SlideShare a Scribd company logo
SKRIPSI




STUDI EKSTRAKSI PADA PROSES PEMBUATAN
    GELATIN TIPE B DARI KULIT SAPI




                 Oleh
               HASAN
              F24101107




                 2007
   FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
      INSTITUT PERTANIAN BOGOR
               BOGOR
Hasan. F24101107. Studi Ekstraksi Pada Proses Pembuatan Gelatin Tipe B Dari
Kulit Sapi. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc dan Ir. Irshan
Zainudin,M.Si.


                                    ABSTRAK

         Gelatin merupakan molekul polipeptida dengan bobot molekul tinggi yang
berasal dari kolagen yang merupakan komponen utama penyusun jaringan hewan
(kulit, tulang, dan tendon). Gelatin umumnya digunakan sebagai bahan
pengemulsi dan penstabil sistem emulsi mengingat kemampuannya dalam
berikatan dengan air dan lemak. Produk pangan yang umumnya diproduksi
dengan tambahan gelatin antara lain permen, es krim, jelly, dan daging kaleng.
Kemampuan gelatin untuk meningkatkan nilai guna suatu produk dimanfaatkan
oleh industri pangan, industri farmasi, kosmetika dan kimia. Industri farmasi
umumnya menggunakan gelatin sebagai bahan baku dalam pembuatan kapsul
sedangkan industri kimia menggunakan gelatin dalam pembuatan perekat (lem)
dan film untuk fotografi
         Salah satu proses penting dalam pembuatan gelatin adalah ekstraksi.
Proses ekstraksi termasuk dalam proses utama dikarenakan selama proses ini
berlangsung terjadi denaturasi serat kolagen menjadi gelatin. Semakin efektif dan
efisien proses ekstraksi yang dilakukan maka akan semakin baik pula kualitas
gelatin yang akan didapatkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang
hal-hal yang dapat memaksimalkan proses ekstraksi. Penelitian ini menggunakan
metode perendaman (liming) bahan baku kulit sapi dalam kondisi basa. Hal ini
didasarkan pada kondisi kulit yang dijadikan sebagai bahan baku. Kulit diperoleh
dari sapi dewasa (2-3 tahun) dengan kondisi kolagen yang sudah tua (US Patent
5877287). Kolagen yang tua mempunyai susunan ikatan triple helix yang lebih
rapat dan kompleks akibatnya membutuhkan basa agar proses hidrolisis kolagen
menjadi gelatin lebih optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
perlakuan perbandingan kulit-air serta pemberian interval agitasi yang berbeda
pada proses pembuatan gelatin tipe B dari kulit sapi menggunakan metode
ekstraksi basa. Karakteristik produk gelatin hasil penelitian yang diukur antara
lain; rendemen, kadar air, kadar abu, warna, kekuatan gel, viskositas, dan
stabilitas emulsi.
         Ekstraksi dilakukan pada 4 tingkat perbandingan kulit-air yaitu ; 1 :1, 1:2,
1:3, dan 1: 4 dengan interval agitasi di tiap 10, 20, dan 30 menit. Agitasi
dilakukan dengan kecepatan putaran 50 rpm dan lama putaran 3 menit setiap kali
berputar. Ekstraksi dilakukan dengan 5 tahap dengan suhu dan lama masing-
masing: tahap I (55 OC, 5 jam), tahap II (65 OC, 4 jam), tahap III ( 75 OC, 3 jam),
tahap IV (85 OC, 2 jam) , dan tahap V (95 OC, 1 jam). Pengamatan pengaruh
kedua perlakuan (perbandingan kulit-air serta interval agitasi) terhadap beberapa
parameter gelatin menunjukkan bahwa kedua perlakuan tidak memberikan pola
kecenderungan tertentu. Dengan kata lain tidak ada tren khusus (naik atau turun)
pada parameter yang diamati akibat dari peningkatan atau penurunan kuantitas
perlakuan yang diberikan.
         Kisaran nilai rendemen yang didapatkan dari penelitian ini adalah 6,46 –
13,11%,. Pengukuran warna gelatin hasil penelitian menggunakan chromameter
didapatkan kisaran notasi L 55,49-58,90 (cerah) dan notasi b 39,74-41,68
(kuning). Nilai kadar air gelatin hasil penelitian berada pada kisaran 8,82-12,74 %
dengan nilai kadar abu berada pada kisaran 2,89-3,89 (% bk). Pengukuran nilai
kekuatan gel, viskositas, dan stabilitas emulsi gelatin hasil penelitian didapatkan
nilai masing-masing berada pada kisaran 115– 280 bloom, 5 – 18 cP dan 50,71-
59,62%.
       Mutu gelatin hasil penelitian jika dinilai berdasarkan United States Patent
(1999), yang termasuk gelatin kualitas tinggi adalah sampel gelatin A1B2, A2B3,
dan A4B1. Sampel gelatin yang termasuk gelatin kualitas sedang adalah A1B1,
A1B3, A2B1, A2B2, A3B1, A3B2, A3B3, dan A4B2. Terdapat satu sampel yang
termasuk gelatin kualitas rendah yaitu sampel A4B3. Penilaian ini menunjukkan
bahwa sebagian besar sampel gelatin merupakan gelatin dengan kualitas sedang.


       .
STUDI EKSTRAKSI PADA PROSES PEMBUATAN
    GELATIN TIPE B DARI KULIT SAPI




                    Skripsi
     Sebagai syarat untuk memperoleh gelar
    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
   pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
          Fakultas Teknologi Pertanian
            Institut Pertanian Bogor




                     Oleh
                   HASAN
                  F24101107




                     2007
   FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
      INSTITUT PERTANIAN BOGOR
                   BOGOR
STUDI EKSTRAKSI PADA PROSES PEMBUATAN
                 GELATIN TIPE B DARI KULIT SAPI




                                    Skripsi
                  Sebagai syarat untuk memperoleh gelar
                SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
               pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
                       Fakultas Teknologi Pertanian
                            Institut Pertanian Bogor




                                     Oleh
                                   HASAN
                                  F24101107


            Dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1982 di Jakarta
                    Tanggal Lulus : 27 Desember 2006


                                 Menyetujui,
                              Bogor , April 2007




Dr. Ir. Sugiyono, MApp.Sc                              Ir. Irshan Zainudin,M.Si
   Dosen Pembimbing I                                   Dosen Pembimbing II




                          Dr. Dahrul Syah, MSc
               Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP


                        HASAN lahir di Jakarta, 14 Februari 1982. Penulis
                 merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara pasangan
                 Bapak H. Abdul Hamid (alm) serta Ibu Hasanah. Pendidikan
                 dari sekolah dasar hingga sekolah menengah umum diselesaikan
                 di Jakarta yaitu SDN 05 Pagi Jakarta Utara, SLTPN 244 Jakarta
Utara, dan SMUN 52 Jakarta Utara.
        Tahun 2001 penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Institut Pertanian Bogor melalui UMPTN. Selama menempuh pendidikan, penulis
aktif mengikuti organisasi kemahasiwaan di Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat
Persiapan Bersama IPB (BEM TPB IPB 2001-2002), Pendiri UKM Klip (2002),
Badan Pengawas HIMITEPA (2002-2003), staf divisi profesi HIMITEPA (2003-
2004), menjadi asisten mata kuliah Pengawasan Mutu dan Mata Kuliah
Pendidikan Agama Islam. Penulis menyelesaikan kuliah di IPB dengan skripsi
berjudul ” Studi Ekstraksi Pada Proses Pembuatan Gelatin Tipe B Dari Kulit
Sapi”
KATA PENGANTAR


         Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Ta’ala Rabb Semesta Alam atas
nikmat Iman, nikmat Islam, dan nikmat sehat wal afiat sehingga penulis bisa
merampungkan amanah besar ini. Shalawat serta salam penulis sampaikan pada
Guru Besar dalam ilmu penghambaan pada sang Khalik, junjungan seluruh umat
manusia, dialah Muhammad Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam. Shalawat
serta salam juga penulis sampaikan pada seluruh keluarga Beliau, Sahabat,
Tabi’in serta seluruh umat manusia yang mengikuti ajarannya sampai hari akhir
kelak.
         Penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala
dukungan, arahan, dan doa sehingga skripsi ini akhirnya bisa diselesaikan. Terima
kasih penulis sampaikan pada;
1. Almarhum Ayahanda dan Ibunda, serta semua Kakak serta Adikku anggota
   Keluarga Besar Hamid (Muliani, Abdullah, Nurbani,. Jihan, Husain,
   Rahmatiah, Muslim, dan Mei Muna). Semoga Allah Ta’alla selalu
   memberikan rasa kasih dan sayang diantara kita semua serta menjaga kita
   semua dari siksaan api neraka.
2. Bapak Dr. Ir Sugiyono, M.App Sc selaku dosen pembimbing pertama yang
   sudah dengan sabar memberikan arahan, dukungan, serta ilmu selama penulis
   menempuh studi di almamater ini. Semoga Allah membalas semua kebaikan
   Bapak dengan sesuatu yang lebih baik.
3. Bapak Ir. Irshan Zainuddin, Msi selaku dosen pembimbing kedua atas semua
   dukungan moril, motivasi, serta pembiayaan selama penulis menyelesaikan
   penelitian ini.
4. Bapak Dr. Ir. Djoko Hermanianto yang telah bersedia menjadi dosen penguji
   pada ujian skripsi penulis
5. Bapak Ir. Harianto Msi, Ir. Suharjito MSi, dan Bapak Ir. M. Jusuf Djafar MM
   selaku tim proyek penelitian gelatin BPPT.
6. Bapak Ir. Gigih Atmaji selaku Kepala Laboratorium Teknologi Agroindustri
   yang telah memberikan izin penggunaan Laboratorium.
7. Mbak Tuti, Mas Dedi, Mas Budi, Mas Sofyan, Kak Encep yang telah
   menemani dan membantu secara teknis penelitian di laboratorium.
8. Fajri Helmi “Adjie” (Hortikultura 41) yang banyak membantu dalam
   penyediaan fasilitas kepada penulis.


Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak.


                                                            Bogor, April 2007


                                                                     Penulis
Hasan. F24101107. Studi Ekstraksi Pada Proses Pembuatan Gelatin Tipe B Dari
Kulit Sapi. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc dan Ir. Irshan
Zainudin,M.Si.


                                 RINGKASAN

       Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh perlakuan perbandingan
kulit-air sertal pemberian interval agitasi yang berbeda pada proses pembuatan
gelatin tipe B dari kulit sapi menggunakan metode ekstraksi basa. Beberapa
parameter yang diamati antara lain; rendemen, warna, kadar air, kadar abu,
kekuatan gel, viskositas, dan stabilitas emulsi. Alat ekstraksi yang digunakan
adalah ekstraktor yang didesain oleh Laboratorium Teknologi Agroindustri Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (LTA-BPPT) Serpong.
       Ekstraksi dilakukan pada 4 tingkat perbandingan kulit-air yaitu ; 1 :1, 1:2,
1:3, dan 1: 4 dengan interval agitasi di tiap 10, 20, dan 30 menit. Agitasi
dilakukan dengan kecepatan putaran 50 rpm dan lama putaran 3 menit setiap kali
berputar. Ekstraksi dilakukan dengan 5 tahap dengan suhu dan lama masing-
masing: tahap I (55 OC, 5 jam), tahap II (65 OC, 4 jam), tahap III ( 75 OC, 3 jam),
tahap IV (85 OC, 2 jam) , dan tahap V (95 OC, 1 jam).
       Pengamatan pengaruh kedua perlakuan (perbandingan kulit-air serta
interval agitasi) terhadap beberapa parameter gelatin menunjukkan bahwa kedua
perlakuan tidak memberikan pola kecenderungan tertentu. Dengan kata lain tidak
ada tren khusus (naik atau turun) pada parameter yang diamati akibat dari
peningkatan atau penurunan kuantitas perlakuan yang diberikan.
       Kisaran nilai rendemen yang didapatkan dari penelitian ini adalah 6,46 –
13,11%,. Pengukuran warna gelatin hasil penelitian menggunakan chromameter
didapatkan kisaran notasi L 55,49-58,90 (cerah) dan notasi b 39,74-41,68
(kuning). Nilai kadar air gelatin hasil penelitian berada pada kisaran 8,82-12,74 %
dengan nilai kadar abu berada pada kisaran 2,89-3,89 (% bk). Pengukuran nilai
kekuatan gel, viskositas, dan stabilitas emulsi gelatin hasil penelitian didapatkan
nilai masing-masing berada pada kisaran 115– 280 bloom, 5 – 18 cP dan 50,71-
59,62%.
       Mutu gelatin hasil penelitian jika dinilai berdasarkan United States Patent
(1999), yang termasuk gelatin kualitas tinggi adalah sampel gelatin A1B2, A2B3,
dan A4B1. Sampel gelatin yang termasuk gelatin kualitas sedang adalah A1B1,
A1B3, A2B1, A2B2, A3B1, A3B2, A3B3, dan A4B2. Terdapat satu sampel yang
termasuk gelatin kualitas rendah yaitu sampel A4B3. Penilaian ini menunjukkan
bahwa sebagian besar sampel gelatin merupakan gelatin dengan kualitas sedang.
DAFTAR ISI


                                                                                                        Halaman
KATA PENGANTAR......................................................................                     i
DAFTAR ISI.....................................................................................          iii
DAFTAR TABEL..............................................................................               v
DAFTAR GAMBAR.........................................................................                   vi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................                     vii
     I. PENDAHULUAN..................................................................                    1
          A. LATAR BELAKANG......................................................                        1
          B. TUJUAN PENELITIAN..................................................                         3
     II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................                      4
          A. KULIT...............................................................................        4
          B. KOLAGEN........................................................................             4
          C. GELATIN...........................................................................          6
          D. PERUBAHAN KOLAGEN MENJADI GELATIN..........                                                 10
          E. PERUBAHAN GELATIN MENJADI GEL .....................                                         11
          F. PROSES PEMBUATAN GELATIN .................................                                  12
 III.     METODOLOGI .......................................................................             15
          A. BAHAN DAN ALAT ........................................................                     15
          B. WAKTU DAN TEMPAT ..................................................                         16
          C. METODE PENELITIAN ...................................................                       16
 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................                             22
          A. PENELITIAN PENDAHULUAN .....................................                                22
          B. PENELITIAN UTAMA .....................................................                      23
                1. Rendemen .....................................................................        23
                2. Warna ...........................................................................     24
                3. Kadar Air Gelatin Kering...............................................               28
                4. Kadar Abu ....................................................................        30
                5. Kekuatan Gel .................................................................        31
                6. Viskositas .......................................................................    34
               7. Stabilitas Emulsi .............................................................        35
V.     KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................                      38
      A. KESIMPULAN ........................................................................          38
      B. SARAN ....................................................................................   38
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................            39
LAMPIRAN .........................................................................................    43
DAFTAR TABEL


                                                                                                   Halaman
Tabel 1. Data impor gelatin Indonesia tahun 1998 – 2005 .......................                     1
Tabel 2. Jumlah pemotongan sapi dan potensi kulit split .........................                   2
Tabel 3. Penyebaran kolagen dalam jaringan hewan mamalia .................                          5
Tabel 4. Perbedaan sifat gelatin berdasarkan tipe ....................................              7
Tabel 5. Standar mutu gelatin berdasarkan Standar Nasional Indonesia
          No. 06-3735 tahun 1995 dan British Standard : 757
           tahun 1975 …………………………………………………….. 8
Tabel 6. Tahapan proses ekstraksi kolagen secara bertingkat dalam
           menghasilkan gelatin .................................................................. 13
Tabel 7. Suhu dan waktu yang digunakan di setiap tahap ekstraksi
           penelitian pendahuluan ..............................................................    16
Tabel 8. Volume filtrat ekstraksi pada penelitian pendahuluan..………...                               22
DAFTAR GAMBAR




                                                                                               Halaman
Gambar 1. Susunan molekul tropokolagen pada fibril kolagen.................                          5
Gambar 2. Perubahan kolagen menjadi gelatin .......................................... 11
Gambar 3. Ekstraktor ................................................................................. 15
Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan gelatin dari kulit split............                         18
Gambar 5. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
               rendemen gelatin sampel............................................................ 23
Gambar 6. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
               notasi L sampel gelatin .............................................................. 25
Gambar 7. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
               notasi b sampel gelatin .............................................................. 27
Gambar 8. Bubuk Sampel Gelatin ............................................................... 28
Gambar 9. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
               kadar air sampel gelatin ............................................................. 29
Gambar 10. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
               kadar abu sampel gelatin ........................................................... 31

Gambar 11. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
               kekuatan gel sampel gelatin ....................................................... 33

Gambar 12. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
               viskositas sampel gelatin .......................................................... 34

Gambar 13. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
               stabilitas emulsi sampel gelatin ................................................. 36



               .
DAFTAR LAMPIRAN




                                                                                             Halaman
Lampiran 1. Nilai Rata-Rata Rendemen (%) Pada Setiap Perlakuan............ 43
Lampiran 2. Diagram Kromatisitas ...............................................................43
Lampiran 3. Nilai Rata-Rata Notasi L Pada Setiap Perlakuan..................... 44
Lampiran 4. Nilai Rata-Rata Notasi b Pada Setiap Perlakuan...................... 44
Lampiran 5. Nilai Rata-rata Kadar Air (%bk) Pada Setiap Perlakuan ........ 44
Lampiran 6. Nilai Rata-Rata Kadar Abu (%) Pada Setiap Perlakuan............45
Lampiran 7. Nilai Rata-Rata Kekuatan Gel (bloom)
                Pada Setiap Perlakuan .......................................................... 45
Lampiran 8. Nilai Rata-Rata Viskositas (cP) Pada Setiap Perlakuan.......... 45
Lampiran 9. Nilai Rata-Rata Stabilitas Emulsi (%)
                Pada Setiap Perlakuan............................................................... 46
I. PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
        Gelatin merupakan molekul polipeptida dengan bobot molekul tinggi
  yang berasal dari kolagen yang merupakan komponen utama penyusun
  jaringan hewan (kulit, tulang, dan tendon). Gelatin umumnya digunakan
  sebagai bahan      pengemulsi   dan   penstabil   sistem emulsi    mengingat
  kemampuannya dalam berikatan dengan air dan lemak. Produk pangan yang
  umumnya diproduksi dengan tambahan gelatin antara lain permen, es krim,
  jelly, dan daging kaleng. Kemampuan gelatin untuk meningkatkan nilai guna
  suatu produk dimanfaatkan oleh industri pangan, industri farmasi, kosmetika
  dan kimia. Industri farmasi umumnya menggunakan gelatin sebagai bahan
  baku dalam pembuatan kapsul sedangkan industri kimia menggunakan gelatin
  dalam pembuatan perekat (lem) dan film untuk fotografi.
       Selama ini untuk menutupi kebutuhan gelatin dalam negeri, industri
  pangan mendapatkannya melalui impor dari negara-negara Eropa, China, dan
  Amerika. Mulai tahun 1998 sampai tahun 2001 jumlah impor gelatin
  cenderung meningkat. Pada tahun 2002 nilai impor menurun dan kembali
  meningkat pada tahun 2003. Data impor gelatin di Indonesia dapat dilihat
  pada Tabel 1.


     Tabel 1. Data impor gelatin Indonesia tahun 1998 - 2005
          Tahun              Bobot (kg)               Nilai (US $)
           1998              1. 851. 328              6. 781. 735
           1999              2. 371. 738              9. 059. 440
           2000              3. 418. 383              10. 555. 489
           2001              4. 291. 579              10. 749. 199
           2002              2. 144. 372              6. 801. 882
           2003              2. 145. 916              8. 001. 714
           2004              2. 630. 692              8. 063. 802
      Jan- Mei 2005          1. 213. 111              4. 215. 779
    Sumber : BPS (2005)


       Ketergantungan Indonesia terhadap gelatin impor setiap tahun pada
  dasarnya dapat dikurangi. Jumlah ketersediaan kulit di Indonesia cukup
melimpah. Jumlah ini berasal dari industri penyamakan kulit yang ada di
Indonesia. Industri penyamakan kulit menghasilkan limbah industri yang
cukup besar, khususnya limbah yang tergolong pada kelompok kulit split.
Kulit split adalah kulit yang telah mengalami proses splitting yaitu
pembelahan kulit menjadi dua lapisan atau lebih untuk memperoleh tebal yang
dikehendaki. Hasil samping kulit dari proses ini bisa mencapai sampai 11,5 %
dari bahan baku kulit mentah yang diproses (BPS, 1998). Jumlah pemotongan
sapi di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 1.789.849, sehingga ketersediaan
jumlah kulit split dari sapi potong di Indonesia tahun 2003 adalah sebesar
4.322.485,33 kg (BPS, 2003). Data pemotongan sapi dan potensi kulit split
disajikan pada Tabel 2.


Tabel 2. Jumlah pemotongan sapi dan potensi kulit split
   Tahun       Jumlah Pemotongan (ekor)        Bobot Kulit Split (Kg) *
    1999                  1. 664. 396               4. 019. 516, 34
    2000                  1. 695. 374               4. 094. 328, 21
    2001                  1. 784. 036               4. 308. 446, 94
    2002                  1. 662. 833               4. 015. 741, 69
    2003                  1. 789. 849               4. 322. 485, 33
Keterangan : * Data diperoleh dari bobot sapi (300 Kg) x 7 % x 11.5 %
Sumber     : Badan Pusat Statistik (2003)



     Selain itu, ketergantungan terhadap impor gelatin dapat memberikan
beberapa konsekuensi, antara lain harga gelatin impor yang beredar di pasaran
menjadi relatif mahal serta status kehalalannya yang masih belum jelas. Lebih
dari 80 % gelatin yang diproduksi di luar negeri adalah berasal dari daging
babi dan ditegaskan oleh Glicksmann (1969) bahwa umumnya gelatin yang
diproduksi oleh Amerika Serikat adalah dari daging babi yang dibekukan dan
diproduksi secara asam.
       Salah satu proses penting dalam pembuatan gelatin adalah ekstraksi.
Proses ekstraksi termasuk dalam proses utama dikarenakan selama proses ini
berlangsung terjadi denaturasi serat kolagen menjadi gelatin. Semakin efektif
dan efisien proses ekstraksi yang dilakukan maka akan semakin baik pula
  kualitas gelatin yang akan didapatkan. Oleh karena itu perlu dilakukan
  penelitian tentang hal-hal yang dapat memaksimalkan proses ekstraksi.
          Penelitian ini menggunakan metode perendaman (liming) bahan baku
  kulit sapi dalam kondisi basa. Hal ini didasarkan pada kondisi kulit yang
  dijadikan sebagai bahan baku. Kulit diperoleh dari sapi dewasa (2-3 tahun)
  dengan kondisi kolagen yang sudah tua (US Patent 5877287). Kolagen yang
  tua mempunyai susunan ikatan triple helix yang lebih rapat dan kompleks
  akibatnya membutuhkan basa agar proses hidrolisis kolagen menjadi gelatin
  lebih optimal.


B. TUJUAN PENELITIAN
          Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan
  perbandingan kulit-air serta pemberian interval agitasi yang berbeda pada
  proses pembuatan gelatin tipe B dari kulit sapi menggunakan metode ekstraksi
  basa.
II. TINJAUAN PUSTAKA



A. KULIT (Hides)

        Kulit merupakan hasil samping dari pemotongan hewan yang berupa
  organ tubuh bagian terluar yang dipisahkan dari tubuh pada saat proses
  pengulitan. Kulit tersebut merupakan bahan mentah kulit samak, berupa
  tenunan dari tubuh hewan yang terbentuk dari sel-sel hidup (Djojowidagdo,
  1981). Kulit mentah dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok kulit yang
  berasal dari hewan besar seperti sapi, kerbau, dan lain-lain, yang dalam istilah
  asing disebut hides, dan kelompok kulit yang berasal dari hewan kecil seperti
  kambing, kelinci, dan lain-lain yang dalam istilah asing disebut skins
  (Purnomo, 1985).     Kulit hewan besar lebih banyak mengandung protein,
  lemak, dan khitin dibanding kulit hewan kecil (Akademi Teknologi Kulit,
  1984).
       Komposisi kimia kulit hewan segar terdiri atas 64 % air, 33% protein,
  2 % lemak, 0.5% mineral, dan 0.5% substansi lain. Protein kulit sebesar 33%
  disusun oleh 29 % kolagen, 2% keratin, 0.3% elastin, 1% albumin, dan
  globulin serta 0.7% mucin dan mucoid (Sharphouse, 1978).
       Komposisi kimia kulit hewan pada umumnya secara kimia dapat dibagi
  atas dua golongan, yaitu bagian non protein dan protein. Bagian non protein
  terdiri dari lipid, karbohidrat, enzim, vitamin dan mineral. Bagian protein dapat
  dibedakan dalam dua bentuk, yaitu protein yang berbentuk serat (fibrous
  protein) dan protein yang tidak berbentuk serat (globular protein). Protein yang
  tidak berbentuk serat adalah albumin dan globulin, sedangkan protein yang
  berbentuk serat adalah kolagen, elastin dan keratin (Purnomo, 1985).


B. KOLAGEN
           Kolagen merupakan komponen struktural utama pada serat-serat
   jaringan pengikat, berwarna putih dan terdapat di dalam semua jaringan dan
   organ hewan dan berperan penting dalam penyusun bentuk tubuh. Pada
   mamalia, kolagen terdapat pada kulit, tendon, tulang rawan dan jaringan ikat
lainnya. Jumlahnya mencapai 30% dari jumlah protein total yang terdapat
dalam hewan vertebrata dan invertebrata (Ward dan Courts, 1977).
Kandungan kolagen di setiap bagian tubuh mamalia disajikan pada Tabel 3,
dengan bagian kulit sebagai bagian yang mengandung kolagen tertinggi,
mencapai 89% dibandingkan jenis jaringan lainnya.


