Jurnalisme politik yang partisan seperti di era dekade 50-an terulang kembali di Indonesia tahun-tahun belakangan. Yang menggelisahkan, sikap partisan media kepada pemiliknya sendiri dilakukan dengan vulgar dan tidak tahu malu. Masyarakat, sekali lagi, diombang-ambingkan oleh berita-berita partisan yang berpihak dan kerap mengabarkan informasi yang tidak jelas. Tulisan ini mengelaborasi kondisi jurnalisme politik di Indonesia saat ini dengan mengambil contoh dalam pemilihan umum 2014.
Artikel jurnal "Jejak Digital dan Jejaring Kritik Pemerintahan Jokowi 2014-2018" mengkaji jejak digital dan wacana kritik yang berkembang seputar pemerintahan Jokowi di Indonesia dari tahun 2014 hingga 2018. Penelitian ini menggali bagaimana media digital berfungsi sebagai platform untuk dukungan sekaligus kritik terhadap pemerintah, mencerminkan interaksi dinamis antara demokrasi dan kemajuan media digital. Studi ini menggunakan Analisis Jaringan Wacana (DNA) dan analisis wacana untuk memahami sifat kritik terhadap pemerintahan Jokowi, menyoroti peran media digital dalam membentuk wacana publik dan dinamika politik di Indonesia. Temuan menunjukkan bahwa sebagian besar kritik tidak bersifat substantif, dengan proporsi signifikan berasal dari rival politik. Artikel ini menekankan dampak transformatif media digital terhadap lanskap politik Indonesia, menekankan perannya dalam partisipasi demokratis dan pembentukan wacana
Jurnalisme politik yang partisan seperti di era dekade 50-an terulang kembali di Indonesia tahun-tahun belakangan. Yang menggelisahkan, sikap partisan media kepada pemiliknya sendiri dilakukan dengan vulgar dan tidak tahu malu. Masyarakat, sekali lagi, diombang-ambingkan oleh berita-berita partisan yang berpihak dan kerap mengabarkan informasi yang tidak jelas. Tulisan ini mengelaborasi kondisi jurnalisme politik di Indonesia saat ini dengan mengambil contoh dalam pemilihan umum 2014.
Artikel jurnal "Jejak Digital dan Jejaring Kritik Pemerintahan Jokowi 2014-2018" mengkaji jejak digital dan wacana kritik yang berkembang seputar pemerintahan Jokowi di Indonesia dari tahun 2014 hingga 2018. Penelitian ini menggali bagaimana media digital berfungsi sebagai platform untuk dukungan sekaligus kritik terhadap pemerintah, mencerminkan interaksi dinamis antara demokrasi dan kemajuan media digital. Studi ini menggunakan Analisis Jaringan Wacana (DNA) dan analisis wacana untuk memahami sifat kritik terhadap pemerintahan Jokowi, menyoroti peran media digital dalam membentuk wacana publik dan dinamika politik di Indonesia. Temuan menunjukkan bahwa sebagian besar kritik tidak bersifat substantif, dengan proporsi signifikan berasal dari rival politik. Artikel ini menekankan dampak transformatif media digital terhadap lanskap politik Indonesia, menekankan perannya dalam partisipasi demokratis dan pembentukan wacana
Artikel ini ingin melacak dampak polarisasi politik pasca pemilu yang cukup kuat dalam wacana Covid-19. Pentingnya melacak perbincangan tentang Covid-19 adalah untuk melihat dampak distraksi kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19. Penelitian ini menggunakan social network analisis dan social network actor dalam perbicangan di media sosial Twitter. Dengan mengidentifikasi trending topic yang terkait selama 4 bulan, maka dilakukan crawling data dengan pemograman Phyton, kemudian dilakukan analisis kumulatif teks melalui library phyton sastrawi dan visualisasi analisis SNA dengan Gephi. Temuan penelitian ini memetakan setidaknya ada dua kutub kluster besar yang berseberangan, pertama adalah kutub kluster populis pluralis dan kutub kluster populis islam. Temuannya menunjukkan bahwa wacana kebijakan Covid-19 justru menjadi ajang bagi perang sentimen masing-masing kubu, yang ternyata didominasi oleh buzzer dan sebagian kecil influencer. Sebaliknya, suara kelompok kritis dan rasional malah tenggelam oleh gaung dari para buzzer yang cenderung memiliki sentimen negatif.
keterlibatan aktif warga negara adalah sebuah keniscayaan, ini adalah bentuk nyata sebuah negara demokratis yang melibatkan partisipasi seseorang dalam keputusan-keputusan politik sesuai norma, domain dan hirarkinya.
