SlideShare a Scribd company logo
1
PROSIDING
2
Seminar Nasional Memperingati Hari Pahlawan:
Membangun Spirit Nasionalisme
Kaum Intelektual Indonesia,
Meneruskan Cita-Cita Para Pahlawan
Demi Mewujudkan Kesejahteraan Sosial
Jum’at 11 Nopember 2011
Keynote Speaker:
Prof. Dr. Meutia Hatta-Swasono
PEMBICARA:
Dr. Dewi Motik Pramono, M.Si., Dr. Zastrouw Ng,
Dr. Erna Surjadi, PhD., Dr. Retor AW Kaligis, Dr. Edy Siswoyo
SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
(STISIP) WIDURI
Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi buku ini
serta memperjualbelikannya tanpa mendapatkan izin tertulis dari Penerbit
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
3
Judul Buku : Prosiding Seminar Nasional Memperingati Hari Pahlawan:
Membangun Spirit Nasionalisme Kaum Intelektual Indonesia,
Meneruskan Cita-Cita Para Pahlawan Demi Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial
Cetakan : Pertama
Halaman : v + 82 halaman
Penerbit : Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Widuri,
Jakarta
Alamat : Jl. Palmerah Barat No. 353, Jakarta Selatan-12210
Telp : 021-5366445, 021-5480552, 021-5306447
Faks : 021-53330977
Email : info@stisipwiduri.ac.id
Website : www.stisipwiduri.ac.id
Editor : Dr. Retor AW Kaligis, M.Si.
ISBN : 978-602-70283-0-2
iii
KATA PENGANTAR
Dengan senang hati saya menyambut Prosiding “Seminar Nasional Memperingati
Hari Pahlawan : Membangun Spirit Nasionalisme Kaum Intelektual Indonesia,
Meneruskan Cita-Cita Para Pahlawan Demi Mewujudkan Kesejahteraan Sosial”
untuk menjadi salah satu bacaan yang berguna untuk mahasiswa terutama untuk
mengembangkan fungsi-fungsi berikut ini:
1. Pengembangan sikap solidaritas sosial pada tingkatan mikro individual,
kelompok keluarga, RT dan kelompok belajar atau kelompok kerja formal dan
tidak formal. Solidaritas mikro itu menjadi dasar yang kuat untuk suatu
solidaritas nasional yang sangat abstrak.
2. Pengembangan sikap kritis untuk tidak begitu saja menerima apa yang
dikatakan orang tentang para pahlawan kita. Dengan membaca prosiding ini
mahasiswa diharapkan terdorong untuk melengkapinya dengan analisis-
analisis sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, baik yang ditulis oleh
orang-orang asing, maupun oleh para ahli kita sendiri. Dengan membaca
analisis-analisis sejarah itu, pengetahuan kita tentang para pahlawan kita
menjadi lebih lengkap dan mungkin juga kekaguman kita akan perjuangannya
pada waktu itu menjadi lebih besar lagi. Lihat saja bacaan yang menjadi acuan
Ir. Soekarno (presiden pertama RI) begitu luas dan mendalam, sebelum dia
mengemukakan konsepnya yang terkenal yakni Marhaenisme. Luar biasa. Di
Barat orang kenal dengan konsep proletariat, tetapi untuk konteks Indoneisa
dia memunculkan tokoh petani gurem yang bernama Marhaen. Ini merupakan
satu contoh indigenisasi ilmu pengetahuan, atau mungkin lebih tepat lagi
Indonesianisasi ilmu pengetahuan. Proses seperti itu justru muncul dari
seorang pahlawan dan bukan dari perguruan tinggi seperti kita ini.
3. Pengembangan sikap nasionalisme yang dalam prosiding sudah dikupas
secara mendalam. Walaupun tidak sedikit yang bersikap skeptis terhadap
nasionalisme Indonesia itu, bagi saya nasionalisme itu merupakan sebuah
iv
proses yang harus dikembangkan dalam suatu grand design dengan dasar nilai
yang jelas yakni kesatuan yang dibangun dari kebhinekaan. Nilai itu sudah
lama ditanamkan para pahlawan kita, dan menjadi kewajiban kita untuk
meneruskannya. Dalam konteks ini, prosiding ini kiranya mempunyai arti.
4. Konsep pahlawan menjelang dan pada tahun-tahun awal berdirinya Negara
kita, lebih banyak dikaitkan dengan perjuangan fisik, sehingga nama-nama
yang muncul adalah tentara nasional. Tetapi prosiding ini melihat
kepahlawanan lebih dari itu. Mereka yang mencetus ide-ide untuk
kesejahteraan sosial, atau malah yang menanamkan nilai pendidikan dan ilmu
pengetahuan kepada para murid (guru : pahlawan tanpa tanda jasa), masuk
dalam kategori ini.
Semoga pembaca memperoleh sesuatu yang baru setelah membaca prosiding ini.
Para penulis, panitia penyelenggara pasti akan sangat berbangga kalau tulisan
mereka mendapat tanggapan atau komentar kritis, seperti biasanya dalam iklim
akademik di perguruan tinggi.
Selamat membaca.
Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang
Ketua STISIP Widuri
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………….………………………………………………………………… iii
Daftar Isi …………………………………………………….…………………………………………………. v
Pendahuluan ……………………………………………………….……………………..………………. 1
Maksud dan Tujuan …………………………………………………………………………………… 4
Waktu dan Tempat ………………………………………………………………………………………. 4
Peserta ………………………………………………………………………………………………………. 4
Susunan Acara ……………………………………………………………………..……………………… 5
Makalah-Makalah:
Keynote Address Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono:
Tanggung Jawab Moral Kaum Intelektual Indonesia Meneruskan
Cita-Cita Para Pendiri dan Pahlawan Bangsa ………………………………………………… 7
Dr. Dewi Motik Pramono, M.Si.: Langkah Menuju Kesetaraan Gender 14
Dr. Erna Surjadi, PhD : Spirit Nasionalisme dan Pemberdayaan
Keluarga Serta Komunitas Untuk Penghapusan Kemiskinan ……………..………….. 17
Dr. Zastrouw Ngatawi: Aktualisasi Spirit Nasionalisme ………………………………… 25
Dr Edy Siswoyo: Spirit Nasionalisme dan Profesionalisme
Kaum Intelektual Untuk Mendukung Pembangunan Sosial
(Tinjauan Sosiologis) ……………………………………………………………..…………………….. 44
Dr. Retor AW Kaligis: Nasionalisme Bagi Rakyat Kecil:
Tinjauan dari Perspektif Perkembangan Masyarakat Indonesia …………………… 46
Notulensi ……………………………………………………………………………………………………… 65
Kesimpulan dan Saran …………………………………………………………………..……………… 74
Susunan Panitia Seminar …………………………………………………………………………….. 79
Kliping Berita …..……………………………………………………………..…………………………… 80
1
PENDAHULUAN
Dalam salah satu edisi buletin Indonesia Merdeka tahun 1925, Perhimpunan
Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang dipimpin
Mohammad Hatta, mengeluarkan apa yang disebut sebagai “Manifesto Politik
1925” yang isinya sebagai berikut: 1). Rakyat Indonesia seharusnya diperintah oleh
para pemimpin yang dipilih mereka sendiri; 2). Dalam memperjuangkannya tidak
diperlukan bantuan dari pihak mana pun; dan 3). Supaya perjuangan itu tercapai,
perbedaan dari kelompok-kelompok etnis harus disatukan, agar seluruh proses
tidak mengalami kegagalan. Manifesto Politik 1925 lahir ketika liberalisasi
ekonomi di Hindia Belanda berada dipuncaknya. Manifesto tersebut merupakan
daya cipta para pemuda Indonesia untuk menolak penindasan atas nama negara
(Hindia Belanda) dan pasar yang tidak berakar pada kepentingan rakyat.
Para kaum intelektual kita saat itu menghendaki kepentingan rakyat menjadi
prioritas perjuangan bangsa. Namun saat ini tercatat jumlah masyarakat miskin
sekitar 17,9% yang berpenghasilan kurang dari 1 dolar AS, sedangkan di bawah 2
dolar AS sekitar 49,8% (MDG, 2010). Gap yang cukup tinggi terjadi antara kaya dan
miskin, apalagi ditambah banyaknya kasus korupsi miliaran hingga triliunan
rupiah.
Manifesto Politik 1925 sesungguhnya merupakan lompatan besar dengan
mentransendensi gerakan etnisitas dan lokalisme, seperti Boedi Oetomo, Jong Java,
dan Pasoendan, ke dalam prinsip persatuan sebagai satu bangsa yang heterogen.
Sartono Kartodirdjo dalam Indonesian Historiography (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2001) melihat bahwa Manifestasi Politik 1925 merupakan suatu langkah
historis yang lebih maju daripada Sumpah Pemuda 1928. Ketiga konsep dalam
Manifesto Politik tersebut saling melengkapi di mana persatuan (unity) dijalankan
bersama konsep kemerdekaan (liberty) dan kesetaraan (equality). Persatuan dan
persamaan hanya dapat dicapai dalam suasana merdeka. Manifesto Politik itu,
2
menurut Sartono, merumuskan nasionalisme Indonesia sebagai ideologi, mencakup
unitarisme sebagai dasar pembentukan negara-nasion.
Pertanyaannya adalah: sejauhmana spirit nasionalisme kaum intelektual
untuk membela rakyat kecil?
Sejak 1957, Sumpah Pemuda digunakan mengkampanyekan persatuan dan
kesatuan nasional. Dalam menghadapi pemberontakan daerah (PRRI/ Permesta),
untuk pertama kali peringatan Sumpah Pemuda dirayakan dalam skala besar-
besaran. Pada perjalanan bangsa selanjutnya, Sumpah Pemuda 1928 banyak
ditonjolkan, adapun Manifesto Politik 1925 seperti hilang dari ingatan kolektif
bangsa.
Pengagungan Sumpah Pemuda 1928 sering dikritik karena dianggap sebagai
cara penguasa mengamankan konsepsi politik dan ekonomi yang dijalankannya
dengan mengatasnamakan “kepentingan bangsa”. Padahal sesungguhnya, Sumpah
Pemuda 1928 memiliki kelebihan karena pertama kali dibicarakan tentang
“wadah”, yakni satu bangsa yang mendiami tanah air sama, dengan bahasa
persatuannya.
Tidak ada kemerdekaan dan kesetaraan tanpa adanya bangsa dan wilayah
yang diklaim, serta bahasa persatuan yang menyokongnya. Artinya, Manifesto
Politik 1925 dan Sumpah Pemuda 1928 memiliki kontribusi saling melengkapi.
Kontribusi saling melengkapi tersebut bermuara pada cita-cita Proklamasi 1945
yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke 4,“untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”
Bab XIV Kesejahteraan Sosial UUD 1945 membicarakan tentang
pembangunan ekonomi nasional. Namun fakta memperlihatkan negeri ini
mengalami berbagai eksploitasi kekayaan alam, rakyatnya dijadikan sumber
tenaga murah, dan target pasar. Indonesia sepertinya membiarkan diri terhanyut
3
irama reorganisasi kapitalisme global yang lebih menampakkan wajah, meminjam
istilah Anthony Giddens dalam Runaway World (1999), global pillage (“penjarahan
global”) ketimbang global village (“desa global”), terlihat tidak dibangunnya politik-
ekonomi yang menjamin kedaulatan bangsa dan kehidupan rakyat di dalamnya.
Indonesia memiliki tanah air luas dan kaya yang diperuntukkan sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat. Namun, ketika negara didominasi kepentingan
ekonomi segelintir golongan masyarakat, kewarganegaraan (citizenship) khususnya
rakyat kecil menjadi tidak setara.
Kebebasan politik yang diraih di era reformasi baru menghasilkan
”ritualitas demokrasi” yang memberi ruang kepada rakyat menyalurkan
partisipasinya melalui Pemilu dan Pilkada secara berkala. Adapun bobot
”spiritualitas” kedaulatan rakyat tersumbat marginalisasi dan eksploitasi sumber
daya ekonomi. Namun mayoritas rakyat masih menjadi petani gurem, nelayan
miskin, pedagang kecil, buruh melarat, serta profesi serba terbatas lainnya. Mereka
adalah rakyat kecil yang akibat mengalami marginalisasi dan eksploitasi sumber
daya ekonomi menjadi sulit menggapai kesejahteraan. Keadaan di atas perlu
segera diubah.
Karena itu, STISIP Widuri menganggap penting membangun kembali spirit
nasionalisme kaum intelektual Indonesia meneruskan cita-cita para pahlawan
demi mewujudkan kesejahteraan sosial. Dengan kegiatan seminar ini dapat
didiskusikan persoalan tersebut lebih jauh agar dapat menjadi saran/
rekomendasi bagi pengambil keputusan.
Partisipasi Prof. Dr. Meutia Hatta- Swasono sebagai keynote speaker dan
para pembicara lain dari KOWANI, DPR RI, dan akademisi diharapkan dapat
membawa manfaat yang sebaik-baiknya.
4
MAKSUD DAN TUJUAN
WAKTU DAN TEMPAT
PESERTA
Menyebarkan pemahaman tentang spirit nasionalisme dan kesejahteraan
sosial bagi rakyat kecil berdasarkan Manifesto Politik 1925, Sumpah Pemuda
1928, dan UUD 1945.
Menggugah kalangan sivitas akademika untuk melaksanakan Tridharma
Perguruan Tinggi, khususnya pengabdian pada masyarakat kecil yang
membutuhkan pertolongan.
Memberikan saran dan rekomendasi hasil seminar kepada pihak-pihak terkait.
Hari/ Tanggal : Jumat, 11 Nopember 2011
Waktu : Pukul 08.30-15.30
Tempat : Aula Gedung C STISIP Widuri
Jalan Palmerah Barat No 353, Jakarta-12210
(Telp: 021-548-0552, 5330970)
Peserta Seminar ini adalah:
Civitas akademika perguruan tinggi, para guru Pembina Pendidikan Karakter di
SMA, dan kalangan umum yang berminat pada masalah karakter kebangsaan dan
kesejahteraan sosial.
5
SUSUNAN ACARA
Waktu Sesi Moderator Penanggung
Jawab
09.15-10.00 Pendaftaran dan Coffee - Penerima
Tamu/Konsumsi
10.00-10.45 Sambutan-sambutan:
- Laporan Ketua Panitia.
- Sambutan oleh Kopertis
Wilayah III.
- Sambutan oleh YKW-PPS
sekaligus membuka acara
Seminar.
Acara/ MC:
Suster Maria
Mathildis
10.45-11.45 KEYNOTE SPEECH:
Prof. Dr. Meutia Hatta-
Swasono
“Tanggung Jawab Moral
Kaum Intelektual Indonesia
Meneruskan Cita-Cita Para
Pendiri dan Pahlawan
Bangsa”
Isaac Julius
Ruryama Litaay
Acara/
Persidangan
11.45-13.15 Rehat/ Sholat Jumat/ Makan
Siang
Konsumsi
13.15-14.15 Sesi I:
1. Dr. Zastrouw Ngatawi
(Sosiolog/ NGO)
“Aktualisasi Spirit
Nasionalisme”
2. Dr. Retor AW Kaligis
(Dosen STISIP Widuri)
“Nasionalisme Bagi
Rakyat Kecil: Tinjauan
dari Perspektif
Perkembangan
Masyarakat Indonesia”
Dr. Evie Douren Persidangan
14.15-15.00 Sesi II:
1. Dr. Dewi Motik Pramono,
M.Si. (Ketua Umum
KOWANI)
“Langkah Menuju
Dr. Evie Douren Persidangan
6
Kesetaraan Gender”
15.00-15.45 Sesi III:
1. Dr. Erna Surjadi, PhD
(Ketua STISIP Widuri)
“Spirit Nasionalisme dan
Pemberdayaan Keluarga
Serta Komunitas Untuk
Penghapusan
Kemiskinan”
2. Dr Edy Siswoyo (Dosen
STISIP Widuri)
“Spirit Nasionalisme dan
Profesionalisme Kaum
Intelektual Untuk
Mendukung
Pembangunan Sosial
(Tinjauan Sosiologis)”
Dr. Evie Douren Persidangan
7
Keynote Address Seminar Nasional Memperingati Hari Pahlawan 2011
TANGGUNG JAWAB MORAL KAUM INTELEKTUAL INDONESIA
MENERUSKAN CITA-CITA PARA PENDIRI DAN PAHLAWAN BANGSA
Oleh: Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono
*)
1.Pendahuluan
Seminar ini diadakan untuk memperingati Hari Pahlawan 2011, yang kita
peringati setiap tahun. Hari Pahlawan jatuh pada tanggal 10 November,
memperingati sejarah tentang perang kemerdekaan yang hebat yang dilakukan oleh
rakyat Surabaya melawan tentara Sekutu, yang menyebabkan tewasnya Jenderal
Mallaby. Semoga generasi muda masa kini masih ingat peristiwa yang terdapat di
buku Sejarah Nasional, khususnya saat bangsa Indonesia telah mempertahankan
kemerdekaan dari serangan Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali.
Penting untuk diingat oleh generasi muda Indonesia masa kini bahwa
kemenangan arek-arek Surabaya itu telah terjadi karena adanya rasa kebersamaan
yang mendorong rasa persatuan yang kokoh, dengan adanya perasaan kebangsaan
yang amat besar pada penduduk Surabaya yang berasal dari berbagai sukubangsa,
umat agama, tua-muda, kaya-miskin, yang sama-sama mempunyai komitmen
mempertahankan kotanya. Lebih dari 16.000 syuhada telah gugur, namun
perjuangan gigih mereka telah membuktikan bahwa peluru dan senjata hebat di
kala itu tak mampu mendobrak semangat perjuangan mereka untuk meraih
kemenangan.
*)
Gurubesar FISIP-UI dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang
Pendidikan dan Kebudayaan.
8
2. Pahlawan Bangsa, Siapa Mereka?
Pahlawan bangsa adalah anak bangsa Indonesia yang dengan jiwa besar
telah rela berkorban dan pantang mundur dalam membela tanah air dan rakyatnya
dari ketertindasan, keterbelengguan dan penderitaan oleh bangsa lain atau
kekuatan asing. Pahlawan berjuang mencapai apa yang terbaik bagi bangsa dan
negaranya, walaupun jiwanya terancam.
Di kala tanah air masih terjajah oleh bangsa lain, pahlawan berjuang untuk
memerdekakan bangsa, tanpa memikirkan kepentingannya sendiri karena
berjuang tanpa pamrih. Di kala kemerdekaan terancam, pahlawan berjuang untuk
mempertahankan kemerdekaan negaranya. Di kala tanah air dan bangsa telah
merdeka dan aman dari rongrongan pihak penjajah, pahlawan berjuang untuk
mengisi kemerdekaan dengan membangun negara, dengan mengutamakan
kepentingan rakyat. Pahlawan secara konsisten tetap rela berkorban demi
kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan pribadi, keluarga dan
kelompoknya, apalagi yang dapat merugikan rakyat dan negaranya. Bagi pahlawan,
prinsip rela berkorban dan pantang mundur dalam memperjuangkan kemajuan
dan keselamatan bangsa dan negara, tetaplah melekat pada dirinya hingga akhir
hayat.
Pada umumnya orang mengira bahwa pahlawan berjuang dengan senjata.
Anggapan ini keliru, karena tidak selalu pahlawan berjuang dengan senjata,
melainkan dengan pikirannya yang tajam dan terkadang menembus waktu,
melontarkan gagasan yang manfaatnya sering baru dirasakan oleh masyarakat
sesudah dirinya wafat. Untuk itu, di sini hanya akan diberi dua contoh tentang
perjuangan pahlawan bangsa: Ibu R.A. Kartini dan Bung Hatta.
Ibu R.A. Kartini tidak pernah berjuang dengan senjata, karena beliau adalah
pemikir yang melahirkan gagasan-gagasan cemerlang yang kemudian disambut
oleh tokoh-tokoh lainnya, seperti R. Dewi Sartika, dll, untuk memberdayakan
perempuan Indonesia, dengan mendirikan sekolah-sekolah bagi kaum perempuan,
maupun keterampilan lain. Ibu Kartini menyuarakan agar perempuan Indonesia
9
mendapat kesempatan belajar dan mengembangkan kreativitasnya, agar lebih
mampu mendidik anak-anaknya dan meningkatkan kualitas kesejahteraan
rumahtangganya serta terhindar dari poligami. Ibu R.A. Kartini kita homati dan
banggakan sebagai pahlawan nasional karena dari gagasan beliaulah maka kita
kini memiliki kementerian yang memberdayakan perempuan dan negara
mengangkat perempuan dalam kedudukan setara dengan laki-laki dalam hukum
dan pemerintahan. Untuk itu, perempuan dan laki-laki sama-sama berhak dan
wajib mengisi pembangunan nasional.
Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta) juga tidak berjuang dengan senjata, karena
beliau adalah pemikir dan penyemangat perjuangan kemerdekaan Indonesia,
sekaligus disainer dari arah Indonesia Merdeka, yang bertumpu pada kebangsaan
dan kerakyatan, dan peletak dasar strategi kemerdekaan. Pada usia 24 tahun, di
Kongres Internasional di Bierville, Perancis, di bulan Agustus 1926, Bung Hatta
sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia mewakili mahasiswa Indonesia membuat
langkah awal memperkenalkan tanah air Indonesia di luar negeri. Setelah Bung
Hatta berpidato di Kongres dan berdiplomasi dengan wakil-wakil berbagai
delegasi mahasiswa dari negara-negara terjajah lainnya, sampai hari penutupan
Kongres, mereka tidak lagi menyebut Indonesia dengan sebutan “Hindia-Belanda”,
melainkan “Indonesia”.
Perjuangan lain dari Bung Hatta adalah memberi usulan penting dalam
Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia serta
mendisain beberapa isu penting dan strategis dalam rancangan UUD 1945 yang
asli, yang kemudian menjadi Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2) dan
Pasal 30. Bung Hatta adalah juga konseptor Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945 yang
asli, sehingga sesuai disain Bung Hatta, sistem perekonomian nasional bertujuan
untuk mensejahterakan rakyat. Karena itulah maka selain mendapat gelar
Pahlawan Proklamator dari Pemerintah RI di era Presiden Suharto, Bung Hatta juga
diberi gelar Bapak Koperasi oleh Dekopin (1947), Bapak Kedaulatan Rakyat oleh
10
Mensesneg Moerdiono (2002), dan disebut Bapak Hak Asasi Manusia oleh
Kementerian Hukum dan HAM (2008).
3. Tanggung Jawab Kaum Intelektual Indonesia Kini dan Esok
Kaum intelegensia mempunyai tanggungjawab untuk melanjutkan perjuangan
para pereintis kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia untuk membuat
Indonesia menjadi negara besar dan rakyatnya berharkat-martabat tinggi. Untuk
itu, kaum intelektual Indonesia harus peka dan tanggap terhadap kondisi sosial-
budaya, ekonomi dan politik serta ekologi negara kita, mampu melihat keganjilan
yang terjadi dan segera mencari solusi. Singkatnya, kaum intelektual Indonesia
harus tetap memegang teguh prinisp nasionalisme dalam perjuangan, pekerjaan
dan karir mereka. Sebagai warganegara, seharusnya kaum intelektual Indonesia
tidak saja bekerja untuk mencari nafkah, tetapi sekaligus bekerja dengan prinsip
meningkatkan kesejahteraan sosial.
Pertama, kaum intelektual Indonesia harus memahami penduduk Indonesia
yang berjumlah 237 juta jiwa dan bersifat pluralistik dan multikultural. Apa yang
akan terjadi kalau penduduk sebanyak itu dan berbeda sukubangsa dan
kebudayaannya tidak mempunyai perasaan kebersamaan dan bersatu sebagai
bangsa, lebih-lebih ketika saat ini pengaruh luar yang dibawa proses globalisasi
dan kemajuan iptek dan informatika telah masuk begitu pesat?
Kedua, penduduk Indonesia setara jumlahnya dari segi gender (perimbangan
antara laki-laki dan perempuan). Apa jadinya kalau perempuan tidak diberdayakan
dan indeks pembangunan manusianya rendah? Pasti akan menjadi beban berat
bagi laki-laki untuk menanggung kehidupan kaum perempuan yang kualitas
kesehatannya rendah, tidak cukup berpendidikan dan tidak mampu ikut mencari
nafkah sehingga hidup dalam kondisi miskin.
Ketiga, Indonesia adalah negara maritim, 2/3 wilayahnya berupa laut. Apa
yang terjadi kalau 80.000 km pesisir berikut penduduknya tidak diberdayakan
sehingga menjadi beban pembangunan nasional? Bagaimana jika untuk menggali
potensi lautan kita yang begitu luas dan bervariasi ekosistemnya kita harus
11
tergantung pada pengetahuan, teknologi, strategi pemberdayaan ekonomi dan
kegiatan ekonomi bangsa lain yang mencari untung di tanah air kita? Seharusnya
kitalah sumber pengetahuan kelautan bagi bangsa lain dan Berjaya dalam bisnis
kelautan di negara kita sendiri.
Keempat, sumberdaya alam Indonesia dengan kekayaan hayatinya dan
sumberdaya manusia Indonesia dengan kebudayaannya yang kaya akan kearifan
lokal suku-sukubangsanya merupakan modal sosial-kultural dan alam. Apakah
yang akan terjadi bila potensi-potensi ini tidak diperhatikan dan didayagunakan
sehingga menghilang karena terabaikan?
Kelima, kaum intelegensia Indonesia wajib memahami sejarah nasional, agar
tertanam nasionalisme pada diri mereka. Nasionalisme inilah yang menjadi dasar
bagi mereka untuk membangun Indonesia, dan membedakan diri mereka dari
bangsa lain dalam melihat Indonesia. Bangsa lain bekerja di Indonesia untuk
kepentingan dirinya dan negaranya, dalam kerjasama berdasarkan persahabatan
(berbentuk kerjasama bilateral), atau mencari keuntungan yang tentunya ditujukan
terutama bagi kepentingan diri mereka dan negaranya sendiri. Bangsa Indonesia,
termasuk kaum intelektual Indonesia, bekerja untuk hidup namun tidak terlepas
dari kewajiban moral dan spiritual untuk membangun bangsa Indonesia. Artinya
kita sendirilah yang harus bekerja membangun negara dan bangsa, bukan bangsa
lain. Tidak berarti bahwa kita harus menolak kerjasama dengan asing. Kita tidak
boleh mengabaikan tanggungjawab global, namun kita harus tetap mengutamakan
kepentingan nasional.
Kaum intelektual atau kaum intelegensia Indonesia, khususnya mahasiswa
yang hadir pada seminar ini, harus memahami proses pembentukan negara RI
secara cermat, bahwa NKRI terbentuk melalui proses yang panjang yang saling
terkait dalam hubungan sebab-akibat dan saling dukung dan saling melanjutkan,
dimulai dari: (1) era Kebangkitan Nasional yang dicetuskan Budi Utomo yang
mendorong terbentuknya gerakan-gerakan pemuda di tanah air (Jong Java, Jong
Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, dll); (2) Deklarasi Manifesto Politik
12
dari Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda, yang menanamkan kedaulatan
rakyat, kemandirian dan kesatuan; (3) Deklarasi Sumpah Pemuda yang
mencanangkan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa; (4) tumbuhnya gerakan-
gerakan kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka, yang diwarnai dengan
penangkapan sejumlah tokoh perintis kemerdekaan Pemerintah Hindia-Belanda
untuk diinternir ke sejumlah tempat pembuangan di tanah air; (5) perjuangan
penuh perhitungan seksama di masa pendudukan Jepang, menghadapi penguasa
Jepang yang kejam; dan (5) persiapan kemerdekaan Indonesia dan tercapainya
proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Sukarno
dan Hatta di Jakarta.
Tanpa memahami sejarah, kaum intelektual Indonesia, khususnya mahasiswa
yang muda-muda, tidak akan tahu, ke arah mana membangun Indonesia, apa
tanggungjawab moral dan fisiknya sebagai warganegara dan anak bangsa, dan
bagaimana caranya untuk membangun masa depan Indonesia yang cerah dan
penuh martabat tinggi kelak di kemudian hari.
Pemuda harus paham mengenai nasionalisme. Apa itu nasionalisme?
Menurut Sri-Edi Swasono, nasionalisme adalah rasa cinta kepada tanah air, nusa
dan bangsa. Nasionalisme adalah patriotisme. Nasionalisme adalah doktrin
ideologis untuk mengutamakan kepentingan nasional. Nasionalisme adalah suatu
gerakan untuk meraih dan mempertahankan kemerdekaan, independency dan
kemandirian. Nasionalisme adalah kesadaran kebangsaan, harga-diri, dan
identitas diri sebagai suatu bangsa” (Swasono, 2011: 4).
Bagaimana kita menunjukkan nasionalisme dalam era reformasi ini?
1. Menanamkan kebanggaan pada diri kita dan lingkungan kita sesama orang
Indonesia melalui kebiasaan memakai produk-produk industri nasional,
seperti tekstil, asesori, teknologi dan peralatan sehari-hari buatan Indonesia.
2. Mengutamakan konsumsi makanan dan minuman serta obat-obatan Indonesia.
3. Menghasilkan temuan-temuan inovatif berupa teknologi tepat guna, dll
13
4. Berperilaku modern dan tertib (belajar keras, memanfaatkan waktu, berbudaya
bersih, sebagai bagian dari upaya meningkatkan karakter dan jati diri bangsa
Indonesia)
5. Menghasilkan temuan-temuan yang berasal dari potensi-potensi sosial-kultural
masyarakat untuk didayagunakan lebih lanjut bagi kepentingan rakyat.
6. Menanamkan pola pikir bahwa ilmu adalah untuk diamalkan bagi masyarakat,
serta mencari solusi terhadap permasalahan bangsa dan negara.
7. Memahami bahwa pembangunan nasional harus bersifat humanistik,
mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, dan membuat rakyat
menjadi tuan di negerinya sendiri.
Hanya dengan melakukan hal-hal di atas maka kaum intelektual Indonesia
masa kini mampu untuk meneruskan perjuangan para pahlawan dan pendiri
negara untuk mendisain dan mencapai masa depan Indonesia yang cerah serta
mampu untuk ikut mengukir peradaban dunia sebagai pemimpin global sejati.
--o0o--
14
“Langkah Menuju Kesetaraan Gender”
Oleh Dr. Dewi Motik Pramono, M.Si.
Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia/ KOWANI
President of ASEAN Confederation of Women Organization/ ACWO
Coordinator Sustainable Development of International Council’s of Women/ ICW
Pendahuluan
Pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah
membangun manusia Indonesia seutuhnya baik laki-
laki maupun perempuan dalam dinamikanya akan
terus ditingkatkan kualitasnya dan kuantitasnya
Konstitusi Nasional di Indonesia tidak
mendiskriminasikan antara laki-laki dan perempuan
di dalam hukum dan sektor pembangunan lainnya, dengan demikian keduanya
dapat berperan aktif di dalam pembangunan
Perjuangan Bangsa Indonesia
Para perintis pergerakan perjuangan perempuan
sejak dulu yang bekerjasama dengan kaum laki-laki
bahu membahu memperjuangkan tercapainya
kemerdekaan Indonesia
Kongres Perempuan Indonesia pertama tanggal 28 Desember 1928 merupakan
sejarah dan langkah awal bagi persatuan dan kesatuan pergerakan wanita
Indonesia
Perjuangan Perempuan Indonesia
Perempuan Indonesia di era baru Indonesia tidak terlepas dari perjuangan para
pendahulu kita, seperti:
Cut Nyak Dien
Dewi Sartika
Christina Marta Tiahahu
Nyi Ageng Serang
Kartini dll
Perempuan dan Era Baru Indonesia
Perempuan Indonesia harus berani menjadi motor
penggerakan perubahan, namun upaya ini tidak semudah
15
seperti membalikkan telapak tangan, apalagi bila kita melihat sejumlah
tantangan mendasar yang dihadapi Indonesia.
Kesenjangan gender antara perempuan dan laki-laki di berbagai bidang
pembangunan
Pendidikan : pendidikan tinggi : laki-laki 12,5% dan perempuan 11,0%, angka
buta aksara : laki-laki 26,9% dan perempuan : 5,38%
Kesehatan : Angka Kematian Ibu (AKI) : 228/100.000 KH pd thn 2007, Angka
Kematian Bayi : 34/1000 KH pd thn 2007, partisipasi KB Pria masih rendah,
kasus narkoba sebagian besar terjadi pada remaja laki-laki, pengetahuan ttg
HIV/AIDS pada remaja putri usia 15-24 thn : 94% dan laki-laki : 77%
Ekonomi : Angka pengangguran perempuan: 10,8%, laki-laki : 8,1%, daya beli
perempuan lebih rendah dari laki-laki, TPAK laki-laki : 62% dan perempuan :
38,26%, tindak kekerasan terkait ekonomi terhadap perempuan 2,27 juta orang
Politik : Pemilu 2009, partisipasi perempuan di lembaga legislatif (DPR RI)
komposisi P : 18,6% dan L : 81,4%, DPD komposisi P: 27% dan L : 73%. Di bidang
eksekutif perempuan yang menduduki jabatan Eselon I : 8,7%, Eselon II : 7,1%,
Eselon III : 14,5% dan eselon IV : 23,3%. Kepala Desa : perempuan: 2.888 dan
laki-laki : 73.842.
Hukum : Masih banyak peraturan perundang-undangan yang bias gender,
masih tingginya kekerasan terhadap perempuan dan anak (prevalensi 3,1 %
perempuan dan anak 7,6%), maraknya kasus perdagangan orang dengan tujuan
eksploitasi.
Budaya : Pemahaman masyarakat yang lebih mengutamakan anak laki-laki
daripada perempuan (budaya patriakhi)
Nasionalisme untuk Kesejahteraan Bangsa
Konsensus dasar tentang Negara kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI,
Bhinneka Tunggal Ika) harus menjadi pegangan perjuangan seluruh bangsa
Indonesia sepanjang masa.
16
Pemberantasan KKN, sehingga tercipta Indonesia baru yang dicita-citakan maju,
aman, adil, dan makmur.
Pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan gender yang sejalan dengan nilai-
nilai budaya yang berkembang dimasyarakat
Menyiapkan generasi penerus bangsa yang lebih sadar akan kebangsaannya
Meningkatkan kualitas SDM di Indonesia
Melatih kepemimpinan dari awal
Anak dapat dilatih menjadi pemimpin di kelas dengan cara bergantian menjadi
ketua kelas setiap minggu
Diadakan pameran hasil karya anak sehingga sehingga anak dapat mengetahui
kekurangan dan kelebihan hasil karya tersebut
Anak diajarkan untuk dapat mengekspresikan mengenai orang tua atau orang
dilingkungannya, baik melalui gambar ataupun tulisan seperti cerita,
syair/puisi
Hal – Hal yang sudah dilakukan Kowani
Melaksanakan peningkatan life skill, keaksaraan fungsional, PAUD
7 organisasi wanita (SIKIP, Kowani, Dharma Pertiwi,Dharma Wanita Persatuan,
Bhayangkari, T.P PKK, APPB) melakukan gerakan perempuan menanam dan
memelihara 10 juta pohon diseluruh Indonesia secara serentak
Kowani bersama LSM peduli terhadap peningkatan keterwakilan perempuan
dibidang politik
Cinta Indonesia
Jiwa dan Raga untuk Indonesia
17
“Spirit Nasionalisme dan Pemberdayaan Keluarga serta Komunitas
Untuk Penghapusan Kemiskinan”
Oleh: Erna Surjadi, Dr, Drg., MS.APBI, PhD
Pendahuluan:
Dunia berkembang terus, penduduk bertambah dengan segenap
permasalahan sosial, ekonomi, budaya dan politiknya; dan waktu berjalan tanpa
dapat dihentikan. Tidak terasa sudah 83 tahun lamanya sejak Indonesia
menyatakan tanggal 10 Nopember menjadi Hari Pahlawan bangsa. Kata pahlawan
kerap dikonotasikan sebagai perbuatan heroik yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
Namun diantara nama-nama para pahlawan juga ada sederet nama kaum
perempuan zaman dahulu yang telah membuktikan diri dan kontribusinya untuk
kemajuan bangsa; antara lain: Kartini, Dewi Sartika, Martha Kristina Tiahahu, Tjoet
Nyak Dien dan lain sebagainya. Zaman sekarang kita telah pernah memiliki
perempuan sebagai presiden, menteri, ahli hokum, kedokteran dan diberbagai
bidang lainnya, termasuk dibidang antariksa dan penerbangan yang dulu
dikonotasikan menjadi arena kaum laki-laki. Dahulu kita berjuang untuk merdeka,
harkat suatu bangsa yang bebas dari penjajahan karena tidak sesuai dengan hak
asazi manusia, demikian dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945; untuk persatuan Indonesia serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia sebagaimana yang dicanangkan dalam sila ke-3 dan ke-5 Pancasila;
yang telah dinyatakan sebagai pandangan hidup (way of life) bangsa Indonesia.
Maka tak pelak lagi kita harus menjaga konsistensi spirit kepahlawanan sebagai
dasar pengembangan nasionalisme bangsa Indonesia. Melibatkan kaum
perempuan sebagai mitra sejajar kaum laki-laki dalam pembangunan nasional
telah menjadi Instruksi Presiden (INPRES) no 9 tahun 2000, melalui
Pengarusutamaan Gender di semua bidang pembangunan nasional.
Tahun 2010, dunia mencatat perkembangan bangsa yang dikaitkan dengan
Tujuan Pengembangan millennium global (Millennium Development Goals= MDG).
Ada sekitar 18% penduduk Indonesia yang memiliki penghasilan dibawah 1$/hari
18
dan ada sebanyak 49,8% yang memiliki penghasilan dibawah 2$/hari. (lk RP
17.500,-). Kemiskinan dan kelaparan kini menjadi perhatian dunia terutama di
Negara-negara berkembang seperti Indonesia, India dan lainnya di Asia Pacific;
namun karena berlanjutnya krisis keuangan (financial crisis) yang juga menyerang
Negara-negara di Eropa dan bagian lain di dunia; hal ini telah menjadikan dunia
memiliki wajah lain. Orang bilang kemiskinan itu lekat dengan wajah perempuan.
Perempuan yang tidak berdaya terjebak dalam perdagangan orang, pekerjaan seks
komersial, gizi buruk, kematian ibu dan lain sebagainya.
Perempuan yang miskin memiliki kondisi dan situasi yang lebih buruk
dibandingkan kaum lelaki yang miskin. Perempuan sebagai sentra kehidupan
keluarga, apabila tidak terdidik, tidak paham sanitasi dan kesehatan; dengan
mudah menularkan ketidakberdayaannya, termasuk penyakit kepada
