SlideShare a Scribd company logo
PENTINGNYA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Multikulturalisme berasal dari adanya suatu kebudayaan. Secara etimologi,
multikulturalisme terdiri dari multi yang berarti “banyak”, kultur yang berarti “budaya”, dan
isme yang berarti paham “aliran”. Jadi, multikulturalisme adalah suatu paham, corak,
kegiatan, yang terdiri dari banyak budaya pada suatu daerah tertentu.
Multikulturalisme di Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Namun
pada kenyataannya kondisi demikian tidak pula diiringi dengan keadaan sosial yang
membaik. Bahkan banyak terjadinya ketidak teraturan dalam kehidupan sosial di Indonesia
pada saat ini yang menyebabkan terjadinya berbagai ketegangan dan konflik.
Seiring dengan perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh adanya globalisasi banyak
terjadi krisis sosial-budaya yang terjadi di masyarakat. Misalnya seperti merosotnya
penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial. Semakin
luasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya.
Oleh karena itu, pendidikan dianggap tempat yang tepat untuk membangun kesadaran
multikulturalisme di Indonesia. Melalui pendidikan multikultural, diharapkan dapat
mewujudkan keteraturan dalam kehidupan sosial-budaya di Indonesia.
BAB II
PENTINGNYA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
A. Pengertian Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural hingga saat ini belum dapat didefinisikan secara baku.
Namun, ada beberapa pendapat para ahli mengenai pendidikan multikultural. Diantaranya
adalah Andersen dan Cusher (1994:320) mengartikan pendidikan multikultural sebagai
pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian, James Banks (1993: 3)
mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya,
pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah
Tuhan). Dimana dengan adanya kondisi tersebut kita mampu untuk menerima perbedaan
dengan penuh rasa toleransi.
Seperti definisi di atas, Muhaemin el Ma’haddi berpendapat bahwa pendidikan
multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan keragaman kebudayaan dalam merespon
perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan.
Adapun Paulo Freire seorang pakar pendidikan pembebasan mendefinisikan bahwa
pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan
budaya. Melainkan pendidikan itu harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang
terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan suatu kelas
sosial sebagai akibat dari kekayaan dan kemakmuran yang diperolehnya.[1]
Pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan keragaman populasi
sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Hal ini dapat diartikan
bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang mencakup seluruh siswa tanpa
membedakan kelompok-kelompoknya, seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial, dan
agama.
James Bank menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang
saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu:
1. Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk
mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran / disiplin ilmu.
2. The knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi
budaya kedalam sebuah mata pelajaran.
3. An equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa
dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya,
ataupun sosial.
4. Prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan
metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam
kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras
dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.
Dalam aktivitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (objek) dan sekaligus
sebagai subjek pendidikan, oleh karena itu, dalam memahami hakikat pendidikan perlu
dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya, secara umum
peserta didik memiliki lima ciri, yaitu:
1. Peserta didik sedang dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan,
kemauan, dan sebagainya.
2. Mempunyai keinginan untuk berkembang kearah dewasa.
3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.
4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-
potensi dasar yang dimiliki secara individual.
Istilah pendidikan multikultural dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif, maupun
normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan
dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang
pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam
masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, kurikulum pendidikan multikultural
mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-
kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi
dan pluralitas, multikulturalisme, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang
relevan.
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada
dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal dengan lima pendekatan, yaitu:
1. Pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme
2. Pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan.
3. Pendidikan bagi pluralisme kebudayaan.
4. Pendidikan dwi-budaya.
5. Pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
B. Pendekatan Pendidikan Multikultural
Merancang pendidikan dalam tatanan masyarakat yang penuh dengan permasalahan
antar kelompok seperti di Indonesia memang tidaklah mudah. Hal ini ditambah sulit lagi jika
tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis.
Dalam kondisi seperti ini, pendidikan multikultural diarahkan sebagai advokasi untuk
menciptakan masyarakat yang toleran. Adapun untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan
sejumlah pendekatan. Dan beberapa pendekatan dalam pendidikan multikultural tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan, atau pendidikan
multikultural dengan program-program sekolah formal.
2. Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik.
3. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi
kedalam kebudayaan baru. Pendidikan multikultural bagi pluralisme budaya dan
pendidikan multikultural tidak dapat disamakan dengan logis.
4. Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara
proporsional.
Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman
normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural
berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik
melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta didik.
Keempat pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang hidup dan bekerja sama
dalam waktu yang relatif lama serta diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan, dan agama.
Masyarakat mempunyai peranan penting dalam perkembangan intelektual dan kepribadian
individu peserta didik. Sebab, masyarakat merupakan tempat yang penuh alternatif dalam
upaya memperkaya pelaksanaan proses pendidikan berbasis multikultural.
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap
terlaksananya proses pendidikan multikultural. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal
balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam
dunia pendidikan merupakan satu hal yang penting untuk kemajuan pendidikan di masa kini
dan di masa yang akan datang.[2]
C. Pendidikan Berbasis Multikultural
Sejak awal kemunculannya, pendidikan berbasis multikulturalisme atau Multicultural Based
Education, telah didefinisikan dalam banyak cara dan berbagai perspektif. Dalam terminologi
ilmu-ilmu pendidikan dikenal dengan pendidikan multikultural (multicultural education)
seperti yang digunakan dalam konteks kehidupan di negara-negara barat.[3] Sejumlah
definisi tersebut terikat dalam disiplin ilmu tertentu, seperti pendidikan antropologi, sosial,
psikologi, dan lain sebagainya.
Dalam buku Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and
Content mengungkapkan definisi klasik mengenai Multicultural Based Education yang
penting bagi para pendidik. Definisi pertama yaitu menekankan esensi Multicultural Based
Learning sebagai perspektif yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan
manusia yang kompleks dan beragam secara kultur. Definisi ini juga merefleksikan
pentingnya budaya, ras, gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-
pengecualian dalam proses pendidikan.
Definisi lain mengartikan bahwa Multicultural Based Education adalah sebuah visi tentang
pendidikan yang selayaknya dan seharusnya bisa untuk semua anak didik. Multicultural
Based Education manyiapkan anak didik untuk berkewarganegaraan dalam komunitas
budaya dan bahasa yang majemuk dan saling terkait.
Multicultural Based Education juga berkenaan dengan perubahan pendidikan yang signifikan.
Ia menggambarkan realitas sosial, ekonomi, dan politik secara luas dan sistematis sehingga
dapat mempengaruhi segala sesuatu yang terjadi di dalam sekolah dan luar sekolah.
Multicultural Based Education memperluas kembali praktek yang patut dicontoh, dan
berupaya memperbaiki berbagai kesempatan pendidikan optimal yang tertolak. Ia membahas
pula seputar penciptaan lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan lingkungan
pembelajaran yang dinamis, yang mencerminkan cita-cita persamaan, kesetaraan, dan
keunggulan.
D. Pentingnya Pendidikan Multikultural di Indonesia
Indonesia adalah negara yang terdiri dari beragam masyarakat yang berbeda seperti
agama, suku, ras, kebudayaan, adat istiadat, bahasa, dan lain sebagainya menjadikan
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk. Dalam kehidupan yang beragam
seperti ini menjadi tantangan untuk mempersatukan bangsa Indonesia menjadi satu kekuatan
yang dapat menjunjung tinggi perbedaan dan keragaman masyarakatnya.
Hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural yang ditanamkan kepada anak-
anak lewat pembelajaran di sekolah maupun di rumah. Seorang guru bertanggung jawab
dalam memberikan pendidikan terhadap anak didiknya dan dibantu oleh orang tua dalam
melihat perbedaan yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun pendidkan
multikultural bukan hanya sebatas kepada anak-anak usia sekolah tetapi juga kepada
masyarakat Indonesia pada umumnya lewat acara atau seminar yang menggalakkan
pentingnya toleransi dalam keberagaman menjadikan masyarakat Indonesia dapat menerima
bahwa mereka hidup dalam perbedaan dan keragaman.
Ada tiga tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan multikultural di Indonesia,
yaitu:
1. Agama, suku bangsa dan tradisi
Agama secara aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan orang Indonesia
sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perusak kekuatan masyarakat
yang harmonis ketika hal itu digunakan sebagai senjata politik atau fasilitas individu-individu
atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama terkait pada etnis atau tradisi kehidupan
dari sebuah masyarakat.
Masing-masing individu telah menggunakan prinsip agama untuk menuntun dirinya dalam
kehidupan di masyarakat, tetapi tidak berbagi pengertian dari keyakinan agamanya pada
pihak lain. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk mencapai
tujuan dan prinsip seseorang dalam menghargai agama.
2. Kepercayaan
Unsur yang penting dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan. Dalam masyarakat
yang plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko dari
kecurigaan/ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak
ada komunikasi di dalam masyarakat/plural.
3. Toleransi
Toleransi merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai keyakinan. Toleransi
dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan adanya perbedaan. Keyakinan adalah
sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam toleransi, tidak harus selalu mempertahankan
keyakinannya.Untuk mencapai tujuan sebagai manusia Indonesia yang demokratis dan dapat
hidup di Indonesia diperlukan pendidikan multikultural.[4]
Adapun pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu sebagai sarana alternatif
pemecahan konflik, peserta didik diharapkan tidak meninggalkan akar budayanya, dan
pendidikan multikultural sangat relevan digunakan untuk demokrasi yang ada seperti
sekarang.
1. Sarana alternatif pemecahan konflik
Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diakui dapat menjadi solusi
nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya di masyarakat
Indonesia yang terdiri dari berbagai macam unsur sosial dan budaya. Dengan kata laun,
pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial-budaya.[5]
Struktur kultural masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia
pendidikan untuk mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber
perpecahan. Saat ini pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu
menyiapkan bangsa Indonesia untuk mengahadapi arus budaya luar di era globalisasi dan
menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya.
Pada kenyataannya pendidikan multikultural belum digunakan dalam proporsi yang benar.
Maka, sekolah dan perguruan tinggi sebagai instirusi pendidikan dapat mengembangkan
kurikulum pendidikan multikultural dengan model masing-masing sesuai dengan otonomi
pendidikan atau sekolahnya sendiri.
Model-model pembelajaran mengenai kebangsaan memang sudah ada. Namun, hal itu masih
kurang untuk dapat mengahargai perbedaan masing-masing suku, budaya maupun etnis. Hal
ini dapat dilihat dari munculnya berbagai konflik dari realitas kehidupan berbangsa dan
bernegara saat ini. Hal ini berarti bahwa pemahaman mengenai toleransi di masyarakat masih
sangat kurang.
Maka, penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakann berhasil apabila terbentuk
pada diri setiap peserta didik sikap saling toleransi, tidak bermusuhan, dan tidak berkonflik
yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku, bahasa, dan lain sebagainya.
Menurut Stephen Hill, pendidikan multikultural dikatakan berhasil apabila prosesnya
melibatkan semua elemen masyarakat. Hal itu dikarenakan adanya multidimensi aspek
kehidupan yang tercakup dalam pendidikan multikultural.
Perubahan yang diharapkan adalah pada terciptanya kondisi yang nyaman, damai, toleran
dalam kehidupan masyarakat, dan tidak selalu muncul konflik yang disebabkan oleh
perbedaan budaya dan SARA.
2. Agar peserta didik tidak meinggalkan akar budaya
Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, pendidikan multikultural juga signifikan
dalam upaya membina peserta didik agar tidak meninggalkan akar budaya yang ia miliki
sebelumnya, saat ia berhubungan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi.
Pertemuan antar budaya di era globalisasi ini bisa menjadi ‘ancaman’ serius bagi peserta
didik. Untuk menyikapi realitas tersebut, peserta didik tersebut hendaknya diberikan
pengetahuan yang beragam. Sehingga peserta didik tersebut memiliki kemampuan global,
termasuk kebudayaan. Dengan beragamnya kebudayaan baik di dalam maupun di luar negeri,
peserta didik perlu diberi pemahaman yang luas tentang banyak budaya, agar siswa tidak
melupakan asal budayanya.
Menurut Fuad Hassan, saat ini diperlukan langkah antisipatif terhadap tantangan globalisasi,
terutama dalam aspek kebudayaan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek) dapat
memperpendek jarak dan memudahkan adanya persentuhan antar budaya.
Tantangan dalam dunia pendidikan kita, saat ini sangat berat dan kompleks. Maka, upaya
untuk mengantisipasinya harus dengan serius dan disertai solusi konkret. Jika tidak
ditanggapi dengan serius terutama dalam bidang pendidikan yang bertanggung jawab atas
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) maka, peserta didik tersebut akan kehilangan arah dan
melupakan asal budayanya sendiri.
Sehingga dengan pendidikan multikultural itulah, diharapkan mampu membangun Indonesia
yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Karena keanekaragaman budaya
dan ras yang ada di Indonesia itu merupakan sebuah kekayaan yang harus kita jaga dan
lestarikan.
3. Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional
Pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting
apabila dalam memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai oleh peserta
didik dengan ukuran dan tingkatan tertentu.
Pengembangan kurikulum yang berdasarkan pendidikan multikultural dapat dilakukan
berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku secara serentak seperti sekarang menjadi
filosofi pendidikan yang sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan
unit pendidikan.
b. Harus merubah teori tentang konten (curriculum content) yang mengartikannya sebagai
aspek substantif yang berisi fakta, teori, generalisasi, menuju pengertian yang mencakup nilai
moral, prosedur, proses, dan keterampilan (skills) yang harus dimiliki generasi muda.
c. Teori belajar yang digunakan harus memperhatikan unsur keragaman sosial, budaya,
ekonomi, dan politik.
d. Proses belajar yang dikembangkan harus berdasarkan cara belajar berkelompok dan
bersaing secara kelompok dalam situasi yang positif. Dengan cara tersebut, perbedaan
antarindividu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan siswa terbiasa
untuk hidup dengan keberanekaragaman budaya.
e. Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan
kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan.
4. Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural
Inti dari cita-cita reformasi Indonesia adalah mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis,
dan ditegakkan hukum untuk supremasi keadilan, pemerintah yang bersih dari KKN,
terwujudnya keteraturan sosial serta rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran
produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat
Indonesia.
Corak masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan hanya merupakan
keanekaragaman suku bangsa saja melainkan juga menyangkut tentang keanekaragaman
budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Eksistensi
keberanekaragaman tersebut dapat terlihat dari terwujudnya sikap saling menghargai,
menghormati, dan toleransi antar kebudayaan satu sama lain.
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah demokrasi,
keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang
sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan
kosnep-konsep lain yang relevan.[6]
BAB III
KESIMPULAN
Pendidikan di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam ras, suku budaya,
bangsa, dan agama dirasa penting untuk menerapkan pendidikan multikultural. Karena tidak
dapat dipungkiri bahwa dengan masyarakat Indonesia yang beragam inilah seringkali menjadi
penyebab munculnya berbagai macam konflik.
Seiring dengan perkembangan zaman dan waktu juga dapat mempengaruhi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sehingga banyak terjadi berbagai macam perubahan di masyarakat
yang diakibatkan oleh masuknya berbagai macam budaya baru dari luar negeri ke Indonesia.
Melalui pendidikan multikultural yang memperkenalkan budaya asli kepada peserta didik
diharapkan agar peserta didik tidak melupakan asal budayanya sendiri.
Namun demikian, pendidikan multikultural tidak hanya dipelajari dalam pendidikan normal
saja. Melainkan pendidikan multikultural itu harus dipelajari oleh masyarakat luas, secara
non formal melalui berbagai macam diskusi, presentasi. Agar dapat terciptanya masyarakat
Indonesia yang tentram dan damai.
DAFTAR PUSTAKA
Fay, Brian. 1996. Contemporary Philosophy of Social Sience: A Multicultural Approach.
Oxrofd:Backwell.
Freire, Paulo. 2000. Pendidikan Pembebasan. Jakarta: LP3S.
Hernandez, Hilda. 2002. Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context,
Process, and Content. New Jersey & Ohio: Prentice Hall.
Media Indonesia, Rabu, 08 September 2008.
Munib, Achmad. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press.
[1] Paulo Freire, Pendidikan Pembebasan (Jakarta: LP3S, 2000).
[2] Choril Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 191-196)
[3] Hilda Hernandez, Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process,
and Content (New Jersey & Ohio: Prentice Hall, 2002)
[4] Munib, Achmad, Pengantar Ilmu Pendidikan. (Semarang: Unnes Press, 2009, hal. 100)
[5] Media Indonesia, Rabu, 08 September 2008.
[6] Fay, Brian, Contemporary Philosophy of Social Sience: A Multicultural Approach
(Oxrofd:Backwell,1996, hal. 203).
MEWUJUDKAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA (SEBUAH
KAJIAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI BERBAGAI NEGARA)
Posted by pandib10 on Desember 1, 2013
Posted in: ILMU PENDIDIKAN. Tinggalkan komentar
Oleh: Afandi
Pendahuluan
Sedikitnya selama tiga dasawarsa terakhir, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang
ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk
memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara
terbuka, rasional dan damai. Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman
telah melahirkan penderitaan panjang bagi umat manusia. Di Indonesia sendiri, konflik
kekerasan yang melibatkan suku, agama, ras dan golongan (SARA) masih sering terjadi.
Berbagai peristiwa berdarah seperti di ambon, poso, sampit, sambas dan berbagai daerah
lainnya memberikan gambaran betapa rentannya gesekan yang terjadi akibat adanya
perbedaan pandangan, pola hidup dan gesekan kebudayaan antara masyarakat mayoritas dan
minoritas.
Rapuhnya kehidupan berbangsa dan bernegara serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia
saat ini mendorong munculnya gerakan pengakuan dan persamaan akan keragaman budaya
serta eksistensinya di dalam masyarakat yang dikenal dengan istilah multikulturalisme.
Secara sederhana multikulturalisme dapat dipahami sebagai sikap bagaimana masing-masing
kelompok bersedia untuk menyatu (integrate) tanpa mempedulikan keragaman budaya yang
dimiliki. Mereka semua melebur, sehingga pada akhirnya ada proses “hibridisasi” yang
meminta setiap individu untuk tidak menonjolkan perbedaan masing-masing kultur (Ramly,
2005).
Sebuah kesadaran akan pentingnya multikulturalisme tersebut hanya dapat berkembang
dengan baik apabila secara terus-menerus dilatihkan dan dididikkan pada generasi-generasi
selanjutnya melalui pendidikan. Dengan pendidikan, sikap saling menghargai terhadap
perbedaan akan berkembang bila generasi penerus dilatih dan disadarkan akan pentingnya
penghargaan pada orang lain dan budaya lain. Oleh karena pendidikan multicultural sangat
diperlukan untuk mengatasi berbagai konflik horizontal, seperti keragaman suku, ras dan
agama serta konflik vertical seperti tingkat pendidikan, ekonomi dan sosial budaya bangsa
Indonesia.
Peran pendidikan di dalam multikulturalisme hanya dapat dimengerti di dalam kaitannya
dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan meliputi disiplin-disiplin yang lain seperti
agama, social science, antropologi, sosiologi dsb. Dengan demikian multikulturalisme dan
pendidikan bukanlah masalah teknis pendidikan belaka, tetapi memerlukan suatu konsep
pemikiran serta pengembangan yang meminta partisipasi antar disiplin. Pendidikan
multikultural dapat dijadikan sarana untuk mengikis perbedaan-perbedaan yang dapat
menjadi buah bagi adanya perpecahan. Berdasarkan fakta-fakta tersebut mendorong penulis
memilih topic ”Mewujudkan Pendidikan Multikultural di Indonesia: Sebuah Kajian
Pendidikan Multikultural di Berbagai Negara”
Multikulturalisme
Secara epistemologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya)
dan isme (aliran/paham). Menurut Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah
kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan
manusia. Multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat
diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap
realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan
dalam kesadaran politik (Azra, 2007).
Parekh (2000) membedakan lima macam bentuk multikulturalisme yaitu:
Multikulturalisme isolasionis yang mengacu kepada masyarakat di mana berbagai kelompok
kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal
satu sama lain. Contoh kelompok ini, seperti masyarakat yang ada pada sistem “millet” di
Turki Usmani atau masyarakat ”Amish” di AS. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi
pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari
masyarakat lain umumnya. Di Indonesia, multikulturalisme isolasionis dapat ditemui pada
masyarakat Madura di Kalimantan.
Multikulturalisme akomodatif, masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, membuat
penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas.
Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum
dan ketentuan-ketentuan sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum
minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka, sebaliknya
kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Model ”multikulturalisme akomodatif” ini
dapat ditemukan di Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa lain.
Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama
berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan
kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Fokus pokok
kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka,
yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok
kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok
dapat eksis sebagai mitra sejajar. Jenis multikulturalisme ini didukung misalnya oleh
kelompok Quebecois di Kanada, dan kelompok-kelompok Muslim imigran di Eropa, yang
menuntut untuk dapat menerapkan syari`ah, mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam,
dan sebagainya.
Multikulturalisme kritikal atau interaktif, masyarakat plural di mana kelompok-kelompok
kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut
penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif
distingtif mereka. Kelompok budaya dominan tentu saja cenderung menolak tuntutan ini, dan
bahkan berusaha secara paksa untuk menerapkan budaya dominan mereka dengan
mengorbankan budaya kelompok-kelompok minoritas. Itulah kelompok-kelompok minoritas
menantang kelompok kultur dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan
menciptakan iklim yang kondusif bagi penciptaan secara bersama-sama sebuah kultur
kolektif baru yang egaliter secara genuine. Jenis multikulturalisme, sebagai contoh,
diperjuangkan masyarakat Kulit Hitam di Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain.
Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapuskan ”batas-batas kultural” sama sekali
untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat dan
committed kepada budaya tertentu dan sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimen-
eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.
Para pendukung multikulturalisme jenis ini yang sebagian besar adalah intelektual diasporik
dan kelompok-kelompok liberal yang memiliki kecenderungan postmodernist dan
memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat mereka pilih dan ambil secara
bebas.
Pendidikan Multikultural
Dimensi pendidikan multikultural memiliki perbedaan dengan pendidikan kebudayaan.
Seringkali orang terjebak pada rumusan-rumusan peristilahan tampa tau asal-muasalnya
sehingga memperoleh definisi yang berbeda dengan tujuan pendidikan multikultural itu
sendiri. Seringkali orang terjebak pada mencari-cari rumusan kultur itu apa, dan multikultur
itu apa, lalu pendidikan multikultur disimpulkan daripadanya. Dengan kata lain,
disimpulkanlah bahwa pendidikan multikultur itu sebagai upaya mengajarkan berbagai
macam kultur Indonesia, mulai dari bahasa, lagu, pakaian, dsb. Sehingga konsep dasar
pendidikan multikultural itu sendiri menjadi bias dan tidak mencapai tujuan yang diharapkan.
Pendidikan multikultural itu awalnya merupakan gerakan reformasi pendidikan di Amerika
Serikat dalam rangka meniadakan (setidaknya mengurangi) diskriminasi rasial dan etnis serta
kultur yang melekat padanya, dan berupaya agar semua orang bisa memperoleh kesempatan
yang setara untuk mendapatkan pendidikan. Menurut Banks (2002) pendidikan multikultural
merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan
menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman
sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok, maupun negara.
Menurut HAR Tilaar (2004), pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan
kesadaran tentang ”interkulturalisme” seusai PD II. Kemunculan gagasan dan kesadaran
”interkulturalisme” ini, selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut
HAM, kemerdekaan dari kolonialisme dan diskriminasi rasial, juga meningkatkan pluralitas
di negara-negara barat sendiri akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru
merdeka di Amerika dan Eropa.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana
direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa yang memuat 3 pesan utama
yakni: Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan
menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan
budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama
dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong
konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian,
persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya
meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena
itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri
pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih
kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Keadilan sosial, persamaan pendidikan, dan dedikasi menjadi landasan pendidikan
multikultural dalam memfasilitasi pengalaman pendidikan agar semua siswa dapat
mewujudkan semua potensinya secara penuh dan menjadikannya sebagai manusia yang sadar
dan aktif secara lokal, nasional, maupun global. Sehingga pendidikan multikultural dapat
dikatakan sebagai suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan lingkungan
pendidikan yang setara untuk seluruh siswa.
Sebagai suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan lingkungan pendidikan
yang setara untuk seluruh siswa, Menurut Banks (2002) pendidikan multikultural setidaknya
harus memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pendidikan multikultural adalah gerakan politik yang bertujuan menjamin keadilan sosial
bagi seluruh warga masyarakat tanpa memandang latar belakang yang ada.
Pendidikan multikultural mengandung dua dimensi: pembelajaran (kelas) dan kelembagaan
(sekolah) dan antara keduaanya tidak bisa dipisahkan, tetapi justru harus ditangani lewat
reformasi yang komprehensif.
Pendidikan multikultural menekankan reformasi pendidikan yang komprehensif dapat dicapai
hanya lewat analisis kritis atas sistem kekuasaan untuk dapat dilakukan reformasi
komprehensif dalam pendidikan.
Tujuan pendidikan multikultural adalah menyediakan bagi setiap siswa jaminan memperoleh
