Kemajuan teknologi membuat produksi baja nasional terus dikembangkan dengan bahan baku yang lebih baik. Pada Penelitian yang di lakukan oleh Pusat Penelitian Metalurgi Dan Material – LIPI, dikembangkan baja berkualitas unggul dari biji nikel (Limonit). Disebut bahwa, Limonit ini di produksi melalui endapan bijih besi laterit yang merupakan lapisan atas dari saprolit (bijih nikel kadar tinggi). Dengan proses pengolahan kandungan Limonit melalui inovasi tersendiri, pengembangan yang dilakukan LIPI ini menghasilkan sifat baja yang unggul. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang keunggulan baja Laterit, dilakukan penelitian terhadap pengaruh unsur didalam baja Laterit. Dengan meningkatkan sifat mekanik dan struktur mikro dengan proses heat treatment (quenching dan tempering) dapat meningkatkan kekuatan uji tarik, uji impak dan uji kekerasan dan perubahan struktur mikro. Kekuatan uji tarik tertinggi terjadi pada proses Quenching air dan tempering σy 1272 N/mm2 dan σu 1281 N/mm2. Pada uji impak energi terbesar yang di serap normalizing dan hot rolling 〖1200〗^0 C. Pada uji kekerasan quenching air memiliki kekerasan tertinggi 50,26 HRC. Dan perubahan struktur mikro.
Defenisi: Korosi umumnya terjadi pada logam. Korosi adalah reaksi kimia atau elektrokimia yang terjadi antara material logam dengan lingkungannya yang mengakibatkan berkurangnya sifat kekuatan energy pada material logam tersebut
Defenisi: Korosi umumnya terjadi pada logam. Korosi adalah reaksi kimia atau elektrokimia yang terjadi antara material logam dengan lingkungannya yang mengakibatkan berkurangnya sifat kekuatan energy pada material logam tersebut
Similar to PENINGKATAN SIFAT MEKANIK DAN OBSERVASI STRUKTUR MIKRO PADA BAJA LATERIT HASIL HOT ROLLING MELALUI PROSES PERLAKUAN PANAS (QUENCHING DAN TEMPERING)
Baja adalah logam yang unsur dasarnya besi dan ditambahi dengan beberapa elemen-elemen lainnya termasuk unsur carbon. Kandungan unsur karbon dalam baja berkisar antara 0,2- 2,1% berat sesuai grade-nya. Berikut elemen-elemen yang terdapat dalam baja seperti karbon (C), mangan (Mn), fosfor (P), sulfur (S), silikon (Si) dan sebagian kecil oksigen (O2), nitrogen (N2) dan aluminium (Al). Selain itu, ada elemen lain yang ditambahkan untuk membedakan karakteristik antara beberapa jenis baja diantaranya: mangan (Mn), nikel (Ni), krom (Cr), molybdenum (Mo), boron (B), titanium (Ti), vanadium (V) dan niobium (Nb) (Ashby, 2005).
Similar to PENINGKATAN SIFAT MEKANIK DAN OBSERVASI STRUKTUR MIKRO PADA BAJA LATERIT HASIL HOT ROLLING MELALUI PROSES PERLAKUAN PANAS (QUENCHING DAN TEMPERING) (20)
PENINGKATAN SIFAT MEKANIK DAN OBSERVASI STRUKTUR MIKRO PADA BAJA LATERIT HASIL HOT ROLLING MELALUI PROSES PERLAKUAN PANAS (QUENCHING DAN TEMPERING)
1. 1
PENINGKATAN SIFAT MEKANIK DAN OBSERVASI STRUKTUR MIKRO PADA
BAJA LATERIT HASIL HOT ROLLING MELALUI PROSES PERLAKUAN PANAS
(QUENCHING DAN TEMPERING)
Muhammad Budiman dan Ir. Bintang Adjiantoro, MT
Jurusan Teknik Mesin, Sekolah Tinggi Teknik PLN
Jakarta, 2017
ABSTRAK
Kemajuan teknologi membuat produksi baja nasional terus dikembangkan dengan bahan baku yang lebih
baik. Pada Penelitian yang di lakukan oleh Pusat Penelitian Metalurgi Dan Material – LIPI, dikembangkan baja
berkualitas unggul dari biji nikel (Limonit). Disebut bahwa, Limonit ini di produksi melalui endapan bijih besi
laterit yang merupakan lapisan atas dari saprolit (bijih nikel kadar tinggi). Dengan proses pengolahan kandungan
Limonit melalui inovasi tersendiri, pengembangan yang dilakukan LIPI ini menghasilkan sifat baja yang unggul.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang keunggulan baja Laterit, dilakukan penelitian terhadap pengaruh unsur
didalam baja Laterit. Dengan meningkatkan sifat mekanik dan struktur mikro dengan proses heat treatment
(quenching dan tempering) dapat meningkatkan kekuatan uji tarik, uji impak dan uji kekerasan dan perubahan
struktur mikro. Kekuatan uji tarik tertinggi terjadi pada proses Quenching air dan tempering σy 1272 N/mm2
dan σu 1281 N/mm2
. Pada uji impak energi terbesar yang di serap normalizing dan hot rolling . Pada uji
kekerasan quenching air memiliki kekerasan tertinggi 50,26 HRC. Dan perubahan struktur mikro.
Kata Kunci: Baja, Heat Treatment, Struktur Mikro, Sifat Mekanis.
1. Latar Belakang
Kemajuan teknologi di dunia, dan
khususnya di Indonesia telah menunjukkan
perkembangan yang sangat pesat sesuai
dengan kemajuan zaman. Hal ini dapat dilihat
dari salah satunya di bidang pembangunan
yang semakin meningkat, maka dari itu
kebutuhan akan bahan baku pun semakin
meningkat, khususnya untuk kebutuhan
terhadap bahan logam.
Di Indonesia merupakan salah satu
negara dengan cadangan bijih nikel berkadar
rendah (limonit) terbesar di dunia. Kandungan
nikel yang berasal dari limonit merupakan
salah satu bahan baku dalam industri baja.
Dilihat dari cadangan bahannya yang banyak,
bijih limonit yang sudah diolah menjadi baja
laterit memiliki keunggulan lebih dibanding
baja yang ada di pasaran. yaitu sifat baja
dengan kekuatan tinggi, tahan terhadap
korosi, baja tahan cuacah, baja tahan peluru
dan mempunyai sifat las yang baik karena
keberadaan nikel di dalamnya Oleh karena itu
baja laterit hasil dari pengolahan bijih limonit
ini bisa menjadi solusi pasar terhadap
pemenuhan baja nasional.
2.1 Baja
Baja adalah paduan logam yang
tersusun dari besi sebagai unsur utama dan
karbon sebagai unsur penguat. Unsur karbon
banyak berperan sebagai peningkatan
kekerasan. Baja dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa jenis baja yaitu baja karbon
dan baja paduan (alloy steel). (Amstead,
1993)
2.2 Baja Karbon (carbon steel)
Baja karbon terdiri dari besi dan
karbon. Karbon merupakan unsur pengeras
besi yang efektif. Oleh karena itu, sebagian
besar baja hanya mengandung karbon dan
sedikit unsur paduan lainnya. (Smallman,
1985)
Baja karbon digolongkan menjadi 3 yaitu :
1. Baja karbon rendah.
Baja yang memiliki kandungan karbon
kurang dari 0,3%.
2. Baja karbon menengah.
Baja yang memiliki kandungan karbon
antara 0,3% sampai 0,7%.
3. Baja karbon tinggi.
Baja yang memiliki kandungan karbon
antara 0,7% sampai 1,4%.
2.2 Bijih Laterit
Laterit adalah nama umum untuk
mineral yang berupa tanah merah sebagai
akibat dari pelapukan batuan asal di daerah
2. 2
tropik atau subtropik dengan bantuan adanya
hujan dan panas.
Secara kimia bijih laterit dicirikan
oleh adanya sisa-sisa besi, alumina, dan
pelarut dari silika. Sebagai akibatnya
aluminium akan banyak berupa bauksit dan
nikel akan banyak berupa garnierite. Maka
laterit akan mengandung kedua material itu
atau salah satu dari keduanya.
Secara umum nikel laterit diartikan
sebagai suatu material dengan kandungan besi
dan aluminium sekunder sebagai hasil proses
pelapukan yang terjadi pada iklim tropis
dengan intensitas pelapukan tinggi. Di dalam
industri pertambangan nikel laterit atau proses
yang diakibatkan oleh adanya proses
lateritisasi sering disebut sebagai nikel
sekunder.
Baja laterit adalah baja dengan
kandungan nikel berkadar rendah yaitu antara
1 - 4.5 persen. Umumnya kadar nikel pada
baja laterit yang coba dikembangkan oleh
LIPI berkisar 1.5 – 4.5 persen. Jenis baja
laterit yang dikembangkan dari bijih laterit ini
adalah Ni – Hard, sejenis baja cor yang
memiliki nilai kekerasan yang tinggi serta
ketangguhan yang optimal. Bahan ini banyak
digunakan untuk material grinding balls atau
Hard-Liner untuk peralatan peremuk
(crusher) atau penggerus (grinder). Baja
laterit ini jika dikembangkan secara baik akan
menjadikan kemandirian bangsa Indonesia
dalam bidang industri baja, hal ini
dikarenakan cadangan bijih nikel berkadar
rendah ini berpuluh kali lebih banyak
dibandingkan dengan bijih nikel berkadar
tinggi. (Yusuf, 2002)
2.3 Diagram Fasa Fe-C
Diagram fasa adalah diagram yang
menghubungkan antara temperatur dengan
kadar karbon, dimana terjadi perubahan fasa
pada saat proses pemanasan atau pendinginan.
Diagram fasa Fe-C merupakan diagram yang
menjadi parameter untuk mengetahui segala
jenis fasa yang terjadi di dalam baja, serta
untuk mengetahui faktor – faktor apa saja
yang terjadi di dalam baja paduan dengan
berbagai jenis perlakuan. (sutrisno, 2012)
Gambar 2.1 Diagram fasa Fe-C.
(Callister, 2001)
2.4 Perlakuan Panas
Heat treatment dapat didefinisikan
sebagai proses pemanasan dan pendinginan
logam dalam keadaan padat untuk mengubah
sifat-sifat fisik dan mekanik logam tersebut.
Sifat-sifat fisik yang dimaksud adalah struktur
mikro (konfigurasi distribusi fasa untuk suatu
komposisi tertentu), dan dalam proses ini
tidak terjadi perubahan pada komposisi bahan.
Perubahan sifat fisik tersebut akan
mengakibatkan sifat mekanik bahan juga
berubah.
2.5 Pengertian Proses Pengilingan
Pengilingan diterapkan untuk
pembuatan benda setengah jadi dengan bentuk
penampang seragam (lembaran, batangan,
pipa, profil). Pembedaan dilakukan antara
pengilingan panas dalam keadaan pijar dan
pengilingan dingin pada suhu ruangan. Gruber,
Karl 2013.
a. Pengilingan Panas (Hot Rolling)
Pengilingan panas. Dua gilingan
yang ditumpu mendatar dan digerakan,
berputar saling berlawanan arah,
menangkap blok baja (lempengan,
bonggol, lembaran) yang didatangkan
dalam keadaan pijar putih di atas jalur
gelinding, dan menariknya melalui antara
keduanya. Selama perlaluan, maka benda
gilingan tersebut direntangkan pada arah
memanjang dengan tekanan gilingan,
strukturnya dimampatkan, penampangnya
diperkecil dan diberi bentuk dan ukuran.
Gruber, Karl 2013
b. Pengilingan Dingin (Cold Rolling)
Pengilingan dingin dilakukan
sebagai kelanjutan penggilingan panas jika
dikehendaki permukaan yang mengkilap
dan ukuran yang tepat. Kulit terak
disingkirkan sebelumnya melalui
pengetsaan. Pada pengilingan dingin,
kekuatan sangat ditingkatkan (penguatan
dingin) dan keuletan berkurang.
3. 3
Gilingan-gilingan yang bergerak
oleh motor listrik yang kuat, diberi
dudukan pada sebuah perancah yang
berputar dan ditempatkan di depan dan
belakang perancah. Beberapa perancah
giling dan jalur gelinding yang tersusun
beruntun membentuk sebuah jalan giling.
Menurut tata susun giling, maka
dibedakan: instalasi giling dua (gambar
2a), instalasi giling dua ganda (gambar
2c), instalasi giling trio (gambar 2b), dan
instalasi giling kwarto (gambar 2d). Pada
instalasi giling kwarto, maka gilingan
kerja yang kecil dihindarikan dari
perlenturan oleh gilingan penopang yang
berada di atas. Gilingan kecil merentang
dan memampatkan lebih baik dari yang
besar. Gruber, Karl 2013
Gambar 2.3 Tata susun gilingan.
Gruber, Karl 2013
2.6 Uji Kekerasan
Pada pengukuran kekerasan menurut
Brinnel, Rockwell dan Vickers yang akan
diterangkan di bawah ini kekerasan bahan
ditentukan dari perlawanan terhadap
pengubahan bentuk tetapi dengan
pembekesan. Bekas ini sisebabkan oleh suatu
benda yang lebih keras dari pada bahan yang
akan diperiksa dan di kala pembekasan itu
sendiri hampir tidak mengalami pengubahan
bentuk. Beumer, B.J.M 1994
a. Uji Kekerasan Metode Rockwell
Pengujian kekerasan dengan
metode rockwell bertujuan untuk
menentukan kekerasan suatu material
dalam bentuk daya tahan material terhadap
identor yang berupa bola baja ataupun
kerucut intan yang ditekankan pada
permukaan material uji.
Pengujian ini menggunakan
kedalaman lekukan pada beban yang
konstan sebagai ukuran kekerasan.
Terdapat dua kali pembebanan yang
disebut beban kecil (beban minor) dan
beban besar (beban mayor). Untuk awalan
pembebanan minor sebesar 10 kg untuk
menempatkan benda uji, kemudian
diterapkan pembebanan mayor
sebesar 60 sampai 140 kg.
b. Hubungan Antara Kekerasan dengan
Kekuatan Tarik
Diketahui bahwa dasar pengujian
kekerasan dan kekuatan tarik adalah sama
yaitu sebagai indikator pembebanan agar tidak
terjadi deformasi plastis. Nilai kekerasan juga
dapat dikonversikan kepada kekuatan tarik.
Untuk material yang dapat dikonversikan
yaitu besi tuang, baja, dan kuningan dari
pengujian kekerasan brinnel dengan satuan
HB kepada uji tarik. Rumus dari konversi
yang digunakan pada material baja adalah
sebagai berikut : (Callister, 2001)
Dimana :
: Koefisien, 3.45 untuk satuan MPa dan
500 untuk satuan Psi
HB : Hardness Brinnel
Dari rumus di atas juga dapat diketahui grafik
hubungan kekerasan dan kekuatan tarik
dari besi tuang, baja, dan kuningan
seperti di bawah ini :
Gambar 2.3 Hubungan kekerasan dan kekuatan tarik besi
tuang, baja, dan kuningan. (Callister, 2001)
2.6 Uji Tarik
Uji traik banyak dilakukan untuk
melengkapi informasi rancangan dasar
kekuatanan suatu bahan dan sebagai data
pendukung bagi spesifikasi bahan. Pada uji
tarik benda uji diberi beban gaya tarik
sesumber yang bertambah besar secara
kontinu, bersama dengan itu dilakukan
pengamatan mengenai perpanjangan yang
dialami benda uji, Kurva tegangan regangan
rekayasa dibuat dari pengukuran perpanjangan
benda uji. Tetangan tersebut diperoleh dengan
cara membagi beban dengan luas awal
4. 4
penampang lintang benda uji.
s=
Regangan yang digunakan untuk kurva
tengan-rengangan rekayasa adalah regangan
linear rata-rata. Yang diperoleh dengan cara
membagi perpanjangan panjang ukuran (gage
length) benda uji, , dengan panjang awal.
e= = =
Karena regangan dan tegangan
diperoleh dengan cara membagi beban dan
perpanjangan dengan faktor yang konstan,
kurva beban-perpanjangan akan mempunyai
bentuk yang sama seperti kurva tengangan-
renganan teknik. E.Dieter.George, 1990
2.8 Uji Impak
Uji impak digunakan dalam
menentukan kecenderungan material untuk
rapuh atau ulet berdasarkan sifat
ketangguhannya. Uji ini akan mendeteksi
perbedaan yang tidak diperoleh dari
pengujian tegangan regangan. Hasil uji
impak juga tidak dapat membaca secara
langsung kondisi perpatahan batang uji,
sebab tidak dapat mengukur komponen
gaya-gaya tegangan tiga dimensi yang terjadi
pada batang uji. Hasil yang diperoleh dari
pengujian impak ini, juga tidak ada
persetujuan secara umum mengenai
interpretasi atau pemanfaatannya.
Sejumlah uji impak batang uji
bertakik dengan berbagai desain telah
dilakukan dalam menentukan perpatahan
rapuh pada logam. Metode yang telah
menjadi standar untuk uji impak ini ada 2,
yaitu uji impak metode Charpy dan metode
Izod. Metode charpy banyak digunakan di
Amerika Serikat, sedangkan metode izod
lebih sering digunakan di sebagian besar
dataran Eropa. Batang uji metode charpy
memiliki spesifikasi, luas penampang 10 mm
x 10 mm, takik berbentuk V. Proses
pembebanan uji impak pada metode charpy
dan metode izod dengan sudut 45°,
kedalaman takik 2 mm dengan radius pusat
0.25 mm.
Batang uji charpy kemudian
diletakkan horizontal pada batang penumpu
dan diberi beban secara tiba-tiba di belakang
sisi takik oleh pendulum berat berayun
(kecepatan pembebanan ±5 m/s). Batang uji
diberi energi untuk melengkung sampai
kemudian patah pada laju regangan yang
tinggi hingga orde 103s-1. Batang uji izod,
lebih banyak dipergunakan saat ini, memiliki
luas penampang berbeda dan takik berbentuk
v yang lebih dekat pada ujung batang. Dua
metode ini juga memiliki perbedaan pada
proses pembebanan. Dieter, George E, 1986
Gambar 2.4 Kurva tegangan – regangan
E.Dieter.George, 1990
a. Pengujian Impak Metode Charpy
Pengujian impak metode charpy (charpy
v-notch) merupakan standar pengujian
untuk menentukan jumlah energi yang
diserap oleh bahan selama terjadi patahan.
Batang uji charpy memiliki standar ASTM
E23 dengan spesifikasi luas penampang 10
mm × 10 mm, dan takik berbentuk V yang
diletakkan secara horizontal pada batang
penumpu.
Gambar 3 Standar ukuran batang uji impak ASTM E23.
(ASTM E23, 1982)
2.7 Metalografi
Metalografi merupakan ilmu yang
mempelajari tentang pemeriksaan logam
untuk mengetahui sifat, struktur, temperature,
dan persentase campuran logam tersebut.
Dalam metalografi, dikenal dengan dua jenis
pengujian yaitu pengujian makro (macroscope
test) dan pengujian mikro (microscope test).
a. Pengujian Makro (Macroscope Test)
Pengujian Makro (Macroscope Test)
adalah proses pengujian struktur bahan
dengan mata terbuka untuk memeriksa
celah dan lubang yang terdapat pada
permukaan bahan.
b. Pengujian Mikro (Microscope Test)
Pengujian Mikro (Microscope Test) adalah
proses pengujian struktur bahan yang
bentuk kristalnya tergolong sangat halus.
Karena sangat halus, sehingga pada
pengujian diperlukan lensa mikroskop
5. 5
yang memiliki kualitas perbesaran antara
50 hingga 3000 kali.
3. Metodologi Penelitian
3.1 Diagram Alir Penelitian
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian.
3.2 Bahan dan Alat
Penelitian yang dilakukan di Pusat
Penelitian Metalurgi dan Material LIPI
menggunakan beberapa bahan dan alat, baik
dalam proses penempaan panas (hot forging)
atau proses pengujian sampel uji.
a. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Baja laterit
Baja laterit dengan komposisi sebagai
berikut :
Tabel 1.1 Komposisi kimia baja laterit.
b. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
Mesin uji kekerasan
Mesin uji impak
Mesin uji tarik
Alat metalografi
Gambar 3.2 Baja laterit hasil hot rolling
3.3 Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini, terdapat tahapan –
tahapan dalam proses pengambilan yang
terdiri dari uji kekerasan, uji impak, Uji Tarik
dan pengamatan struktur mikro
a. Pembuatan sepesimen/benda uji
1. Mesin Gergaji Pita
2. Mesin Milling
3. Mesin Bubut
4. Mesin Bor
Unsur Rata-rata Standar
Deviasi
Persentase
%
C 0.32475 0.00334 1.02948
Si 0.23563 0.00256 1.08635
S 0.0356 0.0016 4.4268
P 0.0364 0.0004 0.9745
Mn 0.77335 0.00403 0.52139
Ni 0.00756 0.00008 1.09318
Cr 0.01531 0.00002 0.12896
FE% 98.5363 0.0075 0.0076
6. 6
Sedangkan peralatan utama untuk
pelaksanaan heat treatment dan pengujian
yaitu :
1. Heat Treatment
2. Bak Untuk Quenching
Adapun sampel pengujian berjumlah yang
dibutuhkan untuk penelitian di tunjukan
pada (tabel 3.2).
Tabel 3.2 Sampel Pengujian
b. Proses Pembuatan Sampel
Proses pemotongan sampel uji
komposisi, uji tarik dan uji impak
mengunakan mesin gergaji pita dengan
mengunakan standar pengujian masing-
masing. Untuk uji tarik mengunkan
standar Jis 2201 sedangkan untuk uji
impak mengunakan standar ASTM E23.
Gambar 3.3 Proses pemotongan sampel
c. Proses Pembubutan
Proses pembuatan uji tarik
mengunakan mesin bubut untuk membuat
permukaan silinder sehingga bisa dibentuk
untuk benda uji tarik sesuai dengan
standar uji tarik Jis 2201, seperti terilihat
pada (gambar 3.5)
Gambar 3.4 Proses pembubutan sampel uji tarik
Untuk benda uji tarik dibutuhkan
sempel sebanyak 7 sempel. satu sampel hot
rolling , dua sampel quenching, satu
sampel normalizing dan tiga sampel
tempering. Seperti pada gambar 3.6
Gambar 3.5 Sampel uji tarik
d. Proses Milling
Untuk pembuatan uji impak
mengunakan mesin milling untuk
membuat sempel dengan standar ASTM
E23 terlihat pada (gambar 3.8)
Gambar 3.6 Proses milling sampel uji impak
Setelah proses miling dengan
ukuran standar ASTM E23 dengan jumlah
sampel sebayak 7. Kemudian sampel di
proses untuk membuat takik seperti pada
gambar yang sudah diproses.
No Keterangan Jumlah
Sempel
1. Uji Kekerasan 7
2. Uji Tarik 7
3. Uji Impak 7
4. Struktur Mikro 5
7. 7
Gambar 3.7 Sampel uji impak
e. Heat Treatment
Dalam prakteknya proses heat
treatment quenching dan tempering
dilaksanakan dengan tiga tahapan yaitu :
1. sampel uji tarik dan uji impak
masing-masing tiga sampel
dipanaskan di dalam furnace
sampai mencapai suhu austenite
950
o
C dan ditahan selama 1 jam
kemudian di quenching ke dalam
media oli, air dan normalizing
(udara)
2. Kemudian dari hasil heat treatment
dengan metode quenching
dilakukan uji kekerasan untuk
melihat kekerasan pada masing-
masing media quenching.
3. Setelah diketahui hasil uji
kekerasan dengan salah satu media
pendinginan kemudian tahap
berikutnya mengunakan media
pendingin yang memiliki kekerasan
paling tinggi kemudia di quenching
kembali dan kemudian di tempering
, , dan .
4. Analisis Hasil
4.1 Analisis Uji Tarik
Tabel 4.2 Hasil uji tarik
Grafik 4.1 Kekuatan uji tarik quenching
Hasil kekuatan uji tarik quenching
pada (grafik 4.1) menujukan adanya
peningkatkan kekuatan dari normalizing ke
quenching air. Tegangan luluh (yield strength)
quenching air memiliki nilai paling tinggi
1234 , sedangkan tegangan batas
putus (ultimate tensile strength) quenching
air memiliki nilai tertinggi juga yaitu 1345
.
Hasil tersebut jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan sampel hasil hot rolling
yang memiliki tegangan luluh (yield
strength) 670 , tegangan batas
putus (ultimate tensile strength) memiliki
nilai 726 . Sehingga proses
quenching air menjadi media utama
pendinginan untuk proses tempering ,
dan
Grafik 4.2 Kekuatan uji tarik tempering dengan media
quenching air
Hasil Kekuatan uji tarik tempering
, dan dengan media
quenching air dapat dilihat pada (grafik 4.2).
Hasil kekuatan uji tarik menunjukan adanya
peningkatan pada suhu tempering
dengan tegangan batas putus (ultimate
tensile strength) 1281 , dan
tegangan luluh (yield strength) 1272
. Namun terjadi penurunan
kekuatan jika dibandingkan dengan hasil
quenching air.
8. 8
Grafik 4.3 Elongasi uji tarik quenching
Pada grafik elongasi uji tarik
quenching pada (grafik 4.3) jika
dibandingkan pada hasil hot rolling
ada peningkatan elongasi sampel
normalizing 4% dengan hasil elongasi 26%.
Sedangkan elongasi pada hot rolling
hanya sebesar 22%. Tetapi untuk
sampel quenching oli dan air, terjadi
penurunan nilai elongasi, dimana elongasi
sampel quenching oli adalah 6 % dan
quencing air 4%. Dari grafik (grafik 4.3)
terlihat bahwa proses quenching, baik di oli
maupun di air, menurunkan nilai elongasi
jika, dibandingkan dengan proses hot rolling
dan normalizing.
Grafik 4.4 Elongasi uji tarik tempering dengan media
quenching air
Pada elongasi uji tarik tempering
dengan media quenching air jika dilihat dari
(grafik 4.4). diketahui bahwa elongasi pada
proses tempering memiliki nilai
paling tinggi. Pada quenching air nilai
elongasinya hanya 4%, sedangkan pada
tempering elongasi 12%, sehingga
proses tempering dapat
meningkatkan elongasi.
4.2 Analisis Uji Impak
Grafik 4.5 Uji impak quenching air, oli dan udara
Pada hasil uji impak (grafik 4.5)
dengan proses quenching, dapat dilihat
penurunan energi yang diserap jika
dibandingkan dengan hasil hot rolling
. Hasil uji impak hot rolling
menujukan energi yang diserap sebesar 116
Joule dan mengakibatkan sampel menjadi ulet
(duetile). Sedangkan sampel quenching air
memiliki nilai energi yang diserap paling
kecil yaitu 34 Joule. Sehinga sampel
quenching air memiliki kegetasan (brittleness)
paling tinggi.
Grafik 4.6 Uji impak dengan media quenching air
pada proses tempering
Hasil pengujian impak dengan media
quenching air pada proses tempering yang
dapat dilihat pada (grafik 4.6) menunjukan
adanya peningkatan. Jika dibandingkan
dengan quenching air, dimana energi yang
diserap 34 Joule, pada tempering
energi yang diserap 54 Joule. Dari (grafik
4.6), terlihat bahwa energi yang diserap pada
uji impak memiliki nilai tertinggi pada
proses tempering . Sehingga dapat
disimpulkan bahwa proses tempering
dapat meningkatkan energi yang diserap,
walaupun tidak membuat sampel menjadi
ulet tetapi getas.
9. 9
4.3 Analisis Uji Kekerasan
tabel 4.4 Hasil uji kekerasan
Grafik 4.7 Uji Kekerasan proses quenching
Dari hasil uji kekerasan proses yang
dapat dilihat pada (grafik 4.7), terlihat
bahwa hasil tertinggi adalah pada proses
quenching air. Pada hasil hot rolling
nilai kekerasan rata-ratanya adalah
16,82 HRC. Sedangkan pada quenching air
nilai kekerasannya 50,26 HRC. Jadi proses
quenching air dapat meningkatkan nilai
kekerasan.
Grafik 4.8 Uji kekerasan hasil tempering dengan media
quenching air
Hasil uji kekerasan pada sampel
hasil tempering dengan media quenching air
dapat dilihat pada (grafik 4.8) yang
menujukan menurunnya nilai kekerasan
pada saat ditempering. Pada sampel dengan
quenching air nilai kekerasannya 50,26
HRC, sedangkan pada pada sampel
tempering c nilai kekerasan 38,08
HRC. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
proses tempering menurunkan nilai
kekerasan, walau tidak terlalu signifikan.
Hal inilah yang menyebabkan sampel uji
impak untuk tempering c tetap patah
walaupun energi yang di serap tinggi.
4.5 Observasi Setruktur Mikro
Dari hasil pengamatan terhadap
struktur mikro pada heat treatment dengan
proses quenching dan tempering tedapat
perubahan dari proses normalizing sampai
proses tempering. Ketika di proses hot rolling
terjadi perubahan fasa dari ferit ke
bainit-ferit. Ketika hasil hot rolling
diproses heat treatment dengan proses
quenching terjadi perubahan fasa bainit-ferit
menjadi martensit. Kemudian melalui proses
quenching air lalu ditempering, terjadi
perubahan fasa dari martensit menjadi
martensit-temper pada tempering .
Grafik 4.9 Pengaruh kekuatan pada struktur mikro
dengan proses quenching
Pada (grafik 4.9) menujukan
perubahan nilai kekuatan terhadap
perubahan struktur mikro. Hasil normalizing
fasanya ferit. Pada normalizing terjadi
struktur mikro fasa ferit yang bersifat sangat
lunak, ulet dan memiliki konduktivitas yang
tinggi dilihat pada (gambar 4.1). Ferrite
adalah fase larutan padat yang memiliki
struktur BCC (Body Centered Cubic).
Ferrite terbentuk akibat proses pendinginan
yang lambat dari austenite (Dieter, E.,
George. 1988).
No Keterangan Rata-rata
(HRC)
1. Quenching Oli 25,7
2. Quenching Air 50,26
3. Normalizing 22,88
4. Temperature 38,56
5. Temperature 44,78
6. Temperature 38,08
7. Hot Rolling 16,82
10. 10
Gambar 4.1 Struktur mikro ferit pada normalizing
Pada hasil hot rolling terjadi
perubahan struktur mikro dari ferit menjadi
bainit-ferit dilihat pada (grafik 4.9). Bainit
sendiri merupakan fase yang kurang stabil
yang diperoleh dari austenite pada temperatur
yang lebih rendah dari temperatur
transformasi ke pearlite dan lebih tinggi dari
transformasi ke martensite. Kekerasannya
bervariasi antara 45-55 HRC tergantung pada
temperatur transformasinya. (Dieter, E.,
George. 1988).
Gambar 4.2 Struktur mikro bainit-ferit pada hot rolling
Sedangkan pada quenching oli dan
air terjadi perubahan fasa dari bainit-ferit
menjadi martensit yang memiliki struktur
mikro tampak seperti jarum atau plat-plat
halus dilihat pada (gambar 4.4). Halus
kasarnya plat atau jarum tergantung pada
ukuran butir dari austenite. Jika butir
austenitenya besar maka martensite yang
akan diperoleh menjadi lebih kasar.
Gambar 4.3 Struktur mikro martensit pada quenching
oli
Penyebab tingginya martensite
adalah karena laju pendinginan yang sangat
cepat dari temperatur austenite ke
temperatur ruang, akan menyebabkan
terjadinya stransformasi fasa dari fasa
austenite menjadi fasa martensite.
Kekerasan martensite berkisar 20-65 HRC.
Sifatnya sangat keras dan diperoleh jika baja
dari temperatur austenite didinginkan
dengan laju pendinginan yang lebih besar
dari laju pendinginan kritisnya (Dieter, E.,
George. 1988).
Gambar 4.4 Struktur mikro martensit pada
quenching air
Terdapat perbedaan antara hasil
quenching air dengan quenching oli. Pada
quenching air terjadi fasa berupa martensit
dan austenit sisa dilihat (gambar 4.4). Akibat
austenit sisa karena didinginkan dengan
cepat sampai temperature ruang. Hal ini
menyebabkan pengerasan baja menjadi tidak
optimal. (Dieter, E., George. 1988).
500x
500x
500x
500x
11. 11
Grafik 4.10 Pengaruh kekerasan pada struktur mikro
dengan proses quenching air dan
tempering
Pada (grapik 4.10) menujukan
perubahan struktur mikro terhadap kekerasan.
Pada quenching air, yang awalnya memiliki
fasa martensit terjadi perubahan menjadi
martensit-temper ketika ditempering
dilihat (gambar 4.5).
Penyebab tingginya kekerasan
martensite adalah karena karena laju
pendinginan yang sangat cepat dari
temperatur austenite ke temperatur ruang,
akan menyebabkan terjadinya stransformasi
fasa dari fasa austenite menjadi fasa
martensite. Kekerasan martensite berkisar 20-
65 HRC (Dieter, E., George. 1988).
Gambar 4.5 Struktur mikro martensit-temper pada
quenching air dengan proses tempering
5. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa pada sampel hot
rolling dengan besi (Fe) =
98,5363%, kadar karbon (C) = 0,32475%
dan kandungan nikel Ni = 0.00756%,
perlakuan panas atau heat treatment akan
mempengaruhi sifat mekanis dan struktur
mikro dari baja laterit tersebut. Hal itu
dibuktikan dengan rangkaian pengujian
yang dilakukan. Pengujian yang dilakukan
meliputi pengujian kekerasan, tarik, impak,
dan metalografi.
Dari proses quenching yang
dilakukan dengan media air, oli, dan
normalizing, diketahui bahwa media
quenching air memiliki laju pendinginan
yang paling tinggi di antara yang lainnya.
Hal itu dibuktikan dengan nilai hasil
pengujian kekerasan hasil hot rolling
pada quenching air yang tinggi,
yang mencapai rata-rata kekerasan 50,26
HRC pada temperatur 950 °C. Sedangkan
pada tempering, tempering 200 °C memiliki
kekerasan paling tinggi dari 100 °C, 200 °C
dan 300 °C sebesar 44,78 HRC.
Pada pengujian impak, untuk
mengetahui keuletan benda, maka diketahui
benda yang paling ulet yaitu pada
normalizing, dengan energi yang di serap
116 Joule pada temperature 950 °C, sama
nilainya dengan sampel hot rolling
sebesar 116 Joule. Sedangkan sampel yang
memiliki kegetasan tertinggi yaitu sampel
quenching air dengan energi yang diserap
34 Joule. Kemudian pada sampel tempering
200 °C memiliki kegetasan paling tinggi
sebesar 25 Joule.
Pada uji tarik, tegangan luluh (yield
strength) pada sampel quenching air
memiliki nilai paling tinggi 1345 ,
kemudian tegangan batas putus (ultimate
tensile strength) juga memiliki kekuatan
tinggi sebesar 1400 . Pada
tempering 200 °C juga memiliki tegagan
luluh paling tinggi 1281 ,
tegangan batas putus (ultimate tensile
strength) juga memiliki kekuatan tinggi
sebesar 1370 , yang merupakan
nilai tertinggi.
Proses quenching oli dan air
mengakibatkan terjadinya struktur mikro
martensit, yang memiliki penampakan
seperti jarum atau plat-plat halus. Pada hasil
normalizing terjadi struktur mikro fasa ferit
yang bersifat sangat lunak, ulet dan
memiliki konduktivitas yang tinggi. Pada
tempering 200 °C. Struktur mikro berupa
martensit. Sedangkan pada sample hot
rolling struktur mikro bainit-ferit.
Bainit sendiri merupakan fase yang kurang
stabil yang diperoleh dari austenite pada
temperatur yang lebih rendah dari
temperatur transformasi ke pearlite dan
lebih tinggi dari transformasi ke martensite.
Baja Laterit menurut Standar
ASTM A732 Pada hasil uji komposisi baja
laterit hasil hot rolling yang
memiliki kandungan komposisi kimia
termasuk kedalam standar ASTM A732
yang memiliki baja karbon menengah 2,5-
3,5%. Sehingga baja laterit hasil hot rolling
tergolong pada standar ASTM
500x
12. 12
A732. Pada hasil uji kekerasan yang
dilakukan dalam penelitian memiliki nilai
kekerasan didapat menurut standar JIS
SCM4 nilai kekerasan termasuk kedalam
standar JIS SCM4 yang nilai maksimum
dalam satuan HRC. ASM international,
1993
DAFTAR PUSTAKA
ASTM E23.1982 Standard Test Method for
Notched Bar Impact Testing of
Metallic Materials. American Society
of Testing and Materials.
ASM Handbook. 2004. Metallography and
Microstructures. ASM International.
ASM Handbook. 1987. Fractography. ASM
International.
ASM Handbook. 1993. Worldwide Guide
To Equivalent Irons And Steels. ASM
International.
Amstead, B. H. 1993. Teknologi Mekanik.
Terjemahan Sriati Djaprie. Jilid I edisi
7. Jakarta : Erlangga.
Bohler. 1997. Bohler High Grade Steels
B.J.M Beumer 1994. Ilmu Bahan Logam
Jilid 1 Penerbit Bhratara – Jakarta
Callister D. William, Jr. Fundamentals of
Materials Science and Engineering 5th
edition. John Wiley & Sons, Inc.
Dieter, E., George. 1990. Metalurgi
Mekanik Edisi 3 Jilid 1. Jakarta.
Erlangga
Dieter, George E, 1986. Teknik Metalurgi
Mekanik published : Gadjah Mada
University Press 1986.
Ing.Alois Schonmetz. Karl Gruber. 2013
Pengetahuan Bahan dalam pengerjaan
logam.
Yusuf. 2002. Strategi Pengembangan
Sumberdaya Nikel-Besi Laterit
Indonesia. Pusat Penelitian Metalurgi
dan Material – LIPI.