SlideShare a Scribd company logo
UPAYA PEMERINTAH RI UNTUK MEMPERSEMPIT
  RUANG GERAK KEJAHATAN KEHUTANAN

                      Oleh :
DIREKTUR PENYIDIKAN & PERLINDUNGAN HUTAN
         DITJEN PHKA – KEMENHUT

     SEMINAR ”UPAYA PENEGAK HUKUM TERPADU
      DALAM MEMBERANTAS PEMBALAKAN LIAR”
               JAKARTA, 29 JUNI 2010
BIODATA
Nama            :    Ir. M. AWRIYA IBRAHIM, M.Sc
Jabatan         :    DIREKTUR PENYIDIKAN & PERLINDUNGAN HUTAN
HP              :    0811120555
Email           :    dirpph.pka@dephut.go.id
Pendidikan      :    S-2 Social Forestry di Wageningen Agriculture
Terakhir             University (WAU), the Netherlands

RIWAYAT PEKERJAAN :

1 1986-1994 -       Penguji Kayu Gergajian pada BSPHH III Palembang
2 1994-1999 -       Kasi Penataan Tebangan Kanwil Dephut Prov. Sumsel
3 1999-2001 -       Kabid. RRL Kanwil Dephut Prov. NAD
4 2001-2002 -       Ka. Balai TN. Gunung Leuser – Aceh
5 2002-2005 -       Ka. Balai TN. Ujung Kulon Banten
6 2005-2007 -       Kasubdit. Polhut & PPNS Dit. PPH
7 2007-sekarang     Direktur PPH Ditjen PHKA
004
                                                            004
                  004
                                                            003
                  003

                  003
Juta ha/tahun




                                    002
                  002
                                          001
                  002
                                                                                   001            001
                  001                                       001                                         001
                                          001                               001
                  001                                                             000
                                                                                                        000

                  000
                                    1990-1996           1996-2000         2000-2003          2003-2006
                              Seluruh Indonesia      Di dalam Kawasan Hutan     Di luar Kawasan Hutan (APL)


                Laju Deforestasi                1990-1996   1996-2000    2000-2003       2003-2006       Estimasi
                                                                                                        2009-2010
                Seluruh Indonesia                 1.87         3.51         1.08           1.17           1.125
                Di dalam Kawasan Hutan            1.37         2.83         0.78           0.76           0.770
                Di luar Kawasan Hutan             0.50         0.68         0.30           0.41           0.355
DASAR HUKUM
NON KAWASAN HUTAN :
UU No. 5/1960 ttg Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
KAWASAN HUTAN :
UU No. 41/1999 ttg Kehutanan

HUTAN           UU      No.    5/1990   ttg
                Konservasi Sumberdaya Alam
KONSERVASI
                Hayati dan Ekosistemnya

HUTAN           PP   No.   38/2007   ttg
LINDUNG DAN     Pembagian    Kewenangan
                Pemerintah   Pusat  dan
PRODUKSI
                Daerah

                PP No. 30/2003 ttg Perum
                Perhutani (Jatim, Jateng,
                Jabar dan Banten)
                                              4
WEWENANG PEMERINTAH (MENHUT)
            Pasal 4 ayat (2) UU 41 Th 1999.
1.   Mengatur dan mengurus
     segala sesuatu yg berkaitan
     dgn hutan, kawasan hutan &
     hasil hutan.
2.   Menetapkan status wilayah
     tertentu sebagai kawasan hutan
     atau bukan sebagai kawasan
     hutan.
3.   Mengatur dan menetapkan
     hubungan-hubungan hukum
     antara orang dgn hutan serta
     mengatur perbuatan-perbuatan
     hukum mengenai kehutanan.
                                              5
HAKEKAT INPRES No. 4 TAHUN 2005


                  berintikan koordinasi dan kerjasama 18
   Jiwa dan
                  institusi dalam pemberantasan IL & IT di
 semangatnya      bawah koordinasi Menkopolhukam.

                  penebangan kayu secara ilegal (tanpa
    Sasaran       izin), bukan pemegang izin yang sah
implementasinya   (legal).

   Yuridiksi      sesuai dg tupoksi (Lex specialist) shigga
 implementasi     Polhut & PPNS harus dikedepankan.



    MEMPERCEPAT PENANGANAN &
PENYELESAIAN KASUS PEMBERANTASAN IL.
PENGERTIAN ILLEGAL LOGGING (IL)
            UU No. 41/99 TTG KEHUTANAN
Perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh setiap
ORANG/KELOMPOK ORG atau BADAN HUKUM dalam
bidang kehutanan dan perdagangan hasil hutan berupa :
   Menebang,memanen atau memungut Hasil Hutan Kayu (HHK)
    dari kws hutan tanpa ijin/hak;
   Menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima
    titipan, menyimpan, memiliki atau menggunakan HHK yg diduga
    dipungut secara tidak sah;
   Mengangkut,menguasai atau memiliki HHK tdk dilengkapi
    bersama sama SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil
    Hutan);
   Membawa alat berat & alat lainnya yg lazim atau patut diduga
    akan digunakan utk mengangkut/mengambil HHK di dlm kws
    hutan tanpa izin dari yang berwenang;
   Membawa alat yg lazim digunakan utk menebang,memotong
    atau memebelah phn dlm kws hutan tanpa ijin pejabat
    berwenang.                                                 7
KASUS ILLEGAL LOGGING
         2005 - 2009 (TURUN 85,13 %)
                                       Proses Penyelesaian Kasus

     Tahun    Jumlah Kasus                         Proses Yustisi
                             Lidik
                                     Sidik   SP 3      P 21    Sidang     Vonis

