pasal 77, 78 dan 79 UU 11/2006 tentang kedudukan, tujuan dan fungsi partai politik lokal Aceh, dengan menciptakan pendidikan politik masyarakat dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila menuju kesejahteraan. Ketiga, dalam dimensi kelembagaan, Pemerintah Aceh dibagi kedalam kabupaten/kota, kecamatan, mukim, kelurahan dan gampong. Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lainnya. Sedangkan kelurahan dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim[12]. terdapat institusi atau lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh, Kabupaten/Kota dan DPRA/DPRK. Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat
  • 7. Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai penegak Syari’at Islam. Dalam dimensi kelembagaan ini harus difahami bahwa organisasi tersebut muncul dan dibentuk atas kewenangan mandiri, akan tetapi diatur dalam UUPA yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Diharapkan dengan struktur organisasi pemerintahan aceh dewasa ini yang didesainuntuk mampu mengawinkan pola kelembagaan tradisional dan sitem kerja organisasi modern, mampu mengikat simpul-simpul kekuatan sosial-masyarakat, penguasa dan para ulama untuk bisa bersinergi dengan baik. Yang harus diperhatikan ialah jangan sampai lembaga-lembaga yang ada hanya hadir sebagai suatu struktur yang hanya ada secara fisik tetapi secara defacto tidak memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan tugas dan tanggungjawabnya, yang pada ujung-ujungnya hanya sekedar menggerus kuota anggaran belanja tidak langsung di APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh) yang isinya hanya pengalokasian belanja-belanja rutin aparatur, dan akhirnya pembangunan infrasturuktur dan program-program untuk mengatrol kesejahteraan rakyat menjadi dinomorduakan. Keempat, dalam dimensi keuangan. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan subsitem keuangan negara sebagai konsekuensi terhadap penyerahan-pelimpahanan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Pemberian sumber keuangan negara ini dilaksanakan berdasarkan stabilitas dan keseimbangan fiskal nasional. Pendanaan ini merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelanggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Atas dasar tersebutlah makan dalam UUPA juga diatur mengenai perimbangan keuangan pusat-daerah yang asimetris pula. Bagian desetralisasi asimetrik dalam dimensi fiskal ini menjadi sangat penting karena posisinya dalam organisasi pemerintahan sebagai bahan bakar untuk menjalankan mesin pemerintahan, tanpa ada desentralisasi asimetrik dalam konteks fiskal, maka pemerintahanpun tidak dapat dapat berjalan dengan baik. Adapun suntikan dana dari pemerintah kepada pemertahan aceh antaralain sebagai berikut: 1. Adanya tambahan Dana Bagi Hasil Pertambangan Minyak Bumi. Jika pada UU No. 18 Tahun 2001, dana ini, yang disebut sebagai “tambahan penerimaan Provinsi NAD dari hasil SDA di wilayah Provinsi NAD setelah dikurangi pajak”, besarnya 55% dan akan menjadi 35% mulai tahun ke-9 setelah pelaksanaan UU, dalam UU No. 11 Tahun 2006 diubah menjadi flat 55% tanpa dibatasi waktu[13]; 2. Adanya tambahan Dana Bagi Hasil Pertambangan Gas Bumi. Jika pada UU No. 18 Tahun 2001, dana ini, yang disebut sebagai “tambahan penerimaan Provinsi NAD dari hasil SDA di wilayah Provinsi NAD setelah dikurangi pajak” besarnya 40% dan akan menjadi 20% mulai tahun ke-9 setelah pelaksanaan UU, dalam UU No. 11 Tahun 2006 diubah menjadi flat 40 % tanpa dibatasi waktu[14].
