Buku pedoman ini memberikan panduan bagi petugas kesehatan dalam memberikan konseling kepada pasien gangguan penggunaan zat adiktif. Buku ini mencakup penjelasan tentang latar belakang, tujuan, landasan hukum dan kebijakan, prinsip dasar konseling, teknik konseling, evaluasi, serta terlibatnya keluarga dalam proses konseling.
Dokumen tersebut merangkum tentang aspek klinis penyalahgunaan zat adiktif (NAPZA) yang meliputi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain. Dibahas tentang definisi NAPZA menurut undang-undang, golongan narkotika dan psikotropika, jenis zat yang disalahgunakan seperti opioid, kokain, kanabis, amfetamin, LSD, dan benzodiazepin, efek klinis dan gejala penggunaan
Dokumen tersebut merupakan peraturan Menteri Kesehatan tentang petunjuk teknis pelaksanaan rehabilitasi medis bagi pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika yang dalam proses atau telah diputus oleh pengadilan. Petunjuk teknis ini memberikan panduan kepada fasilitas kesehatan dalam melaksanakan program rehabilitasi medis tersebut, meliputi penetapan fasilitas pelayanan, prosedur penerimaan
Pengobatan Tradisional dan Komplementerpjj_kemenkes
Dokumen tersebut membahas tentang pengaturan penyelenggaraan pengobatan tradisional dan komplementer di Indonesia sesuai dengan komitmen internasional dan peraturan perundang-undangan. Terdapat berbagai jenis pengobatan tradisional dan komplementer serta dasar hukum dan tempat pelaksanaannya.
Buku pedoman ini memberikan panduan bagi petugas kesehatan dalam memberikan konseling kepada pasien gangguan penggunaan zat adiktif. Buku ini mencakup penjelasan tentang latar belakang, tujuan, landasan hukum dan kebijakan, prinsip dasar konseling, teknik konseling, evaluasi, serta terlibatnya keluarga dalam proses konseling.
Dokumen tersebut merangkum tentang aspek klinis penyalahgunaan zat adiktif (NAPZA) yang meliputi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain. Dibahas tentang definisi NAPZA menurut undang-undang, golongan narkotika dan psikotropika, jenis zat yang disalahgunakan seperti opioid, kokain, kanabis, amfetamin, LSD, dan benzodiazepin, efek klinis dan gejala penggunaan
Dokumen tersebut merupakan peraturan Menteri Kesehatan tentang petunjuk teknis pelaksanaan rehabilitasi medis bagi pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika yang dalam proses atau telah diputus oleh pengadilan. Petunjuk teknis ini memberikan panduan kepada fasilitas kesehatan dalam melaksanakan program rehabilitasi medis tersebut, meliputi penetapan fasilitas pelayanan, prosedur penerimaan
Pengobatan Tradisional dan Komplementerpjj_kemenkes
Dokumen tersebut membahas tentang pengaturan penyelenggaraan pengobatan tradisional dan komplementer di Indonesia sesuai dengan komitmen internasional dan peraturan perundang-undangan. Terdapat berbagai jenis pengobatan tradisional dan komplementer serta dasar hukum dan tempat pelaksanaannya.
Peraturan pemerintah ttg yankestrad no.103 tahun 2014Lkp Janaaha
Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang tiga jenis pelayanan kesehatan tradisional yaitu empiris, komplementer, dan integrasi. Pelayanan empiris didasarkan pada bukti empiris, sedangkan komplementer menggunakan pendekatan ilmiah dan biomedis serta dapat diintegrasikan dengan fasilitas kesehatan konvensional. Peraturan ini juga mengatur tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan tra
Kesehatan Masyarakat - Kebijakan Pemerintah tentang Obat TradisionalSyifa Pythia Dewi
Kebijakan pemerintah terhadap pengobatan tradisional mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan pengetahuan lokal untuk obat tradisional guna meningkatkan kesehatan dan ekonomi masyarakat. Pemerintah menjamin mutu dan keamanan obat tradisional melalui penelitian, sertifikasi, dan pengawasan produksi serta distribusi. Tujuannya adalah menyediakan obat tradisional berkualitas yang aman dan manjur bagi m
Relaps pasien skizofrenia meningkat seiring berkurangnya kepatuhan minum obat. Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara kepatuhan minum obat dengan tingkat relaps pasien skizofrenia.
Kementerian Kesehatan memainkan peran penting dalam kebijakan rehabilitasi penyalahgunaan narkoba nasional melalui penyediaan layanan rehabilitasi medis di rumah sakit jiwa dan puskesmas, pengembangan peraturan terkait, serta dukungan terhadap pemerintah daerah. Kementerian ini juga membuat peraturan baru tentang pelaporan wajib bagi pecandu narkoba dan rehabilitasi medis.
Dokumen tersebut membahas tentang pelayanan informasi obat (PIO) dan konseling yang dilakukan oleh apoteker, termasuk tujuan, sasaran, jenis informasi yang diberikan kepada berbagai pihak, dan dasar hukum yang mengatur PIO dan konseling di Indonesia.
MATERI PELATIHAN PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN MEMILIH OBAT BAGI T...Sainal Edi Kamal
Modul ini membahas tentang pelatihan peningkatan pengetahuan dan keterampilan memilih obat bagi tenaga kesehatan. Tujuannya adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam pengobatan diri sendiri secara rasional dengan metode Cara Belajar Ibu Aktif."
Dokumen ini membahas tentang pendidikan kesehatan napza yang meliputi pengertian napza sebagai singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya yang dapat mengubah pikiran dan perilaku, serta dampak napza terhadap perilaku dan tubuh seperti berhalusinasi, malas, dan gangguan organ tubuh. Dokumen ini juga menjelaskan cara menghindari napza seperti mengisi waktu luang, memilih teman yang tidak men
Dekriminalisasi Pengguna Narkoba di IndonesiaNur Alifah
Dokumen tersebut membahas tentang dekriminalisasi pengguna narkoba di Indonesia. Secara garis besar, dokumen menjelaskan latar belakang permasalahan narkoba di Indonesia dan pandangan global, serta menganalisis data prevalensi penyalahgunaan narkoba. Dokumen juga membahas mengenai kebijakan dekriminalisasi pengguna narkoba di Indonesia dengan memberikan sanksi rehabilitasi bukan sanksi pidana penjara.
Dokumen tersebut merupakan peraturan menteri kesehatan tentang petunjuk teknis promosi kesehatan rumah sakit. Peraturan ini mengatur tentang pelaksanaan promosi kesehatan di rumah sakit secara terpadu dan berkesinambungan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif untuk memenuhi hak masyarakat akan pelayanan kesehatan paripurna.
Dokumen tersebut berisi pedoman pelayanan kefarmasian di Puskesmas Bukit Wolio Indah. Pedoman ini membahas tentang latar belakang, tujuan, sasaran, ruang lingkup, batasan operasional, dan landasan hukum pelayanan kefarmasian di puskesmas. Dokumen ini juga membahas tentang standar ketenagaan yang mencakup kualifikasi sumber daya manusia, pendidikan dan pelatihan, serta distribusi ketenagaan di Puskesmas Bukit Wolio Indah.
Sosialisasi P4GN Bagi Penyuluh Pertanian Novy Khayra
Dokumen tersebut merupakan presentasi tentang program P4GN (Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba) di Kabupaten Kuningan. Presentasi ini membahas tentang pengertian narkoba, jenis-jenis narkoba yang berasal dari tanaman, dampak penyalahgunaan narkoba, serta rencana dan aksi untuk mencegah masalah narkoba di Kabupaten Kuningan.
Soal nomor 2
2) b. Apakah yang dimaksud dengan larangan bagi PBF? Jelaskan !
Jawab:
Larangan bagi PBF menurut Permenkes No. 918/Menkes/PER/X/1993 adalah:
1. Tidak boleh menjual obat langsung kepada masyarakat.
2. Tidak boleh menyimpan dan menjual obat yang sudah kadaluarsa.
3. Tidak boleh menyimpan dan menjual obat yang tidak mem
Peraturan pemerintah ttg yankestrad no.103 tahun 2014Lkp Janaaha
Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang tiga jenis pelayanan kesehatan tradisional yaitu empiris, komplementer, dan integrasi. Pelayanan empiris didasarkan pada bukti empiris, sedangkan komplementer menggunakan pendekatan ilmiah dan biomedis serta dapat diintegrasikan dengan fasilitas kesehatan konvensional. Peraturan ini juga mengatur tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan tra
Kesehatan Masyarakat - Kebijakan Pemerintah tentang Obat TradisionalSyifa Pythia Dewi
Kebijakan pemerintah terhadap pengobatan tradisional mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan pengetahuan lokal untuk obat tradisional guna meningkatkan kesehatan dan ekonomi masyarakat. Pemerintah menjamin mutu dan keamanan obat tradisional melalui penelitian, sertifikasi, dan pengawasan produksi serta distribusi. Tujuannya adalah menyediakan obat tradisional berkualitas yang aman dan manjur bagi m
Relaps pasien skizofrenia meningkat seiring berkurangnya kepatuhan minum obat. Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara kepatuhan minum obat dengan tingkat relaps pasien skizofrenia.
Kementerian Kesehatan memainkan peran penting dalam kebijakan rehabilitasi penyalahgunaan narkoba nasional melalui penyediaan layanan rehabilitasi medis di rumah sakit jiwa dan puskesmas, pengembangan peraturan terkait, serta dukungan terhadap pemerintah daerah. Kementerian ini juga membuat peraturan baru tentang pelaporan wajib bagi pecandu narkoba dan rehabilitasi medis.
Dokumen tersebut membahas tentang pelayanan informasi obat (PIO) dan konseling yang dilakukan oleh apoteker, termasuk tujuan, sasaran, jenis informasi yang diberikan kepada berbagai pihak, dan dasar hukum yang mengatur PIO dan konseling di Indonesia.
MATERI PELATIHAN PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN MEMILIH OBAT BAGI T...Sainal Edi Kamal
Modul ini membahas tentang pelatihan peningkatan pengetahuan dan keterampilan memilih obat bagi tenaga kesehatan. Tujuannya adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam pengobatan diri sendiri secara rasional dengan metode Cara Belajar Ibu Aktif."
Dokumen ini membahas tentang pendidikan kesehatan napza yang meliputi pengertian napza sebagai singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya yang dapat mengubah pikiran dan perilaku, serta dampak napza terhadap perilaku dan tubuh seperti berhalusinasi, malas, dan gangguan organ tubuh. Dokumen ini juga menjelaskan cara menghindari napza seperti mengisi waktu luang, memilih teman yang tidak men
Dekriminalisasi Pengguna Narkoba di IndonesiaNur Alifah
Dokumen tersebut membahas tentang dekriminalisasi pengguna narkoba di Indonesia. Secara garis besar, dokumen menjelaskan latar belakang permasalahan narkoba di Indonesia dan pandangan global, serta menganalisis data prevalensi penyalahgunaan narkoba. Dokumen juga membahas mengenai kebijakan dekriminalisasi pengguna narkoba di Indonesia dengan memberikan sanksi rehabilitasi bukan sanksi pidana penjara.
Dokumen tersebut merupakan peraturan menteri kesehatan tentang petunjuk teknis promosi kesehatan rumah sakit. Peraturan ini mengatur tentang pelaksanaan promosi kesehatan di rumah sakit secara terpadu dan berkesinambungan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif untuk memenuhi hak masyarakat akan pelayanan kesehatan paripurna.
Dokumen tersebut berisi pedoman pelayanan kefarmasian di Puskesmas Bukit Wolio Indah. Pedoman ini membahas tentang latar belakang, tujuan, sasaran, ruang lingkup, batasan operasional, dan landasan hukum pelayanan kefarmasian di puskesmas. Dokumen ini juga membahas tentang standar ketenagaan yang mencakup kualifikasi sumber daya manusia, pendidikan dan pelatihan, serta distribusi ketenagaan di Puskesmas Bukit Wolio Indah.
Sosialisasi P4GN Bagi Penyuluh Pertanian Novy Khayra
Dokumen tersebut merupakan presentasi tentang program P4GN (Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba) di Kabupaten Kuningan. Presentasi ini membahas tentang pengertian narkoba, jenis-jenis narkoba yang berasal dari tanaman, dampak penyalahgunaan narkoba, serta rencana dan aksi untuk mencegah masalah narkoba di Kabupaten Kuningan.
Soal nomor 2
2) b. Apakah yang dimaksud dengan larangan bagi PBF? Jelaskan !
Jawab:
Larangan bagi PBF menurut Permenkes No. 918/Menkes/PER/X/1993 adalah:
1. Tidak boleh menjual obat langsung kepada masyarakat.
2. Tidak boleh menyimpan dan menjual obat yang sudah kadaluarsa.
3. Tidak boleh menyimpan dan menjual obat yang tidak mem
- Deteksi dini dilakukan di sekolah, tempat kerja, dan masyarakat umum menggunakan alat ukur seperti SDQ dan SRQ20.
- Hasil deteksi dini akan menentukan tindak lanjut berikutnya seperti promosi kesehatan, konseling, rujuk ke fasilitas kesehatan, atau rujuk ke IPWL untuk kasus Napza.
- Pelayanan kesehatan jiwa dan Napza dilakukan secara terpadu dan berjenjang
Penyuluhan dan pelayanan konseling dalam penggunaan obat rasional kepada masyarakat kelurahan Rajabasa Bandar Lampung bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penggunaan obat yang benar dan rasional agar terhindar dari efek samping atau penyalahgunaan obat. Kegiatan ini akan dilakukan melalui sosialisasi, survey, dan konseling secara langsung kepada masyarakat di sekitar puskesmas Rajabasa
STANDAR PELAYANAN RADIOLOGI DIAGNOSTIK DI SARANA PELAYANAN KESEHATANMartindra K
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1014/MENKES/SK/XI/2008
TENTANG
STANDAR PELAYANAN RADIOLOGI DIAGNOSTIK
DI SARANA PELAYANAN KESEHATAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Doen kepmenkes 312 2013 daftar obat esensial nasional 2013Faiz Amri
Dokumen tersebut merupakan keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia tentang daftar obat esensial nasional 2013. Keputusan ini menetapkan daftar obat esensial nasional yang direvisi untuk menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pola penyakit.
Keputusan Menteri Kesehatan menetapkan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) 2013 yang merevisi DOEN 2011 untuk menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pola penyakit. DOEN 2013 berisi daftar obat pilihan yang diperlukan untuk pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan berdasarkan manfaat, risiko, biaya dan ketersediaannya.
Pedoman ini memberikan panduan bagi apoteker rumah sakit dalam melakukan kegiatan visite pasien. Visite bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian dan hasil terapi pasien dengan mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait penggunaan obat. Pedoman ini menjelaskan persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi visite serta dokumentasinya.
Dokumen tersebut merupakan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Daftar Obat Esensial Nasional 2013. Keputusan ini menetapkan daftar obat esensial nasional yang direvisi untuk menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pola penyakit, serta menjamin ketersediaan dan aksesibilitas obat bagi masyarakat.
Dokumen tersebut merupakan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Daftar Obat Esensial Nasional 2013. Keputusan ini menetapkan daftar obat esensial nasional yang direvisi untuk menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pola penyakit, serta menjamin ketersediaan obat yang lebih merata dan terjangkau bagi masyarakat.
Keputusan Menteri Kesehatan menetapkan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) 2015 yang merupakan daftar obat paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan di seluruh fasilitas pelayanan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya. DOEN direvisi dua tahun sekali untuk menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan program kesehatan. DOEN 2015 menggantikan DOEN 2013 dan mulai berlaku sejak dit
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaFathan Emran
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka - abdiera.com, Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 10 Fase E Kurikulum MerdekaFathan Emran
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka - abdiera.com, Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka
Aksi Nyata Buku Non Teks Bermutu Dan Manfaatnya .pdfDenysErlanders
Buku non teks yang bermutu dapat memperkaya pengalaman
belajar siswa. Buku-buku ini menawarkan konten yang inspiratif,
inovatif, dan mendorong pengembangan karakter siswa.
