SlideShare a Scribd company logo
1 of 379
Download to read offline
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar 1
Bahan Ajar dan Sumber Belajar
Bahan ajar yang digunakan
dalam mata kuliah ini meliputi bahan
ajar pokok yang wajib Anda pelajari dan
bahan ajar pendukung yang bersifat
anjuran. Bahan ajar pokok yang
digunakan dalam mata kuliah Kapita
Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar
adalah sebagai berikut:
Bab I. Pengenalan Konsep
Pembelajaran.
1.1. Teori Belajar.
Dadan Djuanda. (2006).
Pembelajaran Bahasa
Indonesia yang
Komunikatif dan
menyenangkan: Bab I.
Jakarta: Departemen
Pendidikan.
Pitajeng. (2006). Pembelajaran
Matematika yang
Menyenangkan: Bab II.
Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional
Nasional.
1.2. Pengenalan Konsep –
Konsep Pembelajaran di
Sekolah Dasar.
Dadan Djuanda. (2006).
Pembelajaran Bahasa
Indonesia yang
Komunikatif dan
Menyenangkan: Bab II.
Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Lily Barlia. (2006). Mengajar
dengan Pendekatan
Lingkungan Alam Sekitar:
Bab II dan IV. Jakarta:
Departemen Pendidikan
Nasional.
Muslichach Asy’ari. (2006).
Penerapan Pendekatan
Sains-Teknologi-
Masyarakat dalam
Pembelajaran Sains di
Sekolah Dasar: Bab I.
Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Rabad Sihabuddin. (2006).
Indahnya Pelangi dalam
Kesadaran Multikultur
Masyarakat Indonesia:
Bab I dan VI. Jakarta:
Departemen Pendidikan
Nasional.
Bab II: Pembelajaran Melalui
Permainan.
Pembelajaran Melalui
Permaina.
Dadan Djuanda (2006).
Pembelajaran Bahasa
Indonesia yang
Komunikatif dan
Menyenangkan: Bab V dan
VI. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Pitajeng (2006). Pembelajaran
Matematika yang
Menyenangkan: Bab I, III,
IV, V, VI, VII. Jakarta:
Departemen Pendidikan
Nasional.
Rabad Sihabuddin (2006).
Indahnya Pelangi dalam
Kesadaran Multikultur
Masyarakat Indonesia:
Bab II dan V. Jakarta:
Departemen Pendidikan
Nasional.
Sumanto (2006). Pengembangan
Kreativitas Seni Rupa
Anak Sekolah Dasar: Bab
II dan III. Jakarta:
Departemen Pendidikan
Nasional.
Wira Indra Satya (2006).
Membangun Kebugaran
Jasmani dan Kecerdasan
melalui Bermain: Bab III
dan IV Jakarta:
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar2
Departemen Pendidikan
Nasional.
Bab III. Pembelajaran dengan
Pendekatan Terpadu.
Pembelajaran dengan
Pendekatan Terpadu Bidang
Studi IPA, Bahasa Indonesia,
dan Matematika.
Dadan Djuanda (2006).
Pembelajaran Bahasa
Indonesia yang
Komunikatif dan
Menyenangkan: Bab II.
Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Ichlas Hamid, S. dan Tuti I.
Ichlas (2006).
Pengembangan
Pendidikan Nilai dalam
Pembelajaran
Pengetahuan Sosial di
Sekolah Dasar: Bagian
III, Bab V Jakarta:
Departemen Pendidikan
Nasional.
Bab IV. Pembelajaran melalui
Pengalaman Langsung/
Eksplorasi Di Lingkungan
Sekitar.
Penerapan Sains Teknologi
Masyarakat dalam
pembelajaran pada bidang studi
IPA dan IPS.
Dadan Djuanda (2006).
Pembelajaran Bahasa
Indonesia yang
Komunikatif dan
Menyenangkan: Bab III.
Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Lily Barlia. (2006). Mengajar
dengan Pendekatan
Lingkungan Alam Sekitar:
Bab IV. Jakarta:
Departemen Pendidikan
Nasional.
Muslichach Asy’ari (2006).
Penerapan Pendekatan
Sains-Teknologi-
Masyarakat dalam
Pembelajaran Sains di
Sekolah Dasar: Bab II, III,
dan V. Jakarta:
Departemen Pendidikan
Nasional.
Bab V. Pengembangan
Kurikulum di Sekolah Dasar
Pengembangan rancangan
Pembelajaran
Ichlas Hamid, S. dan Tuti I.
Ichlas (2006).
Pengembangan
Pendidikan Nilai dalam
Pembelajaran
Pengetahuan Sosial di
Sekolah Dasar: Bagian I
dan III; Bab V dan VI.
Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Lily Barlia. (2006). Mengajar
dengan Pendekatan
Lingkungan Alam Sekitar:
Bab III dan V. Jakarta:
Departemen Pendidikan
Nasional.
Muslichach Asy’ari (2006).
Penerapan Pendekatan
Sains-Teknologi-
Masyarakat dalam
Pembelajaran Sains di
Sekolah Dasar: Bab IV.
Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Sumanto (2006). Pengembangan
Kreativitas Seni Rupa
Anak Sekolah Dasar: Bab
II. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar 3
BAB I. PENGENALAN
KONSEP-KONSEP
PEMBELAJARAN
1.1 Teori Belajar.
1. Bacaan 1, ”Memahami Teori
Pembelajaran Matematika”
(Pitajeng. (2006).
Pembelajaran Matematika
yang Menyenangkan: Bab
II. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional).
2. Bacaan 2, ”Teori Belajar
Bahasa” (Dadan Djuanda.
(2006). Pembelajaran
Bahasa Indonesia yang
Komunikatif dan
menyenangkan: Bab I.
Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional).
1.2 Pendekatan/Model dalam
Pembelajaran
1. Bacaan 3, ”Pembelajaran
Sains yang Ideal”
(Muslichach Asy’ari.
(2006). Penerapan
Pendekatan Sains-
Teknologi-Masyarakat
dalam Pembelajaran Sains
Di Sekolah Dasar: Bab I.
Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional).
2. Bacaan 4, “Pendekatan
Pembelajaran Bahasa”
(Dadan Djuanda. (2006).
Pembelajaran Bahasa
Indonesia yang
Komunikatif dan
menyenangkan: Bab II.
Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional).
3. Bacaan 5, “Teknik Mengajar
dengan Pendekatan
Lingkungan Alam
Sekitar” (Lily Barlia.
(2006). Mengajar dengan
Pendekatan Lingkungan
Alam Sekitar: Bab II.
Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional).
4. Bacaan 6, “Strategi
Pembelajaran Bahasa
Indonesia Di SD
Menggunakan
Lingkungan Sebagai
Sumber Belajar” (Dadan
Djuanda. (2006).
Pembelajaran Bahasa
Indonesia yang
Komunikatif dan
menyenangkan: Bab III.
Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional).
5. Bacaan 7, “Apakah
Pendidikan IPS itu?”
(Rahad Sihabuddin.
(2006). Indahnya Pelangi
Dalam Kesadaran
Multikultur masyarakat
Indonesia: Bab I. Jakarta:
Departemen Pendidikan
Nasional).
6. Bacaan 8, “Prospek
Pembelajaran IPS di
Sekolah Dasar (Rahad
Sihabuddin. (2006).
Indahnya Pelangi Dalam
Kesadaran Multikultur
masyarakat Indonesia:
Bab VI. Jakarta:
Departemen Pendidikan
Nasional).
7. Bacaan 9, “Pendidikan Seni
Rupa di Sekolah Dasar”
(Sumanto. (2006).
Pengembangan Kreativitas
Seni Rupa Anak Sekolah
Dasar. Bab II. Jakarta:
Departemen Pendidikan
Nasional).
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
Bacaan 1
BAB II
MEMAHAMI TEORI
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Menurut Orton (1992: 2), untuk
mengajar matematika diperlukan teori,
yang digunakan antara lain untuk
membuat keputusan di kelas. Sedangkan
teori belajar matematika juga diperlukan
untuk dasar mengobservasi tingkah laku
anak didik dalam belajar. Kemampuan
untuk mengambil keputusan dikelas
dengan tepat dan cepat, dan kemampuan
untuk mengobservasi tingkah laku anak
didik dalam bela-jar, merupakan
sebagian dari faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan guru dalam
menentukan pendekatan pembelajaran
matematika yang tepat, sehingga
pembelajaran menjadi efektif, bermakna,
dan menyenangkan. Oleh karena itu para
guru SD-MI hendaknya memahami teori
belajar dan mengajar matematika, agar
dapat menentukan pendekatan
pembelajaran yang tepat, sehingga
pembelajaran menjadi efektif, bermakna,
dan juga menyenangkan.
Dalam bab ini akan dibahas
beberapa teori pembelajaran matematika
yang sekiranya dapat dijadikan acuan
bagi para guru untuk mengajar
matematika di SD-MI. Sedangkan tujuan
pembahasan tersebut agar para guru SD-
MI dapat memahami teori pembelajaran
matematika, sehingga mampu
menentukan pendekatan belajar
matematika di SD/MI yang tepat, efektif,
dan menyenangkan.
A. Teori Pembelajaran Piaget
Pada umumnya anak SD berumur
sekitar 6/7—12 tahun. Menurut Piaget
(dalam Hudoyo, 1988: 45), anak seumur
ini berada pada periode operasi konkret.
Periode ini disebut operasi konkret sebab
berpikir logiknya didasarkan pada
manipulasi fisik objek-objek konkret.
Anak yang masih berada pada periode
ini untuk berpikir abstrak masih
membutuhkan bantuan memanipulasi
obyek-obyek konkret atau pengalaman-
pengalaman yang langsung dialaminya.
Dalam belajar, menurut Piaget,
struktur kognitif yang dimiliki seseorang
terjadi karena proses asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah proses
mendapatkan informasi dan pengalaman
baru yang langsung menyatu dengan
struktur mental yang sudah dimiliki
seseorang. Adapun akomodasi adalah
proses menstruktur kembali mental
sebagai akibat adanya informasi dan
pengalaman baru (Hudoyo, 1988: 47).
Jadi belajar tidak hanya menerima
informasi dan pengalaman lama yang
dimiliki anak didik untuk
mengakomodasikan informasi dan
pengalaman baru. Oleh karena itu, yang
perlu diperhatikan pada tahap operasi
konkret adalah pembelajaran yang
didasarkan pada benda-benda konkret
agar mempermudah anak didik dalam
memahami konsep-konsep matematika.
Misalnya untuk memahami suatu
konsep matematika, anak memerlukan
bantuan memanipulasi benda-benda
konkret yang relevan sebagai
pengalaman langsung. Contoh untuk
memahami konsep penjumlahan
bilangan cacah 3 + 4 anak perlu
mengalami menggabungkan kelompok 3
benda dengan kelompok 4 benda
menjadi satu kelompok baru (gambar
14). Dapat juga dengan melakukan
permainan berlagu ular naga panjangnya
atau naik kereta api.
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
Menurut Piaget, perkembangan
belajar matematika anak melalui 4 tahap
yaitu tahap konkret, semi konkret, semi
abstrak, dan abstrak. Pada tahap konkret,
kegiatan yang dilakukan anak adalah
untuk mendapatkan pengalaman
langsung atau memanipulasi objek-objek
konkret. Pada tahap semi konkret sudah
tidak perlu memanipulasi objek-objek
konkret lagi seperti pada tahap konkret,
tetapi cukup dengan gambaran dari
objek yang dimaksud. Kegiatan yang
dilakukan anak pada tahap semi abstrak
memanipulasi/melihat tanda sebagai
ganti gambar untuk dapat berpikir
abstrak. Sedangkan pada tahap abstrak
anak sudah mampu berpikir secara
abstrak dengan melihat lambang/simbol
atau membaca/mendengar secara verbal
tanpa kaitan dengan objek-objek
konkret. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan contoh 4 tahap anak dalam
memahami bilangan 3 (tiga) berikut:
Pada tahap konkret: misal anak melihat
pertunjukan tari balet dengan penari
sebanyak 3 orang untuk dapat
memahami bilangan 3.
Pada tahap semi konkret: dengan melihat
gambar 3 orang penari (gambar 15) anak
mampu memahami bilangan 3.
Pada tahap semi abstrak: dengan melihat
3 tanda (misalnya noktah), anak mampu
memahami bilangan 3 (gambar 16).
Pada tahap abstrak: dengan melihat
angka 3 atau mendengar “tiga”, anak
sudah mampu memahami bilangan 3.
B. Teori Pembelajaran Bruner.
Menurut Bruner (Hudoyo, 1988:
56), belajar matematika adalah belajar
tentang konsep-konsep dan struktur-
struktur matematika yang terdapat di
dalam materi yang dipelajari serta
mencari hubungan-hubungan antara
konsep-konsep dan struktur-struktur
matematika.
Pemahaman terhadap konsep dan
struktur suatu materi menjadikan materi
itu mudah dipahami secara lebih
komprehensif. Selain itu anak didik lebih
mudah mengingat materi bila yang
dipelajari mempunyai pola terstruktur.
Dengan memahami konsep dan struktur
akan mempermudah terjadinya transfer.
Dalam belajar, Bruner hampir
selalu memulai dengan memusatkan
manipulasi material. Anak didik harus
menemukan keteraturan dengan
Gambar 14. Gabungan dari 2 kelompok menjadi
Gambar 15. Gambar 3 orang penari.
Gambar 16. Ada 3 noktah.
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
cara pertama-tama memanipulasi
material yang sudah dimiliki anak didik.
Berarti anak didik dalam belajar
haruslah terlibat aktif mentalnya yang
dapat diperlihatkan dari keaktifan
fisiknya.
Bruner melukiskan anak-anak
berkembang melalui tiga tahap
perkembangan mental, yaitu:
1. Tahap Enaktif.
Pada tahap ini, dalam belajar, anak
didik menggunakan atau memanipulasi
objek-objek konkret secara langsung.
Misalnya untuk memahami konsep
operasi pengurangan bilangan cacah 7 –
4, anak memerlukan pengalaman
mengambil/ membuang 4 benda dari
sekelompok 7 benda.
2. Tahap Ikonik.
Pada tahap ini kegiatan anak didik
mulai menyangkut mental yang
merupakan gambaran dari objek-objek
konkret. Anak didik tidak memanipulasi
langsung objek-objek konkret seperti
pada tahap enaktif, melainkan sudah
dapat memanipulasi dengan memakai
gambaran dari objek-objek yang
dimaksud.
3. Tahap Simbolik.
Tahap ini merupakan tahap
memanipulasi simbol-simbol secara
langsung dan tidak lagi ada kaitannya
dengan objek-objek.
Untuk lebih memperjelas tahapan
belajar matematika menurut Bruner,
dapat melihat contoh tahapan anak
dalam memahami konsep pengurangan
bilangan cacah 7 – 4 berikut ini (gambar
17).
Dari hasil penelitian Bruner ke
sekolah-sekolah (dalam Ruseffendi
1992: 110 – 113), dalam belajar
matematika ada beberapa teori yang
berlaku yang disebutnya dengan dalil.
Teori tersebut antara lain adalah dalil
penyusunan (construction theorem), dalil
notasi (notation theorem), dalil
pengkontrasan dan keanekaragaman
(contras and variation theorem), serta
dalil pengaitan (connectivity theorem).
1. Dalil Penyusunan
Menurut dalil penyusunan, siswa
selalu ingin mempunyai kemampuan
menguasai definisi, teorema, konsep dan
kemampuan matematis lainnya. Oleh
karena itu siswa hendaknya dilatih untuk
melakukan penyusunan representasinya.
Untuk menguasai suatu konsep
matematis hendaknya siswa mencoba
dan melakukan sendiri kegiatan yang
mengacu pada perumusan dan
penyusunan konsep tersebut. Jika dalam
proses perumusan dan penyusunan
tersebut disertai bantuan objek-objek
konkret, maka anak lebih mudah un
Anak membuang (mengambil) 4
pensil dari sekelompok 7 pensil,
lalu menghitung sisanya.
Tahap
enaktif
Tahap
ikonik
7 – 4
= 3
Tahap
simbolik
Gambar 17. Tiga tahapan anak belajar konsep pengurangan
menurut Bruner.
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
tuk memahaminya, dan ide/konsep
tersebut lebih tahan lama dalam
ingatannya. Untuk itu dalam pembela-
jaran konsep matematis, guru hendaknya
benar-benar memberi kesempatan anak
untuk melaksanakan tahap enaktif.
2. Dalil Notasi.
Dalil notasi menyatakan bahwa
dalam penyajian konsep matematis,
notasi memegang peranan yang sangat
penting. Penggunaan notasi dalam
menyatakan konsep matematis tertentu
harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan anak didik. Misalnya
notasi untuk menyatakan fungsi f(x) = x
+ 5, untuk anak SD dapat digunakan + =
Δ + 5, sedangkan bagi anak sekolah
lebih lanjut (SLTP) dapat digunakan
{(x,y) | y = x + 5}.
3. Dalil Pengkontrasan dan
Keanekaragaman
Menurut hasil penelitian Bruner,
pengkontrasan dan keanekaragaman
sangat penting dalam melakukan
pengubahan konsep matematika dari
konsep konkret menjadi konsep yang
lebih abstrak. Untuk melakukan itu
diperlukan banyak contoh dan
beranekaragam, sehingga anak
memahami karakteristik konsep yang
dipelajari. Contoh-contoh yang diberikan
hendaknya memenuhi rumusan konsep
yang sedang dipelajari. Untuk dapat
lebih memahami karakteristik konsep,
juga diperlukan contoh yang tidak
memenuhi rumusan konsep. Misalnya
untuk memahami konsep bilangan 2
(dua) diberi kegiatan membuat
kelompok benda-benda yang
beranggotakan 2. Selain itu juga diberi
kegiatan membuat kelompok benda yang
anggotanya tidak dua untuk lebih
memahami konsep bilangan dua. Atau
memilih kelompok-kelompok mana
yang merupakan kelompok 2 benda
(gambar 18), dan kelompok-kelompok
mana yang bukan kelompok 2 benda
(gambar 19). Berikut ini contoh kegiatan
yang diberikan pada siswa kelas 1
SD/MI.
Berilah tanda pada kelompok 2
benda!
Berilah tanda pada kelompok
yang bukan 2 benda!
4. Dalil Pengaitan
Dalil pengaitan menyatakan bahwa
antara konsep matematika yang satu
dengan konsep yang lain mempunyai
kaitan yang erat, baik dari segi isi
maupun dari segi penggunaan rumus-
rumus. Materi yang satu merupakan
prasyarat bagi materi yang lain, atau
suatu konsep digunakan untuk
menjelaskan konsep yang lain. Misalnya
rumus luas jajargenjang merupakan
materi prasyarat untuk penemuan rumus
luas segitiga yang diturunkan dari rumus
luas jajargenjang. Dengan pendekatan
intuitif-deduktif, rumus isi tabung
diperlukan untuk menemu-kan rumus isi
kerucut. Untuk itu diperlukan alat peraga
model sebuah tabung tanpa
Gambar 18. Contoh soal agar anak lebih
memahami karakteristik konsep.
Gambar 19. Contoh soal pengkontrasan agar anak lebih memahami
karakteristik konsep.
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
tutup
dan sebuah kerucut tanpa bidang
alas yang terbuat dari mika atau karton,
dengan syarat tinggi tabung sama
dengan tinggi kerucut dan jari-jari alas
tabung sama dengan jari-jari alas
kerucut, dan pasir.
Kegiatan yang diberikan pada anak
adalah dengan menggunakan pasir anak
mengukur isi tabung dengan takaran
kerucut. Anak akan mendapatkan bahwa
untuk mengisi tabung dengan pasir
hingga penuh dengan memakai takaran
kerucut, diperlukan 3 kali menuangkan
pasir dari kerucut yang penuh pasir
kedalam tabung. Secara intuitif anak
dapat mengerti bahwa isi tabung = 3 x isi
kerucut. Kemudian dengan penalaran
deduktif anak diajak menurunkan rumus
isi kerucut dari isi tabung. Dari
percobaan diperoleh isi tabung = 3 x isi
kerucut, atau isi kerucut =
3
1
x isi
tabung. Karena isi tabung = πr2
t, maka
isi kerucut = 2
3
1
rπ t.
C. Teori Pembelajaran Dienes
Perkembangan konsep matematika
menurut Dienes (dalam Resnick, 1981:
120) dapat dicapai melalui pola
berkelanjutan, yang setiap seri dalam
rangkaian kegiatan belajarnya berjalan
dari yang konkret ke simbolik. Tahap
belajar adalah interaksi yang
direncanakan antara satu segmen
struktur pengetahuan dan belajar aktif,
yang dilakukan melalui media
matematika yang didesain secara khusus.
Menurut Dienes, permainan matematika
sangat penting sebab operasi matematika
dalam permainan tersebut menunjukkan
aturan secara konkret dan lebih
membimbing dan menajamkan
pengertian matematika pada anak didik.
Dapat dikatakan bahwa objek-objek
konkret dalam bentuk permainan
mempunyai peranan sangat penting
dalam pembelajaran matematika jika
dimanipulasi dengan baik. Menurut
Dienes (dalam Ruseffendi. 1992: 125—
127), konsep-konsep matematika akan
berhasil jika dipelajari dalam tahap-
tahap tertentu. Dienes membagi tahap-
tahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu:
1. Permainan bebas (free play).
Dalam setiap tahap belajar, tahap
yang paling awal dari pengembangan
konsep bermula dari permainan bebas.
Permainan bebas merupakan tahap
belajar konsep yang aktifitasnya tidak
berstruktur dan tidak diarahkan. Anak
didik diberi kebebasan untuk mengatur
benda. Selama permainan pengetahuan
anak muncul. Dalam tahap ini anak
mulai belajar membentuk struktur
mental dan struktur sikap dalam
mempersiapkan diri untuk memahami
konsep. Guru dapat mengarahkan
pengetahuan dan mempertajam konsep
yang sedang dipelajari. Misalkan dengan
diberi permainan block logic (gambar
21), anak didik mulai mempelajari
konsep- konsep abstrak tentang warna,
tebal tipisnya benda, yang merupakan
t
r
Gambar 20. Model tabung tanpa tutup dan model
kerucut tanpa alas yang sama tinggi dan sama jari-
jari lingkaran alasnya.
t
r
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
ciri/sifat dari benda yang dimanipulasinya.
2. Permainan yang disertai aturan
(games).
Pada periode permainan yang
disertai aturan (terstruktur), anak didik
mulai meneliti pola-pola dan keteraturan
yang terdapat atau tidak terdapat dalam
konsep matematika tertentu. Melalui
permainan anak mulai mengenal dan
memikirkan bagaimana struktur
matematika itu. Pada tahap ini anak
didik juga sudah mulai
mengabstraksikan konsep. Menurut
Dienes, untuk membuat konsep abstrak,
anak didik memerlukan suatu kegiatan
untuk mengumpulkan bermacam-macam
penga-laman, dan kegiatan untuk
menolak yang tidak relevan dengan
pengalaman itu. (Hal ini selaras dengan
dalil keanekaragaman dan
pengkontrasan dari Bruner). Contoh
dengan permainan block logic, anak
diberi kegiatan untuk membentuk
kelompok bangun yang tipis, atau yang
berwarna merah, kemudian membentuk
kelompok benda berbentuk segitiga, atau
yang tebal, dan sebagainya. Dalam
membentuk kelompok bangun yang
tipis, atau yang merah, timbul
pengalaman terhadap konsep tipis atau
merah, serta timbul penolakan terhadap
bangun yang tidak tipis (tebal), atau
tidak merah (biru, hijau, kuning).
3. Permainan kesamaan sifat
(searching for comunities).
Dalam permainan untuk mencari
kesamaan sifat, anak mulai diarahkan
dalam kegiatan untuk mencari sifat-sifat
yang sama dari permainan yang sedang
diikuti. Untuk itu perlu diarahkan pada
pentranslasian kesamaan struktur dari
bentuk permainan lain. Translasi yang
dilakukan tentu saja tidak boleh
mengubah sifat-sifat abstrak dari
permainan semula. Contoh kegiatan
yang diberikan dengan permainan block
logic, anak dihadapkan pada kelompok
persegi dan persegi panjang yang tebal,
anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat
yang sama dari benda-benda dalam
kelompok tersebut (anggota kelompok).
4. Representasi (representation).
Representasi adalah tahap
pengambilan kesamaan sifat dari
beberapa situasi yang sejenis. Para anak
didik menentukan representasi dari
konsep-konsep tertentu. Representasi
yang diperoleh ini bersifat abstrak.
Dengan melakukan representasi, anak
didik telah mengarah pada pengertian
struktur matematika yang bersifat
abstrak pada topik-topik yang sedang
dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk
menemukan banyaknya diagonal poligon
(misal segi dua puluh tiga) dengan
pendekatan induktif seperti berikut ini
(gambar 22).
Gambar 21. Block logic
Segi dua
puluh
ti
berapa
diagonal?
Gambar 22. Mencari banyaknya
diagonal suatu poligon
0
diagon
Segi
tiga
2
diagona
Segi
empat
……
diagona
Segi
enam
?
5
diagon
al
Segi
lima
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
5. Simbolisasi (symbolization).
Simbolisasi adalah tahap belajar
konsep yang membutuhkan kemampuan
merumuskan representasi dari setiap
konsep-konsep dengan menggunakan
simbol matematika atau melalui
perumusan verbal. Sebagai contoh, dari
kegiatan mencari banyaknya diagonal
dengan pandekatan induktif tersebut,
kegiatan berikutnya menentukan rumus
banyaknya diagonal suatu poligon yang
digeneralisasikan dari pola yang didapat
anak.
Bany
ak
segi
3 4 5 6
..
..
..
n
Bany
ak
diago
nal
3(32
1
−
= 0
4(42
1
−
= 2
5(52
1
−
= 5
6(62
1
= 9
..
..
..
)3(2
1
−nn
6. Formalisasi (formalization).
Tahap ini adalah tahap belajar
konsep yang terakhir. Dalam tahap ini,
anak didik dituntut untuk menurunkan
sifat-sifat konsep dan kemudian
merumuskan sifat-sifat baru rumus
tersebut. Contohnya, anak didik yang
telah mengenal dasar-dasar dalam
struktur matematika seperti aksioma,
harus mampu merumuskan suatu
teorema berdasarkan aksioma, dalam arti
membuktikan teorema tersebut. Karso
(1999:1.20) menyatakan, pada tahap
formalisasi anak tidak hanya mampu
merumuskan teorema serta
membuktikannya secara deduktif, tetapi
mereka sudah mempunyai pengetahuan
tentang sistem yang berlaku dari
pemahaman konsep-konsep yang terlibat
satu sama lainnya. Misalnya bilangan
bulat dengan operasi penjumlahan
beserta sifat-sifat tertutup, komutatif,
asosiatif, adanya elemen identitas, dan
mempunyai elemen invers, membentuk
sebuah sistem matematika.
Dienes (dalam Resnick, 1981: 120)
menyatakan bahwa proses pemahaman
(abstraction) berlangsung selama
belajar. Untuk pengajaran konsep
matematika yang lebih sulit perlu
dikembangkan materi matematika secara
konkret agar konsep matematika dapat
dipahami dengan tepat. Dienes
berpendapat bahwa materi harus
dinyatakan dalam berbagai penyajian
(multiple embodiment), sehinga anak-
anak dapat bermain dengan bermacam-
macam material yang dapat
mengembangkan minat anak didik.
Berbagai penyajian materi (multiple
embodiment) dapat mempermudah
proses pengklasifikasian abstraksi
konsep.
Menurut Dienes, variasi sajian
hendaknya tampak berbeda antara satu
dan lainnya sesuai dengan prinsip
variabilitas perseptual (perseptual
variability), sehingga anak didik dapat
melihat struktur dari berbagai pandangan
yang berbeda-beda dan memperkaya
imajinasinya terhadap setiap konsep
matematika yang disajikan. Berbagai
sajian (multiple embodiment) juga
membuat adanya manipulasi secara
penuh tentang variabel-variabel
matematika yang berkaitan dengan
prinsip Dienes mengenai variabilitas
matematika. Variasi matematika
dimaksudkan untuk membuat lebih jelas
mengenai sejauh mana sebuah konsep
dapat digeneralisasikan terhadap konteks
yang lain. Dengan demikian, semakin
banyak bentuk-bentuk berlainan yang
biberikan dalam konsep tertentu,
semakin jelas bagi anak dalam
memahami konsep tersebut.
Tabel 3. Banyak diagonal suatu poligon.
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
Berhubungan dengan tahap belajar,
suatu waktu anak didik dihadapkan pada
permainan yang terkontrol dengan
berbagai sajian. Kegiatan ini
menggunakan kesempatan untuk
membantu anak didik menemukan cara-
cara dan juga untuk mendiskusikan
temuan-temuannya. Langkah
selanjutnya, menurut Dienes, adalah
memotivasi anak didik untuk
mengabstraksikan pelajaran tanpa
material konkret dengan gambar yang
sederhana, grafik, peta dan akhirnya
memadukan simbol-simbol dengan
konsep tersebut. Langkah-langkah ini
merupakan suatu cara untuk memberi
kesempatan kepada anak didik ikut
berpartisipasi dalam proses penemuan
dan formalisasi melalui percoban
matematika. Proses pembelajaran ini
juga lebih melibatkan anak didik pada
kegiatan belajar secara aktif dari pada
hanya sekedar menghapal. Pentingnya