  • 8. 3. Adanya Dana Alokasi Khusus selama tahun ke-1 sampai tahun ke-15 dengan besaran 2% dari plafon DAU Nasional dan akan turun menjadi 1% setelah tahun ke-16 sampai tahun ke-20[15]. 4. Sebagian pendapatan Pemerintah yang berasal dari BUMN yang hanya beroperasi di Aceh, dengan besaran yang ditentukan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Aceh. 5. Pengelolaan dana-dana bagi hasil diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Aceh dan tidak diatur secara rinci pembagiannya hingga ke daerah kabupaten/kota, kecuali untuk penggunaannya. Untuk tambahan Dana Bagi Hasil migas, sebesar 30% ditetapkan untuk pembiayaan pendidikan di Aceh dan 70% untuk program pembangunan yang disepakati Provinsi dan Kabupaten/Kota[16]. Mengutip perktaaan Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupts abslutly, oleh karena itu pemberian kewenangan yang besar disertai dengan penggelontaran sumberdaya financial yang besar, maka tidak ada pilihan lain kecuali memperketat pengawasan serta memperjelas prosedur dan batasan kewenangan dalam mengelola sumberdaya keuangan ini. Hal ini wajib dilakukan mengingat angka dugaan korupsi di Aceh ternyata sangat fantastis. Selama tahun 2011 terdapat 122 kasus dugaan korupsi yang terjadi di Aceh, dan potensi kerugian negara yang ditimbulkanpun tak main- main yaitu mencapai Rp 1,7 triliun. Angka tersebut menempatkan Aceh ke dalam lima besar daerah penyumbang kerugian negara terbesar akibat korupsi di Indonesia[17]. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain selain meningkat pengawasan pengelolaan anggaran, mendorong akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana oleh Pemerintah baik pada tingkat Kab/Kota hingga tingkat Provinsi di Aceh merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar jika memang ingin otsus ini dapat membawa Aceh menjadi Provinsi yang madani. Kemudian kami berpendapat bahwa pemberian kewangan yang begitu besar dalam hak pengelolaan keuangan dari hasil tabang dan gas bumi di aceh, bisa memacing kecemburuan antar daerah lain yang jugan memiliki sumberdaya alam yang tak kalah potensialnya seperti Riau dan Kalimantan Timur. Kebijakan “menganak emaskan” Aceh ini dapat memicu daerah lain untuk menuntut pemberlakuan otonomi khusus yang sama, karena konstitusi kita memungkinkan hal tersebut terjadi jangan sampai hal ini memancing konflik vertikal antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Hal lain yang harus dicermati adalah dana otonomi khusus yang dinakmati Pemprov Aceh bukanlah sesuatu yang sifatnya abadi, 20 tahun semenjak otosus diberikan maka penggelonotran dana stimulus tersebut akan diberhentikan, padahal faktanya APBA (APBD Provinsi) dan APBK (APBD Kab/Kota) strukturnya masih didominasi oleh dana otsus. Oleh sebab itu Aceh harus cepat tanggap untuk tidak tergantung dengan dana otsus tersebut, dana otsus harus dialokasikan untuk pembangunan infrasturuktur dan pembangunan ekonomi yang dapat menggerakan roda perekonomian di Aceh. Jika Pemerintah Aceh terlena untuk terus-terusan memanfaatkan
  • 9. dana otsus untuk sekedar belanja aparatur dan belanja-belanja tidak langsung, maka impian menuju Aceh yang aman dan sejahtera akan memudar. Kecenderugan Otsus Aceh, Dilema Prioritaskan Simbol atau Substansi? Otonomi khusus Aceh yang ditasbihkan melalui UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan momentum bagi masyarakat aceh untuk mmengejar kertetnggalan yang terjadi selama ini akibat koflik dan gerakan separatisme yang mengganngu dinamika pembangunan di daerah tersebut. Memasuki babak baru pasca disepakatinya MoU antara Pemerintah Indonesia dan Agam, kita berharap seluruh elemen masyarakat segera bertransformasi menjadi bagian integral dari NKRI, menjadi masyarakat yang demokratis, adil, sejahtera, serta mampu menjembatani nilai-nilai kearifan tradisional dan syariat islam dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang modern. Delapan (8) tahun pelaksanaan otsus di Aceh, kita dapat mencermati satu hal yang cukup mencolok yaitu betapa pemrintahan Aceh masih sibuk berkutat dengan kewenangan-kewenangan yang bersifat simbolik sehingga menduakan kepentingan- kepentingan masyarakat yang lebih urgen. Kita dapat berkaca pada kasus Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh yang masih belum ada titik temu hingga saat ini. Memang pada dasarnya UU No.11 tahun 2006 memberikan kewenangan kepada Pemprov Aceh untuk