Pemanfaatan buku non teks bermutu membutuhkan peran aktif
guru untuk memilih dan
mengintegrasikannya ke dalam pembelajaran
1. kKEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 420/MENKES/SK/III/2010
TENTANG
PEDOMAN LAYANAN TERAPI DAN REHABILITASI
KOMPREHENSIF PADA
GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA
BERBASIS RUMAH SAKIT
DIREKTORAT JENDERAL BINA PELAYANAN MEDIK
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
1
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 420/MENKES/SK/III/2010
TENTANG
PEDOMAN LAYANAN TERAPI DAN REHABILITASI KOMPREHENSIF PADA
GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa gangguan penggunaan NAPZA merupakan masalah yang
kompleks dan memerlukan penanggulangan yang terpadu dari semua
pihak yang terkait;
b. bahwa rumah sakit memiliki peran yang penting dalam memberikan
terapi dan rehabilitasi pada gangguan penggunaan NAPZA;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan b perlu menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang
Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif Pada
Gangguan Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap
Narkotika dan Psikotropika (United Nation Convention Againts Illicit
Trafic in Narcotic Drugs and Psycotropic Substances) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3673);
2. Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844);
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062);
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
3. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
2
5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82 , Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2002
tentang Badan Narkotika Nasional;
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 996/Menkes/ SKA/lll/2002
tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasi
Penyalahgunaan dan Ketergantungan Narkotika, Psikotropika dan Zat
Aditif Lainnya;
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/ XII/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 439/Menkes/PerA/t/2009;
11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 486/Menkes/ SK/IV/2007
tentang Kebijakan dan Rencana Strategis Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkotika, Psiko-tropika dan Zat Aditif Lainnya;
12. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/ SK/ll/2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit;
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008. tentang
Rekam Medis;
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/ III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN
LAYANAN TERAPI DAN REHABILITASI KOMPREHENSIF PADA
GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT.
KEDUA : Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif Pada Gangguan
Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam
4. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
3
Diktum Kesatu tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
KETIGA : Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif Pada Gangguan
Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam
Diktum Kedua digunakan sebagai acuan bagi tenaga kesehatan dalam
memberikan pelayanan terapi dan rahabilitasi gangguan penggunaan
NAPZA di fasilitas pelayanan kesehatan.
KEEMPAT : Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pedoman ini dilaksanakan oleh
Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, dengan melibatkan organisasi profesi terkait sesuai dengan
tugas dan fungsi masing-masing.
KELIMA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
5. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
4
Lampiran
Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor: 420/MENKES/SK/III /2010
Tanggal: 31 Maret2010
PEDOMAN LAYANAN TERAPI DAN REHABILITASI KOMPREHENSIF
GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk merespon masalah ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya
(NAPZA), yang semakin marak di Indonesia sejak tahun 80-an Kementerian Kesehatan
telah menetapkan kebijakan bahwa 10% kapasitas tempat tidur Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
dialokasikan untuk pasien ketergantungan NAPZA. Dalam beberapa tahun terakhir
hampir semua RSJ mengembangkan pelayanan NAPZA. Dari hasil evaluasi dijumpai
bahwa masyarakat tidak memanfaatkan pelayanan NAPZA yang telah tersedia di RSJ.
Sebagian besar pasien yang dirawat tidak murni karena ketergantungan NAPZA tapi
merupakan pasien dengan dual diagnosis (Gangguan jiwa dan Ketergantungan NAPZA).
Beberapa penyebab kurangnya pemanfaatan RSJ bagi masyarakat yang ketergantungan
NAPZA, antara lain :
masih tingginya stigma terhadap gangguan jiwa, sehingga seorang pecandu tidak mau
datang berobat ke RSJ kecuali sebelumnya sudah ada gangguan jiwa yang diinduksi
oleh penggunaan NAPZA seperti kanabis, stimulan atau alkohol.
Pelayanan yang ditawarkan RSJ tidak memenuhi kebutuhan pasien yang mengalami
Ketergantungan NAPZA. Terbatasnya jenis pelayanan dan kemampuan petugas RSJ
untuk berbagai modalitas terapi. Sebagian besar RSJ hanya menyediakan pelayanan
untuk detoksifikasi saja.
RSJ biasanya bekerja sendiri dan menunggu pasien secara sukarela datang. Masih
terbatasnya kerjasama dengan masyarakat, LSM dan kelompok pengguna dimana
mereka dapat berperan sebagai petugas penjangkau yang akan membawa pasien
ketergantungan NAPZA berobat ke RSJ.
Mengacu pada hal tersebut diatas maka perlu disusun pedoman penanggulang-an
gangguan penggunaan NAPZA secara komprehensif yang berbasis rumah sakit,
misalnya pedoman dengan pendekatan therapeutic community dan pedoman terapi
rumatan.
6. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
5
B. Tujuan Umum Dan Khusus
Umum:
Sebagai acuan bagi petugas kesehatan dalam penanggulangan gangguan penggunaan
NAPZA
Khusus:
Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan di rumah sakit dalam manajemen
gangguan penggunaan NAPZA
C. Sasaran
1. petugas kesehatan rumah sakit jiwa
2. petugas kesehatan rumah sakit umum
3. LSM
4. Kelompok pengguna NAPZA yang dapat berperan sebagai petugas penjangkau
membawa pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA berobat ke rumah sakit
D. Kebijakan
Kebijakan Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA Kementerian Kesehatan Rl
dilaksanakan berdasarkan Kepmenkes Nomor 486/Menkes/ SK/IV/2007, melalui upaya:
1. Peningkatan kesehatan dan pencegahan penyalahgunaan NAPZA melalui upaya
promotif dan preventif.
2. Komprehensif dan multi disiplin melalui upaya yang dilakukan sesuai dengan kondisi
budaya dan sosial masyarakat setempat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif.
3. Pelayanan terapi terintegrasi pada sistem pelayanan kesehatan yang ada. Rumah Sakit
Jiwa milik pemerintah menyediakan 10% dari tempat tidur untuk penderita
Gangguan penggunaan NAPZA.
4. Mendukung upaya pemulihan oleh masyarakat dan mantan pengguna (ex-users)
5. Melindungi hak asasi manusia dan keselamatan pasien.
6. Pengurangan dampak buruk (harm reduction) pada pengguna Napza suntik
7. Keseimbangan dan koordinasi lintas sektor.
Untuk memperoleh hasil yang optimal, perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak,
termasuk dengan LSM dan swasta. Pemerintah Daerah mendukung dengan
menyediakan tempat dan terapi/obat gangguan penggunaan Napza yang terjangkau,
secara berjenjang dari Puskesmas, Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Jiwa
8. Pengembangan sistem informasi
9. Legislasi dan peraturan perundang-undangan.
7. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
6
E. Strategi Dan Rencana Aksi
Sampai tahun 2010, prioritas untuk penanggulangan gangguan NAPZA dilakukan
melalui 6 strategi:
1. Advokasi
Advokasi merupakan komponen yang penting untuk mengajak semua pemangku
kepentingan (stakeholders) dapat berperan serta dalam upaya penanggulangan
Gangguan penggunaan NAPZA Untuk itu Dinas Kesehatan perlu rnengidentifikasi
semua stakeholders antara lain DPRD, Bappeda, BNP/BNK, KPAD, lintas sektor
seperti Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Kementerian Hukum dan HAM, Lembaga
Swadaya Masyarakat, keluarga, media, akademis, tokoh masyarakat, tokoh agama
dan lembaga donor. Keterlibatan semua pemangku kepentingan penting dalam
penyusunan program yang bisa menjawab kebutuhan nyata serta lebih jauh mereka
juga dapat berperan serta dalam pembiayaan.
Advokasi ini bertujuan untuk mengurangi hambatan yang mungkin terjadi seperti:
ketiadaan pelayanan, stigma terhadap pengguna NAPZA atau pelanggaran hak
pasien, tidak ada perumahan dan pekerjaan bagi pasien yang telah selesai mengikuti
program pemulihan.
2. Pemberdayaan Masyarakat
Strategi pencegahan penanggulangan gangguan penggunaan NAPZA melalui
pemberdayaan masyarakat diarahkan secara dini untuk meningkatkan keterampilan
hidup (life skill) remaja serta pemberdayaan orangtua agar dapat mencegah anak-
anaknya dari gangguan pengunaan NAPZA.
Sasaran dari pemberdayaan masyarakat ini dapat dilakukan melalui kelompok-
kelompok masyarakat yang terorganisir (seperti karang taruna pramuka, organisasai
agama) dan masyarakat luas dengan cara meningkatkan pengetahuan, kesadaran,
kepedulian dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan gangguan penggunaan
NAPZA.
Untuk masyarakat luas komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dilakukan melalui
media massa baik cetak maupun elektronik atau modalitas lain, sedangkan
masyarakat yang terorganisir dapat dilakukan dengan tatap muka ataupun melakukan
pelatihan untuk terbentuknya perilaku hidup sehat.
3. Peningkatan Kapasitas SDM
Guna menjamin terlaksananya penanggulangan Gangguan penggunaan NAPZA,
diperlukan tenaga profesional yang mengabdi di pemerintahan, swasta dan
masyarakat.
Tenaga profesional tersebut membutuhkan pelatihan-pelatihan yang didesain sesuai
kebutuhan dan keterampilan khusus, seperti: pelatihan relapse prevention, pelatihan
konselor adiksi, instruktur Cognitive Behaviour Therapy, instruktur motivational
enhancement therapy, pendamping ODHA dan lain-lain.
8. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
7
4. Penguatan Sistem Kesehatan
Sistem kesehatan terkait dengan upaya penanggulangan gangguan penggunaan
NAPZA perlu ditingkatkan mulai dari pelayanan kesehatan dasar sampai dengan
pelayanan rujukan atau spesialistik,
Peran dan tanggung jawab berbagai institusi kesehatan mulai dari Kementerian
Kesehatan, dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten /Kota, Puskesmas,
RSU, RSJdan RSKO harus lebih jelas.
5. Pengembangan Model Pelayanan Gangguan Penggunaan NAPZA
Semua pelayanan gangguan penggunaan NAPZA harus dapat menjamin terapi dan
perawatan yang terstandarisasi dan memiliki beberapa prinsip pelayanan:
a. Evidence-based: pelayanan yang diberikan harus berbasis bukti dan hasil
(outcome) yang dapat terukur dan terstandarisasi
b. komprehensif: pelayanan diberikan secara komprehensif melalui upaya promotif-
preventif serta kuratif-rehabilitatif
c. Multidisiplin: Pelayanan harus dilaksanakan oleh tenaga profesional yang
multidisiplin dengan memiliki kepemimpinan dan keterampilan teknis tinggi.
Pelayanan harus dilaksanakan melalui kerjasama tim yang solid, kompak dan
utuh serta mampu menerapkan prinsip pelayanan manajemen kasus.
6. Pengembangan Pembiayaan dan Keterlibatan Sektor Swasta
Upaya penanggulangan ini tidak akan berhasil, tanpa pembiayaan yang memadai.
Mengingat masalah ini sudah menjadi masalah bangsa (bukan hanya masalah
kesehatan masyarakat), maka pemerintah baik pusat maupun daerah perlu
mengangkat hal ini menjadi salah satu program yang mendapat perhatian khusus.
Disisi lain, keterbatasan dana Pemerintah merupakan salah satu hambatan utama,
(yang selama ini lebih banyak digunakan untuk penanggulangan HIV/AIDS,
sedangkan dana untuk penanganan gangguan penggunaan NAPZA sangat sedikit),
oleh karena itu perlu digalang kerjasama dengan berbagai LSM dan swasta/dunia
usaha dalam mencapai kelestarian program intervensi. Masyarakat juga perlu
digerakkan untuk memberikan kontribusi dalam penanggulangan.
Pada tahun 2005 pemerintah telah menetapkan bahwa jumlah masyarakat miskin dan
tidak mampu sebanyak 60.000.000 jiwa. Penderita gangguan penggunaan NAPZA
yang termasuk dalam kategori keluarga miskin mempunyai hak untuk mendapatkan
jaminan pemeliharaan kesehatan askeskin.
F. Pengertian
1. Layanan adalah tempat, baik rumah sakit atau klinik umum ataupun khusus yang
melaksanakan sebuah program atau kegiatan yang berkaitan dengan masalah
Gangguan penggunaan NAPZA
2. Terapi suatu proses pemulihan dengan memberikan intervensi secara fisik, psikologis
9. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
8
maupun sosial kepada pasien gangguan penggunaan NAPZA
3. Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien gangguan penggunaan NAPZA
baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang yang bertujuan mengubah perilaku
mereka agar siap kembali ke masyarakat.
4. Komprehensif adalah suatu terapi yang diberikan secara menyeluruh untuk masalah
gangguan penggunaan NAPZA, gangguan jiwa lain (dual diagnosis) serta juga
dampak lain yang ditimbulkan akibat gangguan penggunaan NAPZA.
5. Gangguan penggunaan NAPZA adalah suatu pola penggunaan NAPZA yang
menimbulkan hendaya atau penyulit/komplikasi yang berarti secara klinis dan atau
fungsi sosial, seperti kesulitan untuk menunaikan kewajiban utama dalam
pekerjaan/rumah tangga/sekolah, berada dalam keadaan intoksikasi yang dapat
membahayakan fisik ketika mengoperasikan mesin atau mengendarai kendaraan,
melanggar aturan atau cekcok dengan pasangan.
6. Rumah Sakit adalah tempat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik
dasar dan spesialistik, pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan pelayanan
perawatan secara rawat jalan dan rawat inap.
II. MANAJEMEN DALAM PENATALAKSANAAN TERAPI GANGGUAN
PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT
A. Pendahuluan
Masalah gangguan penggunaan NAPZA merupakan suatu masalah yang kompleks
sehingga penatalaksanaan terapinya tidak dapat hanya dilaksanakan oleh tenaga medis.
Dengan perubahan tren NAPZA yang digunakan, setiap petugas kesehatan seharusnya
memahami spesifikasi setiap jenis NAPZA dan masalah yang timbul akibat
penggunaan NAPZA itu.
Pada umumnya tenaga medis masih memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang
terbatas tentang gangguan penggunaan NAPZA yang pada akhirnya berdampak pada
penatalaksanaan terhadap pasien. Kondisi ini serlngkali menimbulkan rasa jenuh atau
bahkan menimbulkan kesulitan dalam memberikan terapi pasien dengan gangguan
penggunaan NAPZA yang pada akhirnya membuat petugas kesehatan tidak berminat
untuk memberikan pelayanan kepada pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA.
Kurangnya mutu pelayanan dalam bidang kesehatan termasuk kepada pasien dengan
gangguan penggunaan NAPZA bukan merupakan suatu kebetulan, hal itu seringkali
merupakan perencanaan program yang tidak disiapkan secara terinci dan komprehensif.
Rekrutmen petugas yang akan memberikan layanan kepada pasien merupakan titik
kritis sebelum menentukan program atau kegiatan. Menentukan kriteria petugas yang
sesuai dengan jenis layanan harus dilakukan dengan seksama agar tujuan pelayanan
tersebut dapat berjalan secara efektif.
10. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
9
Komitmen dari pimpinan dan seluruh staf serta karyawan dalam organisasi merupakan
pendukung yang sangat penting dalam memberikan pelayanan pada pasien gangguan
penggunaan NAPZA. Kesinambungan program harus terus dievaluasi agar dapat
memenuhi kebutuhan tiap pasien.
B. Terapi Efektif Pada Gangguan Penggunaan NAPZA
Efektifitas terapi pada gangguan penggunaan NAPZA perlu dievaluasi dan
ditindaklanjuti secara periodik atau berkala. Di Indonesia monitoring dan evaluasi
efektivitas terapi gangguan penggunaan NAPZA sangat minimal atau bahkan tidak
dilakukan. Hal ini semestinya sangat penting dilakukan agar layanan yang diberikan
dapat optimal dan efektif dalam proses pemulihan mereka.