simbolisasi adalah untuk meningkatkan
kegiatan matematika ke satu bidang
baru.
Dari sudut pandang tahap belajar,
peranan anak didik adalah untuk
mengatur belajar anak didik dengan
bimbingan guru dalam bentuk aturan-
aturan susunan benda walaupun dalam
skala kecil. Anak didik pada masa ini
bermain dengan simbol dan aturan
dengan bentuk-bentuk konkret dan
mereka memanipulasi untuk mengatur
serta mengelompokkan aturan-aturan.
Pada masa ini anak didik menggunakan
simbol-simbol sebagai objek manipulasi
dan mengarah kepada struktur pemikiran
pemikiran matematika yang lebih tinggi.
Anak didik harus mampu mengubah fase
manipulasi konkret, agar pada suatu
waktu simbol tetap terkait dengan
pengalaman konkretnya.
D. Teori Pembelajaran Skemp.
Menurut Richard Skemp (dalam
Karim, dkk, 1997: 23—24), anak belajar
matematika melalui dua tahap, yaitu
konkret dan abstrak. Pada tahap pertama,
yaitu tahap konkret, anak memanipulasi
benda-benda konkret untuk dapat meng-
hayati ide-ide abstrak. Pengalaman awal
berinteraksi dengan benda konkret ini
akan membentuk dasar bagi belajar
selanjutnya, yaitu pada tahap abstrak
atau tahap kedua. Sebagai contoh,
kegiatan yang diberikan pada anak didik
untuk me-nemukan sifat komutatif
perkalian bilangan cacah berikut ini
(gambar 23).
Anak diberi sekelompok benda dan
disuruh menyusun benda tersebut
menjadi 3 baris dan 4 kolom (gambar 23
kiri). Ini menunjukkan 3 x 4. Kemudian
anak disuruh membilang banyaknya
benda yang disusun. Selanjutnya anak
juga diberi sekelompok benda lain dan
disuruh menyusun benda tersebut
menjadi 4 baris 3 kolom (gambar 23
kanan). Ini menunjukkan 4 x 3.
Kemudian anak disuruh membilang
banyaknya benda yang disusun. Dari
temuan anak, ternyata didapat bahwa 3 x
Gambar 23. Menyatakan perkalian dengan baris
dan kolom
3 x 4
4 x 3
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
4 = 4 x 3. Percobaan tersebut dapat
diulang-ulang dengan perkalian dua
bilangan cacah yang lain.
Menurut Skemp, agar belajar
menjadi berguna bagi seorang anak sifat-
sifat umum dari pengalaman anak harus
dipadukan untuk membentuk suatu
struktur konseptual atau suatu skema.
Dengan demikian guru hendaknya
memberi kegiatan pada anak untuk
menyusun struktur matematika
sedemikian rupa agar jelas bagi anak
didik sebelum mereka dapat
menggunakan pengetahuan awalnya
sebagai dasar untuk belajar pada tahap
berikutnya, atau sebelum mereka
menggunakan pengetahuan mereka
secara efektif untuk menyelesaikan
masalah.
E. Teori Pembelajaran Brownell.
Menurut William Brownell (dalam
Karso, 1999: 1.22), pada hakikatnya
belajar merupakan suatu proses yang
bermakna, dan belajar matematika harus
merupakan belajar bermakna dan
pengertian. Dalam pembelajaran
matematika SD, Brownell
mengemukakan teori makna (meaning
theory). Menurut teori makna, anak
harus memahami makna dari topik yang
sedang dipelajari, memahami simbol
tertulis, dan apa yang diucapkan.
Memperbanyak latihan (drill)
merupakan jalan yang efektif. Tetapi
latihan-latihan yang dilakukan haruslah
didahului dengan pemahaman makna
yang tepat.
Menurut teori makna, matematika
adalah suatu sistem dari konsep-konsep,
prinsip-prinsip yang dapat dimengerti
(Karso, 1999: 1.25). Latihan-latihan dan
tes bagi anak didik bukan untuk
mengukur kemampuan mekanik dalam
berhitung, tetapi untuk mengungkapkan
kemampuan intelegensi anak dalam
memahami bilangan dan menghadapi
situasi aritmetika dengan pemahaman
yang sempurna, baik dari segi
matematika maupun praktis.
Brownell (dalam Karso, 1999:
1.25—1.26) mengemukakan bahwa
kemampuan mendemonstrasikan
operasi-operasi hitung secara otomatis
dan mekanis tidaklah cukup. Tujuan
utama dari pembelajaran aritmetika
adalah untuk mengembangkan
kemampuan berpikir dalam situasi
kuantitatif. Oleh karena itu pembelajaran
aritmetika di SD harus membahas
tentang pentingnya (significane) dan
makna (meaning) dari bilangan.
Pentingnya bilangan (significance of
number) bersifat fungsional atau dengan
kata lain penting dalam kehidupan sosial
manusia. Dalam kehidupan sehari-hari
manusia tidak terlepas dari bilangan,
misalnya nilai uang dapat dilihat dari
lambang bilangan yang tertera pada uang
tersebut, untuk itu diperlukan bilangan.
Untuk menghitung dan mencatat
banyaknya ternak yang dimiliki, pemilik
ternak tersebut memerlukan bilangan
pula. Sedangkan makna bilangan
(meaning of number) bersifat intelektual,
yaitu bersifat matematis sebagai suatu
sistem kuantitatif. Misalnya pemahaman
terhadap konsep bilangan cacah, konsep
suatu operasi bilangan, sifat-sifat operasi
bilangan, dan sebagainya.
Untuk dapat memfungsikan
bilangan dengan maksimal dalam
kehidupan sehari-hari, diperlukan
kemampuan memahami makna bilangan.
Misalnya seorang pedagang di pasar
memerlukan kemampuan menghitung
nilai sekelompok uang, penjumlahan,
pengurangan, perkalian, dan bahkan
pembagian untuk dapat melayani
pembeli atau melakukan transaksi
dagang dengan rekannya.
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
F. Teori Pembelajaran Skinner.
Burrush Frederich Skinner (dalam
Ruseffendi 1992: 127—128)
menyatakan bahwa ganjaran atau
penguatan mempunyai peranan yang
amat penting dalam proses belajar.
Terdapat perbedan antara ganjaran dan
penguatan. Ganjaran merupakan proses
yang sifatnya menggembirakan dan
merupakan tingkah laku yang sifatnya
subjektif, sedangkan penguatan
merupakan sesuatu yang mengakibatkan
meningkatnya kemungkinan suatu
respon dan lebih mengarah kepada hal-
hal yang sifatnya dapat diamati dan
diukur.
Skinner juga berpendapat bahwa
penguatan dibagi atas dua bagian yaitu,
penguatan positif dan penguatan negatif.
Penguatan merupakan stimulus positif,
jika penguatan tersebut seiring dengan
meningkatnya perilaku anak didik dalam
melakukan pengulangan perilaku
tersebut. Jadi penguatan yang diberikan
kepada anak didik memperkuat tindakan
anak didik, sehingga anak didik
cenderung untuk sering melakukannya.
Contoh penguatan positif antara lain
pujian pada saat anak didik menjawab
benar atau mendapat nilai tinggi.
Pada pembelajaran matematika
baik penguatan positif maupun ganjaran
sangat diperlukan anak didik. Keduanya
merupakan motivasi positif dalam
belajar matematika. Dalam percobaan
strategi pembelajaran matematika
melalui lomba dan hadiah bagi
pemenang, yang dikenakan pada
beberapa mahasiswa PGSD UPP1
UNNES yang bermasalah (enggan
mengikuti kuliah, tidak mau menger-
jakan tugas kelompok, prestasi rendah,
dsb) pada tahun 2004, hasilnya sebagai
berikut:
Semuanya senang dengan
pembelajaran matematika yang
baru dilaksanakan.
Mereka mengharapkan untuk
sering melaksanakan pembelajaran
dengan strategi tersebut, baik yang
tidak mendapat hadiah, terlebih
yang mendapat hadiah.
Ada perubahan tingkah laku
mereka pada pertemuan-pertemuan
selanjutnya yaitu menjadi lebih
aktif mengikuti kegiatan di kelas,
bergairah/bersemangat pada
perkuliahan matematika, mau
melaksanakan tugas kelompok
bersama temannya, dan menjadi
rajin mengikuti kuliah matematika.
Prestasi mereka pada mata kuliah
matematika naik.
Meskipun contoh penguatan
tersebut dikenakan pada mahasiswa,
hasilnya tidak akan berbeda jika
dikenakan pada anak SD. Contoh
tersebut selaras dengan pendapat
Skinner, bahwa penguatan akan
berbekas pada diri anak didik. Mereka
yang mendapat pujian setelah berhasil
menyelesaikan tugas atau dapat
menjawab pertanyaan biasanya akan
berusaha memenuhi tugas berikutnya
dengan penuh semangat. Penguatan yang
berbentuk hadiah atau pujian akan
memotivasi anak didik untuk rajin
belajar dan untuk mempertahankan
prestasi yang diraihnya.
Oleh sebab penguatan akan
berbekas pada anak didik, sedangkan
hasil penguatan diharapkan positif, maka
penguatan yang diberikan harus
teralamatkan pada respon anak didik
yang benar. Jangan memberikan
penguatan atas respon anak didik, jika
respon tersebut sebenarnya tidak perlu
dilakukan.
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
G. Teori Pembelajaran Thorndike
Edward L. Thorndike (1874—
1949) mengemukakan beberapa hukum
belajar yang dikenal dengan sebutan
“Law of Effect”. Menurut hukum ini
belajar akan lebih berhasil bila respon
siswa terhadap suatu stimulus segera
diikuti dengan rasa senang atau
kepuasan. Rasa senang atau kepuasan ini
bisa timbul sebagai akibat siswa
mendapat pujian atau ganjaran lainnya.
Stimulus ini termasuk reinforcement.
Setelah anak didik berhasil
melaksanakan tugasnya dengan tepat dan
cepat, pada diri anak didik muncul
kepuasan sebagai akibat sukses yang
diraihnya. Anak didik yang telah
memperoleh suatu kesuksesan, pada
giliran berikutnya akan mengantarkan
dirinya ke jenjang kesuksesan yang lebih
tinggi.
Teori pembelajaran stimulus-
respon yang dikemukakan oleh
Thorndike ini disebut juga
koneksionisme. Teori ini menyatakan
bahwa pada hakekatnya belajar
merupakan proses pembentukan
hubungan antara stimulus dan respon.
Terdapat beberapa dalil atau hukum
yang dikemukakan Thorndike, yang
mengakibatkan munculnya stimulus-
respon ini, yaitu hukum kesiapan (law of
readiness), hukum latihan (law of
exercise) dan hukum akibat (law of
effect).
Hukum kesiapan menerangkan
bagaimana kesiapan seorang anak didik
dalam melakukan suatu kegiatan/belajar.
Seorang anak didik yang telah memiliki
kecenderungan (siap) untuk bertindak
atau melakukan kegiatan tertentu, dan
dia kemudian benar-benar melakukan
kegiatan tersebut, maka tindakannya
akan melahirkan kepuasan bagi dirinya.
Tindakan-tindakan lain yang dia
lakukan, tidak menimbulkan kepuasan
bagi dirinya. Contoh pada peristiwa guru
memberi tugas pada anak didiknya untuk
membawa pita meteran pada pelajaran
matematika berikutnya. Dengan
menbawa pita meteran pada pelajaran
matematika berikutnya, anak telah siap
untuk belajar mengukur panjang benda.
Jika kemudian dia diberi kegiatan
mengukur tinggi badan temannya,
setelah melaksanakan kegiatan tersebut
dia mendapat kepuasan. Tetapi kalau dia
melakukan kegiatan lain, misal guru
memberi tugas untuk mengerjakan soal
perkalian, maka dia tidak mendapat
kepuasan.
Seorang anak didik yang siap
untuk bertindak dan kemudian bertindak,
sedangkan tindakannya itu menimbulkan
ketidakpuasan bagi dirinya, akan selalu
menghindarkan dirinya dari tindakan-
tindakan yang melahirkan
ketidakpuasan. Sebagai contoh, anak
yang telah siap mengerjakan PR
matematika, kemudian mengerjakan PR
matematika tersebut, tetapi tidak dapat
karena baginya terlalu sulit. Timbul
ketidakpuasan pada dirinya dalam
mengerjakan soal matematika. Maka
untuk selanjutnya dia akan
menghindarkan dirinya dari
mengerjakan soal matematika.
Seorang anak didik yang tidak
mempunyai kecederungan (tidak siap)
untuk bertindak atau melakukan kegiatan
tertentu, sedangkan anak tersebut
ternyata melakukan kegiatan/tindakan,
maka apa yang dilakukannya itu
menimbulkan rasa tidak puas bagi
dirinya. Untuk menghilangkan
ketidakpuasannya, anak tersebut akan
melakukan tindakan lain. Anak yang
tidak mempunyai kecenderungan (tidak
siap) untuk belajar matematika (mungkin
tidak suka atau takut pada pelajaran
matematika, ternyata dia belajar
matematika (pada pelajaran
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
matematika), maka dia tidak puas.
Dia akan mengganggu temannya atau
melakukan tindakan yang aneh-aneh
untuk menghilangkan ketidakpuasannya.
Dari ciri-ciri di atas dapat
disimpulkan bahwa seorang anak didik
akan lebih berhasil dalam belajar
matematika, dan mendapat kepuasan,
jika dia telah siap untuk melakukan
kegiatan belajar matematika.
Hukum latihan menyatakan bahwa
jika hubungan stimulus-respon sering
terjadi, maka hubungan akan semakin
kuat. Sedangkan makin jarang hubungan
stimulus-respon digunakan, maka makin
lemahlah hubungan yang terjadi.
Hukum latihan pada dasarnya
mengungkapkan bahwa stimulus dan
respon akan memiliki hubungan satu
sama lain secara kuat jika proses
pengulangan sering terjadi. Makin
banyak kegiatan ini dilakukan, maka
hubungan yang terjadi akan bersifat
otomatis. Seorang anak didik yang
dihadapkan pada suatu persoalan yang
sering ditemuinya akan segera
melakukan tanggapan secara cepat
sesuai dengan pengalamannya pada
waktu sebelumnya. Anak yang sering
diberi latihan menggunakan kemampuan
matematisnya untuk menyelesaikan
masalah yang di-hadapi, akan cepat
tanggap dan dapat menyelesaikan
masalah semacam yang terjadi di dalam
hidupnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa
pengulangan yang memberikan dampak
positif adalah pengulangan yang
frekuensinya teratur, bentuk
pengulangannya tidak membosankan
dan kegiatannya disajikan dengan cara
yang menarik.
Sebagai contoh, untuk
menterampilkan fakta perkalian dua
bilangan cacah pada anak didik, guru
memberikan kegiatan permainan domi
number (rangkaian 2 persegi bilangan)
perkalian (gambar 24), atau menentukan
dua faktor satu angka yang hasil kalinya
telah diketahui (paling banyak 81), atau
setiap menjelang waktu pulang
memberikan kesempatan pulang dulu
bagi anak yang dapat menjawab hasil
perkalian. Untuk kegiatan yang terakhir
hendaknya guru memberikan fakta
perkalian yang sulit bagi anak terlebih
dahulu, agar anak yang lamban dan
belum hafal fakta perkalian lama-
kelamaan menjadi hafal dengan
memperhatikan jawaban temannya yang
lebih cerdas. Selanjutnya soal yang
diberikan bertambah mudah, agar semua
anak dapat menjawab, dan pulang
dengan puas.
Dalam hukum akibat, Thorndike
mengemukakan bahwa suatu tindakan
akan menimbulkan pengaruh bagi
tindakan yang serupa. Ini memberikan
gambaran bahwa jika suatu tindankan
yang dilakukan seorang anak didik
menimbulkan hal-hal yang
mengakibatkan kepuasan bagi dirinya,
tindakan tersebut akan cenderung
diulangi. Sebaliknya tiap-tiap tindakan
yang mengakibatkan kekecewaan atau
2 ×
7
48
8×6
15
3 ×
5
20
5×4
81
Gambar 24. Rangkaian 2 persegi bilangan
untuk perkalian.
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
hal-hal yang tidak menyenangkan,
cenderung akan dihindarinya. Dilihat
dari ciri-ciri ini, hukum akibat lebih
mendekati ganjaran dan hukuman.
Dari hukum akibat ini dapat
disimpulkan bahwa adanya ganjaran dari
guru akan memberikan kepuasan bagi
anak didik, dan anak didik cenderung
berusaha untuk mengulangi atau
meningkatkan apa yang telah dicapainya
itu. Guru yang memberikan pujian
terhadap jawaban anak didik, akan
semakin menguatkan konsep yang
tertanam pada diri anak didik, dan
merupakan hadiah bagi anak didik yang
kelak akan meningkatkan dirinya dalam
menguasai pelajaran.
Guru harus tanggap terhadap
respon anak didik yang salah, dan
hendaknya langsung memberikan
pembetulan atau penjelasan. Jika
kekeliruan anak didik dibiarkan tanpa
penjelasan yang benar dari guru, ada
kemungkinan anak didik
menganggapnya benar dan kemudian
mengulanginya. Oleh karena itu, guru
harus mengoreksi dan memberikan
pembetulan/penjelasan terhadap respon
anak yang salah baik dalam mengerjakan
PR, latihan, maupun tes.
Dari hukum akibat ini dapat
disimpulkan bahwa jika terdapat asosiasi
yang kuat antara pertanyaan dan
jawaban, maka bahan yang disajikan
akan tertanam lebih lama dalam ingatan
anak didik. Selain itu banyaknya
pengulangan akan sangat menentukan
lamanya konsep tertanam dalam ingatan
anak didik.
H. Teori Pembelajaran Van Hiele.
Teori pembelajaran yang
dikemukakan oleh Van Hiele (1964),
menguraikan tahap-tahap perkembangan
mental anak didik dalam bidang
geometri. Menurut Van Hiele, ada tiga
(3) unsur utama dalam pengajaran
geometri yaitu waktu, materi pengajaran,
dan metode pengajaran yang diterapkan.
Jika ketiga hal tadi ditata secara terpadu
akan dapat meningkatkan kemampuan
berpikir anak didik pada tingkatan
berpikir yang lebih tinggi.
Van Hiele juga menyatakan bahwa
terdapat 5 tahap belajar anak didik dalam
belajar geometri, yaitu:
1. Tahap Pengenalan.
Dalam tahap ini anak didik mulai
belajar mengenal suatu bentuk geometri
secara keseluruhan, namun belum
mampu mengetahui adanya sifat-sifat
dari bentuk geometri yang dilihatnya itu.
Sebagai contoh, jika pada seorang
diperlihatkan sebuah kubus, ia belum
mengetahui sifat-sifat atau keteraturan
yang dimiliki oleh kubus tersebut, ia
belum menyadari bahwa kubus
mempunyai sisi yang merupakan
persegi, bahwa sisinya ada 6 buah,
rusuknya ada 12, dan lain-lain. Anak
baru dapat membedakan bangun kubus
dengan bangun yang bukan kubus, atau
menentukan bangun-bangun yang
merupakan bangun kubus. Kegiatan
yang diberikan anak pada tahap ini
misalnya mengamati model bangun-
bangun ruang dan menyebutkan nama
bangunnya disertai dengan gambar
bangun ruang (gambar 25), kemudian
mengamati dan menyebutkan bangun-
bangun di sekitar anak yang sama
dengan bangun ruang tertentu, membuat
kelompok benda-benda sekitar siswa
yang merupakan bangun ruang tertentu,
dan kegiatan semacamnya. Demikian
pula kegiatan yang diberikan pada anak
dalam tahap pengenalan bangun datar,
dimulai dengan mengamati dan menamai
model bangun datar.
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
2. Tahap Analisis.
Pada tahap ini anak didik sudah
mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki
benda geometri yang diamati. Ia sudah
mampu menyebutkan keteraturan yang
terdapat pada benda geometri tersebut.
Misalnya disaat ia mengamati kubus, ia
telah mengetahui bahwa pada kubus
terdapat 6 sisi berbentuk persegi yang
sama, ada 12 rusuk yang sama panjang,
ada 8 titik sudut, dan sebagainya
(gambar 26).
Dalam tahap ini anak didik belum
mampu mengetahui hubungan yang
terkait antara suatu benda geometri
dengan benda geometri lainnya.
Misalnya, anak didik belum mengetahui
bahwa kubus merupakan balok (yang
istimewa), atau kubus merupakan
paralel-epipedum (yang istimewa), dan
sebagainya. Anak belum mengetahui
bahwa persegi adalah persegi panjang,
atau persegi adalah belah ketupat, dan
sebagainya.
3. Tahap Pengurutan.
Pada tahap ini anak didik sudah
mulai mampu melakukan penarikan
kesimpulan, yang kita kenal dengan
sebutan berpikir deduktif. Namun
kemampuan ini belum berkembang
secara penuh. Satu hal yang perlu
diketahui adalah anak didik pada tahap
ini sudah mampu mengurutkan.
Misalnya, ia sudah mengenali bahwa
persegi adalah jajargenjang, bahwa
belahketupat adalah layang-layang.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat contoh
pengelompokan bangun pada gambar 26.
Demikian pula dalam pengenalan benda-
benda ruang, anak didik sudah
memahami bahwa kubus adalah balok
juga, dengan keistimewaannya, yaitu
bahwa semua sisinya berbentuk persegi.
Pola berpikir anak didik pada tahap ini
masih belum mampu menerangkan
mengapa diagonal suatu persegi panjang
itu sama panjang. Anak didik mungkin
belum memahami bahwa belah ketupat
dapat dibentuk dari dua buah segitiga
yang kongruen.
Gambar 26. Bagian-bagian kubus.
titik sudut
rusuk
bidang sisi
Gambar 25. Gambar
bangun ruang.
kubus balok limas
segiempat
prisma
segitiga
Ta
bung
Bo
la
Keru
cut
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
4. Tahap Deduksi.
Dalam tahap ini anak didik sudah
mampu menarik kesimpulan secara
deduktif, yakni penarikan kesimpulan
dari hal-hal yang bersifat umum menuju
hal-hal yang bersifat khusus. Demikian
pula ia telah mengerti betapa pentingnya
peranan unsur-unsur yang tidak
didefinisikan disamping unsur-unsur
yang didefinisikan. Misalnya, anak didik
sudah memahami perlunya aksioma,
asumsi, definisi, teorema, bukti dan
dalil. Selain itu, pada tahap ini anak
didik sudah mulai mampu menggunakan
aksioma atau postulat yang digunakan
dalam pembuktian. Postulat dalam
pembuktian segitiga yang sama dan
sebangun, seperti sisi-sudut-sisi, sisi-
sisi-sisi, atau sudut-sisi-sudut, dapat
dipahaminya, namun belum mengerti
mengapa postulat tersebut benar dan
mengapa dapat dijadikan sebagai
postulat dalam cara-cara pembuktian dua
segitiga yang sama dan sebangun
(kongruen). Misalnya untuk menemukan
rumus luas segitiga yang diturunkan dari
rumus luas jajargenjang berikut:
Untuk mendapatkan rumus luas
segitiga yang diturunkan dari rumus luas
jajargenjang, harus dibuktikan lebih dulu
bahwa Δ ABD ≅ Δ CDB.
Karena ′B2 = ′D2 (sudut dalam
berseberangan), dan sisi BD = sisi DB
(konkruen), dan ′D1 = ′B1 (sudut dalam
berseberangan), maka terbukti bahwa Δ
ABD ≅ Δ CDB (sudut-sisi-sudut). Jadi
luas Δ ABD = luas Δ CDB. Karena luas
Δ ABD + luas Δ CDB = luas
jajargenjang ABCD, sedangkan luas Δ
ABD = luas Δ CDB, dapat dikatakan
luas Δ ABD = 2
1
luas jajargenjang
ABCD. Karena luas jajargenjang ABCD
= a x t, maka luas Δ ABD = 2
1
a x t, atau
luas Δ ABD = 2
1
alas x tinggi. Anak pada
tahap ini sudah dapat membuktikan dan
menunjukkan dasarnya, misalnya sudut
berseberangan sama besar, tetapi belum
mengerti mengapa demikian.
Gambar 27.
Pengelompokan segi
empat.
persegi
panjang
buj
ur
san
gka
r
jajargen
jang
belahk
etupat layang-
layang
kelompok
segiempat
kelompok
jajargenjangkelompok
persegipanjang
kelompok
belahketupa
t
kelompok layang-
layang
trape
sium
A B
C
2
12
1
Gambar 28. Jajargenjang ABCD dibagi 2
menurut diagonal BD.
t
a
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
5. Tahap Akurasi.
Dalam tahap ini anak didik sudah
mulai menyadari betapa pentingnya
ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang
melandasi suatu pembuktian. Misalnya,
ia mengetahui pentingnya aksioma-
aksioma atau postulat-postulat dari
geometri Euclid. Ia mengetahui bahwa
dengan dasar aksioma yang berbeda
maka pernyataan benar untuk suatu hal
yang sama akan berbeda pula. Misalnya
ia mengetahui mengapa dan aksioma
mana yang melandasi sehingga di dalam
geometri Euclid dinyatakan bahwa
jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga
sama dengan 180o
; mengapa dan
aksioma mana yang melandasi sehingga
di dalam geometri hyperbolik dinyatakan
bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu
segitiga kurang dari dua sudut siku-siku
(180o
); mengapa dan aksioma mana
yang melandasi sehingga di dalam
geometri eliptik dinyatakan bahwa
jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga
lebih dari 180o
.
Tahap akurasi merupakan tahap
berpikir yang tinggi, rumit dan
kompleks. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika ada anak yang masih
belum sampai pada tahap ini, meskipun
sudah duduk di bangku sekolah lanjutan
atas atau di perguruan tinggi.
I. Penerapan Teori Pembelajaran
dalam Pembelajaran
Matematika.
Dari pembahasan teori-teori
pembelajaran matematika tersebut di
atas, ternyata bahwa beberapa ahli
mempunyai kesamaan pendapat, yaitu
anak dalam belajar matematika akan
dapat memahami jika dibantu dengan
manipulasi objek-objek konkret. Untuk
penerapannya di dalam pembelajaran,
akan lebih baik jika setiap teori
pembelajaran matematika itu tidak
berdiri sendiri-sendiri, tetapi
dikombinasikan sesuai dengan
kebutuhan. Sebagai contoh untuk
pembelajaran geometri, pada tahap
analisis balok, dapat kita pakai teori
pembelajaran Bruner dengan 3
tahapannya, yaitu enaktif, ikonik, dan
simbolik. Pada tahap enaktif anak diberi
kegiatan mengamati model bangun balok
Gambar 29. Perbedaan jumlah besar sudut-sudut segitiga
karena perbedaan aksioma yang melandasi.
Geometri
Euclide
Jumlah besar
sudut = 1800
Geometri
eliptik
Jumlah besar
sudut > 180
0
Geometri
hyperbolik
Jumlah besar
sudut < 180
0
Gambar 29. Perbedaan jumlah besar sudut-sudut segitiga karena
perbedaan aksioma yang melandasi.
Geometri
Euclide
Jumlah besar
0
Geometri
eliptik
Jumlah besar
0
Geometri
hyperbolik
Jumlah besar
0
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
untuk mencari bidang sisi dan
membilang berapa banyaknya bidang
sisi, menunjukkan nama bentuk bangun
bidang sisi balok, mencari rusuk dan
membilang banyaknya rusuk, mencari
titik sudut dan membilang banyaknya
titik sudut, dan lain sebagainya. Pada
tahap ikonik anak mengamati gambar
ruang bangun balok untuk melakukan
tugas seperti tugas pada tahap enaktif.
Pada tahap simbolik, tanpa model
bangun balok atau gambar balok, anak
menentukan bentuk bangun bidang sisi
balok, banyaknya rusuk balok,
banyaknya bidang sisi balok, dan lain
sebagainya. Dengan demikian untuk
pembelajaran topik tersebut selain
mengindahkan tahapan belajar geometri
menurut Van Hiele juga menggunakan
tahapan belajar menurut Bruner (gambar
30).
Pada pembelajaran matematika
juga diperlukan teori belajar dari
Brownell, Skinner, maupun Thorndike,
karena untuk keterampilan mekanik
matematisnya anak perlu mendapatkan
drill, maupun pengertian, penguatan dan
motivasi dalam belajar matematika agar
dapat belajar dengan senang dan berhasil
optimal. Oleh karena itu para calon
guru/guru SD-MI sangat dianjurkan
untuk memahami dan menguasai teori
belajar mengajar matematika bagi anak
SD-MI dan menerapkannya pada
pembelajaran matematikanya.
Tahap analisis balok (menurut Van
Hiele: anak mengenali sifat-sifat balok
yang diamati), dengan menggunakan
teori belajar belajar Bruner.
J. Resume
1. Menurut Piaget, perkembangan
belajar anak SD melalui 4 tahap,
yaitu konkret, semi konkret, semi
abstrak, dan abstrak.
Gambar 30. Tahap analisis balok
menggunakan teori belajar Bruner.
Tahap
enaktif
Anak didik mengamati
model benda balok (yang
dapat dibuat dari karton,
kayu, dan sebagainya) dan
mengenali sifat-sifat
balok, seperti memiliki 8
titik sudut, memiliki 6
bidang sisi; memiliki 12
rusuk; dan menyebutkan
nama-namanya.
Tahap
simboli
k
Anak didik dapat
menyebutkan sifat-sifat
yang dimiliki balok, dan
dapat menyebutkan
namanya tanpa melihat
model benda atau gambar
balok.
Tahap
ikonik
titik sudut
sebanyak
8: A, B,
C, D, E,
F, G, H.
rusuk
balok
sebany
ak 12:
AE,
BF, …
bidang sisi