kesempatan guna mencapai prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang baik untuk seluruh siswa, tanpa
memandang latar belakangnya.
Lebih lanjut Banks (2002) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa
dimensi yang berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: Dimensi pertama (Contents Integration),
yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar,
generalisasi dan teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu. Dimensi kedua (The
Knowledge Construction Process), yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya
ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Dimensi ketiga (An Equity Paedagogy), yaitu
menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi
prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya (culture) ataupun sosial
(social). Dimensi keempat (Prejudice Reduction), yaitu mengidentifikasi karakteristik ras
siswa yang menentukan metod pengajaran mereka. Dimensi kelima yakni melatih kelompok
untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa
yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan
inklusif.
Oleh karena itu, pendidikan multikultural bertujuan memperluas bukan hanya toleransi
terhadap budaya yang berbeda, tetapi lebih jauh dari itu adalah mengembangkan mutual
respect. Pelaksanaan konsep ini memerlukan pengalaman kelompok yang dibangun dengan
memperhatikan pemahaman yang pada gilirannya menjadi sikap yang relatif stabil dan
konsisten. Sudah barang tentu proses ini memerlukan waktu dan usaha pemeliharaan yang
harus menjadi perhatian para guru. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa belajar bukan
hanya terjadi pada aras (level) perilaku, tetapi juga terjadi secara internal pada aras abstrak,
misalnya pada keyakinan terhadap asumsi dasar perilaku itu.
Pendidikan Multikultural di Berbagai Negara
Pendidikan Multikultural di Kanada
Kanada menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan kebijakan multicultural pada
tahun 1971. Multikulturalisme di kanada ini diawali ratusan tahun yang lalu dengan
kedatangan penduduk asli kanada dari Asia dengan melewati gunung-gunung es untuk
mencapai Amerika Utara. Setelah menetap penduduk tersebut menyebar ke berbagai Negara
yang mengawali beragamnya bahasa dan kebudayaan di Kanada. Kemudian datangnya
orang-orang Eropa yang diawali oleh prancis dan kemudian disusul oleh Ingris. Inilah yang
mengawali kekayaan akan kebahasaan dan kebudayaan yang ada di Kanada. Lalu pada abad
ke 18, Inggris yang berada di USA kalah dalam revolusi Amerika dan mereka diusir menuju
ke British North America (Kanada) (Deviani, 2013). Saat ini pertumbuhan penduduk Kanda
dapat diidentifikasi atas empat kelompok yakni:
Etnis asli ada sekitar 50 jenis dengan berbagai bahasa yang hidup secara nomaden sebagai
pemburu dan petani.
Etnis Perancis pada abad 16 sampai 18 masuk sebagai penjajah dan pedagang karena
perdagangan bulu binatang. Percampuran etnis Perancis dengan penduduk asli Indian
melahirkan penduduk Metis.
Kedatangan Inggris setelah Treaty of Paris (1763) yang ditambah etnis Perancis yang terlibat
Perang Kemerdekaan Amerika 1776.
Imigran dari Eropa (terutama Belanda, Ukraina dan Jerman) dan Asia (Jepang, India, Cina)
dilatar belakangi kebutuhan pekerja di propinsi tengah dan barat.
Kanada dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki jumlah kultur penduduknya paling
banyak di dunia. Keadaan di Kanada ini sangat terbuka, saling menghormati dan damai untuk
para imigran dan pendatang lainnya. Pada tahun 1971, pemerintah federal kanada
meluncurkan kebijakan mengenai multikulturalisme di kanada. Kebijakan ini membuat
semua orang di Kanada dipaksa untuk menerima perbedaan dan mengajak seluruh imigran
untuk ikut berpartisipasi dalam hidup yang setara dan bermasyarakat di Kanada. Sebenarnya
yang menyebabkan dikeluarkannya kebijakan ini adalah faktor ketika pada pertengahan 1960,
terjadi banyak masalah antara hubungan Inggris dan Prancis di Kanada.
Sesudah PD II terjadi banjir imigran dari Italia, Jerman, Belanda dan Polandia. Pada tahun
1960-an terjadi perkembangan ekonomi Kanada yang membutuhkan tenaga terdidik untuk
memenuhi kebutuhan metropolitan. Toronto menjadi pusat konsentrasi imigran asing.
Berbeda dengan AS yang menerapkan politik asimilasi, pemerintah liberal Kanada
menerapkan politik multikulturalisme yang memberlakukan status yang sama untuk bahasa
Perancis dan Inggris sebagai bahasa resmi.
Pada tahun 1972 didirikanlah Direktorat Multikultural di dalam lingkungan Departemen Luar
Negeri untuk memajukan cita-cita multikultural, integrasi social, dan hubungan positif antar
ras. Upaya tersebut melahirkan Canadian Multiculturalism act (1988) yang isinya antara lain :
Alokasi dana untuk memajukan hubungan harmonis antar ras,
Memperluas saling pengertian kebudayaan yang berbeda,
Memelihara budaya dan bahasa asli,
Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi, dan
Pengembangan kebijakan multikultural di semua kantor pemerintah federal.
Kanada merupakan negara pertama yang memberikan pengakuan legal terhadap
multikulturalisme. Sekalipun kebijakan multikultural merupakan kebijakan federal, namun
masing-masing negara bagian melaksanakan kebijakan sesuai dengan kebutuhannya.
Kebijakan multikultural dimasukkan dalam bentuk yang berbeda-beda di dalam program
sekolah, penataran guru. Kurikulum dikaji ulang untuk dilihat hal-hal yang mengandung
stereotipe dan prasangka antar etnis. Demikian pula di dalam pendidikan oleh Ontario
Heritage Language Programme yang didirikan tahun 1977 memberikan bantuan terhadap
pengajaran bahasa etnis yang bermacam-macam sesudah jam resmi sekolah. Guru diberikan
penataran untuk menyebarluaskan sumber-sumber yang bebas dari prasangka, terutama
kelompok kulit berwarna (black population).
Di propinsi Manitoba, Alberta dan Saskacthewan sekolah diijinkan memberikan bahasa di
luar bahasa Inggris dan Perancis sampai 50 % dari jumlah jam di sekolah. Kebijakan ini
diterima dengan baik oleh kelompok imigran, terutama imigran Ukraina dan Jerman. Sejak
1993, beberapa dewan pendidikan seperti Vancouver School Board melaksanakan penataran
guru-guru untuk Pendidikan Multikultural, mendirikan komite penasehat untuk hubungan
rasial, serta melembagakan hubungan rasial di distrik sekolah. Secara terinci Magsino (dalam
Tilaar, 2004) mengidentifikasi 6 jenis model Pendidikan Multikultural:
Pendidikan “emergent society”. Model ini merupakan suatu upaya rekonstruksi dari
keanekaan budaya yang diarahkan kepada terbentuknya budaya nasional.
Pendidikan kelompok budaya yang berbeda. Model ini merupakan suatu pendidikan khusus
pada anak dari kelompok budaya yang berbeda. Tujuannya adalah memberikan kesempatan
yang sama dengan mengurangi perbedaan antara sekolah dan keluarga, atau antara
kebudayaan yang dikenalnya di rumah dengan kebudayaan di sekolah. Model ini bertujuan
membantu anak untuk menguasai bahasa resmi serta norma dominan dalam masyarakat.
Pendidikan untuk memperdalam saling pengertian budaya. Model ini bertujuan untuk
memupuk sikap menerima dan apresiasi terhadap kebudayaan kelompok yang berbeda.
Model ini merupakan pendekatan liberal pluralis yang melihat perbedaan budaya sebagai hal
yang berharga dalam masyarakat. Di dalam kaitan ini, pendidikan multikultural diarahkan
kepada memperkuat keadilan sosial dengan menentang berbagai jenis diskriminasi dan
etnosentrisme.
Pendidikan akomodasi kebudayaan. Tujuan model ini adalah mempertegas adanya kesamaan
dari kelompok yang bermacam-macam. Mengakui adanya partikularisme dengan tetap
mempertahankan kurikulum dominan.
Pendidikan “accomodation and reservation” yang berusaha untuk memelihara nilai-nilai
kebudayaan dan identitas kelompok yang terancam kepunahan.
Pendidikan multikultural yang bertujuan untuk adaptasi serta pendidikan untuk memelihara
kompetensi bikultural. Model ini mengatasi pendekatan kelompok spesifik, identifikasi dan
mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi secara cross-cultural dengan
mendapatkan pengetahuan tentang bahasa atau kebudayaan yang lain
Pengalaman di Kanada menunjukkan bahwa isi budaya (cultural content) di dalam kurikulum
sekolah menempati urutan kedua, sedangkan yang utama adalah bagaimana mencapai
kemajuan akademis. Pendidikan Multikultural di Kanada tergantung di mana pendidikan
multietnis itu berada di dalam kerangka struktur ekonomi, politik, dan sosial masyarakatnya.
Pendidikan Multikultural di Amerika
Pendidikan di AS pada mulanya hanya dibatasi pada migran berkulit putih, sejak didirikan
sekolah rendah pertama tahun 1633 oleh imigran Belanda dan berdirinya Universitas Harvard
di Cambridge, Boston tahun 1636. Baru pada tahun 1934 dikeluarkan Undang Undang Indian
Reservation Reorganization Act di daerah reservasi suku Indian. Tujuan pendidikannya
adalah proses Amerikanisasi. Suatu kelompok etnis atau etnisitas adalah populasi manusia
yang anggotanya saling mengidentifikasi satu dengan yang lain, biasanya berdasarkan
keturunan (Phierquinn, 2013). Pengakuan sebagai kelompok etnis oleh orang lain seringkali
merupakan faktor yang berkontribusi untuk mengembangkan ikatan identifikasi ini.
Kelompok etnis seringkali disatukan oleh ciri budaya, perilaku, bahasa, ritual, atau agama.
Kemudian pendidikan multikultural di Amerika Serikat mulai mencuat kembali sekitar tahun
1960-an, lewat sebuah gerakan reformasi yang ditujukan pada perubahan pendidikan yang
selama ini melakukan tindak diskriminasi terhadap masyarakat “minoritas,” yaitu masyarakat
yang berada di luar “white-male-Protestant-Anglo Saxon (WMPA).”
Gerakan pendidikan multikultural itu adalah gerakan untuk mereformasi lembaga-lembaga
pendidikan agar memberikan peluang yang sama kepada setiap orang, tanpa melihat asal-usul
etnis, budaya, dan jenis kelaminnya, untuk sama-sama memperoleh pengetahuan, kecakapan
(skills), dan sikap yang diperlukan untuk bisa berfungsi secara efektif dalam negara-bangsa
dan masyarakat dunia yang beragam etnis dan budaya (Banks, 2002).
Menghilangkan diskriminasi sebagai salah satu tujuan utama gerakan pendidikan
multikultural itu dengan tegas dinyatakan Banks sebagai berikut. Latar belakangnya adalah
adanya pengalaman pahit kelompok-kelompok etnis Afro-Amerika, Pribumi Amerika, Asia-
Amerika, dan Latino-Amerika yang pernah dan masih sedang menjadi korban diskriminasi,
bukan saja dalam kehidupan kemasyarakatan, melainkan juga secara legal kelembagaan
(dalam undang-undang pun terdiskriminasikan).
Terdapat empat jenis dan fase perkembangan pendidikan multikultural di Amerika (Banks,
2002), yaitu:
Pendidikan yang bersifat segregasi yang memberi hak berbeda antara kulit putih dan kulit
berwarna terutama terhadap kualitas pendidikan;
Pendidikan menurut konsep salad bowl, di mana masing-masing kelompok etnis berdiri
sendiri, mereka hidup bersama-sama sepanjang yang satu tidak mengganggu kelompok yang
lain;
Konsep melting pot, di dalam konsep ini masing-masing kelompok etnis dengan budayanya
sendiri menyadari adanya perbedaan antara sesamanya. Namun dengan menyadari adanya
perbedaan-perbedaan tersebut, mereka dapat membina hidup bersama. Meskipun masing-
masing kelompok tersebut mempertahankan bahasa serta unsur-unsur budayanya tetapi
apabila perlu unsur-unsur budaya yang berbeda-beda tersebut ditinggalkan demi untuk
menciptakan persatuan kehidupan sosial yang berorientasi sebagai warga negara as.
Kepentingan negara di atas kepentingan kelompok, ras, dan budaya
Pendidikan multikultural melahirkan suatu pedagogik baru serta pandangan baru mengenai
praksis pendidikan yang memberikan kesempatan serta penghargaan yang sama terhadap
semua anak tanpa membedakan asal usul serta agamanya. Studi tentang pengaruh budaya
dalam kehidupan manusia menjadi sangat signifikan. Studi kultural membahas secara luas
dan kritis mengenai arti budaya dalam kehidupan manusia
Pendidikan Multikultural di Australia
Kedatangan bangsa kulit putih di benua Australia telah membawa implikasi-implikasi
terhadap tatanan tradisional etnik pemukim asli. Kegiatan eksploitasi terhadap sumber
kekayaan alam yang berlangsung kemudian telah memunculkan perubahan-perubahan besar
dalam berbagai lapangan kehidupan. Dengan dibukanya ladang-ladang emas di daerah-daerah
pertambangan seperti di Victoria, New South Wales dan Australia Barat, telah meningkatkan
taraf perekonomian masyarakat. Dampak penemuan emas ini ternyata juga berpengaruh pada
peningkatan imigran yang datang ke Australia, seperti dari Cina, Asia, Jepang dll. Dengan
demikian pertumbuhan penduduk semakin meningkat pesat. Akibat dari ini semua adalah
timbulnya perpecahan dikalangan masyarakat, terutama antar ras, seperti pengalaman-
pengalaman di beberapa tambang Victoria pada tahun 1957.
Multikulturalisme, kemudian menjadi gagasan yang muncul untuk mengatasi heterogenitas
etnis yang terdiri dari berbagai etnis dengan latar belakang budaya yang berbeda. Upaya
untuk penyatuan pola budaya ini semula sudah dirintis melalui gagasan assimilasi dan
integrasi dalam rangka mencegah perpecahan antar etnis di Australia. Gagasan
multikulturalisme yang kemudian diperkenalkan, dalam konteks yang sesungguhnya adalah
legitimasi hak atas berkembangnya berbagai kultur di Australia secara sama. Namun dalam
prakteknya gagasan multikulturalisme ini hanya menekankan aspek kultural semata tanpa
dibarengi dengan pandangan yang sama terhadap kesempatan kerja. Sehingga, gagasan ini,
oleh sementara pihak hanya dianggap sebagai upaya radikal untuk mempromosikan
kepentingan etnis tertentu saja.
Pada akhir tahun 1940an, ketika Australia membuka pintunya terhadap para imigran-imigran
non British dan mengizinkan mereka tinggal dan menetap, beberapa persyaratan ditetapkan
untuk mengasimilasikan mereka agar menjadi warga Australia yang sesungguhnya dan dapat
melupakan kebudayaan asli mereka. Ketika imigran-imigran pertama yang berasal dari Itali
dan Greek pada akhir tahun 1940 masuk ke Australia, mereka mengalami diskriminasi rasial
dari orang-orang Inggris dan Irlandia. Para imigran ini mencoba untuk menguasai bahasa
Inggris serta meniru pola hidup orang Australia. Ini dianggap suatu cara asimilasi yang
kemudian sangat bermanfaat ketika kebijakan White Australia, namun tidak demikian halnya
dengan asimilasi untuk imigran dari Asia dan Afrika karena perbedaan fisik mereka dengan
orang Australia sangat menonjol .
Pada tahun 1966 pemerintah Australia mengubah kebijaksanaan imigrasi yang
memungkinkan orang-orang non-Eropa dapat memperoleh izin untuk tetap tinggal di
Australia, namun ketika pada tahun 1970an masuk para imigran dari Asia, ternyata mereka
tidak disambut dengan hangat oleh masyarakat Australia, karena, disamping perbedaan fisik
yang sangat menonjol, juga latar balakang budaya dan pola hidup yang sangat berbeda.
Kenyataan inilah yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan asimilasi pada dasarnya tidak
bermanfaat banyak bagi para imigran Asia dan Afrika hitam.
Ketika Gough Withlam terpilih sebagai perdana menteri Australia pada tahun 1972, ia
mencoba untuk menghapuskan konsep asimilasi berdasarkan white Australia untuk
kedamaian dan kesejahteraan negara dan atas nama kebenaran. Untuk upaya ini ia
mengangkat Al Grassby sebagai Menteri Imigrasi dan kepala Komisi Hubungan Masyarakat.
Withlam menyediakan pendidikan bahasa Inggris untuk para imigran dalam rangka
membantu mereka dalam pergaulan sehari-hari. Melalui pemerintahan Withlam konsep
multikulturalisme diperkenalkan sebagai tindakan konstruktif untuk pencapaian identitas baru
masyarakat Australia.
Pada tahun 1978 Galbally Report menyarankan prinsip-prinsip dasar kebijaksanaan
multikulturalisme yang sampai saat ini masih diperpegangi. Pertama, ditekankan agar
kesempatan yang sama harus diberikan kepada semua orang untuk merealisasikan
potensinya. Kedua, setiap orang harus dapat menjaga kebudayaan mereka tanpa mengalami
prasangka apapun. Ketiga, kursus-kursus dan pelayanan-pelayanan khusus harus dipersiapkan
untuk para imigran sambil kebutuhan jangka pendek mereka diberikan. Keempat, Semua
program yang dibentuk untuk para imigran harus dengan konsultasi para imigran tersebut.
Pada tahun 1987, Hawke mendirikan Office of Multicultural Affair (OMA) dan berada di
bawah Departemen Perdana Menteri. Melalui Badan ini dikembangkan konsep-konsep
multikulturalisme secara lebih mendalam dan menekankan batasan-batasan konsep itu serta
ide Australia sebagai suatu unsur unifikasi. Dengan begitu imigran-imigran diharapkan
memberikan loyalitasnya terhadap Australia. Bahkan OMA, melalui agenda nasionalnya
menjelaskan dan mempertajam defenisi multikulturalisme sebagai suatu istilah yang
menggambarkan diversitas budaya dan etnik dalam Australia Baru (Londom dalam Shamad,
2009).
Tiga acuan yang dirumuskan Hawke dalam membatasi konsep multikulturalisme, yaitu :
pertama, semua orang boleh mengekspressikan warisan kebudayaan nenek moyang mereka,
asalkan tidak bertentangan dengan hukum yang ada. Kedua, semua masyarakat Australia
berhak atas keadilan sosial tanpa melihat warna kulit, bahasa, agama serta keturunan, dan
ketiga, effesiensi ekonomi yang mengandung keperluan untuk meneruskan dan
mengembangkan serta menggunakan semua potensi-potensi komunitas baru Australia.
Sebagaimana telah dikemukakan, munculnya gagasan multikulturalisme di Australia
didorong oleh berbagai motivasi, salah satunya yang terpenting adalah karena terus
mengalirnya para imigran dari negara-negara tetangga Asia, namun kebijaksanaan ini
memunculkan reaksi-reaksi dari kalangan Anglo-Australian yang ingin mempertahankan
bentuk masyarakat yang homogen. Menurut mereka, dengan diterapkannya kebijaksanaan ini,
berarti terancamnya hegemoni unsur-unsur kebudayaan Anglo di Australia. Yang lebih
ekstrim lagi adalah pandangan mereka bahwa multikulturalisme telah menghancurkan
kebudayaan nasional. Keluhan-keluhan seperti ini secara tidak langsung telah mendorong
munculnya perasan dislokasi, bahkan menumbuhkan gejolak rasisme, terutama di kalangan
orang-orang Anglo Australia yang merasa kehilangan hegemoni identitas dan kebudayaan.
Di kalangan imigran juga muncul berbagai reaksi atas kebijakan multikulturalisme karena
dalam prakteknya multikulturalisme menekankan pada etnisitas. Banyak kalangan yang
menganggap bahwa multikulturalisme sebagai semboyan kosong yang justru bersifat rasisme
struktural terutama terlihat dari prilaku ekonomi dan pasar tenaga kerja. Kenyataan
kontradiktif pelaksanaan kebijakan multikulturalisme juga terlihat dari kelompok masyarakat
asli “Aborigin”. Pengalaman- pengalaman pahit yang dialami oleh penduduk asli ini
semenjak mereka kehilangan tanah-tanah mereka seperti white Australian policy, assimilasi,
hingga multikulturalisme, menjadikan mereka kehilangan kepercayaan terhadap negara dan
pemerintahan Australia sendiri. Mereka merasa bahwa berbagai kebijakan yang diterapkan
tidak lain hanyalah upaya kontrol sosial terhadap kebudayaan mereka. Posisi Aborigin pada
akhirnya merupakan dilema tersendiri dalam kebijakan multikulturalisme. Oleh karena itu di
tingkat birokrasi dibentuk Aboriginal Reconsiliation Council yang bekerja sama dengan The
National Multicultural Advisory Council. Di sini, penekanan diberikan kepada ‘cultural
diversity’ dari pada multikulturalisme, dengan harapan hal ini akan lebih mudah diterima.
Namun yang paling dirasakan dalam penerapannya ialah tidak adanya upaya anti rasisme
yang serius, terutama dalam mengatasi diskriminasi rasial yang berlaku dalam segala
tingkatan masyarakat.
Mewujudkan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Untuk membangun bangsa ke depan, diperlukan upaya untuk menjalankan asas gerakan
multikulturalisme menjadi sebuah tujuan bangsa dalam masyarakat yang plural. Dalam
masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau pemahaman
timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem
disintegrasi bangsa.
Sebelum lanjut, dalam konteks implementasinya di Indonesia, pendidikan multilkultural itu
dapat dilihat atau diposisikan sebagai berikut, (Amirin, 2012):
Sebagai falsafah pendidikan; yaitu pandangan bahwa kekayaan keberagaman budaya
Indonesia hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengembangkan dan
meningkatkan sistem pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar di Indonesia guna mencapai
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (berbarkat) dan bahagia dunia akhirat.
Sebagai pendekatan pendidikan; yaitu penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan yang
kontekstual, yang memperhatikan keragaman budaya Indonesia.
Bidang kajian dan bidang studi; yaitu disiplin ilmu yang—dibantu oleh sosiologi dan
antropologi pendidikan, menelaah dan mengkaji aspek-aspek kebudayaan, terutama nilai-nilai
budaya dan perwujudannya (norma, etiket atau tatakrama, adat-istiadat atau tradisi dan lain-
lain—mencakup “manifestasi budaya” agama) untuk/dalam penyelenggaraan dan
pelaksanaan pendidikan.
Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal. Pendidikan multikultural yang
dikembangkan di Indonesia merupakan counter terhadap kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah. Model pendidikan multikultural bukanlah sebuah formalitas yang sekedar
merevisi materi pembelajaran tetapi lebih luas dari itu, pendidikan multikultural dituntut
untuk dapat mereformasi sistem pembelajaran itu sendiri.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai
kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski (dalam Mahfud, 2009), yang
mencakup tiga jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan
proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat. Pada kegiatan transformasi diri,
pendidikan multikultural harus dapat mengarahkan peserta didik untuk dapat mengubah
mindset mereka akan pandangan etnosentrisme yang sempit menjadi pandangan
multikultralisme sebagai sebuah keniscayaan yang menjadi anugerah tuhan YME. Pada
kegiatan transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, pendidikan multikultural haruslah
menjadi prioritas utama dalam membangun kebersamaan diantara berbagai perbedaan. Guru
sebagai fasilitator dituntut untuk dapat mengarahkan peserta didik kedalam bentuk-bentuk
pembelajaran yang memungkinkan terjadinya hubungan dialogis yang harmonis dalam
mensikapi adanya perbedaan kultur, agama dan budaya. Pada kegiatan transformasi
masyarakat, harus tercipta sebuah tatanan masyarakat yang mengutamakan sebuah interaksi
yang selaras dan seimbang dalam mensikapi adanya perbedaan. Masyarakat haruslah melebur
ke dalam sebuah tatanan masyarakat kosmopolitan yang tidak lagi memandang dominansi
suatu kelompok terhadap kelompok lain, sikap antipati dalam berinteraksi dengan kelompok
lain dan saling menghargai akan adanya perbedaan dalam stuktur sosial masyarakat.
Dalam mewujudkan pendidikan multikultural di Indonesia, menurut Kurmaryani (tanpa
tahun) setidaknya terdapat 4 hal utama yang perlu di tekankan antara lain: Pertama, model
kurikulum yang dapat digunakan dalam pendidikan multicultural di Indonesia haruslah
mencermikan nilai-nilai budaya Indonesia. Kurikulum yang disusun tersebut harus dapat
mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan dan keterampilan “hidup” dalam
masyarakat yang multicultural, seperti: terampil bernegosiasi, mengemukakan dan
menghadapi perbedaan, resolusi konflik, cooperative learning dan problem solving yang
diharapkan dapat meningkatkan internalisasi nilai-nilai kebudayaan Indonesia di dalam
kehidupan perserta didik.
Kedua, guru juga memainkan peranan penting dalam mewujudkan pendidikan multikultural
di Indonesia. Seorang guru yang mengajar melalui pendekatan multicultural harus
“fleksibel”, karena untuk mengajar dalam multikultur seperti di Indonesia, pertimbangan
“perbedaan budaya” adalah hal penting yang harus menjadi perhatian guru. Faktor-faktor
seperti: membangun paradigma keberagamaan inklusif dan moderat di sekolah, menghargai
keragaman bahasa, membangun sikap sensitive gender, membangun pemahaman kritis
terhadap ketidakadilan dan perbedaan status social, membangun sikap anti diskriminasi etnis,
menghargai perbedaan kemampuan dan menghargai perbedaan umur harus dikemas dalam
ranah pembelajaran dan penyadaran di persekolahan, sehingga tercipta suatu paham untuk
memahami dan menerima segala perbedaan yang ada pada setiap individu peserta didik dan
pada akhirnya peserta didik diharapkan mampu memiliki karakter kuat untuk selalu bersikap
demokratis, pluralis dan humanis.
Ketiga, proses pembelajaran yang dikembangkan harus menempatkan peserta didik pada
kenyataan social di sekitarnya. Artinya, proses belajar yang mengandalkan peserta didik
untuk belajar secara kelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi kompetitif
yang positif. Dengan cara ini, perbedaan antar individu dapat dikembangkan sebagai suatu
kekuatan kelompok dan peserta didik terbiasa hidup dengan berbagai keragaman budaya,
social, ekonomi, intelektual dan aspirasi politik.
Keempat, evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan
kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Asesmen
kinerja, asesmen portofolio, asesmen rubric, pedoman obsevasi, pedoman wawancara, rating
scale, skala sikap, cek-list, kuesioner dan lain sebagai sebagai alat penilaian yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi pembelajaran yang menggunakan pendekatan multicultural.
Penutup
Pendidikan di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam ras, suku budaya,
bangsa, dan agama dirasa penting untuk menerapkan pendidikan multikultural. Karena tidak
dapat dipungkiri bahwa dengan masyarakat Indonesia yang beragam inilah seringkali menjadi
penyebab munculnya berbagai macam konflik.
Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka peran
pendidikan yang berbasis multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola
kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi
dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan
kehidupan bangsa ke depan.
Pendidikan multikultural di Indonesia hanya dapat dibangun melalui upaya-upaya yang
berkesinambungan dan terpadu. eran dan dukungan dari guru/tenaga pengajar, institusi
pendidikan, dan para pengambil kebijakan pendidikan lainnya, terutama dalam penerapan
kurikulum dengan pendekatan multicultural. Guru dan institusi pendidikan (sekolah) perlu
memahami konsep pendidikan multicultural dalam perspektif global agar nilai-nilai yang
terkandung dalam pendidikan ini dapat diajarkan sekaligus dipraktekkan di hadapan para
peserta didik, sehingga diharapkan melalui pengembangan pendidikan multicultural ini para
peserta didik akan lebih mudah memahami pelajaran dan meningkatkan kesadaran mereka
agar selalu berperilaku humanis, pluralis dan demokratis.
Daftar Pustaka
Amirin, T.M. 2012. Implementasi Pendekatan Pendidikan Multikultural Kontekstual Berbasis
Kearifan Lokal di Indonesia. Jurnal Pembangunan dan Pendidikan. Vol 1: (1)
Banks, J. A. 2002. An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn and Bacon.
Deviani, H. 2013. Dinamika Multikulturalisme Kanada (1968-2006).
htttp://heidistoria.blogspot.com. Online diakses 15 September 2013.
Kusmaryani, Y. Tanpa tahun. Pendidikan Multikultural; Suatu Kajian Tentang Pendidikan
Alternatif di Indonesia Untuk Merekatkan Kembali Nilai-nilai Persatuan, Kesatuan dan
Berbangsa di Era Global. Online (12 September 2013)
Mahfud, C. 2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ramly, N. 2005. Membangun Pendidikan Yang Memberdayakan dan Mencerahkan, Jakarta:
Grafindo
Parekh, B. 2000. Rethinking Multivulturalism: Cultural Diversity and Political Theory.
Cambridge: Havard University Press
Phierquin. 2013. Perbandingan Multikulturalisme di Berbagai Negara.
http://phierda.wordpress.com/ Online (diakses 15 September 2013)
Shamad, I. 2009. Politik dan Kebudayaan Etnik : Multikulturalisme Versi Australia.
http://irhashshamad.blogspot.com/ Online (diakses 15 September 2013)
Suparlan, P. 2002. Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat
Majemuk Indonesia. Jurnal Antropologi Indonesia. Vol 6 (1-12)
Tilaar, HAR. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan Dari Perspektif
Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Kompas
—————- 2004. Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: P.T Remaja Rosdakarya
===================
Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia
MARCH 11, 2013 | PHIERQUINN
B. Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia
Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan
problema yang dihadapi oleh negara lain. Problem ini mencakup hal-hal kemasyarakatan
yang akan dipecahkan dengan Pendidikan Multikultural dan problem yang berkaitan dengan
pembelajaran berbasis budaya. Problem tersebut dapat dijadikan bahan pengembangkan
Pendidikan Multikultural di Indonesia ini.
Problema kemasyarakatan pendidikan multikultural di Indonesia antara lain:
Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang
memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun
Indonesia yang multikultural. Namun kondisi budaya itu sangat berpotensi memecah belah
dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak
ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada
berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Konflik-konflik yang terjadi
selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan
rasa, misalnya peristiwa Sampit. Keragaman ini dapat digunakan oleh provokator untuk
dijadikan isu yang memancing persoalan.
Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang
mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen
konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah
pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui Pendidikan Multikultural. Adanya Pendidikan
Multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal,
memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.
Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam
tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah
persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah
membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada
masa Orde baru, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini
tidak lagi.
Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat,
melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu
bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut
kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
Konsep “putra daerah― untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan
sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak
perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting
memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif
dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan dan
persamaan. Namun bila isu ini terus menerus dihembuskan justru akan membuat orang
terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan.
Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu
publik yang destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra
daerah dan pendatang.
Konsep pembagian wilayah menjadi propinsi atau kabupaten baru yang marak terjadi
akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari
warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini.
Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas
dan kurang beruntung.
Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (“integrating
force―) seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa,
kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi
dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan
kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan
keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi
Orde Baru yang harus ditinggalkan.
Pada masa Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi, sehingga ketika Orde Baru
tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek, perlu
ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada
Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu
dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif,
persuasif dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan
peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Bangsa Indonesia sangat
membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu
yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini.
Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan, namun yang salah yaitu fanatisme sempit,
yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan
kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban
ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di kalangan suporter sepak
bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik,
tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara
membabi buta maka hal ini justru tidak sehat. Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan
pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya
kalah menunjukkan gejala ini.
Kecintaan dan kebanggaan pada korps memang baik dan sangat diperluka, namun
kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok lain
dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang
destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan
oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan
contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama
(misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan
gejala ke arah disintegrasi bangsa.
Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di
satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional.
Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini
dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan
Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional
ini berubah menjadi tekanan dan pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan
perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi
integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan
beradab. Kini, semua pihak yang bertikai
sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama membangun daerah yang porak poranda
akibat peperangan yang berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini.
Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari
kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat
yang ada di Jawa ini, contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua.
Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan multikultural yang terjadi akhir-akhir ini.
Salah seorang panglima perang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap
negara kesatuan RI telah mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya.
Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah
diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang
memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa
di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan
ekonomi.
Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian
dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di bidang
ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas dua puluh ribu orang akan ikut terlibat
dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak kejadian
yang terungkap di media massa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis ketika
himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpah kekesalan mereka pada
kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu
meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah yang dirusak oleh
orang yang tidak bertanggung dalam berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah
menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi
kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan
dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti
dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak dari
kelompok tertindas ini.
Keberpihakan yang Salah dari Media Massa, Khususnya Televisi Swasta dalam
Memberitakan Peristiwa
Di antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati.
Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi
dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai
adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan
tertentu,yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan
oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir media massa dan tidak mendapat
“hukuman yang setimpal― baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat
menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam
itu sangat layak jual dan selalu mendapat perhatian publik, tetapi kalau terus-menerus
diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi
orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus
perceraian rumah tangga para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik
yang negatif, sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi
trend yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan.
Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi tema sinetron karena dapat
mendidik orang untuk terlalu mengagungkan materi dan menghalalkan segala cara. Begitu
juga tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan modus kejahatan baru atau pun
iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi orang melakukan sesuatu yang tidak pantas
dilakukan. Televisi dan media massa harus membantu memberi bahan tontonan dan bacaan
yang mendidikkan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan membaca koran sudah
menjadi tradisi yang kuat di negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan
sekedar menjadi tontonan.
Ketika penggusuran gubuk liar yang memilukan ditampilkan dalam bentuk tangisan yang
memilukan seorang anak atau orang tua yang dipadukan dengan tindakan aparat yang
menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan adalah
para preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong praja. Ironi itu nampak bila
yang disorot yaitu tangisan bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di lengan atau di
punggung. Peristiwanya adalah penggusuran gubuk liar, tetapi simbol yang digunakan
berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan dan putus asa. Tato sering
dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan tindakan pemalakan. Televisi sangat
mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai peristiwa.
Hasanah (2011) mengemukakan beberapa masalah utama pendidikan di Indonesia
antara lain:
1. Mahalnya Biaya pendidikan
Masalah utama pendidikan di Negeri ini yaitu mahalnya biaya pendidikan. “Pendidikan
bermutu itu mahal― Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang
harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan dari Taman Kanak-
Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT). Hal inilah yang kemudian banyak memunculkan
fenomena putus sekolah di kalangan anak-anak Indonesia. Jangankan untuk sekolah Swasta,
Untuk sekolah negeri pun, biaya pendidikanya tetap tinggi. Opsi bantuan BOS yang diberikan
oleh pemerintah pun masih belum bisa mengatasi masalah mahalnya biaya pendidikan ini.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang
menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite
Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur
pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite
Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite
Sekolah―. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih
menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala
Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah,
dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap
permasalahan pendidikan rakyatnya.
2. Rendahnya Kualitas Sarana dan prasarana pendidikan
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi
keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana
ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka proses pendidikan tidak dapat berlangsung
secara efektif.
Akhir-akhir ini sudah banyak terdengar berita tentang sekolah roboh, atau sekolah rusak
karena bangunanya yang sudah lapuk namun tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Inilah
salah satu bukti betapa rendahnya kualitas sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia.
3. Ketidak Jelasan Tujuan Pendidikan
Dalam undang-undang nomor 4 tahun l950, telah di sebutkan secara jelas tentang tujuan
pendidikan dan pengajaran yang pada intinya, ialah untuk membentuk manusia susila yang
cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air berdasarkan pancasila dan kebudayaan kebangsaan Indonesia dst,
namun dalam kenyataan yang terjadi terhadap tujuan pendidikan yang begitu ideal tersebut
belum mampu menghasilakn manusia-manusia sebagaimana yang dimaksud dalam
tumpukan kata-kata dalam rumusan tujuan pendidikan yang ada, bahkan terjadi sebaliknya,
yakni terjadi kemerosotan moral, kehidupan yang kurang demokratis, terjadi kekacauan
akibat konflik di masyarakat dan lain lain, hal ini merupakan suatu indikasi bahwa tujuan
pendidikan selama ini belum dikatakan berhasil, mungkin disebabkan adanya ketidak jelasan
atau kekaburan dalam memahami tujuan pendidikan yang sebenarnya.
4. Ketidak Serasian Kurikulum
Kebanyakan kurikulum yang dipergunakan di sekolah-sekolah masih berisi tentang mata
pelajaran-mata pelajaran yang beraneka ragam, sejumlah jam-jam pelajaran dan nama-nama
buku pegangan untuk setiap mata pelajaran. Sehingga pengajaran yang berlangsung
kebanyakan menanamkan teori-teori pengetahuan melulu, akibatnya para lulusan yang di
hasilkan kurang siap pakai bahkan miskin ketrampilan dan tidak mempunyai kemampuan
untuk berproduktifitas di tengah-tengah masyarakatnya, karena muatan kurikulum yang di
terima di sekolah-sekolah memang tidak di persiapkan untuk menjadikan lulusan dari peserta
didik untuk dapat mandiri dimasyarakatnya.
5. Ketiadaan Tenaga Pendidik Yang Tepat dan Cakap.
Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan salah
satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara, misalnya dalam
hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat
maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang. Kurangnya jumlah guru ini jelas merupakan
persoalan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan. Kekurangan tersebut membuat
beban guru semakin bertumpuk sehingga sangat berpotensi mengakibatkan menurunnya
kualitas pendidikan.
Masih banyak di jumpainya suatu slogan yang berbunyi “tak ada rotan akarpun jadi― ,
menunjukkan suatu gambaran betapa rendahnya kualitas tenaga kependidikan yang ada,
karena harus di pegang oleh tenaga-tenaga pendidikan yang bukan dari ahlinya. Padahal
menugaskan dan mendudukkan seseorang sebagai pendidik yang tidak di bina atau
dibekalinya ilmu kependidikan dan yang bukan dalam bidangnya, sangatlah menimbulkan
kerugian yang sangat besar, diantaranya terjadinya pemborosan biaya, terjadinya
pemerosotan mutu hasil pendidikan, lebih jauh lagi akan mempersiapkan warga masyarakat
di masa mendatang dengan pribadi-pribadi yang memiliki kualitas rendah sehingga tak
mampu bersaing dalam kehidupan yang serba problematis.
Sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang
terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang
kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam
menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model
pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.
6. Adanya Pengukuran Yang Salah Ukur
Dalam masalah pengukuran terhadap hasil belajar yang sering di sebut dengan istilah ujian
atau evaluasi, ternyata dalam prakteknya terjadi ketidak serasian antara angka-angka yang di
berikan kepada anak didik sering tidak obyektif, di mana pencantuman angka-angka nilai
yang begitu tinggi sama sekali tidak sepadan dengan mutu riil pemegang angka-angka nilai
itu. Ketika mereka di terjunkan ke masyarakat, tidak mampu berbuat apa-apa yang setaraf
dengan tingkat pendidikannya. Jelasnya tanpa adanya pengukuran yang obyektif dapat di
pastikan tidak akan pernah terwujud tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Contoh lainnya yaitu pendidikan berorientasi hasil, nilai UN yang menjadi standar kelulusan.
Siswa bisa dinyatakan lulus apabila telah memenuhi nilai minimal UN, tak peduli bagaimana
hasil belajar siswa selama tiga tahun. Hasil akhir berupa Nilai UN menjadi harga mati bagi
para siswa untuk bisa lulus namun tidak mengindahkan bagaimana cara mereka mendapatkan
nilai itu. Setiap kali UN mau digelar, entah dari mana datangnya tiba-tiba saja tersebar
bocoran jawaban UN padahal UN sendiri belum dilaksanakan. pendidikan kita tak peduli
proses bagaimana mereka bisa mencapai hasil tapi lebih menyukai hasilnya. Pendidikan
semacam ini sebenarnya secara tidak langsung mengajar pada siswa bahwa apapun cara
selama bisa mencapai hasil yang baik maka itu sah-sah saja. Jadi, jangan salahkan siswa yang
ketika sudah besar mendadak jadi koruptor karena mereka ‘sukses’ menimba ilmu
tentang pendidikan hasil, apapun caranya yang penting bisa kaya.
Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001)
mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di
kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik,
termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan
rasa aman.
Salah satu prasarat untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera adalah lebih di
tentukan oleh sejauh mana kuwalitas sumber daya masyarakatnya. Kwalitas suatu bangsa
sangat di tentukan oleh peran serta mutu pendidikan yang di pergunakan oleh bangsa
tersebut. Masyarakat yang berperadaban adalah masyarakat yang berpendidikan.
Hasanah, U. 2011. Problematika Pendidikan di Indonesia. (Online). (http://ummu-
hasanah.blogspot.com, diakses tanggal 23 Februari 2013).
PROBLEMA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI
INDONESIA
A. Problema Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Beberapa peristiwa budaya yang negatif dan sering muncul di tanah air seperti peristiwa di
Poso, Ambon, Papua, Sampit, Aceh, Bali, Jakarta dan lain-lain ini disebabkan oleh problema
kemasyarakatan sebagai berikut :
1. Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah
memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun
indonesia yang multikultural. Namun kondisi inilah yang sangat berpotensi memecah belah
dan menjadi lahan subur bagi budayakonflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul
jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah.
Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang
mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Dengan adanya pendidikan multikultural itu
diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan
bisa saling berkomunikasi.
2. Pergeseran Kekuasaan dari pusat ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, indonesia dihadapkan kepada beragam
tantangan baru yang sangat kompleks. Satu diantaranya yang paling menonjol adalah
persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat kedaerah
membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keberagamannya.
Kebudayaan, sebagai kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat,
melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Faktor pribadi
(misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat merubah menjadi isuisu publik yang
ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra daerah dan
pendatang.Konsep pembagian wilayah menjadi provinsi atau kabupaten baru yang marak
terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapat simpati dari
warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini.
Warga mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas dan
kurang beruntung.
3. Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan “integrating
force” seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian
nasional dan ideologi negara merupakan harga mati. Pancasila kurang mendapat perhatian
dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin marak. Nasionalisme perlu
ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan dengan
pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukan peranan pancasila yang kokoh untuk
menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan rasa nasionalisme yang kokoh untuk
meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini.
4. Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah asalah fanatisme
sempit, yang menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan
kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban
ini banyak terjadi di tanah air ini. Kecintaan dan kebanggaan memang baik dan sangat
diperlukan. Namun kecintaan dan kebanggan itu bila ditunjukan dengan bersikap memusuhi
kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi
hal yang destruktif. Terjadiny perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian
dengan oknum aparat TNI yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakn contoh dari
fanatisme sempit ini. Apalagi fanatisme ini berbaur dengan isu agama, maka akan dapat
menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa.
5. Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Adanya tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural.
Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas
nasional. Namun dalam penerapannya, qt pernah mengalami konsep stabilitas nasional inii
dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan
Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional
ini bewrubah menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini
dapat diselesaikan dengan damai dan beradab. Di sisi multikultural, kita melihat adanya
upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya
yang berbeda dengan pemerintah pusat yang berada di jawa.
6. Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah
diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang
memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa
di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan
ekonomi.
Orang akan lebih mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkis ketika
himpitan ekonomi yang mendera meraka. Mereka akan menumpahkan kekesalan mereka
pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu
meraihnya. Hal ini nampak dari gejala pengrusakan mobil-mobil mewah yang dirusak oleh
orang yang tidak bertanggung jawab dalam berbagai peristiwa di tanah air. Mobil mewah
menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi
kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan.
7. Keberpihakan yang salah dari Media Massa, khususnya televisi swasta dalam
memberitakan peristiwa.
Di antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati.
Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi
dengan tanggang jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai
adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media untuk kepentingan tertentu,
yang justru dapat merusak budaya indonesia. Televisi dan media massa harus membantu
memberi bahan tontonan dan bacaan yang mendidikan budaya yang baik. Karena menonton
televisi dan membaca koran sudah menjadi tradisi yangkuat di negeri ini. Sehingga tontonan
menjadi tuntutan, bukan tuntukan sekedar menjadi tontonan.
Ketika penggusuran gubuk liar yang memilukan ditampilkan dalam bentuk tangisan yang
memilukan seorang anak atau orang tua yang dipadukan dengan tindakan aparat yang
menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan adalah
para preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong praja. Ironi itu nampak bila
yang disorot adalah tangisan bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di lengan atau di
punggung. Peristiwanya adalah penggusuran gubuk liar, tetapi simbol yang digunakan
berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan serta putus asa. Tato sering
dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan tindakan pemalakan. Televisi sangat
mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai peristiwa.
Diposkan oleh Dedy Purwadi di 21.43
http://dedypurwadi.blogspot.co.id/2013/07/problema-pendidikan-multikultural-di.html
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak lama, seluruh bangsa Indonesia selalu diingatkan agar selalu hidup berdampingan
secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku bangsa, agama, ras dan anatar golongan.
Kita diseru untuk mengerti, menghayati, dan melaksanakan kehidupan bersama demi
tercapainya persatuan dan kesatuan sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Artinya
kita selalu diingatkan untuk menghargai dan menghayati perbedaan SARA sebagai unsur
utama yang mempersatukan bangsa ini dan bukan menjadi alasan terjadinya konflik.
Kesadaran akan pentingnya kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya
nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap terlalu menekankan kesatuan daripada
keragaman. Kemajemukan dalm banyak hal suku, agama, ras dan golongan seharusnya
menjadi hasanah dan modal untuk memmbangun. Maka ketika konfilik bergejolak di daerah,
negara seakan-akan menutupi realitas kemajemukan itu atas nama “kesatuan bangsa” atau
“stabilisasi nasional”. Konflik sosial yang sering muncul sebagai akibat pengingkaran
terhadap kenyataan kemajemukan dan penyebab adanya konflik sosial.
Bertolak dari kenyataan ini, kita dirasakan semakin perlunya kebijakan multikultural yang
memihak keragaman. Dari kebijakan itu nantinya diharapkan masyarakat dapat mengelola
perbedaan yang ada disekitar dengan positif. Dengan demikian, perbedaan dalam beragam
area kehidupan tidak memicu prasangka atau konflik, tetapi sebaliknya mendorong dinamika
ke arah yang lebih baik.
Penerapan pendidikan multikultural di Indonesia masih mengalami berbagai hambatan atau
problem. Problem pendidikan multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama
dengan problem yang dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi,
sejarah dan kemajuan sosial ekonomi dapat menjadi pemicu munculnya problem pendidikan
multikultural di Indonesia. Problem pendidikan multikultural di Indonesia secara garis besar
dapat dipetakan menjadi dua hal, yaitu : problem kemasyarakatan pendidikan multikultural
dan problem pembelajaran pendidikan multikultural.
1.2 Rumusan Masalah
Apa saja Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia?
1.2 Tujuan Masalah
2. Untuk mendefinisi permasalahan awal dalam pembelajaran berbasisis budaya.
3. Untuk mengklarifikasi Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Permasalahan Awal dalam Pembelajaran Berbasisis Budaya
Pendidikan multikultural yang akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan ternyata tidak
terlepas dari berbagai problem yang menghambatnya. Selain problem kemasyarakatan,
pendidikan multikultural juga tidak lepas dari problem dalam proses pembelajarannya. Dalam
kerangka strategi pembelajaran, pembelajaran berbasis budaya dapat mendorong terjadinya
proses imajinatif, metaforik, berpikir kreatif, dan sadar budaya. Namun demikian,
penggunaan budaya lokal (etnis) dalam pembelajaran berbasis budaya tidak terlepas dari
berbagai permasalahan yang terdapat dalam setiap komponen pembelajaran, sejak persiapan
awal dan implementasinya.
Beberapa permasalahan awal pembelajaran berbasis budaya (multikultural) pada tahap
persiapan awal, antara lain :
a) Guru kurang mengenal budayanya sendiri, budaya lokal maupun budaya peserta
didik.
b) Guru kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didiknya,
terutama dalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkannya.
c) Rendahnya kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang
minat, ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya
masing-masing dalam konteks budaya masing-masing serta dalam dimensi
pengalaman belajar yang diperoleh.
2.2 Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pada kenyataannya berbagai dimensi dari keberagaman budaya Indonesia dapat
menimbulkan masalah dalam proses pembelajaran, terutama dalam kelas yang budaya etnis
peserta didiknya sangat beragam, antara lain :
2.2.1 Masalah seleksi dan integrasi isi (content selection and integration) mata
pelajaran.
Implementasi pendidikan mutikultural dapat terhambat oleh problem seleksi dan integrasi isi
mata pelajaran yang akan diajarkan. Masalah yang muncul dapat berupa ketidakmampuan
guru memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan topik mata pelajaran.
Selain itu masih banyak guru yang belum dapat mengintegrasikan budaya lokal dalam mata
pelajaran yang diajarkan, sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna bagi peserta
didik.
Untuk mengatasi problem di atas, guru harus memiliki pengetahuan budaya yang memadai.
selain itu diperlukan sikap dan keterampilan yang bijaksana dalam memilih metode atau
materi pelajaran yang mengandung sensivitas budaya, misalnya materi tentang perbedaan
etnis atau agama. Guru juga dapat memberikan sentuhan warisan budaya sehingga dapat
memotivasi peserta didik mendalami akar budayanya sendiri dan akan menghasilkan
pembelajaran yang kuat bagi peserta didik. Guru juga dapat menggunakan teknik belajar
kooperatif dan kerja kelompok untuk meningkatkan integrasi ras dan etnis di sekolah dan di
kelas.
2.2.2 Masalah “proses mengkonstrusikan pengetahuan” (the knowledge
construction process)
Selain masalah seleksi dan integrasi isi mata pelajaran, masalah proses mengkonstruksi
sebuah pengetahuan dapat menjadi problem bagi pendidikan mutikultural. Jika peserta didik
terdiri dari berbagai budaya, etnis, agama, dan golongan dapat memunculkan kesulitan
tersendiri untuk menyusun sebuah bangunan pengetahuan yang berlandaskan atas dasar
perbedaan dan keragaman budaya. Seringkali muncul kesulitan dalam menentukan aspek
budaya mana yang dapat dipilih untuk membantu peserta didik memahami konsep kunci
secara tepat.
Selain itu, guru juga masih banyak yang belum dapat menggunakan frame of reference dari
budaya tertentu dan mengembangkannya dari perspektif ilmiah. Hal ini terkait kurangnya
pengetahuan dari guru tentang keragaman budaya. Problem lain yang dapat muncul adalah
munculnya bias dalam mengembangkan perspektif multikultur untuk mengkonstruksi
pengetahuan. Kekhawatiran yang muncul adalah munculnya diskriminasi dalam pemberian
materi pelajaran sehingga hanya memunculkan satu kelompok atau golongan tertentu yang
menjadi pokok bahasan pembelajaran.
2.2.3 Masalah mengurangi prasangka (prejudice reduction)
Salah satu masalah lain yang muncul dalam pembelajaran mutikultural adalah adanya
prasangka dari peserta didik terhadap guru bahwa guru tertentu cenderung mengutamakan
unsur budaya kelompok tertentu. Selain itu, guru belum dapat mengusahakan kerjasama
(cooperation) dan pengertian bahwa strategi pemakaian budaya tertentu bukan merupakan
kompetisi, tetapi sebuah kebersamaan. Oleh karena itu guru harus mengusahakan bagaimana
agar peserta didik yang belum mengenal budaya yang dijadikan media pembelajaran menjadi
tidak berprasangka bahwa guru cenderung mengutamakan budaya tertentu. Contoh, jika guru
memilih Bagong (tokoh wayang di Jawa Tengah) untuk pembelajaran, maka guru harus
menjelaskan siapa Bagong dan mampu mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot (Jawa
Barat), Sangut (Bali), Dawala dan Bawok (pesisir utara Jawa).
Dengan mengambil contoh yang sepadan, guru dapat menghindari prasangka bahwa dia
mengutamakan unsur budaya tertentu. Situasi tersebut mendorong kebersamaan antar peserta
didik dan saling memperkaya unsur budaya masing-masing.
2.2.4 Masalah kesetaraan paedagogi (equity paedagogy)
Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok
tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan
atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai sumber
dan pustaka, mencari tahu dari tokoh sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan
pedagogi. Guru harus memiliki “khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya dalam
tema tertentu, termasuk Tionghoa dan yang lainnya. Misal:
1. Sastra Hikayat Rakyat dengan tema durhaka.
Contoh: Malin Kundang (Minangkabau), Tangkuban Perahu (Sunda), Loro Jonggrang
(Yogyakarta).
2. Obat-obatan : jamu (Jawa), minyak kayu putih (Maluku).
3. Tekstil/tenun : batik (Jawa), kain ikat (Nusa Tenggara),songket (Melayu Deli,
Palembang, Kalimantan, Lombok, dan Bali).
4. Perahu Layar: Phinisi (Bugis-Makasar), Cadik (Madura), Lancang Kuning (Melayu).
5. Seni teater: Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah), Lenong (Betawi),
Ketoprak (Yogyakarta).
6. Tokoh Pahlawan: Dewi Sartika (Sunda), Cut Nyak Dien, Cut Meutia (Aceh), Kartini
(Jawa Tengah).
Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok
tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan
atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai sumber
dan pustaka sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan paedagogi. Guru harus memiliki
“khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya dalam tema tertentu. Misalnya jika
menerangkan tentang kesenian teater, guru dapat menyebutkan dan mengidentifikasi beragam
kesenian dari berbagai daerah seperti Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah),
Lenong (Betawi), dan Ketoprak (Yogyakarta).
Konklusinya, penerapan pendidikan mutikultural di Indonesia masih mengalami berbagai
problem atau masalah, yang dapat diidentifikasi menjadi dua problem utama yaitu problem
kemasyarakatan dan problem pembelajaran pendidikan mutikultural.
http://pujirokhayanti999.blogspot.co.id/2014/02/problema-pembelajaran-pendidikan.html
DAFTAR PUSTAKA
Sutarno.Pendidikan Multikultural.2007. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Departemen Pendidikan Nasional.
http://sosio-history.blogspot.com/2013/01/pendidikan-multikultural-dan-
problemnya.html
http://phierda.wordpress.com/2013/03/11/problema-pembelajaran-pendidikan
multikultural/