permasalahan dan atau kemunduran keluarga; namun sebaliknya perempuan yang
memiliki pengetahuan akan menyebarkannya kepada seisi rumah tangga serta
memiliki semangat kehidupan memerangi kemiskinan dan menggapai kemajuan
yang didambakan. Di pihak lain; perempuan yang suaminya terkena Tuberculoses
(TBC) tidak menyadari dirinya mudah terkena penularan melalui udara di sekitar
suaminya; pengabaian kesehatan diri telah membawa seluruh anak-anaknya
terkena penyakit TBC. Masih dijumpai perempuan yang rela berkorban untuk
keluarganya; ketika anak dan suami sakit maka sakitnyapun dikebelakangkan dan
tidak juga diobati karena mendahulukan suami dan anak-anaknya. Mereka tidak
menyadari hak untuk hidup sehat dan umumnya terbelenggu dengan budaya
patriarki yang menomorsatukan laki-laki.
Diperlukan dukungan kaum laki-laki untuk meningkatkan akses, partisipasi
dan control kaum perempuan di berbagai bidang pembangunan untuk memberikan
manfaat yang setinggi-tingginya untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.
Hal ini perlu dimulai dari kaum intelektual Indonesia, menyebarkan spirit
nasionalisme kemitrasejajaran kaum laki-laki dan perempuan untuk mendukung
kesejahteraan sosial dimulai dari pengentasan kemiskinan di Indonesia. Gerakan
19
ini perlu dimulai dari spirit keluarga dan berlanjut kepada komunitas dan kepada
seluruh komponen bangsa.
Menimbang realita kehidupan kaum perempuan diantara mitranya kaum laki-
laki di Indonesia, mari kita simak berita berikut ini:
Berita 7 Nopember 2011; Lebak (ANTARA) – yahoo.news:
Menteri PDT Resmikan SDN dan Jembatan Gunungkencana
Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Helmy Faishal Zaini akan
meresmikan SDN 1 Kramat Jaya dan jembatan gantung di Kecamatan
Gunungkencana, Kabupaten Lebak, Senin. "Kunjungan kerja Menteri PDT itu akan
meresmikan pembangunan yang ada di desa tertinggal di Lebak," kata Kepala Seksi
Pemberitaan Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Lebak, Icah di Rangkasbitung,
Senin. Ia mengatakan, kunjungan kerja Menteri ke Kabupaten Lebak meninjau dan
meresmikan pembangunan jembatan gantung dan SDN di Kecamatan
Gunungkencana. Sebab sarana infrastuktur itu, kini sudah dibangun dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Jembatan gantung tersebut bisa dilintasi
ribuan warga antardesa terpencil di wilayah itu. Kegiatan masyarakat setempat,
kata dia, satu-satunya yang menghubungkan akses lalu lintas warga. "Dengan
berfungsinya jembatan gantung itu diharapkan perekonomian masyarakat
meningkat," katanya. Menurut dia, pembangunan jembatan gantung bantuan
pemerintah kabupaten dan provinsi kini sudah dilintasi masyarakat setempat.
Pekerjaan pembangunan melibatkan masyarakat cukup bagus dan bisa bertahan
puluhan tahun. "Saya berharap jembatan itu kondisi fisiknya bisa bertahan lama,"
ujarnya. Ia mengatakan, peresmian jembatan gantung dilaksanakan pukul 10.00
WIB setelah menginap di Hotel Bagedur Kecamatan Malingping.Selama dua hari
kunjungan Menteri PDT, kata dia, melaksanakan shalat Idul Adha di Alun-alun
Rangkasbitung dan silatuhrahmi dengan masyarakat. "Kemungkinan siang ini Pak
Menteri PDT langsung kembali ke Jakarta," katanya.
Pembicaraan:
Sangat dihargai perhatian Menteri dan jajarannya serta dipahami nilai
nurani dan dukungan fisik yang dibutuhkan masyarakat tertinggal di Lebak. Saya
jadi teringat gambar kaum anak perempuan yang menyebrang dengan jembatan
20
gantung dari satu daerah ke daerah seberang lainnya untuk mencapai sekolahnya.
Resiko dan perlu pemikiran dari sudut gender. Kebutuhan perempuan lebih spesifik
dengan kebutuhan laki-laki termasuk perbedaan kebutuhan anak perempuan dan
anak laki-laki. Tidak dapat kita bayangkan kalau anak perempuan tersebut sedang
menalankan kodrat bulanannya; tenaga yang lemah dan kondisi yang tidak
memberikan banyak pilihan. Mungkin ini bukan gambaran Lebak; moga-moga
disana jembatannya punya sedikit penjejak untuk anak-anak/perempuan
menyebrang dengan lebih santai - namun pesannya adalah: pemberian fasilitas
apapun dari pemerintah untuk publik hendaknya memperhatikan
perspektif/kebutuhan gender; sesuai spirit Instruksi Presiden No 9/2000 tentang
pengarusutamaan gender.
Tidak diketahui, berapa perbedaan biaya untuk menambahkan kayu/papan
pada jembatan gantung ini untuk kenyamanan dan keselamatan anak-anak
tersebut. Untuk orang dewasa mungkin tidak apa-apa, namun untuk anak-anak dan
kaum perempuan rasanya ini menyentuh keadilan sosial. Satu lagi potret
kemiskinan yang harus diderita rakyat yang dibagian lain sudah berkelimpahan
21
dengan pesawat jet pribadi dan elevator di mall-mall yang tersebar di hampir
seluruh kota besar di Indonesia.
Kesadaran Berkeadilan sosial:
Alexander Solzhenitsyn menulis:
“Justice is concience not a personal consience but the concience of the whole
comunity. Those who clearly recognize the voice of their own consience usually
recognize also the voice of justice”
Keadilan adalah suatu kesadaran; bukanlah kesadaran perorangan namun
kesadaran dari seluruh komunitas. Orang-orang yang mengenali suara dari
kesadaran dirinya biasanya mengenali pula suara keadilan. Yang jadi
permasalahan, apakah kesadaran tersebut ‘born’/’given’ atau sebaliknya
‘acquired’/perlu dilatih? Sensitivitas adalah suatu proses; hubungan dan interaksi
manusia adalah proses; maka keharmonisan adalah juga suatu proses; termasuk
di dalamnya rasa menghargai, menghormati, perhatian, empati dan keinginan
untuk menolong orang lain. Pada dasarnya tiada satupun manusia yang sempurna,
maka secara rasional kita akan saling membutuhkan satu sama lain.
Peringatan Hari Pahlawan yang notabene telah mengikutsertakan nam-nama
kaum perempuan sebagai pahlawan, hendaknya membawa kesadaran pula kepada
kita semua untuk membangun spirit kebangsaan yang juga memperhatikan kondisi
perempuan dan anak-anak yang menjadi kelompok rentan di kala kemiskinan
datang mendera bahkan ketika bencana alam, persaingan bisnis dan lain-lain yang
membawa mereka menjadi obyek/korban perdagangan orang (trafficking,
pelacuran, pekerjaan komersial, kekerasan dan lain sebagainya). Spirit
nasionalisme yang membuka akses dan peluang kemudahan transportasi,
peningkatan ketrampilan, ekonomi kecil dan menengah dan lain sebagainya dapat
meningkatkan partisipasi kaum perempuan untuk menjadi pahlawan dalam
keluarga dan komunitasnya.
It is said – Dignity of work, person and life is the fundamental of Human rights
(HOME – Humanitarian Organization for Migrant Economices: www.home.org.sg)
22
Berapa banyak saudara-saudara sebangsa dan setanah air kita di Indonesia
yang masih hidup terpencil dan tidak/belum dapat menikmati alam kemerdekaan
yang dirintis para pahlawan? Akankah mereka tertinggal terus dibandingkan
saudara-saudara sebangsanya di daerah lain hanya karena mereka tinggal di
daerah yang terpencil dan jauh dari kota besar? Mereka memerlukan
kunjungan/visit untuk perbaikan kehidupan bebas kemiskinan baik untuk keluarga
maupun untuk komunitas yang tidak setengah-setengah namun sebagai satu paket
kemajuan, memberikan pemberdayaan keluarga dan komunitas.
Beberapa snapshot di daerah Citarum, Jawa Barat
“Reaching out”; jangkaulah mereka; hormati, penuhi dan protek hak-hak
mereka untuk hidup layak - lihatlah gambar di atas; maka kita tahu betapa
pekerjaan sosial bukan semata-mata kehidupan keluarga; karena mereka
‘powerless’ - namun secara nyata menjadi wajah kebutuhan bangsa yang
menginginkan Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia dan dengan
konsisten menjalankan hak asazi manusia. Pesan menyentuh untuk uluran tangan
para pengambil keputusan selaku duty bearers (pemangku kepentingan) dan suara
23
bagi pemegang hak (right holders): para orang-orang miskin, termasuk kaum
perempuan dan anak-anak; karena kita percaya bahwa Hak ‘dignity’ (harkat) terkait
pekerjaan, orang dan kehidupan merupakan dasar dari Hak asazi Manusia. The
right to Dignity of work, person and life are fundamental human rights.
Panggilan dalam alam kemerdekaan perlu dilanjutkan untuk menjadi
pahlawan bangsa; hal ini perlu dimulai dari kaum pemuda/i dan seluruh rakyat
yang mencintai negara, bangsa dan tanah airnya, sang mutiara di katulistiwa –
agar tidak berubah menjadi batu tak berharga yang tidak kita harapkan.
Gerakan penghapusan kemiskinan dan kelaparan (poverty and hunger) yang
diusung Millennium Development Goals (MDG ke 1) dapat didukung dengan
meningkatkan akses, partisipasi, manfaat dan kontrol secara setara (equality bagi
kaum perempuan dan laki-laki), seperti yang dinyatakan juga dalam MDG-3
(Promoting gender equality and women’s empowerment) dengan memperhatikan
disparitas gender masing-masing untuk mendapatkan keadilan (equity).
Pemberdayaan keluarga dalam usaha ekonomi rumah tangga, pengentasan
kemiskinan dan kehidupan harmonis antara pasangan dan keluarga menjadi
tuntutan bangsa untuk membentuk keluarga mandiri, maju, sehat dan sejahtera
Selamat Hari Pahlawan ke-83!
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN ADALAH KEMAJUAN KELUARGA
UNTUK INVESTASI MASA DEPAN
(Women’s empowerment is family advancement towards future investment)
Daftar Pustaka:
Klein, David M and White, James M, 1996, Family Theories, an introduction
understanding families, SAGE publications, International Educational and
Professional Publisher, USA
Losh-Hesselbart, Susan, 2001, Development of Gender Roles, Florida State University,
USA, Department of Sociology, Handbook of Marriage and the Family , h 535-564
MDG report, UNDP, 2000
24
Surjadi, E dkk, Public Policy Forum Indonesia, Gender Harmony, Pustaka Sinar
Harapan, 2010
Jakarta, 8 Nopember 2011, TMI
25
Aktualisasi Spirit Nasionalisme
Oleh: Al-Zastrouw Ng*)
Manifesto Politik 1925 yang dicetuskan oleh para generasi muda Indonesia
(waktu itu disebut Hindia Belanda) yang belajar di Belanda merupakan peristiwa
monumental dalam sejarah Nasionalisme Indonesia. Manifesto politik yang
dipimpin oleh Moh. Hatta tersebut tidak saja menjadi cermin bangkitnya kesadaran
nasionalisme, tetapi juga menjadi sumber inspirasi gerakan nasionalisme pada
masa selanjutnya, seperti peristiwa sumpah pemuda tahun 1928 dan puncaknya
adalah proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945.
Satu hal yang perlu dicatat, munculnya manifesto politik 1925 bukan sesuatu
yang muncul secara tiba-tiba, tetapi merupakan ujung dan kristalisasi dari suatu
perjuangan panjang yang sudah dirintis para tokoh pergerakan sebelumnya,
khususnya para aktivis Boedi Oetomo yang berdiri pada tahun 1908. Artinya ada
rentang waktu antara sosialisasi dan kristalisasi kesadaran nasionalisme dengan
munculnya berbagai momentum puncak nasionalisme sebagaimana tercermin
dalam peristiwa Manifesto Politik 1925 dan Sumpah Pemuda.
Sejarah menunjukkan, terjadi sektarianisme yang kuat di kalangan
masyarakat Indonesia, ini terjadi karena kesadaran nasionalisme bersarang pada
identitas etnis, budaya dan ideologi. Mereka memiliki kesamaan keinginan untuk
meredeka, tetapi belum memiliki kemampuan untuk mengorganisir diri menjadi
suatu gerakan. Kesamaan etnis, tradisi dan idoelogi menjadi pengikat yang paling
mudah untuk membangun gerakan bersama. Hal inilah yang menjadi sebab kuatnya
gerakan sektarianisme dalam kesadaran nasionalisme awal Indonesia,
sebagaimana tercermin dalam organisasi Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Sumatra,
Jong Islamic Bond, dan Pasoendan. Seiring dengan dengan perjalanan waktu,
*)
Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (LESBUMI) PBNU, Alumni Sosiologi
S-3 UI.
26
kesadaran sektarianisme yang berbasis pada etinisitas, lokalitas dan ideologi
akhirnya bisa melebur manjadi gerakan nasionalisme Indonesia.
Sebagai upaya membangun spirit nasionalisme kaum intelektual saat ini,
rasanya perlu melakukan analisis terhadap sejarah gerakan nasionalisme secara
cermat. Bagaimana gerakan tersebut bisa tumbuh dan berkembang? Apa yang
menjadi akar dan pijakan dari tumbuhnya spirit nasionalisme? Bagaimana spirit
tersebut bisa mentransendensikan kesadaran sehingga melampaui sekat-sekat
etnis dan ideologis yang sempit dan lokal? Upaya membongkar sejarah ini bukan
dimaksudkan untuk mengidealisir masa lalu atau sekedar melakukan romantisme
historis. Sebaliknya, dengan mencermati dan memahami sejarah kita akan dapat
mengetahui nilai-nilai dan hal-hal apa yang bisa dipertahankan dan dikembangkan
lebih lanjut dalam konteks kekinian dan sebaliknya. Selain itu, dengan pemahaman
historis ini kita memiliki pijakan untuk melakukan rekonstruksi dan aktualisasi
nilai-nilai dan spirit nasionalisme. Tanpa melakukan ini, kesadaran nasionalisme
kaum intelektual akan rapuh, karena tidak manapak pada akar dan rujukan yang
kokoh. Alih-alih mempertahankan spirit nasionalisme, mereka jadi “generasi
hilang” hanyut dalam arus globalisasi yang tidak lagi mengakui pentingnya
nasionalisme.
Konsep Nasionalisme
Nasionalisme adalah sikap politik dan sosial dari kelompok-kelompok suatu
bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, bahasa, dan wilayah serta
kesamaan cita-cita dan tujuan. Dengaan demikian merasakan adanya kesetiaan
mendalam terhadap kelompok bangsa itu (Ensiklopedi Indonesia, Jilid 4; hal 2338).
Definisi ini menyiratkan bahwa inti dari nasionalisme adalah soal rasa dan
kesetiaan. Kesamaan bahasa, kebudayaan dan woyah hanya menjadi alat,
sementara kesamaan cita-cita dan tujuan merupakan implikasi dari persamaan
rasa dan kesetiaan. Meskipun ada perbedaan kebudayaan, bahasa dan wilayah
namun semua itu dapat terlampaui jika ada kesamaan rasa dan kesetiaan,
27
demikian sebaliknya. Kesamaan rasa dan kesetiaan ini pula yang pada ujungnya
dapat melahirkan kesamaan cita-cita dan tujuan.
Kekuatan rasa dan kesetiaan ini dapat melahirkan proses kreatif suatu
masyarakat, sehingga tidak saja menumbuhkan cita-cita dan tujuan bersama,
tetapi juga melahirkan kesadaran untuk menerima suatu perbedaan yang ada.
Dalam konteks ini bisa dilihat kasus nasionalisme Indonesia. Secara faktual,
masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam tradisi, budaya, bahasa dan
etnis. Tetapi karena adanya kesamaan rasa dan kesetiaan akhirnya berbagai
perbedaan itu dapat diatasi bahkan mampu melahirkan konsensus untuk
menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kesatuan rasa dan
kesetiaan ini pulalah yang melahirkan sebuah cita-cita dan tujuan bersama, yaitu
membentuk Negara yang merdeka dan berdaulat. Artinya kemerdekaan merupakan
suatu bentuk masyarakat yang diimaginasikan bersama oleh seluruh komponen
masyarakat Indonesia saat itu. Mereka tidak lagi mengimaginasikan terbentuknya
masyarakat Jawa, Batak, Islam, Sunda, Ambon dan sebagainya, tetapi mereka
mengimaginasikan suatu masyarakat besar yang bernama Indonesia.
Konsep nasionalisme seperti ini sama dengan apa didefinisikan oleh Ben
Anderson yang menyatakan nasionalisme sebagai "sebuah komunitas politik yang
dibayangkan”. Sebuah komunitas yang dibayangkan berbeda dari yang sebenarnya,
karena tidak berdasarkan kenyataan riil dimana setiap anggotanya bisa
berinteraksi secara langsung setiap hari. Sebaliknya mereka diikat oleh suatu citra
yang ada dalam pikiran sehingga tumbuh pesan sama diantara mereka. Perasaaan
inilah yang selanjutnya membentuk “komunitas imajiner” yang membedakan
mereka dengan kelompok lain (Ben Anderson, 1991). Ini artinya, kelompok
masyarakat yang menjadi bagian dari warga bangsa mungkin tidak pernah
mengenal satu sama lain, bertemu dan bertatap muka, namun mereka memiliki
minat yang sama atau mengidentifikasi diri dan kelompok sebagai bagian dari
bangsa yang sama.
28
Nasionalisme muncul dan berkembang menjadi sebuah paham (isme) yang
dijadikan sebagai landasan hidup bernegara, bermasyarakat dan berbudaya
dipengaruhi oleh kondisi histori dan dinamika sosio kultural yang ada di masing-
masing negara. Nasionalisme akan muncul ketika suatu kelompok suku yang hidup
di suatu wilayah tertentu dan masih bersifat primordial berhadapan dengan
manusia-manusia yang berasal dari luar wilayah kehidupan mereka. Sikap
nasionalisme akan tumbuh ketika proses interaksi antar kelompok masyarakat
terjadi secara tidak seimbang, ada proses kooptasi dan eksploitasi antara yang
satu terhadap yang lain. Ketika hal ini terjadi, lambat laun akan muncul tuntutan
persamaan hak bagi setiap orang untuk memegang peranan dalam kelompok atau
masyarakat (demokrasi politik dan demokrasi sosial) serta adanya persamaan
kepentingan ekonomi. Munculnya tuntutan inilah yang kemudian melahirkan
ikatan emosional diantara anggota kelompok masyarakat yang akhirnya
melahirkan imaginasi bersama. Imaginasi kolektif tentang bangunan masyarakat
inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah nasionalisme modern. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa munculnya nasionalisme merupakan respon
terhadap suasana politik, ekonomi, sosial dan budaya, terutama respon terhadap
penjajahan.
Dilihat dari sejarah perkembangannya, nasionalisme mula-mula muncul
menjadi kekuatan penggerak di Eropa Barat dan Amerika Latin pada abad ke-18. Di
Amerika Utara misalnya, nasionalisme lahir karena perluasan dibidang
perdagangan kira-kira pada tahun 1000. Ada pula yang berpendapat bahwa
manifestasi nasionalisme muncul pertama kali di Inggris pada abad ke-17, ketika
terjadi revolusi Puritan. Namun dari beberapa pendapat tersebut dapat dijadikan
asumsi bahwa munculnya nasionalisme berawal dari Barat (yang diistilahkan oleh
Soekarno sebagai nasionalisme Barat) yang kemudian menyebar ke daerah-daerah
jajahan (http://kafeilmu.com/2011/04/sejarah-dan-perkembangan-
nasionalisme.html).
29
Di Indonesia, gerakan nasionalisme mulai bangkit pada tahun 1908 yang
ditandai dengan berdirinya organisasi “Boedi Oetomo (Akira Nagazumi; 1989).
Nasionalisme yang tumbuh masa itu masih bersifat lokal, kedaerahan dan
kelompok, belum pada tataran kenegaraan sebagaimana tercermin dalam gerakan
Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamiten Bond dan sebagainya.
Meski konsep nasionalisme ini berasal dari Barat, namun para aktivis
gerakan nasionalis saat itu tetap melakukan konstruksi terhadap pemikiran
nasionalisme Barat yang materialistis tersebut, sehingga menjadi nasionalisme
antikolonialisme yang kemudian menjadi spirit kemerdekaan (Partha Chatterjee
dalam http://kafeilmu.com/2011/04/sejarah-dan-perkembangan-nasionalisme.html).
Nasionalisme antikolonialisme ini memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang
membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi
adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi.
Dalam domain ini superioritas Barat harus diakui dan mau tidak mau harus
dipelajari dan direplikasi oleh spirit dunia Timur. Pada sisi lain, adalah sebuah
"dunia dalam" yang membawa tanda esensial dari identitas budaya. Semakin besar
kemampuan Timur mengimitasi kemampuan Barat dalam dunia materi, semakin
besar pula keharusan melestarikan perbedaan budaya spiritnya. Dalam domain
spiritual inilah nasionalisme masyarakat pascakolonial mengklaim kedaulatan
sepenuhnya terhadap pengaruh-pengaruh dari Barat.
Definisi lain menyebutkan, nasionalisme adalah suatu paham yang
menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan
mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia
(Wikipedia, 2006). Dalam konteks Indonesia, pengertian ini dapat kita cocokkan
dengan sejarah Indonesia ketika tahun 1945, yang pada saat itu para pendiri
bangsa berusaha membuat sebuah nasionalisme yang dapat mempersatukan
seluruh masyarakat yang berada dalam wilayah jajahan Belanda. Nasionalisme
yang kemudian dihasilkan adalah sebuah nasionalisme yang berdasarkan kepada
30
kesamaan nasib. Konsep yang dihasilkan para pendiri bangsa tersebut berhasil
untuk mempersatukan wilayah yang kita kenal sebagai Indonesia pada saat ini.
Paparan di atas menunjukkan bahwa pengalaman bersama sebagai bangsa
yang dijajah dan ditindas telah menimbulkan perasaan senasib yang pada
ujungnya menumbuhkan suatu imajinasi kolektif tentang Indonesia yang merdeka
dan berdaulat yang merupakan puncak dari bentuk masyarakat yang
diimaginasikan bersama. Dalam konteks kekinian, apakah pengalaman bersama itu
masih dirasakan oleh seluruh warga bangsa? Apakah seluruh komponen bangsa
Indonesia saat itu masih memiliki perasaan senasib? Lalu apa yang bisa dijadikan
sebagai pengikat nasionalisme jika pengalaman hidup mereka sudah berbeda? Apa
yang bisa menyatukan seleuruh warga bangsa sehingga mereka merasa memiliki
perasaan senasib? Inilah pertanyaan yang perlu dijawab jika kita hendak
melakukan aktualisasi terhadap spirit nasionalisme kita saat ini.
Politik Etis Sebagai Pembuka Kesadaran Nasionalisme.
Dalam upaya menjawab pertanyaan di atas kita perlu melacak jejak tumbuh
kembangnya nasionalisme Indonesia. Melalui jejak sejarah ini kita dapat melihat
bagaimana proses kebangkitan nasionalisme tumbuh. Bagaimana para founding
fathers yang menjadi motor gerakan nasionalis dapat mengintegrasikan berbagai
gerakan nasional yang fragmented (terjebak dalam spirit kedaerahan, suku dan
aliran) bisa terintegrasi secara utuh menjadi gerakan semesta nasionalisme
Indonesia. Dari sini kita belajar sekaligus menganalisa aspek apa saja yang bisa
ditiru dan dipertahankan, sehingga kita memiliki referensi yang jelas, relevan dan
sesuai dengan akar-akar sosiologis masyarakat Indoensia.
Kebangkitan spirit nasionalisme Indonesia tidak bisa lepas dari kebijakan
politik etis yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial belanda. Melalui kebijakan
politik etis yang diusung oleh van Deventer, Abendanon dan sebagainya, akses
pendidikan Barat untuk kaum pribumi mulai terbuka. Sejak tahun 1891 diputuskan
untuk mengizinkan semua pemuda yang menyatakan berminat pada pendidikan
31
“dokter Jawa” untuk mengikuti sekolah dasar Eropa tanpa dipungut bayaran (Robert
van Niel, 1984; hal. 76).
Pada awalnya, kebijakan politik etis ini dimaksudkan sebagai balas jasa
pemerintah kolonial Belanda terhadap Negara Hindia Belanda yang telah dikuras
kekayaannya. Selain itu juga dimaksudkan untuk merekrut tenaga kerja pribumi.
Krisis ekonomi yang menimpa pemerintahan Belanda pada akhir abad 19
mengharuskan dilakukannya penghematan anggaran. Untuk itu perlu dilakukan
pengurangan pengiriman ekspatriat ke negara-negara jajahan karena gajinya
terlalu tinggi dan ongkosnya mahal. Jalan keluar untuk mengatasi masalah ini
adalah mendidik orang-orang Indonesia sampai pada batas memiliki ketrampilan
untuk menjalankan tugas sebagai pegawai. Ini perlu dilakukan karena ongkosnya
lebih murah juga gaji yang diberikan kepada pribumi tidak setinggi para ekspatriat.
Sejak saat itu dilakukan reorganisasi besar-besaran terhadap sistem
pendidikan Barat di Indonesia. Untuk memenuhi tuntutan profesionalitas
pekerjaan, beberapa jenis sekolahan model barat yang menggunakan bahasa
Belanda dibuka sampai ke desa. Misalnya, Sekolah Dokter Hewan dibuka pada
1907, Sekolah Hukum didirikan pada tahun 1908. Sekolah menengah pertanian
dimulai pada tahun 1903 dan Sekolah Keguruan dibuka tahun 1909 (Van Niel, Ibid,
hal. 81). Pada awalnya kebijakan ini hanya diberikan kepada anak-anak muda
priyayi yang tidak mendapat tempat dalam pemerintahan, namun keterbukaan ini
pada akhirnya juga dapat dinikmati oleh anak muda yang bukan dari golongan
ningrat. Semua sekolah model Barat yang dibuka olejh Belanda ini akhirnya
melahirkan para elit intelektual Indonesia.
Kebijakan politik etis ini ternyata menumbuhkan arus balik. Kebijakan politik
yang bertujuan membangun kader loyalis kepada pemerintah kolonial dengan cara
menjadikan mereka sebagai pegawai pemerintah kolonial dengan gaji dan fasilitas
yang memadai, ternyata justru membangkitkan kesadaran nasionalisme kaum
terpelajar. Alih-alih menjaadi tenaga kerja yang loyal pada pemerintah kolonial,
meningkatnya taraf pendidikan justru membuat membuat para mahasiswa menjadi
32
bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial yang pada akhirnya
berujung pada munculnya sentimen primordial sebagai basis terbentuknya spirit
nasionalisme.
Salah satu kebijakan yang membuat sentimen kebangsaan mereka bangkit
adalah kebijakan diskriminatif yang dilakukan pemerintah kolonial antara
mahasiswa pribumi dengan orang-orang Eropa. Para mahasiswa Indonesia yang
belajar di STOVIA, misalnya, merasa tidak puas oleh aturan diskrimatif yang
diberlakukan oleh pemerintah kolonial terhadap mereka, karena menganggap hal
ini sebagai tanda rendahnya kedudukan mereka dimata orang Eropa.
Pendidikan Barat tidak saja membuka kesadaran kritis mahasiswa, di sisi
lain juga menimbulkan terjadinya benturan dalam diri para mahasiswa Indonesia.
Tata cara Barat yang dipaksakan pada asas ke-Timur-an ternyata mengundang
pertikaian. Hal ini, diantaranya, terlihat pada sosok Dr. Rajiman Wediodiningrat.
Dia menerima gelar “Dokter Jawa” pada tahun 1899, kemudian pada tahun 1909
berangkat ke negeri Belanda dan menjadi dokter yang diakui penuh dengan standar
Barat. Rajiman adalah sosok yang mempelajari dan menguasai pemikiran dan
filsafat Barat seperti Immanuel Kant, Bergson, dan Karl Marx. Bahkan dia
mendalami teosofi Annie Besant, yang mengajarkan tentang persaudaraan
universal, agama yang sinkretis serta potensi mistis kehidupan dan kebendaan.
Namun dokter Rajiman tidak menelan mentah-mentah semua pemikiran Barat
tersebut. Sebagai seorang Jawa yang mengenal tradisi, budaya dan nilai-nilai Jawa,
dia tetap menggunakan akar kosmologi jawa dalam kerangka pikir dan membangun
kekuatan batinnya.
Hal seperti ini tidak dilakukan Rajiman sendirian, hampir seluruh intelektual
pribumi produk politik etis menggunakan cara pikir seperti Rajiman. Hampir semua
intelektual pribumi produk politik etis memiliki cara pikir yang sama dengan
Rajiman, seperti Abdul Muis yang tidak dapat berdamai dengan Indo-Indo Eropa
yang dijumpainya di tempat dia bekerja. Dia lebih baik pindah kerja ke tempat lain,
memilih menjadi penerjemah di Majalah Bintang Hindia asuhan Dr. Rivai. Bahkan
33
ketikan majalah ini bangkrut, dia tidak mau kembali bekerja menjadi pegawai
pemerintah Belanda, karena merasa tidak cocok, dia akhirnya memilih mencari
tempat kerja lain. Semua ini menunjukkan para intelektual pribumi tetap
menggunakan akar-akar tradisi dan kosmologis Jawa dalam tata pikir dan
bersikap, Menurut Duevendak, mereka para intelektual pribumi tetap menggunakan
akar kosmos Jawa dan hanya secara dangkal saja berakar pada tradisi Barat,
dimana pendidikan dan tinjauan mereka terhadap pemikiran Barat hanya mungkin
menjangkau segi-segi materinya saja (Niel, Ibid; 80).
Apa yang terjadi menunjukkan bahwa para aktivis gerakan nasionalis adalah
para intelektual yang memiliki integritas dan karakter yang kuat dalam
menghadapi berbagai tekanan, baik politis maupun ideologis. Mereka memiliki
daya tahan diri yang kokoh sehingga tidak mudah hanyut oleh gemerlap pemikiran
Barat modern yang menyilaukan dan tawaran materi pemerintah kolonial yang
menggiurkan. Kalau diukur dengan realitas zamannya, para intelektual itu adalah
mereka yang sudah masuk dalam pergaulan global, berinteraksi dengan
masyarakat internasional secara intens, bersinggungan dengan berbagai konsep
dan pemikiran Barat yang rasional, tapi mengapa mereka bisa bertahan dari
gempuran rasionalitas Barat? Apa yang menumbuhkan sikap kreatif mereka
sehingga bisa mengkritik Barat kemudian membuat konsep baru yang memadukan
cara pikir Barat yang rasional dengan nilai-nilai dan akar kosmologi Timur yang
mistik dan spiritual? Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan penulis paparkan
dalam bagian berikut.
Akar Nasionalisme dan Peranan Kaum Intelektual Muda
Ada dua faktor yang membuat kaum intelektual pribumi memiliki kekebalan
kultural (cultural immunity) ketika menghadapi gempuran dan tekanan paradigma
intelektual dan kebudayaan Barat modern. Pertama, pemahaman sejarah yang kuat.
Pemahaman terhadap sejarah inilah yang membuat mereka merasa percaya diri
34
dan memiliki martabat. Kebesaran sejarah masa lalu sebagaimana tercermin
dalam kerajaan-kerajaan merupakan cermin bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa besar dengan peradaban besar. Oleh karenanya tidak layak kalau bangsa
besar ini harus tunduk pada penjajah. Kesadaran seperti inilah yang lambat laun
melahirkan sikap sentimen anti penjajah.
Sebagaimana dinyatakan oleh Kahin, hal-hal yang melandasi tumbuh dan
berkembangnya nasionalisme adalah kebanggaan pada kejayaan tradisi masa
lalu. Kesadaran akan kekuatan politis yang sudah ada sebelumnya, seperti
ditunjukkan oleh garis batas wilayah pengawasan kerajaan-kerajaan Indonesia
pada masa lalu dan kejadian-kejadian seperti dikalahkannya anagkatan perang
Kubilai Khan yang sedang memperluas kerajaannya oleh orang Jawa, berbarengan
dengan kenang-kenangan akan keagungan kebudayaan masa lalu, seperti misalnya
Sriwijaya yang sudah menjadi pusat pendidikan agama Buddha internasional
(George Mc. Turnan Kahin; 1995; hal. 50).
Kedua, faktor pemahaman terhadap akar-akar tradisi yang berkembang di
masyarakat. Tradisi adalah tempat bersarangnya suatu kesadaran. Tanpa
mengenal tradisi seseorang akan kehilangan jatidiri sehingga mudah diombang-
ambingkan oleh kenyataan karena mereka tidak memiliki tempat berpijak yang
jelas. Sebaliknya, seseorang yang memiliki pemahaman terhadap akar tradisi yang
yang kuat, mereka akan memiliki pijakan yang kokoh ketika berhadapan dengan
berbagai macam tekanan. Para elite intelektual produk politis merupakan contoh
konkrit mengenai hal ini. Mereka mempelajari konsep pemikiran Barat,
bersinggungan dengan kebudayaan Barat, tetapi mereka tidak hanyut dan lebur.
Sebaliknya, seluruh pemikiran dan kebudayaan Barat hanya dijadikan referensi
untuk merekonstruksi berbagai akar tradisi yang dimilikinya, sehingga lahir
berbagai pemikiran yang menggunakan cara pikir Barat namun tetap berakar pada
akar tradisi. Hal itu tercermin dalam konsep nasionalisme Indonesia, ekonomi
gotong royong (koperasi), sebagaimana dirumuskan Hatta, Gerakan Murba dan
35
Marhaen yang merupakan konstruksi pemikiran sosialisme ala Indonesia yang
dirumuskan oleh Tan Malaka, Soekarno, dan sebagainya.
Hal yang sama juga terjadi pada para pemikir keagamaan. Pada zaman
kolonial, banyak ulama Indonesia yang belajar ke Timur Tengah, seperti Syech
Nawawi al Bantani, Abu Shomad al-Falembangi, Syech Arsyad al-Banjari, Kyai
Mahfudz Termas, Kyai Hayim As’ari, KH Ahmad Dahlan dan sebagainya. Tetapi
setelah pulang ke Indonesia, mereka tidak melakukan arabisasi atas nama Islam.
Mereka tetap membangun konstruksi pemikiran Islam Nusantara yang
mengakomodasi adat dan tradisi sebagai sarana pengembangan Islam. Bahkan
mereka menulis beberapa kitab dengan memasukkan berbagai unsur tradisi dalam
pemikiran keagamaan mereka. Misalnya Syceh Arsyad al-Banjari memasukkan
konsep gono-gini dalam hukum fiqih. Semua kitab karangan ulama Indonesia
menjadi rujukan di Timur Tengah hingga saat ini.
Ini membuktikan dengan pemahaman tradisi dan akar budaya yang kokoh,
para ulama berhasil meempertahankan diri dari tekanan wahabi yang hendak
menghancurkan berbagai tradisi atas nama agama. Sebaliknya, dengan kekuatan
tradisi mereka membuat perlawanan melalui berbagai pemikiran keagamaan yang
lebih kreatif dan mudah diterima oleh umat, sehingga tidak mengganggu integrasi
sosial yang sudah terjadi di masyarakat.
Selain faktor kesadaran historis dan pemahaman tradisi, ada faktor lain
mendukung tumbuhnya nasionalisme Indonesia, yaitu munculnya kesadaran
identitas kultural yang bisa menjadi budaya tandingan (counter culture) yaitu
identitas Islam Nusantara. Menurut Kahin, Islam sebagai mayoritas menjadi
identitas kultural membangkitkan perlawanan kaum penjajah yang beragama
Kristen. Dalam derajat tertentu Islam menjadi identitas pembeda antara kelompok
nasionalis pribumi dengan kaum penjajah. Di sini Islam tidak semata-mata
menjadi ideologi keagamaan tetapi sekaligus juga menjadi simbol dan identitas
kultural kaum pribumi yang terjajah. Sebagaimana dinyatakan Wertheim:
36
“Seseorang memang dapat menunjang paradoks bahwa perluasan Islam di
kepulauan Indonesia adalah akibat ulah orang-orang Barat. Datangnya
Portugis ke wilayah Nusantara mendorong sejumlah besar bangsawan
Indonesia untuk memeluk kepercayaan Islam sebagai suatu pergerakan politis
untuk melawan penetrasi Kristen (WF. Wertheim, 1950; 52)”.
Kesadaran historis dan pemahaman tradisi ini tidak saja bisa melahirkan
ketahanan budaya yang menghasilkan sosok yang berkarakter dan memiliki
integritas, lebih dari itu juga melahirkan kesadaran kreatif yang mampu
melampaui sekat-sekat primordial yang ada pada saat itu. Hal ini dibuktikan
dengan dicetuskannya bahasa kesatuan yang mampu mengakomodasi berbagai
perbedaan yang ada. Dalam hal ini Kahin menyatakan integrasi nasionalisme
Indonesia terjadi karena adanya bahasa kesatuan. Sebagaimana dinyatakan
Bousquet:
“Karena orang Belanda tidak membiarkan pemakaian bahasanya meluas sebelum
nasionalisme lahir, kini kaum nasionalis memakai bahasa Melayu sebagai sesuatu
senjata melawan pengaruh Belanda…. Mereka percaya diri mampu menempa
suatu rantai untuk mencapai tujuan-tujuannya, namun kini mereka melihat,