sebanyak 6:
ABCD,
BCGF, …
A B
CD
E F
H G
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
2. Menurut Bruner, perkembangan
belajar anak melalui 3 tahap, yaitu
enaktif, ikonik, dan simbolik.
3. Menurut Bruner, ada empat dalil
dalam belajar matematika, yaitu
dalil penyusunan, dalil notasi, dalil
pengkontrasan dan
keanekaragaman, serta dalil
pengaitan.
4. Menurut Dienes, objek-objek
konkret dalam bentuk permainan
mempunyai peranan sangat penting
dalam pembelajaran matematika
jika dimanipulasi dengan baik.
5. Ada 6 tahap belajar menurut
Dienes, yaitu
Permainan bebas
Permainan yang disertai
aturan
Permainan kesamaan sifat
Representasi
Simbolisasi
Formalisasi
6. Menurut Skemp, belajar
matematika melalui dua tahap.
Tahap pertama adalah tahap
konkret, dan tahap kedua adalah
tahap abstrak.
7. Menurut Brownell, belajar
merupakan suatu proses yang
bermakna, dan belajar matematika
harus merupakan belajar bermakna
dan pengertian. Drill perlu
diberikan juga sesudah anak
memahami konsep.
8. Menurut Skinner, ganjaran atau
penguatan mempunyai peranan
yang amat penting didalam proses
belajar.
9. Menurut Thorndike, belajar akan
lebih berhasil jika respon anak
terhadap suatu stimulus segera
diikuti dengan rasa senang dan
kepuasan.
10. Menurut Van Hiele dalam belajar
geometri, anak melalui 5 tahapan,
yaitu
Tahap pengenalan
Tahap analisis
Tahap pengurutan
Deduksi
Akurasi
11. Penerapan teori-teori pembelajaran
pada pembelajaran matematika
tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi
perlu dikombinasikan menurut
kebutuhan.
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4
DAFTAR PUSTAKA
Hudoyo, H. (1988). Mengajar Belajar
Matematika. Jakarta: Depdibud
Ditjen Dikti Proyek Pengembangan
Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan.
Karim, A. Muchtamar, dkk. (1997).
Pendidikan Matematika 1. Jakarta:
Depdikbud Ditjen Dikti Proyek
Pengembangan Pendidikan Guru
Sekolah Dasar.
Karso, dkk. (1999). Pendidikan
Matematika 1. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Orton, A. (1992). Learning
Mathematics: Issues, Theory,
and Classroom Practice. Second
Edition. Trowbridge, Wallshite:
Redwood Books.
Resnick, LB & Ford, WW. (1981). The
Psychology of Mathematics for
Instruction. Hillshade, NJ:
Lawrence Elbaum Associates, Pt.
Ruseffendi, E. T. (1992). Materi Pokok
Pendidikan Matematika 3. Jakarta:
Depdikbud.
Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23
Bacaan 2
BAB I
TEORI BELAJAR BAHASA
alam belajar bahasa,
manusia merujuk
beberapa teori
belajar yang
merupakan
penjelasan
sistematis tentang fakta belajar sesuai
dengan asumsi, penalaran, dan bahan
bukti yang diberikan. Konsep belajar itu
dapat dijadikan landasan dalam
menentukan tujuan, menjabarkan butir
pembelajaran, memberi tugas dan
menganalisis tugas yang diberikan
kepada siswa, dan melaksanakan
evaluasi. Dengan kata lain, teori belajar
berguna bagi guru dalam merencanakan
pembelajaran, melaksanakan kegiatan
belajar mengajar, dan menentukan
evaluasi di kelas.
Pengertian teori menurut
Kerlinger yang dikutip Sapani (1998)
adalah “suatu himpunan pengertian atau
konsep yang saling berkaitan yang
menyajikan pandangan sistematis
tentang gejala dengan jalan menetapkan
hubungan yang ada di antara variabel-
variabel dengan tujuan untuk
menjelaskan serta meramalkan gejala-
gejala tersebut. Sedangkan yang
dimaksud teori belajar bahasa adalah
teori mengenai bagaimana manusia
mempelajari bahasa, dari tidak bisa
berkomunikasi antarsesama manusia
dengan medium bahasa menjadi bisa
berkomunikasi dengan baik.
Kegunaan teori, termasuk di
dalamnya teori belajar bahasa, berguna
untuk : (a) menyempurnakan suatu
praktik, (b) memperjelas sesuatu,
membuat orang mengerti sesuatu atau
memberi tahu bagaimana mengerjakan
sesuatu, (c) dapat merangsang
pengetahuan baru dengan jalan
memberikan bimbingan ke arah
penyelidikan selanjutnya, misalnya
dengan membuat deduksi tentang apa
yang akan terjadi pada situasi dalam
konteks tertentu. Dari teori penguatan
(reinforcement) dalam mendidik dapat
ditarik deduksi tentang pengaruh
pemberian pujian secara teratur jika
dibandingkan dengan pujian yang
diberikan secara tidak teratur.
Ada beberapa teori belajar yang
dapat dikemukakan di sini, yaitu (1)
behaviorisme, (2) mentalisme, (3)
kognitivisme, (4) konstruktivisme, dan
(5) humanisme.
Sejumlah teori di atas dapat
dimanfaatkan dalam pembelajaran
bahasa Indonesia di sekolah dasar.
Adapun uraiannya sebagai berikut:
A. Teori Behaviorisme.
Behaviorisme dikembangkan
oleh Ivan Pavlov (1849-1936). Teori ini
berangkat dari pemahaman bahwa
stimulus yang dapat dilihat juga dapat
menyebabkan adanya respons yang
dapat dilihat. Stimulus yang bermakna
dapat menghasilkan respons yang
bermakna pula. Untuk memperoleh
respons yang bermakna diperelukan
kondisi tertentu. Pemberian kondisi
tersebut perlu memperhitungkan
kesesuaian antara stimulus dengan
gambaran pembiasaan yang dihasilkan,
stimulus lain yang ikut membentuk
karakteristik responsi, dan frekuensi
pemberian stimulus yang diberikan.
Pemberian stimulus yang bermakna akan
menghasilkan respons terkondisi. Untuk
menghasilkan respons yang terkon
D
Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23
disi sesuai dengan tujuan diperlukan
kontrol terhadap lingkungan dan kondisi
yang membentuk responsi. Dengan
demikian, untuk melakukan itu harus
menempuh tiga tahap yaitu : stimulus,
respons, dan penguatan. Suatu perilaku
akan muncul bila didahului stimulus.
Perilaku itu dapat diperkuat, dibiasakan,
dengan memberi penguatan.
Dalam melakukan kontrol
menurut Edward L. Thorndike (1874-
1949), perlu diperhatikan tiga hal yaitu:
(1) law of effect atau kaidah efek, (2) law
of exercise atau kaidah latihan, dan (3)
law of readiness atau kaidah kesiapan
(Spodek dan Saracho, 1994:67).
Kaidah efek, berisi prinsip bahwa
kekuatan respons ditentukan oleh efek
kesenangan yang bisa diperoleh. Dengan
demikian, pemberian respons yang
dibayang-bayangi kegagalan, ejekan,
kemarahan, dan tertawaan teman sekelas
misalnya, hanya akan melemahkan
intensitas respons yang diberikan
sehingga kekuatan respons yang
sebenarnya tidak tampak. Siswa yang
akan latihan berbicara di depan kelas
misalnya, biasanya takut karena
khawatir diejek teman-temannya atau
ditertawakan sehingga muncul rasa malu
yang kuat dan tidak mampu tampil
secara wajar.
Kaidah latihan, berisi anggapan
bahwa semakin sering dan lama suatu
latihan diberikan akan semakin tinggi
pengalaman dan bentuk keterampilan
yang diperoleh. Siswa yang tidak dapat
melafalkan kata /virus/, /saya/, /tidak/,
/partisipasi/ dengan benar, semakin
sering dan lama diberikan latihan akan
semakin baik pelafalannya.
Kaidah kesiapan berisi anggapan
bahwa belajar itu lebih efektif bila
diawali dan disertai rasa nervous.
Perasaan demikian dapat mendorong
keseriusan dan tumbuhnya konsentrasi,
terutama bila disertai disiplin dan
kegiatan belajar yang benar-benar
menantang dan menarik minat mereka.
Burrhus Frederic Skinner (1904-
1990) memperluas psikologi belajar ke
dalam teori perkembangan, teori belajar,
penyimpangan personal, dan problema
sosial pada umumnya. Bagi Skinner,
pemahaman sebagai hasil belajar
berlangsung melalui pengamatan dan
pemerolehan pengalaman secara
langsung. Aktivitas tersebut apabila
disertai pengkondisian yang tepat akan
menghasilkan kebiasaan yang juga
mempengaruhi pola tingkah lakunya.
Agar kegiatan belajar dapat dipantau dan
dikondisikan secara ketat, bahan
pelajaran dan latihan dibuat dalam
satuan kecil sehingga detilnya jelas.
Dalam pembelajarannya setiap respons
yang benar harus segera diberi
penguatan. Dalam pelajaran berbicara
misalnya, guru perlu mengembangkan
bentuk latihan yang berfungsi
mengembangkan kemampuan anak
dalam melafalkan kata-kata dalam
bahasa Indonesia secara baik dan benar,
memberikan jeda dan intonasi secara
baik dan benar, bukan sekedar
kemampuan menyusun naskah pidato
dan menyampaikannya di depan kelas.
Hal seperti itu sering luput dari perhatian
guru, sehingga siswa SD umumnya
dalam membaca atau berbicara
(berpidato atau bercerita) mempunyai
pola intonasi yang seragam di mana-
mana. Anak yang berhasil melafalkan
dengan benar dan intonasi yang wajar,
harus segera diberi penguatan dalam
bentuk pujian atau penguatan verbal
maupun nonverbal lainnya.
Behaviorisme, yang sebenarnya
teori psikologi tadi, diadopsi menjadi
metodologi pengajaran bahasa, terutama
di Amerika, yang hasilnya adalah
metode audiolingual. Metode ini
Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23
ditandai dengan pemberian
latihan yang terus menerus kepada siswa
yang diikuti penguatan baik positif
maupun negatif.
Menurut teori behaviorisme ini,
manusia adalah organisme yang dapat
memberikan respons (operant) baik oleh
karena adanya stimulus atau rangsangan
yang nampak atau tidak. Respons
tersebut diusahakan terus karena adanya
reinforcement atau penguatan. Dalam
pembelajaran bahasa, organisme itu
adalah siswa, stimulus itu pengajaran
yang diwujudkan dalam bentuk tugas
atau perintah atau contoh, sedangkan
respons atau operant adalah tingkah laku
bahasa siswa sebagai reaksi terhadap
pengajaran yang diajarkan guru,
sedangkan penguatan atau reinforcement
adalah balikan dari guru yang
dinyatakan dalam bentuk persetujuan,
pujian, dan penguatan verbal nonverbal
lainnya.
Pelaksanaannya di kelas, metode
audiolingual, yang juga dipengaruhi
strukturalisme ini menurut Moulton
(dalam Azis dan Alwasilah, 2000: 21)
memiliki lima karakteristik kunci yang
perlu dipertimbangkan jika mengajarkan
bahasa. Lima karakteristik tersebut
sebagai berikut:
(a) Bahasa itu ujaran, bukan tulisan.
(b) Bahasa itu seperangkat kebiasaan.
(c) Ajarkanlah bahasanya, bukan
tentang bahasanya.
(d) Bahasa adalah, sebagaimana
dituturkan oleh penutur asli, bukan
seperti dipikirkan orang bagaimana
mereka seharusnya berbicara.
(e) Bahasa itu berbeda-beda.
Dari karakteristik di atas, tugas
guru hanyalah memberikan
pengharagaan dan penguatan kepada
siswa yang ujarannya paling mendekati
model yang diberikan guru atau didengar
melalui media audio.
Pengaruh behaviorisme dalam
belajar bahasa tidak dapat dilepaskan
dari peranan Leonard Bloomfield. Ia
beranggapan bahwa linguistik
merupakan cabang psikologi, yaitu
psikologi behaviorisme. Sebagaimana
psikologi behaviorisme, dalam
mengembangkan teori kebahasaan pun
Bloomfield yang disebut sebagai
pelanjut wawasan linguistik deskriptif
dan linguistik struktural, ujaran bisa
diterangkan dengan kondisi-kondisi
eksternal yang ada di sekitar
kejadiannya.
Kaum struktural Amerika berteguh
hati untuk menemukan sistem yang
menyeluruh dan dapat berdiri sendiri dan
mendahulukan yang penting dalam
analisis. Bunyi ujaran merupakan
fenomena yang paling mudah diamati
langsung. Oleh karena itu, ujaran
tersebut mendapat perhatian istimewa.
Pendekatan ini struktural, dalam arti
bahwa bahasa itu sebenarnya terdiri atas
urutan-urutan morfem yang juga terdiri
atas urutan-urutan fonem.
Pengaruh teori Behaviorisme di
atas dalam konteks belajar bahasa pada
sekitar tahun 1970-an tampak pada
terdapatnya wawasan berikut:
(1) Belajar bahasa merupakan bentuk
pemberian tanggapan atas stimulus
kebahasaan. Pemberian tanggapan
itu bisa berupa peniruan dari
lingkungan sekitarnya, latihan atau
drill yang diberikan guru maupun
bentuk-bentuk pembiasaan yang
dikondisikan dengan penguatan.
Guru memberikan contoh pelafalan
kata, kemudian murid menirukan
misalnya, merupakan bentuk
penerapan konsep behaviorisme,
yang dikenal dengan audio-lingual.
(2) Belajar bahasa harus difokuskan
pada aspek tertentu yang juga
menuntut pemberian tanggapan
Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23
(3) dan keterampilan tertentu pula.
Sebab itu, diperlukan latihan atau
pemberian stimulus untuk
penguasaan bunyi, kata, kalimat
secara terpisah-pisah. Pengajaran
yang hanya memusatkan perhatian
pada aspek bunyi, kata, kalimat
misalnya, merupakan contoh
penerapan linguistik struktural
Bloomfield yang berorientasi teori
behaviorisme.
(4) Makna maupun pengertian
merupakan kenyataan yang muncul
sebagaimana tampak pada responsi
atas stimulus. Penolakan atas
kebermaknaan makna dan proses
pemaknaan yang sifatnya abstrak
tersebut akhirnya menyebabkan
pengabaian kemungkinan bahwa
belajar bahasa melibatkan aktivitas
mental yang berhubungan dengan
proses penyusunan pengertian,
pembahasan, dan pengujaran.
Beberapa prinsip behavioristik
yang dapat dimanfaatkan dalam
perencanaan dan pembelajaran bahasa
Indonesia menurut Aminuddin (1996)
antara lain sebagai berikut:
(1) Dalam merencanakan program
pengajaran, guru harus secara jelas
memperhitungkan hubungan antara
materi pelajaran dengan isi
pembelajaran (apa yang menjadi
bahan pelajaran dengan isi yang
harus dikuasai siswa), bentuk
latihan, bentuk keterampilan yang
diharapkan, dan bentuk perubahan
tingkah laku yang tampak secara
konkret. Ketika guru
mempersiapkan bacaan sebagai
materi pelajaran misalnya, guru
perlu memahami (a) karakteristik
bacaan ditinjau dari responsi siswa,
(b) isi pembelajaran yang perlu
dikuasai siswa, (c) bentuk kegiatan
dan latihan sehingga siswa
memperoleh pengalaman sesuai
dengan penguasaan isi
pembelajaran yang diharapkan, dan
(d) penanda konkret atas
penguasaan isi pembelajaran
sebagaimana menggejala dalam
bentuk tingkah laku.
(2) Materi pelajaran, kegiatan, latihan,
dan tugas yang mengikuti harus
dispesifikasi secara detil dan
dinyatakan secara jelas. Kejelasan
itu selain mengacu pada kejelasan
hubungan antara detil materi
pelajaran maupun KBM yang satu
dengan yang lain dalam
membentuk keterampilan-
keterampilan tertentu.
(3) Perencanaan pengajaran harus
ditata dalam unit-unit dalam urutan
tertentu. Urutan itu, harus
menggambarkan urutan sederhana
menuju kompleks, mudah ke sukar,
dan konkret ke abstrak.
B. Mentalisme.
Teori mentalisme sering
dilawankan dengan teori behaviorisme.
Bila behaviorisme sangat berat pada
fokus yang sifatnya lahiriah, sedangkan
mentalisme lebih cenderung pada
pembahasan yang batiniah. Mentalisme
ini dipelopori oleh Noam Chomsky.
Dia menyerang kaum behavioris.
Menurut Chomsky (dalam
Sumardi,1992: 97) bahwa pemerolehan
bahasa tidak dapat dicapai melalui
pembentukan kebiasaan karena bahasa
terlalu sulit untuk dipelajari dengan cara
semacam itu apalagi dalam waktu
singkat. Menurut Chomsky, bahasa
bukanlah salah satu bentuk perilaku.
Sebaliknya, bahasa merupakan sistem
yang didasarkan pada aturan dan
pemerolehan bahasa, pada dasarnya
Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23
merupakan pembelajaran sistem
tersebut (Azies dan Alwasilah, 2000:22).
Chomsky, yang dalam linguistik
terkenal sebagai pelopor lahirnya
Tatabahasa Generatif Tranformasi
berpendapat bahwa manusia lahir ke
dunia sudah memiliki innate capacity
atau framework of linguistic structure.
Kerangka struktur linguistik tersebut
meliputi aspek semantik, sintaktik, dan
fonologi. Dalam proses belajar bahasa
struktur linguistik tersebut diasumsikan
sebagai Language Acquisition Device
(LAD) atau alat pemerolehan bahasa.
Berikut beberapa pendapat kaum
mentalis tentang pembelajaran dan
pemerolehan bahasa yang dikutip oleh
Sapani (1998: 14):
(1) Bahasa hanya dapat dikuasai oleh
manusia.
(2) Perilaku bahasa adalah suatu yang
diturunkan.
(3) Pemerolehan bahasa berlangsung
secara alami.
(4) Pola perkembangan bahasa sama
pada berbagai macam bahasa dan
budaya.
(5) Setiap anak sudah dibekali apa
yang disebut piranti penguasaan
bahasa Language Acquisition
Device (LAD) sebagai bawaan dari
lahir yang antara lain meliputi : (a)
kemampuan membedakan bunyi
bahasa, (b) kemampuan menyusun
bahasa menjadi sistem struktur,
dan (c) pengetahuan tentang yang
mungkin dan tidak mungkin
diterima dalam sistem linguistik,
dengan LAD ini dalam waktu
relatif singkat anak akan mampu
menguasai bahasa. Dalam proses
penguasaan bahasa alat tersebut
juga akan menentukan urutan
pemerolehan bahasa anak.
(6) Aliran mentalis tidak setuju
menyamakan proses belajar pada
manusia dengan yang terjadi pada
binatang. Manusia punya akal
pikiran, sedangkan hewan hanya
punya naluri.
(7) Belajar bahasa tidak sekedar
latihan-latihan mekanistis seperti
yang ditonjolkan teori behavioris,
melainkan lebih kompleks dari itu.
C. Kognitivisme.
Kognitivisme dalam psikologi
disebut psikologi Gestal dipelopori oleh
Jean Piaget (1896-1980). Dalam
wawasan kognitivisme dunia
pengalaman dan pengetahuan yang telah
ada sebelumnya (skemata) dimanfaatkan
untuk menerima pengetahuan baru.
Untuk memperoleh pengetahuan, siswa
dapat saja tidak harus mengatur dan
mengubah skematanya karena sudah
ada, sehingga pengetahuan dapat
dipahami dan terjadilah proses asimilasi.
Tetapi tidak menutup kemungkinan,
siswa harus mengubah dan
menyesuaikan skematanya ketika
pengetahuan baru itu datang sehingga
sesuai untuk menerima pengetahuan
baru tersebut dan terjadilah proses
akomodasi. Pada proses akomodasi ini,
bisa saja terjadi ketidakseimbangan
(disequilibrium), artinya terjadi
kebingungan sebab atara pengetahuan
yang ada dengan pengetahuan yang
datang tidak selaras.
Ketika siswa kelas V SD diberi
tugas untuk mengarang cerita
pengalaman, pada awalnya mungkin
siswa bingung karena terjadi
ketidakseimbangan. Namun ketika diberi
tugas harus mengingat-ingat lagi
kejadian, pengalaman, bahkan mimpinya
pada waktu tidur, siswa jadi teringat
bahwa itu juga bisa dijadikan karangan.
Akan lebih baik jika guru, membacakan
dulu cerita pengalaman mengesankan
yang diminati siswa serta memberi tahu
Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23
bahwa hasil tulisannya akan
dipajang di majalah dinding atau di
dalam buku portofolionya.
Dengan demikian, ditinjau dari
sudut pandang kognitivisme, belajar juga
dapat disikapi sebagai asimilasi dan
akomodasi yang bermakna, sehingga
dapat menghasilkan pemahaman,
penghayatan, dan keterampilan. Oleh
karena itu, bila guru memilih bahan
pengajaran, misalnya buku atau teks
untuk dibaca siswa, terlebih dulu harus
membangkitkan atau mengisi dulu
skemata siswa. Pengisian atau
pembangkitan itu dapat berupa
mengenalkan judul, gambar ilustrasi
dalam teks/ buku tersebut atau
menceritakan sinopsis singkatnya agar
pada waktu siswa tersebut membaca
terjadi asimilasi dan memahami isi yang
dibacanya.
Hal lain yang harus diperhatikan
terkait dengan skemata ini ialah skemata
isi, selain skemata bahasa. Seorang
siswa yang berada di Bandung jika harus
membaca teks bacaan Sasakala
Banyuwangi, mungkin akan mengalami
disequilibrium, karena siswa tersebut
tidak punya skemata isi tentang latar
tempat yang dibacanya. Dengan
demikian, guru juga harus berhati-hati
memilih bahan pelajaran dengan
mempertimbangkan skemata
(pengetahuan awal) siswanya, baik
skemata isi maupun skemata bahasa
(keterbacaan).
Menurut aliran kognitivisme,
belajar juga berupa penghubungan
pemahaman yang satu dengan yang lain
untuk menghasilkan pemahaman yang
utuh dan bermakna. Dengan demikian,
guru harus memperhatikan
kesinambungan dan keterpaduan
antarmateri yang satu dengan yang lain.
Berlandaskan teori kognitif,
Aminuddin (1996) memberikan saran
agar guru pada waktu memberikan
pelajaran, mempertimbangkan hal
berikut:
(1) Isi pembelajaran dan proses
belajarnya sesuai dengan tingkat
perkembangan, pengalaman, dan
pengetahuan siswa.
(2) Isi dan proses pembelajaran harus
menarik minat dan secara emotif
membangkitkan rasa ingin tahu,
minat, dan motivasi belajarnya.
Sebab itu guru harus
memperhitungkan minat,
kebermaknaan dan keterkaitan
antara materi yang dipilih dengan
dunia kehidupan siswa.
(3) Isi dan proses pembelajarannya
harus berhubungan dengan sesuatu
yang nyata dan alamiah sehingga
dapat dihubungkan dan
dibandingkan dengan kenyataan
dalam lingkungan kehidupan
siswa.
(4) Isi dan proses pembelajaran harus
memiliki jilai fungsional bagi
murid dalam kehidupannya
sehingga ketika mempelajarinya
siswa juga memahami tujuan
belajarnya.
D. Konstruktivisme.
Kognitivisme dalam
perkembangannya dan pemaduannya
dengan teori lain, misalnya pandangan
Vigotsky, menghasilkan pandangan yang
disebut konstruktivisme. Pada teori ini
hubungan timbal balik antara belajar
sebagai proses pembentukan
pengalaman secara empirik dan proses
pembentukan konsep secara rasional
dalam menghasilkan pemahaman
menjadi prinsip dasar. Berangkat dari
prinsip dasar demikian, diyakini bahwa
pemahaman yang terdapat pada siswa
menjadi dasar dalam memahami
kenyataan dan pemecahan masalah baru.
Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23
Pemahaman kenyataan dan
pemecahan masalah menghasilkan
pengetahuan baru dalam proses yang
aktif dan dinamis. Siswa merekontruksi
pengetahuannya oleh dirinya sendiri.
Konstruktivisme ini dilandasi
pandangan Jean Piaget (1896-1980), Lev
Semenovich Vigotsky (1896-1934), dan
Jerome Bruner (1915- ), dalam
perkembangannya menentukan adanya
hubungan antara lingkungan kehidupan
anak dengan karakteristik proses dan
hasil belajar anak. Bruner misalnya
beranggapan bahwa perkembangan
kognitif siswa berkaitan dengan tahap
enaktif; siswa melakukan kegiatan
memahami lingkungan, ikonik; siswa
memahami fakta kehidupan dan konsep
melalui gambar dan visualisasi verbal,
simbolik; siswa memahami fakta melalui
pengolahan konsep dan hubungan
antarkonsep secara logis.
Bruner berpendapat (dalam
Slameto, 2003: 11) bahwayang
terpenting dalam belajar tidak untuk
mengubah tingkah laku seseorang tetapi
untuk mengubah kurikulum sekolah
menjadi sedemikian rupa sehingga siswa
dapat belajar banyak dan mudah. Sebab
itu Bruner mempunyai pendapat,
alangkah baiknya bila sekolah dapat
menyediakan kesempatan bagi siswa
untuk maju dengan cepat sesuai dengan
kemampuan siswa dalam mata pelajaran
tertentu. Di dalam belajar Bruner
mementingkan partisipasi aktif siswa
dan mengenal dengan baik adanya
perbedaan kemampuan. Untuk
meningkatkan proses belajar perlu
lingkungan yang dinamakan discovery
learning environment, ialah lingkungan
tempat siswa dapat melakukan
eksplorasi, penemuan-penemuan baru
yang belum dikenal atau pengertian yang
mirip dengan yang sudah diketahui.
Dalam tiap lingkungan selalu ada
bermacam masalah, dalam lingkungan
banyak hal yang dapat dipelajari siswa.
Oleh karena itu, dalam
merencanakan isi dan proses
pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di SD, guru perlu
memperhatikan: (1) apa materi pelajaran
yang secara konkret dapat diamati siswa,
(2) apa karakteristik isi
pembelajarannya, (3) apa yang
dibayangkan dan direfleksikan siswa, (4)
apa hubungan antara sesuatu yang
dipelajari murid dengan lingkungan
kehidupannya, dan (5) bagaimana
menghubungkan konteks kehidupan
sosial masyarakat dengan isi dan proses
pembelajaran sehingga menghasilkan
pengalaman dan pengetahuan yang
konstruktif.
Strategi dasar dari kontruktivisme
adalah meaningful learning. Kita semua
ingin tahu dunia sekeliling kita, apakah
lingkungan sosial, lingkungan alam,
bahkan lingkungan spiritual. Untuk
memenuhi keingintahuan itu, pertama,
kita menggunakan pancaindra.
Selanjutnya pancaindra dibantu
dikonkretkan dengan penggunaan
peralatan dari yang sederhana, penggaris
misalnya, sampai yang canggih foto
kamera atau tape recorder.
Dengan demikian, menurut
pandangan kontruktivisme (dalam
Mulyasa, 2005: 240) dalam kegiatan
belajar mengajar: (1) siswa harus aktif
selama pembelajaran berlangsung; (2)
proses aktif ini adalah proses membuat
sesuatu masuk akal, pembelajaran tidak
terjadi melalui transmisi tetapi melalui
interpretasi; (3) interpretasi selalu
dipengaruhi oleh pengetahuan
sebelumnya (skemata); (4) interpretasi
juga dibantu oleh metode instruksi yang
memungkinkan negosiasi pikiran
(bertukar pikiran) melalui diskusi, tanya
jawab dan lain-lain; (5) tanya jawab
Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23
didorong oleh kagiatan inkuiri para
siswa. Jadi, kalau siswa tidak bertanya/
tidak berbicara pada waktu diskusi,
berarti siswa tidak belajar secara
optimal; (6) proses belajar mengajar
tidak sekedar pengalihan pengetahuan,
tapi juga pengalihan keterampilan dan
kemampuan.
Implikasi dari pandangan
konstruktivisme tersebut dalam
pembelajaran bahasa Indonesia menurut
Aminuddin (1996) sebagai berikut.
(1) Perencanaan pengajaran harus
dilandasi pemahaman karakteristik
proses berpikir siswa dalam
mengolah, menghayati, dan
mengkonseptualisasikan isi
pembelajarannya. Hal itu perlu
diperhatikan karena perumusan
tujuan, pemilihan materi, dan
kegiatan pembelajaran akan
menentukan resepsi, penghayatan,
pengolahan informasi, dan
rekontruksi pemahaman.
(2) Proses pembelajaran bahasa
Indonesia bukan hanya ditujukan
pada upaya pengembangan
kemampuan berkomunikasi
semata-mata. Lebih dari itu, materi
pelajaran bahasa Indonesia harus
dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan kemampuan
berfikir, daya nalar, maupun
bentuk-bentuk aktivitas lain yang
berhubungan dengan proses
penemuan pemahaman.
(3) Pengorganisasian materi dan
kegiatan pembelajaran, idealnya
selain memberi peluang terjadinya
pembelajaran secara individual
juga harus memberi peluang
terjadinya proses pembelajaran
secara kelompok. Dalam proses
pembelajaran demikian siswa
diberi kesempatan membandingkan
wawasan yang satu dengan yang
lain, belajar kooperatif dalam
kelompok, bertanya jawab dengan
guru maupun melakukan diskusi
kelas. Materi yang disajikan secara
demikian, selain bermanfaat dalam
mengembangkan budaya berpikir
juga dapat mengembangkan
kepribadian siswa.
(4) Materi pelajaran yang secara