National Institute on Drug Abuse (NIDA) pada tahun 1999 telah mempublikasikan
sebuah buku tentang terapi efektif berdasarkan penelitian di lapangan yang meliputi 13
prinsip:
1. TIDAK ADA satu bentuk terapi yang SESUAI UNTUK SEMUA
2. Kebutuhan terapi harus SIAP DAN TERSEDIA ketika diperlukan
3. Terapi yang efektif mengakomodasi KEBUTUHAN YANG BERAGAM, tidak
hanya untuk masalah NAPZA saja
4. Rencana terapi dan layanan lain harus DIKAJI SECARA KONTINYU dan
DIMODIFIKASI BILA DIPERLUKAN untuk memenuhi kebutuhan perubahan
pada pasien
5. Berada dalam program terapi untuk PERIODE WAKTU YANG ADEKUAT
merupakan hal yang sangat penting untuk perubahan perilaku yang signifikan
6. Konseling (individu dan/atau kelompok) dan terapi perilaku lainnya merupakan
hal yang SANGAT PENTING
7. Medikasi adalah elemen yang PENTING untuk banyak klien, khususnya
bilamana dikombinasi dengan terapi perilaku
8. Orang dengan komorbiditas gangguan mental harus ditangani dengan cara yang
TERINTEGRASI
9. Detoksifikasi hanya merupakan LANGKAH AWAL dari pengobatan gangguan
penggunaan NAPZA dan detoksifikasi hanya memberi sedikit perubahan terkait
PENGGUNAAN NAPZA JANGKA PANJANG
10. Pengobatan yang efektif TIDAK harus secara sukarela
11. Kemungkinan menggunakan NAPZA selama pengobatan harus DIMONITOR
secara kontinyu
12. Program pengobatan harus menyediakan kajian untuk HIV/AIDS dan infeksi lain
serta konseling untuk membantu pasien merubah perilakunya baik untuk
HIV/AIDS dan risiko dari infeksi lainnya
11. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
10
13. Kepulihan dari gangguan penggunaan NAPZA dapat menjadi PROSES YANG
PANJANG dan seringkali memerlukan beberapa kali episode pengobatan
C. Berbagai Modalitas Terapi Dan Pendekatan
Berbagai kondisi yang mandasari gangguan penggunaan NAPZA akan mempengaruhi
jenis pengobatan yang akan diberikan kepada pasien, kebijakan untuk merawat dan
memulangkan pasien, hasil yang dlharapkan, sumber daya manusia yang akan
memberikan pelayanan, dan sikap terhadap perilaku pasien. Dibawah ini akan diuraikan
beberapa model yang popular dilaksanakan pada masalah Gangguan penggunaan
NAPZA.
1. Therapeutic Community -TC Model, model ini merujuk pada keyakinan bahwa
Gangguan penggunaan NAPZA adalah gangguan pada seseorang secara
menyeluruh. Dalam hal ini norma-norma perilaku diterapkan secara nyata dan ketat
yang diyakinkan dan diperkuat dengan memberikan reward dan sangsi yang
spesifik secara langsung untuk mengembangkan kemampuan mengontrol diri dan
sosial/komunitas. Pendekatan yang dilakukan meliputi terapi individual dan
kelompok, sesi encounter yang intensif dengan kelompok sebaya dan partisipasi
dari lingkungan terapeutik dengan peran yang hirarki, diberikan juga keistimewaan
(privileges) dan tanggung jawab. Pendekatan lain dalam program termasuk tutorial,
pendidikan formal dan pekerjaan sehari-hari. TC model biasanya merupakan
perawatan inap dengan periode perawatan dari dua belas sampai delapan belas
bulan yang diikuti dengan program aftercare jangka pendek.
2. Model Medik, model ini berbasis pada biologik dan genetik atau fisiologik sebagai
penyebab adiksi yang membutuhkan pengobatan dokter dan memerlukan
farmakoterapi untuk menurunkan gejala-gejala serta perubahan perilaku. Program
ini dirancang berbasis rumah sakit dengan program rawat inap sampai kondisi bebas
dari rawat inap atau kembali ke fasilitas di masyarakat.
3. Model Minnesota, model ini dikembangkan dari Hazelden Foundation dan
Johnson Institute. Model ini fokus pada abstinen atau bebas NAPZA sebagai tujuan
utama pengobatan. Model Minessota menggunakan program spesifik yang
berlangsung selama tiga sampai enam minggu rawat inap dengan lanjutan aftercare,
termasuk mengikuti program self help group (Alcohol Anonymous atau Narcotics
Anonymous) serta layanan lain sesuai dengan kebutuhan pasien secara individu.
Fase perawatan rawat inap termasuk ; terapi kelompok, terapi keluarga untuk
kebaikan pasien dan anggota keluarga lain, pendidikan adiksi, pemulihan dan
program 12 langkah. Diperlukan pula staf profesional seperti dokter, psikolog,
pekerja sosial, mantan pengguna sebagai addict counselor
4. Model Eklektik, model ini menerapkan pendekatan secara holistik dalam program
rehabilitasi. Pendekatan spiritual dan kognitif melalui penerapan program 12
langkah merupakan pelengkap program TC yang menggunakan pendekatan
perilaku, hal ini sesuai dengan jumlah dan variasi masalah yang ada pada setiap
pasien adiksi.
12. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
11
5. Model Multi Disiplin, program ini merupakan pendekatan yang lebih
komprehensif dengan menggunakan komponen disiplin yang terkait termasuk
reintegrasi dan kolaborasi dengan keluarga dan pasien
6. Model Tradisional, tergantung pada kondisi setempat dan terinpirasi dari hal-hal
praktis dan keyakinan yang selama ini sudah dijalankan. Program bersifat jangka
pendek dengan aftercare singkat atau tidak sama sekali. Komponen dasar terdiri
dari : medikasi, pengobatan alternatif, ritual dan keyakinan yang dimiliki oleh
sistem lokal contoh : pondok pesantren, pengobatan tradisional atau herbal.
7. Faith Based Model, sama dengan model tradisional hanya pengobatan tidak
menggunakan farmakoterapi
D. Fungsi Inti Layanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Napza
1. Skrining, merupakan proses untuk menentukan apakah pasien dapat masuk atau
mengikuti model terapi yang tersedia
2. Intake, proses administrasi dan asesmen awal untuk masuk ke dalam program
3. Orientasi, memberikan gambaran kepada pasien tentang ; program secara umum
dan tujuan dari masing-masing program, ketentuan/aturan yang harus dipatuhi agar
pasien bisa keluar dari program sesuai dengan tujuan program, untuk program
rawat jalan dijelaskan jam pelayanan dan jenis layanan yang tersedia, biaya
pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien, jika ada serta hak-hak pasien
4. Asesmen, prosedur ini dilaksanakan oleh konselor atau petugas yang ditunjuk untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, masalah yang dimiliki
pasien dan rencana kebutuhan terapi untuk pasien secara individu
5. Rencana Pengobatan, proses yang dilakukan oleh konselor atau profesi lain
bersama pasien untuk mengidentifikasi dan membuat urutan masalah dan solusi
yang diperlukan; membuat persetujuan segera untuk sasaran program jangka
pendek dan jangka panjang; menetapkan proses pengobatan dan sumber daya yang
dibutuhkan
6. Konseling (individual, kelompok dan orang lain yang bermakna): menggunakan
ketrampilan khusus untuk membantu pasien, keluarga atau kelompok dalam
mencapai tujuan pengobatan melalui eksplorasi masalah dan pengaruhnya terhadap
pasien; menilai sikap dan perasaan pasien; mempertimbangkan alternatif
pemecahan masalah; dan membuat keputusan
7. Manjemen Kasus, aktifitas yang diberikan oleh tempat layanan, agensi, sumber
lain, atau orang lain di luar layanan yang bersama sama merencanakan rancangan
dan aksi dalam rangka mencapai sasaran/tujuan pengobatan. Kegiatan ini dapat
melibatkan orang yang menjadi penghubung (misal LSM) atau pendamping
8. Intervensi Krisis, layanan ini merespons kondisi akut baik emosional dan/atau
distres fisik yang terjadi pada pengguna NAPZA
13. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
12
9. Pendidikan Pasien, menyediakan informasi untuk individu maupun kelompok
mengenai masalah NAPZA serta layanan atau sumber daya yang tersedia untuk
membantu pasien
10. Rujukan, mengidentifikasi kebutuhan pasien yang tidak dapat diperoleh dari
konselor/terapis atau tempat layanan serta membantu pasien untuk menggunakan
layanan dukungan dan sumber daya lain yang tersedia di masyarakat
11. Memelihara pencatatan dan pelaporan, membuat grafik hasil dari asesmen dan
rencana pengobatan, menulis laporan, catatan kemajuan pasien, kesimpulan saat
pulang dan data lain yang berhubungan dengan kondisi pasien.
12. Konsultasi dengan profesional lain berkaitan dengan pengobatan atau layanan
pasien, yang berhubungan dengan staf yang berada di dalam pusat layanan atau
professional lain di luar layanan untuk meyakinkan kualitas pengobatan pasien
yang komprehensif.
E. Komponen Program Terapi Dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan NAPZA
Tidak ada pengobatan yang lengkap tanpa memperhatikan kebutuhan lain pasien secara
bermakna. Sesuai dengan sifat adiksi pasien membutuhkan layanan baik secara
multipel maupun bervariasi. penting bagi pasien untuk mendapatkan kontribusi lain
yang berarti untuk mencapai keberhasilan dalam program pengobatan yang seharusnya
diberikan secara lengkap/sesuai oleh penyedia layanan.
Dua belas layanan yang seharusnya tersedia atau tergabung sebagai komponen dalam
pusat layanan adalah :
1. Medik/Klinis - menyediakan layanan medis/psikiatris secara profesional pada
tempat dan saat diperlukan serta mampu untuk menentukan baik kondisi fisik
maupun psikologis pasien.
2. Nutrisi/Gizi - merencanakan diet yang dibutuhkan pasien.
3. HIV, Hepatitis B dan C, IMS (Infeksi Menular Seksual) melakukan pemeriksaan
HIV, Hepatitis B/C dan IMS serta melakukan tindakan yang sesuai termasuk VCT
(Voluntar, Counseling and Testing) dan PITC (Provider Initiated Testing and
Counselling).
4. Spiritual - menyediakan pendidikan agama dan mendorong pasien untuk
melaksanakan kegiatan ibadah sesuai dengan kepercayaan mereka.
5. Layanan/Terapi Keluarga termasuk intervensi keluarga untuk mendorong pasien
yang menolak masuk ke dalam program pengobatan dan juga untuk memelihara
dukungan kepada pasien dalam proses pemulihan.
6. Pencegahan kekambuhan mengajarkan pasien untuk mengenali situasi dengan
risiko tinggi dan pencatus yang mungkin menyebabkan menggunakan NAPZA
kembali, untuk mengembangkan strategi kemampuan menghadapi tekanan dari
luar dan belajar untuk mengelola situasi slip (menggunakan NAPZA kembali
14. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
13
sekali, jatuh atau kambuh menggunakan NAPZA).
7. Aftercare - merupakan suatu kelanjutan dari layanan perawatan seperti dukungan
kepada kelompok pemulihan, konseling, latihan ketrampilan hidup, penempatan
kerja, rujukan dan layanan lain sesuai kebutuhan pasien.
8. Konseling - hubungan terapeutik antara pasien yang membutuhkan bantuan
dengan konselor yang dapat menyediakan pertolongan dan dapat secara individu,
kelompok atau keluarga.
9. Bantuan hukum - bertugas untuk membantu pasien dalam kebutuhan atau masalah
yang berkaitan dengan aspek legal.
10. Terapi vokasional - mengajarkan untuk mampu bersosialisasi dan ketrampilan
bekerja untuk pasien yang sesuai dengan minat dan kompetensi mereka.
11. Latihan ketrampilan hidup - mengembangkan ketrampilan sosial untuk
berkomunikasi lebih baik, meningkatkan harga diri dan menerapkan dasar-dasar
kehidupan bebas/bersih dari NAPZA (sober).
12. Pendidikan dan informasi - melanjutkan pendidikan formal yang relevan dengan
kemampuan pasien, meningkatkan pengetahuan tentang konsekuensi gaya hidup
berisiko dan lain-lain.
F. Tahapan Pengobatan Dan Hasil Yang Diharapkan
Merupakan program yang dibangun untuk jangka panjang dengan tahapan-tahapan
yang merupakan satu rangkaian pengobatan yang panjang. Dalam mengejar pemulihan,
pasien dituntun untuk memiliki kemajuan secara berurutan dari satu layanan ke layanan
lain seperti dari detoksifikasi ke rehabilitasi fase primary ke tahap aftercare dan follow
up (lanjutan). Tahapan dalam program ini dirancang berdasarkan perkembangan yang
diharapkan dari pasien dengan gangguan penggunaan zat melalui proses pengobatan.
Setelah proses intake/awal, pasien diproses untuk tahapan orientasi, diikuti dengan
tahapan awal, tahapan menengah, tahapan akhir dan tahapan re-entry. Akhirnya tahapan
akan dilalui sesuai dan berhubungan dengan kemajuan pasien. Hal ini kemungkinan
dapat diperlihatkan dalam berbagai tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepada
pasien dalam berbagai periode selama dalam program pengobatan. Akan bijaksana
bilamana jumlah dan jenis keistimewaan yang diberikan membuat pasien gembira atau
menikmati.
Kemajuan akan dibuat grafik sesuai dengan rangkaian pengobatan dari keadaan
ketergantungan menjadi tidak ketergantungan NAPZA secara lengkap.
1. Pra Pengobatan
a. Identifikasi dan Intervensi Krisis
b. Penerimaan dalam program
c. Orientasi
d. Detoksifikasi
e. Pengobatan Komorbiditas, masalah medis dan psikiatris
15. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
14
2. Perawatan Primer (Primary Care)
a. Program terapi untuk pasien dan keluarga
b. Pendidikan
c. Rekreasi
d. Spiritual
e. Perawatan kesehatan baik fisik maupun mental
f. Kesadaran diri
g. Evaluasi
3. Perawatan Sekunder (Secondary Care)
a. Lanjutan konseling untuk pasien dan keluarga
b. Rekreasi
c. Pendidikan
d. Spiritual
e. Perawatan kesehatan
f. Dukungan sebaya
g. Rehabilitasi vokasional
h. Pencegahan kekambuhan
i. Aftercare
Tahap Aktifitas Waktu Hasil yang diharapkan
Pra pengobatan 1-3
minggu
Identifikasi-
intervensi krisis
Konseling individu dan
keluarga
Memotivasi pasien untuk
mendapat pengobatan
Menciptakan kesadaran
tentang masalah yang
dihadapi pasien
Penerimaan Pendaftaran
Skrining (pemeriksaan
tubuh, wawancara, tes
urin)
Memperoleh informasi
tentang pasien, keluarga dan
riwayat penggunaan
NAPZA
Orientasi
Program
Tur fasilitas layanan,
pengenalan singkat
peraturan dan tata tertib
layanan
Pemahaman aturan dan tata
tertib dalam fasilitas
layanan
16. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
15
Diskusi dengan pasien
dan keluarga
Persiapan psikologis pasien
untuk pengobatan
Membangun hubungan
dengan penanggung jawab
Merencanakan pengobatan
Detoksifikasi Isolasi dalam ruang
pengobatan/perawatan
Penatalaksanaan gejala
putus NAPZA
Penatalaksanaan
Komorbiditas
Melakukan kajian dan
pemeriksaan secara
medis
Stabilisasi
Layanan kesehatan untuk
penyakit lainnya
evaluasi Kajian ulang dan
tinjauan untuk
pengobatan lanjut atau
rencana pengobatan baru
Membantu kemajuan dan
kemampuan pasien secara
keseluruhan
Tahapan Aktifitas Waktu Hasil yang diharapkan
Sekunder 3-12
bulan
Sesi Terapeutik Konseling individu,
Sesi kelompok, Sesi
keluarga
Kegiatan lanjutan dalam
pemulihan
Membangun ikatan dengan
recovering addict yang
senior
Rekreasional Permainan Outing Meningkatkan kesehatan
dan mempererat ikatan
dalam program
Pendidikan Seminar, bicara dan
workshop
Mengikutsertakan dalam
kegiatan publik dan
aktifitas umum
Spiritual Seminar, Diskusi, Latihan
dan penerapan
Menerima kekuatan yang
tetinggi dan memahami
keberadaan Tuhan
Perawatan
Kesehatan
Asesmen/pemeriksa-an
dan Pengobatan
Seminar kesehatan
Menjaga kesehatan fisik
dan mental
17. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
16
Pemahaman
diri
Membentuk hubungan/
Berbagi/Diskusi
Memperkuat keyakinan
dan mempertimbang-kan
nilai-nilai yang dianut
selama ini
Kelompok
Dukungan
Pertemuan Alcohol
Anonymous dan Narcotic
Anonymous
Bersiap-siap untuk masuk
program reentry
Mengembangkan
ketrampilan sosial
Vokasional Latihan Kerja/Job
Training, Wawancara
kerja
Pengelolaan waktu dan
keuangan
Program latihan kerja
Penempatan di tempat
bekerja
Pencegahan
Kekambuhan
Seminar, Workshop,
Diskusi
Mengenali pola kambuh
dan pencetus kekambuhan
Mengembangkan
kemampuan menghadapi
masalah, mengelola
terpeleset, terjatuh atau
kambuh menggunakan
NAPZA
Tahapan Aktifitas Waktu Hasil yang diharapkan
Aftercare Setelah
12-18
bulan
Pertemuan
kelompok
dukungan 12
langkah
(Twelve Step)
Konseling berkelanjutan,
dukungan kelompok
dalam proses pemulihan
Menguatkan kestabilan
Meningkatkan proses
pemulihan secara
keseluruhan
G. Layanan Lain Yang Tersedia
1. Outreach/Penjangkauan - membawa program layanan kepada lingkungan
masyarakat.