bahwa mereka telah menyediakan suatu senjata, senjata psikologis yang
menggetarkan, yaitu suatu bahasa nasional umum yang dipakai untuk
mengungkapkan asapirasi-aspirasi nasonal umum mereka” (Bousquet dalam
Kahin, Ibid; 51).
Fakta sejarah di atas menunjukkan bahwa motor gerakan nasionalisme
adalah para pemuda dan intelektual. Integritas dan komitmen para intelektual
muda ini mampu meruntuhkan kemapanan para ningrat dan raja-raja lokal sering
dipakai pemerintah kolonial untuk melemahkan semangat kesatuan. Ketika gerakan
nasionalisme makin menguat, para ningrat akhirnya ikut dalam gerakan ini. Tidak
hanya itu, kelas menangah yang terdiri dari para pedagang pribumi dan Cina
akhirnya ikut mendukung gerakan kaum nasionalis. Peran para intelektual dalam
gerakan nasionalisme ini juga diakui oleh Shil yang menyatakan:
“Persiapan kemerdekaan, kelahiran dan kelangsungan hidup Negara-negara
baru di Asia dan Afrika dengan segala perubahannya pada dasarnya
merupakan hasil karya kaum cendekiawan. Belum pernah dalama sejarah
manusia kaum cendekiawan begitu berperan dalam pembentukan Negara
seperti yang mereka lakukan di dalam peristiwa-peristiwa abad
37
ini……..Keunggulan kaum cendekiawan dalam politik di Negara-negara baru
baik di Asia dan Afrika sebagian disebabkan oleh karena adanya hubungan
antara orientasi cendekiawan modern dengan pelaksanaan politik revolusioner
atau politik yang tidak konstitusional dan dengan pelaksanaan politik yng non
militer” (Edward A. Shils dalam Aidit Alwi dan Zainal AKSP (ed.), 1989; hal. 33
dan 34).
Pernyataan Shills ini juga sejalan dengan apa yang disampaikan Kahin yang
melakukan penelitian sejarah gerakan nasionalisme Indonesia. Dalam hal ini
Kahin menyatakan:
“Satu-satunya yang mungkin dapat dijadikan dasar keberhasilan gerakan
kebangsaan Indonesia yang cukup kuat untuk mencapai tujuan politiknya,
hanyalah pembentukan hubungan efektif antara kepemimpinan nasionalis
yang terutama berasal dari unsur-unsur cendekiawan Indonesia serta kelas
menengah yang sangat sedikit jumlahnya, dan massa Indonesia” (Kahin, Ibid;
78-79).
Secara spesifik, peran kaum muda dalam revolusi kemerdekaan Indoensia
dipaparkan oleh Ben Anderson. Dalam bukunya “Revolusi Pemuda” Anderson
menjelaskan karakteristik revolusi Indonesia yang menyimpang dari pola
sosiopolitik revolusi-revolusi modern lainnya. Menurut Anderson pusat daya
dorong kekuatan revolusi dalam perjuangan merebut kemerdekaan terletak, bahkan
dengan tingkat yang menentukan, berada di tangan pemuda Indonesia. Yang
menarik dari penjelasan Anderson, para pemuda ini tidak hanya yang berasal dari
kaum intelektual pendidikan Barat, tetapi juga intelektual pesantren yang
bekerjasama dengan para aktivis gerakan nasional yang berpendidikan Barat.
Mereka bahu membahu melakukan revolusi merebut kemerdekaan (Benedict
Anderson; 1988).
Memudarnya Spirit Nasionalisme
Dalam konteks kekinian kita menyaksikan terjadinya fragmentasi di kalangan
masyarakat. Konflik sosial terjadi dimana-mana, kesenjangan antara yang miskin
dan kaya menjadi semakin tajam dan apatisme masyarakat terhadap simbol dan
persoalan kenegaraan semakin meningkat. Pertanyaan yang muncul adalah, masih
38
adakah kesamaan imaginasi di kalangan masyarakat Indonesia saat ini
sebagaimana yang terjadi pada era pergerakan nasional? Apakah konsep
masyarakat yang diimaginasikan masih relevan untuk dijadikan dasar
terbentuknya nasionalisme dalam konteks kekinian?
Melihat fenomena sosial yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia
saat ini, jelas terlihat telah terjadi peluruhan nilai-nilai kebangsaan, jika ukuran
kebangsaan adalah masyarakat yang diimaginasikan yang berpijak dari kesamaan
nasib dan pengalaman. Sebagaimana kita lihat, saat ini muncul berbagai macam
imaginasi komunitas di kalangan masyarakat. Sekelompok orang
mengimaginasikan munculnya komunitas Islam yang kokoh, sebagian lagi
mengimaginasikan adanya komunitas etnik yang solid dan mandiri sebagaimana
tercermin dalam tuntutan otonomi daerah yang berlebihan. Perbedaan imaginasi
komunitas ini menyebabkan terjadinya keretakan dalam relasi sosial. Ini artinya
nasionalisme era pergerakan sudah tidak sesuai dengan realitas kekinian.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya masalah ini. Menurut
Irwan Abdullah faktor tersebut adalah adanya proses eksklusi dan inklusi yang
dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Selain itu, juga karena adanya unifikasi
(penyeragaman) (Irwan Abdullah, 2006; h. 65-66). Proses penyeragaman agama
telah menghancurkan keyakinan lokal karena para pemeluknya dipaksa menganut
agama resmi yang sudah disiapkan oleh pemerintah. Kuatnya pengaruh agama
resmi bahkan telah menghancurkan berbagai jenis kebudayaan daerah.
Kebudayaan Jawa yang sangat kaya dengan berbagai aktivitas dan kebudayaan
materian perlahan-lahan berubah menjadi kebudayaan agama yang
mengelompokkan masyarakat menjadi Jawa Islam atau Kristen (Abdullah dan
Kutanegara; 2005). Hal yang sama juga terjadi dalam univikasi tradisi dan
kebudayaan yang menyebabkan hancurnya berbagai kebudayaan lokal.
Proses eksklusi-inklusi dan univikasi yang dilakukan oleh pemerintah Orde
Baru telah menyebabkan terjadinya perbedaan pengalaman di kalangan
masyarakat Indonesia. Mereka yang diuntungkan oleh proses tersebut akan
39
memiliki imaginasi yang berbeda dengan mereka yang menjadi korban. Serpihan-
serpihan imaginasi ini menjadi semakin kecil dan sempit ketika berhadapan
dengan berbagai kepentingan pragamatis yang dangkal dan sesaat. Akibatnya
masyarakat menjadi terfragmentasi dan menjadi komunitas yang rentan
perpecahan (fragile society).
Selain itu, proses eksklusi-inklusi dan univikasi yang didukung oleh
pragmatisme telah menghilangkan empati dan solidaritas yang menjadi sendi
utama terbentuknya spirit nasionalisme. Pragmatisme ini muncul debagai dampak
dari kuatnya desakan arus modernisme yang diterima secara artifisial dan
fragmented, tidak secara holistik dan substantif. Modernisme yang artifisial hanya
menawarkan sikap hidup hedonis, materialis dan konsumtif. Akibatnya membuat
orang mudah terlena dan hanyut, sehingga tercerabut dari akar tradisi yang
menjadi pijakan. Karena tidak memiliki akar kultural, maka mudah diombang
ambingkan oleh keadaan, tidak memiliki identitas kultural yang jelas sehingga
timbul krisis identitas. Inilah yang terjadi pada generasi muda Indonesia saat ini
termasuk para elite intelektual. Mayoritas kaum intelektual sudah terbuai oleh
arus globlisasi yang menempatkan mereka menjadi bagian dari masyarakat dunia,
kemudian mengunyah seluruh konsep dan pemikiran global tanpa melakukan
refleksi dan komparasi. Ini terjadi karena mereka sudah tidak memiliki referensi
kultural yang bisa dijadikan sebagai pembanding terhadap berbagai teori dan
konsep yang datang dari luar. Bahkan mereka cenderung mengabaikan dan
memandang rendah konsep-konsep yang berasal dari tradisi lokal yang sebenarnya
kaya makna. Alih-alih melakukan rekonstruksi teoritik dan konsepsional
sebagaimana yang dilakukan oleh founding fathers mereka justru menolak
pemikiran lokal karena dianggap tradisinoal. Inilah yang menyebabkan hancurnya
kearifan lokal yang sudah diwariskan oleh para pendahulu.
Selain kehilangan akar kultural yang bisa menjadi pijakan dan kerangka
acuan berpikir, mayoritas kaum muda dan elite intelektual Indonesia juga
kahilangan pemahaman sejarah. Mereka hampir tidak mengenal sejarah
40
bangsanya. Karena tidak memiliki referensi sejarah bangsanya, mereka
menggunakan referensi bangsa lain yang belum tentu cocok dengan kondisi
sosiologis masyarakat Indonesia untuk diterapkan dalam tatanan sosial
masyarakat Indonesia. Akibatnya terjadi benturan kultural yang menyebabkan
terjadinya goncangan sosial secara terus menerus. Proses reformasi yang terjadi
saat ini merupakan cerminan dari terjadinya benturan kultural ini.
Apa yang terjadi menunjukkan imaginasi masyarakat yang dibangun oleh
kaum pergerakan sudah tidak relevan dengan realitas kekinian. Jika demikian, lalu
apa yang bisa menjadi dasar terbentuknya imaginasi masyarakat dalam konteks
kekinian? Dengan kata lain bagaimana konsep nasionalisme diaktualisasikan?
Atau nasionalisme sudah tidak dibutuhkan lagi?
Aktualisasi Spirit Nasionalisme Kaum Intelektual
Nasionalisme tetap penting sebagai jangkar dalam kehidupan sosial manusia,
karena secara faktual eksistensi negara bangsa masih tetap diakui dan berlaku
dalam relasi sosial antar umat manusia. Meski batas-batas teritorial makin kabur
karena kemajuan tehnologi komunikasi dan informasi, namun kesadaran
nasionalisme tetap dibutuhkan sebagai identitas kultural dan formal suatu
masyarakat. Dalam konteks Indonesia nasionalisme yang berkaitan dengan
persoalan teritorial, kedaulatan dan kenegaraan sudah selesai. Artinya
nasionalisme yang berdasar pada imaginasi masyarakat yang memiliki negara
yang berdaulat sudah tercapai dengan perwujudan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dalam konteks Indonesia saat ini, aktualisasi nasionalisme Indonesia
diarahkan pada tegaknya harkat dan martabat kemanusiaan. Sebagaimana kita
ketahui, kuatnya tarikan pragmatisme telah menjerumuskan manusia pada
penghancuran nilai-nilai kemanusiaan. Hampir seluruh aspek kehidupan terjadi
secara transaksional dengan mengabaikan harkat kemanusiaan. Politik yang
mestinya menjadi instrumen untuk mengorganisasikan kepentingan bersama telah
41
menjadi alat transaksi untuk mengamankan kepentingan kelompok. Hukum telah
menjadi alat untuk menjaga kepentingan kekuasaan dan ekonomi menjadi sarana
akumulasi materi. Dalam kondisi seperti ini, nasionalisme akan kehilangan arti
jika hanya berorientasi pada upaya menjaga keutuhan teritorial Indonesia. Dalam
kondisi seperti ini upaya menjaga dan menegakkan harkat dan martabat
kemanusiaan menjadi penting, karena inilah yang bisa melampaui sekat-sekat
kepentingan pragmatisme yang sedang terjadi.
Kedua, nasionalisme harus berpijak pada kesejahteraan manusia. Upaya
membangun perasaan bersama dan kesetiaan akan sia-sia jika sebagian dari
warga bangsa ada yang merasa diabaikan nasibnya, tidak ikut merasakan
kesejahteraan dan keadilan dari masyarakat yang diimajinasikan. Jika hal ini
terjadi maka nasionalisme akan mengalami keretakan. Kesulitan hidup,
penderitaan dan kemiskinan akan memancing tumbuhnya imaginasi masyarakat
yang bisa menjadi alternatif dari imajinasi awal yang ternyata tidak memberikan
manfaat apapun dalam kehidupan mereka.
Pendeknya, penegakan harkat dan martabat kemanusiaan serta mewujudkan
kesejahteraan manusia merupakan pilar dasar terbentuknya nasiaonalisme
Indonesia saat ini. Dengan kemikian kedua hal ini harus menjadi acuan dan
standar dalam seluruh aspek kehidupan bernegara; politik, ekonomi, hukum,
budaya. Penerapan demokrasi harus berpijak pada kedua tersebut. Kedua aspek ini
juga bisa menumbuhkan sikap empati yang bisa mengikat kesadaran dalam suatu
kebersamaan secara sukarela. Masyarakat tidak akan mencari alternatif imaginer
jika harkat dan martabatnya ditegakkan dan kesejahteraannya dijamin.
Sebagaimana dinyatakan Shils, kaum inteletual memiliki peran penting dan
strategis dalam upaya melakukan sosialisasi atas aktualisasi nilai-nilai
kebangsaan. Harus ada perubahan orientasi dan transformasi kaum intelektual.
Kaum intelektual tidak bisa menjadi menara gading yang sibuk membuat konsep
sambil memandang dari jauh reliatas yang ada dan menjaga jarak dengan problem
sosial atas nama independensi dan obyektivitas. Dalam istilah Antonio Gramsci,
42
harus ada kesadaran menjadi intelektual partisipan, bagi kalangan akademisi
kampus, yaitu intelektual yang terlibat dalam gerak bersama dengan massa rakyat
untuk pembaharuan masyarakat dengan seluruh aksi politis dan pendidikan
penyadaran (Antonio Gramscy, 1971).
*)
Gambaran intelektual partisipan terlihat jelas pada sosok para aktivis
gerakan nasionalisme Indonesia. Mereka tidak tersekat oleh latar belakang
akademik, disiplin ilmu dan profesi. Mereka disatukan oleh komitmen dan
tanggung jawab untuk memperjuangkan kemanusiaan. Menurut Eyerman,
intelektual memiliki peran yang sangat penting dalam setiap penggal sejarah
kehidupan suatu bangsa (Ron Eyerman, 1996).
Agar para intelektual tetap memiliki karakter dan integritas, maka mereka
perlu memahami akar tradisi dan sejarah bangsanya sendiri. Selain itu, melalui
pemahaman tradisi dan sejarah para inteletual akan dapat melakukan
rekonstruksi konsepsional dan teoritik atas berbagai ilmu pengetahuan yang telah
diperoleh. Artinya ada proses aktualisasi terhadap teori yang dipelajari sehingga
memiliki koneksitas dan kesesuaian dengan kondisi sosiologis masyarakatnya.
Tanpa adanya ini, seorang intelektual hanya menjadi pemulung ide; mencomot
suatu gagasan dari tempat lain kemudian diterapkan secara paksa dalam suatu
konteks sosial, meski konsep tersebut ditolak oleh kenyataan kerena kondisi sosial
yang tidak cocok. Selain itu, intelektual seperti ini mudah hanyut dalam pusaran
arus kehidupan karena tidak memiliki pijakan yang kokoh dan pegangan yang kuat
*)
Menurut Gramscy ada lima tipologi intelektual; pertama, tipologi intelektual
tradisional yaitu penyebar ide dan mediator antara massa rakyat dan kelas
atasnya; kedua, intelektual organic yaitu kelompok intelektual dengan badan
penelitian dan studynya berusaha untuk member refleksi atas keadaan namun
terbatas untuk kepentingan kelompoknya sendiri; ketiga, intelektual kritis, mereka
yang mampu melepaskan diri dari hegemoni elit kekuasaan yang sedang
memerintah dan mampu memberikan pendidikan alternatif untuk proses
pemerdekaan; keempat intelektual universal yaitu intelektual yang mampu
memperjuangkan tegaknya harkat dan martabat kemanusiaan; kelima, intelektual
partisan, sebagaimana dijelaskan di atas.
43
dalam menghadapi gempuran peradaban. Semoga ini tidak terjadi pada diri
intelektual Indonesia saat ini.***
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan (2006). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta;
Pustaka Pelajar
-------------------- dan Pande Made Kutanegara (2005). Otonomi dan Hak-hak Budaya
Daerah, dalam Ki Supriyoko (ed.), Pendidikan Multicultural dan Revitalisasi
Hukum Adat dalam Perspektif Sejarah, Jakarta; Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata.
Anderson, Bennedict (1991). Imagined Communities, London, Verso
------------------- (1988). Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di
Jawa 1944-1946, Yogyakarta; Pustaka Sinar Harapan.
Eyerman, Ron (1996). Cendekiawan: Antara Budaya dan Politik Dalam Masyarkat
Modern, Terjemahan Matheos Nalle, Jakarta; Yayasan Obor.
Gramscy, Antonio (1971). Selections from the Prison Nootebooks, New York;
International Publishers.
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia Jilid 4, Jakarta; Ichtiar Baru-Van Hoeve
http://kafeilmu.com/2011/04/sejarah-dan-perkembangan-nasionalisme.html
Kahin, George Mc. Turnan (1995). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Jakarta:
Sebelas Maret University Press dan Pustaka Sinar Harapan
Nagazumi, Akira (1989). Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918,
Jakarta: Graffiti Press.
Shils, Edward A (1989). Para Cendekiawan dalam Pembangunan Politik di Negara
Baru, dalam Aidit Alwi dan Zainal AKSP (ed.), Elite dan Modernisasi,
Yogyakarta; Liberty.
Robert van Niel (1984). Munculnya Elit Modern Indonesia, Jakarta; Pustaka Jaya.
Wertheim W.F. (1950). Effects of Western Civilization on Indonesian Society, New York.
44
Spirit Nasionalisme dan Profesionalisme Kaum Intelektual
Mendukung Pembangunan Kesejahteraan Sosial
(Tinjauan Sosiologis)
Oleh Dr. Edy Siswoyo*
Kesatuan penelitian yang dibahas dalam makalah ini adalah kaum
intelektual. Dalam istilah yang sangat umum, seseorang intelektual, adalah orang
yang cerdas. Cerdas mampu untuk berpikir secara mendalam. Intelektual juga
berarti orang yang memiliki kekuasaan yang superior intelek. Seorang intelektual,
mungkin bukan hanya sekedar seseorang yang cerdas tetapi orang yang sangat
cerdas, sehingga di masyarakat atau diorganisasi statusnya sering ditempatkan di
tempat terhormat atau tempat yang disegani. Mungkin itulah sebabnya mengapa
intelektual sering melihat ke bawah pada non-intelektual (Kitao, 1998).
Variabel yang hendak ditelaah adalah spirit nasionalisme, profesionalisme
dan dukungan terhadap pembangunan kesejahteraan sosial. Dalam telaah ini,
spirit nasionalisme ditempatkan sebagai harapan yang mewakili kepentingan
negara (state), profesionalisme mewakili tuntutan pasar (market), dan
pembangunan kesejahteraan sosial mewakili kepentingan masyarakat (society).
Sosiologi pada dasarnya menelaah hubungan-hubungan sosial, di mana faktor
power yang signifikan terlibat di dalamnya. Karena itu yang dimaksud dengan
tinjauan sosiologis dalam konteks ini adalah tinjauan yang hendak menempatkan
kaum intelektual dalam power relation atau tepatnya dinamika relasi antara state,
market and society.
Secara empirik memang benar bahwa kaum intelektual telah mengambil
peranan melakukan perubahan demi perubahan; mulai dari masa pra kemerdekaan
Indonesia yang dipelopori oleh kaum pemuda yang mendapat pendidikan baik yang
diselenggarakan oleh Belanda maupun oleh Jepang, dilanjutkan pada masa
revolusi yang bergulir, lalu masa pergantian dari Orde Lama ke Orde Baru yang
melibatkan peran kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa, dan terakhir adalah masa
Orde Reformasi yang juga dimotori oleh kaum intelektual kampus. Begitulah
45
ramainya panggung besar sejarah yang menampilkan peranan kaum intelektual
saat itu, dengan peran memang sebagai intelektual yang relatif bebas dari
kepentingan penguasa, pasar atau kelompok-kelompok kepentingan lainnya.
Pertanyaan untuk masa kini adalah: Di mana dan kemanakah mereka
sekarang ini? Apakah mereka masih perform di panggung besar sejarah Indonesia
masa kini, atau menjadi aktor di balik layar saja, ataukah mereka tampil dengan
kostum lain? Atau menjadi penonton saja? Mengapa demikian? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini, pembahasan dalam makalah ini akan dimulai dengan
memahami kembali arti atau makna yang tekandung di balik kata intellectual.
Dengan demikian selanjutnya akan lebih mudah menempatkan di mana sebaiknya
poisisi kaum intelektual ini dalam konteks pembangunan kesejahteraan sosial
berwawasan nasionalisme dan profesionalisme. Pokok bahasan dalam makalah
ini meliputi: Terminologi Intelektual, Peran Sosial Politik Kaum Intelektual, Peran
Kontekstual Kaum Intelektual: sebagai peneliti, sebagai pendidik, dan sebagai
penasihat politik; Dinamika Peran Kaum Intelektual di Indonesia, Nasionalisme
dan Sektarianisme Kaum Intelektual; Jurnalis dan Pekerja Sosial sebagai Intelektual
Publik; Nasionalisme dan Profesionalime Intelektual Kampus; peluang dan
tantangan.
* Dr. Edy Siswoyo, Kepala P3M (Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) STISIP Widuri.
46
Nasionalisme Bagi Rakyat Kecil:
Tinjauan dari Perspektif Perkembangan Masyarakat Indonesia
Oleh: Retor AW Kaligis*)
"Dan agar yang tidak murni terbakar mati!" (Bung Karno, 1959)
Latar Belakang
Nasionalisme di Indonesia pernah berhasil mendapatkan loyalitas dan
pengorbanan besar dari rakyat. Pada saat Perang Kemerdekaan 1945-1949, rakyat
rela berkorban harta benda dan bahkan nyawa demi keyakinan untuk memiliki
negara dan pemerintahan sendiri.
Nasionalisme di negeri bekas jajahan tidak hanya berbeda dengan
nasionalisme di negara-negara Barat. Di antara sesama bekas jajahan sendiri
terdapat perbedaan karakteristiknya. Meski ekspansi kolonial Eropa pasca
renaissance memiliki pola tertentu, yakni berkaitan dengan sistem pertukaran
ekonomi dari kapitalisme modern, di mana daerah-daerah jajahan merupakan
ekonomi-ekonomi satelit yang menghasilkan pertukaran yang tidak adil dan tidak
seimbang, terdapat perbedaan cara kolonialisme yang tergantung pada basis
material penjajah serta kondisi kemasyarakatan dan kultural negeri jajahan.
Belanda memiliki industri yang kurang maju dan menjajah untuk mencari
bahan baku. Karena itu, kekayaan alam dieksploitasi dan rakyat Indonesia diperas.
Pada umumnya, sekolah-sekolah modern barat baru didirikan seiring dengan
dimulai liberalisasi ekonomi sejak paruh kedua abad ke 19 dalam rangka mengisi
tenaga di pemerintahan dan lapangan swasta. Kesempatan memperoleh pendidikan
lebih tinggi hanya diperuntukkan bagi anggota masyarakat dari strata tertentu:
keluarga priyayi dan pedagang luar Jawa.1
Dari kalangan terdidik tersebut,
*)
Doktor Sosiologi UI, Dosen STISIP Widuri.
1
Di tahun 1900, pendapatan bumiputera per kepala setahun sekitar 63 gulden,
sedang golongan Eropa 2.100 gulden, dan Timur Asing sekitar 250 gulden. Pada
tahun itu hanya 3 orang dari setiap 1.000 penduduk bumiputera yang bersekolah.
47
nasionalisme sebagai ideologi yang bersumber dari dunia Barat masuk dan
berkembang. Kondisi masyarakat kolonial di Hindia Belanda tidak memunculkan
kelas menengah kuat memerlukan kesatuan kekuatan dengan seluruh rakyat,
sehingga melahirkan gerakan nasionalisme yang diarahkan untuk mengangkat
derajat rakyat kecil.
Hal ini berbeda dengan keadaan masyarakat di India. Negeri yang dijajah
Inggris itu menjadi pasar karena overproduksi di negeri induk. Imperialisme
dagang Inggris menjual berbagai barang ke India, seperti gunting, pisau, pakaian,
sepeda, hingga mesin jahit. Karena itu sejak awal imperialisme Inggris sudah
membuka sekolah dan universitas agar rakyat India punya kemauan dan
kemampuan membeli. Implikasinya, corak perjuangan bangsa India untuk melawan
kolonial Inggris tak terlepas dari kepentingan kelas borjuasi. Kalangan pengusaha
India merasa tersaingi dengan kehadiran kolonial Inggris, sehingga tampil para
tokoh pergerakan dari kalangan pengusaha seperti Nehru, Tata, dan Birla. Salah
satu semboyan untuk melawan imperialisme Inggris adalah swadesi (gerakan yang
menganjurkan agar menggunakan barang-barang buatan bangsa sendiri), yang
merupakan kepentingan kaum pengusaha India dalam usaha memenangkan
persaingan dagangnya.2
Gerakan swadesi membuat imperialisme dagang Inggris
Dari sekitar 100.000 bumiputera yang bersekolah, hanya 13 orang yang duduk di
sekolah menengah (HB). Lihat Simbolon, Parakitri T. Menjadi Indonesia: Akar-Akar
Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Kompas-Grasindo, 1995, h. 222.
2
Soekarno membandingkan imperialisme liberal dari Amerika Serikat,
imperialisme semi liberal dari Inggris, imperialisme semi ortodoks dari Belanda,
dan imperialisme ortodoks dari Spanyol dan Portugal. Imperialisme liberal
terhadap rakyat yang dikolonisir itu liberal, ini boleh, itu boleh. Yang semi liberal
itu setengah menindas setengah lapang dada. Yang semi ortidoks memberi jalan
sedikit-sedikit untuk berpikir. Yang ortodoks itu sangat menindas kepada rakyat
yang dikolonisir. Perbedaan cara kolonialisme itu, menurut Soekarno, karena
adanya adanya perbedaan basis material dari penjajah itu. Misalnya, berbeda
dengan Belanda yang memiliki industri kurang maju dan menjajah untuk mencari
bahan baku (rempah-rempah), Inggris menjajah India memiliki tujuan untuk
memperluas pasar sehingga Inggris berkepentingan untuk mempertahankan daya
beli masyarakat India. Kelas menengah India dipertahankan pada saat itu. Lihat
Sukarno. Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Indayu Press, 1984, h. 5-19.
48
menjadi lumpuh dan hal ini berperan besar bagi India untuk meraih
kemerdekaannya tahun 1947.
Adapun di wilayah Indo Cina, tak lama setelah Perang Dunia Kedua, pada 29
Agustus 1945, bekas jajahan Perancis tersebut memproklamasikan
kemerdekaannya melalui revolusi nasional mengusir penjajah asing sekaligus
perjuangan kelas. Hal itu menyebabkan sebagian besar kaum borjuasi dan ningrat
berpihak Perancis. Sisa dari perjuangan kelas itu masih terasa Vietnam, Laos, dan
terutama di Kamboja hingga penghujung abad ke-20, dengan adanya faksi-faksi
Sihanouk, Son San, dan Kiu Sampan.
Berlainan dengan di Indocina, para pemimpin bangsa di Indonesia lebih
mementingkan perjuangan nasional tanpa perjuangan kelas. Keanekaragaman
masyarakat, baik horizontal maupun vertikal, menjadi realita yang berusaha
diakomodir gerakan nasionalisme di Indonesia.
Untuk mengorganisir gerakan nasionalisme, sejak zaman kolonial para
pemimpin gerakan nasionalis yang berasal dari kelas strata atas berpendidikan
modern (barat) menyalurkannya melalui pembentukan organisasi-organisasi
nasionalis. Sulit dibayangkan apakah Yogyakarta dapat menjadi kota perjuangan
tanpa keterlibatan pihak kraton? Demikian halnya dengan kalangan pengusaha -
yang memiliki jaringan sampai ke luar negeri seperti Singapura dan India- tentu tak
mau membantu membiayai keuangan negara Indonesia melalui perdagangan gelap
atau penyelundupan di tengah blokade tentara Belanda, jika diberlakukan
perjuangan kelas. Bambu runcing menjadi simbol perlawanan rakyat kecil
terhadap penjajahan.
Negeri ini mewarisi wilayah kolonial yang dihuni beraneka ragam suku,
agama, ras, dan golongan dengan batas-batas sosial, ekonomi, politik, dan budaya
yang tidak sama. Di tengah sistem ekonomi kapitalisme berkembang pada era
kemerdekaan, masih ada komunitas yang hidup terpencil di pedalaman. Selain
demokrasi modern yang tumbuh di negeri ini, terdapat pula berbagai kerajaan dan
suku dengan berbagai hak tradisionalnya.
49
Semboyan bhinneka tunggal ika sesungguhnya masih merupakan suatu cita-
cita yang harus diperjuangkan. Di masa Orde Baru, persatuan dan kesatuan dijaga
melalui kebijakan anti SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dalam tatanan
politik yang sentralistik, sehingga tidak memupuk kemampuan masyarakat untuk
hidup dalam perbedaan secara jernih, toleransi, dan damai. Hingga sekarang,
hubungan antar golongan seringkali tidak berlangsung sinergis. Konflik sosial
terjadi di berbagai wilayah Indonesia, seperti Kalimantan, Maluku, dan Poso.
Perbedaan pendapat kerap disikapi dengan reaktif serta membuat distingsi tajam
“kami” dan “mereka”.
Kaum nasionalis seringkali mengedepankan persatuan bangsa dan
menggaungkan isu kesejahteraan rakyat. Namun, seberapa solid kekuatannya
mengatasi persoalan ketidakadilan sosial jika berhadapan dengan kepentingan
akumulasi modal? Padahal isu keadilan sosial merupakan masalah sosietal yang
harus diatasi kaum nasionalis agar warga negara umumnya merasa cocok untuk
hidup dalam bangunan politik bernama Indonesia.
Peralihan kekuasaan dari pemerintah kolonial ke penguasa bangsa sendiri
belum mendorong bertumbuhnya keadilan sosial. Meski negeri Indonesia memiliki
tanah-air yang luas dan kekayaan alam berlimpah, warisan sosial kolonialisme
masih berlanjut dengan dilestarikannya ketimpangan penguasaan sumber-sumber
ekonomi.
Sejak masa kolonial, kemajuan teknologi juga sudah berkembang di
nusantara. HW Dick menjelaskan, pada tahun 1900 Jawa merupakan ekonomi yang
paling terintegrasi dan modern secara teknologis antara Benggala dan Jepang.
Teknologi revolusi industri telah diterapkan pada jaringan komunikasi dan
transportasi, pabrik-pabrik raksasa berorientasi ekspor yang membutuhkan
sebagian besar tanah terbaik di Pulau Jawa, sistem irigasi, pengerjaan logam,
industri bermesin berat, produksi barang-barang konsumsi kelas menengah
perkotaan, konstruksi bahan-bahan seperti batu bata dan kayu, serta fasilitas
50
umum seperti gas dan listrik. Di luar Singapura dan Penang, di tempat-tempat lain
manapun di Asia Tenggara tidak ada hal semacam itu.3
Di tengah modernisasi tersebut, rakyat bumiputera umumnya tetap berada
dalam posisi subordinat yang mengalami pemiskinan dan pembodohan.
Kepentingan kolonialisme membuat teknologi lebih digunakan untuk menunjang
sarana eksploitasi sumber daya alam dan manusia.
Pada era kemerdekaan, kemajuan teknologi sebagaimana tercermin dari
perkembangan industri manufaktur, pertambangan, dan sebagainya, juga tidak
membuat Indonesia menjadi sejahtera. Negeri ini masih saja menjadi penjaja
sumber daya alam dan sumber tenaga murah.
Jika ekonomi kolonial memanfaatkan kekuasaan feodal sehingga operasinya
menjangkau hingga ke desa, kini pemodal besar, yang banyak dikuasai asing,
dengan didukung elite bangsa sendiri terus mendominasi sumber-sumber ekonomi.
Pada era 1950-an elite nasionalis mulai terjun menjadi pengusaha nasional
melalui fasilitas lisensi impor dan proteksi, adapun pembangunan ekonomi rakyat
seperti koperasi bagi kaum tani kalah prioritas. Di satu sisi, cita-cita Soekarno
sejak 1927 agar bangsa Indonesia mengurus diri sendiri (self-help) terwujud pada
1957 melalui nasionalisasi berbagai perusahaan asing. Di sisi lain, banyak hasil
nasionalisasi dikuasai militer yang menjadi cikal bakalnya memasuki dunia
bisnis.
Orde Baru menyuburkan kaum pemodal yang melakukan kegiatan besar-
besaran di sektor perkebunan, pertambangan, industri, dan kehutanan. Banyak
petani dan golongan adat kehilangan tanah. Peluang sektor informal perkotaan
dibatasi melalui penggusuran. Banyak rakyat kecil mengalami proletarisasi yang
terjebak lingkaran kemiskinan. Hak-hak adat atas sumber daya ekonomi kian
termarginalkan, sebagaimana tercermin dari segi penguasaan tanah oleh pemodal
3
Lihat tulisan HW Dick, dosen sejarah ekonomi di Melbourne University, berjudul
“Munculnya Ekonomi Nasional, 1808-1990-an” dalam Lindblad, J. Thomas (ed).
51
besar yang mengabaikan keberadaan tanah adat. Di Papua, Aceh, dan Riau yang
terus diambil kekayaan alam pertambangannya, banyak anggota masyarakatnya
bergelut dalam kemiskinan. Di Kalimantan, hak penguasaan hutan (HPH), izin
perkebunan, dan kuasa pertambangan diberikan ke sejumlah pengusaha lokal dan
asing tanpa mempertimbangkan hak-hak adat yang ada di masyarakat lokal.
Adapun di Pulau Jawa sejak zaman kolonial tanah-tanah komunal kian hilang.
Di era reformasi bangsa ini semakin menjajakan kekayaan alamnya ke pihak
asing, aset negara dijual, dan tetap menjadikan penduduknya sebagai sumber
tenaga murah.
Otonomi daerah cenderung baru menggeser pola pembangunan top down dari
tingkat pusat ke daerah. Aspirasi masyarakat adat tetap tersumbat karena seluruh
desa di Indonesia menjadi komunitas tunggal dan seragam. Birokratisasi negara di
tingkat desa tidak memberi tempat bagi para pemimpin adat, seperti kuria (kepala
negeri) di Sumatera Utara, ninik mamak di Sumatera Barat, marga di Sumatera
Selatan, dan kepala-kepala suku.
Indonesia belum dapat mengonsolidasi diri untuk menciptakan kehidupan
kebangsaan yang berpihak rakyat kecil. Persoalan penguasaan sumber-sumber
ekonomi yang berkeadilan sosial dan penyaluran aspirasi berbagai komponen
masyarakat kurang mampu diperjuangkan organisasi kaum nasionalis yang
menyatakan pengakuan akan kebhinnekaan. Secara sosiologis, hal ini
menyebabkan terputusnya hubungan kaum nasionalis dan organisasi nasionalis
dengan rakyat kecil.
Dari perbandingan ideologi dan praktik nasionalisme terlihat adanya problem
relasi kekuasaan antara kaum nasionalis dengan rakyat, sehingga pertarungan
meraih kekuasaan politik hanya merupakan rotasi aktor hegemoni politik dan
ekonomi. Rakyat kecil, seperti petani, nelayan, pedagang kecil, dan buruh di
berbagai daerah terus mengalami marginalisasi ekonomi.
Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Pusat Studi Sosial
Asia Tenggara UGM, 2002, h. 37.
52
Eklektis
Nasionalisme dan demokrasi modern mewarisi tradisi Revolusi Perancis abad
ke 18. Revolusi Perancis menempatkan bangsa dan rakyat sebagai merupakan unit
terpenting dengan menolak gagasan tradisional yang “disucikan” agama tentang
klaim-klaim dinasti kerajaan untuk memerintah atas suatu wilayah. Loyalitas
terhadap raja dan kerajaan yang ada pada masa sebelumnya bergeser dan
ditransformasikan menjadi gagasan nasionalisme dan demokrasi modern yang
berkaitan dengan negara-bangsa.
Namun perjalanan Revolusi Perancis melenceng dari tujuan karena rakyat
hanya memperoleh kebebasan (liberté), sedangkan persamaan (egalité) dan
persaudaraan (fraternité) cuma menjadi slogan. Feodalisme diganti borjuisme,
yakni kekuasaan politik yang menghambakan diri bagi kepentingan lapisan sosial-
ekonomi atas.
Meski rakyat diberi hak dalam pemilihan, kaum buruh, petani, dan si miskin
lainnya senantiasa tidak dapat mempertahankan calon-calonnya dalam pemilihan
parlemen. Aspirasi mereka terkepung pengaruh pikiran borjuis yang berkembang di
masyarakat, dan terlebih lagi mereka kekurangan alat-alat propaganda. Kondisi ini
memicu kekacauan di Perancis sehingga melahirkan kediktatoran Napoleon
Bonaparte.
Para pendiri bangsa sekaliber Soekarno dan Mohammad Hatta belajar dari
kesalahan Revolusi Perancis untuk membangun Indonesia yang bersatu dan
merdeka.
Kemerdekaan yang dicita-citakan merupakan kemerdekaan bangsa sekaligus
kemerdekaan rakyat dari marginalisasi dan eksploitasi. Kemerdekaan mencakup
baik bentuk maupun isi, sebagai usaha bersama merombak struktur sosial yang
menyebabkan rakyat terdesak dari sumber kehidupannya berupa alam subur dan
kaya, sehingga dapat tercapai persamaan dan menumbuhkan persaudaraan
sesama anak bangsa.
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final
Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final