formal disajikan di sekolah bukan
merupakan satu-satunya sumber isi
pembelajaran. Siswa selain dapat
memanfaatkan pendidikan formal
dan sumber belajar yang
direncanakan, juga dapat
memanfaatkan lingkungan sosial
budaya di luar sekolah. Agar
pengetahuan dan keterampilan
yang diperoleh lewat pembelajaran
di kelas memiliki relevansi,
memiliki nilai fungsional, dan
bermanfaat bagi kehidupan siswa,
dalam menelaah dan menyusun
materi pelajaran guru selain perlu
memperhitungkan materi sebagai
komponen program, juga harus
memperhitungkan pertaliannya
dengan keperluan dan lingkungan
kehidupan sosial budaya siswa.
E. Fungsionalisme.
Pandangan fungsionalisme dalam
kajian linguistik sering disebut
tatabahasa sistemik, tatabahasa
relasional, maupun tatabahasa
stratifikasi. Pandangan ini diwarnai oleh
konsep Saussure, Firth Strauss, yang
dipelopori oleh M.A.K. Halliday
(Aminuddin, 1996).
Beberapa hal penting dari
pandangan ini yang membedakan
dengan pandangan yang lain ialah
sebagai berikut:
(1) Bahasa bukan sebagai gejala
psikologis, melainkan fakta sosial
yang secara implisit mengemban
Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23
(2) kesadaran kolektif masyarakat
pemakainya. Bahasa bukan
terwujud sebagai kalimat,
melainkan sebagai teks atau
wacana.
(3) Sebagai teks, bahasa memiliki tiga
tataran fungsi yang berhubungan
secara sistemis yaitu fungsi
ideasional, interpersonal, dan
tekstual. Fungsi ideasional
mengacu pada fungsi bahasa
sebagai ekspresi pengalaman dan
gagasan penutur dalam
menanggapi dunia kehidupan
secara ekternal maupun internal
dalam kehidupan masyarakat.
Fungsi interpersonal mengacu
pada peran bahasa sebagai wahana
penghubung ekspresi penutur
dalam kegiatan komunikatif untuk
membentuk, mempertahankan, dan
memperjelas hubungan di antara
anggota masyarakat. Fungsi
tekstual mengacu pada konfigurasi
struktur teks sebagai alat untuk
merepresentasikan makna yang
relevan dengan situasi.
(4) Siswa belajar berbahasa secara
serempak juga disertai kegiatan
mengenal, menghayati, dan
memahami kenyataan lain di luar
fakta kebahasannya. Belajar
berbahasa dengan demikian bukan
berfokus pada kaidah kebahasaan
dan penggunaannya semata,
namun merupakan proses
penghayatan kehidupan sosial.
Sebab itu pembelajaran bahasa
tidak dapat dilepaskan dari
penghayatan bahasa yang dipelajari
sesuai dengan fungsinya dalam
kehidupan sosial masyarakat.
(5) Pemahaman bahasa bermula dari
pemahaman penggunaannya.
Menurut Halliday, siswa mengenal
apa itu bahasa karena dia
mengetahui bagaimana bahasa itu
digunakan di masyarakat. Ditinjau
dari segi fungsinya, penggunaan
bahasa tersebut antara lain untuk
membentuk hubungan personal,
memenuhi keperluan tertentu,
menemukan pemahaman secara
ilmiah, mengemukakan pendapat
pribadi, mengatur relasi sosial,
mengungkapkan perasaan, dan lain
sebagainya.
(6) Belajar bahasa hakikatnya adalah
belajar menggunakan bahasa sesuai
dengan sistem dan kaidah
sosialnya, serta belajar
menggunakan bahasa sebagai
aktivitas individual sesuai dengan
tujuan, fungsi, dan ragam
tuturannya. Oleh karena itu,
pembelajaran bahasa juga perlu
memusatkan perhatian pada (a)
bagaimana cara menemukan dan
membentuk gagasan, (b)
merekontruksi gagasan sesuai
dengan pesan atau informasinya,
dan (c) membentuk ujaran sesuai
dengan tujuan dan ragam teks yang
akan dihasilkan.
Konsepsi fungsionalisme yang
berprinsip bahwa bahasa itu merupakan
fakta sosial, yang kemudian menjadi
landasan pendekatan komunikatif ini,
sangat berperan dalam proses
perencanaan program pembelajaran
bahasa Indonesia. Ada beberapa prinsip
sebagai implikasi dari pandangan
fungsionalisme tersebut yang harus
mendapat perhatian guru pada waktu
menyiapkan isi dan proses pembelajaran
di kelas:
(1) Belajar bahasa berhubungan
dengan keberadaan manusia dalam
kehidupan. Oleh karena itu, dalam
merencanakan pembelajaran
bahasa Indonesia guru harus
Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23
(2) memperhitungkan relevansi,
kebermaknaan, dan nilai
fungsional kegiatan pengajaran
yang akan dilaksanakan dengan
kehidupan siswa.
(3) Belajar bahasa sebagai aktivitas
pembelajaran berbahasa selain
merujuk pada keperluan
pengembangan kemampuan
berbahasa untuk kepentingan
individual juga mengacu pada
kepentingan individu dalam
kehidupan kelompok sosial
maupun kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa.
(4) Dihubungkan dengan Kurikulum
Bahasa Indonesia SD, belajar
berbahasa untuk keperluan
individual mengacu antara lain
pada kemampuan mendalami,
menghayati, menikmati, dan
menarik manfaat dari pembelajaran
menyimak dan membaca karya
sastra. Belajar bahasa untuk
kepentingan kelompok mengacu
kepada kemampuan siswa dalam
mendengarkan, menyerap pesan,
gagasan, pendapat, dan perasan
orang lain, serta mengungkapkan
pendapat, gagasan, dalam berbagai
bentuk kepada mitra bicara sesuai
dengan tujuan konteks
pembicaraan
(5) Pembelajaran yang lebih luas,
pembelajaran bahasa juga
diorienta-sikan pada
pengembangan pribadi,
keterampilan sosial, maupun
meningkatkan nilai bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional
dan bahasa resmi negara.
F. Humanisme.
Pandangan humanisme
prinsipnya menganggap siswa sebagai
individu sekaligus sebagai makhluk
sosial. Mereka memiliki minat, motivasi,
pola pikir, dan gaya belajar yang tidak
sepenuhnya sama. Jadi pandangan
humanistik lebih mengutamakan peranan
siswa dan berorientasi pada kebutuhan
siswa (Sumardi, 1992: 20). Menurut
pandangan ini, bahasa haruslah dilihat
sebagai suatu totalitas yang melibatkan
siswa secara utuh bukan sekedar sesuatu
yang intelektual semata-mata. Seperti
halnya guru, siswa adalah manusia yang
mempunyai kebutuhan emosional,
spiritual, dan intelektual. Siswa
mempunyai minat, dan motivasi serta
gaya belajarnya sendiri-sendiri.
Prinsip humanisme menurut
Aminuddin (1994: 2) berisi wawasan
sebagai berikut:
1) Manusia secara fitrah memiliki
bekal yang sama dalam upaya
memahami sesuatu. Implikasi wawasan
tersebut dalam kegiatan pendidikan: (a)
guru bukan merupakan satu-satunya
sumber informasi; (b) siswa disikapi
sebagai subjek-belajar yang secara
kreatif mampu menemukan pemahaman
sendiri; (c) dalam proses belajar
mengajar, guru lebih banyak bertindak
sebagai model, teman pendamping,
fasilitator, pengamat dan peneliti, serta
dinamisator yang memberi motivasi.
2) Perilaku manusia dilandasi motif
dan minat tertentu. Implikasi wawasan
tersebut dalam kegiatan pendidikan: (a)
isi pembelajaran harus memiliki
kegunaan bagi siswa secara aktual; (b)
dalam kegiatan belajarnya siswa harus
menyadari manfaat penguasaan isi
pembelajaran itu bagi kehidupannya; dan
(c) isi pembelajaran perlu disesuaikan
dengan tingkat perkembangan,
pengalaman, dan pengetahuan siswa.
3) Manusia selain memiliki kesamaan
juga memiliki kekhasan. Implikasi
wawasan tersebut dalam kegiatan
pendidikan: (a) layanan pembelajaran
Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23
selain bersifat klasikal dan kelompok,
juga bersifat individual; (b) siswa selain
ada yang dapat meguasai isi
pembelajaran secara cepat ada juga yang
lambat; dan (c) siswa perlu disikapi
sebagai subjek unik, baik menyangkut
proses merasa, berpikir, dan karakteristik
individual sebagai bentukan lingkungan
keluarga, teman bermain, maupun
lingkungan kehidupan sosial
masyarakatnya.
Pandangan humanistik
berkembang menjadi pendekatan yang
berbeda seperti Counseling-Learning
atau Community Language Learning
(1976), Total Physical Response (1977),
Natural Aproach (1983), the Silent Way
(1963), dan Sugestopedy (1978).
Pandangan ini diprakarsai oleh Charles
Curran, James Asher, Caleb Gategno,
dan Georgi Lozanov (dalam Sumardi,
1992: 21). Kebanyakan dari mereka
mempunyai latar belakang pengetahuan
ilmu pendidikan atau ilmu jiwa bukan
ahli linguistik. Oleh karena itu, bisa
dipahami bila pandangan mereka
mengenai pengajaran bahasa lebih
cenderung pada pandangan psikoterapi
atau counseling.
Charles Curran (1976) dalam
eksperimen kepada mahasiswanya
misalnya, menerapkan belajar bahasa
lebih diarahkan pada kegiatan bersifat
konseling. Pengajaran bahasa bagi
Curran disamakan dengan persoalan
antara seorang ahli ilmu jiwa dengan
seorang pasennya. Curran (dalam
Sumardi, 1992) beranggapan bahwa
pada waktu seorang siswa belajar bahasa
dihinggapi perasaan tidak aman
(insecurity), terancam (threat), rasa
cemas (anxiety) dan perasaan lainnya.
Melihat keadaan seperti ini, guru yang
humanistik harus menghilangkan atau
paling tidak mengurangi perasaan-
perasaan tersebut.
Sejalan dengan Curran, Georgi
Lozanov, seorang dokter, psikiater
kenamaan dari Bulgaria,
memperkenalkan dan mengembangkan
Suggestopedy. Menurut Lozanov, tugas
pertama seorang guru ialah mendorong
siswanya. Untuk terjadi pembelajaran
Lozanov mengemukakan tiga prinsip,
yaitu : (a) joy and psycorelaxation atau
kegembiraan dan kesantaian secara
psikologis, (b) kemampuan
memanfaatkan, yaitu bagian otak yang
oleh kebanyakan siswa tidak dapat
dimanfaatkan, dan (c) kerjasama yang
harmonis antara the conscious dan the
unconscious (dalam Sumardi, 1992: 21).
Menurut Lozanov hanya dalam
keadaan gembira dan tenang siswa akan
dapat menggunakan potensinya yang
terpendam. Rasa gembira dan tenang
merupakan prasyarat bagi proses belajar
mengajar yang efektif dan cepat. Ini
berarti bahwa dalam mempelajari bahasa
siswa harus merasa aman, tak terancam,
santai, dan juga tertarik pada pelajaran
dan merasa terlibat dalam berbagai
kegiatan yang bermakna dalam
berbahasa.Untuk lebih mengefektifkan
proses belajar mengajar, suasana
lingkungan yang mendukung merupakan
syarat yang tidak boleh diabaikan. Oleh
karena itu, ruang belajar dalam
pandangan ini tidak hanya berupa kelas
seperti biasanya, tetapi berupa
lingkungan alam. Sehingga terjadi
suasana gembira yang alami seperti pada
masa kanak-kanak. Hal ini sejalan
dengan pendapat DePorter (2003:67)
bahwa menata lingkungan belajar yang
nyaman akan mengefektifkan
pembelajaran.
Pandangan humanistik sangat
memperhatikan minat dan gaya belajar
siswa. Belajar dengan tanpa minat pada
apa yang akan dipelajari, hanya akan sia-
sia saja. Guru perlu menyiapkan materi
Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23
dan proses yang benar-benar
menarik minat siswa untuk belajar
bahasa. Begitu pun gaya belajar siswa,
pada isi dan proses belajar perlu
diperhatikan. Menurut Rose dan
Nicholl (dalam DePorter, 2003: 165),
setiap siswa belajar dengan gayanya
yang berbeda-beda, dan semua cara
sama baiknya karena setiap gaya
mempunyai kekuatannya sendiri. Dalam
kenyataannya setiap siswa mempunyai
ketiga gaya belajar yaitu, visual,
auditorial, dan kinestetik, hanya saja
biasanya satu gaya mendominasi.
Siswa yang bergaya visual,
biasanya lebih cenderung menguasai
materi pelajaran dengan cara
memaksimalkan daya visualnya,
misalnya seorang anak bergaya belajar
visual lebih senang membaca, dan
memperhatikan gambar daripada
mendengarkan penjelasan guru.
Sebaliknya siswa yang bergaya belajar
auditorial akan lebih bisa menangkap isi
pembelajaran melalui mendengarkan
penjelasan gurunya daripada harus
membaca sendiri. Dan ada pula siswa
yang lebih cepat mengerti bila dia
sendiri ikut melakukan gerakan, terlibat
secara pisik, bergerak, mengalami, dan
mencoba-coba dalam memahami konsep
yang dipelajarinya.
Dengan demikian, akan lebih baik
dan bijaksana bila guru memahami gaya
belajar siswanya, dan akan sangat baik
dan sempurna jika dalam praktiknya di
kelas dapat melaksanakan ketiganya.
Seperti dikatakan Vernon A. Magnesen
yang dikutip DePorter (2003: 57) “Kita
belajar 10% dari apa yang kita baca,
20% dari apa yang kita dengar, 30% dari
apa yang kita lihat, 50% dari apa yang
kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang
kita katakan, dan 90% dari apa yang kita
katakan dan lakukan.” Kalau memang
lebih besar manfaatnya mengapa tidak
kita lakukan selengkapnya. Sebab
menurut penelitian Lyn O’Brien (dalam
Dryden dan Vos, 2001:131), Direktur
Specific Diagnostic Studies, menemukan
bahwa kebanyakan pelajar sekolah dasar
dan menengah paling baik belajar ketika
mereka terlibat dan bergerak, sementara
orang dewasa lebih suka belajar secara
visual. Namun kebanyakan orang
mengkobinasikan ketiga gaya itu dengan
berbagai cara, misalnya siswa diberi
penjelasan secara audio dan
memeperhatikan secara visual melalui
media, serta diupayakan dapat
melakukannya agar terlibat langsung
pada proses pemahaman konsep
tersebut.
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar24
Bacaan 3
BAB I
PEMBELAJARAN SAINS
YANG IDEAL
Membahas pembelajaran sains
yang ideal tidak bisa lepas dari apa
hakikat sains dan apa hakikat
pembelajaran sains. Hakikat sains akan
mewarnai atau menjiwai hakikat
pembelajaran sains. Pembelajaran sains
yang ideal tentunya dapat memfasilitasi
pengembangan seluruh aspek yang
tercakup dalam hakikat sains.
A. Hakikat Sains.
Secara umum istilah sains
memiliki arti sebagai Ilmu
Pengetahuan. Oleh karena itu sains
didefinikan sebagai kumpulan
pengetahuan yang tersusun secara
sistematis, sehingga secara umum
istilah sains mencakup Ilmu
pengetahuan Sosial dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Secara khusus
istilah sains dimaknai sebagai Ilmu
Pengetahuan Alam atau “Natural
Science”. Pengertian atas istilah sains
sebagai Ilmu Pengetahuan Alam sangat
beragam, menurut Conant sains
diartikan sebagai bangunan atau deretan
konsep yang saling berhubungan
sebagai hasil dari eksperimen dan
observasi. Campbell mendefinisikan
sains sebagai pengetahuan yang
bermanfaat dan cara bagaimana atau
metoda untuk memperolehnya
(Poedjiadi, 1987), sedang menurut
Carin & Sund (1989) sains adalah suatu
sistem untuk memahami alam semesta
melalui observasi dan eksperimen yang
terkontrol. Abruscato (1996) dalam
bukunya yang berjudul “Teaching
Children Science” mendefinisikan
tentang sains sebagai pengetahuan yang
diperoleh lewat serangkaian proses
yang sistematik guna mengungkap
segala sesuatu yang berkaitan dengan
alam semesta. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia sains diartikan
sebagai ilmu yang dapat diuji atau
dibuktikan kebenarannya atau
berdasarkan kenyataan.
Dari beberapa penjelasan
tersebut di atas secara umum dapat
dikatakan bahwa sains adalah
pengetahuan manusia tentang alam
yang diperoleh dengan cara yang
terkontrol. Penjelasan ini mengandung
makna bahwa sains kecuali sebagai
produk yaitu pengetahuan manusia juga
sebagai proses yaitu bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan tersebut.
Untuk selanjutnya yang dimaksud sains
dalam buku ini adalah sains sebagai
Ilmu Pengetahuan Alam.
1. Sains sebagai Ilmu : secara umum
sekurang-kurangnya mencakup 3 aspek
yaitu aspek aktivitas, metode dan
pengetahuan. Ketiga aspek tersebut
merupakan kesatuan logis yang mesti
ada secara berurutan. Artinya
keberadaan dan perkembangan ilmu
harus diusahakan dengan adanya
aktivitas manusia dan aktivitas harus
dilaksanakan dengan menggunakan
metode tertentu dan akhirnya aktivitas
metodis tersebut akan menghasilkan
pengetahuan yang sistematis. Dengan
pengertian seperti itu maka sains dapat
digambarkan sebagai suatu segitiga
sama sisi dimana masing-masing titik
sudutnya marupakan aktivitas, metode
dan pengetahuan.
Sains sebagai aktivitas manusia
mengandung tiga dimensi (The Liang
Gie, 1991) yaitu :
- Rasional: artinya merupakan proses
pemikiran yang berpegang pada kaidah-
kaidah
Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 25
logika
- Kognitif : artinya merupakan proses
mengetahui dan memperoleh
pengetahuan
- Teleologis : artinya untuk mencapai
kebenaran, memberikan penjelasan/
pencerahan dan melakukan penerapan
dengan melalui peramalan atau
pengendalian.
Sains sebagai suatu metode
dapat berbentuk :
- Pola prosedural ,yang meliputi
Pengamatan, Pengukuran, Deduksi,
Induksi, Analisis, Sintesis dll.
- Tata langkah, yaitu urutan proses yang
diawali dengan penentuan masalah,
perumusan hipotesis, pengumpulan
data, penarikan kesimpulan dan
pengujian hasil. Dalam
perkembangannya tata langkah ini
dikenal dengan metode ilmiah
Sains sebagai pengetahuan yang
sistematis terkait dengan obyek material
atau bidang permasalahan yang dikaji.
Obyek material sains dapat dibedakan
atas : Benda fisik/ mati, Makhluk hidup,
Peristiwa Sosial dan Ide abstrak.
Dimensi sains yang meliputi
beberapa aspek seperti tersebut di atas
dapat dilukiskan seperti gambar 1.
Sains dalam arti khusus sebagai
ilmu pengetahuan alam memiliki obyek
material benda fisik yang meliputi
segala benda/ materi yang ada di Bumi
(Tanah Air, Udara) dan Antariksa
(Galaksi, Matahari, Planet Satelit) serta
Makhluk hidup yang meliputi hewan/
manusia dan tumbuhan; sedang
persoalan yang dikaji meliputi gejala
perubahan materi/ benda, struktur dan
fungsi benda/ makhluk hidup maupun
proses-proses biokimiawi dalam tubuh
makhluk hidup.
2. Sains sebagai produk : sebagai suatu
produk sainsmerupakan kumpulan
pengetahuan yang tersusun dalam
bentuk fakta, konsep, prinsip, hukum
dan teori.
a. Fakta merupakan produk sains yang
paling dasar. Fakta diperoleh dari hasil
observasi secara intensif dan kontinu/
terus menerus. Secara verbal fakta
adalah pernyataan tentang benda yang
benar-benar ada atau peristiwa yang
sungguh-sungguh terjadi. Contoh
produk sains yang merupakan fakta
adalah :
- Gula rasanya manis
- Logam tenggelam dalam air
- Bentuk bulan yang terlihat dari
bumi berubah-ubah
- Katak berkembang biak
dengan cara bertelur.
Gambar 1 : Dimensi sains sebagai
ilmu
Rasional
Kognitif Aktivitas Teleologi
Sains
Ilmu
Metode
- Pola
Prosedural
- Tata
langkah
Pengetahuan
Obyek material
-Bendafisik/mati
-Mahluk hidup
- Peristiwa social
- Ide Abstrak
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar26
b. Konsep dalam sains dinyatakan
sebagai abstraksi tentang benda atau
peristiwa alam. Dalam beberapa hal
konsep diartikan sebagai suatu definisi
atau penjelasan.
Contoh produk sains yang
merupakan konsep adalah : Hewan
berdarah dingin, Gas, Satelit, Air dsb.
Abstraksi atau konsepsi tentang
masing-masing konsep tersebut adalah:
- Hewan berdarah dingin adalah
hewan yang menyesuaikan suhu
tubuhnya dengan suhu
lingkungannya.
- Gas adalah zat yang bentuk dan
volumenya dapat berubah-ubah.
- Satelit adalah benda angkasa yang
bergerak mengelilingi planet.
- Air adalah zat yang molekulnya
tersusun atas 2 atom hidrogen dan
1 atom oksigen.
c. Prinsip adalah generalisasi tentang
hubungan antara konsep-konsep yang
berkaitan.
Prinsip diperoleh lewat proses
induksi dari hasil berbagai macam
observasi.
Contoh produk sains yang
merupakan prinsip ialah :
- Logam bila dipanaskan memuai .
- Semakin besar kuat cahaya, hasil
fotosintesa semakin banyak.
- Larutan yang bersifat asam bila
dicampur dengan larutan yang
bersifat basa akan membentuk
garam yang bersifat netral.
- Semakin besar perbedaan tekanan
udara semakin kuat angin
berhembus.
d. Hukum adalah prinsip yang bersifat
spesifik. Kekhasan hukum dapat
ditunjukkan dari :
- Bersifat lebih kekal karena telah
berkali-kali mengalami pengujian.
- Pengkhususannya dalam
menunjukkan hubungan antar variabel.
Contoh :
Hukum Ohm menunjukkan
hubungan antara hambatan dengan
kuat arus dan tegangan listrik, yaitu
“Besarnya hambatan sebanding
dengan besarnya tegangan listrik
tetapi berbanding terbalik dengan
kuat arusnya”. Hukum tersebut
secara matematis dibahasakan
dalam bentuk persamaan :
R = V dimana : R = tahanan
I V = Tegangan
I = Kuat arus
Hukum Avogadro : menjelaskan
tentang hubungan antara jumlah
molekul dengan volume suatu gas,
yaitu : “Pada suhu dan tekanan
yang sama, semua gas yang
volumenya sama mengandung
jumlah molekul yang sama banyak”
Maksudnya bila 2 volum gas
hidrogen bereaksi dengan 1 volum
gas oksigen membentuk 2 volum
uap air , yang dapat dinyatakan
dalam persamaan reaksi :
2 H2 + O2 2 H2O
maka jumlah mol gas hidrogen =
jumlah mol uap air yang terbentuk.
Hukum Kepler III : menjelaskan
hubungan antara waktu edar planet
dengan jaraknya terhadap matahari,
yaitu : “Perbandingan antara
kuadrat waktu edar planet dengan
pangkat tiga jarak rata-ratanya
terhadap matahari untuk setiap
planet sama”. Hubungan tersebut
Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 27
dapat dinyatakan dalam persaman
matematik sbb :
2
1W = 2
2W
3
1d 3
2d
dimana : W1 = waktu edar planet 1
mengelilingi
matahari.
d1 = jarak rata- rata planet
1 terhadap matahari.
W2 = waktu edar planet 2
menelilingi
matahari.
d2 = jarak rata-rata planet
2 terhadap matahari.
Hukum Mendel II : menjelaskan
tentang hubungan genotip orang tua
dengan gamet/ sel kelamin yang
dibentuk Hukum Mendel II ini
dikenal juga dengan prinsip
pengelompokan gen, yaitu : “
Dalam pembentukan gamet/ sel
kelamin maka gen yang berpisah
dari alelenya akan mengelompok
secara acak dengan gen dari
pasangan alele yang lain”.
Maksudnya bila orang bergenotif
AaBBCc maka gamet yang
dibentuk memiliki 4 macam variasi
yaitu gamet, yaitu masing-masing
membawa gen ABC, Abc, aBC atau
aBc.
e. Teori adalah generalisasi tentang
berbagai prinsip yang dapat
menjelaskan dan meramalkan fenomena
alam. Contoh produk sains yang
merupakan teori adalah :
- Teori Evolusi, menjelaskan
mengapa dapat muncul species
makhluk hidup yang baru.
- Teori Meteorologi memprediksi
kapan akan mulai musim
penghujan atau menjelaskan
mengapa terjadi gelombang
Tsunami.
- Teori Atom menjelaskan
bagaimana kekekalan massa baik
sebelum reaksi maupun sesudah
reaksi kimia terjadi.
Untuk mendapatkan produk sains
seperti tersebut di atas para ilmuwan
melakukan kegiatan yang dikenal
dengan proses sains. Oleh karena itu
sains sebagai suatu produk tidak bisa
lepas dari sains sebagai suatu proses.
3. Sains sebagai proses : Sebagai suatu
proses, sains merupakan cara kerja,
cara berpikir dan cara memecahkan
suatu masalah; sehingga meliputi
kegiatan bagaimana mengumpulkan
data, menghubungkan fakta satu dengan
yang lain, menginterpretasi data dan
menarik kesimpulan.
Cara kerja sains seperti tersebut dikenal
dengan istilah Metoda Ilmiah, yaitu
secara bertahap meliputi langkah-
langkah :
a. Menyadari adanya masalah dan
keinginan untuk memecahkannya.
Masalah perlu dirumuskan dengan
jelas, dan dibatasi ruang lingkupnya
agar pemecahannya lebih terfokus.
b. Mengumpulkan data yang ada
hubungannya dengan masalah. Data
yang terkumpul diolah/ dianalisis atau
disintesis untuk merumuskan hipotesis.
c. Merumuskan hipotesis berdasarkan
alasan atau pengetahuan yang
merupakan jawaban sementara terhadap
suatu masalah. Hipothesis bersifat
tentatif dan dapat diuji apakah benar/
diterima atau salah/ ditolak.
d. Menguji hipothesis, dapat ditempuh
dengan cara melakukan eksperimen
atau melakukan observasi tergantung
dari masalah yang ingin dijawab.
Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar28
e. Menarik kesimpulan, kesimpulan
dibuat berdasar data/ informasi yang
dikumpulkan dalam eksperimen/
observasi. Data/ informasi yang
dimaksud adalah data/ informasi dalam
rangka pengujian hipotesis. Bila dari
hasil pengujian hipotesis ternyata
hipotesis ditolak maka perlu
dirumuskan hipothesis yang baru.
Hipotesis baru dirumuskan
berdasarkan atas kajian data atau
informasi lain yang dikumpulkan
kemudian.
Untuk melakukan proses sains seperti
tersebut di atas dibutuhkan berbagai
macam ketrampilan antara lain
ketrampilan : mengobservasi,
mengklasifikasi, mengukur,
menggunakan hubungan ruang dan
waktu, menggunakan hubungan antar
angka, mengkomunikasikan,
menginferensi/ memprediksi,
menyimpulkan, merancang penelitian,
dan melakukan eksperimen
a. Mengobservasi atau mengamati
adalah ketrampilan untuk mendapatkan
data/ informasi dengan menggunakan
indera. Dapat dilakukan dengan cara
melihat, meraba, mengecap, membau
dan mendengar. Melihat dapat
memperoleh informasi tentang warna,
bentuk, ukuran dan gerak. Meraba
dapat diperoleh informasi tentang halus
kasarnya permukaan dan panas
dinginnya suatu obyek mengecap untuk
mengetahui rasa. Membau untuk
mengetahui aroma sedang mendengar
untuk mengetahui bunyi yang
ditimbulkan suatu obyek.. Secagai
contoh : kalau mengobservasi awan
dapat diperoleh informasi tentang
warna, bentuk dan gerakannya, sedang
kalau mengobservasi ayam dapat
diketahui tentang warna, bentuk, suara,
suhu tubuh, halus/ kasar bulu,
organ/komponen penyusun dan baunya.
Kalau mengobservasi gula pasir dapat
diketahui warna, ukuran dan bentuk
kristal serta rasanya.
b. Mengklasifikasi atau menggolongkan
adalah ketrampilan untuk melihat
persamaan dan perbedaan suatu obyek
sehingga dengan dasar tersebut obyek
dapat dikelompokkan atau dipisahkan
dari yang lain. Contoh dari hasil
pengamatan tentang belalang, kupu-
kupu, nyamuk, labah-labah, ketonggeng
dapat diperoleh pengelompokan hewan
yang memiliki persamaan yaitu
kelompok hewan yang bersayap dan
berkaki enam . Kelompok ini meliputi
belalang, kupu-kupu dan nyamuk.
Labah-labah dan ketonggeng
dipisahkan dari kelompok tersebut
karena memiliki perbedaan yaitu
jumlah kakinya delapan.
c. Menyimpulkan : merupakan
kemampuan untuk menyatakan hasil
penilaian atas suatu obyek atau
kejadian/ fenomena. Penilaian tersebut
ditentukan atas dasar fakta dan konsep
atau prinsip-prinsip yang telah
diketahui. Contoh proses
menyimpulkan adalah : bila dari
kegiatan pengamatan terhadap
perubahan kertas lakmus yang ditetesi
dengan berbagai macam larutan adalah
seperti berikut:
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD
Pembelajaran SD