      2005        720         15     705      25        438         281   245

      2006       1714        142     1572     18        699         389   304

      2007        478        114     364      2         249         198   152

      2008        177         44     133      1         82          40     31

      2009        107         27      80      1         41          26     13


1.   Vonis hukuman terlalu ringan (dari 92 kasus, keputusan MA sebanyak
     36 kasus bebas; 24 kasus hukuman kurang dari 1 tahun; 19 kasus
     hukuman 1-2 tahun; sisanya dalam proses di MA)
     8
                                                                                8
PELAKU PEMBALAKAN LIAR
1. Dilakukan oleh operator yang legal (HPH/HPH-HTI/ perkebunan) 
   prakteknya melanggar persyaratan dalam HPH karena kelebihan
   menebang atau mengambil kayu pada areal konservasi yang
   dilindungi. Operator-operator ini diberikan ijin untuk menebang
   pohon secara selektif.
2. Dilakukan berdasarkan ijin HPH yang diperoleh secara tidak sah
   yang diterbitkan oleh pejabat pemerintahan daerah dan biasanya
   berlaku selama 1 (satu) tahun. Praktek ini telah disahkan pada
   tahun 1999, namun dicabut kembali melalui Peraturan Pemerintah
   Nomor 34 Tahun 2002.
3. Dilakukan oleh orang setempat yang dikoordinir cukong dan
   pedagang perantara untuk secara selektif menebang pohon-pohon
   yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Orang-orang ini tidak memiliki
   hak ijin yang sah dari pemerintah untuk menebang pohon.



                                                                    9
KENAPA PEMBALAKAN LIAR
              SULIT DIBRANTAS
1. Pembalakan liar      merupakan tindak pidana di bidang
   kehutanan yang terorganisir, melibatkan banyak pihak, baik
   skala nasional maupun internasional. Hal ini terbukti dari
   ketidak mampuan hukum menjerat aktor ilegal loging.
2. Pembalakan liar tidak lagi murni berdiri sendiri namun telah
   terbangun kerjasama yang merambah ke praktek
   perdagangan kayu illegal (illegal timber trade) yang
   melibatkan komunitas negara luar.
3. Struktur organisasi dan modus operandi pembalakan liar
   terorganisir dengan rapi dan profesional seluruh
   pelaksanaan di lapangan sehingga sering kali sulit bagi
   perangkat hukum untuk dapat menangkap para ”cukong”
   sebagai akibat dari sistem serta pranata hukum positif yang
   ada.


                                                            10
                                                            10
KENAPA PEMBALAK LIAR
              BEBAS DI PENGADILAN
Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999,
1. Selain Pejabat Penyidik POLRI, PPNS tertentu yang lingkup
   tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan,
   diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
   dimaksud dalam KUHAP”. Dalam kasus pembalakan liar,
   kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap
   pembalakan liar ini secara yuridis juga dilakukan institusi
   Kejaksaan, Perwira TNI AL, dan aparat Bea Cukai.
2. Dalam perkembangannya, koordinasi antar institusi sering
   menjadi permasalahan dalam penyidikan kasus pembalakan
   liar. penyidikan berjalan sendiri-sendiri. Seringkali terjadi
   kesalahan interpretasi antara jaksa penuntut umum dan
   penyidik terhadap pasal-pasal yang tercantum dalam UU No.
   41/1999.
3. Dalam menghadapi kasus pembalakan liar tertentu,
   ketentuan dalam UU No. 41/1999 yang merupakan lex
   specialis tidak digunakan oleh jaksa dan hakim.            11
                                                              11
PERATURAN PERUNDANGAN SAAT INI

      Pemidanaan Pembalakan Liar
      dalam UU No. 41 Tahun 1999

        Pasal 78 jo Pasal 50 ayat
             (1), (2) dan (3)


             Pelaku utama
                (dader)

                                    Belum Menjangkau
Ancaman Pidana :       Pasal 53,          tindak :
 Minimal Umum –        54,55, dan       Percobaan
Maksimal Khusus         56 KUHP         Penyertaan
                                       Pembantuan
PENERAPAN PIDANA IL BERLAPIS

Pemidanaan IL dlm         Pasal 78 jo Pasal 50        LEX
 UU No. 41/1999           ayat (1), (2) dan (3)     SPECIALIS

   X     SIDIK/ LIDIK            Split kasus
                                                      Belum
             Pejabat           Pasal 53,           Menjangkau
           menerbitkan         54,55, dan            tindak :
           alas hak tdk         56 KUHP             Percobaan
             prosedur                              Penyertaan
                                                   Pembantuan
                       LAPORAN
                      KEHUTANAN                   KEJAKSAAN
UU KORUPSI                                          POLRI
                       SIDIK/LIDIK
                                                     KPK
                    (Keterangan/ BAP)
UPAYA OPTIMALISASI GAKKUM OLEH APARAT


 PENYIDIK POLRI           Mulai dari Proses Penyidikan
                          sudah harus mengupayakan
 PENYIDIK KEJAKSAAN        DAKWAAN BERLAPIS dgn :
 PENYIDIK PNS HUT
                         1.   UU Kehutanan
  MENGEDEPANKAN POLHUT   2.   UU Konservasi SDAH&E
   DAN PPNS KEHUTANAN
                         3.   UU Tipikor
                         4.   UU Lingkungan Hidup
                         5.   UU Keimigrasian
                         6.   UU Penataan Ruang
                         7.   UU Pencucian Uang, DLL.
 Upayakan Sukses VONIS sesuai Dakwaan Berlapis.
 Hal yang paling fundametal mencermati kelemahan yang
  ada pada sistem yustisi atau celah-celah dlm perangkat
  hukum yg bisa dimanfaatkan sbgian pihak utk melakukan
  IL & IT.
URGENSI RUU PENCEGAHAN,
PEMBERANTASAN PEMBALAKAN LIAR (P3L)