More Related Content

What's hot

PENGELOLAAN KURIKULUM SEKOLAH
PENGELOLAAN KURIKULUM SEKOLAHPENGELOLAAN KURIKULUM SEKOLAH
PENGELOLAAN KURIKULUM SEKOLAH
devi kumala sari
 
Upaya dalam menangani kesalahpahaman bk
Upaya dalam menangani kesalahpahaman bkUpaya dalam menangani kesalahpahaman bk
Upaya dalam menangani kesalahpahaman bkNur Arifaizal Basri
 
makalah observasi sekolah
makalah observasi sekolahmakalah observasi sekolah
makalah observasi sekolah
Hildadp
 
Masalah masalah global dalam kaitannya dengan kepentingan nasional
Masalah masalah global dalam kaitannya dengan kepentingan nasionalMasalah masalah global dalam kaitannya dengan kepentingan nasional
Masalah masalah global dalam kaitannya dengan kepentingan nasional
Eman Syukur
 
Konsep dasar teori konstruktivistik
Konsep dasar teori konstruktivistikKonsep dasar teori konstruktivistik
Konsep dasar teori konstruktivistik
Kundas Tanma
 
Makalah Sintaksis Bahasa Indonesia
Makalah Sintaksis Bahasa IndonesiaMakalah Sintaksis Bahasa Indonesia
Makalah Sintaksis Bahasa Indonesia
Universitas Negeri Semarang
 
Teori dan konsep pendidikan
Teori dan konsep pendidikanTeori dan konsep pendidikan
Teori dan konsep pendidikan
Novie Purwaningsih
 
Pendekatan dalam manajemen kelas
Pendekatan dalam manajemen kelasPendekatan dalam manajemen kelas
Pendekatan dalam manajemen kelasSofia Mafaza
 
Peran Guru dalam Manajemen Kelas
Peran Guru dalam Manajemen KelasPeran Guru dalam Manajemen Kelas
Peran Guru dalam Manajemen Kelas
dewisetiyana52
 
Makalah Bahasa Indonesia - Diksi, Idiom, Peribahasa dan Majas
Makalah Bahasa Indonesia - Diksi, Idiom, Peribahasa dan MajasMakalah Bahasa Indonesia - Diksi, Idiom, Peribahasa dan Majas
Makalah Bahasa Indonesia - Diksi, Idiom, Peribahasa dan Majas
Nasruddin Asnah
 
Model-model Pembelajaran
Model-model PembelajaranModel-model Pembelajaran
Model-model Pembelajaran
Nini Ibrahim01
 
Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013
Kerangka Dasar dan  Struktur Kurikulum 2013Kerangka Dasar dan  Struktur Kurikulum 2013
Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013Nurfadilah Abdullah
 
Efektifitas, efisiensi, dan produktifitas mbs
Efektifitas, efisiensi, dan produktifitas mbsEfektifitas, efisiensi, dan produktifitas mbs
Efektifitas, efisiensi, dan produktifitas mbs
ferry heriyanto
 
Makalah motivasi dalam belajar
Makalah motivasi dalam belajarMakalah motivasi dalam belajar
Makalah motivasi dalam belajarZuha Farhana
 
Buku 1 tematik tema 1 Kelas 1
Buku 1 tematik tema 1 Kelas 1Buku 1 tematik tema 1 Kelas 1
Buku 1 tematik tema 1 Kelas 1
Ifik Firdaus
 
pemahaman k 13
pemahaman k 13pemahaman k 13
pemahaman k 13
bardi15
 
Tugas 4 evaluasi pembelajaran pkn
Tugas 4 evaluasi pembelajaran pknTugas 4 evaluasi pembelajaran pkn
Tugas 4 evaluasi pembelajaran pkn
Nina Ruspina
 

What's hot (20)

PENGELOLAAN KURIKULUM SEKOLAH
PENGELOLAAN KURIKULUM SEKOLAHPENGELOLAAN KURIKULUM SEKOLAH
PENGELOLAAN KURIKULUM SEKOLAH
 
Upaya dalam menangani kesalahpahaman bk
Upaya dalam menangani kesalahpahaman bkUpaya dalam menangani kesalahpahaman bk
Upaya dalam menangani kesalahpahaman bk
 
makalah observasi sekolah
makalah observasi sekolahmakalah observasi sekolah
makalah observasi sekolah
 
Masalah masalah global dalam kaitannya dengan kepentingan nasional
Masalah masalah global dalam kaitannya dengan kepentingan nasionalMasalah masalah global dalam kaitannya dengan kepentingan nasional
Masalah masalah global dalam kaitannya dengan kepentingan nasional
 
Konsep dasar teori konstruktivistik
Konsep dasar teori konstruktivistikKonsep dasar teori konstruktivistik
Konsep dasar teori konstruktivistik
 
Makalah Sintaksis Bahasa Indonesia
Makalah Sintaksis Bahasa IndonesiaMakalah Sintaksis Bahasa Indonesia
Makalah Sintaksis Bahasa Indonesia
 
Teori dan konsep pendidikan
Teori dan konsep pendidikanTeori dan konsep pendidikan
Teori dan konsep pendidikan
 
Ppt bahasa baku dan bahasa nonbaku
Ppt bahasa baku dan bahasa nonbakuPpt bahasa baku dan bahasa nonbaku
Ppt bahasa baku dan bahasa nonbaku
 
Pendekatan dalam manajemen kelas
Pendekatan dalam manajemen kelasPendekatan dalam manajemen kelas
Pendekatan dalam manajemen kelas
 
Peran Guru dalam Manajemen Kelas
Peran Guru dalam Manajemen KelasPeran Guru dalam Manajemen Kelas
Peran Guru dalam Manajemen Kelas
 
Makalah Bahasa Indonesia - Diksi, Idiom, Peribahasa dan Majas
Makalah Bahasa Indonesia - Diksi, Idiom, Peribahasa dan MajasMakalah Bahasa Indonesia - Diksi, Idiom, Peribahasa dan Majas
Makalah Bahasa Indonesia - Diksi, Idiom, Peribahasa dan Majas
 
Model-model Pembelajaran
Model-model PembelajaranModel-model Pembelajaran
Model-model Pembelajaran
 
Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013
Kerangka Dasar dan  Struktur Kurikulum 2013Kerangka Dasar dan  Struktur Kurikulum 2013
Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013
 
Efektifitas, efisiensi, dan produktifitas mbs
Efektifitas, efisiensi, dan produktifitas mbsEfektifitas, efisiensi, dan produktifitas mbs
Efektifitas, efisiensi, dan produktifitas mbs
 
Makalah motivasi dalam belajar
Makalah motivasi dalam belajarMakalah motivasi dalam belajar
Makalah motivasi dalam belajar
 
Buku 1 tematik tema 1 Kelas 1
Buku 1 tematik tema 1 Kelas 1Buku 1 tematik tema 1 Kelas 1
Buku 1 tematik tema 1 Kelas 1
 
pemahaman k 13
pemahaman k 13pemahaman k 13
pemahaman k 13
 
Lembaga pendidikan islam
Lembaga pendidikan islamLembaga pendidikan islam
Lembaga pendidikan islam
 
Tugas 4 evaluasi pembelajaran pkn
Tugas 4 evaluasi pembelajaran pknTugas 4 evaluasi pembelajaran pkn
Tugas 4 evaluasi pembelajaran pkn
 
4. fungsi fungsi bk
4. fungsi fungsi bk4. fungsi fungsi bk
4. fungsi fungsi bk
 

Similar to Materi kelompok 5 pentingnya pendidikan multikultural di indonesia

ppt. pend.Multikultural kel.2.pdf
ppt. pend.Multikultural kel.2.pdfppt. pend.Multikultural kel.2.pdf
ppt. pend.Multikultural kel.2.pdf
amaraffi57
 
Konseppendidikanmultikultural
KonseppendidikanmultikulturalKonseppendidikanmultikultural
Konseppendidikanmultikultural
Salma Sosialita
 
Resensi jurnal pai berbasis multikultural
Resensi jurnal pai berbasis multikulturalResensi jurnal pai berbasis multikultural
Resensi jurnal pai berbasis multikultural
sitirohmah71
 
SITI ROHMAH
SITI ROHMAHSITI ROHMAH
SITI ROHMAH
Safitri
 
Pendidikan multikultural-artiklel
Pendidikan multikultural-artiklelPendidikan multikultural-artiklel
Pendidikan multikultural-artiklelFelix Baskara
 
Tugas sosioantropologi
Tugas sosioantropologiTugas sosioantropologi
Tugas sosioantropologi
Zurie Hafiez
 
Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"
Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"
Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"Ali Murfi
 
peran guru PKn melalui pembelajaran berbasis multikultural dalam membangun ka...
peran guru PKn melalui pembelajaran berbasis multikultural dalam membangun ka...peran guru PKn melalui pembelajaran berbasis multikultural dalam membangun ka...
peran guru PKn melalui pembelajaran berbasis multikultural dalam membangun ka...
pendidikan pancasila dan kewarganegaraan
 
MultiKultural.pptx
MultiKultural.pptxMultiKultural.pptx
MultiKultural.pptx
TKI Kanita Tiara
 
PPT IPS KEMPOK 3.pptx
PPT IPS KEMPOK 3.pptxPPT IPS KEMPOK 3.pptx
PPT IPS KEMPOK 3.pptx
SarisamsuriadiSam
 
Filsafat ilmu[1]
Filsafat ilmu[1]Filsafat ilmu[1]
Filsafat ilmu[1]
LelianaHendrawati
 
Pengembangan pai multikultur
Pengembangan pai multikulturPengembangan pai multikultur
Pengembangan pai multikultur
Jiyanto Mumtaz
 
IPS 5B Kel 3.pptx
IPS 5B Kel 3.pptxIPS 5B Kel 3.pptx
IPS 5B Kel 3.pptx
SarisamsuriadiSam
 
Pengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolah
Pengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolahPengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolah
Pengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolahHari Adi
 
Multikultural
MultikulturalMultikultural
Multikultural
Anto Kolarov
 
Ppt filsafat ilmu dan Pendidikan Multikultural
Ppt filsafat ilmu dan Pendidikan MultikulturalPpt filsafat ilmu dan Pendidikan Multikultural
Ppt filsafat ilmu dan Pendidikan Multikultural
lendisputra
 
PPT MULTIKULTURAL.pptx
PPT MULTIKULTURAL.pptxPPT MULTIKULTURAL.pptx
PPT MULTIKULTURAL.pptx
BayuMacau
 
Pengantar pendidikan
Pengantar pendidikanPengantar pendidikan
Pengantar pendidikananitaairhi
 

Similar to Materi kelompok 5 pentingnya pendidikan multikultural di indonesia (20)

ppt. pend.Multikultural kel.2.pdf
ppt. pend.Multikultural kel.2.pdfppt. pend.Multikultural kel.2.pdf
ppt. pend.Multikultural kel.2.pdf
 
Konseppendidikanmultikultural
KonseppendidikanmultikulturalKonseppendidikanmultikultural
Konseppendidikanmultikultural
 
Resensi jurnal pai berbasis multikultural
Resensi jurnal pai berbasis multikulturalResensi jurnal pai berbasis multikultural
Resensi jurnal pai berbasis multikultural
 
SITI ROHMAH
SITI ROHMAHSITI ROHMAH
SITI ROHMAH
 
Pendidikan multikultural-artiklel
Pendidikan multikultural-artiklelPendidikan multikultural-artiklel
Pendidikan multikultural-artiklel
 
Tugas sosioantropologi
Tugas sosioantropologiTugas sosioantropologi
Tugas sosioantropologi
 
Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"
Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"
Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"
 
Dwi fanda
Dwi fandaDwi fanda
Dwi fanda
 
peran guru PKn melalui pembelajaran berbasis multikultural dalam membangun ka...
peran guru PKn melalui pembelajaran berbasis multikultural dalam membangun ka...peran guru PKn melalui pembelajaran berbasis multikultural dalam membangun ka...
peran guru PKn melalui pembelajaran berbasis multikultural dalam membangun ka...
 
MultiKultural.pptx
MultiKultural.pptxMultiKultural.pptx
MultiKultural.pptx
 
PPT IPS KEMPOK 3.pptx
PPT IPS KEMPOK 3.pptxPPT IPS KEMPOK 3.pptx
PPT IPS KEMPOK 3.pptx
 
Nanda ppt
Nanda pptNanda ppt
Nanda ppt
 
Filsafat ilmu[1]
Filsafat ilmu[1]Filsafat ilmu[1]
Filsafat ilmu[1]
 
Pengembangan pai multikultur
Pengembangan pai multikulturPengembangan pai multikultur
Pengembangan pai multikultur
 
IPS 5B Kel 3.pptx
IPS 5B Kel 3.pptxIPS 5B Kel 3.pptx
IPS 5B Kel 3.pptx
 
Pengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolah
Pengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolahPengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolah
Pengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolah
 
Multikultural
MultikulturalMultikultural
Multikultural
 
Ppt filsafat ilmu dan Pendidikan Multikultural
Ppt filsafat ilmu dan Pendidikan MultikulturalPpt filsafat ilmu dan Pendidikan Multikultural
Ppt filsafat ilmu dan Pendidikan Multikultural
 
PPT MULTIKULTURAL.pptx
PPT MULTIKULTURAL.pptxPPT MULTIKULTURAL.pptx
PPT MULTIKULTURAL.pptx
 
Pengantar pendidikan
Pengantar pendidikanPengantar pendidikan
Pengantar pendidikan
 

Recently uploaded

PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdfPENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
smp4prg
 
VISI MISI KOMUNITAS BELAJAR SDN 93 KOTA JAMBI
VISI MISI KOMUNITAS BELAJAR SDN 93 KOTA JAMBIVISI MISI KOMUNITAS BELAJAR SDN 93 KOTA JAMBI
VISI MISI KOMUNITAS BELAJAR SDN 93 KOTA JAMBI
gloriosaesy
 
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
agusmulyadi08
 
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
Indah106914
 
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagjaPi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
agusmulyadi08
 
INSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docx
INSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docxINSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docx
INSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docx
lindaagina84
 
PPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakat
PPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakatPPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakat
PPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakat
jodikurniawan341
 
INDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdf
INDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdfINDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdf
INDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdf
NurSriWidyastuti1
 
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptxSOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
astridamalia20
 
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
ozijaya
 
Kisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docx
Kisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docxKisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docx
Kisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docx
irawan1978
 
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum MerdekaModul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Fathan Emran
 
Paparan Kurikulum Satuan Pendidikan_LOKAKARYA TPK 2024.pptx.pdf
Paparan Kurikulum Satuan Pendidikan_LOKAKARYA TPK 2024.pptx.pdfPaparan Kurikulum Satuan Pendidikan_LOKAKARYA TPK 2024.pptx.pdf
Paparan Kurikulum Satuan Pendidikan_LOKAKARYA TPK 2024.pptx.pdf
SEMUELSAMBOKARAENG
 
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.pptKOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
Dedi Dwitagama
 
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptxJuknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
mattaja008
 
SEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptx
SEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptxSEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptx
SEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptx
bobobodo693
 
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
setiatinambunan
 
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdf
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdfLK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdf
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdf
UditGheozi2
 
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrinPatofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
rohman85
 
Program Kerja Kepala Sekolah 2023-2024.pdf
Program Kerja Kepala Sekolah 2023-2024.pdfProgram Kerja Kepala Sekolah 2023-2024.pdf
Program Kerja Kepala Sekolah 2023-2024.pdf
erlita3
 

Recently uploaded (20)

PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdfPENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
 
VISI MISI KOMUNITAS BELAJAR SDN 93 KOTA JAMBI
VISI MISI KOMUNITAS BELAJAR SDN 93 KOTA JAMBIVISI MISI KOMUNITAS BELAJAR SDN 93 KOTA JAMBI
VISI MISI KOMUNITAS BELAJAR SDN 93 KOTA JAMBI
 
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
 
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
 
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagjaPi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
 
INSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docx
INSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docxINSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docx
INSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docx
 
PPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakat
PPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakatPPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakat
PPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakat
 
INDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdf
INDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdfINDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdf
INDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdf
 
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptxSOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
 
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
 
Kisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docx
Kisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docxKisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docx
Kisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docx
 
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum MerdekaModul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
 
Paparan Kurikulum Satuan Pendidikan_LOKAKARYA TPK 2024.pptx.pdf
Paparan Kurikulum Satuan Pendidikan_LOKAKARYA TPK 2024.pptx.pdfPaparan Kurikulum Satuan Pendidikan_LOKAKARYA TPK 2024.pptx.pdf
Paparan Kurikulum Satuan Pendidikan_LOKAKARYA TPK 2024.pptx.pdf
 
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.pptKOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
 
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptxJuknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
 
SEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptx
SEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptxSEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptx
SEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptx
 
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
 
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdf
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdfLK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdf
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdf
 
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrinPatofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
 
Program Kerja Kepala Sekolah 2023-2024.pdf
Program Kerja Kepala Sekolah 2023-2024.pdfProgram Kerja Kepala Sekolah 2023-2024.pdf
Program Kerja Kepala Sekolah 2023-2024.pdf
 

Materi kelompok 5 pentingnya pendidikan multikultural di indonesia

  • 1. PENTINGNYA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Multikulturalisme berasal dari adanya suatu kebudayaan. Secara etimologi, multikulturalisme terdiri dari multi yang berarti “banyak”, kultur yang berarti “budaya”, dan isme yang berarti paham “aliran”. Jadi, multikulturalisme adalah suatu paham, corak, kegiatan, yang terdiri dari banyak budaya pada suatu daerah tertentu. Multikulturalisme di Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Namun pada kenyataannya kondisi demikian tidak pula diiringi dengan keadaan sosial yang membaik. Bahkan banyak terjadinya ketidak teraturan dalam kehidupan sosial di Indonesia pada saat ini yang menyebabkan terjadinya berbagai ketegangan dan konflik. Seiring dengan perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh adanya globalisasi banyak terjadi krisis sosial-budaya yang terjadi di masyarakat. Misalnya seperti merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial. Semakin luasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya. Oleh karena itu, pendidikan dianggap tempat yang tepat untuk membangun kesadaran multikulturalisme di Indonesia. Melalui pendidikan multikultural, diharapkan dapat mewujudkan keteraturan dalam kehidupan sosial-budaya di Indonesia. BAB II PENTINGNYA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA A. Pengertian Pendidikan Multikultural Pendidikan multikultural hingga saat ini belum dapat didefinisikan secara baku. Namun, ada beberapa pendapat para ahli mengenai pendidikan multikultural. Diantaranya adalah Andersen dan Cusher (1994:320) mengartikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian, James Banks (1993: 3) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan). Dimana dengan adanya kondisi tersebut kita mampu untuk menerima perbedaan dengan penuh rasa toleransi. Seperti definisi di atas, Muhaemin el Ma’haddi berpendapat bahwa pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Adapun Paulo Freire seorang pakar pendidikan pembebasan mendefinisikan bahwa pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Melainkan pendidikan itu harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan suatu kelas sosial sebagai akibat dari kekayaan dan kemakmuran yang diperolehnya.[1] Pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Hal ini dapat diartikan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang mencakup seluruh siswa tanpa
  • 2. membedakan kelompok-kelompoknya, seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial, dan agama. James Bank menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: 1. Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran / disiplin ilmu. 2. The knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran. 3. An equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya, ataupun sosial. 4. Prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif. Dalam aktivitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (objek) dan sekaligus sebagai subjek pendidikan, oleh karena itu, dalam memahami hakikat pendidikan perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya, secara umum peserta didik memiliki lima ciri, yaitu: 1. Peserta didik sedang dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan, dan sebagainya. 2. Mempunyai keinginan untuk berkembang kearah dewasa. 3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. 4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi- potensi dasar yang dimiliki secara individual. Istilah pendidikan multikultural dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif, maupun normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno- kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, multikulturalisme, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan. Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal dengan lima pendekatan, yaitu: 1. Pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme 2. Pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. 3. Pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. 4. Pendidikan dwi-budaya. 5. Pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
  • 3. B. Pendekatan Pendidikan Multikultural Merancang pendidikan dalam tatanan masyarakat yang penuh dengan permasalahan antar kelompok seperti di Indonesia memang tidaklah mudah. Hal ini ditambah sulit lagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dalam kondisi seperti ini, pendidikan multikultural diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran. Adapun untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan sejumlah pendekatan. Dan beberapa pendekatan dalam pendidikan multikultural tersebut adalah sebagai berikut. 1. Tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan, atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. 2. Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. 3. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi kedalam kebudayaan baru. Pendidikan multikultural bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan dengan logis. 4. Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta didik. Keempat pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang relatif lama serta diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan, dan agama. Masyarakat mempunyai peranan penting dalam perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab, masyarakat merupakan tempat yang penuh alternatif dalam upaya memperkaya pelaksanaan proses pendidikan berbasis multikultural. Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan multikultural. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal yang penting untuk kemajuan pendidikan di masa kini dan di masa yang akan datang.[2] C. Pendidikan Berbasis Multikultural Sejak awal kemunculannya, pendidikan berbasis multikulturalisme atau Multicultural Based Education, telah didefinisikan dalam banyak cara dan berbagai perspektif. Dalam terminologi ilmu-ilmu pendidikan dikenal dengan pendidikan multikultural (multicultural education) seperti yang digunakan dalam konteks kehidupan di negara-negara barat.[3] Sejumlah definisi tersebut terikat dalam disiplin ilmu tertentu, seperti pendidikan antropologi, sosial, psikologi, dan lain sebagainya. Dalam buku Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content mengungkapkan definisi klasik mengenai Multicultural Based Education yang penting bagi para pendidik. Definisi pertama yaitu menekankan esensi Multicultural Based Learning sebagai perspektif yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan
  • 4. manusia yang kompleks dan beragam secara kultur. Definisi ini juga merefleksikan pentingnya budaya, ras, gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian- pengecualian dalam proses pendidikan. Definisi lain mengartikan bahwa Multicultural Based Education adalah sebuah visi tentang pendidikan yang selayaknya dan seharusnya bisa untuk semua anak didik. Multicultural Based Education manyiapkan anak didik untuk berkewarganegaraan dalam komunitas budaya dan bahasa yang majemuk dan saling terkait. Multicultural Based Education juga berkenaan dengan perubahan pendidikan yang signifikan. Ia menggambarkan realitas sosial, ekonomi, dan politik secara luas dan sistematis sehingga dapat mempengaruhi segala sesuatu yang terjadi di dalam sekolah dan luar sekolah. Multicultural Based Education memperluas kembali praktek yang patut dicontoh, dan berupaya memperbaiki berbagai kesempatan pendidikan optimal yang tertolak. Ia membahas pula seputar penciptaan lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan lingkungan pembelajaran yang dinamis, yang mencerminkan cita-cita persamaan, kesetaraan, dan keunggulan. D. Pentingnya Pendidikan Multikultural di Indonesia Indonesia adalah negara yang terdiri dari beragam masyarakat yang berbeda seperti agama, suku, ras, kebudayaan, adat istiadat, bahasa, dan lain sebagainya menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk. Dalam kehidupan yang beragam seperti ini menjadi tantangan untuk mempersatukan bangsa Indonesia menjadi satu kekuatan yang dapat menjunjung tinggi perbedaan dan keragaman masyarakatnya. Hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural yang ditanamkan kepada anak- anak lewat pembelajaran di sekolah maupun di rumah. Seorang guru bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan terhadap anak didiknya dan dibantu oleh orang tua dalam melihat perbedaan yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun pendidkan multikultural bukan hanya sebatas kepada anak-anak usia sekolah tetapi juga kepada masyarakat Indonesia pada umumnya lewat acara atau seminar yang menggalakkan pentingnya toleransi dalam keberagaman menjadikan masyarakat Indonesia dapat menerima bahwa mereka hidup dalam perbedaan dan keragaman. Ada tiga tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan multikultural di Indonesia, yaitu: 1. Agama, suku bangsa dan tradisi Agama secara aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan orang Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perusak kekuatan masyarakat yang harmonis ketika hal itu digunakan sebagai senjata politik atau fasilitas individu-individu atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama terkait pada etnis atau tradisi kehidupan dari sebuah masyarakat. Masing-masing individu telah menggunakan prinsip agama untuk menuntun dirinya dalam kehidupan di masyarakat, tetapi tidak berbagi pengertian dari keyakinan agamanya pada pihak lain. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk mencapai tujuan dan prinsip seseorang dalam menghargai agama. 2. Kepercayaan
  • 5. Unsur yang penting dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan. Dalam masyarakat yang plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko dari kecurigaan/ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak ada komunikasi di dalam masyarakat/plural. 3. Toleransi Toleransi merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai keyakinan. Toleransi dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan adanya perbedaan. Keyakinan adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam toleransi, tidak harus selalu mempertahankan keyakinannya.Untuk mencapai tujuan sebagai manusia Indonesia yang demokratis dan dapat hidup di Indonesia diperlukan pendidikan multikultural.[4] Adapun pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, peserta didik diharapkan tidak meninggalkan akar budayanya, dan pendidikan multikultural sangat relevan digunakan untuk demokrasi yang ada seperti sekarang. 1. Sarana alternatif pemecahan konflik Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diakui dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya di masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam unsur sosial dan budaya. Dengan kata laun, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial-budaya.[5] Struktur kultural masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan untuk mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Saat ini pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk mengahadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya. Pada kenyataannya pendidikan multikultural belum digunakan dalam proporsi yang benar. Maka, sekolah dan perguruan tinggi sebagai instirusi pendidikan dapat mengembangkan kurikulum pendidikan multikultural dengan model masing-masing sesuai dengan otonomi pendidikan atau sekolahnya sendiri. Model-model pembelajaran mengenai kebangsaan memang sudah ada. Namun, hal itu masih kurang untuk dapat mengahargai perbedaan masing-masing suku, budaya maupun etnis. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai konflik dari realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal ini berarti bahwa pemahaman mengenai toleransi di masyarakat masih sangat kurang. Maka, penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakann berhasil apabila terbentuk pada diri setiap peserta didik sikap saling toleransi, tidak bermusuhan, dan tidak berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku, bahasa, dan lain sebagainya. Menurut Stephen Hill, pendidikan multikultural dikatakan berhasil apabila prosesnya melibatkan semua elemen masyarakat. Hal itu dikarenakan adanya multidimensi aspek kehidupan yang tercakup dalam pendidikan multikultural. Perubahan yang diharapkan adalah pada terciptanya kondisi yang nyaman, damai, toleran dalam kehidupan masyarakat, dan tidak selalu muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA. 2. Agar peserta didik tidak meinggalkan akar budaya
  • 6. Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, pendidikan multikultural juga signifikan dalam upaya membina peserta didik agar tidak meninggalkan akar budaya yang ia miliki sebelumnya, saat ia berhubungan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi. Pertemuan antar budaya di era globalisasi ini bisa menjadi ‘ancaman’ serius bagi peserta didik. Untuk menyikapi realitas tersebut, peserta didik tersebut hendaknya diberikan pengetahuan yang beragam. Sehingga peserta didik tersebut memiliki kemampuan global, termasuk kebudayaan. Dengan beragamnya kebudayaan baik di dalam maupun di luar negeri, peserta didik perlu diberi pemahaman yang luas tentang banyak budaya, agar siswa tidak melupakan asal budayanya. Menurut Fuad Hassan, saat ini diperlukan langkah antisipatif terhadap tantangan globalisasi, terutama dalam aspek kebudayaan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek) dapat memperpendek jarak dan memudahkan adanya persentuhan antar budaya. Tantangan dalam dunia pendidikan kita, saat ini sangat berat dan kompleks. Maka, upaya untuk mengantisipasinya harus dengan serius dan disertai solusi konkret. Jika tidak ditanggapi dengan serius terutama dalam bidang pendidikan yang bertanggung jawab atas kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) maka, peserta didik tersebut akan kehilangan arah dan melupakan asal budayanya sendiri. Sehingga dengan pendidikan multikultural itulah, diharapkan mampu membangun Indonesia yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Karena keanekaragaman budaya dan ras yang ada di Indonesia itu merupakan sebuah kekayaan yang harus kita jaga dan lestarikan. 3. Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional Pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting apabila dalam memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai oleh peserta didik dengan ukuran dan tingkatan tertentu. Pengembangan kurikulum yang berdasarkan pendidikan multikultural dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut. a. Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku secara serentak seperti sekarang menjadi filosofi pendidikan yang sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. b. Harus merubah teori tentang konten (curriculum content) yang mengartikannya sebagai aspek substantif yang berisi fakta, teori, generalisasi, menuju pengertian yang mencakup nilai moral, prosedur, proses, dan keterampilan (skills) yang harus dimiliki generasi muda. c. Teori belajar yang digunakan harus memperhatikan unsur keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik. d. Proses belajar yang dikembangkan harus berdasarkan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam situasi yang positif. Dengan cara tersebut, perbedaan antarindividu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan siswa terbiasa untuk hidup dengan keberanekaragaman budaya. e. Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. 4. Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural Inti dari cita-cita reformasi Indonesia adalah mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis, dan ditegakkan hukum untuk supremasi keadilan, pemerintah yang bersih dari KKN,
  • 7. terwujudnya keteraturan sosial serta rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Corak masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan hanya merupakan keanekaragaman suku bangsa saja melainkan juga menyangkut tentang keanekaragaman budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Eksistensi keberanekaragaman tersebut dapat terlihat dari terwujudnya sikap saling menghargai, menghormati, dan toleransi antar kebudayaan satu sama lain. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan kosnep-konsep lain yang relevan.[6] BAB III KESIMPULAN Pendidikan di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam ras, suku budaya, bangsa, dan agama dirasa penting untuk menerapkan pendidikan multikultural. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dengan masyarakat Indonesia yang beragam inilah seringkali menjadi penyebab munculnya berbagai macam konflik. Seiring dengan perkembangan zaman dan waktu juga dapat mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga banyak terjadi berbagai macam perubahan di masyarakat yang diakibatkan oleh masuknya berbagai macam budaya baru dari luar negeri ke Indonesia. Melalui pendidikan multikultural yang memperkenalkan budaya asli kepada peserta didik diharapkan agar peserta didik tidak melupakan asal budayanya sendiri. Namun demikian, pendidikan multikultural tidak hanya dipelajari dalam pendidikan normal saja. Melainkan pendidikan multikultural itu harus dipelajari oleh masyarakat luas, secara non formal melalui berbagai macam diskusi, presentasi. Agar dapat terciptanya masyarakat Indonesia yang tentram dan damai. DAFTAR PUSTAKA Fay, Brian. 1996. Contemporary Philosophy of Social Sience: A Multicultural Approach. Oxrofd:Backwell. Freire, Paulo. 2000. Pendidikan Pembebasan. Jakarta: LP3S. Hernandez, Hilda. 2002. Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content. New Jersey & Ohio: Prentice Hall.
  • 8. Media Indonesia, Rabu, 08 September 2008. Munib, Achmad. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press. [1] Paulo Freire, Pendidikan Pembebasan (Jakarta: LP3S, 2000). [2] Choril Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 191-196) [3] Hilda Hernandez, Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content (New Jersey & Ohio: Prentice Hall, 2002) [4] Munib, Achmad, Pengantar Ilmu Pendidikan. (Semarang: Unnes Press, 2009, hal. 100) [5] Media Indonesia, Rabu, 08 September 2008. [6] Fay, Brian, Contemporary Philosophy of Social Sience: A Multicultural Approach (Oxrofd:Backwell,1996, hal. 203). MEWUJUDKAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA (SEBUAH KAJIAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI BERBAGAI NEGARA) Posted by pandib10 on Desember 1, 2013 Posted in: ILMU PENDIDIKAN. Tinggalkan komentar Oleh: Afandi Pendahuluan Sedikitnya selama tiga dasawarsa terakhir, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang bagi umat manusia. Di Indonesia sendiri, konflik kekerasan yang melibatkan suku, agama, ras dan golongan (SARA) masih sering terjadi. Berbagai peristiwa berdarah seperti di ambon, poso, sampit, sambas dan berbagai daerah lainnya memberikan gambaran betapa rentannya gesekan yang terjadi akibat adanya perbedaan pandangan, pola hidup dan gesekan kebudayaan antara masyarakat mayoritas dan minoritas. Rapuhnya kehidupan berbangsa dan bernegara serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia saat ini mendorong munculnya gerakan pengakuan dan persamaan akan keragaman budaya serta eksistensinya di dalam masyarakat yang dikenal dengan istilah multikulturalisme. Secara sederhana multikulturalisme dapat dipahami sebagai sikap bagaimana masing-masing kelompok bersedia untuk menyatu (integrate) tanpa mempedulikan keragaman budaya yang dimiliki. Mereka semua melebur, sehingga pada akhirnya ada proses “hibridisasi” yang
  • 9. meminta setiap individu untuk tidak menonjolkan perbedaan masing-masing kultur (Ramly, 2005). Sebuah kesadaran akan pentingnya multikulturalisme tersebut hanya dapat berkembang dengan baik apabila secara terus-menerus dilatihkan dan dididikkan pada generasi-generasi selanjutnya melalui pendidikan. Dengan pendidikan, sikap saling menghargai terhadap perbedaan akan berkembang bila generasi penerus dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain. Oleh karena pendidikan multicultural sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai konflik horizontal, seperti keragaman suku, ras dan agama serta konflik vertical seperti tingkat pendidikan, ekonomi dan sosial budaya bangsa Indonesia. Peran pendidikan di dalam multikulturalisme hanya dapat dimengerti di dalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan meliputi disiplin-disiplin yang lain seperti agama, social science, antropologi, sosiologi dsb. Dengan demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah teknis pendidikan belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta pengembangan yang meminta partisipasi antar disiplin. Pendidikan multikultural dapat dijadikan sarana untuk mengikis perbedaan-perbedaan yang dapat menjadi buah bagi adanya perpecahan. Berdasarkan fakta-fakta tersebut mendorong penulis memilih topic ”Mewujudkan Pendidikan Multikultural di Indonesia: Sebuah Kajian Pendidikan Multikultural di Berbagai Negara” Multikulturalisme Secara epistemologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya) dan isme (aliran/paham). Menurut Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azra, 2007). Parekh (2000) membedakan lima macam bentuk multikulturalisme yaitu: Multikulturalisme isolasionis yang mengacu kepada masyarakat di mana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain. Contoh kelompok ini, seperti masyarakat yang ada pada sistem “millet” di Turki Usmani atau masyarakat ”Amish” di AS. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya. Di Indonesia, multikulturalisme isolasionis dapat ditemui pada masyarakat Madura di Kalimantan. Multikulturalisme akomodatif, masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas.
  • 10. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum dan ketentuan-ketentuan sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka, sebaliknya kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Model ”multikulturalisme akomodatif” ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa lain. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Fokus pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok dapat eksis sebagai mitra sejajar. Jenis multikulturalisme ini didukung misalnya oleh kelompok Quebecois di Kanada, dan kelompok-kelompok Muslim imigran di Eropa, yang menuntut untuk dapat menerapkan syari`ah, mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam, dan sebagainya. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelompok budaya dominan tentu saja cenderung menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa untuk menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-kelompok minoritas. Itulah kelompok-kelompok minoritas menantang kelompok kultur dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi penciptaan secara bersama-sama sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara genuine. Jenis multikulturalisme, sebagai contoh, diperjuangkan masyarakat Kulit Hitam di Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain. Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapuskan ”batas-batas kultural” sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu dan sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimen- eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Para pendukung multikulturalisme jenis ini yang sebagian besar adalah intelektual diasporik dan kelompok-kelompok liberal yang memiliki kecenderungan postmodernist dan memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas. Pendidikan Multikultural Dimensi pendidikan multikultural memiliki perbedaan dengan pendidikan kebudayaan. Seringkali orang terjebak pada rumusan-rumusan peristilahan tampa tau asal-muasalnya sehingga memperoleh definisi yang berbeda dengan tujuan pendidikan multikultural itu sendiri. Seringkali orang terjebak pada mencari-cari rumusan kultur itu apa, dan multikultur itu apa, lalu pendidikan multikultur disimpulkan daripadanya. Dengan kata lain, disimpulkanlah bahwa pendidikan multikultur itu sebagai upaya mengajarkan berbagai macam kultur Indonesia, mulai dari bahasa, lagu, pakaian, dsb. Sehingga konsep dasar pendidikan multikultural itu sendiri menjadi bias dan tidak mencapai tujuan yang diharapkan.
  • 11. Pendidikan multikultural itu awalnya merupakan gerakan reformasi pendidikan di Amerika Serikat dalam rangka meniadakan (setidaknya mengurangi) diskriminasi rasial dan etnis serta kultur yang melekat padanya, dan berupaya agar semua orang bisa memperoleh kesempatan yang setara untuk mendapatkan pendidikan. Menurut Banks (2002) pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok, maupun negara. Menurut HAR Tilaar (2004), pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan kesadaran tentang ”interkulturalisme” seusai PD II. Kemunculan gagasan dan kesadaran ”interkulturalisme” ini, selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme dan diskriminasi rasial, juga meningkatkan pluralitas di negara-negara barat sendiri akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka di Amerika dan Eropa. Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa yang memuat 3 pesan utama yakni: Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara. Keadilan sosial, persamaan pendidikan, dan dedikasi menjadi landasan pendidikan multikultural dalam memfasilitasi pengalaman pendidikan agar semua siswa dapat mewujudkan semua potensinya secara penuh dan menjadikannya sebagai manusia yang sadar dan aktif secara lokal, nasional, maupun global. Sehingga pendidikan multikultural dapat dikatakan sebagai suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa. Sebagai suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa, Menurut Banks (2002) pendidikan multikultural setidaknya harus memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut : Pendidikan multikultural adalah gerakan politik yang bertujuan menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat tanpa memandang latar belakang yang ada. Pendidikan multikultural mengandung dua dimensi: pembelajaran (kelas) dan kelembagaan (sekolah) dan antara keduaanya tidak bisa dipisahkan, tetapi justru harus ditangani lewat reformasi yang komprehensif.
  • 12. Pendidikan multikultural menekankan reformasi pendidikan yang komprehensif dapat dicapai hanya lewat analisis kritis atas sistem kekuasaan untuk dapat dilakukan reformasi komprehensif dalam pendidikan. Tujuan pendidikan multikultural adalah menyediakan bagi setiap siswa jaminan memperoleh kesempatan guna mencapai prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang baik untuk seluruh siswa, tanpa memandang latar belakangnya. Lebih lanjut Banks (2002) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: Dimensi pertama (Contents Integration), yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu. Dimensi kedua (The Knowledge Construction Process), yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Dimensi ketiga (An Equity Paedagogy), yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya (culture) ataupun sosial (social). Dimensi keempat (Prejudice Reduction), yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa yang menentukan metod pengajaran mereka. Dimensi kelima yakni melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif. Oleh karena itu, pendidikan multikultural bertujuan memperluas bukan hanya toleransi terhadap budaya yang berbeda, tetapi lebih jauh dari itu adalah mengembangkan mutual respect. Pelaksanaan konsep ini memerlukan pengalaman kelompok yang dibangun dengan memperhatikan pemahaman yang pada gilirannya menjadi sikap yang relatif stabil dan konsisten. Sudah barang tentu proses ini memerlukan waktu dan usaha pemeliharaan yang harus menjadi perhatian para guru. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa belajar bukan hanya terjadi pada aras (level) perilaku, tetapi juga terjadi secara internal pada aras abstrak, misalnya pada keyakinan terhadap asumsi dasar perilaku itu. Pendidikan Multikultural di Berbagai Negara Pendidikan Multikultural di Kanada Kanada menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan kebijakan multicultural pada tahun 1971. Multikulturalisme di kanada ini diawali ratusan tahun yang lalu dengan kedatangan penduduk asli kanada dari Asia dengan melewati gunung-gunung es untuk mencapai Amerika Utara. Setelah menetap penduduk tersebut menyebar ke berbagai Negara yang mengawali beragamnya bahasa dan kebudayaan di Kanada. Kemudian datangnya orang-orang Eropa yang diawali oleh prancis dan kemudian disusul oleh Ingris. Inilah yang mengawali kekayaan akan kebahasaan dan kebudayaan yang ada di Kanada. Lalu pada abad ke 18, Inggris yang berada di USA kalah dalam revolusi Amerika dan mereka diusir menuju ke British North America (Kanada) (Deviani, 2013). Saat ini pertumbuhan penduduk Kanda dapat diidentifikasi atas empat kelompok yakni:
  • 13. Etnis asli ada sekitar 50 jenis dengan berbagai bahasa yang hidup secara nomaden sebagai pemburu dan petani. Etnis Perancis pada abad 16 sampai 18 masuk sebagai penjajah dan pedagang karena perdagangan bulu binatang. Percampuran etnis Perancis dengan penduduk asli Indian melahirkan penduduk Metis. Kedatangan Inggris setelah Treaty of Paris (1763) yang ditambah etnis Perancis yang terlibat Perang Kemerdekaan Amerika 1776. Imigran dari Eropa (terutama Belanda, Ukraina dan Jerman) dan Asia (Jepang, India, Cina) dilatar belakangi kebutuhan pekerja di propinsi tengah dan barat. Kanada dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki jumlah kultur penduduknya paling banyak di dunia. Keadaan di Kanada ini sangat terbuka, saling menghormati dan damai untuk para imigran dan pendatang lainnya. Pada tahun 1971, pemerintah federal kanada meluncurkan kebijakan mengenai multikulturalisme di kanada. Kebijakan ini membuat semua orang di Kanada dipaksa untuk menerima perbedaan dan mengajak seluruh imigran untuk ikut berpartisipasi dalam hidup yang setara dan bermasyarakat di Kanada. Sebenarnya yang menyebabkan dikeluarkannya kebijakan ini adalah faktor ketika pada pertengahan 1960, terjadi banyak masalah antara hubungan Inggris dan Prancis di Kanada. Sesudah PD II terjadi banjir imigran dari Italia, Jerman, Belanda dan Polandia. Pada tahun 1960-an terjadi perkembangan ekonomi Kanada yang membutuhkan tenaga terdidik untuk memenuhi kebutuhan metropolitan. Toronto menjadi pusat konsentrasi imigran asing. Berbeda dengan AS yang menerapkan politik asimilasi, pemerintah liberal Kanada menerapkan politik multikulturalisme yang memberlakukan status yang sama untuk bahasa Perancis dan Inggris sebagai bahasa resmi. Pada tahun 1972 didirikanlah Direktorat Multikultural di dalam lingkungan Departemen Luar Negeri untuk memajukan cita-cita multikultural, integrasi social, dan hubungan positif antar ras. Upaya tersebut melahirkan Canadian Multiculturalism act (1988) yang isinya antara lain : Alokasi dana untuk memajukan hubungan harmonis antar ras, Memperluas saling pengertian kebudayaan yang berbeda, Memelihara budaya dan bahasa asli, Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi, dan Pengembangan kebijakan multikultural di semua kantor pemerintah federal. Kanada merupakan negara pertama yang memberikan pengakuan legal terhadap multikulturalisme. Sekalipun kebijakan multikultural merupakan kebijakan federal, namun masing-masing negara bagian melaksanakan kebijakan sesuai dengan kebutuhannya. Kebijakan multikultural dimasukkan dalam bentuk yang berbeda-beda di dalam program sekolah, penataran guru. Kurikulum dikaji ulang untuk dilihat hal-hal yang mengandung stereotipe dan prasangka antar etnis. Demikian pula di dalam pendidikan oleh Ontario Heritage Language Programme yang didirikan tahun 1977 memberikan bantuan terhadap pengajaran bahasa etnis yang bermacam-macam sesudah jam resmi sekolah. Guru diberikan
  • 14. penataran untuk menyebarluaskan sumber-sumber yang bebas dari prasangka, terutama kelompok kulit berwarna (black population). Di propinsi Manitoba, Alberta dan Saskacthewan sekolah diijinkan memberikan bahasa di luar bahasa Inggris dan Perancis sampai 50 % dari jumlah jam di sekolah. Kebijakan ini diterima dengan baik oleh kelompok imigran, terutama imigran Ukraina dan Jerman. Sejak 1993, beberapa dewan pendidikan seperti Vancouver School Board melaksanakan penataran guru-guru untuk Pendidikan Multikultural, mendirikan komite penasehat untuk hubungan rasial, serta melembagakan hubungan rasial di distrik sekolah. Secara terinci Magsino (dalam Tilaar, 2004) mengidentifikasi 6 jenis model Pendidikan Multikultural: Pendidikan “emergent society”. Model ini merupakan suatu upaya rekonstruksi dari keanekaan budaya yang diarahkan kepada terbentuknya budaya nasional. Pendidikan kelompok budaya yang berbeda. Model ini merupakan suatu pendidikan khusus pada anak dari kelompok budaya yang berbeda. Tujuannya adalah memberikan kesempatan yang sama dengan mengurangi perbedaan antara sekolah dan keluarga, atau antara kebudayaan yang dikenalnya di rumah dengan kebudayaan di sekolah. Model ini bertujuan membantu anak untuk menguasai bahasa resmi serta norma dominan dalam masyarakat. Pendidikan untuk memperdalam saling pengertian budaya. Model ini bertujuan untuk memupuk sikap menerima dan apresiasi terhadap kebudayaan kelompok yang berbeda. Model ini merupakan pendekatan liberal pluralis yang melihat perbedaan budaya sebagai hal yang berharga dalam masyarakat. Di dalam kaitan ini, pendidikan multikultural diarahkan kepada memperkuat keadilan sosial dengan menentang berbagai jenis diskriminasi dan etnosentrisme. Pendidikan akomodasi kebudayaan. Tujuan model ini adalah mempertegas adanya kesamaan dari kelompok yang bermacam-macam. Mengakui adanya partikularisme dengan tetap mempertahankan kurikulum dominan. Pendidikan “accomodation and reservation” yang berusaha untuk memelihara nilai-nilai kebudayaan dan identitas kelompok yang terancam kepunahan. Pendidikan multikultural yang bertujuan untuk adaptasi serta pendidikan untuk memelihara kompetensi bikultural. Model ini mengatasi pendekatan kelompok spesifik, identifikasi dan mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi secara cross-cultural dengan mendapatkan pengetahuan tentang bahasa atau kebudayaan yang lain Pengalaman di Kanada menunjukkan bahwa isi budaya (cultural content) di dalam kurikulum sekolah menempati urutan kedua, sedangkan yang utama adalah bagaimana mencapai kemajuan akademis. Pendidikan Multikultural di Kanada tergantung di mana pendidikan multietnis itu berada di dalam kerangka struktur ekonomi, politik, dan sosial masyarakatnya. Pendidikan Multikultural di Amerika Pendidikan di AS pada mulanya hanya dibatasi pada migran berkulit putih, sejak didirikan sekolah rendah pertama tahun 1633 oleh imigran Belanda dan berdirinya Universitas Harvard di Cambridge, Boston tahun 1636. Baru pada tahun 1934 dikeluarkan Undang Undang Indian Reservation Reorganization Act di daerah reservasi suku Indian. Tujuan pendidikannya
  • 15. adalah proses Amerikanisasi. Suatu kelompok etnis atau etnisitas adalah populasi manusia yang anggotanya saling mengidentifikasi satu dengan yang lain, biasanya berdasarkan keturunan (Phierquinn, 2013). Pengakuan sebagai kelompok etnis oleh orang lain seringkali merupakan faktor yang berkontribusi untuk mengembangkan ikatan identifikasi ini. Kelompok etnis seringkali disatukan oleh ciri budaya, perilaku, bahasa, ritual, atau agama. Kemudian pendidikan multikultural di Amerika Serikat mulai mencuat kembali sekitar tahun 1960-an, lewat sebuah gerakan reformasi yang ditujukan pada perubahan pendidikan yang selama ini melakukan tindak diskriminasi terhadap masyarakat “minoritas,” yaitu masyarakat yang berada di luar “white-male-Protestant-Anglo Saxon (WMPA).” Gerakan pendidikan multikultural itu adalah gerakan untuk mereformasi lembaga-lembaga pendidikan agar memberikan peluang yang sama kepada setiap orang, tanpa melihat asal-usul etnis, budaya, dan jenis kelaminnya, untuk sama-sama memperoleh pengetahuan, kecakapan (skills), dan sikap yang diperlukan untuk bisa berfungsi secara efektif dalam negara-bangsa dan masyarakat dunia yang beragam etnis dan budaya (Banks, 2002). Menghilangkan diskriminasi sebagai salah satu tujuan utama gerakan pendidikan multikultural itu dengan tegas dinyatakan Banks sebagai berikut. Latar belakangnya adalah adanya pengalaman pahit kelompok-kelompok etnis Afro-Amerika, Pribumi Amerika, Asia- Amerika, dan Latino-Amerika yang pernah dan masih sedang menjadi korban diskriminasi, bukan saja dalam kehidupan kemasyarakatan, melainkan juga secara legal kelembagaan (dalam undang-undang pun terdiskriminasikan). Terdapat empat jenis dan fase perkembangan pendidikan multikultural di Amerika (Banks, 2002), yaitu: Pendidikan yang bersifat segregasi yang memberi hak berbeda antara kulit putih dan kulit berwarna terutama terhadap kualitas pendidikan; Pendidikan menurut konsep salad bowl, di mana masing-masing kelompok etnis berdiri sendiri, mereka hidup bersama-sama sepanjang yang satu tidak mengganggu kelompok yang lain; Konsep melting pot, di dalam konsep ini masing-masing kelompok etnis dengan budayanya sendiri menyadari adanya perbedaan antara sesamanya. Namun dengan menyadari adanya perbedaan-perbedaan tersebut, mereka dapat membina hidup bersama. Meskipun masing- masing kelompok tersebut mempertahankan bahasa serta unsur-unsur budayanya tetapi apabila perlu unsur-unsur budaya yang berbeda-beda tersebut ditinggalkan demi untuk menciptakan persatuan kehidupan sosial yang berorientasi sebagai warga negara as. Kepentingan negara di atas kepentingan kelompok, ras, dan budaya Pendidikan multikultural melahirkan suatu pedagogik baru serta pandangan baru mengenai praksis pendidikan yang memberikan kesempatan serta penghargaan yang sama terhadap semua anak tanpa membedakan asal usul serta agamanya. Studi tentang pengaruh budaya dalam kehidupan manusia menjadi sangat signifikan. Studi kultural membahas secara luas dan kritis mengenai arti budaya dalam kehidupan manusia
  • 16. Pendidikan Multikultural di Australia Kedatangan bangsa kulit putih di benua Australia telah membawa implikasi-implikasi terhadap tatanan tradisional etnik pemukim asli. Kegiatan eksploitasi terhadap sumber kekayaan alam yang berlangsung kemudian telah memunculkan perubahan-perubahan besar dalam berbagai lapangan kehidupan. Dengan dibukanya ladang-ladang emas di daerah-daerah pertambangan seperti di Victoria, New South Wales dan Australia Barat, telah meningkatkan taraf perekonomian masyarakat. Dampak penemuan emas ini ternyata juga berpengaruh pada peningkatan imigran yang datang ke Australia, seperti dari Cina, Asia, Jepang dll. Dengan demikian pertumbuhan penduduk semakin meningkat pesat. Akibat dari ini semua adalah timbulnya perpecahan dikalangan masyarakat, terutama antar ras, seperti pengalaman- pengalaman di beberapa tambang Victoria pada tahun 1957. Multikulturalisme, kemudian menjadi gagasan yang muncul untuk mengatasi heterogenitas etnis yang terdiri dari berbagai etnis dengan latar belakang budaya yang berbeda. Upaya untuk penyatuan pola budaya ini semula sudah dirintis melalui gagasan assimilasi dan integrasi dalam rangka mencegah perpecahan antar etnis di Australia. Gagasan multikulturalisme yang kemudian diperkenalkan, dalam konteks yang sesungguhnya adalah legitimasi hak atas berkembangnya berbagai kultur di Australia secara sama. Namun dalam prakteknya gagasan multikulturalisme ini hanya menekankan aspek kultural semata tanpa dibarengi dengan pandangan yang sama terhadap kesempatan kerja. Sehingga, gagasan ini, oleh sementara pihak hanya dianggap sebagai upaya radikal untuk mempromosikan kepentingan etnis tertentu saja. Pada akhir tahun 1940an, ketika Australia membuka pintunya terhadap para imigran-imigran non British dan mengizinkan mereka tinggal dan menetap, beberapa persyaratan ditetapkan untuk mengasimilasikan mereka agar menjadi warga Australia yang sesungguhnya dan dapat melupakan kebudayaan asli mereka. Ketika imigran-imigran pertama yang berasal dari Itali dan Greek pada akhir tahun 1940 masuk ke Australia, mereka mengalami diskriminasi rasial dari orang-orang Inggris dan Irlandia. Para imigran ini mencoba untuk menguasai bahasa Inggris serta meniru pola hidup orang Australia. Ini dianggap suatu cara asimilasi yang kemudian sangat bermanfaat ketika kebijakan White Australia, namun tidak demikian halnya dengan asimilasi untuk imigran dari Asia dan Afrika karena perbedaan fisik mereka dengan orang Australia sangat menonjol . Pada tahun 1966 pemerintah Australia mengubah kebijaksanaan imigrasi yang memungkinkan orang-orang non-Eropa dapat memperoleh izin untuk tetap tinggal di Australia, namun ketika pada tahun 1970an masuk para imigran dari Asia, ternyata mereka tidak disambut dengan hangat oleh masyarakat Australia, karena, disamping perbedaan fisik yang sangat menonjol, juga latar balakang budaya dan pola hidup yang sangat berbeda. Kenyataan inilah yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan asimilasi pada dasarnya tidak bermanfaat banyak bagi para imigran Asia dan Afrika hitam.
  • 17. Ketika Gough Withlam terpilih sebagai perdana menteri Australia pada tahun 1972, ia mencoba untuk menghapuskan konsep asimilasi berdasarkan white Australia untuk kedamaian dan kesejahteraan negara dan atas nama kebenaran. Untuk upaya ini ia mengangkat Al Grassby sebagai Menteri Imigrasi dan kepala Komisi Hubungan Masyarakat. Withlam menyediakan pendidikan bahasa Inggris untuk para imigran dalam rangka membantu mereka dalam pergaulan sehari-hari. Melalui pemerintahan Withlam konsep multikulturalisme diperkenalkan sebagai tindakan konstruktif untuk pencapaian identitas baru masyarakat Australia. Pada tahun 1978 Galbally Report menyarankan prinsip-prinsip dasar kebijaksanaan multikulturalisme yang sampai saat ini masih diperpegangi. Pertama, ditekankan agar kesempatan yang sama harus diberikan kepada semua orang untuk merealisasikan potensinya. Kedua, setiap orang harus dapat menjaga kebudayaan mereka tanpa mengalami prasangka apapun. Ketiga, kursus-kursus dan pelayanan-pelayanan khusus harus dipersiapkan untuk para imigran sambil kebutuhan jangka pendek mereka diberikan. Keempat, Semua program yang dibentuk untuk para imigran harus dengan konsultasi para imigran tersebut. Pada tahun 1987, Hawke mendirikan Office of Multicultural Affair (OMA) dan berada di bawah Departemen Perdana Menteri. Melalui Badan ini dikembangkan konsep-konsep multikulturalisme secara lebih mendalam dan menekankan batasan-batasan konsep itu serta ide Australia sebagai suatu unsur unifikasi. Dengan begitu imigran-imigran diharapkan memberikan loyalitasnya terhadap Australia. Bahkan OMA, melalui agenda nasionalnya menjelaskan dan mempertajam defenisi multikulturalisme sebagai suatu istilah yang menggambarkan diversitas budaya dan etnik dalam Australia Baru (Londom dalam Shamad, 2009). Tiga acuan yang dirumuskan Hawke dalam membatasi konsep multikulturalisme, yaitu : pertama, semua orang boleh mengekspressikan warisan kebudayaan nenek moyang mereka, asalkan tidak bertentangan dengan hukum yang ada. Kedua, semua masyarakat Australia berhak atas keadilan sosial tanpa melihat warna kulit, bahasa, agama serta keturunan, dan ketiga, effesiensi ekonomi yang mengandung keperluan untuk meneruskan dan mengembangkan serta menggunakan semua potensi-potensi komunitas baru Australia. Sebagaimana telah dikemukakan, munculnya gagasan multikulturalisme di Australia didorong oleh berbagai motivasi, salah satunya yang terpenting adalah karena terus mengalirnya para imigran dari negara-negara tetangga Asia, namun kebijaksanaan ini memunculkan reaksi-reaksi dari kalangan Anglo-Australian yang ingin mempertahankan bentuk masyarakat yang homogen. Menurut mereka, dengan diterapkannya kebijaksanaan ini, berarti terancamnya hegemoni unsur-unsur kebudayaan Anglo di Australia. Yang lebih ekstrim lagi adalah pandangan mereka bahwa multikulturalisme telah menghancurkan kebudayaan nasional. Keluhan-keluhan seperti ini secara tidak langsung telah mendorong munculnya perasan dislokasi, bahkan menumbuhkan gejolak rasisme, terutama di kalangan orang-orang Anglo Australia yang merasa kehilangan hegemoni identitas dan kebudayaan.
  • 18. Di kalangan imigran juga muncul berbagai reaksi atas kebijakan multikulturalisme karena dalam prakteknya multikulturalisme menekankan pada etnisitas. Banyak kalangan yang menganggap bahwa multikulturalisme sebagai semboyan kosong yang justru bersifat rasisme struktural terutama terlihat dari prilaku ekonomi dan pasar tenaga kerja. Kenyataan kontradiktif pelaksanaan kebijakan multikulturalisme juga terlihat dari kelompok masyarakat asli “Aborigin”. Pengalaman- pengalaman pahit yang dialami oleh penduduk asli ini semenjak mereka kehilangan tanah-tanah mereka seperti white Australian policy, assimilasi, hingga multikulturalisme, menjadikan mereka kehilangan kepercayaan terhadap negara dan pemerintahan Australia sendiri. Mereka merasa bahwa berbagai kebijakan yang diterapkan tidak lain hanyalah upaya kontrol sosial terhadap kebudayaan mereka. Posisi Aborigin pada akhirnya merupakan dilema tersendiri dalam kebijakan multikulturalisme. Oleh karena itu di tingkat birokrasi dibentuk Aboriginal Reconsiliation Council yang bekerja sama dengan The National Multicultural Advisory Council. Di sini, penekanan diberikan kepada ‘cultural diversity’ dari pada multikulturalisme, dengan harapan hal ini akan lebih mudah diterima. Namun yang paling dirasakan dalam penerapannya ialah tidak adanya upaya anti rasisme yang serius, terutama dalam mengatasi diskriminasi rasial yang berlaku dalam segala tingkatan masyarakat. Mewujudkan Pendidikan Multikultural di Indonesia Untuk membangun bangsa ke depan, diperlukan upaya untuk menjalankan asas gerakan multikulturalisme menjadi sebuah tujuan bangsa dalam masyarakat yang plural. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Sebelum lanjut, dalam konteks implementasinya di Indonesia, pendidikan multilkultural itu dapat dilihat atau diposisikan sebagai berikut, (Amirin, 2012): Sebagai falsafah pendidikan; yaitu pandangan bahwa kekayaan keberagaman budaya Indonesia hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengembangkan dan meningkatkan sistem pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar di Indonesia guna mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (berbarkat) dan bahagia dunia akhirat. Sebagai pendekatan pendidikan; yaitu penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan yang kontekstual, yang memperhatikan keragaman budaya Indonesia. Bidang kajian dan bidang studi; yaitu disiplin ilmu yang—dibantu oleh sosiologi dan antropologi pendidikan, menelaah dan mengkaji aspek-aspek kebudayaan, terutama nilai-nilai budaya dan perwujudannya (norma, etiket atau tatakrama, adat-istiadat atau tradisi dan lain- lain—mencakup “manifestasi budaya” agama) untuk/dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan. Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia merupakan counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Model pendidikan multikultural bukanlah sebuah formalitas yang sekedar
  • 19. merevisi materi pembelajaran tetapi lebih luas dari itu, pendidikan multikultural dituntut untuk dapat mereformasi sistem pembelajaran itu sendiri. Untuk mewujudkan hal tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski (dalam Mahfud, 2009), yang mencakup tiga jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat. Pada kegiatan transformasi diri, pendidikan multikultural harus dapat mengarahkan peserta didik untuk dapat mengubah mindset mereka akan pandangan etnosentrisme yang sempit menjadi pandangan multikultralisme sebagai sebuah keniscayaan yang menjadi anugerah tuhan YME. Pada kegiatan transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, pendidikan multikultural haruslah menjadi prioritas utama dalam membangun kebersamaan diantara berbagai perbedaan. Guru sebagai fasilitator dituntut untuk dapat mengarahkan peserta didik kedalam bentuk-bentuk pembelajaran yang memungkinkan terjadinya hubungan dialogis yang harmonis dalam mensikapi adanya perbedaan kultur, agama dan budaya. Pada kegiatan transformasi masyarakat, harus tercipta sebuah tatanan masyarakat yang mengutamakan sebuah interaksi yang selaras dan seimbang dalam mensikapi adanya perbedaan. Masyarakat haruslah melebur ke dalam sebuah tatanan masyarakat kosmopolitan yang tidak lagi memandang dominansi suatu kelompok terhadap kelompok lain, sikap antipati dalam berinteraksi dengan kelompok lain dan saling menghargai akan adanya perbedaan dalam stuktur sosial masyarakat. Dalam mewujudkan pendidikan multikultural di Indonesia, menurut Kurmaryani (tanpa tahun) setidaknya terdapat 4 hal utama yang perlu di tekankan antara lain: Pertama, model kurikulum yang dapat digunakan dalam pendidikan multicultural di Indonesia haruslah mencermikan nilai-nilai budaya Indonesia. Kurikulum yang disusun tersebut harus dapat mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan dan keterampilan “hidup” dalam masyarakat yang multicultural, seperti: terampil bernegosiasi, mengemukakan dan menghadapi perbedaan, resolusi konflik, cooperative learning dan problem solving yang diharapkan dapat meningkatkan internalisasi nilai-nilai kebudayaan Indonesia di dalam kehidupan perserta didik. Kedua, guru juga memainkan peranan penting dalam mewujudkan pendidikan multikultural di Indonesia. Seorang guru yang mengajar melalui pendekatan multicultural harus “fleksibel”, karena untuk mengajar dalam multikultur seperti di Indonesia, pertimbangan “perbedaan budaya” adalah hal penting yang harus menjadi perhatian guru. Faktor-faktor seperti: membangun paradigma keberagamaan inklusif dan moderat di sekolah, menghargai keragaman bahasa, membangun sikap sensitive gender, membangun pemahaman kritis terhadap ketidakadilan dan perbedaan status social, membangun sikap anti diskriminasi etnis, menghargai perbedaan kemampuan dan menghargai perbedaan umur harus dikemas dalam ranah pembelajaran dan penyadaran di persekolahan, sehingga tercipta suatu paham untuk memahami dan menerima segala perbedaan yang ada pada setiap individu peserta didik dan pada akhirnya peserta didik diharapkan mampu memiliki karakter kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.
  • 20. Ketiga, proses pembelajaran yang dikembangkan harus menempatkan peserta didik pada kenyataan social di sekitarnya. Artinya, proses belajar yang mengandalkan peserta didik untuk belajar secara kelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi kompetitif yang positif. Dengan cara ini, perbedaan antar individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan peserta didik terbiasa hidup dengan berbagai keragaman budaya, social, ekonomi, intelektual dan aspirasi politik. Keempat, evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Asesmen kinerja, asesmen portofolio, asesmen rubric, pedoman obsevasi, pedoman wawancara, rating scale, skala sikap, cek-list, kuesioner dan lain sebagai sebagai alat penilaian yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pembelajaran yang menggunakan pendekatan multicultural. Penutup Pendidikan di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam ras, suku budaya, bangsa, dan agama dirasa penting untuk menerapkan pendidikan multikultural. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dengan masyarakat Indonesia yang beragam inilah seringkali menjadi penyebab munculnya berbagai macam konflik. Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka peran pendidikan yang berbasis multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan. Pendidikan multikultural di Indonesia hanya dapat dibangun melalui upaya-upaya yang berkesinambungan dan terpadu. eran dan dukungan dari guru/tenaga pengajar, institusi pendidikan, dan para pengambil kebijakan pendidikan lainnya, terutama dalam penerapan kurikulum dengan pendekatan multicultural. Guru dan institusi pendidikan (sekolah) perlu memahami konsep pendidikan multicultural dalam perspektif global agar nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan ini dapat diajarkan sekaligus dipraktekkan di hadapan para peserta didik, sehingga diharapkan melalui pengembangan pendidikan multicultural ini para peserta didik akan lebih mudah memahami pelajaran dan meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku humanis, pluralis dan demokratis. Daftar Pustaka Amirin, T.M. 2012. Implementasi Pendekatan Pendidikan Multikultural Kontekstual Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia. Jurnal Pembangunan dan Pendidikan. Vol 1: (1) Banks, J. A. 2002. An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn and Bacon.
  • 21. Deviani, H. 2013. Dinamika Multikulturalisme Kanada (1968-2006). htttp://heidistoria.blogspot.com. Online diakses 15 September 2013. Kusmaryani, Y. Tanpa tahun. Pendidikan Multikultural; Suatu Kajian Tentang Pendidikan Alternatif di Indonesia Untuk Merekatkan Kembali Nilai-nilai Persatuan, Kesatuan dan Berbangsa di Era Global. Online (12 September 2013) Mahfud, C. 2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ramly, N. 2005. Membangun Pendidikan Yang Memberdayakan dan Mencerahkan, Jakarta: Grafindo Parekh, B. 2000. Rethinking Multivulturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Cambridge: Havard University Press Phierquin. 2013. Perbandingan Multikulturalisme di Berbagai Negara. http://phierda.wordpress.com/ Online (diakses 15 September 2013) Shamad, I. 2009. Politik dan Kebudayaan Etnik : Multikulturalisme Versi Australia. http://irhashshamad.blogspot.com/ Online (diakses 15 September 2013) Suparlan, P. 2002. Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia. Jurnal Antropologi Indonesia. Vol 6 (1-12) Tilaar, HAR. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan Dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Kompas —————- 2004. Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: P.T Remaja Rosdakarya =================== Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia MARCH 11, 2013 | PHIERQUINN B. Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problema yang dihadapi oleh negara lain. Problem ini mencakup hal-hal kemasyarakatan yang akan dipecahkan dengan Pendidikan Multikultural dan problem yang berkaitan dengan pembelajaran berbasis budaya. Problem tersebut dapat dijadikan bahan pengembangkan Pendidikan Multikultural di Indonesia ini. Problema kemasyarakatan pendidikan multikultural di Indonesia antara lain: Keragaman Identitas Budaya Daerah Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada
  • 22. berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan rasa, misalnya peristiwa Sampit. Keragaman ini dapat digunakan oleh provokator untuk dijadikan isu yang memancing persoalan. Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui Pendidikan Multikultural. Adanya Pendidikan Multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi. Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orde baru, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi. Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan. Konsep “putra daerah― untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus menerus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra daerah dan pendatang. Konsep pembagian wilayah menjadi propinsi atau kabupaten baru yang marak terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung.
  • 23. Kurang Kokohnya Nasionalisme Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (“integrating force―) seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan. Pada masa Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi, sehingga ketika Orde Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Bangsa Indonesia sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini. Fanatisme Sempit Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan, namun yang salah yaitu fanatisme sempit, yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini justru tidak sehat. Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini. Kecintaan dan kebanggaan pada korps memang baik dan sangat diperluka, namun kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa. Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan
  • 24. Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan beradab. Kini, semua pihak yang bertikai sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama membangun daerah yang porak poranda akibat peperangan yang berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini. Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini, contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan multikultural yang terjadi akhir-akhir ini. Salah seorang panglima perang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap negara kesatuan RI telah mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya. Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi. Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas dua puluh ribu orang akan ikut terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini. Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpah kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggung dalam berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas ini. Keberpihakan yang Salah dari Media Massa, Khususnya Televisi Swasta dalam Memberitakan Peristiwa Di antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi
  • 25. dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan tertentu,yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir media massa dan tidak mendapat “hukuman yang setimpal― baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam itu sangat layak jual dan selalu mendapat perhatian publik, tetapi kalau terus-menerus diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus perceraian rumah tangga para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik yang negatif, sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi trend yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan. Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi tema sinetron karena dapat mendidik orang untuk terlalu mengagungkan materi dan menghalalkan segala cara. Begitu juga tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan modus kejahatan baru atau pun iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi orang melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Televisi dan media massa harus membantu memberi bahan tontonan dan bacaan yang mendidikkan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan membaca koran sudah menjadi tradisi yang kuat di negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan sekedar menjadi tontonan. Ketika penggusuran gubuk liar yang memilukan ditampilkan dalam bentuk tangisan yang memilukan seorang anak atau orang tua yang dipadukan dengan tindakan aparat yang menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan adalah para preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong praja. Ironi itu nampak bila yang disorot yaitu tangisan bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di lengan atau di punggung. Peristiwanya adalah penggusuran gubuk liar, tetapi simbol yang digunakan berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan dan putus asa. Tato sering dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan tindakan pemalakan. Televisi sangat mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai peristiwa. Hasanah (2011) mengemukakan beberapa masalah utama pendidikan di Indonesia antara lain: 1. Mahalnya Biaya pendidikan Masalah utama pendidikan di Negeri ini yaitu mahalnya biaya pendidikan. “Pendidikan bermutu itu mahal― Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan dari Taman Kanak- Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT). Hal inilah yang kemudian banyak memunculkan fenomena putus sekolah di kalangan anak-anak Indonesia. Jangankan untuk sekolah Swasta, Untuk sekolah negeri pun, biaya pendidikanya tetap tinggi. Opsi bantuan BOS yang diberikan oleh pemerintah pun masih belum bisa mengatasi masalah mahalnya biaya pendidikan ini.
  • 26. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah―. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. 2. Rendahnya Kualitas Sarana dan prasarana pendidikan Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka proses pendidikan tidak dapat berlangsung secara efektif. Akhir-akhir ini sudah banyak terdengar berita tentang sekolah roboh, atau sekolah rusak karena bangunanya yang sudah lapuk namun tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Inilah salah satu bukti betapa rendahnya kualitas sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia. 3. Ketidak Jelasan Tujuan Pendidikan Dalam undang-undang nomor 4 tahun l950, telah di sebutkan secara jelas tentang tujuan pendidikan dan pengajaran yang pada intinya, ialah untuk membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air berdasarkan pancasila dan kebudayaan kebangsaan Indonesia dst, namun dalam kenyataan yang terjadi terhadap tujuan pendidikan yang begitu ideal tersebut belum mampu menghasilakn manusia-manusia sebagaimana yang dimaksud dalam tumpukan kata-kata dalam rumusan tujuan pendidikan yang ada, bahkan terjadi sebaliknya, yakni terjadi kemerosotan moral, kehidupan yang kurang demokratis, terjadi kekacauan akibat konflik di masyarakat dan lain lain, hal ini merupakan suatu indikasi bahwa tujuan pendidikan selama ini belum dikatakan berhasil, mungkin disebabkan adanya ketidak jelasan atau kekaburan dalam memahami tujuan pendidikan yang sebenarnya. 4. Ketidak Serasian Kurikulum Kebanyakan kurikulum yang dipergunakan di sekolah-sekolah masih berisi tentang mata pelajaran-mata pelajaran yang beraneka ragam, sejumlah jam-jam pelajaran dan nama-nama buku pegangan untuk setiap mata pelajaran. Sehingga pengajaran yang berlangsung
  • 27. kebanyakan menanamkan teori-teori pengetahuan melulu, akibatnya para lulusan yang di hasilkan kurang siap pakai bahkan miskin ketrampilan dan tidak mempunyai kemampuan untuk berproduktifitas di tengah-tengah masyarakatnya, karena muatan kurikulum yang di terima di sekolah-sekolah memang tidak di persiapkan untuk menjadikan lulusan dari peserta didik untuk dapat mandiri dimasyarakatnya. 5. Ketiadaan Tenaga Pendidik Yang Tepat dan Cakap. Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara, misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang. Kurangnya jumlah guru ini jelas merupakan persoalan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan. Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin bertumpuk sehingga sangat berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan. Masih banyak di jumpainya suatu slogan yang berbunyi “tak ada rotan akarpun jadi― , menunjukkan suatu gambaran betapa rendahnya kualitas tenaga kependidikan yang ada, karena harus di pegang oleh tenaga-tenaga pendidikan yang bukan dari ahlinya. Padahal menugaskan dan mendudukkan seseorang sebagai pendidik yang tidak di bina atau dibekalinya ilmu kependidikan dan yang bukan dalam bidangnya, sangatlah menimbulkan kerugian yang sangat besar, diantaranya terjadinya pemborosan biaya, terjadinya pemerosotan mutu hasil pendidikan, lebih jauh lagi akan mempersiapkan warga masyarakat di masa mendatang dengan pribadi-pribadi yang memiliki kualitas rendah sehingga tak mampu bersaing dalam kehidupan yang serba problematis. Sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan. 6. Adanya Pengukuran Yang Salah Ukur Dalam masalah pengukuran terhadap hasil belajar yang sering di sebut dengan istilah ujian atau evaluasi, ternyata dalam prakteknya terjadi ketidak serasian antara angka-angka yang di berikan kepada anak didik sering tidak obyektif, di mana pencantuman angka-angka nilai yang begitu tinggi sama sekali tidak sepadan dengan mutu riil pemegang angka-angka nilai itu. Ketika mereka di terjunkan ke masyarakat, tidak mampu berbuat apa-apa yang setaraf dengan tingkat pendidikannya. Jelasnya tanpa adanya pengukuran yang obyektif dapat di pastikan tidak akan pernah terwujud tujuan pendidikan yang sebenarnya. Contoh lainnya yaitu pendidikan berorientasi hasil, nilai UN yang menjadi standar kelulusan. Siswa bisa dinyatakan lulus apabila telah memenuhi nilai minimal UN, tak peduli bagaimana
  • 28. hasil belajar siswa selama tiga tahun. Hasil akhir berupa Nilai UN menjadi harga mati bagi para siswa untuk bisa lulus namun tidak mengindahkan bagaimana cara mereka mendapatkan nilai itu. Setiap kali UN mau digelar, entah dari mana datangnya tiba-tiba saja tersebar bocoran jawaban UN padahal UN sendiri belum dilaksanakan. pendidikan kita tak peduli proses bagaimana mereka bisa mencapai hasil tapi lebih menyukai hasilnya. Pendidikan semacam ini sebenarnya secara tidak langsung mengajar pada siswa bahwa apapun cara selama bisa mencapai hasil yang baik maka itu sah-sah saja. Jadi, jangan salahkan siswa yang ketika sudah besar mendadak jadi koruptor karena mereka ‘sukses’ menimba ilmu tentang pendidikan hasil, apapun caranya yang penting bisa kaya. Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Salah satu prasarat untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera adalah lebih di tentukan oleh sejauh mana kuwalitas sumber daya masyarakatnya. Kwalitas suatu bangsa sangat di tentukan oleh peran serta mutu pendidikan yang di pergunakan oleh bangsa tersebut. Masyarakat yang berperadaban adalah masyarakat yang berpendidikan. Hasanah, U. 2011. Problematika Pendidikan di Indonesia. (Online). (http://ummu- hasanah.blogspot.com, diakses tanggal 23 Februari 2013). PROBLEMA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA A. Problema Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural di Indonesia Beberapa peristiwa budaya yang negatif dan sering muncul di tanah air seperti peristiwa di Poso, Ambon, Papua, Sampit, Aceh, Bali, Jakarta dan lain-lain ini disebabkan oleh problema kemasyarakatan sebagai berikut : 1. Keragaman Identitas Budaya Daerah Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun indonesia yang multikultural. Namun kondisi inilah yang sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi budayakonflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Dengan adanya pendidikan multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.
  • 29. 2. Pergeseran Kekuasaan dari pusat ke Daerah Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, indonesia dihadapkan kepada beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Satu diantaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat kedaerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keberagamannya. Kebudayaan, sebagai kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat merubah menjadi isuisu publik yang ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra daerah dan pendatang.Konsep pembagian wilayah menjadi provinsi atau kabupaten baru yang marak terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapat simpati dari warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini. Warga mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung. 3. Kurang Kokohnya Nasionalisme Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan “integrating force” seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati. Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin marak. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukan peranan pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan rasa nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini. 4. Fanatisme Sempit Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah asalah fanatisme sempit, yang menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Kecintaan dan kebanggaan memang baik dan sangat diperlukan. Namun kecintaan dan kebanggan itu bila ditunjukan dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif. Terjadiny perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat TNI yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakn contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi fanatisme ini berbaur dengan isu agama, maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa. 5. Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural Adanya tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, qt pernah mengalami konsep stabilitas nasional inii dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional
  • 30. ini bewrubah menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan beradab. Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang berada di jawa. 6. Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi. Orang akan lebih mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkis ketika himpitan ekonomi yang mendera meraka. Mereka akan menumpahkan kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala pengrusakan mobil-mobil mewah yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab dalam berbagai peristiwa di tanah air. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. 7. Keberpihakan yang salah dari Media Massa, khususnya televisi swasta dalam memberitakan peristiwa. Di antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi dengan tanggang jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media untuk kepentingan tertentu, yang justru dapat merusak budaya indonesia. Televisi dan media massa harus membantu memberi bahan tontonan dan bacaan yang mendidikan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan membaca koran sudah menjadi tradisi yangkuat di negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntutan, bukan tuntukan sekedar menjadi tontonan. Ketika penggusuran gubuk liar yang memilukan ditampilkan dalam bentuk tangisan yang memilukan seorang anak atau orang tua yang dipadukan dengan tindakan aparat yang menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan adalah para preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong praja. Ironi itu nampak bila yang disorot adalah tangisan bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di lengan atau di punggung. Peristiwanya adalah penggusuran gubuk liar, tetapi simbol yang digunakan berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan serta putus asa. Tato sering dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan tindakan pemalakan. Televisi sangat mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai peristiwa. Diposkan oleh Dedy Purwadi di 21.43 http://dedypurwadi.blogspot.co.id/2013/07/problema-pendidikan-multikultural-di.html
  • 31. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak lama, seluruh bangsa Indonesia selalu diingatkan agar selalu hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku bangsa, agama, ras dan anatar golongan. Kita diseru untuk mengerti, menghayati, dan melaksanakan kehidupan bersama demi tercapainya persatuan dan kesatuan sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Artinya kita selalu diingatkan untuk menghargai dan menghayati perbedaan SARA sebagai unsur utama yang mempersatukan bangsa ini dan bukan menjadi alasan terjadinya konflik. Kesadaran akan pentingnya kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap terlalu menekankan kesatuan daripada keragaman. Kemajemukan dalm banyak hal suku, agama, ras dan golongan seharusnya menjadi hasanah dan modal untuk memmbangun. Maka ketika konfilik bergejolak di daerah, negara seakan-akan menutupi realitas kemajemukan itu atas nama “kesatuan bangsa” atau “stabilisasi nasional”. Konflik sosial yang sering muncul sebagai akibat pengingkaran terhadap kenyataan kemajemukan dan penyebab adanya konflik sosial. Bertolak dari kenyataan ini, kita dirasakan semakin perlunya kebijakan multikultural yang memihak keragaman. Dari kebijakan itu nantinya diharapkan masyarakat dapat mengelola perbedaan yang ada disekitar dengan positif. Dengan demikian, perbedaan dalam beragam area kehidupan tidak memicu prasangka atau konflik, tetapi sebaliknya mendorong dinamika ke arah yang lebih baik. Penerapan pendidikan multikultural di Indonesia masih mengalami berbagai hambatan atau problem. Problem pendidikan multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problem yang dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi, sejarah dan kemajuan sosial ekonomi dapat menjadi pemicu munculnya problem pendidikan multikultural di Indonesia. Problem pendidikan multikultural di Indonesia secara garis besar dapat dipetakan menjadi dua hal, yaitu : problem kemasyarakatan pendidikan multikultural dan problem pembelajaran pendidikan multikultural. 1.2 Rumusan Masalah Apa saja Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia? 1.2 Tujuan Masalah 2. Untuk mendefinisi permasalahan awal dalam pembelajaran berbasisis budaya. 3. Untuk mengklarifikasi Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia. BAB II PEMBAHASAN
  • 32. 1.1 Permasalahan Awal dalam Pembelajaran Berbasisis Budaya Pendidikan multikultural yang akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan ternyata tidak terlepas dari berbagai problem yang menghambatnya. Selain problem kemasyarakatan, pendidikan multikultural juga tidak lepas dari problem dalam proses pembelajarannya. Dalam kerangka strategi pembelajaran, pembelajaran berbasis budaya dapat mendorong terjadinya proses imajinatif, metaforik, berpikir kreatif, dan sadar budaya. Namun demikian, penggunaan budaya lokal (etnis) dalam pembelajaran berbasis budaya tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terdapat dalam setiap komponen pembelajaran, sejak persiapan awal dan implementasinya. Beberapa permasalahan awal pembelajaran berbasis budaya (multikultural) pada tahap persiapan awal, antara lain : a) Guru kurang mengenal budayanya sendiri, budaya lokal maupun budaya peserta didik. b) Guru kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didiknya, terutama dalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkannya. c) Rendahnya kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat, ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya masing-masing dalam konteks budaya masing-masing serta dalam dimensi pengalaman belajar yang diperoleh. 2.2 Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia Pada kenyataannya berbagai dimensi dari keberagaman budaya Indonesia dapat menimbulkan masalah dalam proses pembelajaran, terutama dalam kelas yang budaya etnis peserta didiknya sangat beragam, antara lain : 2.2.1 Masalah seleksi dan integrasi isi (content selection and integration) mata pelajaran. Implementasi pendidikan mutikultural dapat terhambat oleh problem seleksi dan integrasi isi mata pelajaran yang akan diajarkan. Masalah yang muncul dapat berupa ketidakmampuan guru memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan topik mata pelajaran. Selain itu masih banyak guru yang belum dapat mengintegrasikan budaya lokal dalam mata pelajaran yang diajarkan, sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna bagi peserta didik. Untuk mengatasi problem di atas, guru harus memiliki pengetahuan budaya yang memadai. selain itu diperlukan sikap dan keterampilan yang bijaksana dalam memilih metode atau materi pelajaran yang mengandung sensivitas budaya, misalnya materi tentang perbedaan etnis atau agama. Guru juga dapat memberikan sentuhan warisan budaya sehingga dapat memotivasi peserta didik mendalami akar budayanya sendiri dan akan menghasilkan pembelajaran yang kuat bagi peserta didik. Guru juga dapat menggunakan teknik belajar kooperatif dan kerja kelompok untuk meningkatkan integrasi ras dan etnis di sekolah dan di kelas. 2.2.2 Masalah “proses mengkonstrusikan pengetahuan” (the knowledge construction process) Selain masalah seleksi dan integrasi isi mata pelajaran, masalah proses mengkonstruksi sebuah pengetahuan dapat menjadi problem bagi pendidikan mutikultural. Jika peserta didik terdiri dari berbagai budaya, etnis, agama, dan golongan dapat memunculkan kesulitan
  • 33. tersendiri untuk menyusun sebuah bangunan pengetahuan yang berlandaskan atas dasar perbedaan dan keragaman budaya. Seringkali muncul kesulitan dalam menentukan aspek budaya mana yang dapat dipilih untuk membantu peserta didik memahami konsep kunci secara tepat. Selain itu, guru juga masih banyak yang belum dapat menggunakan frame of reference dari budaya tertentu dan mengembangkannya dari perspektif ilmiah. Hal ini terkait kurangnya pengetahuan dari guru tentang keragaman budaya. Problem lain yang dapat muncul adalah munculnya bias dalam mengembangkan perspektif multikultur untuk mengkonstruksi pengetahuan. Kekhawatiran yang muncul adalah munculnya diskriminasi dalam pemberian materi pelajaran sehingga hanya memunculkan satu kelompok atau golongan tertentu yang menjadi pokok bahasan pembelajaran. 2.2.3 Masalah mengurangi prasangka (prejudice reduction) Salah satu masalah lain yang muncul dalam pembelajaran mutikultural adalah adanya prasangka dari peserta didik terhadap guru bahwa guru tertentu cenderung mengutamakan unsur budaya kelompok tertentu. Selain itu, guru belum dapat mengusahakan kerjasama (cooperation) dan pengertian bahwa strategi pemakaian budaya tertentu bukan merupakan kompetisi, tetapi sebuah kebersamaan. Oleh karena itu guru harus mengusahakan bagaimana agar peserta didik yang belum mengenal budaya yang dijadikan media pembelajaran menjadi tidak berprasangka bahwa guru cenderung mengutamakan budaya tertentu. Contoh, jika guru memilih Bagong (tokoh wayang di Jawa Tengah) untuk pembelajaran, maka guru harus menjelaskan siapa Bagong dan mampu mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot (Jawa Barat), Sangut (Bali), Dawala dan Bawok (pesisir utara Jawa). Dengan mengambil contoh yang sepadan, guru dapat menghindari prasangka bahwa dia mengutamakan unsur budaya tertentu. Situasi tersebut mendorong kebersamaan antar peserta didik dan saling memperkaya unsur budaya masing-masing. 2.2.4 Masalah kesetaraan paedagogi (equity paedagogy) Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai sumber dan pustaka, mencari tahu dari tokoh sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan pedagogi. Guru harus memiliki “khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya dalam tema tertentu, termasuk Tionghoa dan yang lainnya. Misal: 1. Sastra Hikayat Rakyat dengan tema durhaka. Contoh: Malin Kundang (Minangkabau), Tangkuban Perahu (Sunda), Loro Jonggrang (Yogyakarta). 2. Obat-obatan : jamu (Jawa), minyak kayu putih (Maluku). 3. Tekstil/tenun : batik (Jawa), kain ikat (Nusa Tenggara),songket (Melayu Deli, Palembang, Kalimantan, Lombok, dan Bali). 4. Perahu Layar: Phinisi (Bugis-Makasar), Cadik (Madura), Lancang Kuning (Melayu). 5. Seni teater: Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah), Lenong (Betawi), Ketoprak (Yogyakarta). 6. Tokoh Pahlawan: Dewi Sartika (Sunda), Cut Nyak Dien, Cut Meutia (Aceh), Kartini (Jawa Tengah).
  • 34. Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai sumber dan pustaka sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan paedagogi. Guru harus memiliki “khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya dalam tema tertentu. Misalnya jika menerangkan tentang kesenian teater, guru dapat menyebutkan dan mengidentifikasi beragam kesenian dari berbagai daerah seperti Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah), Lenong (Betawi), dan Ketoprak (Yogyakarta). Konklusinya, penerapan pendidikan mutikultural di Indonesia masih mengalami berbagai problem atau masalah, yang dapat diidentifikasi menjadi dua problem utama yaitu problem kemasyarakatan dan problem pembelajaran pendidikan mutikultural. http://pujirokhayanti999.blogspot.co.id/2014/02/problema-pembelajaran-pendidikan.html DAFTAR PUSTAKA Sutarno.Pendidikan Multikultural.2007. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. http://sosio-history.blogspot.com/2013/01/pendidikan-multikultural-dan- problemnya.html http://phierda.wordpress.com/2013/03/11/problema-pembelajaran-pendidikan multikultural/