More Related Content

What's hot

Aplikom_UNSRI_2.Skripsi dan bulkona_Lusi Kurnia(06081181419023)
Aplikom_UNSRI_2.Skripsi dan bulkona_Lusi Kurnia(06081181419023)Aplikom_UNSRI_2.Skripsi dan bulkona_Lusi Kurnia(06081181419023)
Aplikom_UNSRI_2.Skripsi dan bulkona_Lusi Kurnia(06081181419023)lusi kurnia
 
3. Pendekatan dan Model Pembelajaran Matematika
3. Pendekatan dan Model Pembelajaran Matematika3. Pendekatan dan Model Pembelajaran Matematika
3. Pendekatan dan Model Pembelajaran Matematikamatematikauntirta
 
Berpikir kreatif+open ended
Berpikir kreatif+open endedBerpikir kreatif+open ended
Berpikir kreatif+open endedDini Safitri
 
Berbagai permasalahan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2013
Berbagai permasalahan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2013Berbagai permasalahan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2013
Berbagai permasalahan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2013ulfah Nasution
 
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)Lusi Kurnia
 
Resume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasional
Resume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasionalResume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasional
Resume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasionalMas Becak
 
62371616 lima-tonggak-dalam-pengajaran-dan-pembelajaran-matematik
62371616 lima-tonggak-dalam-pengajaran-dan-pembelajaran-matematik62371616 lima-tonggak-dalam-pengajaran-dan-pembelajaran-matematik
62371616 lima-tonggak-dalam-pengajaran-dan-pembelajaran-matematikNordin Hamdin
 
Contoh Skenario Pembelajaran
Contoh Skenario PembelajaranContoh Skenario Pembelajaran
Contoh Skenario Pembelajaranmatematikauntirta
 
Makalah Problematika Matematika
Makalah Problematika MatematikaMakalah Problematika Matematika
Makalah Problematika Matematikahidayanti2013
 
Tugas aplikasi program komputer
Tugas aplikasi program komputerTugas aplikasi program komputer
Tugas aplikasi program komputeroneagustin95
 
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah
Peningkatan kemampuan pemecahan masalahPeningkatan kemampuan pemecahan masalah
Peningkatan kemampuan pemecahan masalahLukman
 
Kemampuan berpikir matematis tingkat lanjut
Kemampuan berpikir matematis tingkat lanjutKemampuan berpikir matematis tingkat lanjut
Kemampuan berpikir matematis tingkat lanjutLukman
 
Pengembangan bahan ajar matematika berbasis contextual teaching and learning
Pengembangan bahan ajar matematika berbasis contextual teaching and learningPengembangan bahan ajar matematika berbasis contextual teaching and learning
Pengembangan bahan ajar matematika berbasis contextual teaching and learningAmalinaAzizah
 
Kepercayaan Guru
Kepercayaan GuruKepercayaan Guru
Kepercayaan GuruIrma Gurlz
 
Contoh Proposal
Contoh ProposalContoh Proposal
Contoh ProposalT. Astari
 
APLIKOM_UNSRI_2.ANALISIS SKRIPSI DAN BULKONA PPT_DANIA YULANI
APLIKOM_UNSRI_2.ANALISIS SKRIPSI DAN BULKONA PPT_DANIA YULANIAPLIKOM_UNSRI_2.ANALISIS SKRIPSI DAN BULKONA PPT_DANIA YULANI
APLIKOM_UNSRI_2.ANALISIS SKRIPSI DAN BULKONA PPT_DANIA YULANIDania Yuliani
 
Pengembangan bahan ajar matematika berbasis pemecahan masalah di tingkat seko...
Pengembangan bahan ajar matematika berbasis pemecahan masalah di tingkat seko...Pengembangan bahan ajar matematika berbasis pemecahan masalah di tingkat seko...
Pengembangan bahan ajar matematika berbasis pemecahan masalah di tingkat seko...AmalinaAzizah
 

What's hot (19)

Aplikom_UNSRI_2.Skripsi dan bulkona_Lusi Kurnia(06081181419023)
Aplikom_UNSRI_2.Skripsi dan bulkona_Lusi Kurnia(06081181419023)Aplikom_UNSRI_2.Skripsi dan bulkona_Lusi Kurnia(06081181419023)
Aplikom_UNSRI_2.Skripsi dan bulkona_Lusi Kurnia(06081181419023)
 
3. Pendekatan dan Model Pembelajaran Matematika
3. Pendekatan dan Model Pembelajaran Matematika3. Pendekatan dan Model Pembelajaran Matematika
3. Pendekatan dan Model Pembelajaran Matematika
 
PTK
PTKPTK
PTK
 
Silabus Statistik 2013
Silabus Statistik 2013Silabus Statistik 2013
Silabus Statistik 2013
 
Berpikir kreatif+open ended
Berpikir kreatif+open endedBerpikir kreatif+open ended
Berpikir kreatif+open ended
 
Berbagai permasalahan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2013
Berbagai permasalahan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2013Berbagai permasalahan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2013
Berbagai permasalahan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2013
 
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)
 
Resume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasional
Resume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasionalResume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasional
Resume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasional
 
62371616 lima-tonggak-dalam-pengajaran-dan-pembelajaran-matematik
62371616 lima-tonggak-dalam-pengajaran-dan-pembelajaran-matematik62371616 lima-tonggak-dalam-pengajaran-dan-pembelajaran-matematik
62371616 lima-tonggak-dalam-pengajaran-dan-pembelajaran-matematik
 
Contoh Skenario Pembelajaran
Contoh Skenario PembelajaranContoh Skenario Pembelajaran
Contoh Skenario Pembelajaran
 
Makalah Problematika Matematika
Makalah Problematika MatematikaMakalah Problematika Matematika
Makalah Problematika Matematika
 
Tugas aplikasi program komputer
Tugas aplikasi program komputerTugas aplikasi program komputer
Tugas aplikasi program komputer
 
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah
Peningkatan kemampuan pemecahan masalahPeningkatan kemampuan pemecahan masalah
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah
 
Kemampuan berpikir matematis tingkat lanjut
Kemampuan berpikir matematis tingkat lanjutKemampuan berpikir matematis tingkat lanjut
Kemampuan berpikir matematis tingkat lanjut
 
Pengembangan bahan ajar matematika berbasis contextual teaching and learning
Pengembangan bahan ajar matematika berbasis contextual teaching and learningPengembangan bahan ajar matematika berbasis contextual teaching and learning
Pengembangan bahan ajar matematika berbasis contextual teaching and learning
 
Kepercayaan Guru
Kepercayaan GuruKepercayaan Guru
Kepercayaan Guru
 
Contoh Proposal
Contoh ProposalContoh Proposal
Contoh Proposal
 
APLIKOM_UNSRI_2.ANALISIS SKRIPSI DAN BULKONA PPT_DANIA YULANI
APLIKOM_UNSRI_2.ANALISIS SKRIPSI DAN BULKONA PPT_DANIA YULANIAPLIKOM_UNSRI_2.ANALISIS SKRIPSI DAN BULKONA PPT_DANIA YULANI
APLIKOM_UNSRI_2.ANALISIS SKRIPSI DAN BULKONA PPT_DANIA YULANI
 
Pengembangan bahan ajar matematika berbasis pemecahan masalah di tingkat seko...
Pengembangan bahan ajar matematika berbasis pemecahan masalah di tingkat seko...Pengembangan bahan ajar matematika berbasis pemecahan masalah di tingkat seko...
Pengembangan bahan ajar matematika berbasis pemecahan masalah di tingkat seko...
 

Viewers also liked

Kurikulum berbasis kompetensi dalam pelajaran matematika
Kurikulum berbasis kompetensi dalam pelajaran matematikaKurikulum berbasis kompetensi dalam pelajaran matematika
Kurikulum berbasis kompetensi dalam pelajaran matematikaazizahsh
 
Aplikasi teori-belajar
Aplikasi teori-belajarAplikasi teori-belajar
Aplikasi teori-belajarawalp awalp
 
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCHPEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCHInterest_Matematika_2011
 
Materi Kuliah Umum Kapita Selekta : Internet Of Things
Materi Kuliah Umum Kapita Selekta : Internet Of ThingsMateri Kuliah Umum Kapita Selekta : Internet Of Things
Materi Kuliah Umum Kapita Selekta : Internet Of ThingsPutu Shinoda
 
buku siswa pelajaran matematika kelas 7 materi bilangan bulat
buku siswa pelajaran matematika kelas 7 materi bilangan bulatbuku siswa pelajaran matematika kelas 7 materi bilangan bulat
buku siswa pelajaran matematika kelas 7 materi bilangan bulatIrma Nurjannah
 

Viewers also liked (7)

Kapita selekta
Kapita selektaKapita selekta
Kapita selekta
 
Kurikulum berbasis kompetensi dalam pelajaran matematika
Kurikulum berbasis kompetensi dalam pelajaran matematikaKurikulum berbasis kompetensi dalam pelajaran matematika
Kurikulum berbasis kompetensi dalam pelajaran matematika
 
Aplikasi teori-belajar
Aplikasi teori-belajarAplikasi teori-belajar
Aplikasi teori-belajar
 
Kapita s ppt
Kapita s pptKapita s ppt
Kapita s ppt
 
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCHPEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH
 
Materi Kuliah Umum Kapita Selekta : Internet Of Things
Materi Kuliah Umum Kapita Selekta : Internet Of ThingsMateri Kuliah Umum Kapita Selekta : Internet Of Things
Materi Kuliah Umum Kapita Selekta : Internet Of Things
 
buku siswa pelajaran matematika kelas 7 materi bilangan bulat
buku siswa pelajaran matematika kelas 7 materi bilangan bulatbuku siswa pelajaran matematika kelas 7 materi bilangan bulat
buku siswa pelajaran matematika kelas 7 materi bilangan bulat
 

Similar to Pembelajaran SD

Peduli Lingkungan Sosial Kelas 3 tema 4 Buku Guru
Peduli Lingkungan Sosial Kelas 3 tema 4 Buku GuruPeduli Lingkungan Sosial Kelas 3 tema 4 Buku Guru
Peduli Lingkungan Sosial Kelas 3 tema 4 Buku GuruSisilia Herjanti
 
3. kontrak kuliah silabus dan sap pengembangan pembljrn ips aud
3. kontrak kuliah silabus dan sap pengembangan pembljrn ips aud3. kontrak kuliah silabus dan sap pengembangan pembljrn ips aud
3. kontrak kuliah silabus dan sap pengembangan pembljrn ips audMasriqon Masriqon
 
Buku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guru
Buku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guruBuku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guru
Buku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guruFarahYudian
 
Buku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guru
Buku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guruBuku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guru
Buku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guruFarahYudian
 
118-Article Text-232-1-10-20191029 (1).pdf
118-Article Text-232-1-10-20191029 (1).pdf118-Article Text-232-1-10-20191029 (1).pdf
118-Article Text-232-1-10-20191029 (1).pdfslbputraberlian
 
51024375 alat-peraga
51024375 alat-peraga51024375 alat-peraga
51024375 alat-peragaTata Lela
 
Bab 8 rpp ppkn sma kls xi menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...
Bab 8 rpp ppkn sma kls xi  menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...Bab 8 rpp ppkn sma kls xi  menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...
Bab 8 rpp ppkn sma kls xi menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...eli priyatna laidan
 
Bab 8 rpp ppkn sma kls xi menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...
Bab 8 rpp ppkn sma kls xi  menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...Bab 8 rpp ppkn sma kls xi  menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...
Bab 8 rpp ppkn sma kls xi menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...eli priyatna laidan
 
Sejarah kurikulum matematika
Sejarah kurikulum matematikaSejarah kurikulum matematika
Sejarah kurikulum matematikaBilqisMaharani1
 
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guru
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guruKelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guru
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guruHum_May10
 
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guru
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guruKelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guru
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guruHum_May10
 
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guru
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guruKelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guru
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guruHum_May10
 
[1] sk &amp; kd tematik 3
[1] sk &amp; kd tematik 3[1] sk &amp; kd tematik 3
[1] sk &amp; kd tematik 3Asri Setiani
 
Perkembangan Teknologi Kelas 3 tema 2 Buku Guru
Perkembangan Teknologi Kelas 3 tema 2 Buku GuruPerkembangan Teknologi Kelas 3 tema 2 Buku Guru
Perkembangan Teknologi Kelas 3 tema 2 Buku GuruSisilia Herjanti
 
7 ipa buku_guru
7 ipa buku_guru7 ipa buku_guru
7 ipa buku_gurusmbbgb
 
7 ipa buku_guru
7 ipa buku_guru7 ipa buku_guru
7 ipa buku_guruNuni Nur
 
7 ipa buku_guru
7 ipa buku_guru7 ipa buku_guru
7 ipa buku_gurubinatang87
 
Buku Panduan Guru IPA kelas 7 kurikulum 2013
Buku Panduan Guru IPA kelas 7 kurikulum 2013Buku Panduan Guru IPA kelas 7 kurikulum 2013
Buku Panduan Guru IPA kelas 7 kurikulum 2013gustini12linda
 

Similar to Pembelajaran SD (20)

Peduli Lingkungan Sosial Kelas 3 tema 4 Buku Guru
Peduli Lingkungan Sosial Kelas 3 tema 4 Buku GuruPeduli Lingkungan Sosial Kelas 3 tema 4 Buku Guru
Peduli Lingkungan Sosial Kelas 3 tema 4 Buku Guru
 
3. kontrak kuliah silabus dan sap pengembangan pembljrn ips aud
3. kontrak kuliah silabus dan sap pengembangan pembljrn ips aud3. kontrak kuliah silabus dan sap pengembangan pembljrn ips aud
3. kontrak kuliah silabus dan sap pengembangan pembljrn ips aud
 
Buku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guru
Buku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guruBuku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guru
Buku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guru
 
Buku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guru
Buku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guruBuku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guru
Buku BSE Kelas 03 sd tematik 5 permainan tradisional guru
 
118-Article Text-232-1-10-20191029 (1).pdf
118-Article Text-232-1-10-20191029 (1).pdf118-Article Text-232-1-10-20191029 (1).pdf
118-Article Text-232-1-10-20191029 (1).pdf
 
proposal penelitian tindakan kelas Bab i , ii, iii,
proposal penelitian tindakan kelas Bab i , ii, iii,proposal penelitian tindakan kelas Bab i , ii, iii,
proposal penelitian tindakan kelas Bab i , ii, iii,
 
51024375 alat-peraga
51024375 alat-peraga51024375 alat-peraga
51024375 alat-peraga
 
Bab 8 rpp ppkn sma kls xi menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...
Bab 8 rpp ppkn sma kls xi  menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...Bab 8 rpp ppkn sma kls xi  menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...
Bab 8 rpp ppkn sma kls xi menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...
 
Bab 8 rpp ppkn sma kls xi menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...
Bab 8 rpp ppkn sma kls xi  menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...Bab 8 rpp ppkn sma kls xi  menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...
Bab 8 rpp ppkn sma kls xi menelusuri dinamika kehidupan bernegara dlm kontek...
 
Sejarah kurikulum matematika
Sejarah kurikulum matematikaSejarah kurikulum matematika
Sejarah kurikulum matematika
 
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guru
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guruKelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guru
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guru
 
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guru
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guruKelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guru
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guru
 
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guru
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guruKelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guru
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_guru
 
[1] sk &amp; kd tematik 3
[1] sk &amp; kd tematik 3[1] sk &amp; kd tematik 3
[1] sk &amp; kd tematik 3
 
RPP IPS SEMESTER 2 BAB 4.pdf
RPP IPS SEMESTER 2 BAB 4.pdfRPP IPS SEMESTER 2 BAB 4.pdf
RPP IPS SEMESTER 2 BAB 4.pdf
 
Perkembangan Teknologi Kelas 3 tema 2 Buku Guru
Perkembangan Teknologi Kelas 3 tema 2 Buku GuruPerkembangan Teknologi Kelas 3 tema 2 Buku Guru
Perkembangan Teknologi Kelas 3 tema 2 Buku Guru
 
7 ipa buku_guru
7 ipa buku_guru7 ipa buku_guru
7 ipa buku_guru
 
7 ipa buku_guru
7 ipa buku_guru7 ipa buku_guru
7 ipa buku_guru
 
7 ipa buku_guru
7 ipa buku_guru7 ipa buku_guru
7 ipa buku_guru
 
Buku Panduan Guru IPA kelas 7 kurikulum 2013
Buku Panduan Guru IPA kelas 7 kurikulum 2013Buku Panduan Guru IPA kelas 7 kurikulum 2013
Buku Panduan Guru IPA kelas 7 kurikulum 2013
 