2. Rawat Jalan/Ambulatory - pasien datang ke pusat layanan untuk mendapatkan
layanan, informasi, konseling, daycare, manajemen kasus, pelatihan dan lajn-lain.
3. Family Support Group - menginisiasi/fasilitasi untuk berbagi pengalaman diantara
anggota keluarga.
4. Recovery Support Group/Kelompok Pendukung Pemulihan fasilitasi/ memotivasi
18. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
17
pasien untuk berpartisipasi dalam kelompok dukungan mandiri (Self Help Group).
H. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi hasil pengobatan dilakukan secara periodik dalam setiap fase/tahapan
pengobatan. Diperlukan pembentukan tim untuk mengevaluasi kemajuan setiap pasien
yang terdiri dari berbagai profesi. Apabila evaluasi menunjukkan tidak adanya
kemajuan pada pasien maka perlu ditinjau ulang program terapi selanjutnya agar
diperoleh hasil yang optimal.
Beberapa ha! yang perlu dievaluasi untuk setiap pasien adalah :
a. Kondisi fisik/medis
b. Kondisi penggunaan NAPZA
c. Masalah psikologis
d. Masalah keluarga
e. Masalah sosial, termasuk masalah pekerjaan, pendidikan, finansial, hukum
f. Masalah lain yang penting dan terkait dengan adiksi
g. Pengobatan dan intervensi sosial yang telah diberikan
h. Penilaian efektifitas program secara keseluruhan
I. Rekruitmen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia (SDM) merupakan modal utama dalam melaksanakan program
pengobatan dan rehabilitasi pasien gangguan penggunan Napza. Seringkali sulit untik
mendapat SDM yang berkualitas dan mempunyai ketertarikan pada masalah gangguan
penggunaan NAPZA. Hal ini seringkali disebabkan adanya persepsi yang salah bahwa
bekerja di bidang ini banyak kerja dengan sedikit kemungkinan untuk perkembangan
karier dan kenaikan pangkat. Oleh karena itu, setiap institusi perlu untuk membuat
suatu ketentuan mengenai pengembangan karier dan promosi bagi setiap SDM yang
bekerja pada pusat layanan gangguan penggunaan NAPZA.
Seleksi SDM yang baik merupakan dasar untuk memberdayakan SDM tersebut secara
efektif, meskipun tidak ada garansi penuh bahwa mereka yang sudah diterima akan
bekerja secara efisien dan produktif, banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi
efisiensi dan stabilitas SDM. Pelamar dapat dimotivasi dengan pertimbangan lain selain
hanya uang/gaji seperti pendidikan, pelatihan atau kesempatan untuk mengembangkan
keahlian di bidang gangguan penggunaan NAPZA.
Sejak pengobatan dan rehabilitasi bukan lagi merupakan organisasi yang tradisional,
ada keunikan dalam melakukan penerimaan SDM dimana tidak banyak orang yang
tertarik untuk melakukan pekerjaan dalam waktu yang panjang (lebih 8 jam kerja), on
call 24 jam dalam 7 hari, bekerja saat hari libur, tinggal dalam suatu fasilitas dan yang
sangat nyata mereka harus menghadapi pasien dengan masalah ketergantungan NAPZA
yang seringkali melakukan kekerasan, ketidakstabilan mental, hal ini bisa
diklasifikasikan sebagai pekerjaan berisiko tinggi.
1. Beberapa strategi untuk rekrutmen/penerimaan SDM :
19. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
18
Membuat iklan di surat kabar atau radio
Layanan On line (jika dimungkinkan tersedia internet/ website)
Berhubungan dengan sekolah sesuai dengan profesi yang dibutuhkan
Rujukan/rekomendasi dari petugas atau pasien
Melakukan jejaring dengan profesi yang berbeda dan organisasi pemerintah
Melakukan seleksi melalui kampus
2. Kebutuhan dasar untuk SDM pada pusat pengobatan dan rehabilitasi NAPZA
Usia sedikitnya antara 21 sampai 35 tahun, agar masa penyesuaiannya lebih
mudah
Pendidikan yang sesuai dengan posisi dan tugasnya
Untuk recovering addict, harus sudah lulus dari pusat layanan yang mempunyai
reputasi dan sedikitnya sudah 2 tahun abstinensi, mempunyai pengalaman
melaksanakan program 12 Langkah dan modalitas terapi lainnya
Untuk konselor harus memiliki sertifikat konselor adiksi
Bersedia untuk memberikan waktunya lebih panjang dari pegawai tempat lain
Kualitas personal dalam dedikasi, loyalitas dan ketertarikan pada bidang
pekerjaan tinggi
Harus memiliki 'hati' dan 'jiwa' untuk menolong orang dengan spirit
kemanusiaan yang tinggi
Mampu berkreasi, mempunyai dorongan diri yang kuat dan berorientasi pada
hasil
Bersedia untuk menceburkan diri ke dalam program fasilitas residensial
Bersedia mengikuti berbagai pelatihan baik secara lokal, regional maupun
internasional
3. Proses Seleksi
a. Tes psikologi, untuk mengetahui kepribadian dan motivasi kerja individu
b. Wawancara Individu; untuk memperoleh SDM yang berkualitas, memberikan
informasi tentang bidang kerja, menentukan tingkat intelejensi pelamar,
menciptakan keinginan baik organisasi. Wawancara akan meliputi:
Kematangan emosional
Keterandalan
Percaya diri
Sikap terhadap pekerjaan
Kreativitas
Sistem nilai
Gaya hidup
Sikap kritikal
c. Wawancara Kelompok: pendekatan ini sangat direkomendasi sebagai tambahan
dari hasil wawancara individu, Beberapa jenis wawancara kelompok yang
dilakukan meliputi:
20. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
19
Ketrampilan komunikasi dan menulis
Pemahaman dan tilikan diri yang mendalam
Ketulusan hati dan komitmen untuk ikut serta dalam misi melindungi
kehidupan
Kemampuan untuk berinteraksi dengan teman lainnya
Tingkat komprehensif
Menentukan pencapaian tujuan
Keseriusan dalam melaksanakan pekerjaan
III. PEMBELAJARAN DARI RUMAH SAKIT JIWA DALAM LAYANAN TERAPI
DAN REHABILITASI PASIEN GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA
A. Layanan Yang Dilaksanakan Di Rumah Sakit Jiwa
1. Gawat Darurat Pada Gangguan Penggunaan NAPZA
Pada prinsipnya penatalaksanaan gawat darurat gangguan penggunaan NAPZA
dapat dilakukan di unit gawat darurat untuk pelayanan umum atau unit gawat
darurat untuk gangguan jiwa yang terdapat di Rumah Sakit Jiwa tanpa harus
menyediakan unit gawat darurat tersendiri. Bila memungkinkan unit gawat darurat
gangguan penggunaan NAPZA dapat dibuat tersendiri.
Untuk dapat menangani kasus-kasus gawat darurat NAPZA dengan baik perlu
dilakukan pelatihan untuk tim unit gawat darurat yang meliputi ketrampilan untuk
menangani kasus-kasus kedaruratan medik yang terjadi akibat penggunaan
NAPZA, seperti overdosis opioida, intoksikasi benzodiazepin, intoksikasi
amfetamin.
Beberapa Rumah Sakit Jiwa dapat menangani kasus intoksikasi amfetamin, alkohol
dan halusinogen. Untuk intoksikasi NAPZA lain (misal: Benzodiazepin,
Dekstrometorfan) beberapa Rumah Sakit Jiwa dapat menangani kondisi akut,
termasuk kondisi gaduh gelisah.
Untuk kasus overdosis; khususnya overdosis heroin biasanya pasien dibawa ke
Rumah Sakit Umum meskipun seringkali dokter gawat darurat Rumah Sakit Umum
tidak tahu diagnosis overdosis heroin/kasus heroin
Beberapa Rumah Sakit Jiwa telah menggunakan skala penilaian putus NAPZA
untuk kasus putus heroin (opioida). Masih perlu dilakukan pelatihan Gawat Darurat
Gangguan penggunaan NAPZA karena umumnya Tim gawat darurat Rumah Sakit
Jiwa belum pernah mendapatkan pelatihan kegawatdaruratan dalam bidang
Gangguan penggunaan Napza,
Pasien yang telah menunjukkan perbaikan setelah ditangani di unit gawat darurat
dapat dilanjutkan dengan parawatan rawat inap atau detoksifikasi untuk kasus putus
NAPZA atau berobat jalan untuk kondisi yang sudah memungkinkan untuk pulang.
2. Rawat Jalan/Rumatan:
- Umumnya medikasi yang tersedia di Rumah Sakit Jiwa untuk penanganan
21. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
20
simtomatis. Semua jenis NAPZA dapat dilayani termasuk komplikasi medis
maupun psikiatris. Terapi rumatan di Rumah Sakit Jiwa umumnya belum tersedia.
- Umumnya Layanan Psikososial seperti Konseling Dasar Individual/Kelompok,
Terapi Kelompok, Family Support Group, Dukungan Kelompok Sebaya, Terapi
Musik, Outing, Terapi Vokasional, Motivational Interviewing, Cognitive
Behavioural Therapy, ReEmotive Behaviour Therapy di Rumah Sakit Jiwa masih
kurang.
- Umumnya Rumah Sakit Jiwa telah dapat menyediakan Layanan Penunjang Dasar
seperti laboratorium dasar Kimia Klinik. Untuk pemeriksaan NAPZA umumnya
menggunakan Deep Stick disertai tes konfirmasi. Pemeriksaan radiologi dan
elektromedik (EEG, Brain Mapping, EKG) juga tersedia di Rumah Sakit Jiwa.
3. Detoksifikasi
Umumnya detoksifikasi dilakukan di fasilitas rawat inap Rumah Sakit Jiwa dengan
menggunakan medikasi simtomatis. Khusus untuk detoksifikasi heroin (opioida) selain
simtomatis juga ada yang mempunyai pengalaman tapering off dengan metadon dan
buprenorfin
4. Rehabilitasi
Jangka Pendek (Short Term) (1-3 bulan)
Beberapa Rumah Sakit Jiwa telah melaksanakan program ini dengan fokus pada
perubahan perilaku. Dilakukan skrining masalah medis dan psikologis.
Jangka Panjang - Long term (6 bulan - lebih)
Beberapa Rumah Sakit Jiwa sudah dapat melaksanakan program rehabilitasi untuk
jangka waktu 6 bulan. Ada juga yang sudah menjalankan program re-entry (hingga
9 bulan). Ada juga yang sudah menjalankan Therapeutic Community (TC) secara
penuh yang dilanjutkan dengan/aftercare
Setiap intervensi dilakukan secara bertahap, misalnya untuk lama waktu dilaksanakan
rehabilitasi untuk pasien (dalam program rehabilitasi biasanya disebut residen) dimulai
dengan program jangka pendek terlebih dahulu. Bila rehabilitasi sudah dapat berjalan
secara bermakna, lama waktu dilaksanakan rehabilitasi untuk residen kemudian
diperpanjang, misalnya menjadi minimal 6 bulan.
Umumnya diperlukan waktu yang cukup lama sejak mulai berdirinya rehabilitasi
sampai dapat melakukan program yang melibatkan keluarga. Pada awal program,
biasanya keluarga hanya dilibatkan terkait masalah residen. Untuk selanjutnya keluarga
dapat diajak bekerjasama agar terlibat dalam beberapa program, seperti program
dukungan keluarga dengan anak yang terlibat gangguan penggunaan NAPZA atau
program dukungan residen dengan HIV positif.
Memulai program aftercare hanya jika program jangka pendek sudah berhasil dilalui
dengan baik. Biasanya kegiatan aftercare dilaksanakan di luar lingkungan Rumah Sakit
22. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
21
Jiwa.
Seiring dengan banyaknya kasus ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), perlu dibentuk
kelompok sebaya khusus untuk ODHA pada penasun (pengguna NAPZA suntik)
5. Layanan Psikososial dan Penunjang
Pada umumnya Rumah Sakit Jiwa sudah melakukan konseling dasar, terapi kelompok
dan psikoedukasi keluarga.
6. Evaluasi Terapi
Kebanyakan Rumah Sakit Jiwa belum melakukan secara khusus, kecuali residen yang
sudah mengalami komplikasi medis atau psikiatris.
7. Sistem Rujukan/Jejaring
Sebagian Rumah Sakit Jiwa sudah melaksanakan kerjasama dengan berbagai institusi
baik pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
B. Tantangan Di Lapangan
1. Sumber Daya Manusia
Biasanya tenaga medis dan paramedis terbatas dan kurang berminat untuk bekerja
di bangsal gangguan penggunaan NAPZA, mereka lebih tertarik untuk bekerja di
bangsal umum atau bangsal penyakit jiwa. Salah satu alasan mereka enggan
bekerja di bangsal gangguan penggunaan NAPZA karena kurangnya pengetahuan
dan kekhawatiran berlebihan terhadap pasien gangguan penggunaan NAPZA
yang terinfeksi HIV.
Ketrampilan petugas dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan
penggunaan NAPZA masih terbatas. Ada petugas yang belum mengikuti
pelatihan, ada juga yang enggan mengikuti pelatihan.
Komitmen untuk merencanakan dan menjalankan program dari pengambil
keputusan sampai pelaksana kurang kuat dijumpai di beberapa Rumah Sakit Jiwa.
Kesulitan untuk mendapat peer educator/konselor pada awal menjalankan
program.
Reward/honor petugas yang belum memenuhi standar minimal
2. Penerapan Program
Penerapan program sulit dilaksanakan karena pengetahuan dan ketrampilan
terbatas sehingga kurang percaya diri untuk menjalankan program
Keterbatasan dana sehingga beberapa program tidak dapat dilaksanakan misalnya
outing, terapi vokasional, terapi rekreasional.
Keterbatasan pengalaman dalam penanganan kasus dengan dual diagnosis
Kesinambungan (sustainability) program yang mendapatkan bantuan tidak
direncanakan kelanjutannya sehingga program terhenti ketika bantuan itu
23. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
22
berhenti.
3. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana seringkali dipersepsikan harus terpisah dari kegiatan rumah
sakit secara keseluruhan, Sebagian RS telah melakukan pelayanan dengan
menggunakan fasilitas RS yang tersedia.