1.   Telah terjadi pencurian, penebangan kayu illegal tanpa
     terkendali (extra ordinary crime)
2.   Proses penegakan hukum lemah dan lambat
3.   Sanksi hukum dalam UU 41/1999 bersifat maksimal
     sehingga kurang efektif (tidak menimbulkan efek jera)
4.   Pengaturan insentif untuk penegak hukum tidak menarik
     (cenderung terjadi kolusi)
5.   Hukuman belum menjangkau para pemodal dan backing
6.   Kewenangan PPNS Kehutanan masih terbatas
7.   Permasalahan Illegal logging menyangkut lintas sektor
     (Inpres No. 4 tahun 2005 ada 18 instansi di bawah
     koordinasi Menkopolhukam)

                                                         15
CAKUPAN RUU TIPIHUT
Sanksi pidana minimal-->Sanksi hukum dalam UU
41/1999 bersifat maksimal sehingga kurang efektif (tidak
menimbulkan efek jera)


SETIAP PEJABAT DILARANG :
1. melindungi pelaku pembalakan liar;
2. turut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar;
3. melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan
   liar;
4. melakukan pembiaran dan/atau kelalaian dalam
   melaksanakan tugas.

                                                     16
                                                     16
LANJUTAN RUU TIPIHUT
SETIAP ORANG DILARANG :
1. menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar;
2. turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar;
3. melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar;
4. mendanai pembalakan liar secara langsung atau tidak langsung;
5. menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar;
6. mencuci kayu hasil pembalakan liar seolah-olah menjadi kayu yang
   sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar
   negeri;
7. menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan,
   menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
   luar negeri, dan/atau menukarkan yang diketahuinya atau patut
   diduga merupakan hasil pembalakan liar; dan/atau
8. menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui
   atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar sehingga
   seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
                                                                  17
                                                                  17
WEWENANG PPNS DALAM
               RUU TIPIHUT
1.   melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
     berkenaan dengan tindak pidana pembalakan liar;
2.   melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang
     diduga melakukan tindak pidana pembalakan liar;
3.   meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
     sehubungan dengan peristiwa tindak pidana pembalakan liar;
4.   melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen
     lain berkenaan dengan tindak pidana pembalakan liar;
5.   melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat
     bahan bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta
     melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil kejahatan
     yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana
     pembalakan liar; dan
6.   meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
     tindak pidana pembalakan liar.
                                                                18
                                                                18
WEWENANG PPNS
Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud,
penyidik berhak meminta kepada lembaga penyelenggara komunikasi
untuk :

1.   membuka, memeriksa, dan menyita surat atau kiriman melalui pos,
     serta jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan
     pembalakan liar yang sedang diperiksa; dan/atau
2.   meminta informasi pembicaraan melalui telepon atau alat
     komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan,
     merencanakan, dan melakukan pembalakan liar.
3.   Tindakan sebagaimana dimaksud pada huruf 2, hanya dapat
     dilakukan atas izin Ketua Pengadilan Negeri.

Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang
pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta
keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau
terdakwa.
                                                                  19
                                                                  19
TERIMA KASIH


               20

More Related Content

What's hot

Raflis kepastian hukum kawasan hutan dan politik penguasaan ruang
Raflis kepastian hukum kawasan hutan dan politik penguasaan ruangRaflis kepastian hukum kawasan hutan dan politik penguasaan ruang
Raflis kepastian hukum kawasan hutan dan politik penguasaan ruang
Raflis Ssi
 
Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...
Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...
Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...
Jhon Blora
 
Data Dan Fakta Pp 26 2008
Data Dan Fakta Pp 26 2008Data Dan Fakta Pp 26 2008
Data Dan Fakta Pp 26 2008
Raflis Ssi
 
Pp12 2014 tarif pnbp deptan
Pp12 2014 tarif pnbp deptanPp12 2014 tarif pnbp deptan
Pp12 2014 tarif pnbp deptan
Jhon Blora
 
Permen menhut no 43 tahun 2013 tentang penataan batas areal
Permen menhut no 43 tahun 2013 tentang penataan batas arealPermen menhut no 43 tahun 2013 tentang penataan batas areal
Permen menhut no 43 tahun 2013 tentang penataan batas areal
walhiaceh
 
Perda pengelolaan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan(1)
Perda pengelolaan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan(1)Perda pengelolaan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan(1)
Perda pengelolaan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan(1)
Jhon Blora
 
Analisis Rtrwp Riau 2007
Analisis Rtrwp Riau 2007Analisis Rtrwp Riau 2007
Analisis Rtrwp Riau 2007
Raflis Ssi
 
Pola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari Perkebunan
Pola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari PerkebunanPola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari Perkebunan
Pola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari Perkebunan
Raflis Ssi
 
Tebang pilih tanam indonesia (TPTI)
Tebang pilih tanam indonesia (TPTI)Tebang pilih tanam indonesia (TPTI)
Tebang pilih tanam indonesia (TPTI)
npgkuja
 
Status Lingkungan Hidup Daerah Prop. Riau 2002
Status Lingkungan Hidup Daerah Prop. Riau 2002Status Lingkungan Hidup Daerah Prop. Riau 2002
Status Lingkungan Hidup Daerah Prop. Riau 2002People Power
 
010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlk
010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlk010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlk
010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlk
teguh soedrajat
 