dapat Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh, lambang daerah, serta himne daerah sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan[18]. Akan tetapi yang disayangka adalah penetapan Bendera Aceh tersebut menimbulkan polemik yang berkepanjangan karena identik dengan bendera gerakan separatis GAM. Mendagri dan elit pusat dibuat harus bekerja ekstra untuk menetralisir permalasalahan ini. Kemelud seperti ini hanya menghabiskan energi yang seharusnya dapat digunakan untuk pelaksanaan tugas dan tanggungjawab yang timbul akibat pemberian kewenangan otsus yang jauh lebih substansial, seperti percepatan pembangunan, pemerataan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan. Salah satu indikator bahwa Otsus masih belum dijalankan secara substansial adalah angka jumlah penduduk miskin yang tak kunjung terjadi perubahan yang berarti. Sesuai data BPS, tingkat kemiskinan Aceh pada Maret 2012 adalah 19,46% di atas rata-rata kemiskinan nasional sebesar 12,36 %. Jumlah penduduk miskin cenderung meningkat dari 861.000 jiwa pada tahun 2010 menjadi 900.000 jiwa pada tahun 2011. BPS juga mengungkapkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Aceh pada tahun 2010 yang mencapai angka 8,60 %, lebih tinggi dari angka pengangguran Indonesia sebesar 7,41 % dan bahkan Papua (4,08 %) dan Papua Barat (7,77 %). Alhasil, pertumbuhan ekonomi Aceh pada tahun 2012 pun mengalami penurunan. Berdasarkan data BPS Aceh, pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan III tanpa migas turun menjadi 1,53 % dari triwulan II yang mencapai 2,05 %. Padahal seyogyanya kewenangan dana yang
  • 10. begitu besar dapat digunakan oleh Pemerintah daerah untuk mengakselerasi pertumbuhan dan pemerataan kesejahteraan, hal seperti inilah yang seharusnya menjadi skala prioritas untuk segera dibenahi, bukan justru terjebak dengan perseteruan bendera, lambang dan himne daerah yang lebih bersifat simbolik tersebut. Salah satu contoh kongkret lainnya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Data BPS menunjukkan bahwa IPM Aceh mengalami peningkatan, namun laju perkembangannya masih tertinggal dari IPM Nasional. Pada tahun 2010, selisih IPM Aceh dengan IPM Nasional adalah 0,57 poin. Pada tahun 2011, meningkat sebesar 0,61 poin, hingga pada tahun 2012 selisih IPM Aceh dan Nasional mencapai 0,78 poin. Ini artinya tren perkembangan IPM Aceh semakin tertinggal jauh dibandingkan dengan IPM nasional[19]. Beberapa indikator diatas cukup untuk menohok Pemerintah daerah aceh untuk kembali serius membenahi hal-hal yang lebih substansial ketimbang mempersoalkan hal- hal yang sifatnya simbolik semata. Gagasan Redesign Otonomi Khusus Aceh Ada beberapa hal yang layak untuk kita lakukan guna mengoptimalkan jalanya otonomi khusus baik di aceh, papua maupun dearah lainnya. Yangpertama, pemerintah pusat perlu membuat regulasi yang tegas terhadap standariasasi pola koordinasi, hubungan kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten kota dibawahnya, sehingga relasi dalam membangun kemitraan guna penyusunan program kerja dan kebijakan menjadi lebih komperhensif, serta mencegah ke-otriterisme pemerintah provinsi untuk bersikap lebih superior dan sentralisti. Kedua, Pengawasan atas penggunaan kewenangan dan dana sebgai implikasi dari otsus harus ditingkatkan, kami mengusulkan untuk dibentuk direktorat khusus di KPK yang konsen mengawasi daerah otonom khusus sehingga kebocoran anggaran dapat diminimalisir, hal ini sejalan dengan tugas KPK yang tidak hanya bergerak dihulu (penangkapan dan penyidikan) saja, tetapi juga bertanggung jawab dalam hal koordinasi dan supervisi pemberantasan korupsi. Ketiga perlu dipertimbangkannya untuk membuat sebuah lembaga sementara (ad hoc) yang memiliki tugas dan fungsi sebagai lembaga konsultatif bagi pemerintah daerah yang diberikan otonomi khusus, lembaga ini bertugas untuk membantu pembenahan birokrasi pada level provinsi maupun kabupaten kota, sehingga mampu menghadirkan model birokrasi yang modern yang adaptif dengan kearifan lokal. Birokrasi yang mumpuni merupakan salah satu faktor penting dalam kesuksesan pelaknaan otonomi khusus, tanpa adanya birokrasi yang modern dan sehat, maka koodinasi antar lembaga pemerintah maupun dengan aktor non-pemerintah (swasta) akan terhambat, yang eksesnya adalah kemandulan dalam membuat inofasi dan gebrakan percepatan pembangunan prioritas yang dimanatkan oleh UU Pemerintahan Aceh.