        Tabel 3. Penyebaran kolagen dalam jaringan hewan mamalia
   Jenis jaringan      Kolagen (%)    Jenis jaringan     Kolagen (%)
Kulit                      89        Usus Besar              18
Tulang                     24        Lambung                 23
Tendon                     85        Ginjal                   5
Aorta                      23        Hati                     2
Otot                        2
Sumber : Ward dan Courts (1977)

        Unit dasar penyusun kolagen adalah tropokolagen yang diperkirakan
terdiri atas tiga rantai heliks polipeptida (Gambar 1) yang saling mengelilingi
(berpilin) satu sama lain membentuk sebuah coil (gulungan), memiliki
panjang dan diameter, masing-masing 3.000 Ǻ dan 14 Ǻ (Glicksman, 1969).




       Gambar 1. Susunan molekul tropokolagen pada fibril kolagen
                 (Lehninger, 1993)

        Disamping pelarut alkali, kolagen juga larut dalam pelarut asam,
sehingga kedua pelarut ini dimungkinkan untuk digunakan dalam proses
produksi gelatin (Bennion, 1980). Dibawah mikroskop, jaringan tersebut
tampak sebagai serat putih buram yang dikelilingi oleh protein lain dan
  mucopolysaccharida (Poppe, 1992). Perlakuan alkali dan asam menyebabkan
  kolagen mengembang dan menyebar. Pemanasan kolagen secara bertahap
  akan menyebabkan struktur rusak dan rantai-rantai akan terpisah. Bentuk
  konformasi larutan kolagen sangat sensitif terhadap perubahan temperatur
  yang dapat menghancurkan makromolekulnya (Wong, 1989).


C. GELATIN
       Gelatin adalah protein dari kolagen kulit, membran, tulang dan bagian
  tubuh berkolagen lainnya. Jika gelatin mendapat perlakuan perendaman dalam
  air maka gelatin akan mengembang dan menjadi lunak, dan berangsur-angsur
  menyerap air 5-10 kali bobot gelatin. Gelatin larut dalam air panas dan jika
  didinginkan (48 OC ) akan membentuk gel (Anonim, 1978).
       Menurut Carley (1982), gelatin merupakan senyawa turunan yang
  dihasilkan dari serabut kolagen jaringan penghubung yang dihidrolisis dengan
  asam atau basa. Ditambahkan oleh Imeson (1985), bahwa gelatin merupakan
  salah satu hidrokoloid yang dapat digunakan sebagai bahan pembentuk gel
  (gelifying agent), bahan pengental (thickening agent), atau bahan penstabil
  (stabilizer). Gelatin berbeda dengan hidrokoloid lainya karena pada umumnya
  hidrokoloid adalah merupakan polisakarida sedangkan gelatin sendiri adalah
  senyawa protein. Hal inilah yang menjadikan gelatin mempunyai kemampuan
  untuk reversibel.
       Gelatin termasuk kedalam zat yang bersifat amfoter, mempunyai gugus
  asam (karboksil) dan gugus basa (amina). Gelatin mudah larut dalam gliserol,
  manitol, dan propilen. Gelatin tidak larut dalam alkohol, aseton, dan pelarut
  non polar lainnya (King di dalam Glicksmann, 1969).
       Gelatin bukanlah merupakan protein lengkap. Hal ini disebabkan karena
  tidak adanya asam amino esensial triptofan. Namun gelatin mengandung
  sejumlah kecil asam amino yang jarang yaitu hidroksilisin. Secara kimiawi
  komposisi asam amino gelatin mamalia hampir tetap. Perbedaan karakteristik
  kimia yang terjadi adalah sebagai hasil perbedaan perlakuan pada tahap awal.
Gelatin hasil perlakuan basa (tipe B) dan perlakuan asam (tipe A) mengalami
 perbedaan hidrolisis gugus amida primer yang dibentuk.
       Gelatin tipe A umumnya diperoleh dari bahan baku kulit babi atau
 ternak yang masih muda. Babi atau ternak yang masih muda mempunyai
 rantai triple helix yang lebih sederhana. Sedangkan gelatin tipe B umumnya
 diperoleh dari kulit atau tulang sapi dewasa karena kandungan kolagennya
 yang sudah tua. Kolagen yang tua mempunyai rantai triple helix yang lebih
 rapat dan kompleks sehingga umumnya digunakan basa saat perendaman agar
 hidrolisis kolagen menjadi gelatin lebih optimal. (US Patent 5877287).
 Perbedaan sifat gelatin berdasarkan tipenya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbedaan sifat gelatin berdasarkan tipe
             Sifat                    Tipe A                   Tipe B
 Kekuatan gel ( bloom)              50,0 – 300,0             50,0 – 300,0
 Viskositas (cP)                     1,50 – 7,50             2,00 – 7,50
 Kadar abu (%)                       0,30 – 2,00             0,50 – 2,00
 pH                                  3,80 – 6,00             5,00 – 7,10
 Titik isoelektrik                   7,00 – 9,00             4,70 – 5,40
Sumber : GMIA (2001)

      Sifat fisik maupun kimia gelatin tergantung dari kualitas bahan baku, pH,
 keberadaan zat-zat organik, metode ekstraksi, suhu dan konsentrasi (Parker,
 1982). Bentuk gelatin yang beredar di pasaran terdiri dari dua bentuk yaitu
 gelatin yang tidak memiliki rasa apapun (plain atau unflavoured) dan gelatin
 yang memiliki rasa tertentu (flavoured). Gelatin flavoured mengandung
 gelatin, gula asam sitrat, rasa tertentu dan warna (Gates, 1981)
      Menurut Ward dan Courts (1977), gelatin larut dalam air minimal pada
 suhu 49°C, atau biasanya berada pada suhu 60°C sampai 70°C. Gelatin tidak
 larut dalam air dingin, tetapi hanya akan mengembang. Perendaman dalam air
 dingin menjadikan gelatin lunak dan berangsur-angsur menyerap air 5 sampai
 10 kali bobotnya (King, 1969). Ketika gelatin dipanaskan pada suhu di atas
 titik lelehnya, gelatin akan mencair dan dapat kembali membentuk gel apabila
 didinginkan.
      Titik leleh gelatin adalah antara 27°C hingga 34°C dan dapat meleleh di
 dalam mulut. Karakteristik di atas sangat diharapkan oleh berbagai industri
pangan (Poppe,1992). Winarno (1997) menambahkan saat pemanasan, daya
 tarik menarik antara molekul air berkurang sehingga memberikan energi bagi
 untuk mengatasi daya tarik menarik molekul yang larut pada air, dengan
 demikian daya larut molekul yang dilarutkan dalam air akan meningkat
 dengan meningkatnya suhu air.
       Warna gelatin tergantung pada bahan baku yang digunakan, metode
 pembuatan dan jumlah ekstraksi. Secara umum, warna gelatin tidak
 mempengaruhi kegunaannya (Glicksman,1969). Standar mutu gelatin
 disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Standar mutu gelatin berdasarkan standar nasional Indonesia
         No. 06-3735 tahun 1995 dan British Standard : 757 tahun 1975
  Karakteristik                 SNI No. 06-3735a             British Standard 757b
  Warna               Tidak berwarna sampai kekuningan       Kuning pucat
  Bau, rasa           Normal                                             -
  Kadar air           Maksimum 16%                                       -
  Kadar abu           Maksimum 3,25%                                     -
  Kekuatan gel              -                                50-300 bloom
  Viskositas                -                                15-70 mps atau 1,5-7 cP
  pH                        -                                4,5-6,5
  Logam berat         Maksimum 50 mg/kg                                  -
  Arsen               Maksimum 2 mg/kg                                   -
  Tembaga             Maksimum 30 mg/kg                                  -
  Seng                Maksimum 100 mg/kg                                 -
  Sulfit              Maksimum 1000 mg/kg                                -
 Sumber : a) Dewan Standarisasi Nasional (SNI 06.3735-1995)(1995)
           b) British Standard : 757 (1975)

       United States Patent (1999) menggolongkan mutu gelatin menjadi tiga
kelas berdasarkan kekuatan gelnya. Gelatin dengan kekuatan gel >240 bloom
termasuk gelatin kualitas tinggi, gelatin dengan kekuatan gel 120-240 termasuk
gelatin kualitas sedang, dan gelatin dengan kekuatan gel < 120 bloom termasuk
gelatin kualitas rendah.
       Menurut Fardiaz (1989), molekul-molekul gelatin mengandung tiga
kelompok asam amino yang tinggi, yaitu sekitar sepertiganya terdiri dari residu
asam amino glisin atau alanin, hampir seperempatnya terdiri atas asam amino
basa atau asam, dan seperempatnya lagi merupakan asam amino prolin dan
hidroksiprolin. Proporsi yang tinggi dari residu polar ini membuat molekul
gelatin mempunyai afinitas yang sangat tinggi terhadap air. Oleh karena
proporsi yang tinggi dari residu prolin dan hidroksiprolin, molekul-molekul
gelatin tidak mampu untuk berlilit membentuk coil helix seperti halnya pada
kebanyakan molekul protein, sebaliknya molekul-molekul gelatin ini
membentuk molekul yang panjang dan tipis, suatu sifat yang sangat
menguntungkan dalam proses pembentukan gel.
   Industri pangan dan non pangan menggunakan gelatin untuk berbagai
tujuan. Jones (1977) mengemukakan beberapa kelebihan yang dimiliki oleh
gelatin sehingga digunakan oleh banyak industri makanan. Kemampuan gelatin
untuk memperhalus dan menimbulkan struktur gel yang kenyal digunakan oleh
industri pangan sebagai bahan tambahan pada produk-produk olahan daging
seperti sosis. Kemampuan lain yang dimiliki oleh gelatin adalah mampu
menimbulkan tampilan yang lebih menarik karena adanya lapisan berwarna
bening. Kemampuan gelatin ini dimanfaatkan oleh industri selai. Produk-
produk selai juga memanfaatkan gelatin karena kemampuannya untuk
melindungi produk dari sinar dan oksigen sehingga bisa lebih awet.
   Berbagai produk permen dan coklat memanfaatkan gelatin untuk membuat
produk permen dan coklat menjadi lebih lembut dan kenyal. Gelatin
ditambahkan pada produk es krim karena kemampuannya yang mampu
mencegah pembentukan kristal-kristal es yang besar sehingga tekstur es krim
lebih lembut. Industri gelatin menggunakan gelatin sebagai bahan penjernih
dan penyerap zat-zat yang dapat menyebabkan minuman menjadi berembun.
Embun pada produk-produk minuman dapat menimbulkan kesan kotor pada
wadahnya.
     Industri non pangan khususnya farmasi menggunakan gelatin pada
produk kapsul yang menjadikan kapsul menjadi lebih mudah ditelan. Produk
lain di dunia farmasi yang menggunakan gelatin antara lain adalah obat tablet.
Gelatin ditambahkan pada obat-obat berbentuk tablet karena kemampuannya
untuk mengawetkan kandungan zat dalam obat tablet tersebut. Industri
fotografi menggunakan gelatin yang sudah dicampur kristal perak halida untuk
melapisi lembaran film. Kristal perak halida menjadi lebih stabil terhadap sinar
 jika dilarutkan terlebih dahulu pada larutan gelatin.


D. PERUBAHAN KOLAGEN MENJADI GELATIN

       Prinsip utama dalam transformasi kolagen menjadi gelatin adalah dengan
 cara mendenaturasi kolagen yang terlarut. Denaturasi menggunakan suhu
 (thermal) dapat dilakukan dengan cara memanaskan kolagen dalam kondisi
 netral atau sedikit asam pada suhu 40°C (Poppe, 1992). Menurut Johns dan
 Curts (1977), cara paling mudah mengubah kolagen menjadi gelatin adalah
 melalui proses denaturasi kolagen pada air bersuhu 40°C.
       Kolagen akan terdisosiasi menjadi unit tropokolagen akibat kehilangan
 ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik yang membantu menstabilkan struktur
 helix pada kolagen. Langkah selanjutnya dalam hidrolisis kolagen adalah
 pemutusan ikatan intramolekul antara tiga rantai dalam struktur helix menjadi
 tiga rantai alpha, beta atau gamma.
       Perbedaan bentuk utama antara alpha, beta dan gamma terletak pada
 bobot molekulnya. Bobot molekul struktur alpha antara 80.000-125.000. Untuk
 struktur beta bobot molekul antara 160.000-250.000 dan rantai gamma
 memiliki bobot molekul 240.000-375.000 (Poppe, 1992), sedangkan menurut
 Lehninger (1993), kolagen akan terputus jika terkena asam kuat dan basa kuat
 dan akan mengalami transformasi dari bentuk untaian tidak larut dan tidak
 tercerna menjadi gelatin dalam air panas.
       Salah satu karakteristik serat kolagen adalah mengkerut/menciut ketika
 dipanaskan. Suhu pengerutan (Ts) berbeda untuk sumber kolagen dari spesies
 yang berbeda. Suhu pengerutan untuk kolagen dari kulit mamalia berkisar
 antara 60-65°C. Ketika kolagen dipanaskan dengan suhu diatas suhu
 pengerutannya (T>Ts), maka ikatan silang dari rantai triple helix pada kolagen
 akan terputus dalam jumlah yang sangat besar, sehingga struktur kolagen
 terpisah menjadi gulungan (coils) secara acak yang larut dalam air dan disebut
 sebagai gelatin (Belitz dan Grosch, 1999).
Berdasarkan konsentrasi dan suhu larutan gelatin, perubahan kolagen
 menjadi gelatin dan gelatin menjadi gel pada suhu rendah (cooling
 temperature) disajikan pada Gambar 2.




    Gambar 2. Perubahan kolagen menjadi gelatin (Belitz dan Grosch, 1999)


      Pada saat konsentrasi rendah (C1), struktur intramolekuler gelatin akan
 membentuk     untaian/ikatan-ikatan   tunggal   (single-strands).   Pada   saat
 konsentrasi tinggi (C2) dan proses pendinginan berjalan lambat (∆T1), struktur
 intramolekuler akan membentuk untaian/ikatan-ikatan seperti semula (pada
 kolagen), pada setiap konsentrasi tinggi dan proses berjalan cepat (∆T2), maka
 akan dihasilkan segmen-segmen helix dengan ikatan-ikatan secara acak pada
 setiap struktur gulungannya (coils) (Belitz dan Grosch, 1999).


E. PERUBAHAN GELATIN MENJADI GEL

      Gelatin merupakan suatu hidrokoloid, yaitu suatu polimer larut dalam air
 yang mampu membentuk koloid, mengentalkan larutan atau membentuk gel
 dari larutan tersebut. Pembentukan gel merupakan suatu fenomena
 penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer membentuk jalinan
 tiga dimensi yang kontinyu dan kaku yang tahan terhadap aliran di bawah
 tekanan. Pada waktu sol dari gelatin mendidih, konsistensinya menjadi lebih
 kental, dan selanjutnya akan terbentuk gel yang elastis. Pembentukan kristal,
 diperkirakan karena diagram sinar-X menunjukkan adanya bagian kristalin di
dalam sel gelatin. Molekul-molekul secara individu bergabung dalam lebih dari
 satu bentuk kristalin membentuk jalinan tiga dimensi yang menjerat cairan
 (Fardiaz, 1989).
         Gaya untuk mengikat molekul-molekul gelatin di dalam gel ini tidak
  diketahui. Meskipun demikian, ikatan-ikatan hidrogen dan gaya van der waals
  diperkirakan sebagai pengikatnya, mengingat sifat gel yang mudah mencair
  dan membentuk gel kembali dengan adanya perubahan suhu (Fardiaz, 1989).


E. PROSES PEMBUATAN GELATIN

      Gelatin dapat dibuat dengan berbagai bahan baku antar lain kulit dan
 tulang sapi, kulit domba, kulit sapi, dan tulang (ossein). Tipe gelatin yang
 dihasilkan dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe A dan tipe B. Gelatin tipe A
 adalah gelatin yang dihasilkan melalui proses perendaman asam sedangkan
 gelatin tipe B berasal dari perendaman basa.
      Proses utama pembuatan gelatin dibagi dalam tiga tahapan, yaitu
 persiapan bahan baku berupa penghilangan komponen non kolagen dengan
 atau tanpa pengurangan ikatan antara komponen kolagen, konversi kolagen
 menjadi gelatin, pemurnian dan perolehan gelatin dalam bentuk kering. Bahan
 baku (kulit atau tulang) awalnya dipotong-potong atau diberikan proses
 pengecilan ukuran. Pengecilan ukuran bahan baku diperlukan untuk
 memperluas permukaan bahan yang terendam dalam larutan sehingga proses
 ekstraksi dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna (Hinterwaldner, 1977).
      Proses pengapuran (liming) dilakukan untuk melunakkan kulit dan
 menghilangkan albumoid bagian luar seperti globulin, mukopolisakarida,
 albumin,   karoten   dan    pigmen-pigmen       (Glicksman,   1969).   Menurut
 Hinterwaldner (1977), proses liming            bertujuan untuk   merusak   atau
 memutuskan berbagai ikatan kimia yang masih ada dalam kolagen dan untuk
 menghilangkan atau mengurangi material lain yang tidak diinginkan, seperti
 protein lain dan karbohidrat. Selama proses liming, lemak dikonversi menjadi
 sabun-sabun basa yang terlarut.
      Menurut Glicksman (1969), kapur untuk perendaman basa ditambahkan
 ke dalam air perendam dengan jumlah secukupnya berkisar antara 5 hingga 15
% dari bobot bahan sehingga terbentuk larutan kalsium hidroksida. Proses
perendaman kulit dilakukan selama 3-12 minggu atau lebih tergantung pada
jenis bahan baku, suhu liming, perlakuan sebelumnya dan kapur yang
ditambahkan. Hinterwaldner (1977) menambahkan bahwa suhu proses liming
tidak boleh lebih dari 20°C jika ingin menghindari jumlah kolagen yang hilang
lebih banyak. Jika suhu liming terlalu rendah, maka proses liming akan berjalan
lambat sehingga membutuhkan waktu perendaman yang lebih lama.
      Proses liming yang tidak dilakukan dengan tepat dapat menyebabkan
kelarutan kolagen dalam basa. Hal ini dapat menurunkan rendemen gelatin
yang dihasilkan (Ward dan Courts, 1977). Hinterwaldner (1977) menyatakan
bahwa gelatin diperoleh dari bahan setelah perlakuan liming. Bahan tersebut
kemudian diekstraksi dengan air pada suhu tertentu. Proses ekstraksi multistage
merupakan salah satu proses produksi gelatin yang penting.
      Mutu gelatin yang diperoleh dipengaruhi oleh proses konversi (jenis
bahan baku dan lama proses ekstraksi). Metode yang digunakan untuk
pemutusan ikatan hidrogen dalam ekstraksi gelatin yaitu meningkatkan suhu
hingga titik penyusutan dicapai dan merendam kolagen dalam larutan pemutus
ikatan hidrogen pada suhu ruang. Proses ekstraksi dilakukan pada suhu 50 oC
hingga 100 oC. Tahapan proses ekstraksi kolagen secara bertingkat menjadi
gelatin disajikan pada Tabel 6.


 Tabel 6. Tahapan proses ekstraksi kolagen secara bertingkat
          dalam menghasilkan gelatin
   Ekstraksi      Waktu (jam)         Suhu (°OC)       Rendemen (%)
        1              4-9               55-65               5-10
        2              4-9               65-75               3-6
        3              4-6               75-85               3-6
        4              4-6               85-95               2-4
        5              2-4              95-100               1-2
                       Total                                14-28
 Sumber : Glicksman (1969)

      Menurut Hinterwaldner (1977) ekstraksi pertama biasanya dilakukan
pada suhu 50 oC sampai 60 oC, dimana untuk ekstraksi-ekstraksi selanjutnya
suhu ekstraksi dinaikkan 5 -10oC hingga ekstraksi terakhir suhunya mencapai
titik didih air. Ekstraksi dilakukan pada bejana stainless steel dibuka tanpa
tutup. Gillespie (1960) menambahkan degradasi gelatin terjadi sangat lambat
pada suhu 30-40°C, dengan peningkatan suhu (suhu di atas 40°C) akan
meningkatkan degradasi dan reaksi berlangsung sangat cepat. Menurut The
United Stated Patent (1993), total waktu ekstraksi pada keseluruhan ekstraksi
biasanya dilakukan pada kisaran waktu 10 sampai 20 jam. Namun sebaiknya
dilakukan pada waktu 16 jam atau kurang.
     Cara yang digunakan untuk menghilangkan zat-zat lain yang tidak larut
yang dapat mengurangi kemurnian gelatin adalah dengan melakukan
penyaringan. Filtrasi atau penyaringan larutan koloidal dapat dilakukan dengan
pemisahan secara kimiawi maupun pemisahan dengan penyaring. Pemisahan
secara kimiawi tidak biasa digunakan karena prosesnya mahal dan dapat
menyebabkan kerusakan kualitas larutan gelatin. Proses penyaringan lebih
efisien dengan memperhatikan sifat fisiko kimia, endapan-endapan partikel dan
suhu. Di bawah suhu 32°C gelatin membentuk gel rigid sehingga kekakuan
meningkat dengan peningkatan kandungan padatan filtrasi dilakukan pada suhu
tersebut atau di atasnya (Hinterwaldner, 1977).
     Hinterwaldner (1977) menyatakan bahwa evaporasi gelatin harus
memenuhi ketentuan seperti suhu evaporasi rendah (40-80 oC) , waktu kontak
antara larutan gelatin dengan panas singkat dan mencegah pembentukan buih.
Suhu yang digunakan harus di atas titik lelehnya dengan menggunakan
vacuum.
     Menurut Ward dan Courts (1977), proses pengeringan gelatin dapat
dilakukan dengan spray maupun roller dryer. Suhu pengeringan dilakukan
pada suhu 38 oC hingga 70 oC. Pengeringan merupakan proses yang dilakukan
dengan tujuan untuk mengurangi air dalam larutan gelatin.
III. METODE PENELITIAN


A. BAHAN DAN ALAT
           Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit sapi sisa
  (kulit split) hasil samping industri penyamakan kulit dari PT. Muhara
  Dwitunggal Laju yang berada di kecamatan Citeureup, Bogor. Bahan kimia
  yang digunakan antara lain kapur tohor (CaO) untuk proses liming, NH3SO4
  untuk netralisasi dan bahan-bahan lain untuk prosedur analisa karakter mutu.
  Sebagai bahan pembanding pada analisa mutu gelatin digunakan gelatin
  komersial (impor) tipe B yang diperoleh dari toko Setia Guna di Bogor
           Peralatan yang digunakan dibagi menjadi dua bagian yaitu :
  1. Peralatan untuk produksi
           Terdiri dari drum, alat pemotong kulit, mollen, ekstraktor (Gambar
    3), filter vakum, evaporator vakum, chiller, alat ekstrusi, alat pengering, dan
    blender.




                          Gambar 3. Ekstraktor

  2. Peralatan untuk analisa
           Peralatan yang digunakan antara lain desikator, pH meter,
   chromameter tipe Minolta CR 300, viscometer, termometer, rheoner RE
   3305, dan alat-alat lainnya yang digunakan pada prosedur analisa karakter
   mutu.
B. WAKTU DAN TEMPAT

          Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2005 hingga bulan Februari
  2006. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Agroindustri Badan
  Pengkajian dan Penerapan Teknologi (LTA-BPPT) yang terletak di kawasan
  Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK), Serpong,
  Tangerang; dan PT. Muhara Dwitunggal Laju, Kecamatan Citeureup, Bogor.


C. METODE PENELITIAN
  1. Penelitian Pendahuluan
          Aktivitas yang dilakukan pada penelitian pendahuluan adalah
     menentukan banyaknya tahap, waktu, serta suhu di tiap tahap ekstraksi.
     Dasar dari penentuan banyaknya tahap ekstraksi adalah pendapat
     Glicksman (1969) yang menyatakan bahwa proses ekstraksi kolagen
     menjadi gelatin dilakukan secara bertingkat. Ekstraksi yang dilakukan
     pada penelitian ini adalah dengan cara mencampur air dengan kulit sapi
     dengan perbandingan 1: 2. Campuran air dan kulit sapi dimasukkan dalam
     ekstraktor kemudian dipanaskan secara bertahap.
          Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan dua alternatif metode.
     Suhu dan waktu yang digunakan di setiap tahap ekstraksi dapat dilihat di
     Tabel 7.


     Tabel 7. Suhu dan waktu yang digunakan di setiap tahap ekstraksi
                 penelitian pendahuluan
        Tahap                  Metode I            Metode II
                             0                   0
       ekstraksi     Suhu ( C) Waktu (jam) Suhu ( C)    Waktu (jam)
       Tahap 1            55            5     55             4
       Tahap 2            65            4     65             4
       Tahap 3            75            3     75             4
       Tahap 4            85            2     85             4
       Tahap 5            95            1     95             4

          Melalui dua alternatif metode ini dicari metode yang menghasilkan
     rendemen gelatin yang tertinggi. Pemberian agitasi dilakukan dengan
     menggunakan agitator yang digerakkan oleh motor.
2. Penelitian Utama
          Aktivitas yang dilakukan pada penelitian utama adalah mengolah
   kulit sapi yang sudah disiapkan kemudian diproses hingga didapatkan
   bubuk gelatin kering. Langkah pertama dalam mengolah kulit sapi adalah
   melakukan pengecilan ukuran. Proses pengecilan ukuran (7 x 10 cm2)
   dilakukan untuk memudahkan proses pencucian dan perendaman kulit.
   Proses perendaman (liming) dilakukan agar serabut-serabut kolagen
   berubah menjadi serat-serat yang lebih kecil sehingga kulit menjadi
   longgar. Proses perendaman dilakukan selama enam minggu melalui
   perendaman kulit di dalam 300 % air. Hal ini berdasarkan penelitian yang
   telah dilakukan oleh Harijatmoko (2004), proses perendaman enam
   minggu dengan dosis kapur tohor 15 % dapat menghasilkan rendemen
   gelatin terbaik.
            Langkah berikutnya adalah proses deliming yang dilakukan
   dengan cara merendam kulit selama tiga jam di dalam 300 % air dan
   amonium sulfat 2 % (persentase dihitung berdasarkan bobot kulit split
   basah yang telah dilakukan pengecilan ukuran). Proses deliming dilakukan
   untuk menghilangkan kapur yang telah terikat dengan kulit secara kimia
   dan untuk menghilangkan pembekuan akibat dari pengapuran.
            Langkah    selanjutnya   adalah   proses   ekstraksi   bertingkat.
   Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan metode ekstraksi yang
   digunakan adalah metode pertama yang dilakukan dalam lima tahap
   dengan suhu dan waktu masing-masing; 55 OC - 5 jam, 65 OC - 4 jam, 75
   O
    C - 3 jam, 85 OC - 2 jam, dan 95 OC - 1 jam. Ekstraksi dilakukan dengan
   empat perbedaan perbandingan kulit-air; 1:1, 1:2, 1:3, dan 1:4, serta tiga
   interval agitasi yang berbeda yaitu tiap 10 menit, 20 menit, dan 30 menit,
   dengan kecepatan serta lama berputar masing-masing 50 rpm dan 3 menit.
            Filtrat diperoleh melalui filtrasi vakum secara bertahap dengan
   ukuran filter 150 mesh. Proses selanjutnya adalah proses pemekatan
   dengan evaporasi dengan menggunakan evaporator vakum pada suhu
   57°OC dan tekanan -73 cmHg sampai kepekatannya mencapai kisaran 10
   % dari volume semula. Filtrat yang telah pekat kemudian disimpan dalam
pendingin (chiller) selama 30 menit agar filtrat tersebut menjadi gel. Filtrat
              gelatin dalam bentuk gel diperlukan agar proses ekstrusi dapat dilakukan
              dengan baik. Proses ekstrusi dilakukan dengan alat ekstrusi hingga
              didapatkan gelatin dalam bentuk seperti mie. Gelatin yang telah diekstrusi
              kemudian dikeringkan dengan alat pengering tipe rak yang dilakukan pada
              30 OC kemudian meningkat secara bertahap hingga suhu tertinggi 75°OC
              sampai diperoleh gelatin kering dengan kadar air kurang lebih 16 %.
              Selanjutnya dilakukan proses penggilingan (grinding) sehingga diperoleh
              gelatin kering dalam bentuk butiran–butiran halus. Parameter yang diukur
              antara lain; rendemen, kadar air, kadar abu, warna, kekuatan gel,
              viskositas, dan stabilitas emulsi. Diagram alir proses pembuatan gelatin
              dari kulit sapi disajikan pada Gambar 4.

                                               Kulit split



                                           Pengecilan ukuran


          Pencucian                                                     Dosis kapur tohor : 15 %
                                          Liming (Penngapuran)
                                                                        lama perendaman 6 minggu


                                               Netralisasi
                                                                              NH3SO4 2 %


              PERLAKUAN                         Ekstraksi
                                              (air dan kulit)



                                                 Filtrasi
 Perbandingan              Interval
    kulit-air :       agitasi:10 menit,
1:1, 1:2, 1:3, dan    20 menit,dan 30
       1:4                  menit               Evaporasi


                                                Chilling                      Penggilingan


                                                Ekstrusi                      Butiran gelatin


                                              Pengeringan                  Analisa Mutu Produk



           Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan gelatin dari kulit sapi
Prosedur Analisa Karakter Mutu
  1.   Rendemen (Association of Offical Analytical Chemists, 1995)
       Rendemen diperoleh dari perbandingan bobot kering gelatin (setelah
       dikurangi kadar air) yang dihasilkan dengan bobot kulit yang digunakan
       dengan rumus sebagai berikut:
                              Bobot kering gelatin
       Rendemen (%) =                                           x100%
                            Bobot kulit yang digunakan

  2. Warna (Soekarto, 1990)
       Warna ditentukan menggunakan chromameter dengan sistem Hunter, yaitu
       dicirikan tiga notasi warna, yaitu L, a dan b (tetapi yang diamati pada
       penelitian ini hanya notasi L dan b). Notasi L merupakan notasi yang
       menyatakan tingkat kecerahan (light) dan memiliki nilai dari 0 (hitam)
       sampai 100 (putih). Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-
       kuning, dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning
       dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru. Sejumlah contoh
       gelatin hasil penelitian ditempatkan pada satu wadah yang merupakan
       bagian dari alat chromameter. Contoh ditempatkan pada wadah hingga
       menutupi semua permukaan dasar dari wadah tersebut. Contoh kemudian
       diukur menggunakan chromameter. Hasil pengukuran notasi warna gelatin
       akan tercetak dan menunjukkan nilai notasi L dan b dari gelatin hasil
       penelitian.
  3. Kadar Air (Association of Offical Analytical Chemists, 1995)
       Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105 OC selama 1 jam, kemudian
       didinginkan dan ditimbang. Contoh yang akan ditentukan kadar airnya
       ditimbang sebanyak 5 gram. Cawan yang telah berisi contoh dimasukkan
       dalam oven bersuhu 105OC sampai bobotnya konstan (24 jam). Kadar air
       dihitung berdasarkan persamaan berikut :
                         B-A
       Kadar air =                    x 100 %
                     Bobot contoh basah

       Keterangan : A = Bobot cawan + contoh kering (g)
                      B = Bobot cawan + contoh basah (g)
4. Kadar Abu (Association of Offical Analytical Chemists, 1995)
   Contoh yang telah diuapkan airnya dimasukkan ke dalam tanur bersuhu
   600°C. Sebelumnya bobot cawan kering dan bobot contoh telah diketahui.
   Proses pembakaran dilakukan sampai semua bahan berubah menjadi abu (
   sekitar 6 jam), kemudian hasilnya ditimbang.
                      A
   Kadar abu =               x 100 %
                      B

   Keterangan : A = Bobot contoh akhir (g)
                 B = Bobot contoh awal (g)


5. Kekuatan Gel (British Standard 757,1975)
   Contoh sebannyak 6,67 gram dilarutkan dalam aquades pada labu takar
   sampai mencapai volume 100 ml, kemudian larutan diambil sebanyak
   10ml dan dipindahkan dalam gelas piala 25 ml dan didinginkan pada suhu
   10°C dengan kisaran lama antara 15 hingga 19 jam. Selanjutnya hasilnya
   dianalisa menggunakan Voland Steven Texture Analyzer. Hasil dari
   pengukuran berupa grafik dan diamati tinggi kurva sebelum pecah serta
   berat beban yang tercatat pada alat saat contoh pecah. Kekuatan gel
   ditentukan dari grafik yang diperoleh. Rumus untuk menentukan
   kekuatannya adalah sebagai berikut :
                               AxB
   Kekuatan gel (Bloom) =                 x 98,07 x 2,86 x 10-3
                               C
   Keterangan : A = Tinggi kurva sebelum patah
                 B = Bobot penekan (gram)
                 C = Luas permukaan penekan (cm2)
6. Viskositas (British Standard 757, 1975)
   Contoh sebanyak 6,67 gram dilarutkan dalam aquades pada labu takar
   sampai mencapai volume 100 ml, kemudian dipanaskan pada suhu 60°C.
   Viskositasnya diukur dengan menggunakan spindle nomer 2 dan kecepatan
   putarnya 60 rpm. Viskositasnya (cP) adalah 5 (faktor konversi) dikalikan
   dengan angka hasil pengukuran.
7. Stabilitas Emulsi (Sathe dan Salunkhe, 1981)
   Sebanyak 10 gram contoh disuspensikan dalam 100 ml aquades. Setelah
   itu ditambahkan air sampai 150 ml dan minyak jagung sebanyak 150 ml,
   kemudian diblender selama dua menit. Hasilnya dituang dalam tabung
   sentrifuse dan dipanaskan pada suhu 80°C selama 30 menit, selanjutnya
   didinginkan dan disentrifuse pada 1400 rpm selama 30 menit. Fase yang
   sudah tidak membentuk emulsi dipisahkan kemudian bahan ditimbang.
   Stabilitas emulsi dinyatakan sebagai campuran yang masih membentuk
   emulsi setelah mengalami pemanasan dan dihitung dengan menggunakan
   rumus:
                              Bobot fase yang tersisa
   Stabilitas Emulsi (SE) =                              x 100 %
                              Bobot total bahan emulsi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A.   PENELITIAN PENDAHULUAN
               Penelitian ini menggunakan bahan baku kulit sapi yang
     sebelumnya telah mengalami proses pengepressan (buang daging),
     perendaman, pengapuran (liming) dan pembelahan (splitting). Proses
     pembelahan ini merupakan pembelahan kulit menjadi dua lapisan atau lebih
     untuk mendapatkan tebal yang dikehendaki.
               Setelah kulit sapi dinilai siap, kulit sapi kemudian diekstraksi
     dengan dua alternatif metode. Metode pertama ekstraksi dilakukan dengan
     suhu dan waktu masing-masing 55 OC - 5 jam, 65 OC – 4 jam, 75 OC – 3
     jam, 85 OC – 2 jam, dan 95 OC – 1 jam. Metode ini menghabiskan waktu
     proses selama 15 jam. Metode kedua dilakukan dengan suhu dan waktu
     masing-masing 55 OC - 4 jam, 65 OC – 4 jam, 75 OC – 4 jam, dan 85 OC – 4
     jam. Total waktu untuk metode kedua ini adalah 16 jam. Selama proses
     ekstraksi berlangsung, secara berkala diberikan agitasi menggunakan
     agitator yang disambungkan pada motor pemutar.
               Hasil pengukuran pada volume filtrat ekstraksi menentukan
     metode mana yang dipilih sebagai metode ekstraksi pada penelitian utama.
     Dari dua proses ekstraksi dengan perbandingan kulit-air yang sama, volume
     filtrat yang lebih banyak diyakini memberikan rendemen yang lebih
     banyak. Tabel 8 menunjukkan bahwa metode pertama dengan volume filtrat
     sebanyak 15.9 L lebih memungkinkan untuk dipilih sebagai metode
     ekstraksi di penelitian utama dibandingkan dengan metode kedua yang
     hanya menghasilkan volume filtrat sebanyak 15.7 L.


     Tabel 8. Volume filtrat ekstraksi pada penelitian pendahuluan
                              Volume gelatin cair (L)
      Metode                                                         Total (L)
                  Tahap 1   Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4       Tahap 5
         I         10.1      3.72      1.34        0.74      -         15.9
         II        10.8      3.54      0.16         1.2      -         15.7
B.   PENELITIAN UTAMA
                       Informasi yang didapatkan dari penelitian pendahuluan kemudian
     dijadikan panduan untuk melakukan penelitian utama. Kulit sapi yang sudah
     disiapkan untuk bahan baku penelitian utama kemudian diproses sesuai
     dengan metode penelitian pendahuluan hingga didapatkan bubuk gelatin
     kering. Gelatin yang sudah didapatkan dari penelitian ini kemudian dianalisa
     beberapa karakteristiknya antara lain ; rendemen, warna (notasi L dan b),
     kadar air, kadar abu, kekuatan gel, viskositas, dan stabilitas emulsi.


     1. Rendemen
                            Rendemen merupakan salah satu parameter untuk mengukur
       efisiensi dan efektifitas proses ekstraksi yang dilakukan. Kecenderungan
       naik turunnya nilai rendemen sampel gelatin hasil penelitian disajikan
       pada Gambar 5.

                       14
                       12
        rendemen (%)




                       10
                       8
                       6
                       4
                       2
                       0
                                 1:1
                                  1              1:2
                                                   2              1:3
                                                                   3             1:4
                                                                                  4
                                                perbandingan kulit-air

                                        agitasi 10'      agitasi 20'     agitasi 30'

     Gambar 5. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
                              rendemen gelatin sampel


                            Gambar 5 menunjukkan ekstraksi gelatin dengan interval agitasi
       setiap 10 dan 20 menit sekali mempunyai nilai rendemen yang semakin
       meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah air yang ditambahkan.
       Dengan kata lain semakin banyak air yang ditambahkan, rendemen gelatin
       yang diperoleh semakin tinggi. Hal ini dikarenakan lebih banyak air yang
dapat mengikat ekstrak gelatin yang tertinggal dalam kapiler-kapiler kulit.
    Gaya adhesi kapiler-kapiler kulit dapat menyebabkan ekstrak gelatin
    tertinggal di dalamnya selama proses ekstraksi berlangsung (Handojo,
    1995).
             Namun peningkatan nilai rendemen ini tidak terjadi pada ekstraksi
    yang dilakukan dengan interval agitasi tiap 30 menit. Penambahan jumlah
    air tidak menambah jumlah rendemen gelatin. Terdapat nilai rendemen
    yang rendah dari dua sampel (lampiran 1). Nilai ini dipengaruhi oleh
    proses pembuatan gelatin selanjutnya yaitu proses pengeringan. Panas
    yang diberikan oleh alat pengering membuat sampel gelatin khususnya
    yang masih mempunyai kadar air yang masih tinggi mencair kembali.
    Gelatin yang mencair akhirnya masuk dan mengering di antara sela-sela
    kawat wadah. Gelatin yang mengering ini pada akhirnya sulit untuk
    diambil dan ditimbang.
             Pengamatan pada pengaruh agitasi terhadap nilai rendemen
    menunjukkan bahwa perbedaan interval agitasi tidak memberikan
    kecenderungan khusus (naik atau turun) pada nilai rendemen. Tidak
    seperti yang diduga sebelumnya bahwa pemberian agitasi yang semakin
    sering memberikan nilai rendemen yang lebih tinggi. Hal ini diduga karena
    selama proses ekstraksi berlangsung, agitator sering mengalami bongkar
    pasang. Hal ini menyebabkan posisi agitator tidak persis sama dalam
    setiap proses ekstraksi. Posisi yang tidak persis sama ini mempengaruhi
    jumlah kulit yang ikut berputar bersama air sehingga mempengaruhi
    jumlah rendemen gelatin.


2. Warna
             Warna memiliki peranan yang penting dalam komoditas pangan
  dan hasil pertanian lainnya. Karakteristik warna sangat penting sebagai daya
  tarik, tanda pengenal dan atribut mutu. Salah satu cara untuk mengukur
  warna adalah menggunakan alat yang disebut dengan chromameter.
  Pengukuran menggunakan alat ini menghasilkan tiga notasi yang biasa
  dikenal dengan notasi L, a, dan b. Angka-angka ini kemudian dibandingkan
dengan komponen-komponen warna dalam diagram uji warna seperti
terdapat dalam Lampiran 2. Penelitian ini hanya mengukur notasi L dan
notasi b. Notasi a tidak dilakukan pengukuran dikarenakan notasi ini
menunjukkan spektrum warna hijau dan merah, dua warna yang tidak pernah
ditemukan pada sampel gelatin pada umumnya.
                       Nilai L merupakan parameter yang menunjukkan cahaya pantul
yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam (Soekarto,
1990). Paramater ini memperlihatkan tingkat kecerahan (light) dari suatu
bahan dengan kisaran dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Larutan encer
gelatin kualitas tinggi tidak berwarna, sedangkan gelatin kualitas rendah
memiliki warna coklat kejinggaan.
                       Kisaran rata-rata notasi L gelatin sampel yang didapatkan dari
penelitian ini adalah 55,49 - 58,90, tidak jauh berbeda tingkat kecerahannya
dengan notasi L pada gelatin komersial yang tercatat sebesar 56,36
(Lampiran 3). Pengaruh perbandingan kulit-air serta interval agitasi terhadap
nilai rata-rata notasi L pada gelatin hasil penelitian ini dapat dilihat di
Gambar 6. .

                  60
                  59
 nilai notasi L




                  58
                  57
                  56
                  55
                  54
                  53
                            1:1
                             1               1:2
                                              2               1:3
                                                              3              1:4
                                                                             4
                                           perbandingan kulit-air

                                   agitasi 10'      agitasi 20'     agitasi 30'



Gambar 6. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
                         notasi L sampel gelatin.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perbandingan kulit-air dan
interval agitasi tidak memberikan kecenderungan nilai naik atau turun pada
tingkat kecerahan sampel gelatin. Perbandingan kulit-air yang semakin besar
diharapkan dapat memberikan nilai kecerahan yang lebih baik dengan lebih
banyaknya gelatin yang ikut terekstrak. Hal tersebut tidak terjadi pada empat
tingkat perbandingan kulit-air yang dilakukan pada penelitian ini. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena selama proses ekstraksi berlangsung, bukan saja
gelatin yang terekstrak namun juga zat-zat pengotor lain ikut pula terekstrak.
          Menurut Arthadana (2001) kejernihan warna gelatin tergantung
pada kemampuan zat-zat pengotor yang ada untuk memancarkan cahaya,
terutama keberadaan ion logam pada bahan dapat mempengaruhi warna
gelatin yang dihasilkan. Semakin banyaknya air yang ditambahkan semakin
besar peluang zat-zat pengotor ikut dalam filtrat gelatin.
          Begitu pula dengan pengaruh agitasi pada tingkat kecerahan
sampel gelatin. Proses agitasi yang diharapkan dapat membantu untuk
mengektrak gelatin dengan lebih baik, ternyata mempunyai efek samping.
Agitasi yang diberikan tidak saja mengekstrak gelatin, namun juga membuat
komponen-komponen non kolagen ikut terekstrak sehingga mempengaruhi
tingkat kecerahan. Semakin sering agitasi diberikan, peluang komponen-
komponen non kolagen ikut serta dalam filtrat lebih besar. Banyaknya
komponen-komponen non kolagen yang ikut terekstrak sangat dipengaruhi
jumlah komponen-komponen tersebut dalam bahan baku kulit yang
digunakan.
          Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru dan kuning
dengan nilai b positif sampai +60 untuk warna kuning dan nilai b negatif dari
0 sampai -60 untuk warna biru. Warna gelatin dapat dipengaruhi oleh bahan
baku yang digunakan, metode pembuatan dan jumlah ekstraksi (Glicksman,
1969). Gelatin dari kulit babi mempunyai warna yang lebih cerah jika
dibandingkan dengan gelatin dari tulang paupun kulit sapi. Larutan encer
gelatin kualitas tinggi tidak berwarna, sedangkan gelatin kualitas rendah
memiliki warna coklat kejinggaan.
Nilai rata-rata untuk notasi b yang didapatkan dari pengukuran
gelatin hasil penelitian berkisar antara 39,74 sampai 41,68, semua
menunjukkan nilai positif (Lampiran 4). Kisaran nilai tersebut menunjukkan
bahwa warna gelatin hasil penelitian penelitian mengarah pada warna
kuning.
                       Kecenderungan naik turunnya nilai notasi b sampel gelatin hasil
penelitian disajikan pada Gambar 7. Kedua perlakuan yaitu perbandingan
kulit-air dan interval agitasi ternyata tidak memberikan pola tertentu pada
nilai notasi b sampel gelatin. Adanya komponen-komponen non gelatin yang
turut serta dalam filtrat mempengaruhi nilai notasi b. Perbandingan kulit-air
yang semakin besar ternyata tidak selalu memberikan nilai notasi b yang
selalu lebih tinggi (warna lebih kuning) seperti dugaan semula. Perbandingan
kulit-air yang semakin besar juga dapat menurunkan nilai notasi b
dikarenakan adanya komponen-komponen non gelatin dalam filtrat.
Komponen ini memberikan peluang yang semakin besar terhadap terjadinya
warna kuning yang semakin tua.

                     42
                    41,5
   nilai notasi b




                     41
                    40,5
                     40
                    39,5
                     39
                    38,5
                                1:1
                                  1              1:2
                                                   2              1:3
                                                                  3              1:4
                                                                                 4
                                                perbandingan kulit-air

                                        agitasi 10'      agitasi 20'     agitasi 30'

Gambar 7. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
                           notasi b sampel gelatin.


                       Agitasi yang diberikan tidak memberikan pengaruh khusus pada
nilai notasi b. Kondisi fisik bahan baku kulit diduga menjadi penyebab hal
ini terjadi. Kondisi fisik kulit yang terlalu lembek, menjadikan kulit tersebut
lebih mudah untuk terkoyak karena adanya agitasi. Kulit dengan kondisi
     yang terlalu lembek, semakin sering agitasi itu diberikan semakin banyak
     serpihan-serpihan kulit yang terkoyak dan bercampur dalam filtrat gelatin.
     Serpihan-serpihan ini menyebabkan warna kuning gelatin semakin tua.
              Perbandingan warna sampel gelatin yang dihasilkan dari penelitian
     ini dibandingkan dengan gelatin komersial dapat dilihat di Gambar 8.




                        Gambar 8. Bubuk sampel gelatin


     Keterangan :
     Dari atas : kiri-kanan : A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, A2B4,
     A3B1, A3B2, A3B3, A3B4, Komersial, A4B1, A4B2, A4B3, A4B4.


3.   Kadar Air
              Kadar air diketahui sebagai persentase air yang terikat oleh suatu
     bahan terhadap berat kering setelah dioven. Kandungan air suatu bahan
     menentukan penampakan, tekstur, dan kemampuan bahan tersebut terhadap
     kerusakan yang disebabkan oleh mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu
     jumlah   air   bebas   yang   dapat   dimanfaatkan   oleh   mikroba    untuk
     pertumbuhannya. Air pada suatu bahan dapat digolongkan menjadi beberapa
     macam dengan karakteristiknya masing-masing.
              Air bebas merupakan air yang secara fisik terikat dalam jaringan
     matriks bahan seperti membran, kapiler, serat dan lain-lain. Air tipe ini
     cenderung mudah diuapkan. Air bebas juga dapat dimanfaatkan untuk
pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Selain air
bebas, ditemukan juga jenis air terikat (bound water), air tipe ini sulit
diuapkan dan dipisahkan karena terikat kuat dengan komponen lain dalam
bahan tersebut. Air yang terikat secara fisis adalah bagian air yang terdapat
dalam tenunan bahan karena adanya ikatan-ikatan garis. Air yang terikat
secara kimia terdiri dari bagian air yang terdapat dalam bahan dan terikat
dalam susunan kimia (Setijahartini, 1985).
                         Kadar air sampel gelatin penelitian ini berkisar antara 8,82 % (bk)
hingga 12,74 % (bk) (Lampiran 5). Nilai ini lebih rendah dibandingkan
dengan nilai kadar air gelatin gelatin komersial yaitu 15,20 %. Nilai tersebut
secara keseluruhan masih memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh
Dewan Standar Indonesia (1995), yaitu <16 %.
                         Gambar 9 menunjukkan bahwa perbandingan kulit-air tidak
memberikan pengaruh yang jelas pada nilai kadar air gelatin. Hanya ekstraksi
sampel gelatin pada agitasi setiap 30 menit sekali yang menunjukkan nilai
kadar air yang semakin meningkat seiring dengan penambahan jumlah air.
Menurut Clarks dan Courts (1977), rantai asam amino berikatan dengan
rantai asam amino lainnya secara acak dengan menjerat air di dalam ikatan
tersebut sehingga kadar air di dalam gelatin menjadi lebih tinggi. Dengan
kata lain, semakin banyak molekul gelatin yang dapat terekstrak semakin
besar jumlah air yang dapat terikat.

                         14
                         12
      kadar air (% bk)




                         10

                         8

                         6

                         4

                         2

                         0
                              0           1:1
                                            1                1:2
                                                             2           1:3
                                                                          3                  1:4
                                                                                              4
                                                perbandingan kulit-air

                                       agitasi 10'       agitasi 20'           agitasi 30'




    Gambar 9. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
                                  kadar air sampel gelatin
Perlakuan agitasi juga tidak memberikan kecenderungan tertentu
   pada nilai kadar air sampel gelatin. Molekul-molekul gelatin dalam kulit
   seharusnya dapat terekstrak lebih optimal dengan semakin seringnya
   diberikan agitasi. Namun dari penelitian ini, hal tersebut tidak sepenuhnya
   terjadi.
              Nilai kadar air sampel gelatin hasil penelitian yang cenderung naik
   turun ini diduga dipengaruhi oleh proses evaporasi dan pengeringan yang
   dilakukan. Rendahnya efisiensi kedua alat mempengaruhi nilai kadar air
   sampel gelatin yang didapatkan. Pada saat proses evaporasi dan pengeringan
   jumlah air yang teruapkan tidak dapat ditetapkan dengan tepat dikarenakan
   keterbatasan kerja alat.


4. Kadar Abu
              Kadar abu suatu bahan dapat menunjukkan kemurnian suatu bahan.
   Metode pembuatan dan bahan kimia pendukung (non organik) yang
   digunakan selama proses pembuatan gelatin akan mempengaruhi kadar abu
   di dalam gelatin. Metode pembuatan gelatin melalui proses basa akan
   meninggalkan residu berupa mineral-mineral tertentu sesuai dengan bahan
   kimia yang digunakan.
              Air digunakan sebagai pengekstrak dalam proses ekstraksi gelatin.
   Sampai titik tertentu semakin banyak air yang digunakan maka semakin
   banyak molekul gelatin yang dapat terekstrak. Namun semakin banyak air
   yang digunakan dapat juga meningkatkan jumlah mineral yang ikut dalam
   filtrat. Agitasi pada dasarnya ditujukan untuk menambah jumlah molekul
   gelatin yang dapat terekstrak. Namun pada pelaksanaannya, agitasi bisa juga
   menambah jumlah mineral yang terekstrak dari kulit. Semakin sering agitasi
   itu diberikan (interval semakin kecil), kemungkinan mineral yang terekstrak
   juga semakin besar.
              Gelatin yang diperoleh pada penelitian ini mempunyai kadar abu
   berkisar antara 2,89-3,89 (% bk) (Lampiran 6). Perbandingan air yang
   semakin besar tidak selalu memberikan nilai kadar abu yang lebih tinggi. Hal
   ini dipengaruhi oleh proses perendaman (liming) dan proses netralisasi yang
dilakukan. Perbandingan air yang lebih sedikit namun menghasilkan nilai
           kadar abu yang lebih tinggi diduga disebabkan karena kulit yang digunakan
           terendam selama proses liming berada di posisi terbawah sehingga lebih
           banyak kapur yang masuk dalam kapiler-kapiler kulit. Proses netralisasi yang
           tidak sempurna juga turut serta mempengaruhi pengukuran nilai kadar abu
           ini. Pengaruh perbandingan kulit-air terhadap nilai kadar abu sample gelatin
           dapat dilihat di Gambar 10.