Permenlhk no 85 tahun 2016 tentang pengangkutan hasil hutan kayu budidaya yan...
Permenlhk no 85 tahun 2016 tentang pengangkutan hasil hutan kayu budidaya yan...Permenlhk no 85 tahun 2016 tentang pengangkutan hasil hutan kayu budidaya yan...
Permenlhk no 85 tahun 2016 tentang pengangkutan hasil hutan kayu budidaya yan...
helmut simamora
 
Pp 34 2002-tata_hutan
Pp 34 2002-tata_hutanPp 34 2002-tata_hutan
Pp 34 2002-tata_hutan
People Power
 
Fenomena land grabbing dalam perencanaan kehutanan
Fenomena land grabbing dalam perencanaan kehutananFenomena land grabbing dalam perencanaan kehutanan
Fenomena land grabbing dalam perencanaan kehutananRaflis Ssi
 
Pp 62 tahun 1998 ttg penyerahan sbagian urusan pemerintah di bid kehutanan ke...
Pp 62 tahun 1998 ttg penyerahan sbagian urusan pemerintah di bid kehutanan ke...Pp 62 tahun 1998 ttg penyerahan sbagian urusan pemerintah di bid kehutanan ke...
Pp 62 tahun 1998 ttg penyerahan sbagian urusan pemerintah di bid kehutanan ke...walhiaceh
 
Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)
Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)
Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)
Jhon Blora
 

What's hot (17)

Raflis kepastian hukum kawasan hutan dan politik penguasaan ruang
Raflis kepastian hukum kawasan hutan dan politik penguasaan ruangRaflis kepastian hukum kawasan hutan dan politik penguasaan ruang
Raflis kepastian hukum kawasan hutan dan politik penguasaan ruang
 
Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...
Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...
Permenhut ri no 91 th 2014 ttg penatausahaan hasil hutan bukan kayu yang bera...
 
Data Dan Fakta Pp 26 2008
Data Dan Fakta Pp 26 2008Data Dan Fakta Pp 26 2008
Data Dan Fakta Pp 26 2008
 
Pp12 2014 tarif pnbp deptan
Pp12 2014 tarif pnbp deptanPp12 2014 tarif pnbp deptan
Pp12 2014 tarif pnbp deptan
 
Permen menhut no 43 tahun 2013 tentang penataan batas areal
Permen menhut no 43 tahun 2013 tentang penataan batas arealPermen menhut no 43 tahun 2013 tentang penataan batas areal
Permen menhut no 43 tahun 2013 tentang penataan batas areal
 
Perda pengelolaan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan(1)
Perda pengelolaan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan(1)Perda pengelolaan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan(1)
Perda pengelolaan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan(1)
 
Analisis Rtrwp Riau 2007
Analisis Rtrwp Riau 2007Analisis Rtrwp Riau 2007
Analisis Rtrwp Riau 2007
 
Pola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari Perkebunan
Pola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari PerkebunanPola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari Perkebunan
Pola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari Perkebunan
 
Tebang pilih tanam indonesia (TPTI)
Tebang pilih tanam indonesia (TPTI)Tebang pilih tanam indonesia (TPTI)
Tebang pilih tanam indonesia (TPTI)
 
Status Lingkungan Hidup Daerah Prop. Riau 2002
Status Lingkungan Hidup Daerah Prop. Riau 2002Status Lingkungan Hidup Daerah Prop. Riau 2002
Status Lingkungan Hidup Daerah Prop. Riau 2002
 
presentasi TPTI
presentasi TPTIpresentasi TPTI
presentasi TPTI
 
010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlk
010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlk010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlk
010 perdirjen p.1 tahun 2015 vlk
 
Permenlhk no 85 tahun 2016 tentang pengangkutan hasil hutan kayu budidaya yan...
Permenlhk no 85 tahun 2016 tentang pengangkutan hasil hutan kayu budidaya yan...Permenlhk no 85 tahun 2016 tentang pengangkutan hasil hutan kayu budidaya yan...
Permenlhk no 85 tahun 2016 tentang pengangkutan hasil hutan kayu budidaya yan...
 
Pp 34 2002-tata_hutan
Pp 34 2002-tata_hutanPp 34 2002-tata_hutan
Pp 34 2002-tata_hutan
 
Fenomena land grabbing dalam perencanaan kehutanan
Fenomena land grabbing dalam perencanaan kehutananFenomena land grabbing dalam perencanaan kehutanan
Fenomena land grabbing dalam perencanaan kehutanan
 
Pp 62 tahun 1998 ttg penyerahan sbagian urusan pemerintah di bid kehutanan ke...
Pp 62 tahun 1998 ttg penyerahan sbagian urusan pemerintah di bid kehutanan ke...Pp 62 tahun 1998 ttg penyerahan sbagian urusan pemerintah di bid kehutanan ke...
Pp 62 tahun 1998 ttg penyerahan sbagian urusan pemerintah di bid kehutanan ke...
 
Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)
Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)
Permenhut no 43 th 2014 ttg p enilaian kinerja hutan produksi (1)
 

More from CIFOR-ICRAF

Lessons from operationalizing integrated landscape approaches
Lessons from operationalizing integrated landscape approachesLessons from operationalizing integrated landscape approaches
Lessons from operationalizing integrated landscape approaches
CIFOR-ICRAF
 
Mejorando la estimación de emisiones GEI conversión bosque degradado a planta...
Mejorando la estimación de emisiones GEI conversión bosque degradado a planta...Mejorando la estimación de emisiones GEI conversión bosque degradado a planta...
Mejorando la estimación de emisiones GEI conversión bosque degradado a planta...
CIFOR-ICRAF
 
Lecciones para el monitoreo transparente Experiencias de la Amazonía peruana
Lecciones para el monitoreo transparente Experiencias de la Amazonía peruanaLecciones para el monitoreo transparente Experiencias de la Amazonía peruana
Lecciones para el monitoreo transparente Experiencias de la Amazonía peruana
CIFOR-ICRAF
 