4. Evaluasi Terapi
Sudah dilaksanakan evaluasi terapi secara sederhana, belum dilakukan dengan
menggunakan tools/panduan yang terstandarisasi
5. Rujukan/Jejaring
Kerjasama RSJ dengan LSM, RSU, Puskesmas, Lapas di banyak tempat masih
terbatas. RSJ yang sudah melayani ODHA umumnya kerjasama sudah berjalan
baik dalam bidang HIV/AIDS
Advokasi ke beberapa pemangku kepentingan (Badan Narkotika Propinsi, Badan
Narkotika Kabupaten/Kota, Komisi Penanggulangan AIDS, Pemerintah Daerah)
masih ada kendala
Kerjasama lintas sektor dan lintas program belum berjalan dengan optimal
IV. EFEK DAN GEJALA KLINIS GANGGUAN PENGGUNAAN NAP2A
Bab ini akan membahas pengaruh segera atau beberapa saat (efek akut) sesudah
menggunakan NAPZA dan pengaruh penggunaan jangka panjang (efek kronis). Pengguna
NAPZA apapun jenisnya, selalu mengharapkan efek yang menyenangkan bagi dirinya
("efek positif) yaitu euforia, tenang, rileks dan disinhibisi. Efek lainnya pada umumnya
tidak disukai ("efek negatif) misalnya halusinasi, waham, berdebar-debar. Efek NAPZA
terhadap pengguna dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu jenisnya (CNS depressant atau
CNS stimulant), dosisnya (intoksikasi saja atau overdose), lamanya penggunaan
(toleransi atau belum ada toleransi), NAPZA lain yang digunakan bersamaan, situasi
(sendiri atau berkelompok) dan harapan pengguna terhadap NAPZA tersebut (ingin lepas
kendali agar lebih berani atau ingin tenang).
Dalam Bab ini hanya akan dibahas NAPZA yang sering digunakan saat ini di Indonesia.
1. AMFETAMIN
a. Efek Fisik dan Psikologis
Efek dari metamfetamin lebih kuat dibandingkan efek dari amfetamin.
Metamfetamin diketahui lebih bersifat adiktif, dan cenderung mempunyai dampak
yang lebih buruk. Pengguna metamfetamin dilaporkan lebih jelas menunjukkan
gejala ansietas, agresif, paranoia dan psikosis dibandingkan pengguna amfetamin.
Efek psikologis yang ditimbulkan mirip seperti pada pengguna kokain, tapi
berlangsung lebih lama.
24. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
23
Efek fisik akut dan psikologis :
Dosis rendah Dosis tinggi
Susunan Syaraf Pusat,
neurologi, perilaku
Penigkatan stimulasi,
insomnia, dizziness, tremor
ringan
Euforia/disforia,bicara
berlebihan
Meningkatkan rasa percaya
diri dan kewaspadaan diri
Cemas, panik
Menekan nafsu makan
Dilatasi pupil
Peningkatan energi, stamina
dan penurunan rasa lelah
Stereotipik atau
perilaku yang sukar
ditebak
Perilaku kasar atau
irasional, mood yang
berubah-ubah.
termasuk kejam dan
agresif
Bicara tak jelas
Paranoid,kebingungan
dan gangguan persepsi
Sakit kepala,
pandangan kabur,
dizziness
Psikosis (halusinasi
delusi, paranoia)
Dengan penambahan
dosis.dapat meningkatkan
libido
Sakit kepala
Gemerutuk gigi
Gangguan
serebrovaskular
Kejang
Koma
Gemerutuk gigi
Distorsi bentuk tubuh
secara keseluruhan
Kardiovaskular Takikardia (mungkin juga
bradikardia)
.hipertensi
Palpitasi.arimia
Stimulasi kardiak
(takikardia.angina.MI)
vasokonstriksi/
hipertensi
kolap kardiovaskuler
Pernapasan Peningkatan frekwensi napas
dan kedalaman pernapasan
Kesulitan
bernapas/gagal napas
25. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
24
Gastrointestinal Mual dan muntah
Konstipasi ,diare atau kram
abdominal
Mulut kering
Mual dan muntah
kram abdominal
Kulit kulit berkeringat.pucat
hiperpireksia
kemerahan atau
flushing
hiperpireksia, disforesis
Otot peningkatan refleks tendon
b. Efek fisik dan psikologis jangka panjang :
berat badan menurun, malnutrisi, penurunan kekebalan
gangguan makan, anpreksia atau defisiensi gizi
kemungkinan atrofi otak dan cacat fungsi neuropsikologis
daerah injeksi: bengkak, skar, abses
kerusakan pembuluh darah dan organ akibat sumbatan partikel amfetamin pada
pembuluh darah yang kecll.
disfungsi seksual
gejala kardiovaskuler
delirium.paranoia, ansietas akut, halusinasi. Amphetamines induced psychosis
akan berkurang bila penggunaan Napza dihentikan , bersamaan dengan
diberikan medikasi jangka pendak.
depresi, gangguan mood yang lain (misal distimia), atau adanya gangguan
makan pada protracted withdrawal.
penurunan fungsi kognitif, terutama daya ingat dan konsentrasi.
c. Gejala Intoksikasi:
Agitasi
Kehilangan berat badan
Takikardia
Dehidrasi
Hipertermi
Imunitas rendah
Paranoia
Delusi
Halusinasi
Kehilangan rasa lelah
Tidak dapat tidur
Kejang
Gigi gemerutuk.rahang atas dan bawah beradu
Stroke
Gangguan kardiovaskular
Kematian
26. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
25
d. Perilaku sehubungan dengan kondisi intoksikasi:
Agresif/ perkelahian
Penggunaan alkohol
Berani mengambil risiko
Kecelakaan
Sex tidak aman
Menghindar dari hubungan sosial dengan sekitarnya
Penggunaan obat-obatan lain
Problem hubungan dengan orang lain
e. Gejala withdrawal:
Depresi
Tidak dapat beristirahat
Craving
Ide bunuh diri
Penggunaan obat-obatan
Masalah pekerjaan
Pikiran-pikiran yang bizzare
Mood yang datar
Ketergantungan
Fungsi sosial yang buruk
2. KANABIS
a. Komplikasi fisik dan psikososial
Efek akut
Seperti umumnya dengan napza , efek dari kanabis tergantung dengan dosis yang
digunakan.individunya dan kondisi saat itu. Beberapa hal di bawah ini di anggap
sebagai efek positif bagi pengguna.yaitu :
perasaan tenang (relaksasi)
euforia
disinhibisi
peningkatan persepsi penglihatan dan pendengaran
nafsu makan meningkat
persepsi waktu yang salah
sulit untuk konsentrasi
Sedangkan efek akut negatif adalah:
ansietas dan panik
paranoia
halusinasi pendengaran dan penglihatan
gangguan koordinasi
kehilangan memori jangka pendek
27. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
26
takikardia dan aritmia supraventrikuler
Kanabis tidak menyebabkan overdosis yang fatal
Gejala yang umum terj$di pada kondisi putus kanabis adalah
ansietas, tidak dapat beristirahat dan mudah tersinggung
anoreksia
tidur terganggu dan sering mengalami mimpi buruk
gangguan gastrointestinal
keringat malam hari
tremor
Gejala-gejala yang terjadi biasanya ringan dan berakhir setelah satu atau dua
minggu. Pasien dengan putus kanabis hanya memerlukan manajemen gejala jangka
pendek.
3. OPIODA
a. Efek Opioda
SISTIM ORGAN EFEK
Sistim Saraf Analgesi
euforia
sedasi, mengantuk, depresi pernapasan
penekanan refleks batuk
pupil konstriksi
Gastroitestinal mual dan muntah
konstipasi
spasme biliar ( peningkatan tonus sfingter Oddi)
Endrokrin perubahan hormon sex pada wanita (kadar FSH dan LH
rendah ,peningkatan kadar prolaktin) berdampak pada
gangguan siklus menstruasi, penurunan libido,
galaktorhea
penurunan kadar testosteron pada laki-laki,penurunan
libido
meningkatnya hormon anti diuretik (ADH), penurunan
kadar ACTH
Lainnya gatal-gatal,berkeringat,kulit kemerahan (reaksi
histamin)
kekeringan pada daerah mulut.mata dan kulit
pengeluaran urin yang sulit
tekanan darah rendah
28. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
27
b. Simpton putus opioid dengan kerangka waktu
Jarak waktu dari
suntikan terakhir
Gejala Umum
6 – 12 jam mata dan hidung berair, menguap
berkeringat
12 – 24 jam agitasi dan iritabel
berdiri bulu roma (goosebumps)
berkeringat, perasaan panas dan dingin
kehilangan nafsu makan
Lebih dari 24 jam keinginan kuat untuk menggunakan heroin (craving)
kram perut, diare
kehilangan nafsu makan, mual, muntah
nyeri punggung.nyeri per§sndian,tangan atau kaki, sakit
kepala
sulit tidur
letargi, kelelahan
tidak dapat istirahat, irritable, agitasi
sulit konsentrasi
perasaan panas dan dingin, keringat meningkat
Hari ke 2 sampai 4 semua gejala mencapai puncaknya
Hari ke 5 sampai 7 kebanyakan gejala fisik mulai berkurang.
nafsu makan mulai kembali
Minggu ke 2 gangguan fisik mulai menghilang. Dapat muncul keluhan
lain seperti tidak dapat tidur, rasa lelah, irirtable, craving
Beberapa minggu
sampai beberapa bulan
kembali ke pola tidur .level aktivitas dan mood normal.
Meningkatnya kesehatan secara umum dan penurunan
craving
4. BENZODIAZEPIN
Semua benzodiazepin bersifat sedatif, ansiolitik dan anti konvulsan.
a. Efek jangka pendek
o mengantuk, letargi, kelelahan
o gerakan yang tidak terkoordinasi, penurunan reaksi terhadap waktu dan ataksia
o penurunan fungsi kognisi dan memori (terutama amnesia anterograde)
o kebingungan
o kelemahan otot atau hipotoni
o depresi
o nistagmus, vertigo
o disarthria, bicara cadel/tidak jelas
29. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
28
o pandangan kabur, mulut kering
o sakit kepala
o euforia paradoksal, rasa girang, tidak dapat beristirahat, hipomania dan perilaku
inhibisi yang ekstrim (terutama pengguna dosis tinggi dapat merasa tidak dapat
dilukai, kebai terhadap serangan atau pukulan dan merasa dirinya tidak dapat
dilihat orang sekitarnya)
o efek potensiasi dengan napza depresah susunan syaraf pusat lainnya, misal
alkohol dan opioid yang dapat meningkatkan risiko penekanan pernapasan
b. Efek jangka panjang
Mirip dengan efek jangka pendek, ditambah dengan :
toleransi terhadap efek sedatif/hipnotik dan psikomotor
emosi yang "tumpul" (ketidakmampuan merasa bahagia atau duka sehubungan
dengan hambatan terhadap emosi)
siklus menstruasi tidak teratur, pembesaran payudara
ketergantungan (dapat terjadi setelah 3 sampai 6 bulan dalam dosis terapi)
d. Gejala Putus Benzodiazepin :
Umumnya mencakup:
insomnia
ansietas
irritable
tidak dapat beristirahat
agitasi
depresi
tremor
dizziness
Jarang terjadi, tapi perlu penanganan serius :
kejang (kejang hampir menyerupai pengguna alkohol dosis tinggi)
delirium
Gejala lain mencakup:
kedutan otot dan nyeri
anoreksia, mual
kelelahan
tinnitus
hiperakusis, fotofobia, gangguan persepsi
depersonalisasi, derealisasi
pandangan kabur
30. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
29
5. ALKOHOL
a. Intoksikasi Alkohol Akut
Intoksikasi dapat dikenali dengan gejala-gejala :
ataksia dan bicara cadel/tak jelas
emosi labil dan disinhibisi
napas berbau alkohol
mood yang bervariasi
b. Komplikasi akut pada intoksikasi atau overdosis :
paralisis pernapasan, biasanya bila muntahan masuk saluran pernapasan
obstructive sleep apnoea
aritmia jantung fatal ketika kadar alkohol darah lebih dari 0,4 mg/ml
c. Gejala klinis sehubungan dengan overdosis alkohol dapat meliputi:
penurunan kesadaran, stupor atau koma
perubahan status mental
kulit dingin dan lembab, suhu tubuh rendah
d. Gejala putus alkohol:
Biasa terjadi 6-24 jam sesudah konsumsi alkohol yang terakhir: Gejala putus
alkohol ringan :
Tremor
Khawatir dan agitasi
Berkeringat
Mual dan muntah
Sakit kepala
Takikardia
Hipertensi
Gangguan tidur
Suhu tubuh meningkat
Gejala putus alkohol berat:
muntah
agitasi berat
disorientasi
kebingungan
paranoia
hiperventilasi
delirium tremens (DTs) adalah suatu kondisi gawat darurat pada putus alkohol
yang tidak ditangani .muncul 3-4 hari setelah berhenti minum alkohol. DTs
mencakup gejala agitasi, restlessness, tremor kasar, disorientasi,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, berkeringat dan demam tinggi,
31. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
30
halusinasi lihat dan paranoia.
6. KOKAIN
a. Efek yang diharapkan :
euforia
banyak bicara
bertambahnya percaya diri
energi
berkurang keinginan untuk tidur
b. Efek akut pada dosis rendah :
anastesi lokal
dilatasi pupil
vasokonstriksi
peningkatan pernapasan
peningkatan denyutjantung
peningkatan tekanan darah
peningkatan suhu tubuh
c. Efek akut pada dosis tinggi (reaksi toksik):
stereotipik, perilaku repetitif
ansietas/ agitasi berat/ panik
agresif
kedutan otot/tremor/hilang koordinasi
peningkatan refleks
gagal napas
peningkatan tekanan darah yang bermakna
nyeri dada/angina
edema paru
gagal ginjal akut
konvulsi
penglihatan kabur
stroke akut
kebingungan/delirium
halusinasi, lebih sering halusinasi dengar
dizziness
kekakuan otot
lemah, nadi cepat
aritmia jantung
iskemi miokardial dan infark
berkeringat/suhu tubuh sangat tinggi (suhu rektal bisa mencapai 41°C)
sakit kepala
nyeri perut/mual/muntah
32. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
31
d. Efek pada penggunaan kronis :
insomnia
depresi
agresif atau liar
kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan
kedutan otot
ansietas
psikosis - waham curiga, halusinasi
hilang libido dan/atau impotensi
peningkatan refleks
peningkatan denyut nadi
e. Gejala putus kokain (terjadi setelah beberapa hari penggunaan kokain)
mood disforia (anhedonia atau kesedihan mirip depresi) dan
kelelahan
insomnia atau hipersomnia
agitasi psikomotor atau retardasi
craving
peningkatan nafsu makan
mimpi buruk
gejala putus alkohol mencapai puncaknya dalam 2-4 hari
gejala disforia bisa berlangsung sampai 10 minggu
7. VOLATILE SUBSTANCE (SENYAWA YANG MUDAH MENGUAP)
a. Efek pada penggunaan akut
mata merah dan berair
bersin dan batuk
nafas berbau napza kimia
lem, solven, bekas cat tertinggal pada baju, jari tangan, hidung, atau mulut
intoksikasi terlihat jelas/ perilaku menyimpang/ berani mengambil risiko
kebingungan
koordinasi yang lemah
mengeluarkan keringat yang berlebihan
ada tanda-tanda tidak biasa/rash,
iritasi kulit di sekitar mulut dan hidung
sekresi nasal yang berlebihan,
secara langsung menghirup
b. Efek yang diharapkan :
euforia
rasa girang
rasa melambung
rasa tidak dapat dilukai/disakiti
33. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
32
disinhibisi
c. Efek jangka pendek/efek negatif:
mengantuk
gejala mirip flu
mual dan muntah
sakit kepala
diare, nyeri abdominal
pernapasan tidak nyaman
perdarahan hidung dan tenggorokan
perilaku berisiko.
d. Efek pada dosis tinggi:
berbicara tidak jelas
koordinasi motorik lemah
disorientasi, kebingungan
tremor
sakit kepala
delusi
gangguan penglihatan atau halusinasi
perilaku yang tidak dapat diprediksi
- ataksia
- stupor
- final stages ( kejang, koma cardiopulmonary arrest, kematian ).
e. Gejala Overdosis
Dosis tinggi dapat menyebabkan pasien mengalami:
konvulsi, koma
Gangguan pernafasan
Aritmia jantung
Gangguan atau kematian dapat terjadi karena:
perilaku yang berisiko (tenggelam, jatuh, dll)
sufokasi
aspirasi muntahan
terbakar, ledakan
keracunan, kegagalan organ tubuh (pengguna kronis)
Laryngeal Spasm (Butane) Respiratory Arrest
keracunan logam (bensin/solar)
f. Gejala putus zat:
Permulaan dan lamanya: tidak diklasifikasikan dalam DSM IV tapi sifat dari gejala
putus yang memungkinkan dapat terjadi pada 24-48 jam sesudah penggunaan
berakhir Gejalanya:
gangguan tidur
tremor
34. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
33
mudah tersinggung dan depresi
mual
diaforesis
ilusi hilang dengan cepat
V. LAYANAN KOMPREHENSIF GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS
RUMAH SAKIT
1. Rekruitmen SDM
a. Sosialisasi program, sebelum dirancang program operasional terapi dan rehabilitasi
Gangguan penggunaan NAPZA seharusnya pihak manajemen melakukan sosialisasi
kepada seluruh karyawan rumah sakit dan pemangku kepentingan lain yang terkait
(donator, LSM atau pemda setempat). Dalam sosialisasi perlu dijelaskan tentang
beberapa hal terkait dengan operasional layanan untuk gangguan penggunaan
NAPZA tersebut yang meliputi :
Keuntungan yang akan diperoleh ataupun kerugian (kalau ada) yang akan dialami
rumah sakit
Jenis layanan atau program terapi dan rehabilitasi gangguan penggunaan NAPZA
yang akan dilaksanakan
Staf dan karyawan yang akan terlibat dalam program
Jejaring yang harus dibentuk dengan pemangku kepentingan
Pendanaan dan penghasilan yang dapat diperoleh dari layanan gangguan
penggunaan NAPZA
b. Skrining motivasi untuk bekerja di unit gangguan penggunaan NAPZA dan HIV,
umumnya akan terjadi penolakan ketika akan dilakukan rekrutmen atau skrining
staf/karyawan yang akan mengelola program untuk gangguan penggunaan NAPZA.
Untuk itu pihak manajemen harus mampu meyakinkan kepada karyawan/staf tentang
reward yang dapat diperoleh bagi petugas/staf di bangsal gangguan penggunaan
NAPZA seperti:
Pelatihan khusus masalah gangguan penggunaan NAPZA
Pemberian insentif khusus sesuai dengan jam kerja
Promosi kenaikan pangkat
Promosi untuk pendidikan berkelanjutan, dan lain-lain sesuai kemampuan rumah
sakit
c. Jenis dan jumlah tenaga/profesi yang dibutuhkan, sangat tergantung dengan jenis
layanan yang akan dilaksanakan. Tidak semua jenis profesi harus tersedia dalam
sebuah pusat layanan, bilamana memerlukan suatu layanan profesi khusus dapat
dilakukan dengan cara sistern rujukan atau membuat kesepakatan kerja.
Dalam bidang teknis-medis tenaga minimal yang diperlukan :
1 orang psikiater dan atau dokter umum yang terlatih di bidang gangguan
penggunaan NAPZA
35. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
34
1 tim (8 orang) perawat/paramedik
1-2 orang instruktur/guru sesuai jenis kegiatan
1 tim (3 orang) konselor adiksi yang sudah terlatih
1 orang pekerja sosial
1 orang pembimbing agama
Dalam bidang administrasi kegiatan pelayanan dibutuhkan :
1 orang tenaga pimpinan/program manajer
1 orang petugas tata usaha
1 orang petugas keuangan
1 orang petugas kebersihan
1 tim (4 orang) petugas keamanan
d. Pelatihan/ketrampilan yang perlu dimiliki, untuk awal pelaksanaan program perlu
dilakukan pelatihan pada semua tim teknis/medis baik peningkatan ketrampilan
melalui pelatihan maupun magang pada pusat layanan yang sudah mapan/mempunyai
kredibilitas.
Pelatihan untuk staf teknis/medis meliputi;
Pengetahuan tentang gangguan penggunaan NAPZA dan praktek
pengobatan/perawatan
Ketrampilan yang berkaitan untuk pengkajian/asesment, rencana pengobatan dan
konseling individu/kelompok/keluarga
Isu-isu lain berkaitan dengan koordinasi, dokumentasi, kelompok kerja dan
profesional/tanggung jawab etika dalam pelayanan
Pengembangan manajemen dan ketrampilan supervisi
Pelatihan untuk non klinikal/teknis staf meliputi:
Komunikasi, manajemen waktu, ketrampilan berkaitan dengan pekerjaan seperti
komputer/ IT, kepuasan pelanggan dan lain-lain
Menjaga keamanan di lingkungan fasilitas/kerja
e. Tugas pokok dan fungsi yang jelas, program yang diterapkan pada pusat terapi dan
rehabilitasi umumnya merupakan program yang terstruktur sehingga pembagian kerja
dari masing-masing individu harus sangat jelas agar program dapat berjalan dengan
baik.
Promosi dalam pengembangan kompetensi (termasuk perencanaan pelatihan),
secara periodik sebaiknya dinilai kinerjanya disertai dengan rencana promosi bagi
staf/karyawan yang mempunyai dedikasi dan ketrampilan yang bisa diandalkan.
Supervisi teknis sangat diperlukan untuk kita ketahui demi kebutuhan
pengembangan ketrampilan apa yang dibutuhkan untuk menunjang layanan yang
optimal. Persiapan untuk rencana pelatihan diperoleh dengan melakukan :
Training Need Assesment (TNA) setiap tahun
Jadwal tahunan setiap tahun
Alokasi dana untuk pelatihan
Dokumentasi hasil pelatihan
36. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
35
Membuat perpustakaan di dalam pusat layanan
2. Sarana Dan Prasarana
Persyaratan minimal disesuaikan dengan jenis layanan yang akan dibuka, pelayanan
dapat memanfaatkan sarana yang selama ini sudah tersedia bahkan meskipun sangat
sederhana/minimal. Fasilitas (sarana/prasarana) bisa digabung dengan pelayanan lain
pada rumah sakit, tentunya dengan mempertimbangkan keamanan dan kenyaman pasien
lainnya. Dibawah ini diterangkan apa saja yang dimaksud dengan sarana dan prasarana
dalam layanan terapi dan rehabilitasi Gangguan penggunaan NAPZA
Sarana:
Bangunan atau gedung, misalnya; kantor, ruang pemeriksaan, ruang perawatan, ruang
konseling, ruang kelas, asrama, ruang ketrampilan, aula, dapur dan sebagainya.
Prasarana:
Jalan, listrik, telepon, air minum, pagar, saluran air buangan/drainage, peralatan
kantor, peralatan layanan baik medis maupun non medis dan sebagainya (generator
untuk daerah sering mati listrik, sumur pompa untuk daerah yang air ledengnya sering
tidak mengalir).
Kebutuhan minimal dalam pelayanan Gangguan penggunaan NAPZA:
a. Rawat Jalan ; untuk poliklinik Gangguan penggunaan NAPZA dapat digabung
dengan poliklinik lain khususnya poliklinik psikiatri, apabila tidak
memungkinkan hari layanan untuk pasien dengan Gangguan penggunaan NAPZA
tidak diberikan setiap hari tetapi dalam seminggu 2 atau 3 kali layanan. Beberapa
sarana yang diperlukan adalah :
Ruang periksa dokter
Ruang konseling/pemeriksaan psikologi
Ruang terapi kelompok untuk sekitar 8-12 orang
b. Rawat Inap :
Detoksifikasi : Ruang perawatan (6-10 tempat tidur) yang aman dari benda-
benda yang membahayakan seperti; tiang/pipa besi yang dapat dipatahkan,
kisi-kisi yang bisa untuk menggantung diri, kaca, benda tajam
Rehabilitasi : asrama, ruang kantor, ruang kelas, ruang ketrampilan, ruang
makan/rekreasi, aula, dapur, ruang olah raga, ruang untuk service area, dan
sebagainya sesuai dengan kebutuhan program
3. Model Layanan
a. Rawat Darurat; dapat dilayani kondisi gawat darurat gangguan penggunaan NAPZA
dengan mengacu pada standar minimal RSJ tipe A, B, Rumah Sakit Ketergantungan
Obat dan RSU tipe A,B maupun C
Penatalaksanaan umum kondisi emergensi gangguan penggunaan NAPZA:
37. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
36
Tindakan terfokus pada masalah penyelamatan hidup (life threatening) melalui
prosedur ABC (Airway, Breathing, Circulation) dan menjaga tanda-tanda vital
Bila memungkinkan hindari pemberian obat-obatan, karena dikhawatirkan akan
terjadi interaksi dengan NAPZA yang digunakan pasien. Apabila NAPZA yang
digunakan pasien sudah diketahui, obat dapat diberikan dengan dosis yang
adekuat
Merupakan hal yang selalu penting untuk memperoleh riwayat penggunaan
NAPZA sebelumnya baik melalui auto maupun alloanamnesa (terutama dengan
keluarganya). Bila pasien tidak sadar perhatikan alat-alat atau barang yang ada
pada diri pasien (seperti adanya jarum suntik, obat-obatan dsb)
Sikap dan tata cara petugas membawakan diri merupakan hal yang penting
khususnya bila berhadapan dengan pasien panik, kebingungan atau psikotik
Terakhir, penting untuk menentukan atau meninjau kembali besarnya atau
beratnya masalah penggunaan NAPZA pasien berdasar kategori dibawah ini:
1. Pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA dalam jumlah banyak dan
tanda-tanda vital yang membahayakan berkaitan dengan kondisi intoksikasi.
Kemungkinan akan disertai dengan gejala-gejala halusinasi, waham dan
kebingungan akan tetapi kondisi ini akan kembali normal setelah gejala-gejala
intoksikasi mereda
2. Tanda-tanda vital pasien pada dasarnya stabil tetapi ada gejala-gejala putus
NAPZA yang diperlihatkan pasien maka bila ada gejala-gejala kebingungan
atau psikotik hal itu merupakan bagian dari gejala putus NAPZA.
3. Pasien dengan tanda-tanda vital yang stabil dan tidak memperlihatkan gejala
putus NAPZA yang jelas tetapi secara klinis menunjukkan adanya gejala
kebingungan seperti pada kohdisi delirium atau demensia. Dalam
perjalanannya mungkin timbul gejala halusinasi atau waham, tetapi gejala ini
akan menghilang bilamana kondisi klinis delirium atau dementia sudah
diterapi dengan adekuat
4. Bilamana tanda-tanda vital pasien stabil dan secara klinis tidak ada gejala-
gejala kebingungan atau putus NAPZA secara bermakna, tetapi menunjukkan
adanya halusinasi atau waham dan tidak memiliki insight maka pasien
menderita psikosis
5. Penatalaksanaan kondisi gawat darurat gangguan penggunaan NAPZA akan
diuraikan sebagai berikut:
5.1. Intoksikasi/Overdosis Opioida:
Merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan penanganan secara
cepat
Atasi vital sign (Tekanan Darah, Pernafasan, Denyut Nadi, Temperatur)
38. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
37
Berikan antidotum Naloxon HCL (Narcan, Nokoba) dengan dosis 0,01
mg/kg.BB secara iv, im, sc
Kemungkinan perlu perawatan ICU, khususnya bila terjadi penurunan
kesadaran
Observasi selama 24 jam untuk menilai stabilitas tanda-tanda vital
5.2. Intoksikasi Amfetamin atau NAPZA yang menyerupai
Simptomatik, tergantung kondisi klinis, untuk penggunaan oral :
merangsang muntah dengan activated charcoal atau kuras lambung
adalah penting
Antipsikotik , Haloperidol 2-5 mg atau Chlorpromazine 1 mg/kg BB
setiap 4-6 jam bila timbul gejala psikotik
Antihipertensi bila Tekanan Darah diatas 140/100 mHg
Kontrol temperatur dengan selimut dingin atau antipiretika untuk
mencegah temperatur tubuh meningkat
Aritmia cordis, lakukan Cardiac monitoring ; Propanolol 2-3x40 mg
(perhatikan kontraindikasinya)
Bila ada gejala ansietas berikan ansiolitik golongan Benzodiazepin ;
Diazepam 3 x 5 mg atau Chlordia-zepoxide 3x25 mg
Asamkan urin dengan Amonium Chlorida 2,75 mEq/kg atau
Ascorbic Acid 8 mg/hari sampai pH urin <5 akan mempercepat
ekskresi NAPZA
5.3. Intoksikasi Kanabis
Umumnya tidak perlu farmakoterapi, dapat diberikan terapi suportif
dengan talking down
Bila ada gejala ansietas berat:
Lorazepam 1-2 mg oral, atau
Alprazolam 0.5 - 1 mg oral, atau
Chlordiazepoxide 10-50 mg oral
Bila terdapat gejala psikotik menonjol dapat diberikan Haloperidol
1-2 mg oral atau i.m ulangi setiap 20-30 menit
5.4. Intoksikasi Alkohol
Bila terdapat kondisi Hipoglikemia injeksi 50 mg Dextrose 50%
Bila keadaan Koma :
Posisi face down untuk cegah aspirasi
Observasi ketat tanda vital setiap 15 menit
Injeksi Tiamine 100 mg i.v untuk profilaksis terjadinya Wernicke
Encephalopathy.ialu 50 ml Dekstrose 50% iv (urutan jangan
sampai terbalik)
Problem Perilaku (gaduh/gelisah):
Petugas keamanan dan perawat siap bila pasien agresif
Terapis harus toleran dan tidak membuat pasien takut atau
39. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
38
merasa terancam
Buat suasana tenang dan bila perlu tawarkan makan
Beri dosis rendah sadatif: Lorazepam 1-2 mg atau Haloperidol 5
mg oral, bila gaduh gelisah berikan sacara parenteral (I.m)
Kadar Alkohol Dalam Darah dan Hubungannya Dengan
Gejala Pada Sistem Saraf Pusat
KONSENTRASI (g/dl) PEMINUM
SPORADIK
PEMINUM KRONIK
0,050-0,075 (taraf pesta) Euforia, Suka
berkumpul
gregarious), suka
mengomel
(garroulous)
-Tak tampak gejala
-Sering masih terlihat
segar
0,100 (intoksikasi secara
hukum*)
Tidak terkoordinasi Gejala minimal
0,125-0,150 . Perilaku tak
terkontrol
Menyenangkan, mulai
euforia, kurang
koordinasi
0,200-0,250 Hilang
kewaspadaan,
lethargy
Membutuhkan
usaha untuk mem-
pertahankan
emosi/kontrol motorik
0,300-0,350 Stupor sampai koma Mengantuk, lamban
Lebih dari 0,500 Fatal, mungkin mem-
butuhkan
hemodialisis
Koma
*) Di beberapa Negara (atau negara bagian di AS seperti California)
secara hukum kadar 0.080 sudah ditetapkan sebagai intoksikasi.
5.5. Intosikasi Sedatif-Hipnotik (Benzodiazepin)
Diperlukan terapi kombinasi yang bertujuan :
a) Mengurangi efek obat dalam tubuh
40. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
39
b) Mengurangi absorbsi obat lebih lanjut
c) Mencegah komplikasi jangka panjang
Langkah I: Mengurangi efek Sedatif-Hipnotik :
Untuk tingkat serum sedatif-hipnotik yang tingginya
ekstrim dan gejala-gejala sangat berat, pikirkan untuk
haimoperfusion dengan Charcoal resin/Norit. Cara ini
juga berguna bila ada intoksikasi berat barbiturat yang
lebih short acting.
Tindakan suportif termasuk:
a) pertahankan jalan nafas, pernafasan buatan bila
diperlukan
b) perbaiki gangguan asam basa
Alkalinisasi urin sampai pH 8 untuk memperbaiki
pengeluaran obat dan untuk diuresis berikan
Furosemide 20-40 mg atau Manitol 12,5-25mg.
Langkah II: Mengurangi absorbsi lebih lanjut:
Rangsang muntah, bila baru terjadi pemakaian. Kalau
tidak, pikirkan Activated Charcoal, Selama perawatan
pasien harus diperhatikan supaya tidak terjadi aspirasi.