More Related Content

Similar to Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final

Tugas individu ppk
Tugas individu ppkTugas individu ppk
Tugas individu ppk
me_idung
 
Pend pancasila imam
Pend pancasila imamPend pancasila imam
Pend pancasila imam
fazabih kurniansyah
 
Tugas ideologi
Tugas ideologiTugas ideologi
Tugas ideologi
Tiga Maha Publisher
 
Pertumbuhan dan perkembangan pergerakan nasional indonesia
Pertumbuhan dan perkembangan pergerakan nasional indonesiaPertumbuhan dan perkembangan pergerakan nasional indonesia
Pertumbuhan dan perkembangan pergerakan nasional indonesia
SMA Negeri 9 KERINCI
 
Resume PANCASILA RAIHANAH ARTANTI-WPS Office-1.pdf
Resume PANCASILA RAIHANAH ARTANTI-WPS Office-1.pdfResume PANCASILA RAIHANAH ARTANTI-WPS Office-1.pdf
Resume PANCASILA RAIHANAH ARTANTI-WPS Office-1.pdf
Ara RA
 
BENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.ppt
BENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.pptBENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.ppt
BENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.ppt
IsembelSianipar
 
MAKALAH KEMERDEKAAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT SEBAGAI BAGIAN DARI HAK WARGA NEGAR...
MAKALAH KEMERDEKAAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT SEBAGAI BAGIAN DARI HAK WARGA NEGAR...MAKALAH KEMERDEKAAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT SEBAGAI BAGIAN DARI HAK WARGA NEGAR...
MAKALAH KEMERDEKAAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT SEBAGAI BAGIAN DARI HAK WARGA NEGAR...
Lisca Ardiwinata
 
Ideologi dan Nilai Nilai PANCASILA
Ideologi dan Nilai Nilai PANCASILAIdeologi dan Nilai Nilai PANCASILA
Ideologi dan Nilai Nilai PANCASILA
Orlin Moria
 
Nasionalisme kita
Nasionalisme kitaNasionalisme kita
Nasionalisme kita
Indra Jaya
 
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi IdentitasIndonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Satrio Arismunandar
 
Pendidikan pancasila
Pendidikan pancasilaPendidikan pancasila
Pendidikan pancasila
MarsyaHendarto
 
Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptx
Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptxPancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptx
Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptx
DataWaruwu
 
PERGERAKAN NASIONAL.pptx
PERGERAKAN NASIONAL.pptxPERGERAKAN NASIONAL.pptx
PERGERAKAN NASIONAL.pptx
SusiAgustini12
 
Pemuda dalam perubahan sosial bram widyanto
Pemuda dalam perubahan sosial bram widyantoPemuda dalam perubahan sosial bram widyanto
Pemuda dalam perubahan sosial bram widyantoLaras Kun Rahmanti Putri
 
Bab v nilai filosofis sila iii
Bab v nilai filosofis sila iiiBab v nilai filosofis sila iii
Bab v nilai filosofis sila iii
fanny oktaviani
 
Pancasila dan gerakan mahasiswa atau pemuda tahun 1928
Pancasila dan gerakan mahasiswa atau pemuda tahun 1928Pancasila dan gerakan mahasiswa atau pemuda tahun 1928
Pancasila dan gerakan mahasiswa atau pemuda tahun 1928
radja nauval
 
Makalah 123
Makalah 123Makalah 123
Makalah 123
M Saidi Basri
 
tugas intan titip.pptx
tugas intan titip.pptxtugas intan titip.pptx
tugas intan titip.pptx
DPuspaMelathi
 
Makalah Pendidikan Pancasila "Pancasila dan pergerakan pemuda 1928"
Makalah Pendidikan Pancasila "Pancasila dan pergerakan pemuda 1928"Makalah Pendidikan Pancasila "Pancasila dan pergerakan pemuda 1928"
Makalah Pendidikan Pancasila "Pancasila dan pergerakan pemuda 1928"
Wenesia Fajar
 

Similar to Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final (20)

Tugas individu ppk
Tugas individu ppkTugas individu ppk
Tugas individu ppk
 
Pend pancasila imam
Pend pancasila imamPend pancasila imam
Pend pancasila imam
 
Tugas ideologi
Tugas ideologiTugas ideologi
Tugas ideologi
 
Pertumbuhan dan perkembangan pergerakan nasional indonesia
Pertumbuhan dan perkembangan pergerakan nasional indonesiaPertumbuhan dan perkembangan pergerakan nasional indonesia
Pertumbuhan dan perkembangan pergerakan nasional indonesia
 
Makna proklamasi
Makna proklamasiMakna proklamasi
Makna proklamasi
 
Resume PANCASILA RAIHANAH ARTANTI-WPS Office-1.pdf
Resume PANCASILA RAIHANAH ARTANTI-WPS Office-1.pdfResume PANCASILA RAIHANAH ARTANTI-WPS Office-1.pdf
Resume PANCASILA RAIHANAH ARTANTI-WPS Office-1.pdf
 
BENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.ppt
BENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.pptBENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.ppt
BENAR MATERI XI IPS SEMESTER 2 JANUARI.ppt
 
MAKALAH KEMERDEKAAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT SEBAGAI BAGIAN DARI HAK WARGA NEGAR...
MAKALAH KEMERDEKAAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT SEBAGAI BAGIAN DARI HAK WARGA NEGAR...MAKALAH KEMERDEKAAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT SEBAGAI BAGIAN DARI HAK WARGA NEGAR...
MAKALAH KEMERDEKAAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT SEBAGAI BAGIAN DARI HAK WARGA NEGAR...
 
Ideologi dan Nilai Nilai PANCASILA
Ideologi dan Nilai Nilai PANCASILAIdeologi dan Nilai Nilai PANCASILA
Ideologi dan Nilai Nilai PANCASILA
 
Nasionalisme kita
Nasionalisme kitaNasionalisme kita
Nasionalisme kita
 
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi IdentitasIndonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
 
Pendidikan pancasila
Pendidikan pancasilaPendidikan pancasila
Pendidikan pancasila
 
Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptx
Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptxPancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptx
Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.pptx
 
PERGERAKAN NASIONAL.pptx
PERGERAKAN NASIONAL.pptxPERGERAKAN NASIONAL.pptx
PERGERAKAN NASIONAL.pptx
 
Pemuda dalam perubahan sosial bram widyanto
Pemuda dalam perubahan sosial bram widyantoPemuda dalam perubahan sosial bram widyanto
Pemuda dalam perubahan sosial bram widyanto
 
Bab v nilai filosofis sila iii
Bab v nilai filosofis sila iiiBab v nilai filosofis sila iii
Bab v nilai filosofis sila iii
 
Pancasila dan gerakan mahasiswa atau pemuda tahun 1928
Pancasila dan gerakan mahasiswa atau pemuda tahun 1928Pancasila dan gerakan mahasiswa atau pemuda tahun 1928
Pancasila dan gerakan mahasiswa atau pemuda tahun 1928
 
Makalah 123
Makalah 123Makalah 123
Makalah 123
 
tugas intan titip.pptx
tugas intan titip.pptxtugas intan titip.pptx
tugas intan titip.pptx
 
Makalah Pendidikan Pancasila "Pancasila dan pergerakan pemuda 1928"
Makalah Pendidikan Pancasila "Pancasila dan pergerakan pemuda 1928"Makalah Pendidikan Pancasila "Pancasila dan pergerakan pemuda 1928"
Makalah Pendidikan Pancasila "Pancasila dan pergerakan pemuda 1928"
 

More from STISIPWIDURI

JADWAL KULIAH (S-1) STISIP WIDURI
JADWAL KULIAH (S-1) STISIP WIDURIJADWAL KULIAH (S-1) STISIP WIDURI
JADWAL KULIAH (S-1) STISIP WIDURI
STISIPWIDURI
 
Pembangunan dan perubahan sosial
Pembangunan dan perubahan sosialPembangunan dan perubahan sosial
Pembangunan dan perubahan sosial
STISIPWIDURI
 
Pembangungan dan perubahan sosial
Pembangungan dan perubahan sosialPembangungan dan perubahan sosial
Pembangungan dan perubahan sosial
STISIPWIDURI
 
Manajemen Organisasi Pelayanan Kemanusiaan
Manajemen Organisasi Pelayanan Kemanusiaan Manajemen Organisasi Pelayanan Kemanusiaan
Manajemen Organisasi Pelayanan Kemanusiaan
STISIPWIDURI
 
Pembangunan dan perubahan sosial
Pembangunan dan perubahan sosialPembangunan dan perubahan sosial
Pembangunan dan perubahan sosial
STISIPWIDURI
 
Sistem usaha kesejahteraan sosial
Sistem usaha kesejahteraan sosialSistem usaha kesejahteraan sosial
Sistem usaha kesejahteraan sosial
STISIPWIDURI
 
Teori komunikasi genap 019-020-presensi
Teori komunikasi genap 019-020-presensi Teori komunikasi genap 019-020-presensi
Teori komunikasi genap 019-020-presensi
STISIPWIDURI
 
Teori komunikasi genap 019-020-nilai
Teori komunikasi genap 019-020-nilaiTeori komunikasi genap 019-020-nilai
Teori komunikasi genap 019-020-nilai
STISIPWIDURI
 
Teori komunikasi genap 019-020-bap
Teori komunikasi genap 019-020-bapTeori komunikasi genap 019-020-bap
Teori komunikasi genap 019-020-bap
STISIPWIDURI
 
Wawancara jurnalistik genap 019-020-presensi
Wawancara jurnalistik genap 019-020-presensiWawancara jurnalistik genap 019-020-presensi
Wawancara jurnalistik genap 019-020-presensi
STISIPWIDURI
 
Wawancara jurnalistik genap 019-020-nilai
Wawancara jurnalistik genap 019-020-nilaiWawancara jurnalistik genap 019-020-nilai
Wawancara jurnalistik genap 019-020-nilai
STISIPWIDURI
 
Wawancara jurnalistik genap 019-020-bap
Wawancara jurnalistik genap 019-020-bapWawancara jurnalistik genap 019-020-bap
Wawancara jurnalistik genap 019-020-bap
STISIPWIDURI
 
Seminar karya ilmiah genap 019-020-presensi
Seminar karya ilmiah genap 019-020-presensiSeminar karya ilmiah genap 019-020-presensi
Seminar karya ilmiah genap 019-020-presensi
STISIPWIDURI
 
Seminar karya ilmiah genap 019-020-nilai
Seminar karya ilmiah genap 019-020-nilaiSeminar karya ilmiah genap 019-020-nilai
Seminar karya ilmiah genap 019-020-nilai
STISIPWIDURI
 
Seminar karya ilmiah genap 019-020-bap
Seminar karya ilmiah genap 019-020-bapSeminar karya ilmiah genap 019-020-bap
Seminar karya ilmiah genap 019-020-bap
STISIPWIDURI
 
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-presensi
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-presensiKomunikasi antarpribadi genap 019-020-presensi
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-presensi
STISIPWIDURI
 
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-nilai
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-nilaiKomunikasi antarpribadi genap 019-020-nilai
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-nilai
STISIPWIDURI
 
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-bap
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-bapKomunikasi antarpribadi genap 019-020-bap
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-bap
STISIPWIDURI
 
Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan
Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan
Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan
STISIPWIDURI
 
Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan
Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan  Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan
Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan
STISIPWIDURI
 

More from STISIPWIDURI (20)

JADWAL KULIAH (S-1) STISIP WIDURI
JADWAL KULIAH (S-1) STISIP WIDURIJADWAL KULIAH (S-1) STISIP WIDURI
JADWAL KULIAH (S-1) STISIP WIDURI
 
Pembangunan dan perubahan sosial
Pembangunan dan perubahan sosialPembangunan dan perubahan sosial
Pembangunan dan perubahan sosial
 
Pembangungan dan perubahan sosial
Pembangungan dan perubahan sosialPembangungan dan perubahan sosial
Pembangungan dan perubahan sosial
 
Manajemen Organisasi Pelayanan Kemanusiaan
Manajemen Organisasi Pelayanan Kemanusiaan Manajemen Organisasi Pelayanan Kemanusiaan
Manajemen Organisasi Pelayanan Kemanusiaan
 
Pembangunan dan perubahan sosial
Pembangunan dan perubahan sosialPembangunan dan perubahan sosial
Pembangunan dan perubahan sosial
 
Sistem usaha kesejahteraan sosial
Sistem usaha kesejahteraan sosialSistem usaha kesejahteraan sosial
Sistem usaha kesejahteraan sosial
 
Teori komunikasi genap 019-020-presensi
Teori komunikasi genap 019-020-presensi Teori komunikasi genap 019-020-presensi
Teori komunikasi genap 019-020-presensi
 
Teori komunikasi genap 019-020-nilai
Teori komunikasi genap 019-020-nilaiTeori komunikasi genap 019-020-nilai
Teori komunikasi genap 019-020-nilai
 
Teori komunikasi genap 019-020-bap
Teori komunikasi genap 019-020-bapTeori komunikasi genap 019-020-bap
Teori komunikasi genap 019-020-bap
 
Wawancara jurnalistik genap 019-020-presensi
Wawancara jurnalistik genap 019-020-presensiWawancara jurnalistik genap 019-020-presensi
Wawancara jurnalistik genap 019-020-presensi
 
Wawancara jurnalistik genap 019-020-nilai
Wawancara jurnalistik genap 019-020-nilaiWawancara jurnalistik genap 019-020-nilai
Wawancara jurnalistik genap 019-020-nilai
 
Wawancara jurnalistik genap 019-020-bap
Wawancara jurnalistik genap 019-020-bapWawancara jurnalistik genap 019-020-bap
Wawancara jurnalistik genap 019-020-bap
 
Seminar karya ilmiah genap 019-020-presensi
Seminar karya ilmiah genap 019-020-presensiSeminar karya ilmiah genap 019-020-presensi
Seminar karya ilmiah genap 019-020-presensi
 
Seminar karya ilmiah genap 019-020-nilai
Seminar karya ilmiah genap 019-020-nilaiSeminar karya ilmiah genap 019-020-nilai
Seminar karya ilmiah genap 019-020-nilai
 
Seminar karya ilmiah genap 019-020-bap
Seminar karya ilmiah genap 019-020-bapSeminar karya ilmiah genap 019-020-bap
Seminar karya ilmiah genap 019-020-bap
 
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-presensi
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-presensiKomunikasi antarpribadi genap 019-020-presensi
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-presensi
 
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-nilai
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-nilaiKomunikasi antarpribadi genap 019-020-nilai
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-nilai
 
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-bap
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-bapKomunikasi antarpribadi genap 019-020-bap
Komunikasi antarpribadi genap 019-020-bap
 
Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan
Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan
Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan
 
Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan
Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan  Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan
Bukti dokumen penelitian pengayaan kepustakaan
 

Recently uploaded

Kelompok 2 Tugas Modul 2.1 Ruang Kolaborasi.pdf
Kelompok 2 Tugas Modul 2.1 Ruang Kolaborasi.pdfKelompok 2 Tugas Modul 2.1 Ruang Kolaborasi.pdf
Kelompok 2 Tugas Modul 2.1 Ruang Kolaborasi.pdf
JALANJALANKENYANG
 
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptxObservasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
akram124738
 
Laporan Pembina OSIS UNTUK PMMOK.pdf.pdf
Laporan Pembina OSIS UNTUK PMMOK.pdf.pdfLaporan Pembina OSIS UNTUK PMMOK.pdf.pdf
Laporan Pembina OSIS UNTUK PMMOK.pdf.pdf
OcitaDianAntari
 
Modul Ajar Matematika Kelas 8 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Matematika Kelas 8 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]Modul Ajar Matematika Kelas 8 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Matematika Kelas 8 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Fathan Emran
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...
Kanaidi ken
 
Ppt landasan pendidikan Pai 9 _20240604_231000_0000.pdf
Ppt landasan pendidikan Pai 9 _20240604_231000_0000.pdfPpt landasan pendidikan Pai 9 _20240604_231000_0000.pdf
Ppt landasan pendidikan Pai 9 _20240604_231000_0000.pdf
fadlurrahman260903
 
refleksi tindak lanjut d pmm agar lebih mudah
refleksi tindak lanjut d pmm agar lebih mudahrefleksi tindak lanjut d pmm agar lebih mudah
refleksi tindak lanjut d pmm agar lebih mudah
muhamadsufii48
 
Pemaparan budaya positif di sekolah.pptx
Pemaparan budaya positif di sekolah.pptxPemaparan budaya positif di sekolah.pptx
Pemaparan budaya positif di sekolah.pptx
maulatamah
 
Juknis Materi KSM Kabkota - Pendaftaran[1].pdf
Juknis Materi KSM Kabkota - Pendaftaran[1].pdfJuknis Materi KSM Kabkota - Pendaftaran[1].pdf
Juknis Materi KSM Kabkota - Pendaftaran[1].pdf
HendraSagita2
 
ATP Kimia Fase E Kelas X bisa deigunakan ditahun ajaran 2024/2025
ATP Kimia Fase E Kelas X bisa deigunakan ditahun ajaran 2024/2025ATP Kimia Fase E Kelas X bisa deigunakan ditahun ajaran 2024/2025
ATP Kimia Fase E Kelas X bisa deigunakan ditahun ajaran 2024/2025
PreddySilitonga
 
JUKNIS SOSIALIASI PPDB JATENG 2024/2025.PDF
JUKNIS SOSIALIASI PPDB JATENG 2024/2025.PDFJUKNIS SOSIALIASI PPDB JATENG 2024/2025.PDF
JUKNIS SOSIALIASI PPDB JATENG 2024/2025.PDF
budimoko2
 
1 Kisi-kisi PAT Sosiologi Kelas X -www.kherysuryawan.id.docx
1 Kisi-kisi PAT Sosiologi Kelas X -www.kherysuryawan.id.docx1 Kisi-kisi PAT Sosiologi Kelas X -www.kherysuryawan.id.docx
1 Kisi-kisi PAT Sosiologi Kelas X -www.kherysuryawan.id.docx
asepridwan50
 
KKTP Kurikulum Merdeka sebagai Panduan dalam kurikulum merdeka
KKTP Kurikulum Merdeka sebagai Panduan dalam kurikulum merdekaKKTP Kurikulum Merdeka sebagai Panduan dalam kurikulum merdeka
KKTP Kurikulum Merdeka sebagai Panduan dalam kurikulum merdeka
irvansupriadi44
 
Kebijakan PPDB Siswa SMA dan SMK DIY 2024
Kebijakan PPDB Siswa SMA dan SMK DIY 2024Kebijakan PPDB Siswa SMA dan SMK DIY 2024
Kebijakan PPDB Siswa SMA dan SMK DIY 2024
DrEngMahmudKoriEffen
 
Juknis penggunaan aplikasi ecoklit pilkada 2024
Juknis penggunaan  aplikasi ecoklit pilkada 2024Juknis penggunaan  aplikasi ecoklit pilkada 2024
Juknis penggunaan aplikasi ecoklit pilkada 2024
abdinahyan
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Fathan Emran
 
GERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptx
GERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptxGERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptx
GERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptx
fildiausmayusuf1
 
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOKPENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
GusniartiGusniarti5
 
Modul Ajar Statistika Data Fase F kelas
Modul Ajar Statistika Data Fase F  kelasModul Ajar Statistika Data Fase F  kelas
Modul Ajar Statistika Data Fase F kelas
ananda238570
 
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdfPPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
SdyokoSusanto1
 

Recently uploaded (20)

Kelompok 2 Tugas Modul 2.1 Ruang Kolaborasi.pdf
Kelompok 2 Tugas Modul 2.1 Ruang Kolaborasi.pdfKelompok 2 Tugas Modul 2.1 Ruang Kolaborasi.pdf
Kelompok 2 Tugas Modul 2.1 Ruang Kolaborasi.pdf
 
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptxObservasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
 
Laporan Pembina OSIS UNTUK PMMOK.pdf.pdf
Laporan Pembina OSIS UNTUK PMMOK.pdf.pdfLaporan Pembina OSIS UNTUK PMMOK.pdf.pdf
Laporan Pembina OSIS UNTUK PMMOK.pdf.pdf
 
Modul Ajar Matematika Kelas 8 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Matematika Kelas 8 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]Modul Ajar Matematika Kelas 8 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Matematika Kelas 8 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...
 
Ppt landasan pendidikan Pai 9 _20240604_231000_0000.pdf
Ppt landasan pendidikan Pai 9 _20240604_231000_0000.pdfPpt landasan pendidikan Pai 9 _20240604_231000_0000.pdf
Ppt landasan pendidikan Pai 9 _20240604_231000_0000.pdf
 
refleksi tindak lanjut d pmm agar lebih mudah
refleksi tindak lanjut d pmm agar lebih mudahrefleksi tindak lanjut d pmm agar lebih mudah
refleksi tindak lanjut d pmm agar lebih mudah
 
Pemaparan budaya positif di sekolah.pptx
Pemaparan budaya positif di sekolah.pptxPemaparan budaya positif di sekolah.pptx
Pemaparan budaya positif di sekolah.pptx
 
Juknis Materi KSM Kabkota - Pendaftaran[1].pdf
Juknis Materi KSM Kabkota - Pendaftaran[1].pdfJuknis Materi KSM Kabkota - Pendaftaran[1].pdf
Juknis Materi KSM Kabkota - Pendaftaran[1].pdf
 
ATP Kimia Fase E Kelas X bisa deigunakan ditahun ajaran 2024/2025
ATP Kimia Fase E Kelas X bisa deigunakan ditahun ajaran 2024/2025ATP Kimia Fase E Kelas X bisa deigunakan ditahun ajaran 2024/2025
ATP Kimia Fase E Kelas X bisa deigunakan ditahun ajaran 2024/2025
 
JUKNIS SOSIALIASI PPDB JATENG 2024/2025.PDF
JUKNIS SOSIALIASI PPDB JATENG 2024/2025.PDFJUKNIS SOSIALIASI PPDB JATENG 2024/2025.PDF
JUKNIS SOSIALIASI PPDB JATENG 2024/2025.PDF
 
1 Kisi-kisi PAT Sosiologi Kelas X -www.kherysuryawan.id.docx
1 Kisi-kisi PAT Sosiologi Kelas X -www.kherysuryawan.id.docx1 Kisi-kisi PAT Sosiologi Kelas X -www.kherysuryawan.id.docx
1 Kisi-kisi PAT Sosiologi Kelas X -www.kherysuryawan.id.docx
 
KKTP Kurikulum Merdeka sebagai Panduan dalam kurikulum merdeka
KKTP Kurikulum Merdeka sebagai Panduan dalam kurikulum merdekaKKTP Kurikulum Merdeka sebagai Panduan dalam kurikulum merdeka
KKTP Kurikulum Merdeka sebagai Panduan dalam kurikulum merdeka
 
Kebijakan PPDB Siswa SMA dan SMK DIY 2024
Kebijakan PPDB Siswa SMA dan SMK DIY 2024Kebijakan PPDB Siswa SMA dan SMK DIY 2024
Kebijakan PPDB Siswa SMA dan SMK DIY 2024
 
Juknis penggunaan aplikasi ecoklit pilkada 2024
Juknis penggunaan  aplikasi ecoklit pilkada 2024Juknis penggunaan  aplikasi ecoklit pilkada 2024
Juknis penggunaan aplikasi ecoklit pilkada 2024
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
 
GERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptx
GERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptxGERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptx
GERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptx
 
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOKPENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
 
Modul Ajar Statistika Data Fase F kelas
Modul Ajar Statistika Data Fase F  kelasModul Ajar Statistika Data Fase F  kelas
Modul Ajar Statistika Data Fase F kelas
 
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdfPPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
 