Inclusión y transparencia como clave del éxito para el mecanismo de transfere...
Inclusión y transparencia como clave del éxito para el mecanismo de transfere...Inclusión y transparencia como clave del éxito para el mecanismo de transfere...
Inclusión y transparencia como clave del éxito para el mecanismo de transfere...
CIFOR-ICRAF
 
Contexto de TransMoni
Contexto de TransMoniContexto de TransMoni
Contexto de TransMoni
CIFOR-ICRAF
 
Avances de Perú con relación al marco de transparencia del Acuerdo de París
Avances de Perú con relación al marco de transparencia del Acuerdo de ParísAvances de Perú con relación al marco de transparencia del Acuerdo de París
Avances de Perú con relación al marco de transparencia del Acuerdo de París
CIFOR-ICRAF
 
Alert-driven Community-based Forest monitoring: A case of the Peruvian Amazon
Alert-driven Community-based Forest monitoring: A case of the Peruvian AmazonAlert-driven Community-based Forest monitoring: A case of the Peruvian Amazon
Alert-driven Community-based Forest monitoring: A case of the Peruvian Amazon
CIFOR-ICRAF
 
Land tenure and forest landscape restoration in Cameroon and Madagascar
Land tenure and forest landscape  restoration in Cameroon and  MadagascarLand tenure and forest landscape  restoration in Cameroon and  Madagascar
Land tenure and forest landscape restoration in Cameroon and Madagascar
CIFOR-ICRAF
 
ReSI-NoC - Strategie de mise en oeuvre.pdf
ReSI-NoC - Strategie de mise en oeuvre.pdfReSI-NoC - Strategie de mise en oeuvre.pdf
ReSI-NoC - Strategie de mise en oeuvre.pdf
CIFOR-ICRAF
 
ReSI-NoC: Introduction au contexte du projet
ReSI-NoC: Introduction au contexte du projetReSI-NoC: Introduction au contexte du projet
ReSI-NoC: Introduction au contexte du projet
CIFOR-ICRAF
 
Renforcer les Systèmes d’Innovations agrosylvopastorales économiquement renta...
Renforcer les Systèmes d’Innovations agrosylvopastorales économiquement renta...Renforcer les Systèmes d’Innovations agrosylvopastorales économiquement renta...
Renforcer les Systèmes d’Innovations agrosylvopastorales économiquement renta...
CIFOR-ICRAF
 
Introductions aux termes clés du projet ReSi-NoC - Approche Innovations
Introductions aux termes clés du projet ReSi-NoC - Approche InnovationsIntroductions aux termes clés du projet ReSi-NoC - Approche Innovations
Introductions aux termes clés du projet ReSi-NoC - Approche Innovations
CIFOR-ICRAF
 
Introducing Blue Carbon Deck seeking for actionable partnerships
Introducing Blue Carbon Deck seeking for actionable partnershipsIntroducing Blue Carbon Deck seeking for actionable partnerships
Introducing Blue Carbon Deck seeking for actionable partnerships
CIFOR-ICRAF
 
A Wide Range of Eco System Services with Mangroves
A Wide Range of Eco System Services with MangrovesA Wide Range of Eco System Services with Mangroves
A Wide Range of Eco System Services with Mangroves
CIFOR-ICRAF
 
Data analysis and findings
Data analysis and findingsData analysis and findings
Data analysis and findings
CIFOR-ICRAF
 
Peat land Restoration Project in HLG Londerang
Peat land Restoration Project in HLG LonderangPeat land Restoration Project in HLG Londerang
Peat land Restoration Project in HLG Londerang
CIFOR-ICRAF
 
Sungsang Mangrove Restoration and Ecotourism (SMART): A participatory action ...
Sungsang Mangrove Restoration and Ecotourism (SMART): A participatory action ...Sungsang Mangrove Restoration and Ecotourism (SMART): A participatory action ...
Sungsang Mangrove Restoration and Ecotourism (SMART): A participatory action ...
CIFOR-ICRAF
 
Coastal and mangrove vulnerability assessment In the Northern Coast of Java, ...
Coastal and mangrove vulnerability assessment In the Northern Coast of Java, ...Coastal and mangrove vulnerability assessment In the Northern Coast of Java, ...
Coastal and mangrove vulnerability assessment In the Northern Coast of Java, ...
CIFOR-ICRAF
 
Carbon Stock Assessment in Banten Province and Demak, Central Java, Indonesia
Carbon Stock Assessment in Banten Province and Demak, Central Java, IndonesiaCarbon Stock Assessment in Banten Province and Demak, Central Java, Indonesia
Carbon Stock Assessment in Banten Province and Demak, Central Java, Indonesia
CIFOR-ICRAF
 
Cooperative Mangrove Project: Introduction, Scope, and Perspectives
Cooperative Mangrove Project: Introduction, Scope, and PerspectivesCooperative Mangrove Project: Introduction, Scope, and Perspectives
Cooperative Mangrove Project: Introduction, Scope, and Perspectives
CIFOR-ICRAF
 

More from CIFOR-ICRAF (20)

Lessons from operationalizing integrated landscape approaches
Lessons from operationalizing integrated landscape approachesLessons from operationalizing integrated landscape approaches
Lessons from operationalizing integrated landscape approaches
 
Mejorando la estimación de emisiones GEI conversión bosque degradado a planta...
Mejorando la estimación de emisiones GEI conversión bosque degradado a planta...Mejorando la estimación de emisiones GEI conversión bosque degradado a planta...
Mejorando la estimación de emisiones GEI conversión bosque degradado a planta...
 