Langkah III: Mencegah komplikasi:
Perhatikan tanda-tanda vital dan depresi pernafasan,
aspirasi dan edema paru.
Bila sudah terjadi aspirasi, berikan antibiotik
Bila pasien berusaha bunuh diri, maka dia harus
ditempatkan di tempat khusus dengan pengawasan
perawat.
5.6. Intoksikasi Halusinogen
Intervensi Non Farmakologik : .
o Lingkungan yang tenang, aman dan mendukung
o Reassurance : bahwa obat tersebut menimbulkan gejala-gejala
itu; dan ini akan hilang dengan berjalannya waktu (talking
down)
Intervensi Farmakologik:
o Bila terjadi bad trip (rasa tidak nyaman) atau serangan panik;
berikan anti ansietas : Diazepam 10-30 mg oral
5.7. Intoksikasi Inhalansia
Pertahankan agar pernafasan berlangsung dengan baik agar tidak
kekurangan oksigen
Tidak ada antidotum yang spesifik
41. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
40
Simptomatik
Pasien dengan gangguan neurologik yang nyata, misalnya neuropati
atau persistent ataxia, harus dievaluasi sebagaimana mestinya dan
follow up yang ketat.
b. Rawat Jalan :
Model Tradisional : model layanan ini sama seperti layanan penyakit lain, dokter
hanya melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan kemudian pengobatan
farmakoterapi sesuai dengan diagnosis kerja. Tenaga yang dibutuhkan hanya satu
orang dokter dan satu orang perawat yang telah terlatih masalah gangguan
penggunaan Napza
Model Komprehensif/Holistik : model ini menyatukan layanan dari berbagai
profesi sesuai dengan kebutuhan pasien. Profesi yang terlibat antara lain;
psikiater, dokter umum terlatih, psikolog klinis, pekerja sosial, perawat terlatih,
konselor. Bilamana pasien mengalami suatu komplikasi medis dapat dirujuk
kepada spesialis lain sesuai dengan hasil pemeriksaan medis. Dalam layanan ini
jenis intervensi yang dapat diberikan adalah :
- Farmakoterapi
- Konseling
- Psikoterapi individual dengan pendekatan khusus seperti Terapi Kognitif dan
Perilaku
- Terapi kelompok
- Terapi Keluarga
- Evaluasi Psikologis
- Evaluasi Sosial
Dalam intervensi psikososial minimal dapat diberikan konseling umum, untuk pasien
yang mempunyai risiko tinggi terpapar HIV dapat diberkan layanan VCT (Voluntary
Counseling and Testing) dan edukasi tentang berbagai penyakit terkait dengan
penggunaan NAPZA khusunya NAPZA dengan cara suntik. Bilamana sudah
memiliki dokter yang terlatih dalam CST (Care, Support and Treatment),maka
poliklinik dapat memberikan layanan pengobatan untuk Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA).
c. Layanan rumatan, merupakan suatu layanan jangka panjang untuk pasien dengan
ketergantungan opioida/heroin. Layanan ini harus memenuhi kriteria sesuai dengan
pedoman yang telah dibuat secara nasional. Beberapa jenis terapi rumatan bagi
ketergantungan opioida yang ada adalah:
1. Metadon
- Merupakan opioida sintetik yang bekerja long acting (24-36 jam) Digunakan
di Amerika Serikat sejak tahun 60 an
- Bilamana digunakan untuk terapi rumatan (maintenance) tidak menimbulkan
eforia, sedasi atau efek analgesik
42. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
41
- Dosis adekuat sangat individual
- Zat aktif: Metadon Hidrokhlorida
- Zat inaktif: Magnesium stearat dan selulosa
- Bentuk sediaan : tablet: disebut juga Diskettes.
- Setiap tablet mengandung 40 mg. Metadon HCI Liquid, dispensing dengan
pompa otomatis sehingga dosis kecil dapat terukur dengan baik. Setiap 1 ml
mengandung 10 mg metadon HCI
- Penggunaan iv setara dengan morfln
- Mempunyai cara kerja yang serupa dengan morfin, bekerja pada mu reseptor
(depresi pernafasan, ketergantungan flsik dan eforia)
- Oral bioavisbility 80 - 90%, artinya bila digunakan melalui oral akan diserap
tubuh sebesar 80-90%
- Oiabsorbsi secara perlahan setalah 30 menit pemberian dan mencapai efek
puncak 2-4 jam
- Dengan pemberian dosis yang berulang waktu paruh rata-rata 22 jam
2. Buprenorfin
- Buprenorfin merupakan derivat tebain (dalam hukum diklasifikasikan sebagai
narkotika)
- Memiliki sifat partial agonist
- Potensi kuat dengan cara kerja 24 jam pada dosis lazim dan 12 jam pada dosis
minimal
- Pemberian secara sublingual dengan rasa yang sedikit pahit
- Memberikan efek agonis yang cukup dirasakan oleh pasien
- Tersedia dalam bentuk tablet dengan dosis 2 mg dan 8 mg
- Masa kerja lama bila digunakan untuk pengobatan ketergantungan opioida
berbeda dengan efek analgesiknya yang singkat
- Afinitas yang tinggi terhadap mu-reseptor opioida
- Bersaing dengan opioida lain dan memblok efek opioida lain
- Disosiasi yang lambat dari mu-reseptor opioida
- Efek terapeutik yang lebih lama pada pengobatan ketergantungan opioida
(berbeda dengan efek analgetik yang relatif singkat)
3. Levo Alfa Asetil Metadol (LAAM)
- Merupakan opioida sintetis agonis yang sama efeknya dengan metadon
- Perubahan rantai kimia menyebabkan efek kerja LAAM lebih lama dari
43. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
42
metadon
- Waktu kerja mencapai 72 jam (3 hari) sehingga pemberian hanya dilakukan 3
hari sekali
- Mengingat efek toksik yang cukup tinggi LAAM saat ini jarang digunakan
4. Suboxone
- Merupakan kombinasi antara Buprenorfin sembilan bagian dengan Nalokson
satu bagian (antagonis opioida)
- Cara kerja, farmakodinamik, cara penggunaan, dosis dan cara penggunaan
sama dengan Buprenorfin
- Obat ini sulit untuk disalahgunakan (disuntikan) karena adanya antagonis
opioida akan melepas ikatan opioida pada mu-reseptor sehingga. akan timbul
gejala putus opioida
d. Rawat Inap, tidak semua pasien memerlukan rawat inap. Rawat inap diperuntukkan
bagi pasien yang kondisi fisik maupun psikologisnya sulit untuk diatasi dengan rawat
jalan seperti : kondisi putus NAPZA berat, putus NAPZA yang memerlukan tapering
off pengobatan (Alkohol, Benzodiazepin) atau adanya penyulit baik secara fisik
maupun mental.
Detoksifikasi, Rehabilitasi, Rawat Komplikasi Fisik dan Psikiatrik;
1. Detoksifikasi
Merupakan suatu langkah awal dalam proses pemulihan
Bertujuan mengatasi kondisi putus NAPZA
Tidak semua pasien memerlukan perawatan detoksifikasi dengan rawat inap,
hanya pada kondisi putus NAPZA berat untuk heroin, benzodiazepin dan
alkohol atau adanya komplikasi fisik maupun psikologis
Untuk ruangan kondisinya sebaiknya terpisah dengan bangsal penyakit lain
karena kemungkinan akan mengganggu pasien lainnya
Detoksifikasi biasanya dilakukan dengan standar minimal dengan
simptomatis, apabila memungkinkan dikembangkan untuk detokisifikasi
dengan zat substitusi atau UROD (Ultra Rapid Opioid Detoxification)
Beberapa jenis detoksifikasi yang dapat diberikan untuk beberapa jenis
NAPZA akan dijelaskan dibawah ini.
1.1. Putus Opioida
Putus seketika (Abrupt Withdrawal )
Simptomatik, sesuai gejala klinis beri analgetika (Tramadol, Asam
Mefenamat, Parasetamol), Spasmolitika (Papaverin), Dekongestan,
Sedatif-Hipnotik, Antidiare
Subtitusi dengan golongan Opioida : Kodein, Metadon, Buprenorfin
yang diberikan secara tapering off. Untuk Metadon dan Buprenorfin
terapi dapat dilanjutkan untuk jangka panjang (Rumatan)
44. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
43
Subtitusi non opioida ; Klonidin dengan dosis 17mcg/Kg.BB dibagi
dalam 3-4 dosis diberikan selama 10 hari dengan tapering off 10%/hari,
perlu pengawasan tekanan darah. bila sistole kurang dari lOOmmHg
atau diastole kurang 70 mmHg HARUS DIHENTIKAN
Pemberian Sedatif-Hipnotika, Neuroleptika (yang memberi efek sedatif,
mis ; klozapine 25 mg) dapat dikombinasikan dengan obat-obat lain
Ultra Rapid Opioid Detoxification (UROD):
- Merupakan detoksifikasi cepat dangan menggunakan anaestesi atau
dalam kaadaan tidak sadar saat melepaskan ikatan opioida dari mu-
reseptor dengan menggunakan antagonis opioida yaitu Nalokson
injeksi
- Harus dilakukan dalam ruang Intensif Care Unit (ICU) karena harus
dalam pengawasan dokter dengan monitor terpasang di tubuh selama
pasien tidak sadar
- Setelah seletsi pasien harus menaruskan pengobatan oral dengan
Naltrekson 50 mg/hari selama 6 bulan sampai 2 tahun sesuai dengan
kondisi klinis pasien
1.2. Putus Amfetamin atau Napza yang serupa
- Observasi 24 jam untuk menilai kondisi fisik dan psikiatrik
- Rawat inap diperlukan apabila gejala psikotik berat. gejala depresi berat
atau Kecenderungan bunuh diri, dan kompllkasi flsik lain
- Terapi : Antipsikotik (Haloperidol 3 x 1,5-Smg, Risperidon 2 x 1,5-3
mg), Antiansietas (Alprazolam 2 X 0,25-0,5 mg, Diazepam 3 x 5-10 mg,
Clobazam 2 x 10 mg) atau Antidepresi golongan SSRI atau
Trisiklik/Tetrasiklik sesuai kondisi klinis
1.3. Putus Alkohol
- Pemberian cairan atas dasar hasil pemeriksaan elektrolit dan keadaan
umum pasien
- Atasi kondisi gelisah dan agitasinya dengan golongan Benzodiazepin
atau Barbiturat
- Pemberian injeksi vitamin B kompleks dosis besar (mis : Vitamin
neurotropik) kemudian dilanjutkan dengan pemberian oral vitamin B1,
multivitamin dan Asam Folat 1 mg
- Bila ada riwayat kejang, putus alkohol atasi dengan Benzodiazepin
(Diazepam 10 mg iv perlahan). Dapat juga diberikan Tiamine 100 mg
ditambah 4 mg Magnesium Sulfat dalam 1 liter dari 5% Dekstrosa /
normal saline selama 1 -2 jam
- Bila terjadi Delirium Tremens HARUS ADA ORANG YANG
SELALU MENGAWASI.
1.4. Putus Sedatif-Hipnotik
Abrupt withdrawal ( pelepasan mendadak ) dapat berakibat fatal karena
45. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
44
itu tidak dianjurkan.
Gradual withdrawal (pelepasan bertahap) dianggap lebih rasional,
dimulai dengan memastikan dosis toleransi, disusul dengan pemberian
suatu sedatif: Benzodiazepin atau Barbiturat ( Pentotal, Luminal) dalam
jumlah cukup banyak sampai terjadi gejala-gejala intoksikasi ringan,
atau sampai kondisi pasien tenang. Lalu diteruskan selama beberapa hari
sampai keadaan pasien stabil, kemudian baru dimulai dengan penurunan
dengan kecepatan maksimal 10 % per 24 jam sampai dosis sedatif nol.
Bila penurunan dosis menyebabkan pasien gelisah / insomnia/ agitatif
atau kejang, ditunda sampai keadaan pasien stabil, setelah itu penurunan
dosis dilanjutkan.
Untuk keadaan putus Barbiturat, dapat diberikan obat yang biasa
digunakan oleh pasien. Penurunan dosis total 10 % per hari, maksimal
100 mg/hari,
Teknik substitusi Fenobarbital (Luminal):
- Digunakan Luminal sebagai pengganti, atau barbiturat masa kerja
lama yang lain. Sifat long acting akan mengurangi fluktuasi pada
serum yang terlalu besar, memungkinkan digunakannya dosis kecil
yang lebih aman. Waktu paruhnya antara 12-24 jam , dosis tunggal
sudah cukup. Dosis letal 5 kali lebih besar daripada dosis toksis dan
tanda-tanda toksisitasnya lebih mudah diamati (sustained nystagmus,
slurred speech/cadel dan ataxia). Intoksikasi Luminal biasanya tidak
menimbulkan disinhibisi, karenanya jarang menimbulkan problema
tingkah laku yang umum dijumpai pada Barbiturat short acting.
Kadang-kadang pasien tidak bersedia dberikan Luminal. Dosis
Luminal tidak boleh melebihi 500 mg sehari berapa besarnya
sekalipun dosis Barbiturat yang diakui pasien dalam anamnesis.
Rumus yang dipakai:
Kalau timbul toksitas, 1-2 dosis Luminal berikut dihapus, lalu dosis
harian dihitung kembali
- 30 mg Luminal kira-kira setara dengan :
- 100 mg Pentonal
Satu dosis sedatif = satu dosis hipnotik
(short acting Barbiturat yang dipakai)
Daftar Dosis Ekivalen = (untuk detoksifikasi
Sedatif Hipnotik lain)
46. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
45
- 500 mg Khloralhidrat
- 400-600 mg Meprobamat
- 250-300 mg Metakualon
- 100 mg Chlordiazepoxide
- 50 mg khlorazepat
- 50 mg Diazepam
- 60 mg Flurazepam
Penatalaksanaan dengan tapering off Benzodiazepin
- Berikan salah satu Benzodiazepin (Diazepam,Klobazam.
Lorazepam) dalam jumlah cukup.
- Lakukan penurunan dosis (kira-kira 5 mg) setiap 2 hari
- Berikan hipnotika malam saja (misalnya ; Clozapine 25 mg,
Estazolam 1-2 mg )
- Berikan vitamin B complex.
- Injeksi Diazepam intramuskuler/intravena 1 ampul (10 mg) bila
pasien kejang/agitasi, dapat diulangi beberapa kali dengan selang
waktu 30-60 menit.
e. Rehabilitasi, Program dapat dimulai rehabilitasi jamgka pendek dan bila
sarana/prasarana dan SDM sudah memenuhi kriteria dapat dikembangkan menjadi
program rehabilitasi jangka panjang
1. Short Term ( Jangka Pendek)
Lama perawatan berlangsung antara 1 sampai 3 bulan tergantung dari kondisi
dan kebutuhan pasien
Pendekatan yang dapat dilakukan kearah medik dan psikososial
Masalah medik masih menjadi fokus utama, asesmen dilakukan secara
lengkap termasuk pemeriksaan penunjang medik
Indikasi diberikan kepada pasien yang memiliki kegiatan rutin (bekerja,
sekolah, dsb)
Asesmen yang perlu dilakukan pada model terapi ini antara lain :
- evaluasi masalah penggunaan NAPZA (Jenis, jumlah, lama pemakaian,
dampak yang ditimbulkan, keinginan untuk berhenti)
- evaluasi medis: riwayat penyakit, kondisi fisik saat ini dan penyakit-
penyakit lain yang terkait dengan penggunaan NAPZA
- evaluasi psikologis melalui wawancara dan tes psikologi
- evaluasi sosial : riwayat keluarga, pendidikan, pekerjaan dan hubungan
sosial
- evaluasi tentang kegiatan agama, penggunaan waktu senggang dan
kehidupan pribadi lainnya
Untuk melakukan asesmen memerlukan suatu hubungan terapeutik yang
47. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
46
terbina antara pasien dengan terapis dan hasil asesmen tersebut menjadi acuan
untuk terapi selanjutnya
Pengobatan dapat dilanjutkan dengan rawat jalan atau bila masalah yang
dihadapi pasien khususnya perilaku belum memungkinkan dapat dilanjutkan
dengan rehabilitasi jangka panjang
2. Rehabilitasi Jangka Panjang, dalam hal ini yang akan dibahas adalah modalitas
terapi Therapeutic Community (TC) yang menggunakan pendekatan perubahan
perilaku.