Pembelajaran SD

  • 1. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar 1 Bahan Ajar dan Sumber Belajar Bahan ajar yang digunakan dalam mata kuliah ini meliputi bahan ajar pokok yang wajib Anda pelajari dan bahan ajar pendukung yang bersifat anjuran. Bahan ajar pokok yang digunakan dalam mata kuliah Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar adalah sebagai berikut: Bab I. Pengenalan Konsep Pembelajaran. 1.1. Teori Belajar. Dadan Djuanda. (2006). Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Komunikatif dan menyenangkan: Bab I. Jakarta: Departemen Pendidikan. Pitajeng. (2006). Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan: Bab II. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Nasional. 1.2. Pengenalan Konsep – Konsep Pembelajaran di Sekolah Dasar. Dadan Djuanda. (2006). Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Komunikatif dan Menyenangkan: Bab II. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Lily Barlia. (2006). Mengajar dengan Pendekatan Lingkungan Alam Sekitar: Bab II dan IV. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Muslichach Asy’ari. (2006). Penerapan Pendekatan Sains-Teknologi- Masyarakat dalam Pembelajaran Sains di Sekolah Dasar: Bab I. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Rabad Sihabuddin. (2006). Indahnya Pelangi dalam Kesadaran Multikultur Masyarakat Indonesia: Bab I dan VI. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Bab II: Pembelajaran Melalui Permainan. Pembelajaran Melalui Permaina. Dadan Djuanda (2006). Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Komunikatif dan Menyenangkan: Bab V dan VI. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Pitajeng (2006). Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan: Bab I, III, IV, V, VI, VII. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Rabad Sihabuddin (2006). Indahnya Pelangi dalam Kesadaran Multikultur Masyarakat Indonesia: Bab II dan V. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Sumanto (2006). Pengembangan Kreativitas Seni Rupa Anak Sekolah Dasar: Bab II dan III. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Wira Indra Satya (2006). Membangun Kebugaran Jasmani dan Kecerdasan melalui Bermain: Bab III dan IV Jakarta:
  • 2. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar2 Departemen Pendidikan Nasional. Bab III. Pembelajaran dengan Pendekatan Terpadu. Pembelajaran dengan Pendekatan Terpadu Bidang Studi IPA, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Dadan Djuanda (2006). Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Komunikatif dan Menyenangkan: Bab II. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Ichlas Hamid, S. dan Tuti I. Ichlas (2006). Pengembangan Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran Pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar: Bagian III, Bab V Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Bab IV. Pembelajaran melalui Pengalaman Langsung/ Eksplorasi Di Lingkungan Sekitar. Penerapan Sains Teknologi Masyarakat dalam pembelajaran pada bidang studi IPA dan IPS. Dadan Djuanda (2006). Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Komunikatif dan Menyenangkan: Bab III. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Lily Barlia. (2006). Mengajar dengan Pendekatan Lingkungan Alam Sekitar: Bab IV. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Muslichach Asy’ari (2006). Penerapan Pendekatan Sains-Teknologi- Masyarakat dalam Pembelajaran Sains di Sekolah Dasar: Bab II, III, dan V. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Bab V. Pengembangan Kurikulum di Sekolah Dasar Pengembangan rancangan Pembelajaran Ichlas Hamid, S. dan Tuti I. Ichlas (2006). Pengembangan Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran Pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar: Bagian I dan III; Bab V dan VI. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Lily Barlia. (2006). Mengajar dengan Pendekatan Lingkungan Alam Sekitar: Bab III dan V. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Muslichach Asy’ari (2006). Penerapan Pendekatan Sains-Teknologi- Masyarakat dalam Pembelajaran Sains di Sekolah Dasar: Bab IV. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Sumanto (2006). Pengembangan Kreativitas Seni Rupa Anak Sekolah Dasar: Bab II. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
  • 3. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar 3 BAB I. PENGENALAN KONSEP-KONSEP PEMBELAJARAN 1.1 Teori Belajar. 1. Bacaan 1, ”Memahami Teori Pembelajaran Matematika” (Pitajeng. (2006). Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan: Bab II. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional). 2. Bacaan 2, ”Teori Belajar Bahasa” (Dadan Djuanda. (2006). Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Komunikatif dan menyenangkan: Bab I. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional). 1.2 Pendekatan/Model dalam Pembelajaran 1. Bacaan 3, ”Pembelajaran Sains yang Ideal” (Muslichach Asy’ari. (2006). Penerapan Pendekatan Sains- Teknologi-Masyarakat dalam Pembelajaran Sains Di Sekolah Dasar: Bab I. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional). 2. Bacaan 4, “Pendekatan Pembelajaran Bahasa” (Dadan Djuanda. (2006). Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Komunikatif dan menyenangkan: Bab II. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional). 3. Bacaan 5, “Teknik Mengajar dengan Pendekatan Lingkungan Alam Sekitar” (Lily Barlia. (2006). Mengajar dengan Pendekatan Lingkungan Alam Sekitar: Bab II. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional). 4. Bacaan 6, “Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia Di SD Menggunakan Lingkungan Sebagai Sumber Belajar” (Dadan Djuanda. (2006). Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Komunikatif dan menyenangkan: Bab III. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional). 5. Bacaan 7, “Apakah Pendidikan IPS itu?” (Rahad Sihabuddin. (2006). Indahnya Pelangi Dalam Kesadaran Multikultur masyarakat Indonesia: Bab I. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional). 6. Bacaan 8, “Prospek Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar (Rahad Sihabuddin. (2006). Indahnya Pelangi Dalam Kesadaran Multikultur masyarakat Indonesia: Bab VI. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional). 7. Bacaan 9, “Pendidikan Seni Rupa di Sekolah Dasar” (Sumanto. (2006). Pengembangan Kreativitas Seni Rupa Anak Sekolah Dasar. Bab II. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional).
  • 4. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 Bacaan 1 BAB II MEMAHAMI TEORI PEMBELAJARAN MATEMATIKA Menurut Orton (1992: 2), untuk mengajar matematika diperlukan teori, yang digunakan antara lain untuk membuat keputusan di kelas. Sedangkan teori belajar matematika juga diperlukan untuk dasar mengobservasi tingkah laku anak didik dalam belajar. Kemampuan untuk mengambil keputusan dikelas dengan tepat dan cepat, dan kemampuan untuk mengobservasi tingkah laku anak didik dalam bela-jar, merupakan sebagian dari faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan guru dalam menentukan pendekatan pembelajaran matematika yang tepat, sehingga pembelajaran menjadi efektif, bermakna, dan menyenangkan. Oleh karena itu para guru SD-MI hendaknya memahami teori belajar dan mengajar matematika, agar dapat menentukan pendekatan pembelajaran yang tepat, sehingga pembelajaran menjadi efektif, bermakna, dan juga menyenangkan. Dalam bab ini akan dibahas beberapa teori pembelajaran matematika yang sekiranya dapat dijadikan acuan bagi para guru untuk mengajar matematika di SD-MI. Sedangkan tujuan pembahasan tersebut agar para guru SD- MI dapat memahami teori pembelajaran matematika, sehingga mampu menentukan pendekatan belajar matematika di SD/MI yang tepat, efektif, dan menyenangkan. A. Teori Pembelajaran Piaget Pada umumnya anak SD berumur sekitar 6/7—12 tahun. Menurut Piaget (dalam Hudoyo, 1988: 45), anak seumur ini berada pada periode operasi konkret. Periode ini disebut operasi konkret sebab berpikir logiknya didasarkan pada manipulasi fisik objek-objek konkret. Anak yang masih berada pada periode ini untuk berpikir abstrak masih membutuhkan bantuan memanipulasi obyek-obyek konkret atau pengalaman- pengalaman yang langsung dialaminya. Dalam belajar, menurut Piaget, struktur kognitif yang dimiliki seseorang terjadi karena proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses mendapatkan informasi dan pengalaman baru yang langsung menyatu dengan struktur mental yang sudah dimiliki seseorang. Adapun akomodasi adalah proses menstruktur kembali mental sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru (Hudoyo, 1988: 47). Jadi belajar tidak hanya menerima informasi dan pengalaman lama yang dimiliki anak didik untuk mengakomodasikan informasi dan pengalaman baru. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan pada tahap operasi konkret adalah pembelajaran yang didasarkan pada benda-benda konkret agar mempermudah anak didik dalam memahami konsep-konsep matematika. Misalnya untuk memahami suatu konsep matematika, anak memerlukan bantuan memanipulasi benda-benda konkret yang relevan sebagai pengalaman langsung. Contoh untuk memahami konsep penjumlahan bilangan cacah 3 + 4 anak perlu mengalami menggabungkan kelompok 3 benda dengan kelompok 4 benda menjadi satu kelompok baru (gambar 14). Dapat juga dengan melakukan permainan berlagu ular naga panjangnya atau naik kereta api.
  • 5.
  • 6. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 Menurut Piaget, perkembangan belajar matematika anak melalui 4 tahap yaitu tahap konkret, semi konkret, semi abstrak, dan abstrak. Pada tahap konkret, kegiatan yang dilakukan anak adalah untuk mendapatkan pengalaman langsung atau memanipulasi objek-objek konkret. Pada tahap semi konkret sudah tidak perlu memanipulasi objek-objek konkret lagi seperti pada tahap konkret, tetapi cukup dengan gambaran dari objek yang dimaksud. Kegiatan yang dilakukan anak pada tahap semi abstrak memanipulasi/melihat tanda sebagai ganti gambar untuk dapat berpikir abstrak. Sedangkan pada tahap abstrak anak sudah mampu berpikir secara abstrak dengan melihat lambang/simbol atau membaca/mendengar secara verbal tanpa kaitan dengan objek-objek konkret. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh 4 tahap anak dalam memahami bilangan 3 (tiga) berikut: Pada tahap konkret: misal anak melihat pertunjukan tari balet dengan penari sebanyak 3 orang untuk dapat memahami bilangan 3. Pada tahap semi konkret: dengan melihat gambar 3 orang penari (gambar 15) anak mampu memahami bilangan 3. Pada tahap semi abstrak: dengan melihat 3 tanda (misalnya noktah), anak mampu memahami bilangan 3 (gambar 16). Pada tahap abstrak: dengan melihat angka 3 atau mendengar “tiga”, anak sudah mampu memahami bilangan 3. B. Teori Pembelajaran Bruner. Menurut Bruner (Hudoyo, 1988: 56), belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur- struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika. Pemahaman terhadap konsep dan struktur suatu materi menjadikan materi itu mudah dipahami secara lebih komprehensif. Selain itu anak didik lebih mudah mengingat materi bila yang dipelajari mempunyai pola terstruktur. Dengan memahami konsep dan struktur akan mempermudah terjadinya transfer. Dalam belajar, Bruner hampir selalu memulai dengan memusatkan manipulasi material. Anak didik harus menemukan keteraturan dengan Gambar 14. Gabungan dari 2 kelompok menjadi Gambar 15. Gambar 3 orang penari. Gambar 16. Ada 3 noktah.
  • 7.
  • 8. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 cara pertama-tama memanipulasi material yang sudah dimiliki anak didik. Berarti anak didik dalam belajar haruslah terlibat aktif mentalnya yang dapat diperlihatkan dari keaktifan fisiknya. Bruner melukiskan anak-anak berkembang melalui tiga tahap perkembangan mental, yaitu: 1. Tahap Enaktif. Pada tahap ini, dalam belajar, anak didik menggunakan atau memanipulasi objek-objek konkret secara langsung. Misalnya untuk memahami konsep operasi pengurangan bilangan cacah 7 – 4, anak memerlukan pengalaman mengambil/ membuang 4 benda dari sekelompok 7 benda. 2. Tahap Ikonik. Pada tahap ini kegiatan anak didik mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek konkret. Anak didik tidak memanipulasi langsung objek-objek konkret seperti pada tahap enaktif, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan memakai gambaran dari objek-objek yang dimaksud. 3. Tahap Simbolik. Tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak lagi ada kaitannya dengan objek-objek. Untuk lebih memperjelas tahapan belajar matematika menurut Bruner, dapat melihat contoh tahapan anak dalam memahami konsep pengurangan bilangan cacah 7 – 4 berikut ini (gambar 17). Dari hasil penelitian Bruner ke sekolah-sekolah (dalam Ruseffendi 1992: 110 – 113), dalam belajar matematika ada beberapa teori yang berlaku yang disebutnya dengan dalil. Teori tersebut antara lain adalah dalil penyusunan (construction theorem), dalil notasi (notation theorem), dalil pengkontrasan dan keanekaragaman (contras and variation theorem), serta dalil pengaitan (connectivity theorem). 1. Dalil Penyusunan Menurut dalil penyusunan, siswa selalu ingin mempunyai kemampuan menguasai definisi, teorema, konsep dan kemampuan matematis lainnya. Oleh karena itu siswa hendaknya dilatih untuk melakukan penyusunan representasinya. Untuk menguasai suatu konsep matematis hendaknya siswa mencoba dan melakukan sendiri kegiatan yang mengacu pada perumusan dan penyusunan konsep tersebut. Jika dalam proses perumusan dan penyusunan tersebut disertai bantuan objek-objek konkret, maka anak lebih mudah un Anak membuang (mengambil) 4 pensil dari sekelompok 7 pensil, lalu menghitung sisanya. Tahap enaktif Tahap ikonik 7 – 4 = 3 Tahap simbolik Gambar 17. Tiga tahapan anak belajar konsep pengurangan menurut Bruner.
  • 9.
  • 10. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 tuk memahaminya, dan ide/konsep tersebut lebih tahan lama dalam ingatannya. Untuk itu dalam pembela- jaran konsep matematis, guru hendaknya benar-benar memberi kesempatan anak untuk melaksanakan tahap enaktif. 2. Dalil Notasi. Dalil notasi menyatakan bahwa dalam penyajian konsep matematis, notasi memegang peranan yang sangat penting. Penggunaan notasi dalam menyatakan konsep matematis tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan anak didik. Misalnya notasi untuk menyatakan fungsi f(x) = x + 5, untuk anak SD dapat digunakan + = Δ + 5, sedangkan bagi anak sekolah lebih lanjut (SLTP) dapat digunakan {(x,y) | y = x + 5}. 3. Dalil Pengkontrasan dan Keanekaragaman Menurut hasil penelitian Bruner, pengkontrasan dan keanekaragaman sangat penting dalam melakukan pengubahan konsep matematika dari konsep konkret menjadi konsep yang lebih abstrak. Untuk melakukan itu diperlukan banyak contoh dan beranekaragam, sehingga anak memahami karakteristik konsep yang dipelajari. Contoh-contoh yang diberikan hendaknya memenuhi rumusan konsep yang sedang dipelajari. Untuk dapat lebih memahami karakteristik konsep, juga diperlukan contoh yang tidak memenuhi rumusan konsep. Misalnya untuk memahami konsep bilangan 2 (dua) diberi kegiatan membuat kelompok benda-benda yang beranggotakan 2. Selain itu juga diberi kegiatan membuat kelompok benda yang anggotanya tidak dua untuk lebih memahami konsep bilangan dua. Atau memilih kelompok-kelompok mana yang merupakan kelompok 2 benda (gambar 18), dan kelompok-kelompok mana yang bukan kelompok 2 benda (gambar 19). Berikut ini contoh kegiatan yang diberikan pada siswa kelas 1 SD/MI. Berilah tanda pada kelompok 2 benda! Berilah tanda pada kelompok yang bukan 2 benda! 4. Dalil Pengaitan Dalil pengaitan menyatakan bahwa antara konsep matematika yang satu dengan konsep yang lain mempunyai kaitan yang erat, baik dari segi isi maupun dari segi penggunaan rumus- rumus. Materi yang satu merupakan prasyarat bagi materi yang lain, atau suatu konsep digunakan untuk menjelaskan konsep yang lain. Misalnya rumus luas jajargenjang merupakan materi prasyarat untuk penemuan rumus luas segitiga yang diturunkan dari rumus luas jajargenjang. Dengan pendekatan intuitif-deduktif, rumus isi tabung diperlukan untuk menemu-kan rumus isi kerucut. Untuk itu diperlukan alat peraga model sebuah tabung tanpa Gambar 18. Contoh soal agar anak lebih memahami karakteristik konsep. Gambar 19. Contoh soal pengkontrasan agar anak lebih memahami karakteristik konsep.
  • 11.
  • 12. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 tutup dan sebuah kerucut tanpa bidang alas yang terbuat dari mika atau karton, dengan syarat tinggi tabung sama dengan tinggi kerucut dan jari-jari alas tabung sama dengan jari-jari alas kerucut, dan pasir. Kegiatan yang diberikan pada anak adalah dengan menggunakan pasir anak mengukur isi tabung dengan takaran kerucut. Anak akan mendapatkan bahwa untuk mengisi tabung dengan pasir hingga penuh dengan memakai takaran kerucut, diperlukan 3 kali menuangkan pasir dari kerucut yang penuh pasir kedalam tabung. Secara intuitif anak dapat mengerti bahwa isi tabung = 3 x isi kerucut. Kemudian dengan penalaran deduktif anak diajak menurunkan rumus isi kerucut dari isi tabung. Dari percobaan diperoleh isi tabung = 3 x isi kerucut, atau isi kerucut = 3 1 x isi tabung. Karena isi tabung = πr2 t, maka isi kerucut = 2 3 1 rπ t. C. Teori Pembelajaran Dienes Perkembangan konsep matematika menurut Dienes (dalam Resnick, 1981: 120) dapat dicapai melalui pola berkelanjutan, yang setiap seri dalam rangkaian kegiatan belajarnya berjalan dari yang konkret ke simbolik. Tahap belajar adalah interaksi yang direncanakan antara satu segmen struktur pengetahuan dan belajar aktif, yang dilakukan melalui media matematika yang didesain secara khusus. Menurut Dienes, permainan matematika sangat penting sebab operasi matematika dalam permainan tersebut menunjukkan aturan secara konkret dan lebih membimbing dan menajamkan pengertian matematika pada anak didik. Dapat dikatakan bahwa objek-objek konkret dalam bentuk permainan mempunyai peranan sangat penting dalam pembelajaran matematika jika dimanipulasi dengan baik. Menurut Dienes (dalam Ruseffendi. 1992: 125— 127), konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap- tahap tertentu. Dienes membagi tahap- tahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu: 1. Permainan bebas (free play). Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai belajar membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep. Guru dapat mengarahkan pengetahuan dan mempertajam konsep yang sedang dipelajari. Misalkan dengan diberi permainan block logic (gambar 21), anak didik mulai mempelajari konsep- konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda, yang merupakan t r Gambar 20. Model tabung tanpa tutup dan model kerucut tanpa alas yang sama tinggi dan sama jari- jari lingkaran alasnya. t r
  • 13.
  • 14. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 ciri/sifat dari benda yang dimanipulasinya. 2. Permainan yang disertai aturan (games). Pada periode permainan yang disertai aturan (terstruktur), anak didik mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat atau tidak terdapat dalam konsep matematika tertentu. Melalui permainan anak mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Pada tahap ini anak didik juga sudah mulai mengabstraksikan konsep. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam penga-laman, dan kegiatan untuk menolak yang tidak relevan dengan pengalaman itu. (Hal ini selaras dengan dalil keanekaragaman dan pengkontrasan dari Bruner). Contoh dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman terhadap konsep tipis atau merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tidak tipis (tebal), atau tidak merah (biru, hijau, kuning). 3. Permainan kesamaan sifat (searching for comunities). Dalam permainan untuk mencari kesamaan sifat, anak mulai diarahkan dalam kegiatan untuk mencari sifat-sifat yang sama dari permainan yang sedang diikuti. Untuk itu perlu diarahkan pada pentranslasian kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi yang dilakukan tentu saja tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak dari permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal, anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota kelompok). 4. Representasi (representation). Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para anak didik menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak. Dengan melakukan representasi, anak didik telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang bersifat abstrak pada topik-topik yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya diagonal poligon (misal segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif seperti berikut ini (gambar 22). Gambar 21. Block logic Segi dua puluh ti berapa diagonal? Gambar 22. Mencari banyaknya diagonal suatu poligon 0 diagon Segi tiga 2 diagona Segi empat …… diagona Segi enam ? 5 diagon al Segi lima
  • 15.
  • 16. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 5. Simbolisasi (symbolization). Simbolisasi adalah tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pandekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak. Bany ak segi 3 4 5 6 .. .. .. n Bany ak diago nal 3(32 1 − = 0 4(42 1 − = 2 5(52 1 − = 5 6(62 1 = 9 .. .. .. )3(2 1 −nn 6. Formalisasi (formalization). Tahap ini adalah tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini, anak didik dituntut untuk menurunkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru rumus tersebut. Contohnya, anak didik yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut. Karso (1999:1.20) menyatakan, pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan operasi penjumlahan beserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem matematika. Dienes (dalam Resnick, 1981: 120) menyatakan bahwa proses pemahaman (abstraction) berlangsung selama belajar. Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan materi matematika secara konkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan tepat. Dienes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai penyajian (multiple embodiment), sehinga anak- anak dapat bermain dengan bermacam- macam material yang dapat mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi (multiple embodiment) dapat mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi konsep. Menurut Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan lainnya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual variability), sehingga anak didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbeda-beda dan memperkaya imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang disajikan. Berbagai sajian (multiple embodiment) juga membuat adanya manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel matematika yang berkaitan dengan prinsip Dienes mengenai variabilitas matematika. Variasi matematika dimaksudkan untuk membuat lebih jelas mengenai sejauh mana sebuah konsep dapat digeneralisasikan terhadap konteks yang lain. Dengan demikian, semakin banyak bentuk-bentuk berlainan yang biberikan dalam konsep tertentu, semakin jelas bagi anak dalam memahami konsep tersebut. Tabel 3. Banyak diagonal suatu poligon.
  • 17.
  • 18. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 Berhubungan dengan tahap belajar, suatu waktu anak didik dihadapkan pada permainan yang terkontrol dengan berbagai sajian. Kegiatan ini menggunakan kesempatan untuk membantu anak didik menemukan cara- cara dan juga untuk mendiskusikan temuan-temuannya. Langkah selanjutnya, menurut Dienes, adalah memotivasi anak didik untuk mengabstraksikan pelajaran tanpa material konkret dengan gambar yang sederhana, grafik, peta dan akhirnya memadukan simbol-simbol dengan konsep tersebut. Langkah-langkah ini merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan kepada anak didik ikut berpartisipasi dalam proses penemuan dan formalisasi melalui percoban matematika. Proses pembelajaran ini juga lebih melibatkan anak didik pada kegiatan belajar secara aktif dari pada hanya sekedar menghapal. Pentingnya simbolisasi adalah untuk meningkatkan kegiatan matematika ke satu bidang baru. Dari sudut pandang tahap belajar, peranan anak didik adalah untuk mengatur belajar anak didik dengan bimbingan guru dalam bentuk aturan- aturan susunan benda walaupun dalam skala kecil. Anak didik pada masa ini bermain dengan simbol dan aturan dengan bentuk-bentuk konkret dan mereka memanipulasi untuk mengatur serta mengelompokkan aturan-aturan. Pada masa ini anak didik menggunakan simbol-simbol sebagai objek manipulasi dan mengarah kepada struktur pemikiran pemikiran matematika yang lebih tinggi. Anak didik harus mampu mengubah fase manipulasi konkret, agar pada suatu waktu simbol tetap terkait dengan pengalaman konkretnya. D. Teori Pembelajaran Skemp. Menurut Richard Skemp (dalam Karim, dkk, 1997: 23—24), anak belajar matematika melalui dua tahap, yaitu konkret dan abstrak. Pada tahap pertama, yaitu tahap konkret, anak memanipulasi benda-benda konkret untuk dapat meng- hayati ide-ide abstrak. Pengalaman awal berinteraksi dengan benda konkret ini akan membentuk dasar bagi belajar selanjutnya, yaitu pada tahap abstrak atau tahap kedua. Sebagai contoh, kegiatan yang diberikan pada anak didik untuk me-nemukan sifat komutatif perkalian bilangan cacah berikut ini (gambar 23). Anak diberi sekelompok benda dan disuruh menyusun benda tersebut menjadi 3 baris dan 4 kolom (gambar 23 kiri). Ini menunjukkan 3 x 4. Kemudian anak disuruh membilang banyaknya benda yang disusun. Selanjutnya anak juga diberi sekelompok benda lain dan disuruh menyusun benda tersebut menjadi 4 baris 3 kolom (gambar 23 kanan). Ini menunjukkan 4 x 3. Kemudian anak disuruh membilang banyaknya benda yang disusun. Dari temuan anak, ternyata didapat bahwa 3 x Gambar 23. Menyatakan perkalian dengan baris dan kolom 3 x 4 4 x 3
  • 19.
  • 20. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 4 = 4 x 3. Percobaan tersebut dapat diulang-ulang dengan perkalian dua bilangan cacah yang lain. Menurut Skemp, agar belajar menjadi berguna bagi seorang anak sifat- sifat umum dari pengalaman anak harus dipadukan untuk membentuk suatu struktur konseptual atau suatu skema. Dengan demikian guru hendaknya memberi kegiatan pada anak untuk menyusun struktur matematika sedemikian rupa agar jelas bagi anak didik sebelum mereka dapat menggunakan pengetahuan awalnya sebagai dasar untuk belajar pada tahap berikutnya, atau sebelum mereka menggunakan pengetahuan mereka secara efektif untuk menyelesaikan masalah. E. Teori Pembelajaran Brownell. Menurut William Brownell (dalam Karso, 1999: 1.22), pada hakikatnya belajar merupakan suatu proses yang bermakna, dan belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan pengertian. Dalam pembelajaran matematika SD, Brownell mengemukakan teori makna (meaning theory). Menurut teori makna, anak harus memahami makna dari topik yang sedang dipelajari, memahami simbol tertulis, dan apa yang diucapkan. Memperbanyak latihan (drill) merupakan jalan yang efektif. Tetapi latihan-latihan yang dilakukan haruslah didahului dengan pemahaman makna yang tepat. Menurut teori makna, matematika adalah suatu sistem dari konsep-konsep, prinsip-prinsip yang dapat dimengerti (Karso, 1999: 1.25). Latihan-latihan dan tes bagi anak didik bukan untuk mengukur kemampuan mekanik dalam berhitung, tetapi untuk mengungkapkan kemampuan intelegensi anak dalam memahami bilangan dan menghadapi situasi aritmetika dengan pemahaman yang sempurna, baik dari segi matematika maupun praktis. Brownell (dalam Karso, 1999: 1.25—1.26) mengemukakan bahwa kemampuan mendemonstrasikan operasi-operasi hitung secara otomatis dan mekanis tidaklah cukup. Tujuan utama dari pembelajaran aritmetika adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir dalam situasi kuantitatif. Oleh karena itu pembelajaran aritmetika di SD harus membahas tentang pentingnya (significane) dan makna (meaning) dari bilangan. Pentingnya bilangan (significance of number) bersifat fungsional atau dengan kata lain penting dalam kehidupan sosial manusia. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari bilangan, misalnya nilai uang dapat dilihat dari lambang bilangan yang tertera pada uang tersebut, untuk itu diperlukan bilangan. Untuk menghitung dan mencatat banyaknya ternak yang dimiliki, pemilik ternak tersebut memerlukan bilangan pula. Sedangkan makna bilangan (meaning of number) bersifat intelektual, yaitu bersifat matematis sebagai suatu sistem kuantitatif. Misalnya pemahaman terhadap konsep bilangan cacah, konsep suatu operasi bilangan, sifat-sifat operasi bilangan, dan sebagainya. Untuk dapat memfungsikan bilangan dengan maksimal dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan kemampuan memahami makna bilangan. Misalnya seorang pedagang di pasar memerlukan kemampuan menghitung nilai sekelompok uang, penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan bahkan pembagian untuk dapat melayani pembeli atau melakukan transaksi dagang dengan rekannya.
  • 21.
  • 22. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 F. Teori Pembelajaran Skinner. Burrush Frederich Skinner (dalam Ruseffendi 1992: 127—128) menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang amat penting dalam proses belajar. Terdapat perbedan antara ganjaran dan penguatan. Ganjaran merupakan proses yang sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang sifatnya subjektif, sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah kepada hal- hal yang sifatnya dapat diamati dan diukur. Skinner juga berpendapat bahwa penguatan dibagi atas dua bagian yaitu, penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan merupakan stimulus positif, jika penguatan tersebut seiring dengan meningkatnya perilaku anak didik dalam melakukan pengulangan perilaku tersebut. Jadi penguatan yang diberikan kepada anak didik memperkuat tindakan anak didik, sehingga anak didik cenderung untuk sering melakukannya. Contoh penguatan positif antara lain pujian pada saat anak didik menjawab benar atau mendapat nilai tinggi. Pada pembelajaran matematika baik penguatan positif maupun ganjaran sangat diperlukan anak didik. Keduanya merupakan motivasi positif dalam belajar matematika. Dalam percobaan strategi pembelajaran matematika melalui lomba dan hadiah bagi pemenang, yang dikenakan pada beberapa mahasiswa PGSD UPP1 UNNES yang bermasalah (enggan mengikuti kuliah, tidak mau menger- jakan tugas kelompok, prestasi rendah, dsb) pada tahun 2004, hasilnya sebagai berikut: Semuanya senang dengan pembelajaran matematika yang baru dilaksanakan. Mereka mengharapkan untuk sering melaksanakan pembelajaran dengan strategi tersebut, baik yang tidak mendapat hadiah, terlebih yang mendapat hadiah. Ada perubahan tingkah laku mereka pada pertemuan-pertemuan selanjutnya yaitu menjadi lebih aktif mengikuti kegiatan di kelas, bergairah/bersemangat pada perkuliahan matematika, mau melaksanakan tugas kelompok bersama temannya, dan menjadi rajin mengikuti kuliah matematika. Prestasi mereka pada mata kuliah matematika naik. Meskipun contoh penguatan tersebut dikenakan pada mahasiswa, hasilnya tidak akan berbeda jika dikenakan pada anak SD. Contoh tersebut selaras dengan pendapat Skinner, bahwa penguatan akan berbekas pada diri anak didik. Mereka yang mendapat pujian setelah berhasil menyelesaikan tugas atau dapat menjawab pertanyaan biasanya akan berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian akan memotivasi anak didik untuk rajin belajar dan untuk mempertahankan prestasi yang diraihnya. Oleh sebab penguatan akan berbekas pada anak didik, sedangkan hasil penguatan diharapkan positif, maka penguatan yang diberikan harus teralamatkan pada respon anak didik yang benar. Jangan memberikan penguatan atas respon anak didik, jika respon tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan.
  • 23.
  • 24. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 G. Teori Pembelajaran Thorndike Edward L. Thorndike (1874— 1949) mengemukakan beberapa hukum belajar yang dikenal dengan sebutan “Law of Effect”. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau kepuasan ini bisa timbul sebagai akibat siswa mendapat pujian atau ganjaran lainnya. Stimulus ini termasuk reinforcement. Setelah anak didik berhasil melaksanakan tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak didik muncul kepuasan sebagai akibat sukses yang diraihnya. Anak didik yang telah memperoleh suatu kesuksesan, pada giliran berikutnya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan yang lebih tinggi. Teori pembelajaran stimulus- respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakekatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau hukum yang dikemukakan Thorndike, yang mengakibatkan munculnya stimulus- respon ini, yaitu hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect). Hukum kesiapan menerangkan bagaimana kesiapan seorang anak didik dalam melakukan suatu kegiatan/belajar. Seorang anak didik yang telah memiliki kecenderungan (siap) untuk bertindak atau melakukan kegiatan tertentu, dan dia kemudian benar-benar melakukan kegiatan tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya. Tindakan-tindakan lain yang dia lakukan, tidak menimbulkan kepuasan bagi dirinya. Contoh pada peristiwa guru memberi tugas pada anak didiknya untuk membawa pita meteran pada pelajaran matematika berikutnya. Dengan menbawa pita meteran pada pelajaran matematika berikutnya, anak telah siap untuk belajar mengukur panjang benda. Jika kemudian dia diberi kegiatan mengukur tinggi badan temannya, setelah melaksanakan kegiatan tersebut dia mendapat kepuasan. Tetapi kalau dia melakukan kegiatan lain, misal guru memberi tugas untuk mengerjakan soal perkalian, maka dia tidak mendapat kepuasan. Seorang anak didik yang siap untuk bertindak dan kemudian bertindak, sedangkan tindakannya itu menimbulkan ketidakpuasan bagi dirinya, akan selalu menghindarkan dirinya dari tindakan- tindakan yang melahirkan ketidakpuasan. Sebagai contoh, anak yang telah siap mengerjakan PR matematika, kemudian mengerjakan PR matematika tersebut, tetapi tidak dapat karena baginya terlalu sulit. Timbul ketidakpuasan pada dirinya dalam mengerjakan soal matematika. Maka untuk selanjutnya dia akan menghindarkan dirinya dari mengerjakan soal matematika. Seorang anak didik yang tidak mempunyai kecederungan (tidak siap) untuk bertindak atau melakukan kegiatan tertentu, sedangkan anak tersebut ternyata melakukan kegiatan/tindakan, maka apa yang dilakukannya itu menimbulkan rasa tidak puas bagi dirinya. Untuk menghilangkan ketidakpuasannya, anak tersebut akan melakukan tindakan lain. Anak yang tidak mempunyai kecenderungan (tidak siap) untuk belajar matematika (mungkin tidak suka atau takut pada pelajaran matematika, ternyata dia belajar matematika (pada pelajaran
  • 25.
  • 26. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 matematika), maka dia tidak puas. Dia akan mengganggu temannya atau melakukan tindakan yang aneh-aneh untuk menghilangkan ketidakpuasannya. Dari ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa seorang anak didik akan lebih berhasil dalam belajar matematika, dan mendapat kepuasan, jika dia telah siap untuk melakukan kegiatan belajar matematika. Hukum latihan menyatakan bahwa jika hubungan stimulus-respon sering terjadi, maka hubungan akan semakin kuat. Sedangkan makin jarang hubungan stimulus-respon digunakan, maka makin lemahlah hubungan yang terjadi. Hukum latihan pada dasarnya mengungkapkan bahwa stimulus dan respon akan memiliki hubungan satu sama lain secara kuat jika proses pengulangan sering terjadi. Makin banyak kegiatan ini dilakukan, maka hubungan yang terjadi akan bersifat otomatis. Seorang anak didik yang dihadapkan pada suatu persoalan yang sering ditemuinya akan segera melakukan tanggapan secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya. Anak yang sering diberi latihan menggunakan kemampuan matematisnya untuk menyelesaikan masalah yang di-hadapi, akan cepat tanggap dan dapat menyelesaikan masalah semacam yang terjadi di dalam hidupnya. Kenyataan menunjukkan bahwa pengulangan yang memberikan dampak positif adalah pengulangan yang frekuensinya teratur, bentuk pengulangannya tidak membosankan dan kegiatannya disajikan dengan cara yang menarik. Sebagai contoh, untuk menterampilkan fakta perkalian dua bilangan cacah pada anak didik, guru memberikan kegiatan permainan domi number (rangkaian 2 persegi bilangan) perkalian (gambar 24), atau menentukan dua faktor satu angka yang hasil kalinya telah diketahui (paling banyak 81), atau setiap menjelang waktu pulang memberikan kesempatan pulang dulu bagi anak yang dapat menjawab hasil perkalian. Untuk kegiatan yang terakhir hendaknya guru memberikan fakta perkalian yang sulit bagi anak terlebih dahulu, agar anak yang lamban dan belum hafal fakta perkalian lama- kelamaan menjadi hafal dengan memperhatikan jawaban temannya yang lebih cerdas. Selanjutnya soal yang diberikan bertambah mudah, agar semua anak dapat menjawab, dan pulang dengan puas. Dalam hukum akibat, Thorndike mengemukakan bahwa suatu tindakan akan menimbulkan pengaruh bagi tindakan yang serupa. Ini memberikan gambaran bahwa jika suatu tindankan yang dilakukan seorang anak didik menimbulkan hal-hal yang mengakibatkan kepuasan bagi dirinya, tindakan tersebut akan cenderung diulangi. Sebaliknya tiap-tiap tindakan yang mengakibatkan kekecewaan atau 2 × 7 48 8×6 15 3 × 5 20 5×4 81 Gambar 24. Rangkaian 2 persegi bilangan untuk perkalian.
  • 27.
  • 28. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 hal-hal yang tidak menyenangkan, cenderung akan dihindarinya. Dilihat dari ciri-ciri ini, hukum akibat lebih mendekati ganjaran dan hukuman. Dari hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa adanya ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan bagi anak didik, dan anak didik cenderung berusaha untuk mengulangi atau meningkatkan apa yang telah dicapainya itu. Guru yang memberikan pujian terhadap jawaban anak didik, akan semakin menguatkan konsep yang tertanam pada diri anak didik, dan merupakan hadiah bagi anak didik yang kelak akan meningkatkan dirinya dalam menguasai pelajaran. Guru harus tanggap terhadap respon anak didik yang salah, dan hendaknya langsung memberikan pembetulan atau penjelasan. Jika kekeliruan anak didik dibiarkan tanpa penjelasan yang benar dari guru, ada kemungkinan anak didik menganggapnya benar dan kemudian mengulanginya. Oleh karena itu, guru harus mengoreksi dan memberikan pembetulan/penjelasan terhadap respon anak yang salah baik dalam mengerjakan PR, latihan, maupun tes. Dari hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa jika terdapat asosiasi yang kuat antara pertanyaan dan jawaban, maka bahan yang disajikan akan tertanam lebih lama dalam ingatan anak didik. Selain itu banyaknya pengulangan akan sangat menentukan lamanya konsep tertanam dalam ingatan anak didik. H. Teori Pembelajaran Van Hiele. Teori pembelajaran yang dikemukakan oleh Van Hiele (1964), menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak didik dalam bidang geometri. Menurut Van Hiele, ada tiga (3) unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika ketiga hal tadi ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak didik pada tingkatan berpikir yang lebih tinggi. Van Hiele juga menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak didik dalam belajar geometri, yaitu: 1. Tahap Pengenalan. Dalam tahap ini anak didik mulai belajar mengenal suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada seorang diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus tersebut, ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi yang merupakan persegi, bahwa sisinya ada 6 buah, rusuknya ada 12, dan lain-lain. Anak baru dapat membedakan bangun kubus dengan bangun yang bukan kubus, atau menentukan bangun-bangun yang merupakan bangun kubus. Kegiatan yang diberikan anak pada tahap ini misalnya mengamati model bangun- bangun ruang dan menyebutkan nama bangunnya disertai dengan gambar bangun ruang (gambar 25), kemudian mengamati dan menyebutkan bangun- bangun di sekitar anak yang sama dengan bangun ruang tertentu, membuat kelompok benda-benda sekitar siswa yang merupakan bangun ruang tertentu, dan kegiatan semacamnya. Demikian pula kegiatan yang diberikan pada anak dalam tahap pengenalan bangun datar, dimulai dengan mengamati dan menamai model bangun datar.
  • 29.
  • 30. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 2. Tahap Analisis. Pada tahap ini anak didik sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamati. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri tersebut. Misalnya disaat ia mengamati kubus, ia telah mengetahui bahwa pada kubus terdapat 6 sisi berbentuk persegi yang sama, ada 12 rusuk yang sama panjang, ada 8 titik sudut, dan sebagainya (gambar 26). Dalam tahap ini anak didik belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak didik belum mengetahui bahwa kubus merupakan balok (yang istimewa), atau kubus merupakan paralel-epipedum (yang istimewa), dan sebagainya. Anak belum mengetahui bahwa persegi adalah persegi panjang, atau persegi adalah belah ketupat, dan sebagainya. 3. Tahap Pengurutan. Pada tahap ini anak didik sudah mulai mampu melakukan penarikan kesimpulan, yang kita kenal dengan sebutan berpikir deduktif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah anak didik pada tahap ini sudah mampu mengurutkan. Misalnya, ia sudah mengenali bahwa persegi adalah jajargenjang, bahwa belahketupat adalah layang-layang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat contoh pengelompokan bangun pada gambar 26. Demikian pula dalam pengenalan benda- benda ruang, anak didik sudah memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu bahwa semua sisinya berbentuk persegi. Pola berpikir anak didik pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama panjang. Anak didik mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua buah segitiga yang kongruen. Gambar 26. Bagian-bagian kubus. titik sudut rusuk bidang sisi Gambar 25. Gambar bangun ruang. kubus balok limas segiempat prisma segitiga Ta bung Bo la Keru cut
  • 31.
  • 32. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 4. Tahap Deduksi. Dalam tahap ini anak didik sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan disamping unsur-unsur yang didefinisikan. Misalnya, anak didik sudah memahami perlunya aksioma, asumsi, definisi, teorema, bukti dan dalil. Selain itu, pada tahap ini anak didik sudah mulai mampu menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian. Postulat dalam pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti sisi-sudut-sisi, sisi- sisi-sisi, atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pembuktian dua segitiga yang sama dan sebangun (kongruen). Misalnya untuk menemukan rumus luas segitiga yang diturunkan dari rumus luas jajargenjang berikut: Untuk mendapatkan rumus luas segitiga yang diturunkan dari rumus luas jajargenjang, harus dibuktikan lebih dulu bahwa Δ ABD ≅ Δ CDB. Karena ′B2 = ′D2 (sudut dalam berseberangan), dan sisi BD = sisi DB (konkruen), dan ′D1 = ′B1 (sudut dalam berseberangan), maka terbukti bahwa Δ ABD ≅ Δ CDB (sudut-sisi-sudut). Jadi luas Δ ABD = luas Δ CDB. Karena luas Δ ABD + luas Δ CDB = luas jajargenjang ABCD, sedangkan luas Δ ABD = luas Δ CDB, dapat dikatakan luas Δ ABD = 2 1 luas jajargenjang ABCD. Karena luas jajargenjang ABCD = a x t, maka luas Δ ABD = 2 1 a x t, atau luas Δ ABD = 2 1 alas x tinggi. Anak pada tahap ini sudah dapat membuktikan dan menunjukkan dasarnya, misalnya sudut berseberangan sama besar, tetapi belum mengerti mengapa demikian. Gambar 27. Pengelompokan segi empat. persegi panjang buj ur san gka r jajargen jang belahk etupat layang- layang kelompok segiempat kelompok jajargenjangkelompok persegipanjang kelompok belahketupa t kelompok layang- layang trape sium A B C 2 12 1 Gambar 28. Jajargenjang ABCD dibagi 2 menurut diagonal BD. t a
  • 33.
  • 34. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 5. Tahap Akurasi. Dalam tahap ini anak didik sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia mengetahui pentingnya aksioma- aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Ia mengetahui bahwa dengan dasar aksioma yang berbeda maka pernyataan benar untuk suatu hal yang sama akan berbeda pula. Misalnya ia mengetahui mengapa dan aksioma mana yang melandasi sehingga di dalam geometri Euclid dinyatakan bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga sama dengan 180o ; mengapa dan aksioma mana yang melandasi sehingga di dalam geometri hyperbolik dinyatakan bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga kurang dari dua sudut siku-siku (180o ); mengapa dan aksioma mana yang melandasi sehingga di dalam geometri eliptik dinyatakan bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga lebih dari 180o . Tahap akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika ada anak yang masih belum sampai pada tahap ini, meskipun sudah duduk di bangku sekolah lanjutan atas atau di perguruan tinggi. I. Penerapan Teori Pembelajaran dalam Pembelajaran Matematika. Dari pembahasan teori-teori pembelajaran matematika tersebut di atas, ternyata bahwa beberapa ahli mempunyai kesamaan pendapat, yaitu anak dalam belajar matematika akan dapat memahami jika dibantu dengan manipulasi objek-objek konkret. Untuk penerapannya di dalam pembelajaran, akan lebih baik jika setiap teori pembelajaran matematika itu tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh untuk pembelajaran geometri, pada tahap analisis balok, dapat kita pakai teori pembelajaran Bruner dengan 3 tahapannya, yaitu enaktif, ikonik, dan simbolik. Pada tahap enaktif anak diberi kegiatan mengamati model bangun balok Gambar 29. Perbedaan jumlah besar sudut-sudut segitiga karena perbedaan aksioma yang melandasi. Geometri Euclide Jumlah besar sudut = 1800 Geometri eliptik Jumlah besar sudut > 180 0 Geometri hyperbolik Jumlah besar sudut < 180 0 Gambar 29. Perbedaan jumlah besar sudut-sudut segitiga karena perbedaan aksioma yang melandasi. Geometri Euclide Jumlah besar 0 Geometri eliptik Jumlah besar 0 Geometri hyperbolik Jumlah besar 0
  • 35.
  • 36. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 untuk mencari bidang sisi dan membilang berapa banyaknya bidang sisi, menunjukkan nama bentuk bangun bidang sisi balok, mencari rusuk dan membilang banyaknya rusuk, mencari titik sudut dan membilang banyaknya titik sudut, dan lain sebagainya. Pada tahap ikonik anak mengamati gambar ruang bangun balok untuk melakukan tugas seperti tugas pada tahap enaktif. Pada tahap simbolik, tanpa model bangun balok atau gambar balok, anak menentukan bentuk bangun bidang sisi balok, banyaknya rusuk balok, banyaknya bidang sisi balok, dan lain sebagainya. Dengan demikian untuk pembelajaran topik tersebut selain mengindahkan tahapan belajar geometri menurut Van Hiele juga menggunakan tahapan belajar menurut Bruner (gambar 30). Pada pembelajaran matematika juga diperlukan teori belajar dari Brownell, Skinner, maupun Thorndike, karena untuk keterampilan mekanik matematisnya anak perlu mendapatkan drill, maupun pengertian, penguatan dan motivasi dalam belajar matematika agar dapat belajar dengan senang dan berhasil optimal. Oleh karena itu para calon guru/guru SD-MI sangat dianjurkan untuk memahami dan menguasai teori belajar mengajar matematika bagi anak SD-MI dan menerapkannya pada pembelajaran matematikanya. Tahap analisis balok (menurut Van Hiele: anak mengenali sifat-sifat balok yang diamati), dengan menggunakan teori belajar belajar Bruner. J. Resume 1. Menurut Piaget, perkembangan belajar anak SD melalui 4 tahap, yaitu konkret, semi konkret, semi abstrak, dan abstrak. Gambar 30. Tahap analisis balok menggunakan teori belajar Bruner. Tahap enaktif Anak didik mengamati model benda balok (yang dapat dibuat dari karton, kayu, dan sebagainya) dan mengenali sifat-sifat balok, seperti memiliki 8 titik sudut, memiliki 6 bidang sisi; memiliki 12 rusuk; dan menyebutkan nama-namanya. Tahap simboli k Anak didik dapat menyebutkan sifat-sifat yang dimiliki balok, dan dapat menyebutkan namanya tanpa melihat model benda atau gambar balok. Tahap ikonik titik sudut sebanyak 8: A, B, C, D, E, F, G, H. rusuk balok sebany ak 12: AE, BF, … bidang sisi sebanyak 6: ABCD, BCGF, … A B CD E F H G
  • 37.
  • 38. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 2. Menurut Bruner, perkembangan belajar anak melalui 3 tahap, yaitu enaktif, ikonik, dan simbolik. 3. Menurut Bruner, ada empat dalil dalam belajar matematika, yaitu dalil penyusunan, dalil notasi, dalil pengkontrasan dan keanekaragaman, serta dalil pengaitan. 4. Menurut Dienes, objek-objek konkret dalam bentuk permainan mempunyai peranan sangat penting dalam pembelajaran matematika jika dimanipulasi dengan baik. 5. Ada 6 tahap belajar menurut Dienes, yaitu Permainan bebas Permainan yang disertai aturan Permainan kesamaan sifat Representasi Simbolisasi Formalisasi 6. Menurut Skemp, belajar matematika melalui dua tahap. Tahap pertama adalah tahap konkret, dan tahap kedua adalah tahap abstrak. 7. Menurut Brownell, belajar merupakan suatu proses yang bermakna, dan belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan pengertian. Drill perlu diberikan juga sesudah anak memahami konsep. 8. Menurut Skinner, ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang amat penting didalam proses belajar. 9. Menurut Thorndike, belajar akan lebih berhasil jika respon anak terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang dan kepuasan. 10. Menurut Van Hiele dalam belajar geometri, anak melalui 5 tahapan, yaitu Tahap pengenalan Tahap analisis Tahap pengurutan Deduksi Akurasi 11. Penerapan teori-teori pembelajaran pada pembelajaran matematika tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi perlu dikombinasikan menurut kebutuhan.
  • 39.
  • 40. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar4 DAFTAR PUSTAKA Hudoyo, H. (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdibud Ditjen Dikti Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Karim, A. Muchtamar, dkk. (1997). Pendidikan Matematika 1. Jakarta: Depdikbud Ditjen Dikti Proyek Pengembangan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Karso, dkk. (1999). Pendidikan Matematika 1. Jakarta: Universitas Terbuka. Orton, A. (1992). Learning Mathematics: Issues, Theory, and Classroom Practice. Second Edition. Trowbridge, Wallshite: Redwood Books. Resnick, LB & Ford, WW. (1981). The Psychology of Mathematics for Instruction. Hillshade, NJ: Lawrence Elbaum Associates, Pt. Ruseffendi, E. T. (1992). Materi Pokok Pendidikan Matematika 3. Jakarta: Depdikbud.
  • 41. Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23 Bacaan 2 BAB I TEORI BELAJAR BAHASA alam belajar bahasa, manusia merujuk beberapa teori belajar yang merupakan penjelasan sistematis tentang fakta belajar sesuai dengan asumsi, penalaran, dan bahan bukti yang diberikan. Konsep belajar itu dapat dijadikan landasan dalam menentukan tujuan, menjabarkan butir pembelajaran, memberi tugas dan menganalisis tugas yang diberikan kepada siswa, dan melaksanakan evaluasi. Dengan kata lain, teori belajar berguna bagi guru dalam merencanakan pembelajaran, melaksanakan kegiatan belajar mengajar, dan menentukan evaluasi di kelas. Pengertian teori menurut Kerlinger yang dikutip Sapani (1998) adalah “suatu himpunan pengertian atau konsep yang saling berkaitan yang menyajikan pandangan sistematis tentang gejala dengan jalan menetapkan hubungan yang ada di antara variabel- variabel dengan tujuan untuk menjelaskan serta meramalkan gejala- gejala tersebut. Sedangkan yang dimaksud teori belajar bahasa adalah teori mengenai bagaimana manusia mempelajari bahasa, dari tidak bisa berkomunikasi antarsesama manusia dengan medium bahasa menjadi bisa berkomunikasi dengan baik. Kegunaan teori, termasuk di dalamnya teori belajar bahasa, berguna untuk : (a) menyempurnakan suatu praktik, (b) memperjelas sesuatu, membuat orang mengerti sesuatu atau memberi tahu bagaimana mengerjakan sesuatu, (c) dapat merangsang pengetahuan baru dengan jalan memberikan bimbingan ke arah penyelidikan selanjutnya, misalnya dengan membuat deduksi tentang apa yang akan terjadi pada situasi dalam konteks tertentu. Dari teori penguatan (reinforcement) dalam mendidik dapat ditarik deduksi tentang pengaruh pemberian pujian secara teratur jika dibandingkan dengan pujian yang diberikan secara tidak teratur. Ada beberapa teori belajar yang dapat dikemukakan di sini, yaitu (1) behaviorisme, (2) mentalisme, (3) kognitivisme, (4) konstruktivisme, dan (5) humanisme. Sejumlah teori di atas dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Adapun uraiannya sebagai berikut: A. Teori Behaviorisme. Behaviorisme dikembangkan oleh Ivan Pavlov (1849-1936). Teori ini berangkat dari pemahaman bahwa stimulus yang dapat dilihat juga dapat menyebabkan adanya respons yang dapat dilihat. Stimulus yang bermakna dapat menghasilkan respons yang bermakna pula. Untuk memperoleh respons yang bermakna diperelukan kondisi tertentu. Pemberian kondisi tersebut perlu memperhitungkan kesesuaian antara stimulus dengan gambaran pembiasaan yang dihasilkan, stimulus lain yang ikut membentuk karakteristik responsi, dan frekuensi pemberian stimulus yang diberikan. Pemberian stimulus yang bermakna akan menghasilkan respons terkondisi. Untuk menghasilkan respons yang terkon D
  • 42.
  • 43. Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23 disi sesuai dengan tujuan diperlukan kontrol terhadap lingkungan dan kondisi yang membentuk responsi. Dengan demikian, untuk melakukan itu harus menempuh tiga tahap yaitu : stimulus, respons, dan penguatan. Suatu perilaku akan muncul bila didahului stimulus. Perilaku itu dapat diperkuat, dibiasakan, dengan memberi penguatan. Dalam melakukan kontrol menurut Edward L. Thorndike (1874- 1949), perlu diperhatikan tiga hal yaitu: (1) law of effect atau kaidah efek, (2) law of exercise atau kaidah latihan, dan (3) law of readiness atau kaidah kesiapan (Spodek dan Saracho, 1994:67). Kaidah efek, berisi prinsip bahwa kekuatan respons ditentukan oleh efek kesenangan yang bisa diperoleh. Dengan demikian, pemberian respons yang dibayang-bayangi kegagalan, ejekan, kemarahan, dan tertawaan teman sekelas misalnya, hanya akan melemahkan intensitas respons yang diberikan sehingga kekuatan respons yang sebenarnya tidak tampak. Siswa yang akan latihan berbicara di depan kelas misalnya, biasanya takut karena khawatir diejek teman-temannya atau ditertawakan sehingga muncul rasa malu yang kuat dan tidak mampu tampil secara wajar. Kaidah latihan, berisi anggapan bahwa semakin sering dan lama suatu latihan diberikan akan semakin tinggi pengalaman dan bentuk keterampilan yang diperoleh. Siswa yang tidak dapat melafalkan kata /virus/, /saya/, /tidak/, /partisipasi/ dengan benar, semakin sering dan lama diberikan latihan akan semakin baik pelafalannya. Kaidah kesiapan berisi anggapan bahwa belajar itu lebih efektif bila diawali dan disertai rasa nervous. Perasaan demikian dapat mendorong keseriusan dan tumbuhnya konsentrasi, terutama bila disertai disiplin dan kegiatan belajar yang benar-benar menantang dan menarik minat mereka. Burrhus Frederic Skinner (1904- 1990) memperluas psikologi belajar ke dalam teori perkembangan, teori belajar, penyimpangan personal, dan problema sosial pada umumnya. Bagi Skinner, pemahaman sebagai hasil belajar berlangsung melalui pengamatan dan pemerolehan pengalaman secara langsung. Aktivitas tersebut apabila disertai pengkondisian yang tepat akan menghasilkan kebiasaan yang juga mempengaruhi pola tingkah lakunya. Agar kegiatan belajar dapat dipantau dan dikondisikan secara ketat, bahan pelajaran dan latihan dibuat dalam satuan kecil sehingga detilnya jelas. Dalam pembelajarannya setiap respons yang benar harus segera diberi penguatan. Dalam pelajaran berbicara misalnya, guru perlu mengembangkan bentuk latihan yang berfungsi mengembangkan kemampuan anak dalam melafalkan kata-kata dalam bahasa Indonesia secara baik dan benar, memberikan jeda dan intonasi secara baik dan benar, bukan sekedar kemampuan menyusun naskah pidato dan menyampaikannya di depan kelas. Hal seperti itu sering luput dari perhatian guru, sehingga siswa SD umumnya dalam membaca atau berbicara (berpidato atau bercerita) mempunyai pola intonasi yang seragam di mana- mana. Anak yang berhasil melafalkan dengan benar dan intonasi yang wajar, harus segera diberi penguatan dalam bentuk pujian atau penguatan verbal maupun nonverbal lainnya. Behaviorisme, yang sebenarnya teori psikologi tadi, diadopsi menjadi metodologi pengajaran bahasa, terutama di Amerika, yang hasilnya adalah metode audiolingual. Metode ini
  • 44.
  • 45. Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23 ditandai dengan pemberian latihan yang terus menerus kepada siswa yang diikuti penguatan baik positif maupun negatif. Menurut teori behaviorisme ini, manusia adalah organisme yang dapat memberikan respons (operant) baik oleh karena adanya stimulus atau rangsangan yang nampak atau tidak. Respons tersebut diusahakan terus karena adanya reinforcement atau penguatan. Dalam pembelajaran bahasa, organisme itu adalah siswa, stimulus itu pengajaran yang diwujudkan dalam bentuk tugas atau perintah atau contoh, sedangkan respons atau operant adalah tingkah laku bahasa siswa sebagai reaksi terhadap pengajaran yang diajarkan guru, sedangkan penguatan atau reinforcement adalah balikan dari guru yang dinyatakan dalam bentuk persetujuan, pujian, dan penguatan verbal nonverbal lainnya. Pelaksanaannya di kelas, metode audiolingual, yang juga dipengaruhi strukturalisme ini menurut Moulton (dalam Azis dan Alwasilah, 2000: 21) memiliki lima karakteristik kunci yang perlu dipertimbangkan jika mengajarkan bahasa. Lima karakteristik tersebut sebagai berikut: (a) Bahasa itu ujaran, bukan tulisan. (b) Bahasa itu seperangkat kebiasaan. (c) Ajarkanlah bahasanya, bukan tentang bahasanya. (d) Bahasa adalah, sebagaimana dituturkan oleh penutur asli, bukan seperti dipikirkan orang bagaimana mereka seharusnya berbicara. (e) Bahasa itu berbeda-beda. Dari karakteristik di atas, tugas guru hanyalah memberikan pengharagaan dan penguatan kepada siswa yang ujarannya paling mendekati model yang diberikan guru atau didengar melalui media audio. Pengaruh behaviorisme dalam belajar bahasa tidak dapat dilepaskan dari peranan Leonard Bloomfield. Ia beranggapan bahwa linguistik merupakan cabang psikologi, yaitu psikologi behaviorisme. Sebagaimana psikologi behaviorisme, dalam mengembangkan teori kebahasaan pun Bloomfield yang disebut sebagai pelanjut wawasan linguistik deskriptif dan linguistik struktural, ujaran bisa diterangkan dengan kondisi-kondisi eksternal yang ada di sekitar kejadiannya. Kaum struktural Amerika berteguh hati untuk menemukan sistem yang menyeluruh dan dapat berdiri sendiri dan mendahulukan yang penting dalam analisis. Bunyi ujaran merupakan fenomena yang paling mudah diamati langsung. Oleh karena itu, ujaran tersebut mendapat perhatian istimewa. Pendekatan ini struktural, dalam arti bahwa bahasa itu sebenarnya terdiri atas urutan-urutan morfem yang juga terdiri atas urutan-urutan fonem. Pengaruh teori Behaviorisme di atas dalam konteks belajar bahasa pada sekitar tahun 1970-an tampak pada terdapatnya wawasan berikut: (1) Belajar bahasa merupakan bentuk pemberian tanggapan atas stimulus kebahasaan. Pemberian tanggapan itu bisa berupa peniruan dari lingkungan sekitarnya, latihan atau drill yang diberikan guru maupun bentuk-bentuk pembiasaan yang dikondisikan dengan penguatan. Guru memberikan contoh pelafalan kata, kemudian murid menirukan misalnya, merupakan bentuk penerapan konsep behaviorisme, yang dikenal dengan audio-lingual. (2) Belajar bahasa harus difokuskan pada aspek tertentu yang juga menuntut pemberian tanggapan
  • 46.
  • 47. Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23 (3) dan keterampilan tertentu pula. Sebab itu, diperlukan latihan atau pemberian stimulus untuk penguasaan bunyi, kata, kalimat secara terpisah-pisah. Pengajaran yang hanya memusatkan perhatian pada aspek bunyi, kata, kalimat misalnya, merupakan contoh penerapan linguistik struktural Bloomfield yang berorientasi teori behaviorisme. (4) Makna maupun pengertian merupakan kenyataan yang muncul sebagaimana tampak pada responsi atas stimulus. Penolakan atas kebermaknaan makna dan proses pemaknaan yang sifatnya abstrak tersebut akhirnya menyebabkan pengabaian kemungkinan bahwa belajar bahasa melibatkan aktivitas mental yang berhubungan dengan proses penyusunan pengertian, pembahasan, dan pengujaran. Beberapa prinsip behavioristik yang dapat dimanfaatkan dalam perencanaan dan pembelajaran bahasa Indonesia menurut Aminuddin (1996) antara lain sebagai berikut: (1) Dalam merencanakan program pengajaran, guru harus secara jelas memperhitungkan hubungan antara materi pelajaran dengan isi pembelajaran (apa yang menjadi bahan pelajaran dengan isi yang harus dikuasai siswa), bentuk latihan, bentuk keterampilan yang diharapkan, dan bentuk perubahan tingkah laku yang tampak secara konkret. Ketika guru mempersiapkan bacaan sebagai materi pelajaran misalnya, guru perlu memahami (a) karakteristik bacaan ditinjau dari responsi siswa, (b) isi pembelajaran yang perlu dikuasai siswa, (c) bentuk kegiatan dan latihan sehingga siswa memperoleh pengalaman sesuai dengan penguasaan isi pembelajaran yang diharapkan, dan (d) penanda konkret atas penguasaan isi pembelajaran sebagaimana menggejala dalam bentuk tingkah laku. (2) Materi pelajaran, kegiatan, latihan, dan tugas yang mengikuti harus dispesifikasi secara detil dan dinyatakan secara jelas. Kejelasan itu selain mengacu pada kejelasan hubungan antara detil materi pelajaran maupun KBM yang satu dengan yang lain dalam membentuk keterampilan- keterampilan tertentu. (3) Perencanaan pengajaran harus ditata dalam unit-unit dalam urutan tertentu. Urutan itu, harus menggambarkan urutan sederhana menuju kompleks, mudah ke sukar, dan konkret ke abstrak. B. Mentalisme. Teori mentalisme sering dilawankan dengan teori behaviorisme. Bila behaviorisme sangat berat pada fokus yang sifatnya lahiriah, sedangkan mentalisme lebih cenderung pada pembahasan yang batiniah. Mentalisme ini dipelopori oleh Noam Chomsky. Dia menyerang kaum behavioris. Menurut Chomsky (dalam Sumardi,1992: 97) bahwa pemerolehan bahasa tidak dapat dicapai melalui pembentukan kebiasaan karena bahasa terlalu sulit untuk dipelajari dengan cara semacam itu apalagi dalam waktu singkat. Menurut Chomsky, bahasa bukanlah salah satu bentuk perilaku. Sebaliknya, bahasa merupakan sistem yang didasarkan pada aturan dan pemerolehan bahasa, pada dasarnya
  • 48.
  • 49. Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23 merupakan pembelajaran sistem tersebut (Azies dan Alwasilah, 2000:22). Chomsky, yang dalam linguistik terkenal sebagai pelopor lahirnya Tatabahasa Generatif Tranformasi berpendapat bahwa manusia lahir ke dunia sudah memiliki innate capacity atau framework of linguistic structure. Kerangka struktur linguistik tersebut meliputi aspek semantik, sintaktik, dan fonologi. Dalam proses belajar bahasa struktur linguistik tersebut diasumsikan sebagai Language Acquisition Device (LAD) atau alat pemerolehan bahasa. Berikut beberapa pendapat kaum mentalis tentang pembelajaran dan pemerolehan bahasa yang dikutip oleh Sapani (1998: 14): (1) Bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia. (2) Perilaku bahasa adalah suatu yang diturunkan. (3) Pemerolehan bahasa berlangsung secara alami. (4) Pola perkembangan bahasa sama pada berbagai macam bahasa dan budaya. (5) Setiap anak sudah dibekali apa yang disebut piranti penguasaan bahasa Language Acquisition Device (LAD) sebagai bawaan dari lahir yang antara lain meliputi : (a) kemampuan membedakan bunyi bahasa, (b) kemampuan menyusun bahasa menjadi sistem struktur, dan (c) pengetahuan tentang yang mungkin dan tidak mungkin diterima dalam sistem linguistik, dengan LAD ini dalam waktu relatif singkat anak akan mampu menguasai bahasa. Dalam proses penguasaan bahasa alat tersebut juga akan menentukan urutan pemerolehan bahasa anak. (6) Aliran mentalis tidak setuju menyamakan proses belajar pada manusia dengan yang terjadi pada binatang. Manusia punya akal pikiran, sedangkan hewan hanya punya naluri. (7) Belajar bahasa tidak sekedar latihan-latihan mekanistis seperti yang ditonjolkan teori behavioris, melainkan lebih kompleks dari itu. C. Kognitivisme. Kognitivisme dalam psikologi disebut psikologi Gestal dipelopori oleh Jean Piaget (1896-1980). Dalam wawasan kognitivisme dunia pengalaman dan pengetahuan yang telah ada sebelumnya (skemata) dimanfaatkan untuk menerima pengetahuan baru. Untuk memperoleh pengetahuan, siswa dapat saja tidak harus mengatur dan mengubah skematanya karena sudah ada, sehingga pengetahuan dapat dipahami dan terjadilah proses asimilasi. Tetapi tidak menutup kemungkinan, siswa harus mengubah dan menyesuaikan skematanya ketika pengetahuan baru itu datang sehingga sesuai untuk menerima pengetahuan baru tersebut dan terjadilah proses akomodasi. Pada proses akomodasi ini, bisa saja terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium), artinya terjadi kebingungan sebab atara pengetahuan yang ada dengan pengetahuan yang datang tidak selaras. Ketika siswa kelas V SD diberi tugas untuk mengarang cerita pengalaman, pada awalnya mungkin siswa bingung karena terjadi ketidakseimbangan. Namun ketika diberi tugas harus mengingat-ingat lagi kejadian, pengalaman, bahkan mimpinya pada waktu tidur, siswa jadi teringat bahwa itu juga bisa dijadikan karangan. Akan lebih baik jika guru, membacakan dulu cerita pengalaman mengesankan yang diminati siswa serta memberi tahu
  • 50.