Lecciones para el monitoreo transparente Experiencias de la Amazonía peruana
Lecciones para el monitoreo transparente Experiencias de la Amazonía peruanaLecciones para el monitoreo transparente Experiencias de la Amazonía peruana
Lecciones para el monitoreo transparente Experiencias de la Amazonía peruana
 
Inclusión y transparencia como clave del éxito para el mecanismo de transfere...
Inclusión y transparencia como clave del éxito para el mecanismo de transfere...Inclusión y transparencia como clave del éxito para el mecanismo de transfere...
Inclusión y transparencia como clave del éxito para el mecanismo de transfere...
 
Contexto de TransMoni
Contexto de TransMoniContexto de TransMoni
Contexto de TransMoni
 
Avances de Perú con relación al marco de transparencia del Acuerdo de París
Avances de Perú con relación al marco de transparencia del Acuerdo de ParísAvances de Perú con relación al marco de transparencia del Acuerdo de París
Avances de Perú con relación al marco de transparencia del Acuerdo de París
 
Alert-driven Community-based Forest monitoring: A case of the Peruvian Amazon
Alert-driven Community-based Forest monitoring: A case of the Peruvian AmazonAlert-driven Community-based Forest monitoring: A case of the Peruvian Amazon
Alert-driven Community-based Forest monitoring: A case of the Peruvian Amazon
 
Land tenure and forest landscape restoration in Cameroon and Madagascar
Land tenure and forest landscape  restoration in Cameroon and  MadagascarLand tenure and forest landscape  restoration in Cameroon and  Madagascar
Land tenure and forest landscape restoration in Cameroon and Madagascar
 
ReSI-NoC - Strategie de mise en oeuvre.pdf
ReSI-NoC - Strategie de mise en oeuvre.pdfReSI-NoC - Strategie de mise en oeuvre.pdf
ReSI-NoC - Strategie de mise en oeuvre.pdf
 
ReSI-NoC: Introduction au contexte du projet
ReSI-NoC: Introduction au contexte du projetReSI-NoC: Introduction au contexte du projet
ReSI-NoC: Introduction au contexte du projet
 
Renforcer les Systèmes d’Innovations agrosylvopastorales économiquement renta...
Renforcer les Systèmes d’Innovations agrosylvopastorales économiquement renta...Renforcer les Systèmes d’Innovations agrosylvopastorales économiquement renta...
Renforcer les Systèmes d’Innovations agrosylvopastorales économiquement renta...
 
Introductions aux termes clés du projet ReSi-NoC - Approche Innovations
Introductions aux termes clés du projet ReSi-NoC - Approche InnovationsIntroductions aux termes clés du projet ReSi-NoC - Approche Innovations
Introductions aux termes clés du projet ReSi-NoC - Approche Innovations
 
Introducing Blue Carbon Deck seeking for actionable partnerships
Introducing Blue Carbon Deck seeking for actionable partnershipsIntroducing Blue Carbon Deck seeking for actionable partnerships
Introducing Blue Carbon Deck seeking for actionable partnerships
 
A Wide Range of Eco System Services with Mangroves
A Wide Range of Eco System Services with MangrovesA Wide Range of Eco System Services with Mangroves
A Wide Range of Eco System Services with Mangroves
 
Data analysis and findings
Data analysis and findingsData analysis and findings
Data analysis and findings
 
Peat land Restoration Project in HLG Londerang
Peat land Restoration Project in HLG LonderangPeat land Restoration Project in HLG Londerang
Peat land Restoration Project in HLG Londerang
 
Sungsang Mangrove Restoration and Ecotourism (SMART): A participatory action ...
Sungsang Mangrove Restoration and Ecotourism (SMART): A participatory action ...Sungsang Mangrove Restoration and Ecotourism (SMART): A participatory action ...
Sungsang Mangrove Restoration and Ecotourism (SMART): A participatory action ...
 
Coastal and mangrove vulnerability assessment In the Northern Coast of Java, ...
Coastal and mangrove vulnerability assessment In the Northern Coast of Java, ...Coastal and mangrove vulnerability assessment In the Northern Coast of Java, ...
Coastal and mangrove vulnerability assessment In the Northern Coast of Java, ...
 
Carbon Stock Assessment in Banten Province and Demak, Central Java, Indonesia
Carbon Stock Assessment in Banten Province and Demak, Central Java, IndonesiaCarbon Stock Assessment in Banten Province and Demak, Central Java, Indonesia
Carbon Stock Assessment in Banten Province and Demak, Central Java, Indonesia
 
Cooperative Mangrove Project: Introduction, Scope, and Perspectives
Cooperative Mangrove Project: Introduction, Scope, and PerspectivesCooperative Mangrove Project: Introduction, Scope, and Perspectives
Cooperative Mangrove Project: Introduction, Scope, and Perspectives
 

Upaya pemerintah RI untuk mempersempit ruang gerak kejahatan kehutanan

  • 1. UPAYA PEMERINTAH RI UNTUK MEMPERSEMPIT RUANG GERAK KEJAHATAN KEHUTANAN Oleh : DIREKTUR PENYIDIKAN & PERLINDUNGAN HUTAN DITJEN PHKA – KEMENHUT SEMINAR ”UPAYA PENEGAK HUKUM TERPADU DALAM MEMBERANTAS PEMBALAKAN LIAR” JAKARTA, 29 JUNI 2010
  • 2. BIODATA Nama : Ir. M. AWRIYA IBRAHIM, M.Sc Jabatan : DIREKTUR PENYIDIKAN & PERLINDUNGAN HUTAN HP : 0811120555 Email : dirpph.pka@dephut.go.id Pendidikan : S-2 Social Forestry di Wageningen Agriculture Terakhir University (WAU), the Netherlands RIWAYAT PEKERJAAN : 1 1986-1994 - Penguji Kayu Gergajian pada BSPHH III Palembang 2 1994-1999 - Kasi Penataan Tebangan Kanwil Dephut Prov. Sumsel 3 1999-2001 - Kabid. RRL Kanwil Dephut Prov. NAD 4 2001-2002 - Ka. Balai TN. Gunung Leuser – Aceh 5 2002-2005 - Ka. Balai TN. Ujung Kulon Banten 6 2005-2007 - Kasubdit. Polhut & PPNS Dit. PPH 7 2007-sekarang Direktur PPH Ditjen PHKA
  • 3. 004 004 004 003 003 003 Juta ha/tahun 002 002 001 002 001 001 001 001 001 001 001 001 000 000 000 1990-1996 1996-2000 2000-2003 2003-2006 Seluruh Indonesia Di dalam Kawasan Hutan Di luar Kawasan Hutan (APL) Laju Deforestasi 1990-1996 1996-2000 2000-2003 2003-2006 Estimasi 2009-2010 Seluruh Indonesia 1.87 3.51 1.08 1.17 1.125 Di dalam Kawasan Hutan 1.37 2.83 0.78 0.76 0.770 Di luar Kawasan Hutan 0.50 0.68 0.30 0.41 0.355
  • 4. DASAR HUKUM NON KAWASAN HUTAN : UU No. 5/1960 ttg Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria KAWASAN HUTAN : UU No. 41/1999 ttg Kehutanan HUTAN UU No. 5/1990 ttg Konservasi Sumberdaya Alam KONSERVASI Hayati dan Ekosistemnya HUTAN PP No. 38/2007 ttg LINDUNG DAN Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat dan PRODUKSI Daerah PP No. 30/2003 ttg Perum Perhutani (Jatim, Jateng, Jabar dan Banten) 4
  • 5. WEWENANG PEMERINTAH (MENHUT) Pasal 4 ayat (2) UU 41 Th 1999. 1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yg berkaitan dgn hutan, kawasan hutan & hasil hutan. 2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan sebagai kawasan hutan. 3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dgn hutan serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. 5
  • 6. HAKEKAT INPRES No. 4 TAHUN 2005 berintikan koordinasi dan kerjasama 18 Jiwa dan institusi dalam pemberantasan IL & IT di semangatnya bawah koordinasi Menkopolhukam. penebangan kayu secara ilegal (tanpa Sasaran izin), bukan pemegang izin yang sah implementasinya (legal). Yuridiksi sesuai dg tupoksi (Lex specialist) shigga implementasi Polhut & PPNS harus dikedepankan. MEMPERCEPAT PENANGANAN & PENYELESAIAN KASUS PEMBERANTASAN IL.
  • 7. PENGERTIAN ILLEGAL LOGGING (IL) UU No. 41/99 TTG KEHUTANAN Perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh setiap ORANG/KELOMPOK ORG atau BADAN HUKUM dalam bidang kehutanan dan perdagangan hasil hutan berupa :  Menebang,memanen atau memungut Hasil Hutan Kayu (HHK) dari kws hutan tanpa ijin/hak;  Menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, memiliki atau menggunakan HHK yg diduga dipungut secara tidak sah;  Mengangkut,menguasai atau memiliki HHK tdk dilengkapi bersama sama SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan);  Membawa alat berat & alat lainnya yg lazim atau patut diduga akan digunakan utk mengangkut/mengambil HHK di dlm kws hutan tanpa izin dari yang berwenang;  Membawa alat yg lazim digunakan utk menebang,memotong atau memebelah phn dlm kws hutan tanpa ijin pejabat berwenang. 7
  • 8. KASUS ILLEGAL LOGGING 2005 - 2009 (TURUN 85,13 %) Proses Penyelesaian Kasus Tahun Jumlah Kasus Proses Yustisi Lidik Sidik SP 3 P 21 Sidang Vonis 2005 720 15 705 25 438 281 245 2006 1714 142 1572 18 699 389 304 2007 478 114 364 2 249 198 152 2008 177 44 133 1 82 40 31 2009 107 27 80 1 41 26 13 1. Vonis hukuman terlalu ringan (dari 92 kasus, keputusan MA sebanyak 36 kasus bebas; 24 kasus hukuman kurang dari 1 tahun; 19 kasus hukuman 1-2 tahun; sisanya dalam proses di MA) 8 8
  • 9. PELAKU PEMBALAKAN LIAR 1. Dilakukan oleh operator yang legal (HPH/HPH-HTI/ perkebunan)  prakteknya melanggar persyaratan dalam HPH karena kelebihan menebang atau mengambil kayu pada areal konservasi yang dilindungi. Operator-operator ini diberikan ijin untuk menebang pohon secara selektif. 2. Dilakukan berdasarkan ijin HPH yang diperoleh secara tidak sah yang diterbitkan oleh pejabat pemerintahan daerah dan biasanya berlaku selama 1 (satu) tahun. Praktek ini telah disahkan pada tahun 1999, namun dicabut kembali melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002. 3. Dilakukan oleh orang setempat yang dikoordinir cukong dan pedagang perantara untuk secara selektif menebang pohon-pohon yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Orang-orang ini tidak memiliki hak ijin yang sah dari pemerintah untuk menebang pohon. 9
  • 10. KENAPA PEMBALAKAN LIAR SULIT DIBRANTAS 1. Pembalakan liar merupakan tindak pidana di bidang kehutanan yang terorganisir, melibatkan banyak pihak, baik skala nasional maupun internasional. Hal ini terbukti dari ketidak mampuan hukum menjerat aktor ilegal loging. 2. Pembalakan liar tidak lagi murni berdiri sendiri namun telah terbangun kerjasama yang merambah ke praktek perdagangan kayu illegal (illegal timber trade) yang melibatkan komunitas negara luar. 3. Struktur organisasi dan modus operandi pembalakan liar terorganisir dengan rapi dan profesional seluruh pelaksanaan di lapangan sehingga sering kali sulit bagi perangkat hukum untuk dapat menangkap para ”cukong” sebagai akibat dari sistem serta pranata hukum positif yang ada. 10 10
  • 11. KENAPA PEMBALAK LIAR BEBAS DI PENGADILAN Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, 1. Selain Pejabat Penyidik POLRI, PPNS tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP”. Dalam kasus pembalakan liar, kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap pembalakan liar ini secara yuridis juga dilakukan institusi Kejaksaan, Perwira TNI AL, dan aparat Bea Cukai. 2. Dalam perkembangannya, koordinasi antar institusi sering menjadi permasalahan dalam penyidikan kasus pembalakan liar. penyidikan berjalan sendiri-sendiri. Seringkali terjadi kesalahan interpretasi antara jaksa penuntut umum dan penyidik terhadap pasal-pasal yang tercantum dalam UU No. 41/1999. 3. Dalam menghadapi kasus pembalakan liar tertentu, ketentuan dalam UU No. 41/1999 yang merupakan lex specialis tidak digunakan oleh jaksa dan hakim. 11 11
  • 12. PERATURAN PERUNDANGAN SAAT INI Pemidanaan Pembalakan Liar dalam UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 78 jo Pasal 50 ayat (1), (2) dan (3) Pelaku utama (dader) Belum Menjangkau Ancaman Pidana : Pasal 53, tindak : Minimal Umum – 54,55, dan Percobaan Maksimal Khusus 56 KUHP Penyertaan Pembantuan
  • 13. PENERAPAN PIDANA IL BERLAPIS Pemidanaan IL dlm Pasal 78 jo Pasal 50 LEX UU No. 41/1999 ayat (1), (2) dan (3) SPECIALIS X SIDIK/ LIDIK Split kasus Belum Pejabat Pasal 53, Menjangkau menerbitkan 54,55, dan tindak : alas hak tdk 56 KUHP Percobaan prosedur Penyertaan Pembantuan LAPORAN KEHUTANAN KEJAKSAAN UU KORUPSI POLRI SIDIK/LIDIK KPK (Keterangan/ BAP)
  • 14. UPAYA OPTIMALISASI GAKKUM OLEH APARAT PENYIDIK POLRI Mulai dari Proses Penyidikan sudah harus mengupayakan PENYIDIK KEJAKSAAN DAKWAAN BERLAPIS dgn : PENYIDIK PNS HUT 1. UU Kehutanan MENGEDEPANKAN POLHUT 2. UU Konservasi SDAH&E DAN PPNS KEHUTANAN 3. UU Tipikor 4. UU Lingkungan Hidup 5. UU Keimigrasian 6. UU Penataan Ruang 7. UU Pencucian Uang, DLL.  Upayakan Sukses VONIS sesuai Dakwaan Berlapis.  Hal yang paling fundametal mencermati kelemahan yang ada pada sistem yustisi atau celah-celah dlm perangkat hukum yg bisa dimanfaatkan sbgian pihak utk melakukan IL & IT.
  • 15. URGENSI RUU PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN PEMBALAKAN LIAR (P3L) 1. Telah terjadi pencurian, penebangan kayu illegal tanpa terkendali (extra ordinary crime) 2. Proses penegakan hukum lemah dan lambat 3. Sanksi hukum dalam UU 41/1999 bersifat maksimal sehingga kurang efektif (tidak menimbulkan efek jera) 4. Pengaturan insentif untuk penegak hukum tidak menarik (cenderung terjadi kolusi) 5. Hukuman belum menjangkau para pemodal dan backing 6. Kewenangan PPNS Kehutanan masih terbatas 7. Permasalahan Illegal logging menyangkut lintas sektor (Inpres No. 4 tahun 2005 ada 18 instansi di bawah koordinasi Menkopolhukam) 15
  • 16. CAKUPAN RUU TIPIHUT Sanksi pidana minimal-->Sanksi hukum dalam UU 41/1999 bersifat maksimal sehingga kurang efektif (tidak menimbulkan efek jera) SETIAP PEJABAT DILARANG : 1. melindungi pelaku pembalakan liar; 2. turut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar; 3. melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar; 4. melakukan pembiaran dan/atau kelalaian dalam melaksanakan tugas. 16 16
  • 17. LANJUTAN RUU TIPIHUT SETIAP ORANG DILARANG : 1. menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar; 2. turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar; 3. melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar; 4. mendanai pembalakan liar secara langsung atau tidak langsung; 5. menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar; 6. mencuci kayu hasil pembalakan liar seolah-olah menjadi kayu yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri; 7. menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, dan/atau menukarkan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar; dan/atau 8. menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. 17 17
  • 18. WEWENANG PPNS DALAM RUU TIPIHUT 1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana pembalakan liar; 2. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana pembalakan liar; 3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana pembalakan liar; 4. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana pembalakan liar; 5. melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana pembalakan liar; dan 6. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana pembalakan liar. 18 18
  • 19. WEWENANG PPNS Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud, penyidik berhak meminta kepada lembaga penyelenggara komunikasi untuk : 1. membuka, memeriksa, dan menyita surat atau kiriman melalui pos, serta jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan pembalakan liar yang sedang diperiksa; dan/atau 2. meminta informasi pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan pembalakan liar. 3. Tindakan sebagaimana dimaksud pada huruf 2, hanya dapat dilakukan atas izin Ketua Pengadilan Negeri. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. 19 19