3. “Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan
dosa adalah apa yang melintas dalam
benakmu dan kamu membencinya bila
orang lain mengetahuinya.”
(HR. Muslim)
4. Tentu kita rindu surga bukan? Nah, surga
pun merindukan kita, tapi ada syaratnya.
Karena surga adalah tempat yang mulia,
derajat yang mulia, tak akan bisa dimasuki
kecuali oleh orang-orang yang
menyamakan frekwensi surga dalam
hidupnya. Merekalah orang-orang yang
shalih. Lalu siapakah orang yang shalih
itu?
5. Kunci sukses ada dalam diri kita masing-
masing. Karena setiap kita lebih tahu apa
yang ada dalam diri kita,
kecenderungannya, bahkan apa-apa yang
disimpan di hatinya. Rahasia ada di
tangannya dan di file catatan Allah yang
Maha Mngetahui segalanya. Maka hati-hati
dengan gejolak hati yang kadang
menggiring pada rencana buruk dan jahat,
yang bisa menggelincirkan ke jalan sesat
dan terlaknat.
6. Imam Ibnu Rajab berkata, “Sesungguhnya
keinginan berbuat jahat yang tersembunyi
di dalam hati akan mengantarkan
seseorang pada su’ul khatimah.”
Na’udzubillah.
7. “Dan jiwa dengan penyempurnaan, maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy Syam: 7-10)
8. Kini mari kita selami lagi surat Al Ashr ini
agar kita tak merugi. “Demi masa.
Sesungguhnya manusia benar-benar
dalam kerugian, kecuali…” Siapa yang
dikecualikan oleh Allah? Siapakah yang
tidak termasuk orang-orang yang merugi.
Rugi bagi dirinya dan tentu bisa
merugikan orang lain.
9. Pertama adalah orang yang beriman.
Orang beriman menjadikan segalanya
adalah sukses. “Sungguh beruntunglah
(sukseslah) orang-orang yang beriman…”
(Al Mukminun : 1) Sudah, tiket ini kita
kantongi dulu agar kita optimis untuk
mendapatkan satu bagian di surga.
Besarnya? Tergantung episode
selanjutnya.
10. Kedua, amal shalih. Amal shalih tak dapat
dipisahkan dari iman. Amal shalih adalah
buahnya, buah ilmu dan iman. Karena bila
iman tak melahirkan amal shalih berarti
iman yang hampa. Iman yang kosong.
Iman yang salah, keliru, kesasar, hanya
berputar-putar. Iman yang tak berdaya
guna. Iman yang tidak berhasil guna.
Tidak efektif dan tidak efisien. Seperti
pohon tanpa buah. Seperti rumah tanpa
cahaya. Gelap gulita
11. Rasulullah saw bersabda, “Bukanlah iman
itu berupa angan-angan dan khayalan
belaka, tetapi sejatinya iman adalah
keyakinan yang mengakar dalam hati dan
terekspresi dalam amal shalih.”
(HR. Dailamy)
12. Bila ilmu, iman dan amal shalih menyatu,
maka jadilah mukmin yang benar. Iman
dan amal shalih itulah yang membangun
kepribadian menjadi pribadi mukmin
sejati. Itu adalah ranah minimal, karena
“Barangsiapa bertambah ilmunya tetapi
dia tidak bertambah keimanannya, maka
tidaklah menambah kepada Allah kecuali
semakin jauh…”
(HR. Muslim)
13. Ada empat pilar penting
yang mesti ditegakkan
untuk menggapai
keshalihan itu;
14. 1. Shalih dalam aqidah
Aqidah sebagai ruh ketegaran dan inti
dalam kehidupan. Ini nyawanya. Bila ini
tak ada jangan harap amal kita bisa
disebut amal shalih, sebaik apapun
amalnya. Maka menjadi orang penting itu
memang baik,tetapi menjadi orang baik
itu lebih penting. Ruh dari aqidah adalah
keyakinan kepada Allah dan balasannya di
hari akhir.
15. 2. Shalih dalam ibadah
Ibadah bukan sekedar rutinitas ritual,
tetapi ia wujud penghambaan total kepada
yang Maha Dahsyat, yakni Allah Azza wa
Jalla. Dimensi ibadah adalah rasa
ketundukan dalam pengawasan sehingga
jiwa selalu terkondisi dalam ketaatan, jauh
dari maksiat, takut dan berharap hanya
kepada Allah.
16. 3. Shalih dalam akhlak
Akhlak adalah buah aqidah dan ibadah.
Kata Nabi, “Sebaik-baik kamu adalah yang
paling baik akhlaknya.” Akhlak adalah
bukti, arti, makna sehingga hidup berarti.
Tanpa akhlak seperti orang mati. Coba
bayangkan, orang yang tak mampu
mengaitkan akhlak dengan iman dan
ibadah, sehingga welcome terhadap
masalah yang makruh, syubhat bahkan
haram. Inilah kategori pecundang, orang
yang “bangkrut dengan sukses”, al muflis,
habis modal masih nombok juga, kasihan.
17. 4. Shalih dalam keluarga
Keshalihan pribadi akan lebih berarti bila
terefleksi dalam keluarga. Karena keluarga
merupakan standar, ukuran, parameter,
timbangan untuk melihat selaraskah
ucapan dengan perbuatan. Sehingga para
sahabat pun bertanya pada bunda Aisyah,
“Bagaimana akhlak Nabi?” Aisyah pun
menjawab, “Akhlak Nabi itu adalah Al
Quran.” Apa yang ditampilkan Nabi di luar
klop betul yang di rumah.
19. Jadilah pemberi kebaikan
Menjadi shalih berarti memproduksi energi
keshalihan tak pernah henti. Untuk bisa
memberi kita harus memiliki, bukan
sekedar ‘makelar’ amal, menyuruh orang
lain melupakan diri sendiri. Allah
berfirman, “Apakah kamu menyuruh orang
lain berbuat kebajikan, sedangkan kamu
melupakan dirimu sendiri, padahal kamu
telah membaca Al Kitab. Apakah kamu
tidak berpikir?”
(QS. Al Baqarah: 44)
20. Berorientasi untuk memberi kontribusi
Menjadi manusia itu pasti, tetapi menjadi shalih
adalah pilihan. Memilih untuk memberi. Bukan
berpikir untuk meminta. Padahal pada umumnya
manusia cenderung mencari untung buat
dirinya. Egois. Tapi ketahuilah, justru dengan
memberi kita menjadi memiliki.
Imam Malik memberi kita Kitab Al Muwatha’.
Imam Syafi’i mewariskan kitab Al Umm. Imam
Bukhari menyumbangkan kitab Shahihnya. Ibnu
Taimiyah menginfaqkan Majmu’ Fatawa. Sayyid
Quthub mendokumentasikan jihad dan
pemikirannya dalam Fi Zhilaal dan Ma’alim fith
Thariq. Saudaraku, berikutnya adalah giliran
kita!
21. Lapang dada menampung
perbedaan
Tradisi Islam adalah berlomba dalam kebaikan,
fastabiqul khairat. Semangat ini kadang
melahirkan adanya perbedaan. Hal itu karena
mereka didorong untuk berprestasi yang terbaik.
Munculnya shalat tarawih 20 rakaat yang
dipelopori oleh Umar bin Khatab misalnya. Bagi
kalangan sahabat itu berbeda tapi tidak menjadi
bahan untuk pecah. Karena semangatnya adalah
semangat memperbanyak amal, bukan
dorongan mencari yang paling benar. Bukan.
Mereka lapang terhadap perbedaan.
22. Respek terhadap keunikan orang lain
Rasulullah saw bersabda, “Setiap orang
diciptakan menurut bakatnya masing-masing.”
Disinilah kita menjadi shalih dengan
berukhuwah, menerima keunikan orang lain.
Caranya? ‘Ta’aruf’ saling mengenal, ‘tafahum’
saling memahami dan ‘takaful’ saling memikul
beban. Disini kita menjadi shalih dengan
bersinergi degan keunikan kita. Keunikan inilah
yang membuat Islam kaya. Ada Abu Bakar yang
lembut, Umar yang keras dan tegas, Utsman
yang pemalu, Ali yang pemberani. Maka berikan
respek pada keunikan orang lain. Ini akan
mendewasakan kita.
23. Hidup itu unik. Lebih asyik, lebih indah
dan lebih bahagia bila setiap hari kita
terusik untuk menemukan keunikan-
keunikan yang ada dalam diri kita maupun
orang lain. Positif memandang anugerah.
Dewasa melihat realitas. Cerdas
menangkap inspirasi. Amanah mengusung
aspirasi. Dunia yang begitu luas jangan
dipersempit dengan cara-cara culas.
24. Bila pilar keshalihan ‘aqidah, ibadah,
akhlak dan keluarga’ diintegrasikan dalam
sikap yang tepat terbentuklah kepribadian
muslim minimal. Yakni keshalihan tingkat
dasar yang seharusnya ada. “Seorang
mujahid adalah orang yang berjuang
melawan hawa nafsunya.” Ini perjuangan
minimal menapaki tangga keshalihan.`