  • 51. Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23 bahwa hasil tulisannya akan dipajang di majalah dinding atau di dalam buku portofolionya. Dengan demikian, ditinjau dari sudut pandang kognitivisme, belajar juga dapat disikapi sebagai asimilasi dan akomodasi yang bermakna, sehingga dapat menghasilkan pemahaman, penghayatan, dan keterampilan. Oleh karena itu, bila guru memilih bahan pengajaran, misalnya buku atau teks untuk dibaca siswa, terlebih dulu harus membangkitkan atau mengisi dulu skemata siswa. Pengisian atau pembangkitan itu dapat berupa mengenalkan judul, gambar ilustrasi dalam teks/ buku tersebut atau menceritakan sinopsis singkatnya agar pada waktu siswa tersebut membaca terjadi asimilasi dan memahami isi yang dibacanya. Hal lain yang harus diperhatikan terkait dengan skemata ini ialah skemata isi, selain skemata bahasa. Seorang siswa yang berada di Bandung jika harus membaca teks bacaan Sasakala Banyuwangi, mungkin akan mengalami disequilibrium, karena siswa tersebut tidak punya skemata isi tentang latar tempat yang dibacanya. Dengan demikian, guru juga harus berhati-hati memilih bahan pelajaran dengan mempertimbangkan skemata (pengetahuan awal) siswanya, baik skemata isi maupun skemata bahasa (keterbacaan). Menurut aliran kognitivisme, belajar juga berupa penghubungan pemahaman yang satu dengan yang lain untuk menghasilkan pemahaman yang utuh dan bermakna. Dengan demikian, guru harus memperhatikan kesinambungan dan keterpaduan antarmateri yang satu dengan yang lain. Berlandaskan teori kognitif, Aminuddin (1996) memberikan saran agar guru pada waktu memberikan pelajaran, mempertimbangkan hal berikut: (1) Isi pembelajaran dan proses belajarnya sesuai dengan tingkat perkembangan, pengalaman, dan pengetahuan siswa. (2) Isi dan proses pembelajaran harus menarik minat dan secara emotif membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan motivasi belajarnya. Sebab itu guru harus memperhitungkan minat, kebermaknaan dan keterkaitan antara materi yang dipilih dengan dunia kehidupan siswa. (3) Isi dan proses pembelajarannya harus berhubungan dengan sesuatu yang nyata dan alamiah sehingga dapat dihubungkan dan dibandingkan dengan kenyataan dalam lingkungan kehidupan siswa. (4) Isi dan proses pembelajaran harus memiliki jilai fungsional bagi murid dalam kehidupannya sehingga ketika mempelajarinya siswa juga memahami tujuan belajarnya. D. Konstruktivisme. Kognitivisme dalam perkembangannya dan pemaduannya dengan teori lain, misalnya pandangan Vigotsky, menghasilkan pandangan yang disebut konstruktivisme. Pada teori ini hubungan timbal balik antara belajar sebagai proses pembentukan pengalaman secara empirik dan proses pembentukan konsep secara rasional dalam menghasilkan pemahaman menjadi prinsip dasar. Berangkat dari prinsip dasar demikian, diyakini bahwa pemahaman yang terdapat pada siswa menjadi dasar dalam memahami kenyataan dan pemecahan masalah baru.
  • 52.
  • 53. Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23 Pemahaman kenyataan dan pemecahan masalah menghasilkan pengetahuan baru dalam proses yang aktif dan dinamis. Siswa merekontruksi pengetahuannya oleh dirinya sendiri. Konstruktivisme ini dilandasi pandangan Jean Piaget (1896-1980), Lev Semenovich Vigotsky (1896-1934), dan Jerome Bruner (1915- ), dalam perkembangannya menentukan adanya hubungan antara lingkungan kehidupan anak dengan karakteristik proses dan hasil belajar anak. Bruner misalnya beranggapan bahwa perkembangan kognitif siswa berkaitan dengan tahap enaktif; siswa melakukan kegiatan memahami lingkungan, ikonik; siswa memahami fakta kehidupan dan konsep melalui gambar dan visualisasi verbal, simbolik; siswa memahami fakta melalui pengolahan konsep dan hubungan antarkonsep secara logis. Bruner berpendapat (dalam Slameto, 2003: 11) bahwayang terpenting dalam belajar tidak untuk mengubah tingkah laku seseorang tetapi untuk mengubah kurikulum sekolah menjadi sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar banyak dan mudah. Sebab itu Bruner mempunyai pendapat, alangkah baiknya bila sekolah dapat menyediakan kesempatan bagi siswa untuk maju dengan cepat sesuai dengan kemampuan siswa dalam mata pelajaran tertentu. Di dalam belajar Bruner mementingkan partisipasi aktif siswa dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk meningkatkan proses belajar perlu lingkungan yang dinamakan discovery learning environment, ialah lingkungan tempat siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Dalam tiap lingkungan selalu ada bermacam masalah, dalam lingkungan banyak hal yang dapat dipelajari siswa. Oleh karena itu, dalam merencanakan isi dan proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SD, guru perlu memperhatikan: (1) apa materi pelajaran yang secara konkret dapat diamati siswa, (2) apa karakteristik isi pembelajarannya, (3) apa yang dibayangkan dan direfleksikan siswa, (4) apa hubungan antara sesuatu yang dipelajari murid dengan lingkungan kehidupannya, dan (5) bagaimana menghubungkan konteks kehidupan sosial masyarakat dengan isi dan proses pembelajaran sehingga menghasilkan pengalaman dan pengetahuan yang konstruktif. Strategi dasar dari kontruktivisme adalah meaningful learning. Kita semua ingin tahu dunia sekeliling kita, apakah lingkungan sosial, lingkungan alam, bahkan lingkungan spiritual. Untuk memenuhi keingintahuan itu, pertama, kita menggunakan pancaindra. Selanjutnya pancaindra dibantu dikonkretkan dengan penggunaan peralatan dari yang sederhana, penggaris misalnya, sampai yang canggih foto kamera atau tape recorder. Dengan demikian, menurut pandangan kontruktivisme (dalam Mulyasa, 2005: 240) dalam kegiatan belajar mengajar: (1) siswa harus aktif selama pembelajaran berlangsung; (2) proses aktif ini adalah proses membuat sesuatu masuk akal, pembelajaran tidak terjadi melalui transmisi tetapi melalui interpretasi; (3) interpretasi selalu dipengaruhi oleh pengetahuan sebelumnya (skemata); (4) interpretasi juga dibantu oleh metode instruksi yang memungkinkan negosiasi pikiran (bertukar pikiran) melalui diskusi, tanya jawab dan lain-lain; (5) tanya jawab
  • 54.
  • 55. Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23 didorong oleh kagiatan inkuiri para siswa. Jadi, kalau siswa tidak bertanya/ tidak berbicara pada waktu diskusi, berarti siswa tidak belajar secara optimal; (6) proses belajar mengajar tidak sekedar pengalihan pengetahuan, tapi juga pengalihan keterampilan dan kemampuan. Implikasi dari pandangan konstruktivisme tersebut dalam pembelajaran bahasa Indonesia menurut Aminuddin (1996) sebagai berikut. (1) Perencanaan pengajaran harus dilandasi pemahaman karakteristik proses berpikir siswa dalam mengolah, menghayati, dan mengkonseptualisasikan isi pembelajarannya. Hal itu perlu diperhatikan karena perumusan tujuan, pemilihan materi, dan kegiatan pembelajaran akan menentukan resepsi, penghayatan, pengolahan informasi, dan rekontruksi pemahaman. (2) Proses pembelajaran bahasa Indonesia bukan hanya ditujukan pada upaya pengembangan kemampuan berkomunikasi semata-mata. Lebih dari itu, materi pelajaran bahasa Indonesia harus dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kemampuan berfikir, daya nalar, maupun bentuk-bentuk aktivitas lain yang berhubungan dengan proses penemuan pemahaman. (3) Pengorganisasian materi dan kegiatan pembelajaran, idealnya selain memberi peluang terjadinya pembelajaran secara individual juga harus memberi peluang terjadinya proses pembelajaran secara kelompok. Dalam proses pembelajaran demikian siswa diberi kesempatan membandingkan wawasan yang satu dengan yang lain, belajar kooperatif dalam kelompok, bertanya jawab dengan guru maupun melakukan diskusi kelas. Materi yang disajikan secara demikian, selain bermanfaat dalam mengembangkan budaya berpikir juga dapat mengembangkan kepribadian siswa. (4) Materi pelajaran yang secara formal disajikan di sekolah bukan merupakan satu-satunya sumber isi pembelajaran. Siswa selain dapat memanfaatkan pendidikan formal dan sumber belajar yang direncanakan, juga dapat memanfaatkan lingkungan sosial budaya di luar sekolah. Agar pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh lewat pembelajaran di kelas memiliki relevansi, memiliki nilai fungsional, dan bermanfaat bagi kehidupan siswa, dalam menelaah dan menyusun materi pelajaran guru selain perlu memperhitungkan materi sebagai komponen program, juga harus memperhitungkan pertaliannya dengan keperluan dan lingkungan kehidupan sosial budaya siswa. E. Fungsionalisme. Pandangan fungsionalisme dalam kajian linguistik sering disebut tatabahasa sistemik, tatabahasa relasional, maupun tatabahasa stratifikasi. Pandangan ini diwarnai oleh konsep Saussure, Firth Strauss, yang dipelopori oleh M.A.K. Halliday (Aminuddin, 1996). Beberapa hal penting dari pandangan ini yang membedakan dengan pandangan yang lain ialah sebagai berikut: (1) Bahasa bukan sebagai gejala psikologis, melainkan fakta sosial yang secara implisit mengemban
  • 56.
  • 57. Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23 (2) kesadaran kolektif masyarakat pemakainya. Bahasa bukan terwujud sebagai kalimat, melainkan sebagai teks atau wacana. (3) Sebagai teks, bahasa memiliki tiga tataran fungsi yang berhubungan secara sistemis yaitu fungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Fungsi ideasional mengacu pada fungsi bahasa sebagai ekspresi pengalaman dan gagasan penutur dalam menanggapi dunia kehidupan secara ekternal maupun internal dalam kehidupan masyarakat. Fungsi interpersonal mengacu pada peran bahasa sebagai wahana penghubung ekspresi penutur dalam kegiatan komunikatif untuk membentuk, mempertahankan, dan memperjelas hubungan di antara anggota masyarakat. Fungsi tekstual mengacu pada konfigurasi struktur teks sebagai alat untuk merepresentasikan makna yang relevan dengan situasi. (4) Siswa belajar berbahasa secara serempak juga disertai kegiatan mengenal, menghayati, dan memahami kenyataan lain di luar fakta kebahasannya. Belajar berbahasa dengan demikian bukan berfokus pada kaidah kebahasaan dan penggunaannya semata, namun merupakan proses penghayatan kehidupan sosial. Sebab itu pembelajaran bahasa tidak dapat dilepaskan dari penghayatan bahasa yang dipelajari sesuai dengan fungsinya dalam kehidupan sosial masyarakat. (5) Pemahaman bahasa bermula dari pemahaman penggunaannya. Menurut Halliday, siswa mengenal apa itu bahasa karena dia mengetahui bagaimana bahasa itu digunakan di masyarakat. Ditinjau dari segi fungsinya, penggunaan bahasa tersebut antara lain untuk membentuk hubungan personal, memenuhi keperluan tertentu, menemukan pemahaman secara ilmiah, mengemukakan pendapat pribadi, mengatur relasi sosial, mengungkapkan perasaan, dan lain sebagainya. (6) Belajar bahasa hakikatnya adalah belajar menggunakan bahasa sesuai dengan sistem dan kaidah sosialnya, serta belajar menggunakan bahasa sebagai aktivitas individual sesuai dengan tujuan, fungsi, dan ragam tuturannya. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa juga perlu memusatkan perhatian pada (a) bagaimana cara menemukan dan membentuk gagasan, (b) merekontruksi gagasan sesuai dengan pesan atau informasinya, dan (c) membentuk ujaran sesuai dengan tujuan dan ragam teks yang akan dihasilkan. Konsepsi fungsionalisme yang berprinsip bahwa bahasa itu merupakan fakta sosial, yang kemudian menjadi landasan pendekatan komunikatif ini, sangat berperan dalam proses perencanaan program pembelajaran bahasa Indonesia. Ada beberapa prinsip sebagai implikasi dari pandangan fungsionalisme tersebut yang harus mendapat perhatian guru pada waktu menyiapkan isi dan proses pembelajaran di kelas: (1) Belajar bahasa berhubungan dengan keberadaan manusia dalam kehidupan. Oleh karena itu, dalam merencanakan pembelajaran bahasa Indonesia guru harus
  • 58.
  • 59. Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23 (2) memperhitungkan relevansi, kebermaknaan, dan nilai fungsional kegiatan pengajaran yang akan dilaksanakan dengan kehidupan siswa. (3) Belajar bahasa sebagai aktivitas pembelajaran berbahasa selain merujuk pada keperluan pengembangan kemampuan berbahasa untuk kepentingan individual juga mengacu pada kepentingan individu dalam kehidupan kelompok sosial maupun kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. (4) Dihubungkan dengan Kurikulum Bahasa Indonesia SD, belajar berbahasa untuk keperluan individual mengacu antara lain pada kemampuan mendalami, menghayati, menikmati, dan menarik manfaat dari pembelajaran menyimak dan membaca karya sastra. Belajar bahasa untuk kepentingan kelompok mengacu kepada kemampuan siswa dalam mendengarkan, menyerap pesan, gagasan, pendapat, dan perasan orang lain, serta mengungkapkan pendapat, gagasan, dalam berbagai bentuk kepada mitra bicara sesuai dengan tujuan konteks pembicaraan (5) Pembelajaran yang lebih luas, pembelajaran bahasa juga diorienta-sikan pada pengembangan pribadi, keterampilan sosial, maupun meningkatkan nilai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. F. Humanisme. Pandangan humanisme prinsipnya menganggap siswa sebagai individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Mereka memiliki minat, motivasi, pola pikir, dan gaya belajar yang tidak sepenuhnya sama. Jadi pandangan humanistik lebih mengutamakan peranan siswa dan berorientasi pada kebutuhan siswa (Sumardi, 1992: 20). Menurut pandangan ini, bahasa haruslah dilihat sebagai suatu totalitas yang melibatkan siswa secara utuh bukan sekedar sesuatu yang intelektual semata-mata. Seperti halnya guru, siswa adalah manusia yang mempunyai kebutuhan emosional, spiritual, dan intelektual. Siswa mempunyai minat, dan motivasi serta gaya belajarnya sendiri-sendiri. Prinsip humanisme menurut Aminuddin (1994: 2) berisi wawasan sebagai berikut: 1) Manusia secara fitrah memiliki bekal yang sama dalam upaya memahami sesuatu. Implikasi wawasan tersebut dalam kegiatan pendidikan: (a) guru bukan merupakan satu-satunya sumber informasi; (b) siswa disikapi sebagai subjek-belajar yang secara kreatif mampu menemukan pemahaman sendiri; (c) dalam proses belajar mengajar, guru lebih banyak bertindak sebagai model, teman pendamping, fasilitator, pengamat dan peneliti, serta dinamisator yang memberi motivasi. 2) Perilaku manusia dilandasi motif dan minat tertentu. Implikasi wawasan tersebut dalam kegiatan pendidikan: (a) isi pembelajaran harus memiliki kegunaan bagi siswa secara aktual; (b) dalam kegiatan belajarnya siswa harus menyadari manfaat penguasaan isi pembelajaran itu bagi kehidupannya; dan (c) isi pembelajaran perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan, pengalaman, dan pengetahuan siswa. 3) Manusia selain memiliki kesamaan juga memiliki kekhasan. Implikasi wawasan tersebut dalam kegiatan pendidikan: (a) layanan pembelajaran
  • 60.
  • 61. Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23 selain bersifat klasikal dan kelompok, juga bersifat individual; (b) siswa selain ada yang dapat meguasai isi pembelajaran secara cepat ada juga yang lambat; dan (c) siswa perlu disikapi sebagai subjek unik, baik menyangkut proses merasa, berpikir, dan karakteristik individual sebagai bentukan lingkungan keluarga, teman bermain, maupun lingkungan kehidupan sosial masyarakatnya. Pandangan humanistik berkembang menjadi pendekatan yang berbeda seperti Counseling-Learning atau Community Language Learning (1976), Total Physical Response (1977), Natural Aproach (1983), the Silent Way (1963), dan Sugestopedy (1978). Pandangan ini diprakarsai oleh Charles Curran, James Asher, Caleb Gategno, dan Georgi Lozanov (dalam Sumardi, 1992: 21). Kebanyakan dari mereka mempunyai latar belakang pengetahuan ilmu pendidikan atau ilmu jiwa bukan ahli linguistik. Oleh karena itu, bisa dipahami bila pandangan mereka mengenai pengajaran bahasa lebih cenderung pada pandangan psikoterapi atau counseling. Charles Curran (1976) dalam eksperimen kepada mahasiswanya misalnya, menerapkan belajar bahasa lebih diarahkan pada kegiatan bersifat konseling. Pengajaran bahasa bagi Curran disamakan dengan persoalan antara seorang ahli ilmu jiwa dengan seorang pasennya. Curran (dalam Sumardi, 1992) beranggapan bahwa pada waktu seorang siswa belajar bahasa dihinggapi perasaan tidak aman (insecurity), terancam (threat), rasa cemas (anxiety) dan perasaan lainnya. Melihat keadaan seperti ini, guru yang humanistik harus menghilangkan atau paling tidak mengurangi perasaan- perasaan tersebut. Sejalan dengan Curran, Georgi Lozanov, seorang dokter, psikiater kenamaan dari Bulgaria, memperkenalkan dan mengembangkan Suggestopedy. Menurut Lozanov, tugas pertama seorang guru ialah mendorong siswanya. Untuk terjadi pembelajaran Lozanov mengemukakan tiga prinsip, yaitu : (a) joy and psycorelaxation atau kegembiraan dan kesantaian secara psikologis, (b) kemampuan memanfaatkan, yaitu bagian otak yang oleh kebanyakan siswa tidak dapat dimanfaatkan, dan (c) kerjasama yang harmonis antara the conscious dan the unconscious (dalam Sumardi, 1992: 21). Menurut Lozanov hanya dalam keadaan gembira dan tenang siswa akan dapat menggunakan potensinya yang terpendam. Rasa gembira dan tenang merupakan prasyarat bagi proses belajar mengajar yang efektif dan cepat. Ini berarti bahwa dalam mempelajari bahasa siswa harus merasa aman, tak terancam, santai, dan juga tertarik pada pelajaran dan merasa terlibat dalam berbagai kegiatan yang bermakna dalam berbahasa.Untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar, suasana lingkungan yang mendukung merupakan syarat yang tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, ruang belajar dalam pandangan ini tidak hanya berupa kelas seperti biasanya, tetapi berupa lingkungan alam. Sehingga terjadi suasana gembira yang alami seperti pada masa kanak-kanak. Hal ini sejalan dengan pendapat DePorter (2003:67) bahwa menata lingkungan belajar yang nyaman akan mengefektifkan pembelajaran. Pandangan humanistik sangat memperhatikan minat dan gaya belajar siswa. Belajar dengan tanpa minat pada apa yang akan dipelajari, hanya akan sia- sia saja. Guru perlu menyiapkan materi
  • 62.
  • 63. Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 23 dan proses yang benar-benar menarik minat siswa untuk belajar bahasa. Begitu pun gaya belajar siswa, pada isi dan proses belajar perlu diperhatikan. Menurut Rose dan Nicholl (dalam DePorter, 2003: 165), setiap siswa belajar dengan gayanya yang berbeda-beda, dan semua cara sama baiknya karena setiap gaya mempunyai kekuatannya sendiri. Dalam kenyataannya setiap siswa mempunyai ketiga gaya belajar yaitu, visual, auditorial, dan kinestetik, hanya saja biasanya satu gaya mendominasi. Siswa yang bergaya visual, biasanya lebih cenderung menguasai materi pelajaran dengan cara memaksimalkan daya visualnya, misalnya seorang anak bergaya belajar visual lebih senang membaca, dan memperhatikan gambar daripada mendengarkan penjelasan guru. Sebaliknya siswa yang bergaya belajar auditorial akan lebih bisa menangkap isi pembelajaran melalui mendengarkan penjelasan gurunya daripada harus membaca sendiri. Dan ada pula siswa yang lebih cepat mengerti bila dia sendiri ikut melakukan gerakan, terlibat secara pisik, bergerak, mengalami, dan mencoba-coba dalam memahami konsep yang dipelajarinya. Dengan demikian, akan lebih baik dan bijaksana bila guru memahami gaya belajar siswanya, dan akan sangat baik dan sempurna jika dalam praktiknya di kelas dapat melaksanakan ketiganya. Seperti dikatakan Vernon A. Magnesen yang dikutip DePorter (2003: 57) “Kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, dan 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.” Kalau memang lebih besar manfaatnya mengapa tidak kita lakukan selengkapnya. Sebab menurut penelitian Lyn O’Brien (dalam Dryden dan Vos, 2001:131), Direktur Specific Diagnostic Studies, menemukan bahwa kebanyakan pelajar sekolah dasar dan menengah paling baik belajar ketika mereka terlibat dan bergerak, sementara orang dewasa lebih suka belajar secara visual. Namun kebanyakan orang mengkobinasikan ketiga gaya itu dengan berbagai cara, misalnya siswa diberi penjelasan secara audio dan memeperhatikan secara visual melalui media, serta diupayakan dapat melakukannya agar terlibat langsung pada proses pemahaman konsep tersebut.
  • 64. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar24 Bacaan 3 BAB I PEMBELAJARAN SAINS YANG IDEAL Membahas pembelajaran sains yang ideal tidak bisa lepas dari apa hakikat sains dan apa hakikat pembelajaran sains. Hakikat sains akan mewarnai atau menjiwai hakikat pembelajaran sains. Pembelajaran sains yang ideal tentunya dapat memfasilitasi pengembangan seluruh aspek yang tercakup dalam hakikat sains. A. Hakikat Sains. Secara umum istilah sains memiliki arti sebagai Ilmu Pengetahuan. Oleh karena itu sains didefinikan sebagai kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, sehingga secara umum istilah sains mencakup Ilmu pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam. Secara khusus istilah sains dimaknai sebagai Ilmu Pengetahuan Alam atau “Natural Science”. Pengertian atas istilah sains sebagai Ilmu Pengetahuan Alam sangat beragam, menurut Conant sains diartikan sebagai bangunan atau deretan konsep yang saling berhubungan sebagai hasil dari eksperimen dan observasi. Campbell mendefinisikan sains sebagai pengetahuan yang bermanfaat dan cara bagaimana atau metoda untuk memperolehnya (Poedjiadi, 1987), sedang menurut Carin & Sund (1989) sains adalah suatu sistem untuk memahami alam semesta melalui observasi dan eksperimen yang terkontrol. Abruscato (1996) dalam bukunya yang berjudul “Teaching Children Science” mendefinisikan tentang sains sebagai pengetahuan yang diperoleh lewat serangkaian proses yang sistematik guna mengungkap segala sesuatu yang berkaitan dengan alam semesta. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sains diartikan sebagai ilmu yang dapat diuji atau dibuktikan kebenarannya atau berdasarkan kenyataan. Dari beberapa penjelasan tersebut di atas secara umum dapat dikatakan bahwa sains adalah pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh dengan cara yang terkontrol. Penjelasan ini mengandung makna bahwa sains kecuali sebagai produk yaitu pengetahuan manusia juga sebagai proses yaitu bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut. Untuk selanjutnya yang dimaksud sains dalam buku ini adalah sains sebagai Ilmu Pengetahuan Alam. 1. Sains sebagai Ilmu : secara umum sekurang-kurangnya mencakup 3 aspek yaitu aspek aktivitas, metode dan pengetahuan. Ketiga aspek tersebut merupakan kesatuan logis yang mesti ada secara berurutan. Artinya keberadaan dan perkembangan ilmu harus diusahakan dengan adanya aktivitas manusia dan aktivitas harus dilaksanakan dengan menggunakan metode tertentu dan akhirnya aktivitas metodis tersebut akan menghasilkan pengetahuan yang sistematis. Dengan pengertian seperti itu maka sains dapat digambarkan sebagai suatu segitiga sama sisi dimana masing-masing titik sudutnya marupakan aktivitas, metode dan pengetahuan. Sains sebagai aktivitas manusia mengandung tiga dimensi (The Liang Gie, 1991) yaitu : - Rasional: artinya merupakan proses pemikiran yang berpegang pada kaidah- kaidah
  • 65. Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 25 logika - Kognitif : artinya merupakan proses mengetahui dan memperoleh pengetahuan - Teleologis : artinya untuk mencapai kebenaran, memberikan penjelasan/ pencerahan dan melakukan penerapan dengan melalui peramalan atau pengendalian. Sains sebagai suatu metode dapat berbentuk : - Pola prosedural ,yang meliputi Pengamatan, Pengukuran, Deduksi, Induksi, Analisis, Sintesis dll. - Tata langkah, yaitu urutan proses yang diawali dengan penentuan masalah, perumusan hipotesis, pengumpulan data, penarikan kesimpulan dan pengujian hasil. Dalam perkembangannya tata langkah ini dikenal dengan metode ilmiah Sains sebagai pengetahuan yang sistematis terkait dengan obyek material atau bidang permasalahan yang dikaji. Obyek material sains dapat dibedakan atas : Benda fisik/ mati, Makhluk hidup, Peristiwa Sosial dan Ide abstrak. Dimensi sains yang meliputi beberapa aspek seperti tersebut di atas dapat dilukiskan seperti gambar 1. Sains dalam arti khusus sebagai ilmu pengetahuan alam memiliki obyek material benda fisik yang meliputi segala benda/ materi yang ada di Bumi (Tanah Air, Udara) dan Antariksa (Galaksi, Matahari, Planet Satelit) serta Makhluk hidup yang meliputi hewan/ manusia dan tumbuhan; sedang persoalan yang dikaji meliputi gejala perubahan materi/ benda, struktur dan fungsi benda/ makhluk hidup maupun proses-proses biokimiawi dalam tubuh makhluk hidup. 2. Sains sebagai produk : sebagai suatu produk sainsmerupakan kumpulan pengetahuan yang tersusun dalam bentuk fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori. a. Fakta merupakan produk sains yang paling dasar. Fakta diperoleh dari hasil observasi secara intensif dan kontinu/ terus menerus. Secara verbal fakta adalah pernyataan tentang benda yang benar-benar ada atau peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Contoh produk sains yang merupakan fakta adalah : - Gula rasanya manis - Logam tenggelam dalam air - Bentuk bulan yang terlihat dari bumi berubah-ubah - Katak berkembang biak dengan cara bertelur. Gambar 1 : Dimensi sains sebagai ilmu Rasional Kognitif Aktivitas Teleologi Sains Ilmu Metode - Pola Prosedural - Tata langkah Pengetahuan Obyek material -Bendafisik/mati -Mahluk hidup - Peristiwa social - Ide Abstrak
  • 66. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar26 b. Konsep dalam sains dinyatakan sebagai abstraksi tentang benda atau peristiwa alam. Dalam beberapa hal konsep diartikan sebagai suatu definisi atau penjelasan. Contoh produk sains yang merupakan konsep adalah : Hewan berdarah dingin, Gas, Satelit, Air dsb. Abstraksi atau konsepsi tentang masing-masing konsep tersebut adalah: - Hewan berdarah dingin adalah hewan yang menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungannya. - Gas adalah zat yang bentuk dan volumenya dapat berubah-ubah. - Satelit adalah benda angkasa yang bergerak mengelilingi planet. - Air adalah zat yang molekulnya tersusun atas 2 atom hidrogen dan 1 atom oksigen. c. Prinsip adalah generalisasi tentang hubungan antara konsep-konsep yang berkaitan. Prinsip diperoleh lewat proses induksi dari hasil berbagai macam observasi. Contoh produk sains yang merupakan prinsip ialah : - Logam bila dipanaskan memuai . - Semakin besar kuat cahaya, hasil fotosintesa semakin banyak. - Larutan yang bersifat asam bila dicampur dengan larutan yang bersifat basa akan membentuk garam yang bersifat netral. - Semakin besar perbedaan tekanan udara semakin kuat angin berhembus. d. Hukum adalah prinsip yang bersifat spesifik. Kekhasan hukum dapat ditunjukkan dari : - Bersifat lebih kekal karena telah berkali-kali mengalami pengujian. - Pengkhususannya dalam menunjukkan hubungan antar variabel. Contoh : Hukum Ohm menunjukkan hubungan antara hambatan dengan kuat arus dan tegangan listrik, yaitu “Besarnya hambatan sebanding dengan besarnya tegangan listrik tetapi berbanding terbalik dengan kuat arusnya”. Hukum tersebut secara matematis dibahasakan dalam bentuk persamaan : R = V dimana : R = tahanan I V = Tegangan I = Kuat arus Hukum Avogadro : menjelaskan tentang hubungan antara jumlah molekul dengan volume suatu gas, yaitu : “Pada suhu dan tekanan yang sama, semua gas yang volumenya sama mengandung jumlah molekul yang sama banyak” Maksudnya bila 2 volum gas hidrogen bereaksi dengan 1 volum gas oksigen membentuk 2 volum uap air , yang dapat dinyatakan dalam persamaan reaksi : 2 H2 + O2 2 H2O maka jumlah mol gas hidrogen = jumlah mol uap air yang terbentuk. Hukum Kepler III : menjelaskan hubungan antara waktu edar planet dengan jaraknya terhadap matahari, yaitu : “Perbandingan antara kuadrat waktu edar planet dengan pangkat tiga jarak rata-ratanya terhadap matahari untuk setiap planet sama”. Hubungan tersebut
  • 67. Kapita Selekta embelajaran di Sekolah Dasar 27 dapat dinyatakan dalam persaman matematik sbb : 2 1W = 2 2W 3 1d 3 2d dimana : W1 = waktu edar planet 1 mengelilingi matahari. d1 = jarak rata- rata planet 1 terhadap matahari. W2 = waktu edar planet 2 menelilingi matahari. d2 = jarak rata-rata planet 2 terhadap matahari. Hukum Mendel II : menjelaskan tentang hubungan genotip orang tua dengan gamet/ sel kelamin yang dibentuk Hukum Mendel II ini dikenal juga dengan prinsip pengelompokan gen, yaitu : “ Dalam pembentukan gamet/ sel kelamin maka gen yang berpisah dari alelenya akan mengelompok secara acak dengan gen dari pasangan alele yang lain”. Maksudnya bila orang bergenotif AaBBCc maka gamet yang dibentuk memiliki 4 macam variasi yaitu gamet, yaitu masing-masing membawa gen ABC, Abc, aBC atau aBc. e. Teori adalah generalisasi tentang berbagai prinsip yang dapat menjelaskan dan meramalkan fenomena alam. Contoh produk sains yang merupakan teori adalah : - Teori Evolusi, menjelaskan mengapa dapat muncul species makhluk hidup yang baru. - Teori Meteorologi memprediksi kapan akan mulai musim penghujan atau menjelaskan mengapa terjadi gelombang Tsunami. - Teori Atom menjelaskan bagaimana kekekalan massa baik sebelum reaksi maupun sesudah reaksi kimia terjadi. Untuk mendapatkan produk sains seperti tersebut di atas para ilmuwan melakukan kegiatan yang dikenal dengan proses sains. Oleh karena itu sains sebagai suatu produk tidak bisa lepas dari sains sebagai suatu proses. 3. Sains sebagai proses : Sebagai suatu proses, sains merupakan cara kerja, cara berpikir dan cara memecahkan suatu masalah; sehingga meliputi kegiatan bagaimana mengumpulkan data, menghubungkan fakta satu dengan yang lain, menginterpretasi data dan menarik kesimpulan. Cara kerja sains seperti tersebut dikenal dengan istilah Metoda Ilmiah, yaitu secara bertahap meliputi langkah- langkah : a. Menyadari adanya masalah dan keinginan untuk memecahkannya. Masalah perlu dirumuskan dengan jelas, dan dibatasi ruang lingkupnya agar pemecahannya lebih terfokus. b. Mengumpulkan data yang ada hubungannya dengan masalah. Data yang terkumpul diolah/ dianalisis atau disintesis untuk merumuskan hipotesis. c. Merumuskan hipotesis berdasarkan alasan atau pengetahuan yang merupakan jawaban sementara terhadap suatu masalah. Hipothesis bersifat tentatif dan dapat diuji apakah benar/ diterima atau salah/ ditolak. d. Menguji hipothesis, dapat ditempuh dengan cara melakukan eksperimen atau melakukan observasi tergantung dari masalah yang ingin dijawab.
  • 68. Kapita Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar28 e. Menarik kesimpulan, kesimpulan dibuat berdasar data/ informasi yang dikumpulkan dalam eksperimen/ observasi. Data/ informasi yang dimaksud adalah data/ informasi dalam rangka pengujian hipotesis. Bila dari hasil pengujian hipotesis ternyata hipotesis ditolak maka perlu dirumuskan hipothesis yang baru. Hipotesis baru dirumuskan berdasarkan atas kajian data atau informasi lain yang dikumpulkan kemudian. Untuk melakukan proses sains seperti tersebut di atas dibutuhkan berbagai macam ketrampilan antara lain ketrampilan : mengobservasi, mengklasifikasi, mengukur, menggunakan hubungan ruang dan waktu, menggunakan hubungan antar angka, mengkomunikasikan, menginferensi/ memprediksi, menyimpulkan, merancang penelitian, dan melakukan eksperimen a. Mengobservasi atau mengamati adalah ketrampilan untuk mendapatkan data/ informasi dengan menggunakan indera. Dapat dilakukan dengan cara melihat, meraba, mengecap, membau dan mendengar. Melihat dapat memperoleh informasi tentang warna, bentuk, ukuran dan gerak. Meraba dapat diperoleh informasi tentang halus kasarnya permukaan dan panas dinginnya suatu obyek mengecap untuk mengetahui rasa. Membau untuk mengetahui aroma sedang mendengar untuk mengetahui bunyi yang ditimbulkan suatu obyek.. Secagai contoh : kalau mengobservasi awan dapat diperoleh informasi tentang warna, bentuk dan gerakannya, sedang kalau mengobservasi ayam dapat diketahui tentang warna, bentuk, suara, suhu tubuh, halus/ kasar bulu, organ/komponen penyusun dan baunya. Kalau mengobservasi gula pasir dapat diketahui warna, ukuran dan bentuk kristal serta rasanya. b. Mengklasifikasi atau menggolongkan adalah ketrampilan untuk melihat persamaan dan perbedaan suatu obyek sehingga dengan dasar tersebut obyek dapat dikelompokkan atau dipisahkan dari yang lain. Contoh dari hasil pengamatan tentang belalang, kupu- kupu, nyamuk, labah-labah, ketonggeng dapat diperoleh pengelompokan hewan yang memiliki persamaan yaitu kelompok hewan yang bersayap dan berkaki enam . Kelompok ini meliputi belalang, kupu-kupu dan nyamuk. Labah-labah dan ketonggeng dipisahkan dari kelompok tersebut karena memiliki perbedaan yaitu jumlah kakinya delapan. c. Menyimpulkan : merupakan kemampuan untuk menyatakan hasil penilaian atas suatu obyek atau kejadian/ fenomena. Penilaian tersebut ditentukan atas dasar fakta dan konsep atau prinsip-prinsip yang telah diketahui. Contoh proses menyimpulkan adalah : bila dari kegiatan pengamatan terhadap perubahan kertas lakmus yang ditetesi dengan berbagai macam larutan adalah seperti berikut: