Dokumen tersebut merupakan ringkasan dari penelitian tentang representasi tubuh dalam film Warkop melalui analisis teknik mise-en-scene. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif interpretatif dengan fokus pada spektator dan unsur-unsur mise-en-scene seperti setting, kostum, pencahayaan, dan gerak tubuh tokoh. Hasilnya menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut berperan dalam merepresentasikan tubuh tokoh film W
1. Representasi
Tubuh
dalam
Film
Warkop
ì
Sebuah
Tinjauan
teknik
Mise-‐enScene
Lala
Palupi
Santyaputri1,
Dr.
Yasraf
Amir
Piliang2,
Dr.
Acep
Iwan
Saidi3
Dipresentasikan
pada
Seminar
DISC
Maranatha
2012
Bandung,
6
Oktober
2012
2. Latar
Belakang
&
Rumusan
Masalah
ì Film
saat
ini
menjadi
salah
satu
media
massa
yang
paling
berpengaruh
dalam
kehidupan
manusia.
Menonton
film
saat
ini
menjadi
ajang
hiburan,
kebiasaan
bahkan
kewajiban
dan
kebutuhan
untuk
manusia.
Film
Warkop
adalah
salah
satu
Film
Indonesia
yang
paling
sering
diputar
secara
ulang
dalam
program
televisi.
3. Metodologi
&
Teori
ì kualitaFf
intrepretaFf,
sebuah
metode
yang
memfokuskan
dirinya
pada
tanda
dan
teks
sebagai
objek
kajiannya
serta
bagaimana
peneliF
menafsirkan
dan
menganalisa
dengan
literature
yang
ada.
ì Melalui
analisis
teks
peneliFan
ini
bertujuan
untuk
membaca
representasi
tubuh
dalam
film
Warkop
untuk
melihat
pandangan
penonton
(spectator)
dalam
film
Warkop.
4. Teori
dan
Fokus
Kajian
ì Teori
mengacu
pada
film
studies
dimana
terpusatnya
pertanyaan
mengenai
representasi.
Hudson
(1998)
menyebutkan
mengenai
representasi
dalam
film
yang
direfleksikan
secara
simultan.
ì Mise-‐en-‐scene
dalam
film,
unsur-‐unsur
filmsehingga
sutradara
film
dapat
menghasilkan
gambar
untuk
kamera
untuk
memberikan
penonton
dengan
jelas,
kenangan
visual.
(de
LaureFs
1991:237)
5. Kerangka
Analisis
Objek
PeneliFan
Spectator
dan
Film
Warkop
Fokus
PeneliFan
Representasi
Tubuh
dalam
Film
Warkop
Permasalahan
Representasi
Tubuh
Mise-‐en-‐scene
sebagai
aspek
PeneliFan
penFng
dalam
film
Kerangka
Teori
Representasi
tubuh
dan
Tinjauan
Mise-‐en-‐scene
Representasi
Tubuh
Interpretasi
6. ì Unit analisis dari penelitian ini adalah berdasarkan
pada adegan-adegan yang dianggap peneliti telah
mewakili pemunculan adanya tanda-tanda baik di
dalam audio maupun visual yang dapat dimaknai,
dengan tidak bermaksud untuk menghancurkan
atau menghilangkan makna dari adegan-adegan
yang lain. Film Warkop dengan objek visual
karakter-karakter peran manusia yang
menimbulkan kelucuan ini berkaitan erat dengan
masalah pemikiran unconscious manusia.
7. ì Mise-‐en-‐scene
ì Mise-‐en-‐scene,
sebuah
isFlah
dari
bahasa
Prancis
yang
arFnya
adalah
tempat
di
atas
panggung,
Awalnya
mengacu
pada
semua
elemen
visual
dari
sebuah
produksi
teater
dalam
ruang
yang
ada
dan
tersedia
dalam
panggung.
Pembuat
film
telah
meminjam
isFlah
dan
telah
diperpanjang
makna
untuk
menyarankan
kontrol
sutradara
sehingga
memiliki
lebih
dari
elemen-‐elemen
visual
dalam
gambar
film.
8. ì Aspek-‐aspek
mise-‐en-‐scene
yang
tumpang
Fndih
antara
seZng,
kostum,
pencahayaan
dan
figure.
Pengendalian
elemen-‐elemen
ini
membuat
sutradara
berkesempatan
untuk
menciptakan
suatu
visualisasi
yang
berkenaan
dengan
keadaan
yang
akan
disampaikan.
9. Unsur-‐unsur
mise-‐en-‐scene
ì SeAng,
sebagai
elemen
visual
penFng
film,
termasuk
semua
yang
penonton
melihat
yang
menginformasikan
waktu
dan
tempat
yang
terpisah
dari
kostum.
Aspek
mise-‐en-‐scene
memainkan
peran
yang
sangat
akFf
dalam
film
dan
berkala
mungkin
menganggap
sebagai
begitu
penFng
dalam
film
total
Fndakan,
atau
perisFwa.
Meskipun
seZng
menyediakan
wadah
untuk
Fndakan
dramaFs,
signifikansinya
melampaui
itu
dan
mengundang
pembuat
film
untuk
mengontrol
berbagai
aspek
arFsFk.
10. Gambar
1.
Warkop
DKI
(courtesy
PT
Soraya
Intercine
Film
diambil
dari
Film
Malu
Malu
Mau,
1988)
11. Gambar
1.
Warkop
DKI
(courtesy
PT
Soraya
Intercine
Film
diambil
dari
Film
Malu
Malu
Mau,
1988)
12. ì Kostum
sebagai
aspek
mise-‐en-‐scene
dalam
film,
bagaimanapun,
keuntungan
signifikansi
bahkan
lebih
keFka
sutradara
memanipulasi
kostum
sehingga
fungsi
dalam
cara-‐cara
khusus
dalam
film
secara
keseluruhan.
Kostum
dapat
berfungsi
untuk
meningkatkan
narasi,
atau
cerita,
misalnya,
dengan
menyarankan
posisi
sosial
karakter.
Kostum
menjadi
alat
khusus
dalam
perangkat
sutradara.
13. Pembahasan
ì Tubuh
dalam
hal
ini
disebut
aktris
untuk
pemeran
perempuan
dan
aktor
untuk
pemeran
laki-‐laki.
Dalam
hal
tertentu
secara
tradisional
pemain
film
memerankan
sebagai
dirinya
sendiri
tetapi
Fdak
jarang
pula
ada
karakter-‐karakter
tertentu
yang
diperankan
berbeda.
Hal
ini
dilengkapi
dengan
kostum,
pakaian
menjadikan
tubuh
untuk
terus
bertranformasi,
dan
seperF
disebutkan
oleh
Patrizia
Calefato
(2004)
bahwa
pakaian
membatasi
tubuh
14. ì Figure
Behavior,
SeperF
seZng
dan
kostum,
ekspresi
dan
gerakan
tokoh
adalah
elemen
penFng
dari
mise-‐en-‐
scene
yang
digunakan
oleh
sutradara
untuk
mendukung
narasi
serta
membantu
mengembangkan
kesatuan
temaFk
film.
Gambar
ekspresi
mengacu
pada
ekspresi
wajah
dan
postur
seorang
aktor,
sedangkan
gerakan
tokoh
mengacu
pada
semua
Fndakan
lain
dari
aktor,
termasuk
gerakan.
Dua
aspek
yang
paling
penFng
dari
studi
film
adalah
kesesuaian
ekspresi
para
aktor
dan
kontrol
sutradara
pameran
selama
gerakan
sang
aktor.
15. ì Figure expression, sebagai unsur mise-en-scene,
juga memberikan daya artistik untuk sutradara.
Karena aktor dalam sebuah film digunakan sebagai
kendaraan ekspresi oleh sutradara, pemirsa harus
diingat bahwa kinerja seorang aktor harus diperiksa
dalam hal seberapa baik melengkapi pesan film
sebagai lawan seberapa baik kinerja aktor
mendukung pemirsa konsepsi perilaku di dunia
nyata. Dugaan pemirsa perilaku "realistis" tidak
boleh mengganggu pemahamannya tentang
kesesuaian ekspresi para aktor. Perilaku karakter
harus dinilai dalam kaitannya dengan setting
adegan tertentu dan keseluruhan make-up itu
karakter tertentu.
16. ì Lighting (pencahayaan), untuk sutradara film,
pencahayaan lebih dari iluminasi yang
memungkinkan pemirsa untuk melihat aksi.
Pencahayaan, seperti aspek lain dari mise-en-
scene, adalah alat yang digunakan oleh sutradara
untuk menyampaikan arti khusus tentang karakter
atau narasi ke penampil. Pencahayaan dapat
membantu menentukan setting adegan atau
menonjolkan perilaku tokoh dalam film tersebut.
Kualitas pencahayaan dalam sebuah adegan dapat
dicapai dengan memanipulasi kualitas dan arah
cahaya.
17. Kesimpulan
ì Sebuah
film
yang
mereproduksi
banyak
gambar
meminjamkan
banyak
arF
pada
penonton
(spectator),
dalam
film
bagaimana
satu
gambar
mengikuF
gambar
yang
lain
akan
dapat
dikonstruksi
secara
baik
dalam
sebuah
argumentasi
yang
Fdak
dapat
diulang.
18. Kesimpulan
ì Mempelajari unsur mise-en-scene secara
terpisah membantu pemirsa memahami fungsi
dari masing-masing elemen tertentu. Dengan
berfokus pada setting adegan, penonton dapat
mengidentifikasi pentingnya tepat waktu dan
tempat yang ia ditampilkan sehingga ia dapat
berpikir tentang adegan dalam hubungan
dengan konteks sejarah atau budaya yang
tepat.
19. Daftar
Isi
Anne,
Kathleen
Mary
(Eds.)
(2005):
NarraDve
and
Media.
New
York:
Cambridge
University
Press
Chaplin,
Elizabeth,
(1994)
Sociology
and
Visual
RepresentaDon.
New
York
&
London:
Routledge.
Dines,
G.
&
Humez,
JM
(Eds.)
(1995):
Gender,
Race
and
Class
in
Media:
A
Text
Reader.
Thousand
Oaks,
CA:
Sage.
Fulton,
Helen
Elizabeth.,
Huisman,
Rosemary
Ellizabeth
Anne.,
Murphet,
Julian.,
Dunn,
Gunter,
B.
(1986):
Television
and
Sex
Role
Stereotyping.
London:
Libbey.
Gauntlee,
David
&
Hill,
Anneee,
(1999):
TV
Living:
Television,
Culture
and
Everyday
Life.
London
&
New
York:
Routledge
Manga,
Julie
Engel
(2003):
The
Cultural
PoliDcs
of
DayDme
TV
Talk
Shows,
Talking
Trash.
New
York:
New
York
University
Press.
Wasko,
Janet.
(2005):
A
Companion
of
Television.
UK:
Blackwell
Wolf,
Naomi.
(1991).
The
Beauty
Myth.
London:
Vintage