Direkomendasikan bagi pasien yang sudah mengalami masalah penggunaan
NAPZA dalam waktu lama dan berulang kali kambuh atau sulit untuk berada
dalam kondisi abstinen atau bebas darl NAPZA
TC dapat digambarkan sebagai model yang cocok atau sesuai dengan pasien
yang membutuhkan llngkungan yang mendukung dan dukungan lain yang
bermakna dalam mempertahankan kondisi bebas NAPZA atau abstinen.
Gambaran dari TC adalah sebagai berikut:
a. Program dangan struktur yang tinggi/ketat
b. Umumnya pasien berada dalam program untuk 6-12 bulan
c. Program pengobatan
d. Program pendidikan
e. Latihan ketrampilan sosial dan penerapannya (seringkali pasien
mengalami gangguan fungsi kehidupan yang serius)
f. Diarahkan pada pasien yang mempunyai riwayat perilaku kriminal
g. Mengembangkan sistem dukungan yang sesuai kebutuhan pasien
h. Menstabilkan fungsi kehidupan pasien
i. Rehabilitasi vokasional
Program ini mempunyai suatu aturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang
diistilahkan dengan cardinal rules dan five pilars yang sangat mengikat setiap
residen untuk menjalankan dan siap menerima sanksi bila melanggar aturan
tersebut ( pasien peserta TC lazim disebut residen )
Tahapan program TC yang harus dijalani oleh setiap residen adalah sebagai
berikut:
a. Proses Intake dan Orientasi (2-4 minggu);
- Wawancara awal
- Informed consent
- Pemeriksaan fisik
- Pengisian formulir
- Orientasi program (walking paper}
- Pengenalan program dan fasilitas layanan
b. Primary Stage (6 sampai 9 bulan):
48. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
47
Untuk Younger Member (anggota termuda 1-3 bulan)
- Aktif mengikuti program
- Penerapan sanksi (reward and punishment)
- Dikunjungi keluarga
- Kegiatan Family Support Group
- Kegiatan Kelompok
Untuk Middle Member (anggota menengah 4-6 bulan)
- Mulai bertanggung jawab terhadap sebagian operational
fasilitas/rumah
- Menjadi buddy bagi younger member
- Sudah dapat keluar fasilitas TC dengan pendamping
- Kegiatan dalam kelompok
- Dilakukan Family Support Group (FSG)
Untuk Older member (anggota lama 6-8 bulan) •
- Sudah bertanggung jawab penuh terhadap rumah/fasilitas.
- Pelaksanaan reward dan punishment secara penuh
- Boleh meninggalkan fasilitas/rumah
- Dilakukan kegiatan FSQ
- Mengikuti kegiatan kelompok
- Dinyatakan graduate/lulus
c. Tahapan Re-Entry (3 sampai 6 bulan):
o Fase Orientasi (2 minggu);
Pengenalan program re-entry
Didampingi buddy
Tidak boleh dikunjungi keluarga
Tidak boleh meninggalkan fasilitas TC
Sanksi berupa tugas-tugas mengurus fasilitas
Mengikuti kegiatan kelompok
o Fase A (1,5 - 2 bulan);
Mengikuti kegiatan kelompok
Dapat dikunjungi keluarga setiap waktu
Diberi ijin menginap 1 malam setiap 2 minggu sekali
Boleh menerima uang jajan setiap minggu secara teratur
Boleh melakukan aktifitas di luar fasilitas TC
o Fase B (2 bulan);
Mengikuti kegiatan kelompok
Dapat dikunjungi setiap waktu
Diberi ijin pulang menginap 2 malam setiap 2 minggu
Boleh meminta tambahan uang jajan
Boleh melakukan aktifitas di luar fasilitas TC
49. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
48
o Fase C (2 bulan);
Mengikuti kegiatan kelompok
Dapat dikunjungi setiap waktu
Diberi ijin pulang
Boleh meminta tambahan uang jajan
Boleh melakukan kegiatan di luar fasilitas TC
Konseling final bagi residen maupun keluarga untuk persiapan
pulang
d. Aftercare Program
Program yang ditujukan bagi mantan residen/alumni TC, Program ini
dilaksanakan di luar fasilitas TC dan dlikuti oleh semua angkatan
dibawah supervisi staf re-entry. Tempat pelaksanaan disepakati
bersama
Program ini bertujuin agar alumni TC mempunyai tempat/kelompok
yang sehat dan mengerti tentang dirinya serta mempunyai lingkungan
hidup yang positif
Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah :
- Sharing dalam kelompok tanpa ditanggapi
- Meminta anggota untuk menanggapi suatu topik
- Waktu dan tempat pelaksanaan disepakati bersama
e. Intervensi Psikososial, suatu pendekatan yang mengutamakan pada
masalah psikologis dan sosial yang disandang oleh pasien dengan tujuan
untuk meningkatkan kemampuan pasien menghadapi setiap masalah
(Coping Mechanism).
Intervensi psikososial merupakan komponen kunci untuk terapi
gangguan penggunaan NAPZA yang komprehensif baik secara
individu maupun kelompok
Intervensi ini dapat diberikan pada setiap tahapan terapi baik dalam
keadaan intoksikasi sampai pada saat fase rehabilitasi yang
disesuaikan dengan kondisi pasien khususnya pasien dengan kesadaran
penuh
Untuk melaksanakan intervensi ini diperlukan pelatihan ketrampilan
yang khusus dan memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan jenis
intervensi
Pendekatan psikososial saja bukan yang superior, program terapi harus
didesain sesuai kebutuhan pasien dengan mempertimbangkan faktor
budaya, umur, gender serta komorbiditas
Beberapa model intervensi psikososial yang dapat dilakukan dalam
layanan pengobatan Gangguan penggunaan NAPZA antara lain :
50. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
49
1. Brief Intervention (Bl)
Brief Intervention dipertimbangkan untuk berbagai kondisi yang
melibatkan waktu tenaga profesional yang terbatas untuk mencoba
merubah penggunaan NAPZA.Berbagai intervensi membutuhkan
waktu antara 5 menit sampai 2 jam.
Bl khususnya dapat dipargunakan untuk pelayanan dasar di
puskesmas dan dapat juga digunakan di ruang emergensi, bangsal
rumah sakit, dan berbagai kondisi layanan kesehatan lain.
Intervensi direkomendasikan untuk beberapa kondisi seseorang
seperti dibawah ini:
Penggunaan alkohol yang membahayakan tetapi belum
ketergantungan
Ketergantungan alkohol ringan sampai sedang
Ketergantungan nikotin/perokok
Ketergantungan kanabis ringan sampai sedang
Bl tidak direkomendasikan untuk kondisi dibawah ini ;
Pasien yang kompleks dengan isu-isu masalah psikologis/
psikiatrik
Pasien dengan ketergantungan berat
Pasien dengan kemampuan membaca yang rendah
Pasien dengan kesulitan terkait dengan gangguan fungsi
kognitif
Pada kondisi ini direkomendasikan untuk melakukan wawancara
mendalam.
Bl dapat menggunakan barbagai bentuk format tetapi seringkali
termasuk:
1. asesmen singkat
2. materi self- help ( materi yang membantu pemahaman NAPZA
contoh leaflet tentang penanganan overdosis.cara menyuntik
3. informasi tingkat penggunaan yang aman
4. anjuran untuk mengurangi konsumsi
5. pengurangan dampak buruk
6. pencegahan kekambuhan
7. asesmen untuk kesiapan berubah termasuk wawancara
memotivasi
8. Konseling singkat termasuk pemecahan masalah dan tujuan
9. follow -up.
Enam elemen terapi dalam intervensi singkat yang sering
digunakan dan berhasil adalah:
F : Feedback memberikan umpan balik hasil asesmen klinis
51. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
50
R : Responsibility meyakinkan bahwa perilaku penggunaan
NAPZA dan masalah yang ditimbulkannya menjadi tanggung
jawab individu .
A : Advice memberikan kejelasan, anjuran praktis dan materi
self help
M : Menu memberikan beberapa opsi dan intervensi dalam
perubahan perilaku
E : Empathy memperlihatkan sikap tidak menghakimi dan
menghayati pasien
S : Self-Efficacy menekankan kepercayaan terhadap
kemampuan individu untuk berubah
2. Konseling Dasar
"....konseling sendiri biasanya tidak cukup untuk merubah perilaku
penggunaan NAPZA pada kebanyakan pasien...,"
Konseling adalah suatu proses pertolongan dimana seseorang,
dengan tulusdan tujuan jelas, memberikan waktu, perhatian
dan keahliannya membantu pasien untuk mempelajari situasi
mereka, mengenali dan melakukan pemecahan masalah
terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan mereka.
Tujuan dan fungsi konseling ;
Membantu pasien untuk mempelajari dan memperoleh solusi
jangka panjang yang memuaskan bagi masalah-masalah yang
dialaminya.
Fungsi Utama Konseling ;
1. Menyampaikan informasi penting
2. Membantu pasien mengklarifikasi dan menempatkan
masalah
3. Membantu pasien memilih dan mengambil pendekatan
realistik
4. Memberikan dukungan psikomotor melalui ketrampilan
komunikasi
Konselor membuat suatu kondisi dimana pasien dapat menjadi
teman baik melalui pikiran dan perasaan mereka
Konselor tidak memberikan nasehat, tetapi membantu orang
untuk:
o Mampu mengerti perasaan mereka
o Menemukan dan memilih alternatif yang nampaknya paling
baik bagi mereka
Karakteristik konseling adalah :
52. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
51
- Merupakan suatu proses interaktif
- Merupakan hubungan yang interaktif
- Berdasarkan pada kolaborasi
- Melibatkan berbagai ketrampilan konselor
- Menekankan pada kebebasan personal Menekan-kan
pilihan
- Menggunakan penguatan positif Menggunakan dukungan
emosional
- Pencatatan secara formal
Dalam proses konseling agar terbangun suatu hubungan
terapeutik seorang konselor harus mampu
Melakukan percakapan yang efektif:
- Mendengarkan dengan aktif
- Mencoba mengerti perasaan pasien
- Menanyakan pertanyaan yang baik
- Menghargai pasien maupun perasaan pasien, dan tidak
memaksanya berubah
- Tidak menyalahkan atau menghakimi
- Mehyediakan informasi yang tepat
- Menyatakan bahwa pasien tidak sendiri menghadapi
masalah untuk mencegah pasien merasa gagal atau
ditolak
Memahami prinsip-prinsip umum dalam konseling
3. Wawancara Motivasional (Motivational Interviewing -Ml)
Motivasi adalah suatu keadaan kesiapan atau keinginan untuk
berubah, selalu berfluktuasi dari waktu ke waktu atau dari situasi
kesituasi lain. Dasar pemikiran atau alasan melakukan wawancara
motivasional ini adalah bahwa untuk mencapai perubahan adalah
lebih mudah bila motivasi untuk berubah tersebut datang dari
dalam dirinya sendiri, dari pada dipaksakan oleh konselor atau
terapis.
Wawancara motivasionil adalah sebuah wawancara yang
interaksinya berpusat pada pasien dan bertujuan untuk membantu
seseorang menggali dan mengatasi ambivalensi tentang
penggunaan NAPZA melalui tahap perubahan. Ini sangat berguna
bila dilakukan pada pasien yang berada pada tahap prekontemplasi
dan kontemplasi, tapi prinsip dan keterampilan wawancara sangat
penting pada semua tahap.
53. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
52
Wawancara motivasional didasari pada pengertian bahwa:
Pengobatan yang efektif dapat membantu proses perubahan
Motivasi untuk berubah terjadi dalam konteks hubungan antara
pasien dan terapis
Gaya dan semangat dari intervensi sangat menentukan
keberhasilan terapis, khususnya empati yang dihubungkan
dengan perbaikan hasil pengobatan.
Pendekatan intervensi singkat ini didasarkan pada prinsip
wawancara motivasional yang dikembangkan oleh Miller dan
kemudian di perluas oleh Miller dan Rollnick.
Prinsip wawancara motivasional
Mengekpresikan Empati
Dalam situasi klinis keterlibatan empati memberikan gambaran bahwa
konselor atau petugas kesehatan menerima pasien apa adanya, tidak
menghakimi dan dapat memahami pasien serta menghindari
memberikan label, misalnya menyebut pasien sebagai "alkoholik" atau
"pecandu". Hal ini sangat penting untuk menghindari adanya
konfrontasi dan menyalahkan atau mengkritik pasien. Keterampilan
mendengarkan dan merefleksikan merupakan bagian penting dari
ekpresi empati. Empati yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
merupakan faktor penting untuk mengetahui bagaimana respon pasien
terhadap intervensi yang diberikan.
Ketidakcocokan (perbedaan).
Orang lebih mungkin dimotivasi untuk mengubah perilaku
penggunaan NAPZA bila mereka melihat ada perbedaan. antara
penggunaan NAPZA dan masalah yang berhubungan dengan perilaku
mereka saat ini serta arah yang mereka inginkan dalam kehidupan
mereka.
Semakin besar perbedaan antara tujuan, nilai dan perilaku mereka saat
ini, kemungkinkan besar pasien dapat berubah. Wawancara
motivasional bertujuan untuk menciptakan dan menjelaskan perbedaan
antara perilaku saat ini dan tujuan yang lebih basar dan menilai cara
pandang pasien terhadap hal tersebut. Hal ini penting bagi pasien
untuk mengidentifikasi tujuan/dan nilai serta untuk mengekspresikan
alasan-alasan mereka untuk berubah.
Menghindari argumentasi
Prinsip utama dari wawancara motivasional adalah dapat menerima
bahwa adanya ambivalensi dan resistensi untuk berubah adalah suatu
54. MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
53
hal yang normal dan untuk mengajak pasien mempertimbangkan
antara informasi yang didapat dan pandangan terhadap penggunaan
NAPZA mereka. Pada saat pasien memperlihatkan resistensinya,
tenaga kesehatan harus dapat menggambarkan kembali atau
merefleksikannya. Ini biasanya penting untuk menghindari
argumentasi dan perdebatan.
Dukungan keyakinan diri (kepercayaan)
Seperti yang telah didiskusikan diatas pasien yakin bahwa mengurangi
atau menghentikan perilaku penggunaan NAPZA adalah penting dan
mereka mampu melakukannya. Melakukan negosiasi dan membangun
kepercayaan untuk membujuk pasien bahwa sesuatu yang dapat
mereka lakukan adalah bagian penting dari wawancara motivasional.
Kepercayaan terapis pada kemampuan pasien untuk mengubah
perilaku mereka juga penting dan dapat menjadi sugesti diri sendiri.
Keterampilan-keterampilan khusus
Wawancara motivasional dilaksanakan dengan menggunakan lima
keterampilan khusus. Keterampilan ini bertujuan untuk mendorong
pasien mau berbicara, menggali ambivalensi mereka terhadap
penggunaan NAPZA dan menjelaskan alasan mereka untuk
mengurangi atau berhenti menggunakan NAPZA. Empat keterampilan
pertama tersebut sering dikenal dengan singkatan OARS:-Open ended
questions (Pertanyaan terbuka), Affirmation (Penegasan), Reflective
listening (mendengarkan dengan cara merefleksikan), Summarising
(menyimpulkan).
Keterampilan kelima adalah "berbicara mengenai perubahan" OARS
dapat membantu pasien menyampaikan argumentasi untuk mengubah
perilaku pengguna NAPZA mereka.
OARS
Pertanvaan terbuka (Open Ended Questions)
Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban
panjang dan membuka pintu kepada seseoranc igar mareka mau
berbicara. Contoh pertanyaan terbuka antara lain:
" Apa manfaat yang anda rasakan dengan menggunakan NAPZA"?
"Ceritakan kepada sayi, hal apt yang anda rasakan kurang baik
tentang penggunaan....(NAPZA)
"Anda kelihatan khawatir dengan penggunaan NAPZA yang
anda lakukan selama ini?" bisa disampaikan pada saya tentang hal