Prosiding seminar nasionalisme stisip widuri 2011 final

  • 2. 2 Seminar Nasional Memperingati Hari Pahlawan: Membangun Spirit Nasionalisme Kaum Intelektual Indonesia, Meneruskan Cita-Cita Para Pahlawan Demi Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Jum’at 11 Nopember 2011 Keynote Speaker: Prof. Dr. Meutia Hatta-Swasono PEMBICARA: Dr. Dewi Motik Pramono, M.Si., Dr. Zastrouw Ng, Dr. Erna Surjadi, PhD., Dr. Retor AW Kaligis, Dr. Edy Siswoyo SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (STISIP) WIDURI Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi buku ini serta memperjualbelikannya tanpa mendapatkan izin tertulis dari Penerbit Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
  • 3. 3 Judul Buku : Prosiding Seminar Nasional Memperingati Hari Pahlawan: Membangun Spirit Nasionalisme Kaum Intelektual Indonesia, Meneruskan Cita-Cita Para Pahlawan Demi Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Cetakan : Pertama Halaman : v + 82 halaman Penerbit : Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Widuri, Jakarta Alamat : Jl. Palmerah Barat No. 353, Jakarta Selatan-12210 Telp : 021-5366445, 021-5480552, 021-5306447 Faks : 021-53330977 Email : info@stisipwiduri.ac.id Website : www.stisipwiduri.ac.id Editor : Dr. Retor AW Kaligis, M.Si. ISBN : 978-602-70283-0-2
  • 4. iii KATA PENGANTAR Dengan senang hati saya menyambut Prosiding “Seminar Nasional Memperingati Hari Pahlawan : Membangun Spirit Nasionalisme Kaum Intelektual Indonesia, Meneruskan Cita-Cita Para Pahlawan Demi Mewujudkan Kesejahteraan Sosial” untuk menjadi salah satu bacaan yang berguna untuk mahasiswa terutama untuk mengembangkan fungsi-fungsi berikut ini: 1. Pengembangan sikap solidaritas sosial pada tingkatan mikro individual, kelompok keluarga, RT dan kelompok belajar atau kelompok kerja formal dan tidak formal. Solidaritas mikro itu menjadi dasar yang kuat untuk suatu solidaritas nasional yang sangat abstrak. 2. Pengembangan sikap kritis untuk tidak begitu saja menerima apa yang dikatakan orang tentang para pahlawan kita. Dengan membaca prosiding ini mahasiswa diharapkan terdorong untuk melengkapinya dengan analisis- analisis sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, baik yang ditulis oleh orang-orang asing, maupun oleh para ahli kita sendiri. Dengan membaca analisis-analisis sejarah itu, pengetahuan kita tentang para pahlawan kita menjadi lebih lengkap dan mungkin juga kekaguman kita akan perjuangannya pada waktu itu menjadi lebih besar lagi. Lihat saja bacaan yang menjadi acuan Ir. Soekarno (presiden pertama RI) begitu luas dan mendalam, sebelum dia mengemukakan konsepnya yang terkenal yakni Marhaenisme. Luar biasa. Di Barat orang kenal dengan konsep proletariat, tetapi untuk konteks Indoneisa dia memunculkan tokoh petani gurem yang bernama Marhaen. Ini merupakan satu contoh indigenisasi ilmu pengetahuan, atau mungkin lebih tepat lagi Indonesianisasi ilmu pengetahuan. Proses seperti itu justru muncul dari seorang pahlawan dan bukan dari perguruan tinggi seperti kita ini. 3. Pengembangan sikap nasionalisme yang dalam prosiding sudah dikupas secara mendalam. Walaupun tidak sedikit yang bersikap skeptis terhadap nasionalisme Indonesia itu, bagi saya nasionalisme itu merupakan sebuah
  • 5. iv proses yang harus dikembangkan dalam suatu grand design dengan dasar nilai yang jelas yakni kesatuan yang dibangun dari kebhinekaan. Nilai itu sudah lama ditanamkan para pahlawan kita, dan menjadi kewajiban kita untuk meneruskannya. Dalam konteks ini, prosiding ini kiranya mempunyai arti. 4. Konsep pahlawan menjelang dan pada tahun-tahun awal berdirinya Negara kita, lebih banyak dikaitkan dengan perjuangan fisik, sehingga nama-nama yang muncul adalah tentara nasional. Tetapi prosiding ini melihat kepahlawanan lebih dari itu. Mereka yang mencetus ide-ide untuk kesejahteraan sosial, atau malah yang menanamkan nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan kepada para murid (guru : pahlawan tanpa tanda jasa), masuk dalam kategori ini. Semoga pembaca memperoleh sesuatu yang baru setelah membaca prosiding ini. Para penulis, panitia penyelenggara pasti akan sangat berbangga kalau tulisan mereka mendapat tanggapan atau komentar kritis, seperti biasanya dalam iklim akademik di perguruan tinggi. Selamat membaca. Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang Ketua STISIP Widuri
  • 6. v DAFTAR ISI Kata Pengantar …………………………….………………………………………………………………… iii Daftar Isi …………………………………………………….…………………………………………………. v Pendahuluan ……………………………………………………….……………………..………………. 1 Maksud dan Tujuan …………………………………………………………………………………… 4 Waktu dan Tempat ………………………………………………………………………………………. 4 Peserta ………………………………………………………………………………………………………. 4 Susunan Acara ……………………………………………………………………..……………………… 5 Makalah-Makalah: Keynote Address Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono: Tanggung Jawab Moral Kaum Intelektual Indonesia Meneruskan Cita-Cita Para Pendiri dan Pahlawan Bangsa ………………………………………………… 7 Dr. Dewi Motik Pramono, M.Si.: Langkah Menuju Kesetaraan Gender 14 Dr. Erna Surjadi, PhD : Spirit Nasionalisme dan Pemberdayaan Keluarga Serta Komunitas Untuk Penghapusan Kemiskinan ……………..………….. 17 Dr. Zastrouw Ngatawi: Aktualisasi Spirit Nasionalisme ………………………………… 25 Dr Edy Siswoyo: Spirit Nasionalisme dan Profesionalisme Kaum Intelektual Untuk Mendukung Pembangunan Sosial (Tinjauan Sosiologis) ……………………………………………………………..…………………….. 44 Dr. Retor AW Kaligis: Nasionalisme Bagi Rakyat Kecil: Tinjauan dari Perspektif Perkembangan Masyarakat Indonesia …………………… 46 Notulensi ……………………………………………………………………………………………………… 65 Kesimpulan dan Saran …………………………………………………………………..……………… 74 Susunan Panitia Seminar …………………………………………………………………………….. 79 Kliping Berita …..……………………………………………………………..…………………………… 80
  • 7. 1 PENDAHULUAN Dalam salah satu edisi buletin Indonesia Merdeka tahun 1925, Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang dipimpin Mohammad Hatta, mengeluarkan apa yang disebut sebagai “Manifesto Politik 1925” yang isinya sebagai berikut: 1). Rakyat Indonesia seharusnya diperintah oleh para pemimpin yang dipilih mereka sendiri; 2). Dalam memperjuangkannya tidak diperlukan bantuan dari pihak mana pun; dan 3). Supaya perjuangan itu tercapai, perbedaan dari kelompok-kelompok etnis harus disatukan, agar seluruh proses tidak mengalami kegagalan. Manifesto Politik 1925 lahir ketika liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda berada dipuncaknya. Manifesto tersebut merupakan daya cipta para pemuda Indonesia untuk menolak penindasan atas nama negara (Hindia Belanda) dan pasar yang tidak berakar pada kepentingan rakyat. Para kaum intelektual kita saat itu menghendaki kepentingan rakyat menjadi prioritas perjuangan bangsa. Namun saat ini tercatat jumlah masyarakat miskin sekitar 17,9% yang berpenghasilan kurang dari 1 dolar AS, sedangkan di bawah 2 dolar AS sekitar 49,8% (MDG, 2010). Gap yang cukup tinggi terjadi antara kaya dan miskin, apalagi ditambah banyaknya kasus korupsi miliaran hingga triliunan rupiah. Manifesto Politik 1925 sesungguhnya merupakan lompatan besar dengan mentransendensi gerakan etnisitas dan lokalisme, seperti Boedi Oetomo, Jong Java, dan Pasoendan, ke dalam prinsip persatuan sebagai satu bangsa yang heterogen. Sartono Kartodirdjo dalam Indonesian Historiography (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001) melihat bahwa Manifestasi Politik 1925 merupakan suatu langkah historis yang lebih maju daripada Sumpah Pemuda 1928. Ketiga konsep dalam Manifesto Politik tersebut saling melengkapi di mana persatuan (unity) dijalankan bersama konsep kemerdekaan (liberty) dan kesetaraan (equality). Persatuan dan persamaan hanya dapat dicapai dalam suasana merdeka. Manifesto Politik itu,
  • 8. 2 menurut Sartono, merumuskan nasionalisme Indonesia sebagai ideologi, mencakup unitarisme sebagai dasar pembentukan negara-nasion. Pertanyaannya adalah: sejauhmana spirit nasionalisme kaum intelektual untuk membela rakyat kecil? Sejak 1957, Sumpah Pemuda digunakan mengkampanyekan persatuan dan kesatuan nasional. Dalam menghadapi pemberontakan daerah (PRRI/ Permesta), untuk pertama kali peringatan Sumpah Pemuda dirayakan dalam skala besar- besaran. Pada perjalanan bangsa selanjutnya, Sumpah Pemuda 1928 banyak ditonjolkan, adapun Manifesto Politik 1925 seperti hilang dari ingatan kolektif bangsa. Pengagungan Sumpah Pemuda 1928 sering dikritik karena dianggap sebagai cara penguasa mengamankan konsepsi politik dan ekonomi yang dijalankannya dengan mengatasnamakan “kepentingan bangsa”. Padahal sesungguhnya, Sumpah Pemuda 1928 memiliki kelebihan karena pertama kali dibicarakan tentang “wadah”, yakni satu bangsa yang mendiami tanah air sama, dengan bahasa persatuannya. Tidak ada kemerdekaan dan kesetaraan tanpa adanya bangsa dan wilayah yang diklaim, serta bahasa persatuan yang menyokongnya. Artinya, Manifesto Politik 1925 dan Sumpah Pemuda 1928 memiliki kontribusi saling melengkapi. Kontribusi saling melengkapi tersebut bermuara pada cita-cita Proklamasi 1945 yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke 4,“untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” Bab XIV Kesejahteraan Sosial UUD 1945 membicarakan tentang pembangunan ekonomi nasional. Namun fakta memperlihatkan negeri ini mengalami berbagai eksploitasi kekayaan alam, rakyatnya dijadikan sumber tenaga murah, dan target pasar. Indonesia sepertinya membiarkan diri terhanyut
  • 9. 3 irama reorganisasi kapitalisme global yang lebih menampakkan wajah, meminjam istilah Anthony Giddens dalam Runaway World (1999), global pillage (“penjarahan global”) ketimbang global village (“desa global”), terlihat tidak dibangunnya politik- ekonomi yang menjamin kedaulatan bangsa dan kehidupan rakyat di dalamnya. Indonesia memiliki tanah air luas dan kaya yang diperuntukkan sebesar- besarnya bagi kemakmuran rakyat. Namun, ketika negara didominasi kepentingan ekonomi segelintir golongan masyarakat, kewarganegaraan (citizenship) khususnya rakyat kecil menjadi tidak setara. Kebebasan politik yang diraih di era reformasi baru menghasilkan ”ritualitas demokrasi” yang memberi ruang kepada rakyat menyalurkan partisipasinya melalui Pemilu dan Pilkada secara berkala. Adapun bobot ”spiritualitas” kedaulatan rakyat tersumbat marginalisasi dan eksploitasi sumber daya ekonomi. Namun mayoritas rakyat masih menjadi petani gurem, nelayan miskin, pedagang kecil, buruh melarat, serta profesi serba terbatas lainnya. Mereka adalah rakyat kecil yang akibat mengalami marginalisasi dan eksploitasi sumber daya ekonomi menjadi sulit menggapai kesejahteraan. Keadaan di atas perlu segera diubah. Karena itu, STISIP Widuri menganggap penting membangun kembali spirit nasionalisme kaum intelektual Indonesia meneruskan cita-cita para pahlawan demi mewujudkan kesejahteraan sosial. Dengan kegiatan seminar ini dapat didiskusikan persoalan tersebut lebih jauh agar dapat menjadi saran/ rekomendasi bagi pengambil keputusan. Partisipasi Prof. Dr. Meutia Hatta- Swasono sebagai keynote speaker dan para pembicara lain dari KOWANI, DPR RI, dan akademisi diharapkan dapat membawa manfaat yang sebaik-baiknya.
  • 10. 4 MAKSUD DAN TUJUAN WAKTU DAN TEMPAT PESERTA Menyebarkan pemahaman tentang spirit nasionalisme dan kesejahteraan sosial bagi rakyat kecil berdasarkan Manifesto Politik 1925, Sumpah Pemuda 1928, dan UUD 1945. Menggugah kalangan sivitas akademika untuk melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, khususnya pengabdian pada masyarakat kecil yang membutuhkan pertolongan. Memberikan saran dan rekomendasi hasil seminar kepada pihak-pihak terkait. Hari/ Tanggal : Jumat, 11 Nopember 2011 Waktu : Pukul 08.30-15.30 Tempat : Aula Gedung C STISIP Widuri Jalan Palmerah Barat No 353, Jakarta-12210 (Telp: 021-548-0552, 5330970) Peserta Seminar ini adalah: Civitas akademika perguruan tinggi, para guru Pembina Pendidikan Karakter di SMA, dan kalangan umum yang berminat pada masalah karakter kebangsaan dan kesejahteraan sosial.
  • 11. 5 SUSUNAN ACARA Waktu Sesi Moderator Penanggung Jawab 09.15-10.00 Pendaftaran dan Coffee - Penerima Tamu/Konsumsi 10.00-10.45 Sambutan-sambutan: - Laporan Ketua Panitia. - Sambutan oleh Kopertis Wilayah III. - Sambutan oleh YKW-PPS sekaligus membuka acara Seminar. Acara/ MC: Suster Maria Mathildis 10.45-11.45 KEYNOTE SPEECH: Prof. Dr. Meutia Hatta- Swasono “Tanggung Jawab Moral Kaum Intelektual Indonesia Meneruskan Cita-Cita Para Pendiri dan Pahlawan Bangsa” Isaac Julius Ruryama Litaay Acara/ Persidangan 11.45-13.15 Rehat/ Sholat Jumat/ Makan Siang Konsumsi 13.15-14.15 Sesi I: 1. Dr. Zastrouw Ngatawi (Sosiolog/ NGO) “Aktualisasi Spirit Nasionalisme” 2. Dr. Retor AW Kaligis (Dosen STISIP Widuri) “Nasionalisme Bagi Rakyat Kecil: Tinjauan dari Perspektif Perkembangan Masyarakat Indonesia” Dr. Evie Douren Persidangan 14.15-15.00 Sesi II: 1. Dr. Dewi Motik Pramono, M.Si. (Ketua Umum KOWANI) “Langkah Menuju Dr. Evie Douren Persidangan
  • 12. 6 Kesetaraan Gender” 15.00-15.45 Sesi III: 1. Dr. Erna Surjadi, PhD (Ketua STISIP Widuri) “Spirit Nasionalisme dan Pemberdayaan Keluarga Serta Komunitas Untuk Penghapusan Kemiskinan” 2. Dr Edy Siswoyo (Dosen STISIP Widuri) “Spirit Nasionalisme dan Profesionalisme Kaum Intelektual Untuk Mendukung Pembangunan Sosial (Tinjauan Sosiologis)” Dr. Evie Douren Persidangan
  • 13. 7 Keynote Address Seminar Nasional Memperingati Hari Pahlawan 2011 TANGGUNG JAWAB MORAL KAUM INTELEKTUAL INDONESIA MENERUSKAN CITA-CITA PARA PENDIRI DAN PAHLAWAN BANGSA Oleh: Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono *) 1.Pendahuluan Seminar ini diadakan untuk memperingati Hari Pahlawan 2011, yang kita peringati setiap tahun. Hari Pahlawan jatuh pada tanggal 10 November, memperingati sejarah tentang perang kemerdekaan yang hebat yang dilakukan oleh rakyat Surabaya melawan tentara Sekutu, yang menyebabkan tewasnya Jenderal Mallaby. Semoga generasi muda masa kini masih ingat peristiwa yang terdapat di buku Sejarah Nasional, khususnya saat bangsa Indonesia telah mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali. Penting untuk diingat oleh generasi muda Indonesia masa kini bahwa kemenangan arek-arek Surabaya itu telah terjadi karena adanya rasa kebersamaan yang mendorong rasa persatuan yang kokoh, dengan adanya perasaan kebangsaan yang amat besar pada penduduk Surabaya yang berasal dari berbagai sukubangsa, umat agama, tua-muda, kaya-miskin, yang sama-sama mempunyai komitmen mempertahankan kotanya. Lebih dari 16.000 syuhada telah gugur, namun perjuangan gigih mereka telah membuktikan bahwa peluru dan senjata hebat di kala itu tak mampu mendobrak semangat perjuangan mereka untuk meraih kemenangan. *) Gurubesar FISIP-UI dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang Pendidikan dan Kebudayaan.
  • 14. 8 2. Pahlawan Bangsa, Siapa Mereka? Pahlawan bangsa adalah anak bangsa Indonesia yang dengan jiwa besar telah rela berkorban dan pantang mundur dalam membela tanah air dan rakyatnya dari ketertindasan, keterbelengguan dan penderitaan oleh bangsa lain atau kekuatan asing. Pahlawan berjuang mencapai apa yang terbaik bagi bangsa dan negaranya, walaupun jiwanya terancam. Di kala tanah air masih terjajah oleh bangsa lain, pahlawan berjuang untuk memerdekakan bangsa, tanpa memikirkan kepentingannya sendiri karena berjuang tanpa pamrih. Di kala kemerdekaan terancam, pahlawan berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya. Di kala tanah air dan bangsa telah merdeka dan aman dari rongrongan pihak penjajah, pahlawan berjuang untuk mengisi kemerdekaan dengan membangun negara, dengan mengutamakan kepentingan rakyat. Pahlawan secara konsisten tetap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya, apalagi yang dapat merugikan rakyat dan negaranya. Bagi pahlawan, prinsip rela berkorban dan pantang mundur dalam memperjuangkan kemajuan dan keselamatan bangsa dan negara, tetaplah melekat pada dirinya hingga akhir hayat. Pada umumnya orang mengira bahwa pahlawan berjuang dengan senjata. Anggapan ini keliru, karena tidak selalu pahlawan berjuang dengan senjata, melainkan dengan pikirannya yang tajam dan terkadang menembus waktu, melontarkan gagasan yang manfaatnya sering baru dirasakan oleh masyarakat sesudah dirinya wafat. Untuk itu, di sini hanya akan diberi dua contoh tentang perjuangan pahlawan bangsa: Ibu R.A. Kartini dan Bung Hatta. Ibu R.A. Kartini tidak pernah berjuang dengan senjata, karena beliau adalah pemikir yang melahirkan gagasan-gagasan cemerlang yang kemudian disambut oleh tokoh-tokoh lainnya, seperti R. Dewi Sartika, dll, untuk memberdayakan perempuan Indonesia, dengan mendirikan sekolah-sekolah bagi kaum perempuan, maupun keterampilan lain. Ibu Kartini menyuarakan agar perempuan Indonesia
  • 15. 9 mendapat kesempatan belajar dan mengembangkan kreativitasnya, agar lebih mampu mendidik anak-anaknya dan meningkatkan kualitas kesejahteraan rumahtangganya serta terhindar dari poligami. Ibu R.A. Kartini kita homati dan banggakan sebagai pahlawan nasional karena dari gagasan beliaulah maka kita kini memiliki kementerian yang memberdayakan perempuan dan negara mengangkat perempuan dalam kedudukan setara dengan laki-laki dalam hukum dan pemerintahan. Untuk itu, perempuan dan laki-laki sama-sama berhak dan wajib mengisi pembangunan nasional. Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta) juga tidak berjuang dengan senjata, karena beliau adalah pemikir dan penyemangat perjuangan kemerdekaan Indonesia, sekaligus disainer dari arah Indonesia Merdeka, yang bertumpu pada kebangsaan dan kerakyatan, dan peletak dasar strategi kemerdekaan. Pada usia 24 tahun, di Kongres Internasional di Bierville, Perancis, di bulan Agustus 1926, Bung Hatta sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia mewakili mahasiswa Indonesia membuat langkah awal memperkenalkan tanah air Indonesia di luar negeri. Setelah Bung Hatta berpidato di Kongres dan berdiplomasi dengan wakil-wakil berbagai delegasi mahasiswa dari negara-negara terjajah lainnya, sampai hari penutupan Kongres, mereka tidak lagi menyebut Indonesia dengan sebutan “Hindia-Belanda”, melainkan “Indonesia”. Perjuangan lain dari Bung Hatta adalah memberi usulan penting dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia serta mendisain beberapa isu penting dan strategis dalam rancangan UUD 1945 yang asli, yang kemudian menjadi Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 30. Bung Hatta adalah juga konseptor Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945 yang asli, sehingga sesuai disain Bung Hatta, sistem perekonomian nasional bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. Karena itulah maka selain mendapat gelar Pahlawan Proklamator dari Pemerintah RI di era Presiden Suharto, Bung Hatta juga diberi gelar Bapak Koperasi oleh Dekopin (1947), Bapak Kedaulatan Rakyat oleh
  • 16. 10 Mensesneg Moerdiono (2002), dan disebut Bapak Hak Asasi Manusia oleh Kementerian Hukum dan HAM (2008). 3. Tanggung Jawab Kaum Intelektual Indonesia Kini dan Esok Kaum intelegensia mempunyai tanggungjawab untuk melanjutkan perjuangan para pereintis kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia untuk membuat Indonesia menjadi negara besar dan rakyatnya berharkat-martabat tinggi. Untuk itu, kaum intelektual Indonesia harus peka dan tanggap terhadap kondisi sosial- budaya, ekonomi dan politik serta ekologi negara kita, mampu melihat keganjilan yang terjadi dan segera mencari solusi. Singkatnya, kaum intelektual Indonesia harus tetap memegang teguh prinisp nasionalisme dalam perjuangan, pekerjaan dan karir mereka. Sebagai warganegara, seharusnya kaum intelektual Indonesia tidak saja bekerja untuk mencari nafkah, tetapi sekaligus bekerja dengan prinsip meningkatkan kesejahteraan sosial. Pertama, kaum intelektual Indonesia harus memahami penduduk Indonesia yang berjumlah 237 juta jiwa dan bersifat pluralistik dan multikultural. Apa yang akan terjadi kalau penduduk sebanyak itu dan berbeda sukubangsa dan kebudayaannya tidak mempunyai perasaan kebersamaan dan bersatu sebagai bangsa, lebih-lebih ketika saat ini pengaruh luar yang dibawa proses globalisasi dan kemajuan iptek dan informatika telah masuk begitu pesat? Kedua, penduduk Indonesia setara jumlahnya dari segi gender (perimbangan antara laki-laki dan perempuan). Apa jadinya kalau perempuan tidak diberdayakan dan indeks pembangunan manusianya rendah? Pasti akan menjadi beban berat bagi laki-laki untuk menanggung kehidupan kaum perempuan yang kualitas kesehatannya rendah, tidak cukup berpendidikan dan tidak mampu ikut mencari nafkah sehingga hidup dalam kondisi miskin. Ketiga, Indonesia adalah negara maritim, 2/3 wilayahnya berupa laut. Apa yang terjadi kalau 80.000 km pesisir berikut penduduknya tidak diberdayakan sehingga menjadi beban pembangunan nasional? Bagaimana jika untuk menggali potensi lautan kita yang begitu luas dan bervariasi ekosistemnya kita harus
  • 17. 11 tergantung pada pengetahuan, teknologi, strategi pemberdayaan ekonomi dan kegiatan ekonomi bangsa lain yang mencari untung di tanah air kita? Seharusnya kitalah sumber pengetahuan kelautan bagi bangsa lain dan Berjaya dalam bisnis kelautan di negara kita sendiri. Keempat, sumberdaya alam Indonesia dengan kekayaan hayatinya dan sumberdaya manusia Indonesia dengan kebudayaannya yang kaya akan kearifan lokal suku-sukubangsanya merupakan modal sosial-kultural dan alam. Apakah yang akan terjadi bila potensi-potensi ini tidak diperhatikan dan didayagunakan sehingga menghilang karena terabaikan? Kelima, kaum intelegensia Indonesia wajib memahami sejarah nasional, agar tertanam nasionalisme pada diri mereka. Nasionalisme inilah yang menjadi dasar bagi mereka untuk membangun Indonesia, dan membedakan diri mereka dari bangsa lain dalam melihat Indonesia. Bangsa lain bekerja di Indonesia untuk kepentingan dirinya dan negaranya, dalam kerjasama berdasarkan persahabatan (berbentuk kerjasama bilateral), atau mencari keuntungan yang tentunya ditujukan terutama bagi kepentingan diri mereka dan negaranya sendiri. Bangsa Indonesia, termasuk kaum intelektual Indonesia, bekerja untuk hidup namun tidak terlepas dari kewajiban moral dan spiritual untuk membangun bangsa Indonesia. Artinya kita sendirilah yang harus bekerja membangun negara dan bangsa, bukan bangsa lain. Tidak berarti bahwa kita harus menolak kerjasama dengan asing. Kita tidak boleh mengabaikan tanggungjawab global, namun kita harus tetap mengutamakan kepentingan nasional. Kaum intelektual atau kaum intelegensia Indonesia, khususnya mahasiswa yang hadir pada seminar ini, harus memahami proses pembentukan negara RI secara cermat, bahwa NKRI terbentuk melalui proses yang panjang yang saling terkait dalam hubungan sebab-akibat dan saling dukung dan saling melanjutkan, dimulai dari: (1) era Kebangkitan Nasional yang dicetuskan Budi Utomo yang mendorong terbentuknya gerakan-gerakan pemuda di tanah air (Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, dll); (2) Deklarasi Manifesto Politik
  • 18. 12 dari Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda, yang menanamkan kedaulatan rakyat, kemandirian dan kesatuan; (3) Deklarasi Sumpah Pemuda yang mencanangkan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa; (4) tumbuhnya gerakan- gerakan kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka, yang diwarnai dengan penangkapan sejumlah tokoh perintis kemerdekaan Pemerintah Hindia-Belanda untuk diinternir ke sejumlah tempat pembuangan di tanah air; (5) perjuangan penuh perhitungan seksama di masa pendudukan Jepang, menghadapi penguasa Jepang yang kejam; dan (5) persiapan kemerdekaan Indonesia dan tercapainya proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Sukarno dan Hatta di Jakarta. Tanpa memahami sejarah, kaum intelektual Indonesia, khususnya mahasiswa yang muda-muda, tidak akan tahu, ke arah mana membangun Indonesia, apa tanggungjawab moral dan fisiknya sebagai warganegara dan anak bangsa, dan bagaimana caranya untuk membangun masa depan Indonesia yang cerah dan penuh martabat tinggi kelak di kemudian hari. Pemuda harus paham mengenai nasionalisme. Apa itu nasionalisme? Menurut Sri-Edi Swasono, nasionalisme adalah rasa cinta kepada tanah air, nusa dan bangsa. Nasionalisme adalah patriotisme. Nasionalisme adalah doktrin ideologis untuk mengutamakan kepentingan nasional. Nasionalisme adalah suatu gerakan untuk meraih dan mempertahankan kemerdekaan, independency dan kemandirian. Nasionalisme adalah kesadaran kebangsaan, harga-diri, dan identitas diri sebagai suatu bangsa” (Swasono, 2011: 4). Bagaimana kita menunjukkan nasionalisme dalam era reformasi ini? 1. Menanamkan kebanggaan pada diri kita dan lingkungan kita sesama orang Indonesia melalui kebiasaan memakai produk-produk industri nasional, seperti tekstil, asesori, teknologi dan peralatan sehari-hari buatan Indonesia. 2. Mengutamakan konsumsi makanan dan minuman serta obat-obatan Indonesia. 3. Menghasilkan temuan-temuan inovatif berupa teknologi tepat guna, dll
  • 19. 13 4. Berperilaku modern dan tertib (belajar keras, memanfaatkan waktu, berbudaya bersih, sebagai bagian dari upaya meningkatkan karakter dan jati diri bangsa Indonesia) 5. Menghasilkan temuan-temuan yang berasal dari potensi-potensi sosial-kultural masyarakat untuk didayagunakan lebih lanjut bagi kepentingan rakyat. 6. Menanamkan pola pikir bahwa ilmu adalah untuk diamalkan bagi masyarakat, serta mencari solusi terhadap permasalahan bangsa dan negara. 7. Memahami bahwa pembangunan nasional harus bersifat humanistik, mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, dan membuat rakyat menjadi tuan di negerinya sendiri. Hanya dengan melakukan hal-hal di atas maka kaum intelektual Indonesia masa kini mampu untuk meneruskan perjuangan para pahlawan dan pendiri negara untuk mendisain dan mencapai masa depan Indonesia yang cerah serta mampu untuk ikut mengukir peradaban dunia sebagai pemimpin global sejati. --o0o--
  • 20. 14 “Langkah Menuju Kesetaraan Gender” Oleh Dr. Dewi Motik Pramono, M.Si. Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia/ KOWANI President of ASEAN Confederation of Women Organization/ ACWO Coordinator Sustainable Development of International Council’s of Women/ ICW Pendahuluan Pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya baik laki- laki maupun perempuan dalam dinamikanya akan terus ditingkatkan kualitasnya dan kuantitasnya Konstitusi Nasional di Indonesia tidak mendiskriminasikan antara laki-laki dan perempuan di dalam hukum dan sektor pembangunan lainnya, dengan demikian keduanya dapat berperan aktif di dalam pembangunan Perjuangan Bangsa Indonesia Para perintis pergerakan perjuangan perempuan sejak dulu yang bekerjasama dengan kaum laki-laki bahu membahu memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia Kongres Perempuan Indonesia pertama tanggal 28 Desember 1928 merupakan sejarah dan langkah awal bagi persatuan dan kesatuan pergerakan wanita Indonesia Perjuangan Perempuan Indonesia Perempuan Indonesia di era baru Indonesia tidak terlepas dari perjuangan para pendahulu kita, seperti: Cut Nyak Dien Dewi Sartika Christina Marta Tiahahu Nyi Ageng Serang Kartini dll Perempuan dan Era Baru Indonesia Perempuan Indonesia harus berani menjadi motor penggerakan perubahan, namun upaya ini tidak semudah
  • 21. 15 seperti membalikkan telapak tangan, apalagi bila kita melihat sejumlah tantangan mendasar yang dihadapi Indonesia. Kesenjangan gender antara perempuan dan laki-laki di berbagai bidang pembangunan Pendidikan : pendidikan tinggi : laki-laki 12,5% dan perempuan 11,0%, angka buta aksara : laki-laki 26,9% dan perempuan : 5,38% Kesehatan : Angka Kematian Ibu (AKI) : 228/100.000 KH pd thn 2007, Angka Kematian Bayi : 34/1000 KH pd thn 2007, partisipasi KB Pria masih rendah, kasus narkoba sebagian besar terjadi pada remaja laki-laki, pengetahuan ttg HIV/AIDS pada remaja putri usia 15-24 thn : 94% dan laki-laki : 77% Ekonomi : Angka pengangguran perempuan: 10,8%, laki-laki : 8,1%, daya beli perempuan lebih rendah dari laki-laki, TPAK laki-laki : 62% dan perempuan : 38,26%, tindak kekerasan terkait ekonomi terhadap perempuan 2,27 juta orang Politik : Pemilu 2009, partisipasi perempuan di lembaga legislatif (DPR RI) komposisi P : 18,6% dan L : 81,4%, DPD komposisi P: 27% dan L : 73%. Di bidang eksekutif perempuan yang menduduki jabatan Eselon I : 8,7%, Eselon II : 7,1%, Eselon III : 14,5% dan eselon IV : 23,3%. Kepala Desa : perempuan: 2.888 dan laki-laki : 73.842. Hukum : Masih banyak peraturan perundang-undangan yang bias gender, masih tingginya kekerasan terhadap perempuan dan anak (prevalensi 3,1 % perempuan dan anak 7,6%), maraknya kasus perdagangan orang dengan tujuan eksploitasi. Budaya : Pemahaman masyarakat yang lebih mengutamakan anak laki-laki daripada perempuan (budaya patriakhi) Nasionalisme untuk Kesejahteraan Bangsa Konsensus dasar tentang Negara kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika) harus menjadi pegangan perjuangan seluruh bangsa Indonesia sepanjang masa.
  • 22. 16 Pemberantasan KKN, sehingga tercipta Indonesia baru yang dicita-citakan maju, aman, adil, dan makmur. Pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan gender yang sejalan dengan nilai- nilai budaya yang berkembang dimasyarakat Menyiapkan generasi penerus bangsa yang lebih sadar akan kebangsaannya Meningkatkan kualitas SDM di Indonesia Melatih kepemimpinan dari awal Anak dapat dilatih menjadi pemimpin di kelas dengan cara bergantian menjadi ketua kelas setiap minggu Diadakan pameran hasil karya anak sehingga sehingga anak dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan hasil karya tersebut Anak diajarkan untuk dapat mengekspresikan mengenai orang tua atau orang dilingkungannya, baik melalui gambar ataupun tulisan seperti cerita, syair/puisi Hal – Hal yang sudah dilakukan Kowani Melaksanakan peningkatan life skill, keaksaraan fungsional, PAUD 7 organisasi wanita (SIKIP, Kowani, Dharma Pertiwi,Dharma Wanita Persatuan, Bhayangkari, T.P PKK, APPB) melakukan gerakan perempuan menanam dan memelihara 10 juta pohon diseluruh Indonesia secara serentak Kowani bersama LSM peduli terhadap peningkatan keterwakilan perempuan dibidang politik Cinta Indonesia Jiwa dan Raga untuk Indonesia
  • 23. 17 “Spirit Nasionalisme dan Pemberdayaan Keluarga serta Komunitas Untuk Penghapusan Kemiskinan” Oleh: Erna Surjadi, Dr, Drg., MS.APBI, PhD Pendahuluan: Dunia berkembang terus, penduduk bertambah dengan segenap permasalahan sosial, ekonomi, budaya dan politiknya; dan waktu berjalan tanpa dapat dihentikan. Tidak terasa sudah 83 tahun lamanya sejak Indonesia menyatakan tanggal 10 Nopember menjadi Hari Pahlawan bangsa. Kata pahlawan kerap dikonotasikan sebagai perbuatan heroik yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Namun diantara nama-nama para pahlawan juga ada sederet nama kaum perempuan zaman dahulu yang telah membuktikan diri dan kontribusinya untuk kemajuan bangsa; antara lain: Kartini, Dewi Sartika, Martha Kristina Tiahahu, Tjoet Nyak Dien dan lain sebagainya. Zaman sekarang kita telah pernah memiliki perempuan sebagai presiden, menteri, ahli hokum, kedokteran dan diberbagai bidang lainnya, termasuk dibidang antariksa dan penerbangan yang dulu dikonotasikan menjadi arena kaum laki-laki. Dahulu kita berjuang untuk merdeka, harkat suatu bangsa yang bebas dari penjajahan karena tidak sesuai dengan hak asazi manusia, demikian dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; untuk persatuan Indonesia serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang dicanangkan dalam sila ke-3 dan ke-5 Pancasila; yang telah dinyatakan sebagai pandangan hidup (way of life) bangsa Indonesia. Maka tak pelak lagi kita harus menjaga konsistensi spirit kepahlawanan sebagai dasar pengembangan nasionalisme bangsa Indonesia. Melibatkan kaum perempuan sebagai mitra sejajar kaum laki-laki dalam pembangunan nasional telah menjadi Instruksi Presiden (INPRES) no 9 tahun 2000, melalui Pengarusutamaan Gender di semua bidang pembangunan nasional. Tahun 2010, dunia mencatat perkembangan bangsa yang dikaitkan dengan Tujuan Pengembangan millennium global (Millennium Development Goals= MDG). Ada sekitar 18% penduduk Indonesia yang memiliki penghasilan dibawah 1$/hari
  • 24. 18 dan ada sebanyak 49,8% yang memiliki penghasilan dibawah 2$/hari. (lk RP 17.500,-). Kemiskinan dan kelaparan kini menjadi perhatian dunia terutama di Negara-negara berkembang seperti Indonesia, India dan lainnya di Asia Pacific; namun karena berlanjutnya krisis keuangan (financial crisis) yang juga menyerang Negara-negara di Eropa dan bagian lain di dunia; hal ini telah menjadikan dunia memiliki wajah lain. Orang bilang kemiskinan itu lekat dengan wajah perempuan. Perempuan yang tidak berdaya terjebak dalam perdagangan orang, pekerjaan seks komersial, gizi buruk, kematian ibu dan lain sebagainya. Perempuan yang miskin memiliki kondisi dan situasi yang lebih buruk dibandingkan kaum lelaki yang miskin. Perempuan sebagai sentra kehidupan keluarga, apabila tidak terdidik, tidak paham sanitasi dan kesehatan; dengan mudah menularkan ketidakberdayaannya, termasuk penyakit kepada permasalahan dan atau kemunduran keluarga; namun sebaliknya perempuan yang memiliki pengetahuan akan menyebarkannya kepada seisi rumah tangga serta memiliki semangat kehidupan memerangi kemiskinan dan menggapai kemajuan yang didambakan. Di pihak lain; perempuan yang suaminya terkena Tuberculoses (TBC) tidak menyadari dirinya mudah terkena penularan melalui udara di sekitar suaminya; pengabaian kesehatan diri telah membawa seluruh anak-anaknya terkena penyakit TBC. Masih dijumpai perempuan yang rela berkorban untuk keluarganya; ketika anak dan suami sakit maka sakitnyapun dikebelakangkan dan tidak juga diobati karena mendahulukan suami dan anak-anaknya. Mereka tidak menyadari hak untuk hidup sehat dan umumnya terbelenggu dengan budaya patriarki yang menomorsatukan laki-laki. Diperlukan dukungan kaum laki-laki untuk meningkatkan akses, partisipasi dan control kaum perempuan di berbagai bidang pembangunan untuk memberikan manfaat yang setinggi-tingginya untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Hal ini perlu dimulai dari kaum intelektual Indonesia, menyebarkan spirit nasionalisme kemitrasejajaran kaum laki-laki dan perempuan untuk mendukung kesejahteraan sosial dimulai dari pengentasan kemiskinan di Indonesia. Gerakan
  • 25. 19 ini perlu dimulai dari spirit keluarga dan berlanjut kepada komunitas dan kepada seluruh komponen bangsa. Menimbang realita kehidupan kaum perempuan diantara mitranya kaum laki- laki di Indonesia, mari kita simak berita berikut ini: Berita 7 Nopember 2011; Lebak (ANTARA) – yahoo.news: Menteri PDT Resmikan SDN dan Jembatan Gunungkencana Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Helmy Faishal Zaini akan meresmikan SDN 1 Kramat Jaya dan jembatan gantung di Kecamatan Gunungkencana, Kabupaten Lebak, Senin. "Kunjungan kerja Menteri PDT itu akan meresmikan pembangunan yang ada di desa tertinggal di Lebak," kata Kepala Seksi Pemberitaan Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Lebak, Icah di Rangkasbitung, Senin. Ia mengatakan, kunjungan kerja Menteri ke Kabupaten Lebak meninjau dan meresmikan pembangunan jembatan gantung dan SDN di Kecamatan Gunungkencana. Sebab sarana infrastuktur itu, kini sudah dibangun dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Jembatan gantung tersebut bisa dilintasi ribuan warga antardesa terpencil di wilayah itu. Kegiatan masyarakat setempat, kata dia, satu-satunya yang menghubungkan akses lalu lintas warga. "Dengan berfungsinya jembatan gantung itu diharapkan perekonomian masyarakat meningkat," katanya. Menurut dia, pembangunan jembatan gantung bantuan pemerintah kabupaten dan provinsi kini sudah dilintasi masyarakat setempat. Pekerjaan pembangunan melibatkan masyarakat cukup bagus dan bisa bertahan puluhan tahun. "Saya berharap jembatan itu kondisi fisiknya bisa bertahan lama," ujarnya. Ia mengatakan, peresmian jembatan gantung dilaksanakan pukul 10.00 WIB setelah menginap di Hotel Bagedur Kecamatan Malingping.Selama dua hari kunjungan Menteri PDT, kata dia, melaksanakan shalat Idul Adha di Alun-alun Rangkasbitung dan silatuhrahmi dengan masyarakat. "Kemungkinan siang ini Pak Menteri PDT langsung kembali ke Jakarta," katanya. Pembicaraan: Sangat dihargai perhatian Menteri dan jajarannya serta dipahami nilai nurani dan dukungan fisik yang dibutuhkan masyarakat tertinggal di Lebak. Saya jadi teringat gambar kaum anak perempuan yang menyebrang dengan jembatan
  • 26. 20 gantung dari satu daerah ke daerah seberang lainnya untuk mencapai sekolahnya. Resiko dan perlu pemikiran dari sudut gender. Kebutuhan perempuan lebih spesifik dengan kebutuhan laki-laki termasuk perbedaan kebutuhan anak perempuan dan anak laki-laki. Tidak dapat kita bayangkan kalau anak perempuan tersebut sedang menalankan kodrat bulanannya; tenaga yang lemah dan kondisi yang tidak memberikan banyak pilihan. Mungkin ini bukan gambaran Lebak; moga-moga disana jembatannya punya sedikit penjejak untuk anak-anak/perempuan menyebrang dengan lebih santai - namun pesannya adalah: pemberian fasilitas apapun dari pemerintah untuk publik hendaknya memperhatikan perspektif/kebutuhan gender; sesuai spirit Instruksi Presiden No 9/2000 tentang pengarusutamaan gender. Tidak diketahui, berapa perbedaan biaya untuk menambahkan kayu/papan pada jembatan gantung ini untuk kenyamanan dan keselamatan anak-anak tersebut. Untuk orang dewasa mungkin tidak apa-apa, namun untuk anak-anak dan kaum perempuan rasanya ini menyentuh keadilan sosial. Satu lagi potret kemiskinan yang harus diderita rakyat yang dibagian lain sudah berkelimpahan
  • 27. 21 dengan pesawat jet pribadi dan elevator di mall-mall yang tersebar di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Kesadaran Berkeadilan sosial: Alexander Solzhenitsyn menulis: “Justice is concience not a personal consience but the concience of the whole comunity. Those who clearly recognize the voice of their own consience usually recognize also the voice of justice” Keadilan adalah suatu kesadaran; bukanlah kesadaran perorangan namun kesadaran dari seluruh komunitas. Orang-orang yang mengenali suara dari kesadaran dirinya biasanya mengenali pula suara keadilan. Yang jadi permasalahan, apakah kesadaran tersebut ‘born’/’given’ atau sebaliknya ‘acquired’/perlu dilatih? Sensitivitas adalah suatu proses; hubungan dan interaksi manusia adalah proses; maka keharmonisan adalah juga suatu proses; termasuk di dalamnya rasa menghargai, menghormati, perhatian, empati dan keinginan untuk menolong orang lain. Pada dasarnya tiada satupun manusia yang sempurna, maka secara rasional kita akan saling membutuhkan satu sama lain. Peringatan Hari Pahlawan yang notabene telah mengikutsertakan nam-nama kaum perempuan sebagai pahlawan, hendaknya membawa kesadaran pula kepada kita semua untuk membangun spirit kebangsaan yang juga memperhatikan kondisi perempuan dan anak-anak yang menjadi kelompok rentan di kala kemiskinan datang mendera bahkan ketika bencana alam, persaingan bisnis dan lain-lain yang membawa mereka menjadi obyek/korban perdagangan orang (trafficking, pelacuran, pekerjaan komersial, kekerasan dan lain sebagainya). Spirit nasionalisme yang membuka akses dan peluang kemudahan transportasi, peningkatan ketrampilan, ekonomi kecil dan menengah dan lain sebagainya dapat meningkatkan partisipasi kaum perempuan untuk menjadi pahlawan dalam keluarga dan komunitasnya. It is said – Dignity of work, person and life is the fundamental of Human rights (HOME – Humanitarian Organization for Migrant Economices: www.home.org.sg)
  • 28. 22 Berapa banyak saudara-saudara sebangsa dan setanah air kita di Indonesia yang masih hidup terpencil dan tidak/belum dapat menikmati alam kemerdekaan yang dirintis para pahlawan? Akankah mereka tertinggal terus dibandingkan saudara-saudara sebangsanya di daerah lain hanya karena mereka tinggal di daerah yang terpencil dan jauh dari kota besar? Mereka memerlukan kunjungan/visit untuk perbaikan kehidupan bebas kemiskinan baik untuk keluarga maupun untuk komunitas yang tidak setengah-setengah namun sebagai satu paket kemajuan, memberikan pemberdayaan keluarga dan komunitas. Beberapa snapshot di daerah Citarum, Jawa Barat “Reaching out”; jangkaulah mereka; hormati, penuhi dan protek hak-hak mereka untuk hidup layak - lihatlah gambar di atas; maka kita tahu betapa pekerjaan sosial bukan semata-mata kehidupan keluarga; karena mereka ‘powerless’ - namun secara nyata menjadi wajah kebutuhan bangsa yang menginginkan Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia dan dengan konsisten menjalankan hak asazi manusia. Pesan menyentuh untuk uluran tangan para pengambil keputusan selaku duty bearers (pemangku kepentingan) dan suara
  • 29. 23 bagi pemegang hak (right holders): para orang-orang miskin, termasuk kaum perempuan dan anak-anak; karena kita percaya bahwa Hak ‘dignity’ (harkat) terkait pekerjaan, orang dan kehidupan merupakan dasar dari Hak asazi Manusia. The right to Dignity of work, person and life are fundamental human rights. Panggilan dalam alam kemerdekaan perlu dilanjutkan untuk menjadi pahlawan bangsa; hal ini perlu dimulai dari kaum pemuda/i dan seluruh rakyat yang mencintai negara, bangsa dan tanah airnya, sang mutiara di katulistiwa – agar tidak berubah menjadi batu tak berharga yang tidak kita harapkan. Gerakan penghapusan kemiskinan dan kelaparan (poverty and hunger) yang diusung Millennium Development Goals (MDG ke 1) dapat didukung dengan meningkatkan akses, partisipasi, manfaat dan kontrol secara setara (equality bagi kaum perempuan dan laki-laki), seperti yang dinyatakan juga dalam MDG-3 (Promoting gender equality and women’s empowerment) dengan memperhatikan disparitas gender masing-masing untuk mendapatkan keadilan (equity). Pemberdayaan keluarga dalam usaha ekonomi rumah tangga, pengentasan kemiskinan dan kehidupan harmonis antara pasangan dan keluarga menjadi tuntutan bangsa untuk membentuk keluarga mandiri, maju, sehat dan sejahtera Selamat Hari Pahlawan ke-83! PEMBERDAYAAN PEREMPUAN ADALAH KEMAJUAN KELUARGA UNTUK INVESTASI MASA DEPAN (Women’s empowerment is family advancement towards future investment) Daftar Pustaka: Klein, David M and White, James M, 1996, Family Theories, an introduction understanding families, SAGE publications, International Educational and Professional Publisher, USA Losh-Hesselbart, Susan, 2001, Development of Gender Roles, Florida State University, USA, Department of Sociology, Handbook of Marriage and the Family , h 535-564 MDG report, UNDP, 2000
  • 30. 24 Surjadi, E dkk, Public Policy Forum Indonesia, Gender Harmony, Pustaka Sinar Harapan, 2010 Jakarta, 8 Nopember 2011, TMI
  • 31. 25 Aktualisasi Spirit Nasionalisme Oleh: Al-Zastrouw Ng*) Manifesto Politik 1925 yang dicetuskan oleh para generasi muda Indonesia (waktu itu disebut Hindia Belanda) yang belajar di Belanda merupakan peristiwa monumental dalam sejarah Nasionalisme Indonesia. Manifesto politik yang dipimpin oleh Moh. Hatta tersebut tidak saja menjadi cermin bangkitnya kesadaran nasionalisme, tetapi juga menjadi sumber inspirasi gerakan nasionalisme pada masa selanjutnya, seperti peristiwa sumpah pemuda tahun 1928 dan puncaknya adalah proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945. Satu hal yang perlu dicatat, munculnya manifesto politik 1925 bukan sesuatu yang muncul secara tiba-tiba, tetapi merupakan ujung dan kristalisasi dari suatu perjuangan panjang yang sudah dirintis para tokoh pergerakan sebelumnya, khususnya para aktivis Boedi Oetomo yang berdiri pada tahun 1908. Artinya ada rentang waktu antara sosialisasi dan kristalisasi kesadaran nasionalisme dengan munculnya berbagai momentum puncak nasionalisme sebagaimana tercermin dalam peristiwa Manifesto Politik 1925 dan Sumpah Pemuda. Sejarah menunjukkan, terjadi sektarianisme yang kuat di kalangan masyarakat Indonesia, ini terjadi karena kesadaran nasionalisme bersarang pada identitas etnis, budaya dan ideologi. Mereka memiliki kesamaan keinginan untuk meredeka, tetapi belum memiliki kemampuan untuk mengorganisir diri menjadi suatu gerakan. Kesamaan etnis, tradisi dan idoelogi menjadi pengikat yang paling mudah untuk membangun gerakan bersama. Hal inilah yang menjadi sebab kuatnya gerakan sektarianisme dalam kesadaran nasionalisme awal Indonesia, sebagaimana tercermin dalam organisasi Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamic Bond, dan Pasoendan. Seiring dengan dengan perjalanan waktu, *) Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (LESBUMI) PBNU, Alumni Sosiologi S-3 UI.
  • 32. 26 kesadaran sektarianisme yang berbasis pada etinisitas, lokalitas dan ideologi akhirnya bisa melebur manjadi gerakan nasionalisme Indonesia. Sebagai upaya membangun spirit nasionalisme kaum intelektual saat ini, rasanya perlu melakukan analisis terhadap sejarah gerakan nasionalisme secara cermat. Bagaimana gerakan tersebut bisa tumbuh dan berkembang? Apa yang menjadi akar dan pijakan dari tumbuhnya spirit nasionalisme? Bagaimana spirit tersebut bisa mentransendensikan kesadaran sehingga melampaui sekat-sekat etnis dan ideologis yang sempit dan lokal? Upaya membongkar sejarah ini bukan dimaksudkan untuk mengidealisir masa lalu atau sekedar melakukan romantisme historis. Sebaliknya, dengan mencermati dan memahami sejarah kita akan dapat mengetahui nilai-nilai dan hal-hal apa yang bisa dipertahankan dan dikembangkan lebih lanjut dalam konteks kekinian dan sebaliknya. Selain itu, dengan pemahaman historis ini kita memiliki pijakan untuk melakukan rekonstruksi dan aktualisasi nilai-nilai dan spirit nasionalisme. Tanpa melakukan ini, kesadaran nasionalisme kaum intelektual akan rapuh, karena tidak manapak pada akar dan rujukan yang kokoh. Alih-alih mempertahankan spirit nasionalisme, mereka jadi “generasi hilang” hanyut dalam arus globalisasi yang tidak lagi mengakui pentingnya nasionalisme. Konsep Nasionalisme Nasionalisme adalah sikap politik dan sosial dari kelompok-kelompok suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, bahasa, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan. Dengaan demikian merasakan adanya kesetiaan mendalam terhadap kelompok bangsa itu (Ensiklopedi Indonesia, Jilid 4; hal 2338). Definisi ini menyiratkan bahwa inti dari nasionalisme adalah soal rasa dan kesetiaan. Kesamaan bahasa, kebudayaan dan woyah hanya menjadi alat, sementara kesamaan cita-cita dan tujuan merupakan implikasi dari persamaan rasa dan kesetiaan. Meskipun ada perbedaan kebudayaan, bahasa dan wilayah namun semua itu dapat terlampaui jika ada kesamaan rasa dan kesetiaan,
  • 33. 27 demikian sebaliknya. Kesamaan rasa dan kesetiaan ini pula yang pada ujungnya dapat melahirkan kesamaan cita-cita dan tujuan. Kekuatan rasa dan kesetiaan ini dapat melahirkan proses kreatif suatu masyarakat, sehingga tidak saja menumbuhkan cita-cita dan tujuan bersama, tetapi juga melahirkan kesadaran untuk menerima suatu perbedaan yang ada. Dalam konteks ini bisa dilihat kasus nasionalisme Indonesia. Secara faktual, masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam tradisi, budaya, bahasa dan etnis. Tetapi karena adanya kesamaan rasa dan kesetiaan akhirnya berbagai perbedaan itu dapat diatasi bahkan mampu melahirkan konsensus untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kesatuan rasa dan kesetiaan ini pulalah yang melahirkan sebuah cita-cita dan tujuan bersama, yaitu membentuk Negara yang merdeka dan berdaulat. Artinya kemerdekaan merupakan suatu bentuk masyarakat yang diimaginasikan bersama oleh seluruh komponen masyarakat Indonesia saat itu. Mereka tidak lagi mengimaginasikan terbentuknya masyarakat Jawa, Batak, Islam, Sunda, Ambon dan sebagainya, tetapi mereka mengimaginasikan suatu masyarakat besar yang bernama Indonesia. Konsep nasionalisme seperti ini sama dengan apa didefinisikan oleh Ben Anderson yang menyatakan nasionalisme sebagai "sebuah komunitas politik yang dibayangkan”. Sebuah komunitas yang dibayangkan berbeda dari yang sebenarnya, karena tidak berdasarkan kenyataan riil dimana setiap anggotanya bisa berinteraksi secara langsung setiap hari. Sebaliknya mereka diikat oleh suatu citra yang ada dalam pikiran sehingga tumbuh pesan sama diantara mereka. Perasaaan inilah yang selanjutnya membentuk “komunitas imajiner” yang membedakan mereka dengan kelompok lain (Ben Anderson, 1991). Ini artinya, kelompok masyarakat yang menjadi bagian dari warga bangsa mungkin tidak pernah mengenal satu sama lain, bertemu dan bertatap muka, namun mereka memiliki minat yang sama atau mengidentifikasi diri dan kelompok sebagai bagian dari bangsa yang sama.
  • 34. 28 Nasionalisme muncul dan berkembang menjadi sebuah paham (isme) yang dijadikan sebagai landasan hidup bernegara, bermasyarakat dan berbudaya dipengaruhi oleh kondisi histori dan dinamika sosio kultural yang ada di masing- masing negara. Nasionalisme akan muncul ketika suatu kelompok suku yang hidup di suatu wilayah tertentu dan masih bersifat primordial berhadapan dengan manusia-manusia yang berasal dari luar wilayah kehidupan mereka. Sikap nasionalisme akan tumbuh ketika proses interaksi antar kelompok masyarakat terjadi secara tidak seimbang, ada proses kooptasi dan eksploitasi antara yang satu terhadap yang lain. Ketika hal ini terjadi, lambat laun akan muncul tuntutan persamaan hak bagi setiap orang untuk memegang peranan dalam kelompok atau masyarakat (demokrasi politik dan demokrasi sosial) serta adanya persamaan kepentingan ekonomi. Munculnya tuntutan inilah yang kemudian melahirkan ikatan emosional diantara anggota kelompok masyarakat yang akhirnya melahirkan imaginasi bersama. Imaginasi kolektif tentang bangunan masyarakat inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah nasionalisme modern. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa munculnya nasionalisme merupakan respon terhadap suasana politik, ekonomi, sosial dan budaya, terutama respon terhadap penjajahan. Dilihat dari sejarah perkembangannya, nasionalisme mula-mula muncul menjadi kekuatan penggerak di Eropa Barat dan Amerika Latin pada abad ke-18. Di Amerika Utara misalnya, nasionalisme lahir karena perluasan dibidang perdagangan kira-kira pada tahun 1000. Ada pula yang berpendapat bahwa manifestasi nasionalisme muncul pertama kali di Inggris pada abad ke-17, ketika terjadi revolusi Puritan. Namun dari beberapa pendapat tersebut dapat dijadikan asumsi bahwa munculnya nasionalisme berawal dari Barat (yang diistilahkan oleh Soekarno sebagai nasionalisme Barat) yang kemudian menyebar ke daerah-daerah jajahan (http://kafeilmu.com/2011/04/sejarah-dan-perkembangan- nasionalisme.html).
  • 35. 29 Di Indonesia, gerakan nasionalisme mulai bangkit pada tahun 1908 yang ditandai dengan berdirinya organisasi “Boedi Oetomo (Akira Nagazumi; 1989). Nasionalisme yang tumbuh masa itu masih bersifat lokal, kedaerahan dan kelompok, belum pada tataran kenegaraan sebagaimana tercermin dalam gerakan Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamiten Bond dan sebagainya. Meski konsep nasionalisme ini berasal dari Barat, namun para aktivis gerakan nasionalis saat itu tetap melakukan konstruksi terhadap pemikiran nasionalisme Barat yang materialistis tersebut, sehingga menjadi nasionalisme antikolonialisme yang kemudian menjadi spirit kemerdekaan (Partha Chatterjee dalam http://kafeilmu.com/2011/04/sejarah-dan-perkembangan-nasionalisme.html). Nasionalisme antikolonialisme ini memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi. Dalam domain ini superioritas Barat harus diakui dan mau tidak mau harus dipelajari dan direplikasi oleh spirit dunia Timur. Pada sisi lain, adalah sebuah "dunia dalam" yang membawa tanda esensial dari identitas budaya. Semakin besar kemampuan Timur mengimitasi kemampuan Barat dalam dunia materi, semakin besar pula keharusan melestarikan perbedaan budaya spiritnya. Dalam domain spiritual inilah nasionalisme masyarakat pascakolonial mengklaim kedaulatan sepenuhnya terhadap pengaruh-pengaruh dari Barat. Definisi lain menyebutkan, nasionalisme adalah suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia (Wikipedia, 2006). Dalam konteks Indonesia, pengertian ini dapat kita cocokkan dengan sejarah Indonesia ketika tahun 1945, yang pada saat itu para pendiri bangsa berusaha membuat sebuah nasionalisme yang dapat mempersatukan seluruh masyarakat yang berada dalam wilayah jajahan Belanda. Nasionalisme yang kemudian dihasilkan adalah sebuah nasionalisme yang berdasarkan kepada
  • 36. 30 kesamaan nasib. Konsep yang dihasilkan para pendiri bangsa tersebut berhasil untuk mempersatukan wilayah yang kita kenal sebagai Indonesia pada saat ini. Paparan di atas menunjukkan bahwa pengalaman bersama sebagai bangsa yang dijajah dan ditindas telah menimbulkan perasaan senasib yang pada ujungnya menumbuhkan suatu imajinasi kolektif tentang Indonesia yang merdeka dan berdaulat yang merupakan puncak dari bentuk masyarakat yang diimaginasikan bersama. Dalam konteks kekinian, apakah pengalaman bersama itu masih dirasakan oleh seluruh warga bangsa? Apakah seluruh komponen bangsa Indonesia saat itu masih memiliki perasaan senasib? Lalu apa yang bisa dijadikan sebagai pengikat nasionalisme jika pengalaman hidup mereka sudah berbeda? Apa yang bisa menyatukan seleuruh warga bangsa sehingga mereka merasa memiliki perasaan senasib? Inilah pertanyaan yang perlu dijawab jika kita hendak melakukan aktualisasi terhadap spirit nasionalisme kita saat ini. Politik Etis Sebagai Pembuka Kesadaran Nasionalisme. Dalam upaya menjawab pertanyaan di atas kita perlu melacak jejak tumbuh kembangnya nasionalisme Indonesia. Melalui jejak sejarah ini kita dapat melihat bagaimana proses kebangkitan nasionalisme tumbuh. Bagaimana para founding fathers yang menjadi motor gerakan nasionalis dapat mengintegrasikan berbagai gerakan nasional yang fragmented (terjebak dalam spirit kedaerahan, suku dan aliran) bisa terintegrasi secara utuh menjadi gerakan semesta nasionalisme Indonesia. Dari sini kita belajar sekaligus menganalisa aspek apa saja yang bisa ditiru dan dipertahankan, sehingga kita memiliki referensi yang jelas, relevan dan sesuai dengan akar-akar sosiologis masyarakat Indoensia. Kebangkitan spirit nasionalisme Indonesia tidak bisa lepas dari kebijakan politik etis yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial belanda. Melalui kebijakan politik etis yang diusung oleh van Deventer, Abendanon dan sebagainya, akses pendidikan Barat untuk kaum pribumi mulai terbuka. Sejak tahun 1891 diputuskan untuk mengizinkan semua pemuda yang menyatakan berminat pada pendidikan
  • 37. 31 “dokter Jawa” untuk mengikuti sekolah dasar Eropa tanpa dipungut bayaran (Robert van Niel, 1984; hal. 76). Pada awalnya, kebijakan politik etis ini dimaksudkan sebagai balas jasa pemerintah kolonial Belanda terhadap Negara Hindia Belanda yang telah dikuras kekayaannya. Selain itu juga dimaksudkan untuk merekrut tenaga kerja pribumi. Krisis ekonomi yang menimpa pemerintahan Belanda pada akhir abad 19 mengharuskan dilakukannya penghematan anggaran. Untuk itu perlu dilakukan pengurangan pengiriman ekspatriat ke negara-negara jajahan karena gajinya terlalu tinggi dan ongkosnya mahal. Jalan keluar untuk mengatasi masalah ini adalah mendidik orang-orang Indonesia sampai pada batas memiliki ketrampilan untuk menjalankan tugas sebagai pegawai. Ini perlu dilakukan karena ongkosnya lebih murah juga gaji yang diberikan kepada pribumi tidak setinggi para ekspatriat. Sejak saat itu dilakukan reorganisasi besar-besaran terhadap sistem pendidikan Barat di Indonesia. Untuk memenuhi tuntutan profesionalitas pekerjaan, beberapa jenis sekolahan model barat yang menggunakan bahasa Belanda dibuka sampai ke desa. Misalnya, Sekolah Dokter Hewan dibuka pada 1907, Sekolah Hukum didirikan pada tahun 1908. Sekolah menengah pertanian dimulai pada tahun 1903 dan Sekolah Keguruan dibuka tahun 1909 (Van Niel, Ibid, hal. 81). Pada awalnya kebijakan ini hanya diberikan kepada anak-anak muda priyayi yang tidak mendapat tempat dalam pemerintahan, namun keterbukaan ini pada akhirnya juga dapat dinikmati oleh anak muda yang bukan dari golongan ningrat. Semua sekolah model Barat yang dibuka olejh Belanda ini akhirnya melahirkan para elit intelektual Indonesia. Kebijakan politik etis ini ternyata menumbuhkan arus balik. Kebijakan politik yang bertujuan membangun kader loyalis kepada pemerintah kolonial dengan cara menjadikan mereka sebagai pegawai pemerintah kolonial dengan gaji dan fasilitas yang memadai, ternyata justru membangkitkan kesadaran nasionalisme kaum terpelajar. Alih-alih menjaadi tenaga kerja yang loyal pada pemerintah kolonial, meningkatnya taraf pendidikan justru membuat membuat para mahasiswa menjadi
  • 38. 32 bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial yang pada akhirnya berujung pada munculnya sentimen primordial sebagai basis terbentuknya spirit nasionalisme. Salah satu kebijakan yang membuat sentimen kebangsaan mereka bangkit adalah kebijakan diskriminatif yang dilakukan pemerintah kolonial antara mahasiswa pribumi dengan orang-orang Eropa. Para mahasiswa Indonesia yang belajar di STOVIA, misalnya, merasa tidak puas oleh aturan diskrimatif yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial terhadap mereka, karena menganggap hal ini sebagai tanda rendahnya kedudukan mereka dimata orang Eropa. Pendidikan Barat tidak saja membuka kesadaran kritis mahasiswa, di sisi lain juga menimbulkan terjadinya benturan dalam diri para mahasiswa Indonesia. Tata cara Barat yang dipaksakan pada asas ke-Timur-an ternyata mengundang pertikaian. Hal ini, diantaranya, terlihat pada sosok Dr. Rajiman Wediodiningrat. Dia menerima gelar “Dokter Jawa” pada tahun 1899, kemudian pada tahun 1909 berangkat ke negeri Belanda dan menjadi dokter yang diakui penuh dengan standar Barat. Rajiman adalah sosok yang mempelajari dan menguasai pemikiran dan filsafat Barat seperti Immanuel Kant, Bergson, dan Karl Marx. Bahkan dia mendalami teosofi Annie Besant, yang mengajarkan tentang persaudaraan universal, agama yang sinkretis serta potensi mistis kehidupan dan kebendaan. Namun dokter Rajiman tidak menelan mentah-mentah semua pemikiran Barat tersebut. Sebagai seorang Jawa yang mengenal tradisi, budaya dan nilai-nilai Jawa, dia tetap menggunakan akar kosmologi jawa dalam kerangka pikir dan membangun kekuatan batinnya. Hal seperti ini tidak dilakukan Rajiman sendirian, hampir seluruh intelektual pribumi produk politik etis menggunakan cara pikir seperti Rajiman. Hampir semua intelektual pribumi produk politik etis memiliki cara pikir yang sama dengan Rajiman, seperti Abdul Muis yang tidak dapat berdamai dengan Indo-Indo Eropa yang dijumpainya di tempat dia bekerja. Dia lebih baik pindah kerja ke tempat lain, memilih menjadi penerjemah di Majalah Bintang Hindia asuhan Dr. Rivai. Bahkan
  • 39. 33 ketikan majalah ini bangkrut, dia tidak mau kembali bekerja menjadi pegawai pemerintah Belanda, karena merasa tidak cocok, dia akhirnya memilih mencari tempat kerja lain. Semua ini menunjukkan para intelektual pribumi tetap menggunakan akar-akar tradisi dan kosmologis Jawa dalam tata pikir dan bersikap, Menurut Duevendak, mereka para intelektual pribumi tetap menggunakan akar kosmos Jawa dan hanya secara dangkal saja berakar pada tradisi Barat, dimana pendidikan dan tinjauan mereka terhadap pemikiran Barat hanya mungkin menjangkau segi-segi materinya saja (Niel, Ibid; 80). Apa yang terjadi menunjukkan bahwa para aktivis gerakan nasionalis adalah para intelektual yang memiliki integritas dan karakter yang kuat dalam menghadapi berbagai tekanan, baik politis maupun ideologis. Mereka memiliki daya tahan diri yang kokoh sehingga tidak mudah hanyut oleh gemerlap pemikiran Barat modern yang menyilaukan dan tawaran materi pemerintah kolonial yang menggiurkan. Kalau diukur dengan realitas zamannya, para intelektual itu adalah mereka yang sudah masuk dalam pergaulan global, berinteraksi dengan masyarakat internasional secara intens, bersinggungan dengan berbagai konsep dan pemikiran Barat yang rasional, tapi mengapa mereka bisa bertahan dari gempuran rasionalitas Barat? Apa yang menumbuhkan sikap kreatif mereka sehingga bisa mengkritik Barat kemudian membuat konsep baru yang memadukan cara pikir Barat yang rasional dengan nilai-nilai dan akar kosmologi Timur yang mistik dan spiritual? Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan penulis paparkan dalam bagian berikut. Akar Nasionalisme dan Peranan Kaum Intelektual Muda Ada dua faktor yang membuat kaum intelektual pribumi memiliki kekebalan kultural (cultural immunity) ketika menghadapi gempuran dan tekanan paradigma intelektual dan kebudayaan Barat modern. Pertama, pemahaman sejarah yang kuat. Pemahaman terhadap sejarah inilah yang membuat mereka merasa percaya diri
  • 40. 34 dan memiliki martabat. Kebesaran sejarah masa lalu sebagaimana tercermin dalam kerajaan-kerajaan merupakan cermin bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar dengan peradaban besar. Oleh karenanya tidak layak kalau bangsa besar ini harus tunduk pada penjajah. Kesadaran seperti inilah yang lambat laun melahirkan sikap sentimen anti penjajah. Sebagaimana dinyatakan oleh Kahin, hal-hal yang melandasi tumbuh dan berkembangnya nasionalisme adalah kebanggaan pada kejayaan tradisi masa lalu. Kesadaran akan kekuatan politis yang sudah ada sebelumnya, seperti ditunjukkan oleh garis batas wilayah pengawasan kerajaan-kerajaan Indonesia pada masa lalu dan kejadian-kejadian seperti dikalahkannya anagkatan perang Kubilai Khan yang sedang memperluas kerajaannya oleh orang Jawa, berbarengan dengan kenang-kenangan akan keagungan kebudayaan masa lalu, seperti misalnya Sriwijaya yang sudah menjadi pusat pendidikan agama Buddha internasional (George Mc. Turnan Kahin; 1995; hal. 50). Kedua, faktor pemahaman terhadap akar-akar tradisi yang berkembang di masyarakat. Tradisi adalah tempat bersarangnya suatu kesadaran. Tanpa mengenal tradisi seseorang akan kehilangan jatidiri sehingga mudah diombang- ambingkan oleh kenyataan karena mereka tidak memiliki tempat berpijak yang jelas. Sebaliknya, seseorang yang memiliki pemahaman terhadap akar tradisi yang yang kuat, mereka akan memiliki pijakan yang kokoh ketika berhadapan dengan berbagai macam tekanan. Para elite intelektual produk politis merupakan contoh konkrit mengenai hal ini. Mereka mempelajari konsep pemikiran Barat, bersinggungan dengan kebudayaan Barat, tetapi mereka tidak hanyut dan lebur. Sebaliknya, seluruh pemikiran dan kebudayaan Barat hanya dijadikan referensi untuk merekonstruksi berbagai akar tradisi yang dimilikinya, sehingga lahir berbagai pemikiran yang menggunakan cara pikir Barat namun tetap berakar pada akar tradisi. Hal itu tercermin dalam konsep nasionalisme Indonesia, ekonomi gotong royong (koperasi), sebagaimana dirumuskan Hatta, Gerakan Murba dan
  • 41. 35 Marhaen yang merupakan konstruksi pemikiran sosialisme ala Indonesia yang dirumuskan oleh Tan Malaka, Soekarno, dan sebagainya. Hal yang sama juga terjadi pada para pemikir keagamaan. Pada zaman kolonial, banyak ulama Indonesia yang belajar ke Timur Tengah, seperti Syech Nawawi al Bantani, Abu Shomad al-Falembangi, Syech Arsyad al-Banjari, Kyai Mahfudz Termas, Kyai Hayim As’ari, KH Ahmad Dahlan dan sebagainya. Tetapi setelah pulang ke Indonesia, mereka tidak melakukan arabisasi atas nama Islam. Mereka tetap membangun konstruksi pemikiran Islam Nusantara yang mengakomodasi adat dan tradisi sebagai sarana pengembangan Islam. Bahkan mereka menulis beberapa kitab dengan memasukkan berbagai unsur tradisi dalam pemikiran keagamaan mereka. Misalnya Syceh Arsyad al-Banjari memasukkan konsep gono-gini dalam hukum fiqih. Semua kitab karangan ulama Indonesia menjadi rujukan di Timur Tengah hingga saat ini. Ini membuktikan dengan pemahaman tradisi dan akar budaya yang kokoh, para ulama berhasil meempertahankan diri dari tekanan wahabi yang hendak menghancurkan berbagai tradisi atas nama agama. Sebaliknya, dengan kekuatan tradisi mereka membuat perlawanan melalui berbagai pemikiran keagamaan yang lebih kreatif dan mudah diterima oleh umat, sehingga tidak mengganggu integrasi sosial yang sudah terjadi di masyarakat. Selain faktor kesadaran historis dan pemahaman tradisi, ada faktor lain mendukung tumbuhnya nasionalisme Indonesia, yaitu munculnya kesadaran identitas kultural yang bisa menjadi budaya tandingan (counter culture) yaitu identitas Islam Nusantara. Menurut Kahin, Islam sebagai mayoritas menjadi identitas kultural membangkitkan perlawanan kaum penjajah yang beragama Kristen. Dalam derajat tertentu Islam menjadi identitas pembeda antara kelompok nasionalis pribumi dengan kaum penjajah. Di sini Islam tidak semata-mata menjadi ideologi keagamaan tetapi sekaligus juga menjadi simbol dan identitas kultural kaum pribumi yang terjajah. Sebagaimana dinyatakan Wertheim:
  • 42. 36 “Seseorang memang dapat menunjang paradoks bahwa perluasan Islam di kepulauan Indonesia adalah akibat ulah orang-orang Barat. Datangnya Portugis ke wilayah Nusantara mendorong sejumlah besar bangsawan Indonesia untuk memeluk kepercayaan Islam sebagai suatu pergerakan politis untuk melawan penetrasi Kristen (WF. Wertheim, 1950; 52)”. Kesadaran historis dan pemahaman tradisi ini tidak saja bisa melahirkan ketahanan budaya yang menghasilkan sosok yang berkarakter dan memiliki integritas, lebih dari itu juga melahirkan kesadaran kreatif yang mampu melampaui sekat-sekat primordial yang ada pada saat itu. Hal ini dibuktikan dengan dicetuskannya bahasa kesatuan yang mampu mengakomodasi berbagai perbedaan yang ada. Dalam hal ini Kahin menyatakan integrasi nasionalisme Indonesia terjadi karena adanya bahasa kesatuan. Sebagaimana dinyatakan Bousquet: “Karena orang Belanda tidak membiarkan pemakaian bahasanya meluas sebelum nasionalisme lahir, kini kaum nasionalis memakai bahasa Melayu sebagai sesuatu senjata melawan pengaruh Belanda…. Mereka percaya diri mampu menempa suatu rantai untuk mencapai tujuan-tujuannya, namun kini mereka melihat, bahwa mereka telah menyediakan suatu senjata, senjata psikologis yang menggetarkan, yaitu suatu bahasa nasional umum yang dipakai untuk mengungkapkan asapirasi-aspirasi nasonal umum mereka” (Bousquet dalam Kahin, Ibid; 51). Fakta sejarah di atas menunjukkan bahwa motor gerakan nasionalisme adalah para pemuda dan intelektual. Integritas dan komitmen para intelektual muda ini mampu meruntuhkan kemapanan para ningrat dan raja-raja lokal sering dipakai pemerintah kolonial untuk melemahkan semangat kesatuan. Ketika gerakan nasionalisme makin menguat, para ningrat akhirnya ikut dalam gerakan ini. Tidak hanya itu, kelas menangah yang terdiri dari para pedagang pribumi dan Cina akhirnya ikut mendukung gerakan kaum nasionalis. Peran para intelektual dalam gerakan nasionalisme ini juga diakui oleh Shil yang menyatakan: “Persiapan kemerdekaan, kelahiran dan kelangsungan hidup Negara-negara baru di Asia dan Afrika dengan segala perubahannya pada dasarnya merupakan hasil karya kaum cendekiawan. Belum pernah dalama sejarah manusia kaum cendekiawan begitu berperan dalam pembentukan Negara seperti yang mereka lakukan di dalam peristiwa-peristiwa abad
  • 43. 37 ini……..Keunggulan kaum cendekiawan dalam politik di Negara-negara baru baik di Asia dan Afrika sebagian disebabkan oleh karena adanya hubungan antara orientasi cendekiawan modern dengan pelaksanaan politik revolusioner atau politik yang tidak konstitusional dan dengan pelaksanaan politik yng non militer” (Edward A. Shils dalam Aidit Alwi dan Zainal AKSP (ed.), 1989; hal. 33 dan 34). Pernyataan Shills ini juga sejalan dengan apa yang disampaikan Kahin yang melakukan penelitian sejarah gerakan nasionalisme Indonesia. Dalam hal ini Kahin menyatakan: “Satu-satunya yang mungkin dapat dijadikan dasar keberhasilan gerakan kebangsaan Indonesia yang cukup kuat untuk mencapai tujuan politiknya, hanyalah pembentukan hubungan efektif antara kepemimpinan nasionalis yang terutama berasal dari unsur-unsur cendekiawan Indonesia serta kelas menengah yang sangat sedikit jumlahnya, dan massa Indonesia” (Kahin, Ibid; 78-79). Secara spesifik, peran kaum muda dalam revolusi kemerdekaan Indoensia dipaparkan oleh Ben Anderson. Dalam bukunya “Revolusi Pemuda” Anderson menjelaskan karakteristik revolusi Indonesia yang menyimpang dari pola sosiopolitik revolusi-revolusi modern lainnya. Menurut Anderson pusat daya dorong kekuatan revolusi dalam perjuangan merebut kemerdekaan terletak, bahkan dengan tingkat yang menentukan, berada di tangan pemuda Indonesia. Yang menarik dari penjelasan Anderson, para pemuda ini tidak hanya yang berasal dari kaum intelektual pendidikan Barat, tetapi juga intelektual pesantren yang bekerjasama dengan para aktivis gerakan nasional yang berpendidikan Barat. Mereka bahu membahu melakukan revolusi merebut kemerdekaan (Benedict Anderson; 1988). Memudarnya Spirit Nasionalisme Dalam konteks kekinian kita menyaksikan terjadinya fragmentasi di kalangan masyarakat. Konflik sosial terjadi dimana-mana, kesenjangan antara yang miskin dan kaya menjadi semakin tajam dan apatisme masyarakat terhadap simbol dan persoalan kenegaraan semakin meningkat. Pertanyaan yang muncul adalah, masih
  • 44. 38 adakah kesamaan imaginasi di kalangan masyarakat Indonesia saat ini sebagaimana yang terjadi pada era pergerakan nasional? Apakah konsep masyarakat yang diimaginasikan masih relevan untuk dijadikan dasar terbentuknya nasionalisme dalam konteks kekinian? Melihat fenomena sosial yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia saat ini, jelas terlihat telah terjadi peluruhan nilai-nilai kebangsaan, jika ukuran kebangsaan adalah masyarakat yang diimaginasikan yang berpijak dari kesamaan nasib dan pengalaman. Sebagaimana kita lihat, saat ini muncul berbagai macam imaginasi komunitas di kalangan masyarakat. Sekelompok orang mengimaginasikan munculnya komunitas Islam yang kokoh, sebagian lagi mengimaginasikan adanya komunitas etnik yang solid dan mandiri sebagaimana tercermin dalam tuntutan otonomi daerah yang berlebihan. Perbedaan imaginasi komunitas ini menyebabkan terjadinya keretakan dalam relasi sosial. Ini artinya nasionalisme era pergerakan sudah tidak sesuai dengan realitas kekinian. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya masalah ini. Menurut Irwan Abdullah faktor tersebut adalah adanya proses eksklusi dan inklusi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Selain itu, juga karena adanya unifikasi (penyeragaman) (Irwan Abdullah, 2006; h. 65-66). Proses penyeragaman agama telah menghancurkan keyakinan lokal karena para pemeluknya dipaksa menganut agama resmi yang sudah disiapkan oleh pemerintah. Kuatnya pengaruh agama resmi bahkan telah menghancurkan berbagai jenis kebudayaan daerah. Kebudayaan Jawa yang sangat kaya dengan berbagai aktivitas dan kebudayaan materian perlahan-lahan berubah menjadi kebudayaan agama yang mengelompokkan masyarakat menjadi Jawa Islam atau Kristen (Abdullah dan Kutanegara; 2005). Hal yang sama juga terjadi dalam univikasi tradisi dan kebudayaan yang menyebabkan hancurnya berbagai kebudayaan lokal. Proses eksklusi-inklusi dan univikasi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru telah menyebabkan terjadinya perbedaan pengalaman di kalangan masyarakat Indonesia. Mereka yang diuntungkan oleh proses tersebut akan
  • 45. 39 memiliki imaginasi yang berbeda dengan mereka yang menjadi korban. Serpihan- serpihan imaginasi ini menjadi semakin kecil dan sempit ketika berhadapan dengan berbagai kepentingan pragamatis yang dangkal dan sesaat. Akibatnya masyarakat menjadi terfragmentasi dan menjadi komunitas yang rentan perpecahan (fragile society). Selain itu, proses eksklusi-inklusi dan univikasi yang didukung oleh pragmatisme telah menghilangkan empati dan solidaritas yang menjadi sendi utama terbentuknya spirit nasionalisme. Pragmatisme ini muncul debagai dampak dari kuatnya desakan arus modernisme yang diterima secara artifisial dan fragmented, tidak secara holistik dan substantif. Modernisme yang artifisial hanya menawarkan sikap hidup hedonis, materialis dan konsumtif. Akibatnya membuat orang mudah terlena dan hanyut, sehingga tercerabut dari akar tradisi yang menjadi pijakan. Karena tidak memiliki akar kultural, maka mudah diombang ambingkan oleh keadaan, tidak memiliki identitas kultural yang jelas sehingga timbul krisis identitas. Inilah yang terjadi pada generasi muda Indonesia saat ini termasuk para elite intelektual. Mayoritas kaum intelektual sudah terbuai oleh arus globlisasi yang menempatkan mereka menjadi bagian dari masyarakat dunia, kemudian mengunyah seluruh konsep dan pemikiran global tanpa melakukan refleksi dan komparasi. Ini terjadi karena mereka sudah tidak memiliki referensi kultural yang bisa dijadikan sebagai pembanding terhadap berbagai teori dan konsep yang datang dari luar. Bahkan mereka cenderung mengabaikan dan memandang rendah konsep-konsep yang berasal dari tradisi lokal yang sebenarnya kaya makna. Alih-alih melakukan rekonstruksi teoritik dan konsepsional sebagaimana yang dilakukan oleh founding fathers mereka justru menolak pemikiran lokal karena dianggap tradisinoal. Inilah yang menyebabkan hancurnya kearifan lokal yang sudah diwariskan oleh para pendahulu. Selain kehilangan akar kultural yang bisa menjadi pijakan dan kerangka acuan berpikir, mayoritas kaum muda dan elite intelektual Indonesia juga kahilangan pemahaman sejarah. Mereka hampir tidak mengenal sejarah
  • 46. 40 bangsanya. Karena tidak memiliki referensi sejarah bangsanya, mereka menggunakan referensi bangsa lain yang belum tentu cocok dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia untuk diterapkan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Akibatnya terjadi benturan kultural yang menyebabkan terjadinya goncangan sosial secara terus menerus. Proses reformasi yang terjadi saat ini merupakan cerminan dari terjadinya benturan kultural ini. Apa yang terjadi menunjukkan imaginasi masyarakat yang dibangun oleh kaum pergerakan sudah tidak relevan dengan realitas kekinian. Jika demikian, lalu apa yang bisa menjadi dasar terbentuknya imaginasi masyarakat dalam konteks kekinian? Dengan kata lain bagaimana konsep nasionalisme diaktualisasikan? Atau nasionalisme sudah tidak dibutuhkan lagi? Aktualisasi Spirit Nasionalisme Kaum Intelektual Nasionalisme tetap penting sebagai jangkar dalam kehidupan sosial manusia, karena secara faktual eksistensi negara bangsa masih tetap diakui dan berlaku dalam relasi sosial antar umat manusia. Meski batas-batas teritorial makin kabur karena kemajuan tehnologi komunikasi dan informasi, namun kesadaran nasionalisme tetap dibutuhkan sebagai identitas kultural dan formal suatu masyarakat. Dalam konteks Indonesia nasionalisme yang berkaitan dengan persoalan teritorial, kedaulatan dan kenegaraan sudah selesai. Artinya nasionalisme yang berdasar pada imaginasi masyarakat yang memiliki negara yang berdaulat sudah tercapai dengan perwujudan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks Indonesia saat ini, aktualisasi nasionalisme Indonesia diarahkan pada tegaknya harkat dan martabat kemanusiaan. Sebagaimana kita ketahui, kuatnya tarikan pragmatisme telah menjerumuskan manusia pada penghancuran nilai-nilai kemanusiaan. Hampir seluruh aspek kehidupan terjadi secara transaksional dengan mengabaikan harkat kemanusiaan. Politik yang mestinya menjadi instrumen untuk mengorganisasikan kepentingan bersama telah
  • 47. 41 menjadi alat transaksi untuk mengamankan kepentingan kelompok. Hukum telah menjadi alat untuk menjaga kepentingan kekuasaan dan ekonomi menjadi sarana akumulasi materi. Dalam kondisi seperti ini, nasionalisme akan kehilangan arti jika hanya berorientasi pada upaya menjaga keutuhan teritorial Indonesia. Dalam kondisi seperti ini upaya menjaga dan menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan menjadi penting, karena inilah yang bisa melampaui sekat-sekat kepentingan pragmatisme yang sedang terjadi. Kedua, nasionalisme harus berpijak pada kesejahteraan manusia. Upaya membangun perasaan bersama dan kesetiaan akan sia-sia jika sebagian dari warga bangsa ada yang merasa diabaikan nasibnya, tidak ikut merasakan kesejahteraan dan keadilan dari masyarakat yang diimajinasikan. Jika hal ini terjadi maka nasionalisme akan mengalami keretakan. Kesulitan hidup, penderitaan dan kemiskinan akan memancing tumbuhnya imaginasi masyarakat yang bisa menjadi alternatif dari imajinasi awal yang ternyata tidak memberikan manfaat apapun dalam kehidupan mereka. Pendeknya, penegakan harkat dan martabat kemanusiaan serta mewujudkan kesejahteraan manusia merupakan pilar dasar terbentuknya nasiaonalisme Indonesia saat ini. Dengan kemikian kedua hal ini harus menjadi acuan dan standar dalam seluruh aspek kehidupan bernegara; politik, ekonomi, hukum, budaya. Penerapan demokrasi harus berpijak pada kedua tersebut. Kedua aspek ini juga bisa menumbuhkan sikap empati yang bisa mengikat kesadaran dalam suatu kebersamaan secara sukarela. Masyarakat tidak akan mencari alternatif imaginer jika harkat dan martabatnya ditegakkan dan kesejahteraannya dijamin. Sebagaimana dinyatakan Shils, kaum inteletual memiliki peran penting dan strategis dalam upaya melakukan sosialisasi atas aktualisasi nilai-nilai kebangsaan. Harus ada perubahan orientasi dan transformasi kaum intelektual. Kaum intelektual tidak bisa menjadi menara gading yang sibuk membuat konsep sambil memandang dari jauh reliatas yang ada dan menjaga jarak dengan problem sosial atas nama independensi dan obyektivitas. Dalam istilah Antonio Gramsci,
  • 48. 42 harus ada kesadaran menjadi intelektual partisipan, bagi kalangan akademisi kampus, yaitu intelektual yang terlibat dalam gerak bersama dengan massa rakyat untuk pembaharuan masyarakat dengan seluruh aksi politis dan pendidikan penyadaran (Antonio Gramscy, 1971). *) Gambaran intelektual partisipan terlihat jelas pada sosok para aktivis gerakan nasionalisme Indonesia. Mereka tidak tersekat oleh latar belakang akademik, disiplin ilmu dan profesi. Mereka disatukan oleh komitmen dan tanggung jawab untuk memperjuangkan kemanusiaan. Menurut Eyerman, intelektual memiliki peran yang sangat penting dalam setiap penggal sejarah kehidupan suatu bangsa (Ron Eyerman, 1996). Agar para intelektual tetap memiliki karakter dan integritas, maka mereka perlu memahami akar tradisi dan sejarah bangsanya sendiri. Selain itu, melalui pemahaman tradisi dan sejarah para inteletual akan dapat melakukan rekonstruksi konsepsional dan teoritik atas berbagai ilmu pengetahuan yang telah diperoleh. Artinya ada proses aktualisasi terhadap teori yang dipelajari sehingga memiliki koneksitas dan kesesuaian dengan kondisi sosiologis masyarakatnya. Tanpa adanya ini, seorang intelektual hanya menjadi pemulung ide; mencomot suatu gagasan dari tempat lain kemudian diterapkan secara paksa dalam suatu konteks sosial, meski konsep tersebut ditolak oleh kenyataan kerena kondisi sosial yang tidak cocok. Selain itu, intelektual seperti ini mudah hanyut dalam pusaran arus kehidupan karena tidak memiliki pijakan yang kokoh dan pegangan yang kuat *) Menurut Gramscy ada lima tipologi intelektual; pertama, tipologi intelektual tradisional yaitu penyebar ide dan mediator antara massa rakyat dan kelas atasnya; kedua, intelektual organic yaitu kelompok intelektual dengan badan penelitian dan studynya berusaha untuk member refleksi atas keadaan namun terbatas untuk kepentingan kelompoknya sendiri; ketiga, intelektual kritis, mereka yang mampu melepaskan diri dari hegemoni elit kekuasaan yang sedang memerintah dan mampu memberikan pendidikan alternatif untuk proses pemerdekaan; keempat intelektual universal yaitu intelektual yang mampu memperjuangkan tegaknya harkat dan martabat kemanusiaan; kelima, intelektual partisan, sebagaimana dijelaskan di atas.
  • 49. 43 dalam menghadapi gempuran peradaban. Semoga ini tidak terjadi pada diri intelektual Indonesia saat ini.*** DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan (2006). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta; Pustaka Pelajar -------------------- dan Pande Made Kutanegara (2005). Otonomi dan Hak-hak Budaya Daerah, dalam Ki Supriyoko (ed.), Pendidikan Multicultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Sejarah, Jakarta; Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Anderson, Bennedict (1991). Imagined Communities, London, Verso ------------------- (1988). Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, Yogyakarta; Pustaka Sinar Harapan. Eyerman, Ron (1996). Cendekiawan: Antara Budaya dan Politik Dalam Masyarkat Modern, Terjemahan Matheos Nalle, Jakarta; Yayasan Obor. Gramscy, Antonio (1971). Selections from the Prison Nootebooks, New York; International Publishers. Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia Jilid 4, Jakarta; Ichtiar Baru-Van Hoeve http://kafeilmu.com/2011/04/sejarah-dan-perkembangan-nasionalisme.html Kahin, George Mc. Turnan (1995). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Jakarta: Sebelas Maret University Press dan Pustaka Sinar Harapan Nagazumi, Akira (1989). Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918, Jakarta: Graffiti Press. Shils, Edward A (1989). Para Cendekiawan dalam Pembangunan Politik di Negara Baru, dalam Aidit Alwi dan Zainal AKSP (ed.), Elite dan Modernisasi, Yogyakarta; Liberty. Robert van Niel (1984). Munculnya Elit Modern Indonesia, Jakarta; Pustaka Jaya. Wertheim W.F. (1950). Effects of Western Civilization on Indonesian Society, New York.
  • 50. 44 Spirit Nasionalisme dan Profesionalisme Kaum Intelektual Mendukung Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Tinjauan Sosiologis) Oleh Dr. Edy Siswoyo* Kesatuan penelitian yang dibahas dalam makalah ini adalah kaum intelektual. Dalam istilah yang sangat umum, seseorang intelektual, adalah orang yang cerdas. Cerdas mampu untuk berpikir secara mendalam. Intelektual juga berarti orang yang memiliki kekuasaan yang superior intelek. Seorang intelektual, mungkin bukan hanya sekedar seseorang yang cerdas tetapi orang yang sangat cerdas, sehingga di masyarakat atau diorganisasi statusnya sering ditempatkan di tempat terhormat atau tempat yang disegani. Mungkin itulah sebabnya mengapa intelektual sering melihat ke bawah pada non-intelektual (Kitao, 1998). Variabel yang hendak ditelaah adalah spirit nasionalisme, profesionalisme dan dukungan terhadap pembangunan kesejahteraan sosial. Dalam telaah ini, spirit nasionalisme ditempatkan sebagai harapan yang mewakili kepentingan negara (state), profesionalisme mewakili tuntutan pasar (market), dan pembangunan kesejahteraan sosial mewakili kepentingan masyarakat (society). Sosiologi pada dasarnya menelaah hubungan-hubungan sosial, di mana faktor power yang signifikan terlibat di dalamnya. Karena itu yang dimaksud dengan tinjauan sosiologis dalam konteks ini adalah tinjauan yang hendak menempatkan kaum intelektual dalam power relation atau tepatnya dinamika relasi antara state, market and society. Secara empirik memang benar bahwa kaum intelektual telah mengambil peranan melakukan perubahan demi perubahan; mulai dari masa pra kemerdekaan Indonesia yang dipelopori oleh kaum pemuda yang mendapat pendidikan baik yang diselenggarakan oleh Belanda maupun oleh Jepang, dilanjutkan pada masa revolusi yang bergulir, lalu masa pergantian dari Orde Lama ke Orde Baru yang melibatkan peran kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa, dan terakhir adalah masa Orde Reformasi yang juga dimotori oleh kaum intelektual kampus. Begitulah
  • 51. 45 ramainya panggung besar sejarah yang menampilkan peranan kaum intelektual saat itu, dengan peran memang sebagai intelektual yang relatif bebas dari kepentingan penguasa, pasar atau kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Pertanyaan untuk masa kini adalah: Di mana dan kemanakah mereka sekarang ini? Apakah mereka masih perform di panggung besar sejarah Indonesia masa kini, atau menjadi aktor di balik layar saja, ataukah mereka tampil dengan kostum lain? Atau menjadi penonton saja? Mengapa demikian? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, pembahasan dalam makalah ini akan dimulai dengan memahami kembali arti atau makna yang tekandung di balik kata intellectual. Dengan demikian selanjutnya akan lebih mudah menempatkan di mana sebaiknya poisisi kaum intelektual ini dalam konteks pembangunan kesejahteraan sosial berwawasan nasionalisme dan profesionalisme. Pokok bahasan dalam makalah ini meliputi: Terminologi Intelektual, Peran Sosial Politik Kaum Intelektual, Peran Kontekstual Kaum Intelektual: sebagai peneliti, sebagai pendidik, dan sebagai penasihat politik; Dinamika Peran Kaum Intelektual di Indonesia, Nasionalisme dan Sektarianisme Kaum Intelektual; Jurnalis dan Pekerja Sosial sebagai Intelektual Publik; Nasionalisme dan Profesionalime Intelektual Kampus; peluang dan tantangan. * Dr. Edy Siswoyo, Kepala P3M (Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) STISIP Widuri.
  • 52. 46 Nasionalisme Bagi Rakyat Kecil: Tinjauan dari Perspektif Perkembangan Masyarakat Indonesia Oleh: Retor AW Kaligis*) "Dan agar yang tidak murni terbakar mati!" (Bung Karno, 1959) Latar Belakang Nasionalisme di Indonesia pernah berhasil mendapatkan loyalitas dan pengorbanan besar dari rakyat. Pada saat Perang Kemerdekaan 1945-1949, rakyat rela berkorban harta benda dan bahkan nyawa demi keyakinan untuk memiliki negara dan pemerintahan sendiri. Nasionalisme di negeri bekas jajahan tidak hanya berbeda dengan nasionalisme di negara-negara Barat. Di antara sesama bekas jajahan sendiri terdapat perbedaan karakteristiknya. Meski ekspansi kolonial Eropa pasca renaissance memiliki pola tertentu, yakni berkaitan dengan sistem pertukaran ekonomi dari kapitalisme modern, di mana daerah-daerah jajahan merupakan ekonomi-ekonomi satelit yang menghasilkan pertukaran yang tidak adil dan tidak seimbang, terdapat perbedaan cara kolonialisme yang tergantung pada basis material penjajah serta kondisi kemasyarakatan dan kultural negeri jajahan. Belanda memiliki industri yang kurang maju dan menjajah untuk mencari bahan baku. Karena itu, kekayaan alam dieksploitasi dan rakyat Indonesia diperas. Pada umumnya, sekolah-sekolah modern barat baru didirikan seiring dengan dimulai liberalisasi ekonomi sejak paruh kedua abad ke 19 dalam rangka mengisi tenaga di pemerintahan dan lapangan swasta. Kesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi hanya diperuntukkan bagi anggota masyarakat dari strata tertentu: keluarga priyayi dan pedagang luar Jawa.1 Dari kalangan terdidik tersebut, *) Doktor Sosiologi UI, Dosen STISIP Widuri. 1 Di tahun 1900, pendapatan bumiputera per kepala setahun sekitar 63 gulden, sedang golongan Eropa 2.100 gulden, dan Timur Asing sekitar 250 gulden. Pada tahun itu hanya 3 orang dari setiap 1.000 penduduk bumiputera yang bersekolah.
  • 53. 47 nasionalisme sebagai ideologi yang bersumber dari dunia Barat masuk dan berkembang. Kondisi masyarakat kolonial di Hindia Belanda tidak memunculkan kelas menengah kuat memerlukan kesatuan kekuatan dengan seluruh rakyat, sehingga melahirkan gerakan nasionalisme yang diarahkan untuk mengangkat derajat rakyat kecil. Hal ini berbeda dengan keadaan masyarakat di India. Negeri yang dijajah Inggris itu menjadi pasar karena overproduksi di negeri induk. Imperialisme dagang Inggris menjual berbagai barang ke India, seperti gunting, pisau, pakaian, sepeda, hingga mesin jahit. Karena itu sejak awal imperialisme Inggris sudah membuka sekolah dan universitas agar rakyat India punya kemauan dan kemampuan membeli. Implikasinya, corak perjuangan bangsa India untuk melawan kolonial Inggris tak terlepas dari kepentingan kelas borjuasi. Kalangan pengusaha India merasa tersaingi dengan kehadiran kolonial Inggris, sehingga tampil para tokoh pergerakan dari kalangan pengusaha seperti Nehru, Tata, dan Birla. Salah satu semboyan untuk melawan imperialisme Inggris adalah swadesi (gerakan yang menganjurkan agar menggunakan barang-barang buatan bangsa sendiri), yang merupakan kepentingan kaum pengusaha India dalam usaha memenangkan persaingan dagangnya.2 Gerakan swadesi membuat imperialisme dagang Inggris Dari sekitar 100.000 bumiputera yang bersekolah, hanya 13 orang yang duduk di sekolah menengah (HB). Lihat Simbolon, Parakitri T. Menjadi Indonesia: Akar-Akar Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Kompas-Grasindo, 1995, h. 222. 2 Soekarno membandingkan imperialisme liberal dari Amerika Serikat, imperialisme semi liberal dari Inggris, imperialisme semi ortodoks dari Belanda, dan imperialisme ortodoks dari Spanyol dan Portugal. Imperialisme liberal terhadap rakyat yang dikolonisir itu liberal, ini boleh, itu boleh. Yang semi liberal itu setengah menindas setengah lapang dada. Yang semi ortidoks memberi jalan sedikit-sedikit untuk berpikir. Yang ortodoks itu sangat menindas kepada rakyat yang dikolonisir. Perbedaan cara kolonialisme itu, menurut Soekarno, karena adanya adanya perbedaan basis material dari penjajah itu. Misalnya, berbeda dengan Belanda yang memiliki industri kurang maju dan menjajah untuk mencari bahan baku (rempah-rempah), Inggris menjajah India memiliki tujuan untuk memperluas pasar sehingga Inggris berkepentingan untuk mempertahankan daya beli masyarakat India. Kelas menengah India dipertahankan pada saat itu. Lihat Sukarno. Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Indayu Press, 1984, h. 5-19.
  • 54. 48 menjadi lumpuh dan hal ini berperan besar bagi India untuk meraih kemerdekaannya tahun 1947. Adapun di wilayah Indo Cina, tak lama setelah Perang Dunia Kedua, pada 29 Agustus 1945, bekas jajahan Perancis tersebut memproklamasikan kemerdekaannya melalui revolusi nasional mengusir penjajah asing sekaligus perjuangan kelas. Hal itu menyebabkan sebagian besar kaum borjuasi dan ningrat berpihak Perancis. Sisa dari perjuangan kelas itu masih terasa Vietnam, Laos, dan terutama di Kamboja hingga penghujung abad ke-20, dengan adanya faksi-faksi Sihanouk, Son San, dan Kiu Sampan. Berlainan dengan di Indocina, para pemimpin bangsa di Indonesia lebih mementingkan perjuangan nasional tanpa perjuangan kelas. Keanekaragaman masyarakat, baik horizontal maupun vertikal, menjadi realita yang berusaha diakomodir gerakan nasionalisme di Indonesia. Untuk mengorganisir gerakan nasionalisme, sejak zaman kolonial para pemimpin gerakan nasionalis yang berasal dari kelas strata atas berpendidikan modern (barat) menyalurkannya melalui pembentukan organisasi-organisasi nasionalis. Sulit dibayangkan apakah Yogyakarta dapat menjadi kota perjuangan tanpa keterlibatan pihak kraton? Demikian halnya dengan kalangan pengusaha - yang memiliki jaringan sampai ke luar negeri seperti Singapura dan India- tentu tak mau membantu membiayai keuangan negara Indonesia melalui perdagangan gelap atau penyelundupan di tengah blokade tentara Belanda, jika diberlakukan perjuangan kelas. Bambu runcing menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap penjajahan. Negeri ini mewarisi wilayah kolonial yang dihuni beraneka ragam suku, agama, ras, dan golongan dengan batas-batas sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang tidak sama. Di tengah sistem ekonomi kapitalisme berkembang pada era kemerdekaan, masih ada komunitas yang hidup terpencil di pedalaman. Selain demokrasi modern yang tumbuh di negeri ini, terdapat pula berbagai kerajaan dan suku dengan berbagai hak tradisionalnya.
  • 55. 49 Semboyan bhinneka tunggal ika sesungguhnya masih merupakan suatu cita- cita yang harus diperjuangkan. Di masa Orde Baru, persatuan dan kesatuan dijaga melalui kebijakan anti SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dalam tatanan politik yang sentralistik, sehingga tidak memupuk kemampuan masyarakat untuk hidup dalam perbedaan secara jernih, toleransi, dan damai. Hingga sekarang, hubungan antar golongan seringkali tidak berlangsung sinergis. Konflik sosial terjadi di berbagai wilayah Indonesia, seperti Kalimantan, Maluku, dan Poso. Perbedaan pendapat kerap disikapi dengan reaktif serta membuat distingsi tajam “kami” dan “mereka”. Kaum nasionalis seringkali mengedepankan persatuan bangsa dan menggaungkan isu kesejahteraan rakyat. Namun, seberapa solid kekuatannya mengatasi persoalan ketidakadilan sosial jika berhadapan dengan kepentingan akumulasi modal? Padahal isu keadilan sosial merupakan masalah sosietal yang harus diatasi kaum nasionalis agar warga negara umumnya merasa cocok untuk hidup dalam bangunan politik bernama Indonesia. Peralihan kekuasaan dari pemerintah kolonial ke penguasa bangsa sendiri belum mendorong bertumbuhnya keadilan sosial. Meski negeri Indonesia memiliki tanah-air yang luas dan kekayaan alam berlimpah, warisan sosial kolonialisme masih berlanjut dengan dilestarikannya ketimpangan penguasaan sumber-sumber ekonomi. Sejak masa kolonial, kemajuan teknologi juga sudah berkembang di nusantara. HW Dick menjelaskan, pada tahun 1900 Jawa merupakan ekonomi yang paling terintegrasi dan modern secara teknologis antara Benggala dan Jepang. Teknologi revolusi industri telah diterapkan pada jaringan komunikasi dan transportasi, pabrik-pabrik raksasa berorientasi ekspor yang membutuhkan sebagian besar tanah terbaik di Pulau Jawa, sistem irigasi, pengerjaan logam, industri bermesin berat, produksi barang-barang konsumsi kelas menengah perkotaan, konstruksi bahan-bahan seperti batu bata dan kayu, serta fasilitas
  • 56. 50 umum seperti gas dan listrik. Di luar Singapura dan Penang, di tempat-tempat lain manapun di Asia Tenggara tidak ada hal semacam itu.3 Di tengah modernisasi tersebut, rakyat bumiputera umumnya tetap berada dalam posisi subordinat yang mengalami pemiskinan dan pembodohan. Kepentingan kolonialisme membuat teknologi lebih digunakan untuk menunjang sarana eksploitasi sumber daya alam dan manusia. Pada era kemerdekaan, kemajuan teknologi sebagaimana tercermin dari perkembangan industri manufaktur, pertambangan, dan sebagainya, juga tidak membuat Indonesia menjadi sejahtera. Negeri ini masih saja menjadi penjaja sumber daya alam dan sumber tenaga murah. Jika ekonomi kolonial memanfaatkan kekuasaan feodal sehingga operasinya menjangkau hingga ke desa, kini pemodal besar, yang banyak dikuasai asing, dengan didukung elite bangsa sendiri terus mendominasi sumber-sumber ekonomi. Pada era 1950-an elite nasionalis mulai terjun menjadi pengusaha nasional melalui fasilitas lisensi impor dan proteksi, adapun pembangunan ekonomi rakyat seperti koperasi bagi kaum tani kalah prioritas. Di satu sisi, cita-cita Soekarno sejak 1927 agar bangsa Indonesia mengurus diri sendiri (self-help) terwujud pada 1957 melalui nasionalisasi berbagai perusahaan asing. Di sisi lain, banyak hasil nasionalisasi dikuasai militer yang menjadi cikal bakalnya memasuki dunia bisnis. Orde Baru menyuburkan kaum pemodal yang melakukan kegiatan besar- besaran di sektor perkebunan, pertambangan, industri, dan kehutanan. Banyak petani dan golongan adat kehilangan tanah. Peluang sektor informal perkotaan dibatasi melalui penggusuran. Banyak rakyat kecil mengalami proletarisasi yang terjebak lingkaran kemiskinan. Hak-hak adat atas sumber daya ekonomi kian termarginalkan, sebagaimana tercermin dari segi penguasaan tanah oleh pemodal 3 Lihat tulisan HW Dick, dosen sejarah ekonomi di Melbourne University, berjudul “Munculnya Ekonomi Nasional, 1808-1990-an” dalam Lindblad, J. Thomas (ed).
  • 57. 51 besar yang mengabaikan keberadaan tanah adat. Di Papua, Aceh, dan Riau yang terus diambil kekayaan alam pertambangannya, banyak anggota masyarakatnya bergelut dalam kemiskinan. Di Kalimantan, hak penguasaan hutan (HPH), izin perkebunan, dan kuasa pertambangan diberikan ke sejumlah pengusaha lokal dan asing tanpa mempertimbangkan hak-hak adat yang ada di masyarakat lokal. Adapun di Pulau Jawa sejak zaman kolonial tanah-tanah komunal kian hilang. Di era reformasi bangsa ini semakin menjajakan kekayaan alamnya ke pihak asing, aset negara dijual, dan tetap menjadikan penduduknya sebagai sumber tenaga murah. Otonomi daerah cenderung baru menggeser pola pembangunan top down dari tingkat pusat ke daerah. Aspirasi masyarakat adat tetap tersumbat karena seluruh desa di Indonesia menjadi komunitas tunggal dan seragam. Birokratisasi negara di tingkat desa tidak memberi tempat bagi para pemimpin adat, seperti kuria (kepala negeri) di Sumatera Utara, ninik mamak di Sumatera Barat, marga di Sumatera Selatan, dan kepala-kepala suku. Indonesia belum dapat mengonsolidasi diri untuk menciptakan kehidupan kebangsaan yang berpihak rakyat kecil. Persoalan penguasaan sumber-sumber ekonomi yang berkeadilan sosial dan penyaluran aspirasi berbagai komponen masyarakat kurang mampu diperjuangkan organisasi kaum nasionalis yang menyatakan pengakuan akan kebhinnekaan. Secara sosiologis, hal ini menyebabkan terputusnya hubungan kaum nasionalis dan organisasi nasionalis dengan rakyat kecil. Dari perbandingan ideologi dan praktik nasionalisme terlihat adanya problem relasi kekuasaan antara kaum nasionalis dengan rakyat, sehingga pertarungan meraih kekuasaan politik hanya merupakan rotasi aktor hegemoni politik dan ekonomi. Rakyat kecil, seperti petani, nelayan, pedagang kecil, dan buruh di berbagai daerah terus mengalami marginalisasi ekonomi. Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002, h. 37.
  • 58. 52 Eklektis Nasionalisme dan demokrasi modern mewarisi tradisi Revolusi Perancis abad ke 18. Revolusi Perancis menempatkan bangsa dan rakyat sebagai merupakan unit terpenting dengan menolak gagasan tradisional yang “disucikan” agama tentang klaim-klaim dinasti kerajaan untuk memerintah atas suatu wilayah. Loyalitas terhadap raja dan kerajaan yang ada pada masa sebelumnya bergeser dan ditransformasikan menjadi gagasan nasionalisme dan demokrasi modern yang berkaitan dengan negara-bangsa. Namun perjalanan Revolusi Perancis melenceng dari tujuan karena rakyat hanya memperoleh kebebasan (liberté), sedangkan persamaan (egalité) dan persaudaraan (fraternité) cuma menjadi slogan. Feodalisme diganti borjuisme, yakni kekuasaan politik yang menghambakan diri bagi kepentingan lapisan sosial- ekonomi atas. Meski rakyat diberi hak dalam pemilihan, kaum buruh, petani, dan si miskin lainnya senantiasa tidak dapat mempertahankan calon-calonnya dalam pemilihan parlemen. Aspirasi mereka terkepung pengaruh pikiran borjuis yang berkembang di masyarakat, dan terlebih lagi mereka kekurangan alat-alat propaganda. Kondisi ini memicu kekacauan di Perancis sehingga melahirkan kediktatoran Napoleon Bonaparte. Para pendiri bangsa sekaliber Soekarno dan Mohammad Hatta belajar dari kesalahan Revolusi Perancis untuk membangun Indonesia yang bersatu dan merdeka. Kemerdekaan yang dicita-citakan merupakan kemerdekaan bangsa sekaligus kemerdekaan rakyat dari marginalisasi dan eksploitasi. Kemerdekaan mencakup baik bentuk maupun isi, sebagai usaha bersama merombak struktur sosial yang menyebabkan rakyat terdesak dari sumber kehidupannya berupa alam subur dan kaya, sehingga dapat tercapai persamaan dan menumbuhkan persaudaraan sesama anak bangsa.