  • 11. Keempat, perlu dikeluarkan regulasi pelksana yang mampu memberikan arah kebijakan pengelolaan anggaran secara tuntas dan jelas, sehingga pembagian sumberdaya keuangan serta pemanfaatannya antar pemerintah provinsi-kabupaten/kota dapat teraksana dengan baik. Pemanfaatan dana otsus harus didorong kepada investasi sumber daya manusia (pendidikan dan pelatihan), pembangunan wilayah ekonomi, pembangunan usaha mikro kecil dan menengah ditengah masyarakat dan peran koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Kelima,peningkatan peran dari DPRA dan DPRK untuk melahirkan produk hukum (Qanun) yang mampu menjawab tatangan modernisme dan kearifan lokal. Serta optimalisasi peran Mahkamah Syari’ah Aceh baik pada tingkat Provinsi-Kabupaten/Kota sebagai medium untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan hukum di Nanggroe Aceh Darussalam. Pada akhirnya pemerintah harus benar-benar jeli dalam pelaksanaan otonomi khusus yang telah diberikan melalui UUPA tersebut, jangan sampai 20 tahun berlalu dana otsus terhenti, dan tidak ada perubahan berarti di Aceh, mencapai masyarakat madani bukanlah sebuah mimpi, jika berbagai pihak serius bekerja dari nuranina untuk kepentingan Bumi Serambi Mekkah ini, janga sampai pelaksanaan otsus di Aceh terjebak dengan hal-hal yang sifatnya simbolik semata sehingga melupakan hal-hal yang lebih substantif da mendesak untuk dikerjakan. [1] Penulis adalah Wasana Praja (Praja tingkat akhir) pada Program S1 Jurusan Manajemen Keuangan, IPDN [2] Penulis adalah Wasana Praja (Praja tingkat akhir) pada Program S1 Jurusan Manajemen Keuangan, IPDN [3] Syahda Guru LS , Menimbang otonomi vs federal, PT.Remaja Rosdakarya Bandung:2000, hal.184 [4] Ibid [5] Aris Arif Mudayat. Ulema dan Uleebalang di Aceh! Konsistensi ideologi islam. Dalam kisah dari kampung halaman, masyarakat suku, agama resmi dan pembangunan. Jakarta interfdei 1996. Hal.206 [6] Syamsudin Haris et.al Indonesia di Ambanng Perpecahan, Jakarta: Erlangga. 1999, hal.43 [7] Sebutan bagi Prov.Aceh [8] Lihat: Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU No. 11Tahun 2006 [9] Lihat: Pasal 75 sampai dengan Pasal 88 UU No. 11 Tahun 2006 [10] Lihat: Pasal 8 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 [11] Lihat: Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006 [12] Lihat: Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2006 [13] Pasal 181 ayat (3) poin a UU 11 Tahun 2006
  • 12. [14] Pasal 181 ayat (3) poin b UU 11 Tahun 2006 [15] Pasal 183 ayat (2) UU 11 Tahun 2006 [16] Pasal 182 UU 11 Tahun 2006 [17]http://regional.kompas.com/read/2011/12/09/11323574/Korupsi.di.Aceh.Mencengangkan.. [18] Pasal 246 Ayat (1), (2), (3), dan (4) UU No.11 Tahun 2006 [19] http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=26&notab=2 Berdasarkan nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005, Aceh diberi sebuah status khusus dalam Negara Republik Indonesia. Dalam batas-batas tertentu, Pemerintah Aceh berwenang untuk mengatur dirinya sendiri yang memiliki perbedaan dengan daerah otonomi lainnya di Indonesia. Status khusus yang diperoleh Aceh diantaranya diperbolehkannya Aceh memiliki partai politik yang dilokalisir keikutsertaannya dalam pemilu di wilayah Aceh dan juga diperbolehkannya Aceh untuk memiliki lambang, bendera, dan lagu daerah yang berlaku secara khusus di Aceh. Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman tersebut, maka Pemerintah Indonesia bersama-samadengan DPR lalu mengundangkan UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada 1 Agustus 2006. Sebagaimana dalam Nota Kesepahaman, UU Pemerintahan Aceh juga mengatur bahwa Aceh berhak memiliki Bendera, Lambang, dan Himne tersendiri yang tidak boleh dianggap sebagai lambang kedaulatan Aceh. Namun, pada 10 Desember 2007 pemerintah juga mengeluarkan PP No 77 Tahun 2007tentang Lambang Daerah. Regulasi ini melarang bendera, lambang, dan himne daerah memiliki persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan dengan bendera, lambang, dan himne organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis. Pada 25 Maret 2013, Pemerintah Aceh bersama-sama dengan DPR Aceh telah mengesahkan Qanun No 2 Tahun 2013 tentang Penetapan Bendera dan Lambang Aceh Aceh. Bendera dan Lambang Aceh yang disahkan dalam qanun ini pada dasarnya adalah bendera dan lambang yang dahulu digunakan oleh Gerakan Aceh Merdeka. Pengesahan Qanun ini segera menuai kontroversi, yang tidak hanya datang dengan pemerintah pusat, namun juga datang dari masyarakat Aceh sendiri. Pemerintah pusat termasuk beberapa elemen dalam masyarakat Aceh dan Indonesia dalam hal ini tetap bersikeras bahwa qanun mengenai bendera dan lambang Aceh tidak boleh melanggar PP No 77 Tahun 2007. Kementerian Dalam Negeri juga telah mengumumkan akan melakukan evaluasi terhadap Qanun Aceh yang mengesahkan bendera dan lambang Aceh yang dianggap terafiliasi dengan Gerakan Separatis. Sementara itu, Pemerintah Aceh seperti dikutip dari sejumlah media mengatakan penetapan lambang dan bendera ini sudah sesuai dengan aturan perundangan yang ada. Keberadaan PP No 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah sendiri merupakan turunan dari berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemerintahan daerah dan juga pemerintahan daerah yang menyandang status khusus. Secara khusus, dalam penjelasan PP No 77 Tahun 2007 telah menunjuk bahwa “Yang dimaksud
  • 13. dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.” Entah disengaja ataupun tidak oleh pemerintah pusat, namun PP ini menunjukkan secara khusus bahwa logo dan bendera bulan sabit digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, dan hal inilah yang diperkirakan akan membulatkan keputusan pemerintah pusat untuk membatalkan Qanun Aceh mengenai Bendera Aceh Kontroversi ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak menyadari status khusus yang disandang Aceh sejak ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman tersebut, maka Gerakan Aceh Merdeka telah secara eksplisit mengakui status Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki karakteristik khusus dibanding daerah lain. Gerakan Aceh Merdeka beserta seluruh perangkat yang dimilikinya tidak lagi dapat dipandang sebagai bagian dari gerakan separatis, apalagi Pemerintah Indonesia juga telah mengumumkan berbagai program khusus termasuk Amnesti bagi para Beligeren tersebut. Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman, maka Gerakan Aceh Merdeka tidak lagi berstatus sebagai gerakan separatis atau gerakan yang dapat dipandang berkehendak untuk memisahkan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab itu penggunaan segala lambang, logo, dan juga himne yang dahulu digunakan oleh Gerakan Aceh Merdeka tidak lagi dapat dipandang secara hukum sebagai bagian dari eksistensi sebuah gerakan separatis. Tentu berbeda pemaknaan PP No 77 Tahun 2007 apabila Aceh berstatus khusus dengan Gerakan Aceh Merdeka yang masih mengangkat senjata untuk memerdekaan Aceh. Untuk itu, ketentuan yang melarang penggunaan segala bendera, lambang, dan himne yang menyerupai dengan sebuah gerakan separatis patut dilarang. Pelarangan berdasarkan PP No 77 Tahun 2007 ini tentu berlaku bagi daerah yang berstatus khusus namun masih menyimpan bara konflik politik seperti di Papua. Tak ada yang salah dengan pengesahan Qanun tentang bendera dan lambang Aceh tersebut, yang penting diperbaiki adalah cara kita memahami, memaknai, dan menafsirkan sebuah legislasi terkait situasi dan kondisi terkini di daerah yang menyandang status khusus. *) Blogger, pemerhati masalah-masalah otonomi khusus Share: