1. Pembagian Hukum
Taklifi
Dipresentasikan Oleh Kelompok 8
Ananda Putri Lestari
11200360000032
Dilla Fadhillatun Nisa
11200360000036
USHUL FIQH
Ratu Fury Syifaunnafsi
11200360000041
3. Pengertian Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan (untuk
dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf atau yang
mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan.
Dengan kata lain adalah yang dituntut melakukannya atau tidak
melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih antara
memperbuat dan tidak memperbuat. Hukum taklifi adalah khitab
(firman) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik
bentuk tuntunan kebolehan, atau menetapkan sesuatu sebagai
sebab, syarat, atau mani’
5. 1. Wajib/Ijab
Yakni tuntutan Syar’i untuk berbuat yang bersifat mesti dilakukan
dan mukallaf yang melaksanakannya berhak mendapat imbalan pahala juga surga
karena ketaatannya. Dan begitupun sebaliknya, jika mukallaf yang meninggalkan
perbuatan yang diwajibkan itu maka akan mendapatkan dosa.
Dapat dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu sendiri yang
menunjukkan wajib seperti dalam firman-Nya:
َ
ْنيِذَّال
ا ْوُنمٰا
َ
بِتُك
َ
ُمُكْيلع
َ
ُماي ِ
الص
امك
َ
بِتُك
ىلع
َ
ْنيِذَّال
َْنِم
َ
ْمُكِلْبق
َ
َّلعل
َ
ْمُك
َ
ن ْوُقَّتت
اُّهيآٰٰ"يWahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."(QS. al-Baqarah: 183)
6. Pembagian Hukum Wajib
Hukum wajib dibagi menjadi beberapa segi, yaitu;
• Dilihat dari segi kandungan perintah,
• Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya.
• Dilihat dari segi kadar (kuantitas)nya dan bentuk tuntutan
• Dilihat dari segi waktu pelaksanaan
7. Dilihat dari segi kandungan perintah
• Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya,
• Wajib mukhayar, yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam
perbuatan yang telah ditentukan.
Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya.
• Wajib ‘ain, ialah tuntutan syara’ untuk melaksanakan sesuatu perbuatan
dari setiap mukallaf dan tidak boleh diganti oleh orang lain.
• Wajib kifayah, ialah wajib yang dibebankan kepada sekelompok orang dan
jika ada salah seorang yang mengerjakannya maka tuntutan itu dianggap
sudah terlaksana, namun bila tidak ada seorangpun yang
mengerjakannya, maka berdosalah sekelompok orang tersebut.
8. Dilihat dari segi kadar (kuantitas)nya dan bentuk tuntutan
• Wajib muhaddad, ialah yang ditentukan oleh syara’ bentuk perbuatan
yang dituntut dan mukallaf dianggap belum melaksanakan tuntutan itu
sebelum melaksanakan seperti yang telah dituntut oleh syara’.
• Wajib ghairu muhaddad, ialah perbuatan yang wajib dan tidak wajib yang
tidak ditentukan cara pelaksanaannya dan waktunya atau kewajiban
yang tidak ditentukan batas bilangannya
Dilihat dari segi waktu pelaksanaan
• Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya,
dengan arti tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia
mampu melaksanakannya.
• Wajib muaqqad,yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan
dan tidak sah bila dilakukan diluar waktu tersebut.
9. 2. Mandub/Sunnah
Yakni tuntutan Syar’i untuk berbuat yang bersifat tidak mesti dilakukan,
maka mukallaf yang melaksanakannya berhak mendapat imbalan pahala
dan balasan surga karena ketaatannya dan mukallaf yang meninggalkan
perbuatan ini tidak pantas mendapat dosa juga ancaman siksa neraka.
Perbuatan mandub dapat dikenal melalui lafal yang tercantum dalam
nash seperti dicantumkan kata “disunnatkan” atau “dianjurkan” atau
dibawakan dalam bentuk amar namun ditemui tanda yang menunjukkan
bahwa tuntutan itu tidak keras dari nash itu sendiri.
10. ....
َ
ْمُكِلٰذ
َ
ُطسْقا
َ
دْنِع
َ
ِ ٰ
ّللا
َ
ُموْقاو
َ
ِةادهَّشلِل
َٰٓىٰنْداو
َ
ا
ََّ
ّل
ا ْٰٓوُبات ْرت
َ
ٰٓ َّ
ّلِا
َْنا
َ
ن ْوُكت
َ
ةارجِت
َ
ح
َ
ةر ِ
ِا
اهن ْوُْريِدُت
َ
ْمُكْنيب
َ
ْسيلف
َ
ْمُكْيلع
َ
احنُج
ََّ
ّلا
َ
اه ْوُبُتْكت
....
"....... Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih
mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak
menuliskannya......"(QS. Al-Baqarah 282)
Seperti dalam firman Allah :
11. Pembagian sunnah
dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
• Sunah muakkadah (sunah yang dianjurkan) adalah
perbuatan yang biasa dilakukan Rasulullah Saw dan
jarang ditinggalkan.
• Sunah ghairu muakkadah (biasa) adalah perbuatan
yang dilakukan Rasulullah Saw namun bukan
menjadi kebiasaan.
• Sunah zaidah (sunnah tambahan) yaitu perbuatan
mengikuti segala perbuatan Rasul Saw berupa
kebiasaan sehari-hari Rasul Saw sebagai manusia
biasa.
12. 3. Haram/Tahrim
Tuntutan Syar’i untuk meninggalkan perbuatan yang bersifat mesti maka mukallaf
yang meninggalkan perbuatan tersebut berhak mendapat pahala dan syurga.
Sebaliknya jika mukallaf tidak melakukan hal demikian tidak menjauhi perbuatan
tersebut maka berhak baginya dosa.
Contoh perbuatan haram ialah, membunuh tanpa alasan yang sah, sebagaimana
terdapat dalam surah al-Isra’ (17): 33;
َ
ّلو
ا ْوُلُتْقت
َ
سْفَّنال
ىِتَّال
َ
مَّرح
َ
ُللا
ََّ
ّلِإ
َ
ِقالحِب
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”
13. Pembagian Haram
Haram dapat dibagi berdasarkan dari 2 tinjauan
• Haram ditinjau dari segi sumber dalil penetapannya
• Haram ditinjau dari segi zat/esensi yang dilarang
14. Haram ditinjau dari segi sumber dalil
penetapannya
Ditinjau dari segi sumber dalil suatu larangan syara’ yang bersifat tegas
dan mesti (haram), ulama Hanafiyah membaginya kepada 2 macam yaitu;
a.Larangan yang bersumber dari dalil qath’i
Suatu larangan yang bersifat mesti ditinggalkan perbuatan yang dilarang,
yang bersumber dari dalil qath’i disebut dengan haram. Contohnya
keharaman menikahi wanita-wanita yang disebut dalam surah an-Nisa’
(4): 23.
b.Larangan yang bersumber dari dalil zhanni
Adapun larangan yang bersumber dari dalil zhanni disebut dengan makruh
karahat at-tahrim. Contohnya, larangan memakan keledai peliharaan yang
ditetapkan dengan hadis ahad yang diriwayatkan oleh al-Bukhari ;
16. Haram ditinjau dari segi zat/esensi
yang dilarang
Ditinjau dari segi zat/esensi yang dilarang, haram dapat dibagi 2
bagian, yaitu;
a.)Haram lizatih
ialah, sesuatu yang sejak semula dilarang asy-Syar’i, karena didalam
zat/esensi yang dilarang itu terkandung bahaya yang sangat besar dan
secara langsung menyentuh salah satu dari lima unsur primer kehidupan
manusia yang mesti dipelihara kelestariannya.
b) Haram lighairih/haram li’ardh
Adapun yang dimaksud dengan haram lighairih/haram li’ardh (haram
karena yang lain/haram karena sifat yang baru) ialah, ketentuan haram
yang bukan karena zatnya dan yang pada mulanya tidak haram, tetapi
karena adanya faktor lain yang mengubah hukumnya menjadi haram.
17. 4.Makruh/Karahah
Ialah tuntutan Syar’i untuk meninggalkan perbuatan yang tidak mesti, maka mukallaf
yang meninggalkan perbuatan tersebut berhak mendapat pahala dan syurga.
Sebaliknya karena tuntutan meninggalkan perbuatan ini tidak bersifat mesti, maka
mukallaf yang melanggarnya tidak pantas mendapat dosa dan ancaman siksa neraka
karena kedurhakaannya. Dari segi etimologi, makruh berarti yang dibenci. Menurut
pendapat jumhur fuqaha’, makruh adalah suatu larangan syara’ terhadap suatu
perbuatan, tetapi larangan tersebut bersifat tidak pasti, lantaran tidak ada dalil yang
menunjukkan atas haramnya perbuatan tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW
yang berbunyi:
ََّنِإ
َ
للا
َ
ُهرْكي
َ
ْمُكل
َ
ْليِق
َ
القو
َ
و
َ
ةرْثك
َ
الؤُّسال
َ
ةاعِِاو
امْال .
“Sesungguhnya Allah SWT. Benci terhadap berita-berita yang tidak jelas, banyal bertanya
(tanpa ada relasi dalam amal perbuatan) dan menyia-nyiakan harta benda”.
19. 5.MUBAH
Firman (titah) Syar’i yang berupa pilihan bagi mukallaf untuk berbuat atau
tidak berbuat. Karena kepada mukallaf diberi kebebasan untuk memilih
melakukan atau tidak melakukannya, maka mukallaf yang melakukannya
tidak berhak mendapat pahala atau dosa. Demikian juga jika ia tidak
melakukannya. Dari segi etimologi, mubah berarti melepaskan, atau
mengizinkan.
Sebagian ulama mendefinisikan mubah dengan: suatu perbuatan yang
tidak diberi pujian atau celaan jika mukallaf mengerjakan atau
meninggalkannya. Menurut sebagian ulama,hukum mubah itu sendiri
identik dengan halal dan jaiz (boleh).
20. Hukum mubah ditetapkan karena
ada salah satu dari tiga hal, yaitu
Seperti firman Allah dalam
surah al-Baqarah (2): 173.
Tiada berdosa bagi orang
yang mengerjakan
perbuatan yang semula
diharamkan
contohnya mendengarkan dan
mempergunakan radio.
Tiada nash (dalil) yang
menunjukkan haramnya
perbuatan tersebut
Seperti firman Allah dalam
surah al-Maidah (5): 5
Ada nash (dalil) yang
menunjukkan atas halalnya
perbuatan tersebut
01 02 03
21. Kesimpulan
Hukum taklifi adalah : ketentuan-ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya
yang berhubungan yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang
mukallaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan,
anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan
memilih umtul berbuat atau tidak berbuat.
Hukum taklifi terbagi kepada lima yaitu : wajib, sunnah, haram,
makruh, dan mubah.
22. Daftar Pustaka
Al-Bukhari. Shahih Bukhari. hadis nomor 5098.
ʻAqīl, Ibn dan Sudays, Al-Wāḍiḥ Fī Uṣūl al-Fiqh.
Dazir, Khoiri H. Qath’i dan Zhanni Al-Qur’an dan Al-Sunnah dalam Proses Pengembangan Dakwah. Vol.3 (Tamkin: Jurnal
Pengembangan Masyarakat Islam). 2018.
Dahlan, Abd.Rahman. Ushul Fiqh. (Jakarta: Amzah). 2019.
Efendi, Satria. Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana). 2017.
Makruf, Amari dkk., Buku siswa fikih. (Jakarta: Kementerian Agama RI). 2016.
Samarqandi dan Murad, Al -Mizan Fi Uṣūl al-Fiqh.
Syarifuddin, Amir. Ushul fiqih. (Jakarta: Fajar Interpratama Offset)
Syarifuddin, H. Amir. Ushul fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu). 2008.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. (Jakarta: Pustaka Firdaus). 2008.