                      4.5
                       4
                      3.5
   kadar abu (% bk)




                       3
                      2.5
                       2
                      1.5
                       1
                      0.5
                       0
                            0            1:1
                                           1               1:2
                                                             2             1:3
                                                                           3              1:4
                                                                                          4
                                                  perbandingan kulit-air

                                        agitasi 10'        agitasi 20'      agitasi 30'



                                Gambar 10. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi
                                               terhadap kadar abu sampel gelatin


                                Agitasi yang semakin sering diberikan, namun memberikan nilai
           kadar abu yang lebih sedikit bisa dikarenakan jumlah mineral yang terdapat
           pada sampel yang digunakan memang sedikit. Optimalisasi proses
           perendaman (liming) dan netralisasi menjadi hal yang menentukan.


5. Kekuatan Gel
                            Sifat gelatin yang sering dimanfaatkan oleh industri pangan adalah
  kemampuannya untuk membentuk gel yang reversible. Sifat ini yang
  membedakan gelatin dengan gel hidrokoloid lainnya seperti pektin yang
  bersifat irreversible. Kekuatan gel merupakan sebuah satuan yang
menunjukkan tingkat kekuatan formasi yang terbentuk jika diberi beban
tertentu.
                           Menurut Glicksman (1969) formasi gel terbentuk karena adanya ikatan
hidrogen pada struktur molekulnya sehingga terbentuk formasi semikoloid gel
dengan air. Hal ini sangat dipengaruhi oleh susunan asam amino pada gelatin.
Stanby (1977) juga menyebutkan bahwa kekuatan gel gelatin dipengaruhi oleh
kondisi asam amino penyusunnya terutama panjang rantai asam aminonya.
                           Beberapa hal yang dapat mempengaruhi nilai kekuatan gel dari gelatin
antara lain pH, senyawa elektrolit dan non elektrolitnya. Pendapat lain
disampaikan oleh King (1969) yang menyebutkan bahwa kekuatan gel dapat
dipengaruhi oleh pH, keberadaan asam, basa, panas, dan enzim proteolitik.
Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi pembentukan gel.
                           Pengukuran nilai kekuatan gel dari gelatin sampel menghasilkan
kisaran kekuatan gel antara 72,5 sampai 225 Bloom, masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan kekuatan gel dari gelatin komersial yang terukur sebesar
205 Bloom (Lampiran 7). Namun nilai gelatin sampel tersebut masih
memenuhi kriteria berdasarkan British Standar yang memberikan kisaran
kekuatan gel gelatin antara 50 hingga 300 Bloom. Kekuatan gel sampel gelatin
dengan perbandingan air 1:3 dan 1:4 cenderung mempunyai nilai yang rendah
(Gambar 11).

                         300
  kekuatan gel (bloom)




                         250

                         200

                         150

                         100
                         50

                          0
                                  1:1
                                    1              1:2
                                                     2               1:3
                                                                     3              1:4
                                                                                    4
                                                  perbandingan kulit-air

                                          agitasi 10'      agitasi 20'     agitasi 30'

 Gambar 11. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
                                 kekuatan gel sampel gelatin
Selama proses ekstraksi berlangsung terjadi hidrolisis kolagen menjadi
gelatin oleh air. Semakin banyak air yang ditambahkan maka diharapkan
semakin banyak kolagen yang dapat terhidrolisis menjadi gelatin kemudian
terekstrak. Jumlah gelatin yang terekstrak ini menentukan kekuatan gel dari
sampel gelatin kering. Gambar 11 menunjukkan pengaruh jumlah air yang
ditambahkan dengan nilai kekuatan gel sampel gelatin.
       Dari gambar terlihat bahwa semakin banyak air yang ditambahkan
tidak selalu menghasilkan nilai kekuatan gel yang lebih tinggi. Hal ini bisa
disebabkan oleh mineral yang terdapat dalam sampel tersebut. Mineral-
mineral terebut dapat saja menghambat hidrolisis kolagen menjadi gelatin. Hal
ini mengurangi jumlah gelatin yang terekstrak, dengan sendirinya kekuatan
gel menurun.
       Gelatin dalam filtrat hasil ekstraksi diyakini bertambah jumlahnya jika
ditambahkan proses agitasi dalam proses ekstraksi. Semakin sering agitasi
diberikan diharapkan semakin besar nilai kekuatan gel sampel gelatin. Hal ini
terjadi pada sampel-sampel gelatin hasil penelitian yang didapatkan dari
ekstraksi menggunakan perbandingan kulit-air 1 :3 dan 1 :4. Namun
pemberian agitasi yang semakin sering ternyata tidak selalu memberikan nilai
kekuatan gel yang lebih tinggi. Hal ini terjadi pada ekstraksi yang dilakukan
dengan tingkat perbandingan 1: 1 dan 1:2.
       Ada sampel dimana saat diberikan agitasi yang lebih banyak (interval
lebih sempit) didapatkan nilai kekuatan gel yang lebih rendah. Hal ini terjadi
karena sampel-sampel tersebut mempunyai nilai kadar abu yang lebih tinggi
dibandingkan sampel yang diberikan agitasi lebih sedikit pada perbandingan
kulit-air yang sama. Hal inilah yang menyebabkan kecenderungan nilai
kekuatan gel sampel gelatin perbandingan 1 :1 dan 1: 2 mengalami naik turun.
       United States Patent (1999) menggolongkan mutu gelatin menjadi tiga
kelas berdasarkan kekuatan gelnya. Gelatin dengan kekuatan gel >240 bloom
termasuk gelatin kualitas tinggi, gelatin dengan kekuatan gel 120-240
termasuk gelatin kualitas sedang, dan gelatin dengan kekuatan gel < 120
bloom termasuk gelatin kualitas rendah.
Mutu gelatin hasil penelitian jika dinilai berdasarkan United States
   Patent (1999), yang termasuk gelatin kualitas tinggi adalah sampel gelatin
   A1B2, A2B3, dan A4B1. Sampel gelatin yang termasuk gelatin kualitas sedang
   adalah A1B1, A1B3, A2B1, A2B2, A3B1, A3B2, A3B3, dan A4B2. Terdapat satu
   sampel yang termasuk gelatin kualitas rendah yaitu sampel A4B3.


6. Viskositas
                        Viskositas suatu bahan menunjukkan kemudahan bahan tersebut untuk
   mengalir. Aliran ini terjadi karena adanya gesekan antar struktur kimia
   molekul-molekul dalam pelarut. Berdasarkan British Standard nilai viskositas
   gelatin berkisar 1,5 sampai dengan 7 cP. Pengukuran nilai viskositas dari
   sampel gelatin didapatkan kisaran nilai viskositas 5- 18 cP (lampiran 8).
   Gambar 12 menunjukkan pola nilai viskositas sampel gelatin hasil penelitian.


                        20
      viskositas (cP)




                        15


                        10


                        5


                        0
                              1:1 1            1:22              1:3
                                                                  3              1:4
                                                                                  4
                                               perbandingan kulit-air

                                       agitasi 10'      agitasi 20'     agitasi 30'

    Gambar 12. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
                              viskositas sampel gelatin


                        Ada beberapa sampel gelatin hasil penelitian yang mempunyai nilai
   viskositas diatas kisaran yang telah ditetapkan oleh British Standard (1975).
   Hal ini mempengaruhi pola kecenderungan nilai viskositas jika dilihat
   berdasarkan peningkatan perbandingan kulit-air. Air yang semakin banyak
   ditambahkan pada proses ekstraksi semestinya mampu mengekstrak gelatin
   lebih banyak, sehingga nilai viskositas semakin tinggi (masih berada dalam
kisaran normal). Namun pada pengamatan, nilai viskositas sampel gelatin
   hasil penelitian tidak selalu meningkat seiring dengan semakin banyaknya air
   yang ditambahkan. Bahkan nilai viskositas yang didapatkan mampu melebihi
   kisaran nilai viskositas yang telah ditetapkan.
          Sama halnya dengan proses agitasi yang diberikan. Agitasi yang lebih
   sering dilakukan selama proses ekstraksi berlangsung diharapkan dapat
   menambah jumlah gelatin yang terekstrak. Jumlah kolagen yang terekstrak ini
   yang menjadikan nilai viskositas sampel gelatin hasil penelitian berada dalam
   kisaran yang telah ditetapkan. Pada penelitian ini, agitasi yang semakin sering
   diberikan tidak selalu memberikan nilai viskositas yang lebih tinggi.
          Keberadaan residu mineral yang masih tertinggal dalam sampel diduga
   menjadi penyebab kedua hal ini. Seperti yang disampaikan oleh Glicksman
   (1969) bahwa mineral tersebut dapat berikatan dengan struktur aldehid pada
   struktur gelatin dan membentuk polialdehid yang dapat menurunkan kelarutan
   gelatin. Penurunan nilai kelarutan ini berakibat pada meningkatnya nilai
   viskositas gelatin. Pendapat ini dikuatkan oleh Harijatmoko (2004) yang
   menyatakan bahwa seiring dengan meningkatnya residu mineral dalam
   gelatin, maka viskositas gelatin akan meningkat.
          Residu mineral ini dapat berasal dari bahan–bahan kimia seperti
   NH3SO4 yang digunakan ketika proses netralisasi dilakukan. Tidak
   sempurnanya proses netralisasi yang dilakukan menyebabkan adanya ion-ion
   dari   NH3SO4 yang tertinggal. Keberadaan ion-ion ini yang akhirnya
   menjadikan nilai viskositas menjadi lebih tinggi dari kisaran yang telah
   ditentukan.


7. Stabilitas Emulsi
          Fungsi lain dari gelatin adalah sebagai pembentuk sistem emulsi. Nilai
   stabilitas emulsi pada gelatin menunjukkan kekuatan sistem emulsi yang
   mampu dipertahankan oleh gelatin. Semakin stabil suatu sistem emulsi, maka
   semakin tinggi mutu penyimpanan suatu produk. Rendahnya kekuatan sistem
   emulsi mempengaruhi penampakan, rasa, serta fungsi dari produk. Kerusakan
   sistem emulsi ini ditandai dengan adanya pemisahan sistem menjadi dua
bagian yang terpisah. Bagian yang mempunyai densitas yang lebih rendah
berada diatas, sedangkan bagian yang mempunyai densitas yang lebih ringan
berada di bawah.
                            Emulsi yang mengandung partikel kasar (makroglobula) umumnya
mudah pecah karena makroglobula mudah bergabung antara satu dengan
lainnya dan terpisah dari fase kontinunya. Sebaliknya emulsi yang
mengandung partikel kecil memiliki stabilitas emulsi yang tinggi, dengan
demikian semakin besar butirannya maka stabilitasnya akan berkurang.
                            Kisaran nilai rata-rata stabilitas emulsi sampel gelatin berkisar antara
50,71–59,62 % (Lampiran 9). Tidak jauh berbeda dengan nilai stabilitas
emulsi dari gelatin komersial yaitu 52,94 %. Hasil ini menunjukkan sampel
gelatin hasil penelitian mempunyai tingkat kestabilan yang tidak jauh berbeda
dengan gelatin komersial, bahkan beberapa sampel menunjukkan tingkat
kestabilan yang lebih baik. Pengaruh kedua perlakuan terhadap nilai stabilitas
sample gelatin dapat dilihat di Gambar 13.
                           62
                           60
   stabilitas emulsi (%)




                           58
                           56
                           54
                           52
                           50
                           48
                           46
                                    1:1
                                      1              1:2
                                                       2              1:3
                                                                       3              1:4
                                                                                       4
                                                    perbandingan kulit-air

                                            agitasi 10'      agitasi 20'      agitasi 30'

 Gambar 13. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap
                                   stabilitas emulsi sampel gelatin
                            Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh banyak gugus gugus karboksil
(COO-) dan amina (NH3+ ) yang ada dalam filtrat gelatin. Gugus-gugus ini
dapat meningkat jumlahnya jika hidrolisis kolagen menjadi gelatin berjalan
dengan sempurna dan gelatin berhasil terekstrak. Jumlah air yang ditambahkan
selama proses ekstraksi berlangsung dapat meningkatkan jumlah gelatin yang
terekstrak sehingga stabilitas emulsi bisa meningkat akibat adanya gugus-
gugus karboksil dan amina yang lebih banyak. Pengamatan pada stabilitas
emulsi sampel gelatin hasil penelitian menunjukkan hanya ekstraksi dengan
interval agitasi setiap 10 menit sekali yang menunjukkan nilai stabilitas emulsi
yang semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya air yang
ditambahkan. Sedangkan pada ekstraksi dengan interval agitasi setiap 20 dan
30 menit sekali menunjukkan kecenderungan nilai stabilitas emulsi yang tidak
menentu. Hal ini dapat disebabkan karena kolagen yang berada dalam kapiler-
kapiler kulit tidak terhidrolisis dan terekstrak dengan sempurna. Tidak
optimalnya hidrolisis kolagen menjadi gelatin bisa disebabkan oleh suhu
lingkungan yang mempengaruhi suhu sistem ekstraktor dan akhirnya
menggangu jalannya ekstraksi. Khususnya jika proses ekstraksi dilakukan
pada malam hari.
       Stabilitas emulsi diharapkan dapat meningkat seiring dengan semakin
seringnya agitasi diberikan. Pada penelitian ini hanya ekstraksi dengan
perbandingan kulit-air 1:3 dan 1:4 yang menunjukkan nilai stabilitas emulsi
yang meningkat seiring dengan semakin seringnya agitasi diberikan. Pada
ekstraksi dengan perbandingan kulit-air 1:1 dan 1:2, semakin sering agitasi
diberikan nilai stabilitas tidak selalu meningkat. Ketidakoptimalan hidrolisis
kolagen menjadi gelatin pada ekstraksi di dua perbandingan kulit-air tersebut
menjadikan jumlah gelatin yang terekstrak dengan bantuan agitasi menjadi
tidak optimal.


       .
V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN
          Hasil analisa pada penelitian ini menunjukkan bahwa indikator kualitas
   gelatin yang dihasilkan secara umum gelatin yang diperoleh telah memenuhi
   standar yang ditetapkan oleh Dewan Standardisasi Nasional (1995) maupun
   British Standard 757 (1975). Kisaran nilai variabel sampel gelatin yang
   diperoleh dari penelitian ini adalah rendemen 6,46 – 13,11%, notasi L 55,49 –
   58,90 (cerah), notasi b 39,74 – 41,68 (kuning), kadar air 8,82 – 12,74 % (bk),
   kadar abu 2,89-3,89 (% bk), kekuatan gel 115– 280 bloom, viskositas 5 – 18
   cP, dan stabilitas emulsi 50,71 – 59,62 %.
          Pengamatan pengaruh kedua perlakuan (perbandingan kulit-air serta
   interval agitasi) terhadap beberapa parameter gelatin menunjukkan bahwa
   kedua perlakuan tidak memberikan pola kecenderungan tertentu. Dengan kata
   lain tidak ada tren khusus (naik atau turun) pada nilai parameter gelatin akibat
   dari peningkatan atau penurunan kuantitas perlakuan yang diberikan.
          Mutu gelatin hasil penelitian jika dinilai berdasarkan United States
   Patent (1999), yang termasuk gelatin kualitas tinggi adalah sampel gelatin
   A1B2, A2B3, dan A4B1. Sampel gelatin yang termasuk gelatin kualitas sedang
   adalah A1B1, A1B3, A2B1, A2B2, A3B1, A3B2, A3B3, dan A4B2. Terdapat satu
   sampel yang termasuk gelatin kualitas rendah yaitu sampel A4B3. Penilaian
   ini menunjukkan bahwa sebagian besar sampel gelatin merupakan gelatin
   dengan kualitas sedang.

B. SARAN
       Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar didapatkan tren yang lebih
   spesifik dengan menambahkan pengadukan pada proses liming dan netralisasi
   agar residu mineral dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA


Akademi Teknologi Kulit. 1984. Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi
        Teknologi Kulit, Yogyakarta.

Arthadana, L. N. 2001. Kajian Proses Produksi Gelatin Tipe A Berbahan Baku
          Kulit sapi dengan Metode Perendaman Asam. Skripsi. Departemen
          Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB.
          Bogor.

Anonim. 1978. Mutu dan Cara Uji Gelatin. Departemen Perindustrian, Jakarta.

Association Of Official Analytical Chemists (AOAC). 1995. Official Methods of
       Analysis of Association Official Analytical Chemists. Washington, D.C.

Bennion, M. 1980. The Science of Food. John Wiley and Sons. New York

Belitz, H. D., and W. Grosch. 1999. Food Chemistry. 2ndEdit. Springer, Germany.

BPS. 1999-2005. Statistik Industri-Industri Besar dan Menengah. Jakarta.

BPS. 1999-2005. Statistik Perdagangan Ekspor – Impor Indonesia. Jakarta.

British Standard 757. 1975. Sampling and Testing of Gelatin. Di Dalam Imeson.
        1992. Thikcening and Gelling Agents For Food. Academic Press, New
        York.

Brown, A. 2000. Understanding Food : Principles and Preparation. Wadsworth.
      Belmont.

Carley, H. 1982. Food Science. 2nd ed. John Wiley and Sons Inc., New York

Chang, R. And W. Tikkanen. 1988. The Top Fifty Industrial Chemicals. Random
      House. New York.

Dewan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 06-3735-1995. Mutu dan Cara Uji
     Gelatin. Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Djojowidagdo, S. 1981. Kajian Kulit dan Pemanfaatannya. Presentasi Pada
      Seminar Pertemuan Ilmiah Ruminansia di BPT Ciawi, Bogor.

Fahidin dan Muslich. 1999. Diktat Ilmu dan Teknologi Kulit. Fakultas Teknologi
       Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Fardiaz, D. 1989. Buku dan Monograf Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan
       Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.
Gates, J. C. 1981. Basic Food. Holt, Rinehart and Winston. California.

Glicksman, M. 1969. Gum Technology in Food Industry. Academic Press. New
       York.

Handojo, Lienda. 1995. Teknologi Kimia. PT Pradnya Paramitha, Jakarta.

Harijatmoko, K. E. 2004. Studi Kualitas Gelatin Dari Kulit Sapi Sisa Trimming
       dengan Dosis Kapur Tohor (CaO) dan Lama Perendaman yang Berbeda.
       Skripsi. Departemen Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. IPB.
       Bogor.

Hinterwaldner, R. 1977. Raw Material. Di Dalam Ward, A. G. dan A. Courts.
       1977. The Science and Technology of Gelatin. Academic Press, New
       York
Hughes, O dan M. Bennion. 1970. Introductory Foods. 5th Edit. MacMillan
       Publishing Co., Inc. New York.

Imeson. 1992. Thickening and Gelling Agents for Food. Academic Press, New
      York.

Johns, P. and A. Curts. 1977. Relation between Collagen and Gelatin. Di Dalam
       Ward. A. G. and A. Courts (ed.). 1977. The Science and Technology of
       Gelatin. Academic Press. London.


Jones, N. R. 1977. Uses of Gelatin in Edible Products. Di Dalam Ward, A. G. and
       A. Courts (Eds). The Science and Technology of Gelatin. Academic Press.
       New York.

Judoamidjojo, R. M. 1974. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. FATEMETA IPB.
      Bogor.

Judoamidjojo, R. M., Fahidin dan Basuki. 1979. Komoditi Kulit di Indonesia.
      Pendidikan Keterampilan Teknis. Laboratorium Pengendalian Mutu.
      Departemen Teknologi Hasil Pertanian. IPB. Bogor.

Judoamodjojo, R. M. 1981. Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan. Penerbit
      Angkasa. Bandung.

King, W. 1969. Gelatin. Di Dalam Gliksman, M. (ed.). Gum Technology in Food
      Industry Academic Press. London.


Lehninger, A. L. 1993. Dasar-Dasar Biokimia Jilid I. Terjemahan. M.
      Thenawijaya. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Lembaga Statistik Peternakan. 2003. Direktorat Jenderal Bina Produksi
     Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Parker, A. L. 1982. Principles of Biochemistry. Worth Publishers, Inc., Sparkas,
       Maryland.

Poppe, J. 1992. Gelatin. Di Dalam A. Imeson (ed). Thickening and Gelling Agent
       For Food. Academic Press. New York.

Purnomo, E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi
      Penyamakan Kulit. Departemen Perindustrian Republik Indonesia.
      Yogyakarta.

Sathe, S. K. And D. K. Salunkhe. 1981. Functional Properties of The Great
       Northern Bean (Phaseolous vulgaris L) Di Dalam Protein : emulstions,
       faming, viscosity and gelatin properties. J. Food Science. 46:71-74.

Setijahartini, S. 1985. Pengeringan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB.
        Agoindustri Press. Bogor.

Setyorini, 1994. Kajian Proses Demineralisasi dan Liming dalam Ekstraksi
       Gelatin dari Kolagen Tulang Sapi. Skripsi. Departemen Teknologi Industri
       Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Sharphouse, J. H. 1978. Leather Technician’s Handbook. Leather Producers
      Association. London.

Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Mutu dan Standardisasi Mutu Pangan. IPB.
       Bogor.

Stainby, G. 1977. The Physical Chemistry of Gelatin in Solution. Di dalam A. G.
       Ward dan A. Courts. 1977. The Scince and Technology of Gelatin.
       Academic Press, New York. Pp. 179-206.

Sudarmadji, S. 1995. Prosedur Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty,
      Yogyakarta.

The United Stated Patent 5210182. 2005. Extraction Process For Gelatin.
     www.google.com [ 11 Mei 1993].

Tourtelotte, P. 1980. Gelatin. Di dalam Encyclopedia of Food Science and
           Technology. Mc Graw Hill Book Co., New York.


Ward, A. G. and A, Courts. 1977. The Science and Technology of Gelatin.
      Academic Press. New York.

Wijaya, I. 1998. The Effect of Protein Contentration and pH on The Bloom
      Strength of Gelatin. Gitayana. 4(1):36-44.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka utama.
      Jakarta.

Wong, D. W. S. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. An AVI Book.
      Van Nostrand Reinhold, New York.
Gelatin kulit
Gelatin kulit
Gelatin kulit
Gelatin kulit

More Related Content

What's hot

SKRINNING FITOKIMIA
SKRINNING FITOKIMIA SKRINNING FITOKIMIA
SKRINNING FITOKIMIA
Robby Candra Purnama
 
Tabel tugas pelfar
Tabel tugas pelfarTabel tugas pelfar
Tabel tugas pelfar
Nurul Vanny
 
Laporan Praktikum Mentega Tradisional
Laporan Praktikum Mentega TradisionalLaporan Praktikum Mentega Tradisional
Laporan Praktikum Mentega Tradisional
Ernalia Rosita
 
Teknologi fermentasi kecap
Teknologi fermentasi kecapTeknologi fermentasi kecap
Teknologi fermentasi kecap
Nuruliswati
 
Farmakologi 1
Farmakologi 1Farmakologi 1
Farmakologi 1
Sainal Edi Kamal
 
Presentasi Kebersihan Diri
Presentasi Kebersihan DiriPresentasi Kebersihan Diri
Presentasi Kebersihan Diri
Kusuma Wijayanti
 
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN MELALUI PARU : AEROSOL
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN  MELALUI PARU :  AEROSOLBIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN  MELALUI PARU :  AEROSOL
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN MELALUI PARU : AEROSOL
Surya Amal
 
9 Obat untuk mengobati Asma Alergi
9 Obat untuk mengobati Asma  Alergi9 Obat untuk mengobati Asma  Alergi
9 Obat untuk mengobati Asma Alergi
Ariyanto Harsono
 
Kata pengantar, abstrak dan daftar isi
Kata pengantar, abstrak dan daftar isiKata pengantar, abstrak dan daftar isi
Kata pengantar, abstrak dan daftar isi
Nuri Andhika Pratama
 
pola lantai Tari
pola lantai Taripola lantai Tari
pola lantai Tari
Ayik Novitasari
 
Laporan Praktikum Mie Basah
Laporan Praktikum Mie BasahLaporan Praktikum Mie Basah
Laporan Praktikum Mie Basah
Ernalia Rosita
 
Pengenalan resep
Pengenalan resepPengenalan resep
Pengenalan resep
Tazkiyatan Isria
 
Pengetahuan Bahan Pangan Buah dan sayur
Pengetahuan Bahan Pangan Buah dan sayurPengetahuan Bahan Pangan Buah dan sayur
Pengetahuan Bahan Pangan Buah dan sayurHappinessa Brilliant
 
Obat antasida
Obat antasidaObat antasida
Obat antasida
Herul Farmacy
 
Kasus farmakoterapi I
Kasus farmakoterapi IKasus farmakoterapi I
Kasus farmakoterapi I
Oppy Utriyani
 
Media Transmisi Guided Dan Unguided
Media Transmisi Guided Dan UnguidedMedia Transmisi Guided Dan Unguided
Media Transmisi Guided Dan Unguided
Erlangga Abdul Rahman
 
Ppt optimasi pembuatan vco (virgin coconut oil )
Ppt optimasi pembuatan vco (virgin coconut oil )Ppt optimasi pembuatan vco (virgin coconut oil )
Ppt optimasi pembuatan vco (virgin coconut oil )
Yuke Puspita
 

What's hot (20)

SKRINNING FITOKIMIA
SKRINNING FITOKIMIA SKRINNING FITOKIMIA
SKRINNING FITOKIMIA
 
Tabel tugas pelfar
Tabel tugas pelfarTabel tugas pelfar
Tabel tugas pelfar
 
Laporan Praktikum Mentega Tradisional
Laporan Praktikum Mentega TradisionalLaporan Praktikum Mentega Tradisional
Laporan Praktikum Mentega Tradisional
 
Teknologi fermentasi kecap
Teknologi fermentasi kecapTeknologi fermentasi kecap
Teknologi fermentasi kecap
 
Ppt seminar ta 1
Ppt seminar ta 1Ppt seminar ta 1
Ppt seminar ta 1
 
Farmakologi 1
Farmakologi 1Farmakologi 1
Farmakologi 1
 
Presentasi Kebersihan Diri
Presentasi Kebersihan DiriPresentasi Kebersihan Diri
Presentasi Kebersihan Diri
 
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN MELALUI PARU : AEROSOL
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN  MELALUI PARU :  AEROSOLBIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN  MELALUI PARU :  AEROSOL
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN MELALUI PARU : AEROSOL
 
9 Obat untuk mengobati Asma Alergi
9 Obat untuk mengobati Asma  Alergi9 Obat untuk mengobati Asma  Alergi
9 Obat untuk mengobati Asma Alergi
 
Kata pengantar, abstrak dan daftar isi
Kata pengantar, abstrak dan daftar isiKata pengantar, abstrak dan daftar isi
Kata pengantar, abstrak dan daftar isi
 
pola lantai Tari
pola lantai Taripola lantai Tari
pola lantai Tari
 
Laporan Praktikum Mie Basah
Laporan Praktikum Mie BasahLaporan Praktikum Mie Basah
Laporan Praktikum Mie Basah
 
Antiinflamasi
AntiinflamasiAntiinflamasi
Antiinflamasi
 
Pengenalan resep
Pengenalan resepPengenalan resep
Pengenalan resep
 
Senyawa steroid
Senyawa steroidSenyawa steroid
Senyawa steroid
 
Pengetahuan Bahan Pangan Buah dan sayur
Pengetahuan Bahan Pangan Buah dan sayurPengetahuan Bahan Pangan Buah dan sayur
Pengetahuan Bahan Pangan Buah dan sayur
 
Obat antasida
Obat antasidaObat antasida
Obat antasida
 
Kasus farmakoterapi I
Kasus farmakoterapi IKasus farmakoterapi I
Kasus farmakoterapi I
 
Media Transmisi Guided Dan Unguided
Media Transmisi Guided Dan UnguidedMedia Transmisi Guided Dan Unguided
Media Transmisi Guided Dan Unguided
 
Ppt optimasi pembuatan vco (virgin coconut oil )
Ppt optimasi pembuatan vco (virgin coconut oil )Ppt optimasi pembuatan vco (virgin coconut oil )
Ppt optimasi pembuatan vco (virgin coconut oil )
 

Similar to Gelatin kulit

konservasi plasma nutfah
konservasi plasma nutfahkonservasi plasma nutfah
konservasi plasma nutfah
agronomy
 
fermentabilitas & kecernaan in vitro ransum yang diberi kursin bungkil biji j...
fermentabilitas & kecernaan in vitro ransum yang diberi kursin bungkil biji j...fermentabilitas & kecernaan in vitro ransum yang diberi kursin bungkil biji j...
fermentabilitas & kecernaan in vitro ransum yang diberi kursin bungkil biji j...Aom_Bracho
 
DESI RAMADHANTI-FST.pdf
DESI RAMADHANTI-FST.pdfDESI RAMADHANTI-FST.pdf
DESI RAMADHANTI-FST.pdf
XavierDharma
 
Pengaruh Konsentrasi Pakan Hijauan Sorghum (Sorghum bicolor) Terhadap Kandung...
Pengaruh Konsentrasi Pakan Hijauan Sorghum (Sorghum bicolor) Terhadap Kandung...Pengaruh Konsentrasi Pakan Hijauan Sorghum (Sorghum bicolor) Terhadap Kandung...
Pengaruh Konsentrasi Pakan Hijauan Sorghum (Sorghum bicolor) Terhadap Kandung...
Universitas Islam As-syafi'iah
 
PEMBENTUKAN EMBRIO SOMATIK SEKUNDER PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineen...
PEMBENTUKAN EMBRIO SOMATIK SEKUNDER PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineen...PEMBENTUKAN EMBRIO SOMATIK SEKUNDER PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineen...
PEMBENTUKAN EMBRIO SOMATIK SEKUNDER PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineen...
Repository Ipb
 
fisnut 12 (1).docx
fisnut 12 (1).docxfisnut 12 (1).docx
fisnut 12 (1).docx
SriArdyaFiorela
 
Daftar pustaka
Daftar pustakaDaftar pustaka
Daftar pustaka
faninono
 
Pkm ai-09-ipb-nita-uji fisik buah -----
Pkm ai-09-ipb-nita-uji fisik buah -----Pkm ai-09-ipb-nita-uji fisik buah -----
Pkm ai-09-ipb-nita-uji fisik buah -----urf
 
Pengaruh pemupukan posfat dan pengapuran terhadap pertumbuhan dan produksi ta...
Pengaruh pemupukan posfat dan pengapuran terhadap pertumbuhan dan produksi ta...Pengaruh pemupukan posfat dan pengapuran terhadap pertumbuhan dan produksi ta...
Pengaruh pemupukan posfat dan pengapuran terhadap pertumbuhan dan produksi ta...Dirah Arlin
 
skripsi tepung telur
skripsi tepung telurskripsi tepung telur
skripsi tepung telur
Gombloh Agung
 
Contoh proposal pkm penelitian
Contoh proposal pkm penelitianContoh proposal pkm penelitian
Contoh proposal pkm penelitianZakiyul Mu'min
 
BULETIN SARIPUTRA Vol II No 1 Februari 2012
BULETIN SARIPUTRA Vol II No 1 Februari 2012BULETIN SARIPUTRA Vol II No 1 Februari 2012
BULETIN SARIPUTRA Vol II No 1 Februari 2012
Dodi Azhari
 
Dinar wijaya 20180210089 proposal kegiatan magang profesi_revisi (2)(1)
Dinar wijaya 20180210089 proposal kegiatan magang profesi_revisi (2)(1)Dinar wijaya 20180210089 proposal kegiatan magang profesi_revisi (2)(1)
Dinar wijaya 20180210089 proposal kegiatan magang profesi_revisi (2)(1)
YogaWijaya17
 
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI INDUSTRI PEMBUATAN TEMPE
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI INDUSTRI PEMBUATAN TEMPE LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI INDUSTRI PEMBUATAN TEMPE
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI INDUSTRI PEMBUATAN TEMPE
RiaAnggun
 
kelas11 smk-biologi-pertanian_ameilia-dkk
 kelas11 smk-biologi-pertanian_ameilia-dkk kelas11 smk-biologi-pertanian_ameilia-dkk
kelas11 smk-biologi-pertanian_ameilia-dkk
dedibiru
 
Endokrinologi rancangan pembelajaran semester (rps) akreditasi 2016
Endokrinologi rancangan pembelajaran semester (rps)  akreditasi 2016Endokrinologi rancangan pembelajaran semester (rps)  akreditasi 2016
Endokrinologi rancangan pembelajaran semester (rps) akreditasi 2016
WiwinUMRAH
 

Similar to Gelatin kulit (20)

konservasi plasma nutfah
konservasi plasma nutfahkonservasi plasma nutfah
konservasi plasma nutfah
 
fermentabilitas & kecernaan in vitro ransum yang diberi kursin bungkil biji j...
fermentabilitas & kecernaan in vitro ransum yang diberi kursin bungkil biji j...fermentabilitas & kecernaan in vitro ransum yang diberi kursin bungkil biji j...
fermentabilitas & kecernaan in vitro ransum yang diberi kursin bungkil biji j...
 
Formulasi produk pangan darurat
Formulasi produk pangan daruratFormulasi produk pangan darurat
Formulasi produk pangan darurat
 
DESI RAMADHANTI-FST.pdf
DESI RAMADHANTI-FST.pdfDESI RAMADHANTI-FST.pdf
DESI RAMADHANTI-FST.pdf
 
Pengaruh Konsentrasi Pakan Hijauan Sorghum (Sorghum bicolor) Terhadap Kandung...
Pengaruh Konsentrasi Pakan Hijauan Sorghum (Sorghum bicolor) Terhadap Kandung...Pengaruh Konsentrasi Pakan Hijauan Sorghum (Sorghum bicolor) Terhadap Kandung...
Pengaruh Konsentrasi Pakan Hijauan Sorghum (Sorghum bicolor) Terhadap Kandung...
 
PEMBENTUKAN EMBRIO SOMATIK SEKUNDER PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineen...
PEMBENTUKAN EMBRIO SOMATIK SEKUNDER PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineen...PEMBENTUKAN EMBRIO SOMATIK SEKUNDER PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineen...
PEMBENTUKAN EMBRIO SOMATIK SEKUNDER PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineen...
 
Laporan PKL ALI 2015
Laporan PKL ALI 2015Laporan PKL ALI 2015
Laporan PKL ALI 2015
 
fisnut 12 (1).docx
fisnut 12 (1).docxfisnut 12 (1).docx
fisnut 12 (1).docx
 
Daftar pustaka
Daftar pustakaDaftar pustaka
Daftar pustaka
 
Pkm ai-09-ipb-nita-uji fisik buah -----
Pkm ai-09-ipb-nita-uji fisik buah -----Pkm ai-09-ipb-nita-uji fisik buah -----
Pkm ai-09-ipb-nita-uji fisik buah -----
 
Pengaruh pemupukan posfat dan pengapuran terhadap pertumbuhan dan produksi ta...
Pengaruh pemupukan posfat dan pengapuran terhadap pertumbuhan dan produksi ta...Pengaruh pemupukan posfat dan pengapuran terhadap pertumbuhan dan produksi ta...
Pengaruh pemupukan posfat dan pengapuran terhadap pertumbuhan dan produksi ta...
 
skripsi tepung telur
skripsi tepung telurskripsi tepung telur
skripsi tepung telur
 
Contoh proposal pkm penelitian
Contoh proposal pkm penelitianContoh proposal pkm penelitian
Contoh proposal pkm penelitian
 
BULETIN SARIPUTRA Vol II No 1 Februari 2012
BULETIN SARIPUTRA Vol II No 1 Februari 2012BULETIN SARIPUTRA Vol II No 1 Februari 2012
BULETIN SARIPUTRA Vol II No 1 Februari 2012
 
Internship Report
Internship ReportInternship Report
Internship Report
 
Dinar wijaya 20180210089 proposal kegiatan magang profesi_revisi (2)(1)
Dinar wijaya 20180210089 proposal kegiatan magang profesi_revisi (2)(1)Dinar wijaya 20180210089 proposal kegiatan magang profesi_revisi (2)(1)
Dinar wijaya 20180210089 proposal kegiatan magang profesi_revisi (2)(1)
 
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI INDUSTRI PEMBUATAN TEMPE
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI INDUSTRI PEMBUATAN TEMPE LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI INDUSTRI PEMBUATAN TEMPE
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI INDUSTRI PEMBUATAN TEMPE
 
kelas11 smk-biologi-pertanian_ameilia-dkk
 kelas11 smk-biologi-pertanian_ameilia-dkk kelas11 smk-biologi-pertanian_ameilia-dkk
kelas11 smk-biologi-pertanian_ameilia-dkk
 
Endokrinologi rancangan pembelajaran semester (rps) akreditasi 2016
Endokrinologi rancangan pembelajaran semester (rps)  akreditasi 2016Endokrinologi rancangan pembelajaran semester (rps)  akreditasi 2016
Endokrinologi rancangan pembelajaran semester (rps) akreditasi 2016
 
Lap3 pembuatan tempe
Lap3  pembuatan tempeLap3  pembuatan tempe
Lap3 pembuatan tempe
 

Gelatin kulit

  • 1. SKRIPSI STUDI EKSTRAKSI PADA PROSES PEMBUATAN GELATIN TIPE B DARI KULIT SAPI Oleh HASAN F24101107 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
  • 2. Hasan. F24101107. Studi Ekstraksi Pada Proses Pembuatan Gelatin Tipe B Dari Kulit Sapi. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc dan Ir. Irshan Zainudin,M.Si. ABSTRAK Gelatin merupakan molekul polipeptida dengan bobot molekul tinggi yang berasal dari kolagen yang merupakan komponen utama penyusun jaringan hewan (kulit, tulang, dan tendon). Gelatin umumnya digunakan sebagai bahan pengemulsi dan penstabil sistem emulsi mengingat kemampuannya dalam berikatan dengan air dan lemak. Produk pangan yang umumnya diproduksi dengan tambahan gelatin antara lain permen, es krim, jelly, dan daging kaleng. Kemampuan gelatin untuk meningkatkan nilai guna suatu produk dimanfaatkan oleh industri pangan, industri farmasi, kosmetika dan kimia. Industri farmasi umumnya menggunakan gelatin sebagai bahan baku dalam pembuatan kapsul sedangkan industri kimia menggunakan gelatin dalam pembuatan perekat (lem) dan film untuk fotografi Salah satu proses penting dalam pembuatan gelatin adalah ekstraksi. Proses ekstraksi termasuk dalam proses utama dikarenakan selama proses ini berlangsung terjadi denaturasi serat kolagen menjadi gelatin. Semakin efektif dan efisien proses ekstraksi yang dilakukan maka akan semakin baik pula kualitas gelatin yang akan didapatkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang hal-hal yang dapat memaksimalkan proses ekstraksi. Penelitian ini menggunakan metode perendaman (liming) bahan baku kulit sapi dalam kondisi basa. Hal ini didasarkan pada kondisi kulit yang dijadikan sebagai bahan baku. Kulit diperoleh dari sapi dewasa (2-3 tahun) dengan kondisi kolagen yang sudah tua (US Patent 5877287). Kolagen yang tua mempunyai susunan ikatan triple helix yang lebih rapat dan kompleks akibatnya membutuhkan basa agar proses hidrolisis kolagen menjadi gelatin lebih optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan perbandingan kulit-air serta pemberian interval agitasi yang berbeda pada proses pembuatan gelatin tipe B dari kulit sapi menggunakan metode ekstraksi basa. Karakteristik produk gelatin hasil penelitian yang diukur antara lain; rendemen, kadar air, kadar abu, warna, kekuatan gel, viskositas, dan stabilitas emulsi. Ekstraksi dilakukan pada 4 tingkat perbandingan kulit-air yaitu ; 1 :1, 1:2, 1:3, dan 1: 4 dengan interval agitasi di tiap 10, 20, dan 30 menit. Agitasi dilakukan dengan kecepatan putaran 50 rpm dan lama putaran 3 menit setiap kali berputar. Ekstraksi dilakukan dengan 5 tahap dengan suhu dan lama masing- masing: tahap I (55 OC, 5 jam), tahap II (65 OC, 4 jam), tahap III ( 75 OC, 3 jam), tahap IV (85 OC, 2 jam) , dan tahap V (95 OC, 1 jam). Pengamatan pengaruh kedua perlakuan (perbandingan kulit-air serta interval agitasi) terhadap beberapa parameter gelatin menunjukkan bahwa kedua perlakuan tidak memberikan pola kecenderungan tertentu. Dengan kata lain tidak ada tren khusus (naik atau turun) pada parameter yang diamati akibat dari peningkatan atau penurunan kuantitas perlakuan yang diberikan. Kisaran nilai rendemen yang didapatkan dari penelitian ini adalah 6,46 – 13,11%,. Pengukuran warna gelatin hasil penelitian menggunakan chromameter
  • 3. didapatkan kisaran notasi L 55,49-58,90 (cerah) dan notasi b 39,74-41,68 (kuning). Nilai kadar air gelatin hasil penelitian berada pada kisaran 8,82-12,74 % dengan nilai kadar abu berada pada kisaran 2,89-3,89 (% bk). Pengukuran nilai kekuatan gel, viskositas, dan stabilitas emulsi gelatin hasil penelitian didapatkan nilai masing-masing berada pada kisaran 115– 280 bloom, 5 – 18 cP dan 50,71- 59,62%. Mutu gelatin hasil penelitian jika dinilai berdasarkan United States Patent (1999), yang termasuk gelatin kualitas tinggi adalah sampel gelatin A1B2, A2B3, dan A4B1. Sampel gelatin yang termasuk gelatin kualitas sedang adalah A1B1, A1B3, A2B1, A2B2, A3B1, A3B2, A3B3, dan A4B2. Terdapat satu sampel yang termasuk gelatin kualitas rendah yaitu sampel A4B3. Penilaian ini menunjukkan bahwa sebagian besar sampel gelatin merupakan gelatin dengan kualitas sedang. .
  • 4. STUDI EKSTRAKSI PADA PROSES PEMBUATAN GELATIN TIPE B DARI KULIT SAPI Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh HASAN F24101107 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
  • 5. STUDI EKSTRAKSI PADA PROSES PEMBUATAN GELATIN TIPE B DARI KULIT SAPI Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh HASAN F24101107 Dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1982 di Jakarta Tanggal Lulus : 27 Desember 2006 Menyetujui, Bogor , April 2007 Dr. Ir. Sugiyono, MApp.Sc Ir. Irshan Zainudin,M.Si Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
  • 6. RIWAYAT HIDUP HASAN lahir di Jakarta, 14 Februari 1982. Penulis merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara pasangan Bapak H. Abdul Hamid (alm) serta Ibu Hasanah. Pendidikan dari sekolah dasar hingga sekolah menengah umum diselesaikan di Jakarta yaitu SDN 05 Pagi Jakarta Utara, SLTPN 244 Jakarta Utara, dan SMUN 52 Jakarta Utara. Tahun 2001 penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor melalui UMPTN. Selama menempuh pendidikan, penulis aktif mengikuti organisasi kemahasiwaan di Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama IPB (BEM TPB IPB 2001-2002), Pendiri UKM Klip (2002), Badan Pengawas HIMITEPA (2002-2003), staf divisi profesi HIMITEPA (2003- 2004), menjadi asisten mata kuliah Pengawasan Mutu dan Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam. Penulis menyelesaikan kuliah di IPB dengan skripsi berjudul ” Studi Ekstraksi Pada Proses Pembuatan Gelatin Tipe B Dari Kulit Sapi”
  • 7. KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Ta’ala Rabb Semesta Alam atas nikmat Iman, nikmat Islam, dan nikmat sehat wal afiat sehingga penulis bisa merampungkan amanah besar ini. Shalawat serta salam penulis sampaikan pada Guru Besar dalam ilmu penghambaan pada sang Khalik, junjungan seluruh umat manusia, dialah Muhammad Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam. Shalawat serta salam juga penulis sampaikan pada seluruh keluarga Beliau, Sahabat, Tabi’in serta seluruh umat manusia yang mengikuti ajarannya sampai hari akhir kelak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala dukungan, arahan, dan doa sehingga skripsi ini akhirnya bisa diselesaikan. Terima kasih penulis sampaikan pada; 1. Almarhum Ayahanda dan Ibunda, serta semua Kakak serta Adikku anggota Keluarga Besar Hamid (Muliani, Abdullah, Nurbani,. Jihan, Husain, Rahmatiah, Muslim, dan Mei Muna). Semoga Allah Ta’alla selalu memberikan rasa kasih dan sayang diantara kita semua serta menjaga kita semua dari siksaan api neraka. 2. Bapak Dr. Ir Sugiyono, M.App Sc selaku dosen pembimbing pertama yang sudah dengan sabar memberikan arahan, dukungan, serta ilmu selama penulis menempuh studi di almamater ini. Semoga Allah membalas semua kebaikan Bapak dengan sesuatu yang lebih baik. 3. Bapak Ir. Irshan Zainuddin, Msi selaku dosen pembimbing kedua atas semua dukungan moril, motivasi, serta pembiayaan selama penulis menyelesaikan penelitian ini. 4. Bapak Dr. Ir. Djoko Hermanianto yang telah bersedia menjadi dosen penguji pada ujian skripsi penulis 5. Bapak Ir. Harianto Msi, Ir. Suharjito MSi, dan Bapak Ir. M. Jusuf Djafar MM selaku tim proyek penelitian gelatin BPPT. 6. Bapak Ir. Gigih Atmaji selaku Kepala Laboratorium Teknologi Agroindustri yang telah memberikan izin penggunaan Laboratorium.
  • 8. 7. Mbak Tuti, Mas Dedi, Mas Budi, Mas Sofyan, Kak Encep yang telah menemani dan membantu secara teknis penelitian di laboratorium. 8. Fajri Helmi “Adjie” (Hortikultura 41) yang banyak membantu dalam penyediaan fasilitas kepada penulis. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, April 2007 Penulis
  • 9. Hasan. F24101107. Studi Ekstraksi Pada Proses Pembuatan Gelatin Tipe B Dari Kulit Sapi. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc dan Ir. Irshan Zainudin,M.Si. RINGKASAN Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh perlakuan perbandingan kulit-air sertal pemberian interval agitasi yang berbeda pada proses pembuatan gelatin tipe B dari kulit sapi menggunakan metode ekstraksi basa. Beberapa parameter yang diamati antara lain; rendemen, warna, kadar air, kadar abu, kekuatan gel, viskositas, dan stabilitas emulsi. Alat ekstraksi yang digunakan adalah ekstraktor yang didesain oleh Laboratorium Teknologi Agroindustri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (LTA-BPPT) Serpong. Ekstraksi dilakukan pada 4 tingkat perbandingan kulit-air yaitu ; 1 :1, 1:2, 1:3, dan 1: 4 dengan interval agitasi di tiap 10, 20, dan 30 menit. Agitasi dilakukan dengan kecepatan putaran 50 rpm dan lama putaran 3 menit setiap kali berputar. Ekstraksi dilakukan dengan 5 tahap dengan suhu dan lama masing- masing: tahap I (55 OC, 5 jam), tahap II (65 OC, 4 jam), tahap III ( 75 OC, 3 jam), tahap IV (85 OC, 2 jam) , dan tahap V (95 OC, 1 jam). Pengamatan pengaruh kedua perlakuan (perbandingan kulit-air serta interval agitasi) terhadap beberapa parameter gelatin menunjukkan bahwa kedua perlakuan tidak memberikan pola kecenderungan tertentu. Dengan kata lain tidak ada tren khusus (naik atau turun) pada parameter yang diamati akibat dari peningkatan atau penurunan kuantitas perlakuan yang diberikan. Kisaran nilai rendemen yang didapatkan dari penelitian ini adalah 6,46 – 13,11%,. Pengukuran warna gelatin hasil penelitian menggunakan chromameter didapatkan kisaran notasi L 55,49-58,90 (cerah) dan notasi b 39,74-41,68 (kuning). Nilai kadar air gelatin hasil penelitian berada pada kisaran 8,82-12,74 % dengan nilai kadar abu berada pada kisaran 2,89-3,89 (% bk). Pengukuran nilai kekuatan gel, viskositas, dan stabilitas emulsi gelatin hasil penelitian didapatkan nilai masing-masing berada pada kisaran 115– 280 bloom, 5 – 18 cP dan 50,71- 59,62%. Mutu gelatin hasil penelitian jika dinilai berdasarkan United States Patent (1999), yang termasuk gelatin kualitas tinggi adalah sampel gelatin A1B2, A2B3,
  • 10. dan A4B1. Sampel gelatin yang termasuk gelatin kualitas sedang adalah A1B1, A1B3, A2B1, A2B2, A3B1, A3B2, A3B3, dan A4B2. Terdapat satu sampel yang termasuk gelatin kualitas rendah yaitu sampel A4B3. Penilaian ini menunjukkan bahwa sebagian besar sampel gelatin merupakan gelatin dengan kualitas sedang.
  • 11. DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR...................................................................... i DAFTAR ISI..................................................................................... iii DAFTAR TABEL.............................................................................. v DAFTAR GAMBAR......................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................... vii I. PENDAHULUAN.................................................................. 1 A. LATAR BELAKANG...................................................... 1 B. TUJUAN PENELITIAN.................................................. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 4 A. KULIT............................................................................... 4 B. KOLAGEN........................................................................ 4 C. GELATIN........................................................................... 6 D. PERUBAHAN KOLAGEN MENJADI GELATIN.......... 10 E. PERUBAHAN GELATIN MENJADI GEL ..................... 11 F. PROSES PEMBUATAN GELATIN ................................. 12 III. METODOLOGI ....................................................................... 15 A. BAHAN DAN ALAT ........................................................ 15 B. WAKTU DAN TEMPAT .................................................. 16 C. METODE PENELITIAN ................................................... 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 22 A. PENELITIAN PENDAHULUAN ..................................... 22 B. PENELITIAN UTAMA ..................................................... 23 1. Rendemen ..................................................................... 23 2. Warna ........................................................................... 24 3. Kadar Air Gelatin Kering............................................... 28 4. Kadar Abu .................................................................... 30 5. Kekuatan Gel ................................................................. 31 6. Viskositas ....................................................................... 34 7. Stabilitas Emulsi ............................................................. 35
  • 12. V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 38 A. KESIMPULAN ........................................................................ 38 B. SARAN .................................................................................... 38 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 39 LAMPIRAN ......................................................................................... 43
  • 13. DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Data impor gelatin Indonesia tahun 1998 – 2005 ....................... 1 Tabel 2. Jumlah pemotongan sapi dan potensi kulit split ......................... 2 Tabel 3. Penyebaran kolagen dalam jaringan hewan mamalia ................. 5 Tabel 4. Perbedaan sifat gelatin berdasarkan tipe .................................... 7 Tabel 5. Standar mutu gelatin berdasarkan Standar Nasional Indonesia No. 06-3735 tahun 1995 dan British Standard : 757 tahun 1975 …………………………………………………….. 8 Tabel 6. Tahapan proses ekstraksi kolagen secara bertingkat dalam menghasilkan gelatin .................................................................. 13 Tabel 7. Suhu dan waktu yang digunakan di setiap tahap ekstraksi penelitian pendahuluan .............................................................. 16 Tabel 8. Volume filtrat ekstraksi pada penelitian pendahuluan..………... 22
  • 14. DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Susunan molekul tropokolagen pada fibril kolagen................. 5 Gambar 2. Perubahan kolagen menjadi gelatin .......................................... 11 Gambar 3. Ekstraktor ................................................................................. 15 Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan gelatin dari kulit split............ 18 Gambar 5. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap rendemen gelatin sampel............................................................ 23 Gambar 6. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap notasi L sampel gelatin .............................................................. 25 Gambar 7. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap notasi b sampel gelatin .............................................................. 27 Gambar 8. Bubuk Sampel Gelatin ............................................................... 28 Gambar 9. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap kadar air sampel gelatin ............................................................. 29 Gambar 10. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap kadar abu sampel gelatin ........................................................... 31 Gambar 11. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap kekuatan gel sampel gelatin ....................................................... 33 Gambar 12. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap viskositas sampel gelatin .......................................................... 34 Gambar 13. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap stabilitas emulsi sampel gelatin ................................................. 36 .
  • 15. DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Nilai Rata-Rata Rendemen (%) Pada Setiap Perlakuan............ 43 Lampiran 2. Diagram Kromatisitas ...............................................................43 Lampiran 3. Nilai Rata-Rata Notasi L Pada Setiap Perlakuan..................... 44 Lampiran 4. Nilai Rata-Rata Notasi b Pada Setiap Perlakuan...................... 44 Lampiran 5. Nilai Rata-rata Kadar Air (%bk) Pada Setiap Perlakuan ........ 44 Lampiran 6. Nilai Rata-Rata Kadar Abu (%) Pada Setiap Perlakuan............45 Lampiran 7. Nilai Rata-Rata Kekuatan Gel (bloom) Pada Setiap Perlakuan .......................................................... 45 Lampiran 8. Nilai Rata-Rata Viskositas (cP) Pada Setiap Perlakuan.......... 45 Lampiran 9. Nilai Rata-Rata Stabilitas Emulsi (%) Pada Setiap Perlakuan............................................................... 46
  • 16. I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Gelatin merupakan molekul polipeptida dengan bobot molekul tinggi yang berasal dari kolagen yang merupakan komponen utama penyusun jaringan hewan (kulit, tulang, dan tendon). Gelatin umumnya digunakan sebagai bahan pengemulsi dan penstabil sistem emulsi mengingat kemampuannya dalam berikatan dengan air dan lemak. Produk pangan yang umumnya diproduksi dengan tambahan gelatin antara lain permen, es krim, jelly, dan daging kaleng. Kemampuan gelatin untuk meningkatkan nilai guna suatu produk dimanfaatkan oleh industri pangan, industri farmasi, kosmetika dan kimia. Industri farmasi umumnya menggunakan gelatin sebagai bahan baku dalam pembuatan kapsul sedangkan industri kimia menggunakan gelatin dalam pembuatan perekat (lem) dan film untuk fotografi. Selama ini untuk menutupi kebutuhan gelatin dalam negeri, industri pangan mendapatkannya melalui impor dari negara-negara Eropa, China, dan Amerika. Mulai tahun 1998 sampai tahun 2001 jumlah impor gelatin cenderung meningkat. Pada tahun 2002 nilai impor menurun dan kembali meningkat pada tahun 2003. Data impor gelatin di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data impor gelatin Indonesia tahun 1998 - 2005 Tahun Bobot (kg) Nilai (US $) 1998 1. 851. 328 6. 781. 735 1999 2. 371. 738 9. 059. 440 2000 3. 418. 383 10. 555. 489 2001 4. 291. 579 10. 749. 199 2002 2. 144. 372 6. 801. 882 2003 2. 145. 916 8. 001. 714 2004 2. 630. 692 8. 063. 802 Jan- Mei 2005 1. 213. 111 4. 215. 779 Sumber : BPS (2005) Ketergantungan Indonesia terhadap gelatin impor setiap tahun pada dasarnya dapat dikurangi. Jumlah ketersediaan kulit di Indonesia cukup
  • 17. melimpah. Jumlah ini berasal dari industri penyamakan kulit yang ada di Indonesia. Industri penyamakan kulit menghasilkan limbah industri yang cukup besar, khususnya limbah yang tergolong pada kelompok kulit split. Kulit split adalah kulit yang telah mengalami proses splitting yaitu pembelahan kulit menjadi dua lapisan atau lebih untuk memperoleh tebal yang dikehendaki. Hasil samping kulit dari proses ini bisa mencapai sampai 11,5 % dari bahan baku kulit mentah yang diproses (BPS, 1998). Jumlah pemotongan sapi di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 1.789.849, sehingga ketersediaan jumlah kulit split dari sapi potong di Indonesia tahun 2003 adalah sebesar 4.322.485,33 kg (BPS, 2003). Data pemotongan sapi dan potensi kulit split disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah pemotongan sapi dan potensi kulit split Tahun Jumlah Pemotongan (ekor) Bobot Kulit Split (Kg) * 1999 1. 664. 396 4. 019. 516, 34 2000 1. 695. 374 4. 094. 328, 21 2001 1. 784. 036 4. 308. 446, 94 2002 1. 662. 833 4. 015. 741, 69 2003 1. 789. 849 4. 322. 485, 33 Keterangan : * Data diperoleh dari bobot sapi (300 Kg) x 7 % x 11.5 % Sumber : Badan Pusat Statistik (2003) Selain itu, ketergantungan terhadap impor gelatin dapat memberikan beberapa konsekuensi, antara lain harga gelatin impor yang beredar di pasaran menjadi relatif mahal serta status kehalalannya yang masih belum jelas. Lebih dari 80 % gelatin yang diproduksi di luar negeri adalah berasal dari daging babi dan ditegaskan oleh Glicksmann (1969) bahwa umumnya gelatin yang diproduksi oleh Amerika Serikat adalah dari daging babi yang dibekukan dan diproduksi secara asam. Salah satu proses penting dalam pembuatan gelatin adalah ekstraksi. Proses ekstraksi termasuk dalam proses utama dikarenakan selama proses ini berlangsung terjadi denaturasi serat kolagen menjadi gelatin. Semakin efektif
  • 18. dan efisien proses ekstraksi yang dilakukan maka akan semakin baik pula kualitas gelatin yang akan didapatkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang hal-hal yang dapat memaksimalkan proses ekstraksi. Penelitian ini menggunakan metode perendaman (liming) bahan baku kulit sapi dalam kondisi basa. Hal ini didasarkan pada kondisi kulit yang dijadikan sebagai bahan baku. Kulit diperoleh dari sapi dewasa (2-3 tahun) dengan kondisi kolagen yang sudah tua (US Patent 5877287). Kolagen yang tua mempunyai susunan ikatan triple helix yang lebih rapat dan kompleks akibatnya membutuhkan basa agar proses hidrolisis kolagen menjadi gelatin lebih optimal. B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan perbandingan kulit-air serta pemberian interval agitasi yang berbeda pada proses pembuatan gelatin tipe B dari kulit sapi menggunakan metode ekstraksi basa.
  • 19. II. TINJAUAN PUSTAKA A. KULIT (Hides) Kulit merupakan hasil samping dari pemotongan hewan yang berupa organ tubuh bagian terluar yang dipisahkan dari tubuh pada saat proses pengulitan. Kulit tersebut merupakan bahan mentah kulit samak, berupa tenunan dari tubuh hewan yang terbentuk dari sel-sel hidup (Djojowidagdo, 1981). Kulit mentah dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok kulit yang berasal dari hewan besar seperti sapi, kerbau, dan lain-lain, yang dalam istilah asing disebut hides, dan kelompok kulit yang berasal dari hewan kecil seperti kambing, kelinci, dan lain-lain yang dalam istilah asing disebut skins (Purnomo, 1985). Kulit hewan besar lebih banyak mengandung protein, lemak, dan khitin dibanding kulit hewan kecil (Akademi Teknologi Kulit, 1984). Komposisi kimia kulit hewan segar terdiri atas 64 % air, 33% protein, 2 % lemak, 0.5% mineral, dan 0.5% substansi lain. Protein kulit sebesar 33% disusun oleh 29 % kolagen, 2% keratin, 0.3% elastin, 1% albumin, dan globulin serta 0.7% mucin dan mucoid (Sharphouse, 1978). Komposisi kimia kulit hewan pada umumnya secara kimia dapat dibagi atas dua golongan, yaitu bagian non protein dan protein. Bagian non protein terdiri dari lipid, karbohidrat, enzim, vitamin dan mineral. Bagian protein dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu protein yang berbentuk serat (fibrous protein) dan protein yang tidak berbentuk serat (globular protein). Protein yang tidak berbentuk serat adalah albumin dan globulin, sedangkan protein yang berbentuk serat adalah kolagen, elastin dan keratin (Purnomo, 1985). B. KOLAGEN Kolagen merupakan komponen struktural utama pada serat-serat jaringan pengikat, berwarna putih dan terdapat di dalam semua jaringan dan organ hewan dan berperan penting dalam penyusun bentuk tubuh. Pada mamalia, kolagen terdapat pada kulit, tendon, tulang rawan dan jaringan ikat
  • 20. lainnya. Jumlahnya mencapai 30% dari jumlah protein total yang terdapat dalam hewan vertebrata dan invertebrata (Ward dan Courts, 1977). Kandungan kolagen di setiap bagian tubuh mamalia disajikan pada Tabel 3, dengan bagian kulit sebagai bagian yang mengandung kolagen tertinggi, mencapai 89% dibandingkan jenis jaringan lainnya. Tabel 3. Penyebaran kolagen dalam jaringan hewan mamalia Jenis jaringan Kolagen (%) Jenis jaringan Kolagen (%) Kulit 89 Usus Besar 18 Tulang 24 Lambung 23 Tendon 85 Ginjal 5 Aorta 23 Hati 2 Otot 2 Sumber : Ward dan Courts (1977) Unit dasar penyusun kolagen adalah tropokolagen yang diperkirakan terdiri atas tiga rantai heliks polipeptida (Gambar 1) yang saling mengelilingi (berpilin) satu sama lain membentuk sebuah coil (gulungan), memiliki panjang dan diameter, masing-masing 3.000 Ǻ dan 14 Ǻ (Glicksman, 1969). Gambar 1. Susunan molekul tropokolagen pada fibril kolagen (Lehninger, 1993) Disamping pelarut alkali, kolagen juga larut dalam pelarut asam, sehingga kedua pelarut ini dimungkinkan untuk digunakan dalam proses produksi gelatin (Bennion, 1980). Dibawah mikroskop, jaringan tersebut
  • 21. tampak sebagai serat putih buram yang dikelilingi oleh protein lain dan mucopolysaccharida (Poppe, 1992). Perlakuan alkali dan asam menyebabkan kolagen mengembang dan menyebar. Pemanasan kolagen secara bertahap akan menyebabkan struktur rusak dan rantai-rantai akan terpisah. Bentuk konformasi larutan kolagen sangat sensitif terhadap perubahan temperatur yang dapat menghancurkan makromolekulnya (Wong, 1989). C. GELATIN Gelatin adalah protein dari kolagen kulit, membran, tulang dan bagian tubuh berkolagen lainnya. Jika gelatin mendapat perlakuan perendaman dalam air maka gelatin akan mengembang dan menjadi lunak, dan berangsur-angsur menyerap air 5-10 kali bobot gelatin. Gelatin larut dalam air panas dan jika didinginkan (48 OC ) akan membentuk gel (Anonim, 1978). Menurut Carley (1982), gelatin merupakan senyawa turunan yang dihasilkan dari serabut kolagen jaringan penghubung yang dihidrolisis dengan asam atau basa. Ditambahkan oleh Imeson (1985), bahwa gelatin merupakan salah satu hidrokoloid yang dapat digunakan sebagai bahan pembentuk gel (gelifying agent), bahan pengental (thickening agent), atau bahan penstabil (stabilizer). Gelatin berbeda dengan hidrokoloid lainya karena pada umumnya hidrokoloid adalah merupakan polisakarida sedangkan gelatin sendiri adalah senyawa protein. Hal inilah yang menjadikan gelatin mempunyai kemampuan untuk reversibel. Gelatin termasuk kedalam zat yang bersifat amfoter, mempunyai gugus asam (karboksil) dan gugus basa (amina). Gelatin mudah larut dalam gliserol, manitol, dan propilen. Gelatin tidak larut dalam alkohol, aseton, dan pelarut non polar lainnya (King di dalam Glicksmann, 1969). Gelatin bukanlah merupakan protein lengkap. Hal ini disebabkan karena tidak adanya asam amino esensial triptofan. Namun gelatin mengandung sejumlah kecil asam amino yang jarang yaitu hidroksilisin. Secara kimiawi komposisi asam amino gelatin mamalia hampir tetap. Perbedaan karakteristik kimia yang terjadi adalah sebagai hasil perbedaan perlakuan pada tahap awal.
  • 22. Gelatin hasil perlakuan basa (tipe B) dan perlakuan asam (tipe A) mengalami perbedaan hidrolisis gugus amida primer yang dibentuk. Gelatin tipe A umumnya diperoleh dari bahan baku kulit babi atau ternak yang masih muda. Babi atau ternak yang masih muda mempunyai rantai triple helix yang lebih sederhana. Sedangkan gelatin tipe B umumnya diperoleh dari kulit atau tulang sapi dewasa karena kandungan kolagennya yang sudah tua. Kolagen yang tua mempunyai rantai triple helix yang lebih rapat dan kompleks sehingga umumnya digunakan basa saat perendaman agar hidrolisis kolagen menjadi gelatin lebih optimal. (US Patent 5877287). Perbedaan sifat gelatin berdasarkan tipenya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perbedaan sifat gelatin berdasarkan tipe Sifat Tipe A Tipe B Kekuatan gel ( bloom) 50,0 – 300,0 50,0 – 300,0 Viskositas (cP) 1,50 – 7,50 2,00 – 7,50 Kadar abu (%) 0,30 – 2,00 0,50 – 2,00 pH 3,80 – 6,00 5,00 – 7,10 Titik isoelektrik 7,00 – 9,00 4,70 – 5,40 Sumber : GMIA (2001) Sifat fisik maupun kimia gelatin tergantung dari kualitas bahan baku, pH, keberadaan zat-zat organik, metode ekstraksi, suhu dan konsentrasi (Parker, 1982). Bentuk gelatin yang beredar di pasaran terdiri dari dua bentuk yaitu gelatin yang tidak memiliki rasa apapun (plain atau unflavoured) dan gelatin yang memiliki rasa tertentu (flavoured). Gelatin flavoured mengandung gelatin, gula asam sitrat, rasa tertentu dan warna (Gates, 1981) Menurut Ward dan Courts (1977), gelatin larut dalam air minimal pada suhu 49°C, atau biasanya berada pada suhu 60°C sampai 70°C. Gelatin tidak larut dalam air dingin, tetapi hanya akan mengembang. Perendaman dalam air dingin menjadikan gelatin lunak dan berangsur-angsur menyerap air 5 sampai 10 kali bobotnya (King, 1969). Ketika gelatin dipanaskan pada suhu di atas titik lelehnya, gelatin akan mencair dan dapat kembali membentuk gel apabila didinginkan. Titik leleh gelatin adalah antara 27°C hingga 34°C dan dapat meleleh di dalam mulut. Karakteristik di atas sangat diharapkan oleh berbagai industri
  • 23. pangan (Poppe,1992). Winarno (1997) menambahkan saat pemanasan, daya tarik menarik antara molekul air berkurang sehingga memberikan energi bagi untuk mengatasi daya tarik menarik molekul yang larut pada air, dengan demikian daya larut molekul yang dilarutkan dalam air akan meningkat dengan meningkatnya suhu air. Warna gelatin tergantung pada bahan baku yang digunakan, metode pembuatan dan jumlah ekstraksi. Secara umum, warna gelatin tidak mempengaruhi kegunaannya (Glicksman,1969). Standar mutu gelatin disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Standar mutu gelatin berdasarkan standar nasional Indonesia No. 06-3735 tahun 1995 dan British Standard : 757 tahun 1975 Karakteristik SNI No. 06-3735a British Standard 757b Warna Tidak berwarna sampai kekuningan Kuning pucat Bau, rasa Normal - Kadar air Maksimum 16% - Kadar abu Maksimum 3,25% - Kekuatan gel - 50-300 bloom Viskositas - 15-70 mps atau 1,5-7 cP pH - 4,5-6,5 Logam berat Maksimum 50 mg/kg - Arsen Maksimum 2 mg/kg - Tembaga Maksimum 30 mg/kg - Seng Maksimum 100 mg/kg - Sulfit Maksimum 1000 mg/kg - Sumber : a) Dewan Standarisasi Nasional (SNI 06.3735-1995)(1995) b) British Standard : 757 (1975) United States Patent (1999) menggolongkan mutu gelatin menjadi tiga kelas berdasarkan kekuatan gelnya. Gelatin dengan kekuatan gel >240 bloom termasuk gelatin kualitas tinggi, gelatin dengan kekuatan gel 120-240 termasuk gelatin kualitas sedang, dan gelatin dengan kekuatan gel < 120 bloom termasuk gelatin kualitas rendah. Menurut Fardiaz (1989), molekul-molekul gelatin mengandung tiga kelompok asam amino yang tinggi, yaitu sekitar sepertiganya terdiri dari residu asam amino glisin atau alanin, hampir seperempatnya terdiri atas asam amino
  • 24. basa atau asam, dan seperempatnya lagi merupakan asam amino prolin dan hidroksiprolin. Proporsi yang tinggi dari residu polar ini membuat molekul gelatin mempunyai afinitas yang sangat tinggi terhadap air. Oleh karena proporsi yang tinggi dari residu prolin dan hidroksiprolin, molekul-molekul gelatin tidak mampu untuk berlilit membentuk coil helix seperti halnya pada kebanyakan molekul protein, sebaliknya molekul-molekul gelatin ini membentuk molekul yang panjang dan tipis, suatu sifat yang sangat menguntungkan dalam proses pembentukan gel. Industri pangan dan non pangan menggunakan gelatin untuk berbagai tujuan. Jones (1977) mengemukakan beberapa kelebihan yang dimiliki oleh gelatin sehingga digunakan oleh banyak industri makanan. Kemampuan gelatin untuk memperhalus dan menimbulkan struktur gel yang kenyal digunakan oleh industri pangan sebagai bahan tambahan pada produk-produk olahan daging seperti sosis. Kemampuan lain yang dimiliki oleh gelatin adalah mampu menimbulkan tampilan yang lebih menarik karena adanya lapisan berwarna bening. Kemampuan gelatin ini dimanfaatkan oleh industri selai. Produk- produk selai juga memanfaatkan gelatin karena kemampuannya untuk melindungi produk dari sinar dan oksigen sehingga bisa lebih awet. Berbagai produk permen dan coklat memanfaatkan gelatin untuk membuat produk permen dan coklat menjadi lebih lembut dan kenyal. Gelatin ditambahkan pada produk es krim karena kemampuannya yang mampu mencegah pembentukan kristal-kristal es yang besar sehingga tekstur es krim lebih lembut. Industri gelatin menggunakan gelatin sebagai bahan penjernih dan penyerap zat-zat yang dapat menyebabkan minuman menjadi berembun. Embun pada produk-produk minuman dapat menimbulkan kesan kotor pada wadahnya. Industri non pangan khususnya farmasi menggunakan gelatin pada produk kapsul yang menjadikan kapsul menjadi lebih mudah ditelan. Produk lain di dunia farmasi yang menggunakan gelatin antara lain adalah obat tablet. Gelatin ditambahkan pada obat-obat berbentuk tablet karena kemampuannya untuk mengawetkan kandungan zat dalam obat tablet tersebut. Industri fotografi menggunakan gelatin yang sudah dicampur kristal perak halida untuk
  • 25. melapisi lembaran film. Kristal perak halida menjadi lebih stabil terhadap sinar jika dilarutkan terlebih dahulu pada larutan gelatin. D. PERUBAHAN KOLAGEN MENJADI GELATIN Prinsip utama dalam transformasi kolagen menjadi gelatin adalah dengan cara mendenaturasi kolagen yang terlarut. Denaturasi menggunakan suhu (thermal) dapat dilakukan dengan cara memanaskan kolagen dalam kondisi netral atau sedikit asam pada suhu 40°C (Poppe, 1992). Menurut Johns dan Curts (1977), cara paling mudah mengubah kolagen menjadi gelatin adalah melalui proses denaturasi kolagen pada air bersuhu 40°C. Kolagen akan terdisosiasi menjadi unit tropokolagen akibat kehilangan ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik yang membantu menstabilkan struktur helix pada kolagen. Langkah selanjutnya dalam hidrolisis kolagen adalah pemutusan ikatan intramolekul antara tiga rantai dalam struktur helix menjadi tiga rantai alpha, beta atau gamma. Perbedaan bentuk utama antara alpha, beta dan gamma terletak pada bobot molekulnya. Bobot molekul struktur alpha antara 80.000-125.000. Untuk struktur beta bobot molekul antara 160.000-250.000 dan rantai gamma memiliki bobot molekul 240.000-375.000 (Poppe, 1992), sedangkan menurut Lehninger (1993), kolagen akan terputus jika terkena asam kuat dan basa kuat dan akan mengalami transformasi dari bentuk untaian tidak larut dan tidak tercerna menjadi gelatin dalam air panas. Salah satu karakteristik serat kolagen adalah mengkerut/menciut ketika dipanaskan. Suhu pengerutan (Ts) berbeda untuk sumber kolagen dari spesies yang berbeda. Suhu pengerutan untuk kolagen dari kulit mamalia berkisar antara 60-65°C. Ketika kolagen dipanaskan dengan suhu diatas suhu pengerutannya (T>Ts), maka ikatan silang dari rantai triple helix pada kolagen akan terputus dalam jumlah yang sangat besar, sehingga struktur kolagen terpisah menjadi gulungan (coils) secara acak yang larut dalam air dan disebut sebagai gelatin (Belitz dan Grosch, 1999).
  • 26. Berdasarkan konsentrasi dan suhu larutan gelatin, perubahan kolagen menjadi gelatin dan gelatin menjadi gel pada suhu rendah (cooling temperature) disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Perubahan kolagen menjadi gelatin (Belitz dan Grosch, 1999) Pada saat konsentrasi rendah (C1), struktur intramolekuler gelatin akan membentuk untaian/ikatan-ikatan tunggal (single-strands). Pada saat konsentrasi tinggi (C2) dan proses pendinginan berjalan lambat (∆T1), struktur intramolekuler akan membentuk untaian/ikatan-ikatan seperti semula (pada kolagen), pada setiap konsentrasi tinggi dan proses berjalan cepat (∆T2), maka akan dihasilkan segmen-segmen helix dengan ikatan-ikatan secara acak pada setiap struktur gulungannya (coils) (Belitz dan Grosch, 1999). E. PERUBAHAN GELATIN MENJADI GEL Gelatin merupakan suatu hidrokoloid, yaitu suatu polimer larut dalam air yang mampu membentuk koloid, mengentalkan larutan atau membentuk gel dari larutan tersebut. Pembentukan gel merupakan suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer membentuk jalinan tiga dimensi yang kontinyu dan kaku yang tahan terhadap aliran di bawah tekanan. Pada waktu sol dari gelatin mendidih, konsistensinya menjadi lebih kental, dan selanjutnya akan terbentuk gel yang elastis. Pembentukan kristal, diperkirakan karena diagram sinar-X menunjukkan adanya bagian kristalin di
  • 27. dalam sel gelatin. Molekul-molekul secara individu bergabung dalam lebih dari satu bentuk kristalin membentuk jalinan tiga dimensi yang menjerat cairan (Fardiaz, 1989). Gaya untuk mengikat molekul-molekul gelatin di dalam gel ini tidak diketahui. Meskipun demikian, ikatan-ikatan hidrogen dan gaya van der waals diperkirakan sebagai pengikatnya, mengingat sifat gel yang mudah mencair dan membentuk gel kembali dengan adanya perubahan suhu (Fardiaz, 1989). E. PROSES PEMBUATAN GELATIN Gelatin dapat dibuat dengan berbagai bahan baku antar lain kulit dan tulang sapi, kulit domba, kulit sapi, dan tulang (ossein). Tipe gelatin yang dihasilkan dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe A dan tipe B. Gelatin tipe A adalah gelatin yang dihasilkan melalui proses perendaman asam sedangkan gelatin tipe B berasal dari perendaman basa. Proses utama pembuatan gelatin dibagi dalam tiga tahapan, yaitu persiapan bahan baku berupa penghilangan komponen non kolagen dengan atau tanpa pengurangan ikatan antara komponen kolagen, konversi kolagen menjadi gelatin, pemurnian dan perolehan gelatin dalam bentuk kering. Bahan baku (kulit atau tulang) awalnya dipotong-potong atau diberikan proses pengecilan ukuran. Pengecilan ukuran bahan baku diperlukan untuk memperluas permukaan bahan yang terendam dalam larutan sehingga proses ekstraksi dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna (Hinterwaldner, 1977). Proses pengapuran (liming) dilakukan untuk melunakkan kulit dan menghilangkan albumoid bagian luar seperti globulin, mukopolisakarida, albumin, karoten dan pigmen-pigmen (Glicksman, 1969). Menurut Hinterwaldner (1977), proses liming bertujuan untuk merusak atau memutuskan berbagai ikatan kimia yang masih ada dalam kolagen dan untuk menghilangkan atau mengurangi material lain yang tidak diinginkan, seperti protein lain dan karbohidrat. Selama proses liming, lemak dikonversi menjadi sabun-sabun basa yang terlarut. Menurut Glicksman (1969), kapur untuk perendaman basa ditambahkan ke dalam air perendam dengan jumlah secukupnya berkisar antara 5 hingga 15
  • 28. % dari bobot bahan sehingga terbentuk larutan kalsium hidroksida. Proses perendaman kulit dilakukan selama 3-12 minggu atau lebih tergantung pada jenis bahan baku, suhu liming, perlakuan sebelumnya dan kapur yang ditambahkan. Hinterwaldner (1977) menambahkan bahwa suhu proses liming tidak boleh lebih dari 20°C jika ingin menghindari jumlah kolagen yang hilang lebih banyak. Jika suhu liming terlalu rendah, maka proses liming akan berjalan lambat sehingga membutuhkan waktu perendaman yang lebih lama. Proses liming yang tidak dilakukan dengan tepat dapat menyebabkan kelarutan kolagen dalam basa. Hal ini dapat menurunkan rendemen gelatin yang dihasilkan (Ward dan Courts, 1977). Hinterwaldner (1977) menyatakan bahwa gelatin diperoleh dari bahan setelah perlakuan liming. Bahan tersebut kemudian diekstraksi dengan air pada suhu tertentu. Proses ekstraksi multistage merupakan salah satu proses produksi gelatin yang penting. Mutu gelatin yang diperoleh dipengaruhi oleh proses konversi (jenis bahan baku dan lama proses ekstraksi). Metode yang digunakan untuk pemutusan ikatan hidrogen dalam ekstraksi gelatin yaitu meningkatkan suhu hingga titik penyusutan dicapai dan merendam kolagen dalam larutan pemutus ikatan hidrogen pada suhu ruang. Proses ekstraksi dilakukan pada suhu 50 oC hingga 100 oC. Tahapan proses ekstraksi kolagen secara bertingkat menjadi gelatin disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Tahapan proses ekstraksi kolagen secara bertingkat dalam menghasilkan gelatin Ekstraksi Waktu (jam) Suhu (°OC) Rendemen (%) 1 4-9 55-65 5-10 2 4-9 65-75 3-6 3 4-6 75-85 3-6 4 4-6 85-95 2-4 5 2-4 95-100 1-2 Total 14-28 Sumber : Glicksman (1969) Menurut Hinterwaldner (1977) ekstraksi pertama biasanya dilakukan pada suhu 50 oC sampai 60 oC, dimana untuk ekstraksi-ekstraksi selanjutnya suhu ekstraksi dinaikkan 5 -10oC hingga ekstraksi terakhir suhunya mencapai titik didih air. Ekstraksi dilakukan pada bejana stainless steel dibuka tanpa
  • 29. tutup. Gillespie (1960) menambahkan degradasi gelatin terjadi sangat lambat pada suhu 30-40°C, dengan peningkatan suhu (suhu di atas 40°C) akan meningkatkan degradasi dan reaksi berlangsung sangat cepat. Menurut The United Stated Patent (1993), total waktu ekstraksi pada keseluruhan ekstraksi biasanya dilakukan pada kisaran waktu 10 sampai 20 jam. Namun sebaiknya dilakukan pada waktu 16 jam atau kurang. Cara yang digunakan untuk menghilangkan zat-zat lain yang tidak larut yang dapat mengurangi kemurnian gelatin adalah dengan melakukan penyaringan. Filtrasi atau penyaringan larutan koloidal dapat dilakukan dengan pemisahan secara kimiawi maupun pemisahan dengan penyaring. Pemisahan secara kimiawi tidak biasa digunakan karena prosesnya mahal dan dapat menyebabkan kerusakan kualitas larutan gelatin. Proses penyaringan lebih efisien dengan memperhatikan sifat fisiko kimia, endapan-endapan partikel dan suhu. Di bawah suhu 32°C gelatin membentuk gel rigid sehingga kekakuan meningkat dengan peningkatan kandungan padatan filtrasi dilakukan pada suhu tersebut atau di atasnya (Hinterwaldner, 1977). Hinterwaldner (1977) menyatakan bahwa evaporasi gelatin harus memenuhi ketentuan seperti suhu evaporasi rendah (40-80 oC) , waktu kontak antara larutan gelatin dengan panas singkat dan mencegah pembentukan buih. Suhu yang digunakan harus di atas titik lelehnya dengan menggunakan vacuum. Menurut Ward dan Courts (1977), proses pengeringan gelatin dapat dilakukan dengan spray maupun roller dryer. Suhu pengeringan dilakukan pada suhu 38 oC hingga 70 oC. Pengeringan merupakan proses yang dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi air dalam larutan gelatin.
  • 30. III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit sapi sisa (kulit split) hasil samping industri penyamakan kulit dari PT. Muhara Dwitunggal Laju yang berada di kecamatan Citeureup, Bogor. Bahan kimia yang digunakan antara lain kapur tohor (CaO) untuk proses liming, NH3SO4 untuk netralisasi dan bahan-bahan lain untuk prosedur analisa karakter mutu. Sebagai bahan pembanding pada analisa mutu gelatin digunakan gelatin komersial (impor) tipe B yang diperoleh dari toko Setia Guna di Bogor Peralatan yang digunakan dibagi menjadi dua bagian yaitu : 1. Peralatan untuk produksi Terdiri dari drum, alat pemotong kulit, mollen, ekstraktor (Gambar 3), filter vakum, evaporator vakum, chiller, alat ekstrusi, alat pengering, dan blender. Gambar 3. Ekstraktor 2. Peralatan untuk analisa Peralatan yang digunakan antara lain desikator, pH meter, chromameter tipe Minolta CR 300, viscometer, termometer, rheoner RE 3305, dan alat-alat lainnya yang digunakan pada prosedur analisa karakter mutu.
  • 31. B. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2005 hingga bulan Februari 2006. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Agroindustri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (LTA-BPPT) yang terletak di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK), Serpong, Tangerang; dan PT. Muhara Dwitunggal Laju, Kecamatan Citeureup, Bogor. C. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan Aktivitas yang dilakukan pada penelitian pendahuluan adalah menentukan banyaknya tahap, waktu, serta suhu di tiap tahap ekstraksi. Dasar dari penentuan banyaknya tahap ekstraksi adalah pendapat Glicksman (1969) yang menyatakan bahwa proses ekstraksi kolagen menjadi gelatin dilakukan secara bertingkat. Ekstraksi yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan cara mencampur air dengan kulit sapi dengan perbandingan 1: 2. Campuran air dan kulit sapi dimasukkan dalam ekstraktor kemudian dipanaskan secara bertahap. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan dua alternatif metode. Suhu dan waktu yang digunakan di setiap tahap ekstraksi dapat dilihat di Tabel 7. Tabel 7. Suhu dan waktu yang digunakan di setiap tahap ekstraksi penelitian pendahuluan Tahap Metode I Metode II 0 0 ekstraksi Suhu ( C) Waktu (jam) Suhu ( C) Waktu (jam) Tahap 1 55 5 55 4 Tahap 2 65 4 65 4 Tahap 3 75 3 75 4 Tahap 4 85 2 85 4 Tahap 5 95 1 95 4 Melalui dua alternatif metode ini dicari metode yang menghasilkan rendemen gelatin yang tertinggi. Pemberian agitasi dilakukan dengan menggunakan agitator yang digerakkan oleh motor.
  • 32. 2. Penelitian Utama Aktivitas yang dilakukan pada penelitian utama adalah mengolah kulit sapi yang sudah disiapkan kemudian diproses hingga didapatkan bubuk gelatin kering. Langkah pertama dalam mengolah kulit sapi adalah melakukan pengecilan ukuran. Proses pengecilan ukuran (7 x 10 cm2) dilakukan untuk memudahkan proses pencucian dan perendaman kulit. Proses perendaman (liming) dilakukan agar serabut-serabut kolagen berubah menjadi serat-serat yang lebih kecil sehingga kulit menjadi longgar. Proses perendaman dilakukan selama enam minggu melalui perendaman kulit di dalam 300 % air. Hal ini berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Harijatmoko (2004), proses perendaman enam minggu dengan dosis kapur tohor 15 % dapat menghasilkan rendemen gelatin terbaik. Langkah berikutnya adalah proses deliming yang dilakukan dengan cara merendam kulit selama tiga jam di dalam 300 % air dan amonium sulfat 2 % (persentase dihitung berdasarkan bobot kulit split basah yang telah dilakukan pengecilan ukuran). Proses deliming dilakukan untuk menghilangkan kapur yang telah terikat dengan kulit secara kimia dan untuk menghilangkan pembekuan akibat dari pengapuran. Langkah selanjutnya adalah proses ekstraksi bertingkat. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan metode ekstraksi yang digunakan adalah metode pertama yang dilakukan dalam lima tahap dengan suhu dan waktu masing-masing; 55 OC - 5 jam, 65 OC - 4 jam, 75 O C - 3 jam, 85 OC - 2 jam, dan 95 OC - 1 jam. Ekstraksi dilakukan dengan empat perbedaan perbandingan kulit-air; 1:1, 1:2, 1:3, dan 1:4, serta tiga interval agitasi yang berbeda yaitu tiap 10 menit, 20 menit, dan 30 menit, dengan kecepatan serta lama berputar masing-masing 50 rpm dan 3 menit. Filtrat diperoleh melalui filtrasi vakum secara bertahap dengan ukuran filter 150 mesh. Proses selanjutnya adalah proses pemekatan dengan evaporasi dengan menggunakan evaporator vakum pada suhu 57°OC dan tekanan -73 cmHg sampai kepekatannya mencapai kisaran 10 % dari volume semula. Filtrat yang telah pekat kemudian disimpan dalam
  • 33. pendingin (chiller) selama 30 menit agar filtrat tersebut menjadi gel. Filtrat gelatin dalam bentuk gel diperlukan agar proses ekstrusi dapat dilakukan dengan baik. Proses ekstrusi dilakukan dengan alat ekstrusi hingga didapatkan gelatin dalam bentuk seperti mie. Gelatin yang telah diekstrusi kemudian dikeringkan dengan alat pengering tipe rak yang dilakukan pada 30 OC kemudian meningkat secara bertahap hingga suhu tertinggi 75°OC sampai diperoleh gelatin kering dengan kadar air kurang lebih 16 %. Selanjutnya dilakukan proses penggilingan (grinding) sehingga diperoleh gelatin kering dalam bentuk butiran–butiran halus. Parameter yang diukur antara lain; rendemen, kadar air, kadar abu, warna, kekuatan gel, viskositas, dan stabilitas emulsi. Diagram alir proses pembuatan gelatin dari kulit sapi disajikan pada Gambar 4. Kulit split Pengecilan ukuran Pencucian Dosis kapur tohor : 15 % Liming (Penngapuran) lama perendaman 6 minggu Netralisasi NH3SO4 2 % PERLAKUAN Ekstraksi (air dan kulit) Filtrasi Perbandingan Interval kulit-air : agitasi:10 menit, 1:1, 1:2, 1:3, dan 20 menit,dan 30 1:4 menit Evaporasi Chilling Penggilingan Ekstrusi Butiran gelatin Pengeringan Analisa Mutu Produk Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan gelatin dari kulit sapi
  • 34. Prosedur Analisa Karakter Mutu 1. Rendemen (Association of Offical Analytical Chemists, 1995) Rendemen diperoleh dari perbandingan bobot kering gelatin (setelah dikurangi kadar air) yang dihasilkan dengan bobot kulit yang digunakan dengan rumus sebagai berikut: Bobot kering gelatin Rendemen (%) = x100% Bobot kulit yang digunakan 2. Warna (Soekarto, 1990) Warna ditentukan menggunakan chromameter dengan sistem Hunter, yaitu dicirikan tiga notasi warna, yaitu L, a dan b (tetapi yang diamati pada penelitian ini hanya notasi L dan b). Notasi L merupakan notasi yang menyatakan tingkat kecerahan (light) dan memiliki nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru- kuning, dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru. Sejumlah contoh gelatin hasil penelitian ditempatkan pada satu wadah yang merupakan bagian dari alat chromameter. Contoh ditempatkan pada wadah hingga menutupi semua permukaan dasar dari wadah tersebut. Contoh kemudian diukur menggunakan chromameter. Hasil pengukuran notasi warna gelatin akan tercetak dan menunjukkan nilai notasi L dan b dari gelatin hasil penelitian. 3. Kadar Air (Association of Offical Analytical Chemists, 1995) Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105 OC selama 1 jam, kemudian didinginkan dan ditimbang. Contoh yang akan ditentukan kadar airnya ditimbang sebanyak 5 gram. Cawan yang telah berisi contoh dimasukkan dalam oven bersuhu 105OC sampai bobotnya konstan (24 jam). Kadar air dihitung berdasarkan persamaan berikut : B-A Kadar air = x 100 % Bobot contoh basah Keterangan : A = Bobot cawan + contoh kering (g) B = Bobot cawan + contoh basah (g)
  • 35. 4. Kadar Abu (Association of Offical Analytical Chemists, 1995) Contoh yang telah diuapkan airnya dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600°C. Sebelumnya bobot cawan kering dan bobot contoh telah diketahui. Proses pembakaran dilakukan sampai semua bahan berubah menjadi abu ( sekitar 6 jam), kemudian hasilnya ditimbang. A Kadar abu = x 100 % B Keterangan : A = Bobot contoh akhir (g) B = Bobot contoh awal (g) 5. Kekuatan Gel (British Standard 757,1975) Contoh sebannyak 6,67 gram dilarutkan dalam aquades pada labu takar sampai mencapai volume 100 ml, kemudian larutan diambil sebanyak 10ml dan dipindahkan dalam gelas piala 25 ml dan didinginkan pada suhu 10°C dengan kisaran lama antara 15 hingga 19 jam. Selanjutnya hasilnya dianalisa menggunakan Voland Steven Texture Analyzer. Hasil dari pengukuran berupa grafik dan diamati tinggi kurva sebelum pecah serta berat beban yang tercatat pada alat saat contoh pecah. Kekuatan gel ditentukan dari grafik yang diperoleh. Rumus untuk menentukan kekuatannya adalah sebagai berikut : AxB Kekuatan gel (Bloom) = x 98,07 x 2,86 x 10-3 C Keterangan : A = Tinggi kurva sebelum patah B = Bobot penekan (gram) C = Luas permukaan penekan (cm2) 6. Viskositas (British Standard 757, 1975) Contoh sebanyak 6,67 gram dilarutkan dalam aquades pada labu takar sampai mencapai volume 100 ml, kemudian dipanaskan pada suhu 60°C. Viskositasnya diukur dengan menggunakan spindle nomer 2 dan kecepatan putarnya 60 rpm. Viskositasnya (cP) adalah 5 (faktor konversi) dikalikan dengan angka hasil pengukuran.
  • 36. 7. Stabilitas Emulsi (Sathe dan Salunkhe, 1981) Sebanyak 10 gram contoh disuspensikan dalam 100 ml aquades. Setelah itu ditambahkan air sampai 150 ml dan minyak jagung sebanyak 150 ml, kemudian diblender selama dua menit. Hasilnya dituang dalam tabung sentrifuse dan dipanaskan pada suhu 80°C selama 30 menit, selanjutnya didinginkan dan disentrifuse pada 1400 rpm selama 30 menit. Fase yang sudah tidak membentuk emulsi dipisahkan kemudian bahan ditimbang. Stabilitas emulsi dinyatakan sebagai campuran yang masih membentuk emulsi setelah mengalami pemanasan dan dihitung dengan menggunakan rumus: Bobot fase yang tersisa Stabilitas Emulsi (SE) = x 100 % Bobot total bahan emulsi
  • 37. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian ini menggunakan bahan baku kulit sapi yang sebelumnya telah mengalami proses pengepressan (buang daging), perendaman, pengapuran (liming) dan pembelahan (splitting). Proses pembelahan ini merupakan pembelahan kulit menjadi dua lapisan atau lebih untuk mendapatkan tebal yang dikehendaki. Setelah kulit sapi dinilai siap, kulit sapi kemudian diekstraksi dengan dua alternatif metode. Metode pertama ekstraksi dilakukan dengan suhu dan waktu masing-masing 55 OC - 5 jam, 65 OC – 4 jam, 75 OC – 3 jam, 85 OC – 2 jam, dan 95 OC – 1 jam. Metode ini menghabiskan waktu proses selama 15 jam. Metode kedua dilakukan dengan suhu dan waktu masing-masing 55 OC - 4 jam, 65 OC – 4 jam, 75 OC – 4 jam, dan 85 OC – 4 jam. Total waktu untuk metode kedua ini adalah 16 jam. Selama proses ekstraksi berlangsung, secara berkala diberikan agitasi menggunakan agitator yang disambungkan pada motor pemutar. Hasil pengukuran pada volume filtrat ekstraksi menentukan metode mana yang dipilih sebagai metode ekstraksi pada penelitian utama. Dari dua proses ekstraksi dengan perbandingan kulit-air yang sama, volume filtrat yang lebih banyak diyakini memberikan rendemen yang lebih banyak. Tabel 8 menunjukkan bahwa metode pertama dengan volume filtrat sebanyak 15.9 L lebih memungkinkan untuk dipilih sebagai metode ekstraksi di penelitian utama dibandingkan dengan metode kedua yang hanya menghasilkan volume filtrat sebanyak 15.7 L. Tabel 8. Volume filtrat ekstraksi pada penelitian pendahuluan Volume gelatin cair (L) Metode Total (L) Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5 I 10.1 3.72 1.34 0.74 - 15.9 II 10.8 3.54 0.16 1.2 - 15.7
  • 38. B. PENELITIAN UTAMA Informasi yang didapatkan dari penelitian pendahuluan kemudian dijadikan panduan untuk melakukan penelitian utama. Kulit sapi yang sudah disiapkan untuk bahan baku penelitian utama kemudian diproses sesuai dengan metode penelitian pendahuluan hingga didapatkan bubuk gelatin kering. Gelatin yang sudah didapatkan dari penelitian ini kemudian dianalisa beberapa karakteristiknya antara lain ; rendemen, warna (notasi L dan b), kadar air, kadar abu, kekuatan gel, viskositas, dan stabilitas emulsi. 1. Rendemen Rendemen merupakan salah satu parameter untuk mengukur efisiensi dan efektifitas proses ekstraksi yang dilakukan. Kecenderungan naik turunnya nilai rendemen sampel gelatin hasil penelitian disajikan pada Gambar 5. 14 12 rendemen (%) 10 8 6 4 2 0 1:1 1 1:2 2 1:3 3 1:4 4 perbandingan kulit-air agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30' Gambar 5. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap rendemen gelatin sampel Gambar 5 menunjukkan ekstraksi gelatin dengan interval agitasi setiap 10 dan 20 menit sekali mempunyai nilai rendemen yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah air yang ditambahkan. Dengan kata lain semakin banyak air yang ditambahkan, rendemen gelatin yang diperoleh semakin tinggi. Hal ini dikarenakan lebih banyak air yang
  • 39. dapat mengikat ekstrak gelatin yang tertinggal dalam kapiler-kapiler kulit. Gaya adhesi kapiler-kapiler kulit dapat menyebabkan ekstrak gelatin tertinggal di dalamnya selama proses ekstraksi berlangsung (Handojo, 1995). Namun peningkatan nilai rendemen ini tidak terjadi pada ekstraksi yang dilakukan dengan interval agitasi tiap 30 menit. Penambahan jumlah air tidak menambah jumlah rendemen gelatin. Terdapat nilai rendemen yang rendah dari dua sampel (lampiran 1). Nilai ini dipengaruhi oleh proses pembuatan gelatin selanjutnya yaitu proses pengeringan. Panas yang diberikan oleh alat pengering membuat sampel gelatin khususnya yang masih mempunyai kadar air yang masih tinggi mencair kembali. Gelatin yang mencair akhirnya masuk dan mengering di antara sela-sela kawat wadah. Gelatin yang mengering ini pada akhirnya sulit untuk diambil dan ditimbang. Pengamatan pada pengaruh agitasi terhadap nilai rendemen menunjukkan bahwa perbedaan interval agitasi tidak memberikan kecenderungan khusus (naik atau turun) pada nilai rendemen. Tidak seperti yang diduga sebelumnya bahwa pemberian agitasi yang semakin sering memberikan nilai rendemen yang lebih tinggi. Hal ini diduga karena selama proses ekstraksi berlangsung, agitator sering mengalami bongkar pasang. Hal ini menyebabkan posisi agitator tidak persis sama dalam setiap proses ekstraksi. Posisi yang tidak persis sama ini mempengaruhi jumlah kulit yang ikut berputar bersama air sehingga mempengaruhi jumlah rendemen gelatin. 2. Warna Warna memiliki peranan yang penting dalam komoditas pangan dan hasil pertanian lainnya. Karakteristik warna sangat penting sebagai daya tarik, tanda pengenal dan atribut mutu. Salah satu cara untuk mengukur warna adalah menggunakan alat yang disebut dengan chromameter. Pengukuran menggunakan alat ini menghasilkan tiga notasi yang biasa dikenal dengan notasi L, a, dan b. Angka-angka ini kemudian dibandingkan
  • 40. dengan komponen-komponen warna dalam diagram uji warna seperti terdapat dalam Lampiran 2. Penelitian ini hanya mengukur notasi L dan notasi b. Notasi a tidak dilakukan pengukuran dikarenakan notasi ini menunjukkan spektrum warna hijau dan merah, dua warna yang tidak pernah ditemukan pada sampel gelatin pada umumnya. Nilai L merupakan parameter yang menunjukkan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam (Soekarto, 1990). Paramater ini memperlihatkan tingkat kecerahan (light) dari suatu bahan dengan kisaran dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Larutan encer gelatin kualitas tinggi tidak berwarna, sedangkan gelatin kualitas rendah memiliki warna coklat kejinggaan. Kisaran rata-rata notasi L gelatin sampel yang didapatkan dari penelitian ini adalah 55,49 - 58,90, tidak jauh berbeda tingkat kecerahannya dengan notasi L pada gelatin komersial yang tercatat sebesar 56,36 (Lampiran 3). Pengaruh perbandingan kulit-air serta interval agitasi terhadap nilai rata-rata notasi L pada gelatin hasil penelitian ini dapat dilihat di Gambar 6. . 60 59 nilai notasi L 58 57 56 55 54 53 1:1 1 1:2 2 1:3 3 1:4 4 perbandingan kulit-air agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30' Gambar 6. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap notasi L sampel gelatin.
  • 41. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perbandingan kulit-air dan interval agitasi tidak memberikan kecenderungan nilai naik atau turun pada tingkat kecerahan sampel gelatin. Perbandingan kulit-air yang semakin besar diharapkan dapat memberikan nilai kecerahan yang lebih baik dengan lebih banyaknya gelatin yang ikut terekstrak. Hal tersebut tidak terjadi pada empat tingkat perbandingan kulit-air yang dilakukan pada penelitian ini. Hal ini dimungkinkan terjadi karena selama proses ekstraksi berlangsung, bukan saja gelatin yang terekstrak namun juga zat-zat pengotor lain ikut pula terekstrak. Menurut Arthadana (2001) kejernihan warna gelatin tergantung pada kemampuan zat-zat pengotor yang ada untuk memancarkan cahaya, terutama keberadaan ion logam pada bahan dapat mempengaruhi warna gelatin yang dihasilkan. Semakin banyaknya air yang ditambahkan semakin besar peluang zat-zat pengotor ikut dalam filtrat gelatin. Begitu pula dengan pengaruh agitasi pada tingkat kecerahan sampel gelatin. Proses agitasi yang diharapkan dapat membantu untuk mengektrak gelatin dengan lebih baik, ternyata mempunyai efek samping. Agitasi yang diberikan tidak saja mengekstrak gelatin, namun juga membuat komponen-komponen non kolagen ikut terekstrak sehingga mempengaruhi tingkat kecerahan. Semakin sering agitasi diberikan, peluang komponen- komponen non kolagen ikut serta dalam filtrat lebih besar. Banyaknya komponen-komponen non kolagen yang ikut terekstrak sangat dipengaruhi jumlah komponen-komponen tersebut dalam bahan baku kulit yang digunakan. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru dan kuning dengan nilai b positif sampai +60 untuk warna kuning dan nilai b negatif dari 0 sampai -60 untuk warna biru. Warna gelatin dapat dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan, metode pembuatan dan jumlah ekstraksi (Glicksman, 1969). Gelatin dari kulit babi mempunyai warna yang lebih cerah jika dibandingkan dengan gelatin dari tulang paupun kulit sapi. Larutan encer gelatin kualitas tinggi tidak berwarna, sedangkan gelatin kualitas rendah memiliki warna coklat kejinggaan.
  • 42. Nilai rata-rata untuk notasi b yang didapatkan dari pengukuran gelatin hasil penelitian berkisar antara 39,74 sampai 41,68, semua menunjukkan nilai positif (Lampiran 4). Kisaran nilai tersebut menunjukkan bahwa warna gelatin hasil penelitian penelitian mengarah pada warna kuning. Kecenderungan naik turunnya nilai notasi b sampel gelatin hasil penelitian disajikan pada Gambar 7. Kedua perlakuan yaitu perbandingan kulit-air dan interval agitasi ternyata tidak memberikan pola tertentu pada nilai notasi b sampel gelatin. Adanya komponen-komponen non gelatin yang turut serta dalam filtrat mempengaruhi nilai notasi b. Perbandingan kulit-air yang semakin besar ternyata tidak selalu memberikan nilai notasi b yang selalu lebih tinggi (warna lebih kuning) seperti dugaan semula. Perbandingan kulit-air yang semakin besar juga dapat menurunkan nilai notasi b dikarenakan adanya komponen-komponen non gelatin dalam filtrat. Komponen ini memberikan peluang yang semakin besar terhadap terjadinya warna kuning yang semakin tua. 42 41,5 nilai notasi b 41 40,5 40 39,5 39 38,5 1:1 1 1:2 2 1:3 3 1:4 4 perbandingan kulit-air agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30' Gambar 7. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap notasi b sampel gelatin. Agitasi yang diberikan tidak memberikan pengaruh khusus pada nilai notasi b. Kondisi fisik bahan baku kulit diduga menjadi penyebab hal ini terjadi. Kondisi fisik kulit yang terlalu lembek, menjadikan kulit tersebut
  • 43. lebih mudah untuk terkoyak karena adanya agitasi. Kulit dengan kondisi yang terlalu lembek, semakin sering agitasi itu diberikan semakin banyak serpihan-serpihan kulit yang terkoyak dan bercampur dalam filtrat gelatin. Serpihan-serpihan ini menyebabkan warna kuning gelatin semakin tua. Perbandingan warna sampel gelatin yang dihasilkan dari penelitian ini dibandingkan dengan gelatin komersial dapat dilihat di Gambar 8. Gambar 8. Bubuk sampel gelatin Keterangan : Dari atas : kiri-kanan : A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, A2B4, A3B1, A3B2, A3B3, A3B4, Komersial, A4B1, A4B2, A4B3, A4B4. 3. Kadar Air Kadar air diketahui sebagai persentase air yang terikat oleh suatu bahan terhadap berat kering setelah dioven. Kandungan air suatu bahan menentukan penampakan, tekstur, dan kemampuan bahan tersebut terhadap kerusakan yang disebabkan oleh mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Air pada suatu bahan dapat digolongkan menjadi beberapa macam dengan karakteristiknya masing-masing. Air bebas merupakan air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat dan lain-lain. Air tipe ini cenderung mudah diuapkan. Air bebas juga dapat dimanfaatkan untuk
  • 44. pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Selain air bebas, ditemukan juga jenis air terikat (bound water), air tipe ini sulit diuapkan dan dipisahkan karena terikat kuat dengan komponen lain dalam bahan tersebut. Air yang terikat secara fisis adalah bagian air yang terdapat dalam tenunan bahan karena adanya ikatan-ikatan garis. Air yang terikat secara kimia terdiri dari bagian air yang terdapat dalam bahan dan terikat dalam susunan kimia (Setijahartini, 1985). Kadar air sampel gelatin penelitian ini berkisar antara 8,82 % (bk) hingga 12,74 % (bk) (Lampiran 5). Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai kadar air gelatin gelatin komersial yaitu 15,20 %. Nilai tersebut secara keseluruhan masih memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh Dewan Standar Indonesia (1995), yaitu <16 %. Gambar 9 menunjukkan bahwa perbandingan kulit-air tidak memberikan pengaruh yang jelas pada nilai kadar air gelatin. Hanya ekstraksi sampel gelatin pada agitasi setiap 30 menit sekali yang menunjukkan nilai kadar air yang semakin meningkat seiring dengan penambahan jumlah air. Menurut Clarks dan Courts (1977), rantai asam amino berikatan dengan rantai asam amino lainnya secara acak dengan menjerat air di dalam ikatan tersebut sehingga kadar air di dalam gelatin menjadi lebih tinggi. Dengan kata lain, semakin banyak molekul gelatin yang dapat terekstrak semakin besar jumlah air yang dapat terikat. 14 12 kadar air (% bk) 10 8 6 4 2 0 0 1:1 1 1:2 2 1:3 3 1:4 4 perbandingan kulit-air agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30' Gambar 9. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap kadar air sampel gelatin
  • 45. Perlakuan agitasi juga tidak memberikan kecenderungan tertentu pada nilai kadar air sampel gelatin. Molekul-molekul gelatin dalam kulit seharusnya dapat terekstrak lebih optimal dengan semakin seringnya diberikan agitasi. Namun dari penelitian ini, hal tersebut tidak sepenuhnya terjadi. Nilai kadar air sampel gelatin hasil penelitian yang cenderung naik turun ini diduga dipengaruhi oleh proses evaporasi dan pengeringan yang dilakukan. Rendahnya efisiensi kedua alat mempengaruhi nilai kadar air sampel gelatin yang didapatkan. Pada saat proses evaporasi dan pengeringan jumlah air yang teruapkan tidak dapat ditetapkan dengan tepat dikarenakan keterbatasan kerja alat. 4. Kadar Abu Kadar abu suatu bahan dapat menunjukkan kemurnian suatu bahan. Metode pembuatan dan bahan kimia pendukung (non organik) yang digunakan selama proses pembuatan gelatin akan mempengaruhi kadar abu di dalam gelatin. Metode pembuatan gelatin melalui proses basa akan meninggalkan residu berupa mineral-mineral tertentu sesuai dengan bahan kimia yang digunakan. Air digunakan sebagai pengekstrak dalam proses ekstraksi gelatin. Sampai titik tertentu semakin banyak air yang digunakan maka semakin banyak molekul gelatin yang dapat terekstrak. Namun semakin banyak air yang digunakan dapat juga meningkatkan jumlah mineral yang ikut dalam filtrat. Agitasi pada dasarnya ditujukan untuk menambah jumlah molekul gelatin yang dapat terekstrak. Namun pada pelaksanaannya, agitasi bisa juga menambah jumlah mineral yang terekstrak dari kulit. Semakin sering agitasi itu diberikan (interval semakin kecil), kemungkinan mineral yang terekstrak juga semakin besar. Gelatin yang diperoleh pada penelitian ini mempunyai kadar abu berkisar antara 2,89-3,89 (% bk) (Lampiran 6). Perbandingan air yang semakin besar tidak selalu memberikan nilai kadar abu yang lebih tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh proses perendaman (liming) dan proses netralisasi yang
  • 46. dilakukan. Perbandingan air yang lebih sedikit namun menghasilkan nilai kadar abu yang lebih tinggi diduga disebabkan karena kulit yang digunakan terendam selama proses liming berada di posisi terbawah sehingga lebih banyak kapur yang masuk dalam kapiler-kapiler kulit. Proses netralisasi yang tidak sempurna juga turut serta mempengaruhi pengukuran nilai kadar abu ini. Pengaruh perbandingan kulit-air terhadap nilai kadar abu sample gelatin dapat dilihat di Gambar 10. 4.5 4 3.5 kadar abu (% bk) 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0 1:1 1 1:2 2 1:3 3 1:4 4 perbandingan kulit-air agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30' Gambar 10. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap kadar abu sampel gelatin Agitasi yang semakin sering diberikan, namun memberikan nilai kadar abu yang lebih sedikit bisa dikarenakan jumlah mineral yang terdapat pada sampel yang digunakan memang sedikit. Optimalisasi proses perendaman (liming) dan netralisasi menjadi hal yang menentukan. 5. Kekuatan Gel Sifat gelatin yang sering dimanfaatkan oleh industri pangan adalah kemampuannya untuk membentuk gel yang reversible. Sifat ini yang membedakan gelatin dengan gel hidrokoloid lainnya seperti pektin yang bersifat irreversible. Kekuatan gel merupakan sebuah satuan yang
  • 47. menunjukkan tingkat kekuatan formasi yang terbentuk jika diberi beban tertentu. Menurut Glicksman (1969) formasi gel terbentuk karena adanya ikatan hidrogen pada struktur molekulnya sehingga terbentuk formasi semikoloid gel dengan air. Hal ini sangat dipengaruhi oleh susunan asam amino pada gelatin. Stanby (1977) juga menyebutkan bahwa kekuatan gel gelatin dipengaruhi oleh kondisi asam amino penyusunnya terutama panjang rantai asam aminonya. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi nilai kekuatan gel dari gelatin antara lain pH, senyawa elektrolit dan non elektrolitnya. Pendapat lain disampaikan oleh King (1969) yang menyebutkan bahwa kekuatan gel dapat dipengaruhi oleh pH, keberadaan asam, basa, panas, dan enzim proteolitik. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi pembentukan gel. Pengukuran nilai kekuatan gel dari gelatin sampel menghasilkan kisaran kekuatan gel antara 72,5 sampai 225 Bloom, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kekuatan gel dari gelatin komersial yang terukur sebesar 205 Bloom (Lampiran 7). Namun nilai gelatin sampel tersebut masih memenuhi kriteria berdasarkan British Standar yang memberikan kisaran kekuatan gel gelatin antara 50 hingga 300 Bloom. Kekuatan gel sampel gelatin dengan perbandingan air 1:3 dan 1:4 cenderung mempunyai nilai yang rendah (Gambar 11). 300 kekuatan gel (bloom) 250 200 150 100 50 0 1:1 1 1:2 2 1:3 3 1:4 4 perbandingan kulit-air agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30' Gambar 11. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap kekuatan gel sampel gelatin
  • 48. Selama proses ekstraksi berlangsung terjadi hidrolisis kolagen menjadi gelatin oleh air. Semakin banyak air yang ditambahkan maka diharapkan semakin banyak kolagen yang dapat terhidrolisis menjadi gelatin kemudian terekstrak. Jumlah gelatin yang terekstrak ini menentukan kekuatan gel dari sampel gelatin kering. Gambar 11 menunjukkan pengaruh jumlah air yang ditambahkan dengan nilai kekuatan gel sampel gelatin. Dari gambar terlihat bahwa semakin banyak air yang ditambahkan tidak selalu menghasilkan nilai kekuatan gel yang lebih tinggi. Hal ini bisa disebabkan oleh mineral yang terdapat dalam sampel tersebut. Mineral- mineral terebut dapat saja menghambat hidrolisis kolagen menjadi gelatin. Hal ini mengurangi jumlah gelatin yang terekstrak, dengan sendirinya kekuatan gel menurun. Gelatin dalam filtrat hasil ekstraksi diyakini bertambah jumlahnya jika ditambahkan proses agitasi dalam proses ekstraksi. Semakin sering agitasi diberikan diharapkan semakin besar nilai kekuatan gel sampel gelatin. Hal ini terjadi pada sampel-sampel gelatin hasil penelitian yang didapatkan dari ekstraksi menggunakan perbandingan kulit-air 1 :3 dan 1 :4. Namun pemberian agitasi yang semakin sering ternyata tidak selalu memberikan nilai kekuatan gel yang lebih tinggi. Hal ini terjadi pada ekstraksi yang dilakukan dengan tingkat perbandingan 1: 1 dan 1:2. Ada sampel dimana saat diberikan agitasi yang lebih banyak (interval lebih sempit) didapatkan nilai kekuatan gel yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena sampel-sampel tersebut mempunyai nilai kadar abu yang lebih tinggi dibandingkan sampel yang diberikan agitasi lebih sedikit pada perbandingan kulit-air yang sama. Hal inilah yang menyebabkan kecenderungan nilai kekuatan gel sampel gelatin perbandingan 1 :1 dan 1: 2 mengalami naik turun. United States Patent (1999) menggolongkan mutu gelatin menjadi tiga kelas berdasarkan kekuatan gelnya. Gelatin dengan kekuatan gel >240 bloom termasuk gelatin kualitas tinggi, gelatin dengan kekuatan gel 120-240 termasuk gelatin kualitas sedang, dan gelatin dengan kekuatan gel < 120 bloom termasuk gelatin kualitas rendah.
  • 49. Mutu gelatin hasil penelitian jika dinilai berdasarkan United States Patent (1999), yang termasuk gelatin kualitas tinggi adalah sampel gelatin A1B2, A2B3, dan A4B1. Sampel gelatin yang termasuk gelatin kualitas sedang adalah A1B1, A1B3, A2B1, A2B2, A3B1, A3B2, A3B3, dan A4B2. Terdapat satu sampel yang termasuk gelatin kualitas rendah yaitu sampel A4B3. 6. Viskositas Viskositas suatu bahan menunjukkan kemudahan bahan tersebut untuk mengalir. Aliran ini terjadi karena adanya gesekan antar struktur kimia molekul-molekul dalam pelarut. Berdasarkan British Standard nilai viskositas gelatin berkisar 1,5 sampai dengan 7 cP. Pengukuran nilai viskositas dari sampel gelatin didapatkan kisaran nilai viskositas 5- 18 cP (lampiran 8). Gambar 12 menunjukkan pola nilai viskositas sampel gelatin hasil penelitian. 20 viskositas (cP) 15 10 5 0 1:1 1 1:22 1:3 3 1:4 4 perbandingan kulit-air agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30' Gambar 12. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap viskositas sampel gelatin Ada beberapa sampel gelatin hasil penelitian yang mempunyai nilai viskositas diatas kisaran yang telah ditetapkan oleh British Standard (1975). Hal ini mempengaruhi pola kecenderungan nilai viskositas jika dilihat berdasarkan peningkatan perbandingan kulit-air. Air yang semakin banyak ditambahkan pada proses ekstraksi semestinya mampu mengekstrak gelatin lebih banyak, sehingga nilai viskositas semakin tinggi (masih berada dalam
  • 50. kisaran normal). Namun pada pengamatan, nilai viskositas sampel gelatin hasil penelitian tidak selalu meningkat seiring dengan semakin banyaknya air yang ditambahkan. Bahkan nilai viskositas yang didapatkan mampu melebihi kisaran nilai viskositas yang telah ditetapkan. Sama halnya dengan proses agitasi yang diberikan. Agitasi yang lebih sering dilakukan selama proses ekstraksi berlangsung diharapkan dapat menambah jumlah gelatin yang terekstrak. Jumlah kolagen yang terekstrak ini yang menjadikan nilai viskositas sampel gelatin hasil penelitian berada dalam kisaran yang telah ditetapkan. Pada penelitian ini, agitasi yang semakin sering diberikan tidak selalu memberikan nilai viskositas yang lebih tinggi. Keberadaan residu mineral yang masih tertinggal dalam sampel diduga menjadi penyebab kedua hal ini. Seperti yang disampaikan oleh Glicksman (1969) bahwa mineral tersebut dapat berikatan dengan struktur aldehid pada struktur gelatin dan membentuk polialdehid yang dapat menurunkan kelarutan gelatin. Penurunan nilai kelarutan ini berakibat pada meningkatnya nilai viskositas gelatin. Pendapat ini dikuatkan oleh Harijatmoko (2004) yang menyatakan bahwa seiring dengan meningkatnya residu mineral dalam gelatin, maka viskositas gelatin akan meningkat. Residu mineral ini dapat berasal dari bahan–bahan kimia seperti NH3SO4 yang digunakan ketika proses netralisasi dilakukan. Tidak sempurnanya proses netralisasi yang dilakukan menyebabkan adanya ion-ion dari NH3SO4 yang tertinggal. Keberadaan ion-ion ini yang akhirnya menjadikan nilai viskositas menjadi lebih tinggi dari kisaran yang telah ditentukan. 7. Stabilitas Emulsi Fungsi lain dari gelatin adalah sebagai pembentuk sistem emulsi. Nilai stabilitas emulsi pada gelatin menunjukkan kekuatan sistem emulsi yang mampu dipertahankan oleh gelatin. Semakin stabil suatu sistem emulsi, maka semakin tinggi mutu penyimpanan suatu produk. Rendahnya kekuatan sistem emulsi mempengaruhi penampakan, rasa, serta fungsi dari produk. Kerusakan sistem emulsi ini ditandai dengan adanya pemisahan sistem menjadi dua
  • 51. bagian yang terpisah. Bagian yang mempunyai densitas yang lebih rendah berada diatas, sedangkan bagian yang mempunyai densitas yang lebih ringan berada di bawah. Emulsi yang mengandung partikel kasar (makroglobula) umumnya mudah pecah karena makroglobula mudah bergabung antara satu dengan lainnya dan terpisah dari fase kontinunya. Sebaliknya emulsi yang mengandung partikel kecil memiliki stabilitas emulsi yang tinggi, dengan demikian semakin besar butirannya maka stabilitasnya akan berkurang. Kisaran nilai rata-rata stabilitas emulsi sampel gelatin berkisar antara 50,71–59,62 % (Lampiran 9). Tidak jauh berbeda dengan nilai stabilitas emulsi dari gelatin komersial yaitu 52,94 %. Hasil ini menunjukkan sampel gelatin hasil penelitian mempunyai tingkat kestabilan yang tidak jauh berbeda dengan gelatin komersial, bahkan beberapa sampel menunjukkan tingkat kestabilan yang lebih baik. Pengaruh kedua perlakuan terhadap nilai stabilitas sample gelatin dapat dilihat di Gambar 13. 62 60 stabilitas emulsi (%) 58 56 54 52 50 48 46 1:1 1 1:2 2 1:3 3 1:4 4 perbandingan kulit-air agitasi 10' agitasi 20' agitasi 30' Gambar 13. Pengaruh perbandingan kulit-air dan interval agitasi terhadap stabilitas emulsi sampel gelatin Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh banyak gugus gugus karboksil (COO-) dan amina (NH3+ ) yang ada dalam filtrat gelatin. Gugus-gugus ini dapat meningkat jumlahnya jika hidrolisis kolagen menjadi gelatin berjalan dengan sempurna dan gelatin berhasil terekstrak. Jumlah air yang ditambahkan selama proses ekstraksi berlangsung dapat meningkatkan jumlah gelatin yang terekstrak sehingga stabilitas emulsi bisa meningkat akibat adanya gugus-
  • 52. gugus karboksil dan amina yang lebih banyak. Pengamatan pada stabilitas emulsi sampel gelatin hasil penelitian menunjukkan hanya ekstraksi dengan interval agitasi setiap 10 menit sekali yang menunjukkan nilai stabilitas emulsi yang semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya air yang ditambahkan. Sedangkan pada ekstraksi dengan interval agitasi setiap 20 dan 30 menit sekali menunjukkan kecenderungan nilai stabilitas emulsi yang tidak menentu. Hal ini dapat disebabkan karena kolagen yang berada dalam kapiler- kapiler kulit tidak terhidrolisis dan terekstrak dengan sempurna. Tidak optimalnya hidrolisis kolagen menjadi gelatin bisa disebabkan oleh suhu lingkungan yang mempengaruhi suhu sistem ekstraktor dan akhirnya menggangu jalannya ekstraksi. Khususnya jika proses ekstraksi dilakukan pada malam hari. Stabilitas emulsi diharapkan dapat meningkat seiring dengan semakin seringnya agitasi diberikan. Pada penelitian ini hanya ekstraksi dengan perbandingan kulit-air 1:3 dan 1:4 yang menunjukkan nilai stabilitas emulsi yang meningkat seiring dengan semakin seringnya agitasi diberikan. Pada ekstraksi dengan perbandingan kulit-air 1:1 dan 1:2, semakin sering agitasi diberikan nilai stabilitas tidak selalu meningkat. Ketidakoptimalan hidrolisis kolagen menjadi gelatin pada ekstraksi di dua perbandingan kulit-air tersebut menjadikan jumlah gelatin yang terekstrak dengan bantuan agitasi menjadi tidak optimal. .
  • 53. V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Hasil analisa pada penelitian ini menunjukkan bahwa indikator kualitas gelatin yang dihasilkan secara umum gelatin yang diperoleh telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Dewan Standardisasi Nasional (1995) maupun British Standard 757 (1975). Kisaran nilai variabel sampel gelatin yang diperoleh dari penelitian ini adalah rendemen 6,46 – 13,11%, notasi L 55,49 – 58,90 (cerah), notasi b 39,74 – 41,68 (kuning), kadar air 8,82 – 12,74 % (bk), kadar abu 2,89-3,89 (% bk), kekuatan gel 115– 280 bloom, viskositas 5 – 18 cP, dan stabilitas emulsi 50,71 – 59,62 %. Pengamatan pengaruh kedua perlakuan (perbandingan kulit-air serta interval agitasi) terhadap beberapa parameter gelatin menunjukkan bahwa kedua perlakuan tidak memberikan pola kecenderungan tertentu. Dengan kata lain tidak ada tren khusus (naik atau turun) pada nilai parameter gelatin akibat dari peningkatan atau penurunan kuantitas perlakuan yang diberikan. Mutu gelatin hasil penelitian jika dinilai berdasarkan United States Patent (1999), yang termasuk gelatin kualitas tinggi adalah sampel gelatin A1B2, A2B3, dan A4B1. Sampel gelatin yang termasuk gelatin kualitas sedang adalah A1B1, A1B3, A2B1, A2B2, A3B1, A3B2, A3B3, dan A4B2. Terdapat satu sampel yang termasuk gelatin kualitas rendah yaitu sampel A4B3. Penilaian ini menunjukkan bahwa sebagian besar sampel gelatin merupakan gelatin dengan kualitas sedang. B. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar didapatkan tren yang lebih spesifik dengan menambahkan pengadukan pada proses liming dan netralisasi agar residu mineral dapat dikurangi.
  • 54. DAFTAR PUSTAKA Akademi Teknologi Kulit. 1984. Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi Teknologi Kulit, Yogyakarta. Arthadana, L. N. 2001. Kajian Proses Produksi Gelatin Tipe A Berbahan Baku Kulit sapi dengan Metode Perendaman Asam. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Anonim. 1978. Mutu dan Cara Uji Gelatin. Departemen Perindustrian, Jakarta. Association Of Official Analytical Chemists (AOAC). 1995. Official Methods of Analysis of Association Official Analytical Chemists. Washington, D.C. Bennion, M. 1980. The Science of Food. John Wiley and Sons. New York Belitz, H. D., and W. Grosch. 1999. Food Chemistry. 2ndEdit. Springer, Germany. BPS. 1999-2005. Statistik Industri-Industri Besar dan Menengah. Jakarta. BPS. 1999-2005. Statistik Perdagangan Ekspor – Impor Indonesia. Jakarta. British Standard 757. 1975. Sampling and Testing of Gelatin. Di Dalam Imeson. 1992. Thikcening and Gelling Agents For Food. Academic Press, New York. Brown, A. 2000. Understanding Food : Principles and Preparation. Wadsworth. Belmont. Carley, H. 1982. Food Science. 2nd ed. John Wiley and Sons Inc., New York Chang, R. And W. Tikkanen. 1988. The Top Fifty Industrial Chemicals. Random House. New York. Dewan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 06-3735-1995. Mutu dan Cara Uji Gelatin. Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta. Djojowidagdo, S. 1981. Kajian Kulit dan Pemanfaatannya. Presentasi Pada Seminar Pertemuan Ilmiah Ruminansia di BPT Ciawi, Bogor. Fahidin dan Muslich. 1999. Diktat Ilmu dan Teknologi Kulit. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fardiaz, D. 1989. Buku dan Monograf Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.
  • 55. Gates, J. C. 1981. Basic Food. Holt, Rinehart and Winston. California. Glicksman, M. 1969. Gum Technology in Food Industry. Academic Press. New York. Handojo, Lienda. 1995. Teknologi Kimia. PT Pradnya Paramitha, Jakarta. Harijatmoko, K. E. 2004. Studi Kualitas Gelatin Dari Kulit Sapi Sisa Trimming dengan Dosis Kapur Tohor (CaO) dan Lama Perendaman yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor. Hinterwaldner, R. 1977. Raw Material. Di Dalam Ward, A. G. dan A. Courts. 1977. The Science and Technology of Gelatin. Academic Press, New York Hughes, O dan M. Bennion. 1970. Introductory Foods. 5th Edit. MacMillan Publishing Co., Inc. New York. Imeson. 1992. Thickening and Gelling Agents for Food. Academic Press, New York. Johns, P. and A. Curts. 1977. Relation between Collagen and Gelatin. Di Dalam Ward. A. G. and A. Courts (ed.). 1977. The Science and Technology of Gelatin. Academic Press. London. Jones, N. R. 1977. Uses of Gelatin in Edible Products. Di Dalam Ward, A. G. and A. Courts (Eds). The Science and Technology of Gelatin. Academic Press. New York. Judoamidjojo, R. M. 1974. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. FATEMETA IPB. Bogor. Judoamidjojo, R. M., Fahidin dan Basuki. 1979. Komoditi Kulit di Indonesia. Pendidikan Keterampilan Teknis. Laboratorium Pengendalian Mutu. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. IPB. Bogor. Judoamodjojo, R. M. 1981. Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan. Penerbit Angkasa. Bandung. King, W. 1969. Gelatin. Di Dalam Gliksman, M. (ed.). Gum Technology in Food Industry Academic Press. London. Lehninger, A. L. 1993. Dasar-Dasar Biokimia Jilid I. Terjemahan. M. Thenawijaya. Penerbit Erlangga. Jakarta. Lembaga Statistik Peternakan. 2003. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
  • 56. Parker, A. L. 1982. Principles of Biochemistry. Worth Publishers, Inc., Sparkas, Maryland. Poppe, J. 1992. Gelatin. Di Dalam A. Imeson (ed). Thickening and Gelling Agent For Food. Academic Press. New York. Purnomo, E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi Penyamakan Kulit. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Yogyakarta. Sathe, S. K. And D. K. Salunkhe. 1981. Functional Properties of The Great Northern Bean (Phaseolous vulgaris L) Di Dalam Protein : emulstions, faming, viscosity and gelatin properties. J. Food Science. 46:71-74. Setijahartini, S. 1985. Pengeringan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Agoindustri Press. Bogor. Setyorini, 1994. Kajian Proses Demineralisasi dan Liming dalam Ekstraksi Gelatin dari Kolagen Tulang Sapi. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Sharphouse, J. H. 1978. Leather Technician’s Handbook. Leather Producers Association. London. Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Mutu dan Standardisasi Mutu Pangan. IPB. Bogor. Stainby, G. 1977. The Physical Chemistry of Gelatin in Solution. Di dalam A. G. Ward dan A. Courts. 1977. The Scince and Technology of Gelatin. Academic Press, New York. Pp. 179-206. Sudarmadji, S. 1995. Prosedur Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. The United Stated Patent 5210182. 2005. Extraction Process For Gelatin. www.google.com [ 11 Mei 1993]. Tourtelotte, P. 1980. Gelatin. Di dalam Encyclopedia of Food Science and Technology. Mc Graw Hill Book Co., New York. Ward, A. G. and A, Courts. 1977. The Science and Technology of Gelatin. Academic Press. New York. Wijaya, I. 1998. The Effect of Protein Contentration and pH on The Bloom Strength of Gelatin. Gitayana. 4(1):36-44.
  • 57. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka utama. Jakarta. Wong, D. W. S. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. An AVI Book. Van Nostrand Reinhold, New York.