Buku ini bermanfaat dan menjadi awal untuk menyusun strategi, melakukan evaluasi, meningkatkan kinerja parpol, politisi dan lembaga politik lainnya dalam membangun komunikasi politik di era media baru. Menyampaikan konten konten informasi politik secara efektif dan efisien. Membangun komunikasi partisipatoris dengan publik dan seluruh pihak yang berkepentingan. Dengan spirit Membangun Kualitas Politik dan Demokrasi yang lebih baik, maka akan mendorong bangsa kita kepada kemajuan dan daya saing bangsa ini dimasa mendatang. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak yang membantu mewujudkan buku ini hadir. Tentunya buku ini akan berarti apabila dibaca, dipahami, diaplikasikan dan terus disempurnakan.
Artikel ini ingin melacak dampak polarisasi politik pasca pemilu yang cukup kuat dalam wacana Covid-19. Pentingnya melacak perbincangan tentang Covid-19 adalah untuk melihat dampak distraksi kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19. Penelitian ini menggunakan social network analisis dan social network actor dalam perbicangan di media sosial Twitter. Dengan mengidentifikasi trending topic yang terkait selama 4 bulan, maka dilakukan crawling data dengan pemograman Phyton, kemudian dilakukan analisis kumulatif teks melalui library phyton sastrawi dan visualisasi analisis SNA dengan Gephi. Temuan penelitian ini memetakan setidaknya ada dua kutub kluster besar yang berseberangan, pertama adalah kutub kluster populis pluralis dan kutub kluster populis islam. Temuannya menunjukkan bahwa wacana kebijakan Covid-19 justru menjadi ajang bagi perang sentimen masing-masing kubu, yang ternyata didominasi oleh buzzer dan sebagian kecil influencer. Sebaliknya, suara kelompok kritis dan rasional malah tenggelam oleh gaung dari para buzzer yang cenderung memiliki sentimen negatif.
keterlibatan aktif warga negara adalah sebuah keniscayaan, ini adalah bentuk nyata sebuah negara demokratis yang melibatkan partisipasi seseorang dalam keputusan-keputusan politik sesuai norma, domain dan hirarkinya.
Buku ini bermanfaat dan menjadi awal untuk menyusun strategi, melakukan evaluasi, meningkatkan kinerja parpol, politisi dan lembaga politik lainnya dalam membangun komunikasi politik di era media baru. Menyampaikan konten konten informasi politik secara efektif dan efisien. Membangun komunikasi partisipatoris dengan publik dan seluruh pihak yang berkepentingan. Dengan spirit Membangun Kualitas Politik dan Demokrasi yang lebih baik, maka akan mendorong bangsa kita kepada kemajuan dan daya saing bangsa ini dimasa mendatang. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak yang membantu mewujudkan buku ini hadir. Tentunya buku ini akan berarti apabila dibaca, dipahami, diaplikasikan dan terus disempurnakan.
Hti bandung desak tutup total tempat hiburan malam!
Merebaknya political hybrid
1. 8/3/2014
[117] Merebaknya Political Hybrid
Merebaknya Political Hybrid
Wednesday, 19 Feb ruary 2014 07:33
Izzuddin Abdul Hakim, Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bayangkan sebuah dunia politik, yang di dalamnya tidak ada ruang politik, melainkan ruang digital politik; tidak ada
kebenaran politik, melainkan manipulasi politik; tidak ada kepercayaan politik, melainkan perdayaan politik; tidak ada
realitas politik, melainkan fatamorgana politik; tidak ada kebajikan politik, melainkan permainan bebas politik; tidak ada
transendensi politik, melainkan imanensi politik. (Yasraf, 2006)
Itulah yang disebut Yasraf Amir Piliang sebagai political hyb rid, ketika politik berkelindan dengan media, budaya, seni, dan
sebagainya yang menciptakan semacam ‘daerah abu-abu’. Di dalam daerah ini, tidak ada sebuah entitas pun yang berada
dalam kondisi yang murni, steril, tak tercemar, asli, atau orisinal, disebabkan setiap entitas telah terkontaminasi oleh
entitas yang berasal dari luar dirinya. Keputusan politik tidak lagi berdasarkan pilihan logis dan rasional, melainkan
berdasarkan pengaruh popularitas oleh media, kampanye-kampanye virtual, prinsip patrimonial, sikap nepotisme, dan
sebagainya.
Era Political Hybrid
Contoh kasus politik yang tak dibangun di atas prinsip logis dan rasional adalah debat calon presiden pada 26 September
1960 yang baru pertama kali disiarkan melalui televisi di AS. Sekitar 70 juta pemirsa menyaksikan di televisi aksi John F
Kennedy sebagai capres dari Partai Demokrat melawan capres yang diusung Partai Republik, Richard Nixon. Kennedy
tampil lebih akrobatik di hadapan kamera dengan penampilan yang lebih memesona dan wajah lebih tampan daripada
Richard Nixon. Akhirnya, pemirsa televisi menobatkan John F Kennedy sebagai pemenang debat. Sementara, pendengar
radio justru mendaulat Richard Nixon sebagai pemenang debat karena dianggap lebih menguasai materi daripada John F
Kennedy.
Fenomena tersebut sampai diangkat menjadi judul sebuah lagu grup band Presidents of the United States of America, era
marketing politik telah sampai pada tahap‘video killed the radio star.’
Dalam konteks Indonesia, dapat kita saksikan pada meningkatnya elektabilitas partai Demokrat (23 persen) dan Gerindra
(3,9 persen). Menurut riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Januari 2009, melejitnya suara kedua partai ini
diakibatkan oleh akseptabilitas publik terhadap iklan-iklan politik Demokrat dan Gerindra yang ditayangkan secara masif di
televisi. (Burhanuddin, 2013)
Efek Political Hybrid
Efek terjadinya political hyb rid dalam kaitannya dengan pemilu 2014 yang akan dihelat sebentar lagi antara lain:
Pertama, politik yang menempati ruang virtual akibat political hyb rid--kawin silang antara politik dengan media—hanya
akan melahirkan politik pencitraan. Kualitas, kredibilitas, dan kapabilitas dapat di-make upsedemikian rupa untuk
menyembunyikan pelbagai minus sang politisi. Akibatnya, kampanye politik menjadi ajang promosi pencitraan, kepalsuan,
manipulasi dan sandiwara.
Publik akan kembali dibuat kecewa setelah politisi pilihannya tidak sesuai ekspektasi sebelumnya akibat tertipu oleh
sandiwara sang politisi di ruang virtual.
Kedua, dalam pertarungan merebut kekuasaan yang berbasis pada pencitraan manipulatif pasti akan menyeret peran
besar media sebagai artikulator para politisi berdompet tebal. Pada akhirnya, akan menenggelamkan politisi-politisi dari
‘dunia nyata’ meskipun lebih berkualitas, kredibel dan kapabel namun tidak mampu menjangkau media.
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Saiful Mujani Research and Colsulting (SMRC) sepanjang 2012
mengenai tingkat kedikenalan di kalangan pemilih menempatkan Megawati Soekarnoputri 93,7 persen, Jusuf Kalla 88,9
persen, Prabowo Subianto 78,8 persen, Wiranto 72,8 persen, Aburizal Bakrie 70,1 persen, Anas Urbaningrum 55 persen,
dan Hatta Rajasa 54,1 persen. (Burhanuddin, 2013)
Tingkat popularitas mereka di kalangan pemilih simetris dengan frekuensi tampilnya di dalam dunia virtual. Pertanyaannya,
apakah hanya mereka stok politisi terbaik di negeri ini? Bagaimana dengan sisa jutaan penduduk yang lain, tidak adakah
yang lebih baik daripada nama-nama tadi? Jika ada, siapa yang kenal? Mereka yang tidak memiliki akses luas ke media
akan karam akibat tenggelam oleh popularitas berbasis pencitraan virtual.[]
http://mediaumat.com/opini/5218-117-merebaknya-political-hybrid.html
1/1