SlideShare a Scribd company logo
JURNAL TEKNOLOGI KELAUTAN Vol. 9, No. 1, Januari 2005: 9 - 17
Pengaruh Spektrum Gelombang Terhadap Stabilitas
Batu Pecah pada Permukaan Cellular Cofferdam
Akibat Gelombang Overtopping
Wahyudi1
, Sholihin1
dan Fery Setiawan2
1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Kelautan, FTK-ITS, Surabaya
Gedung WA, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Email: wahyudictr@oe.its.ac.id
2) Mahasiswa Jurusan Teknik Kelautan, FTK-ITS, Surabaya
Abstrak: Cellular cofferdam adalah salah satu jenis breakwater yang berfungsi melindungi ko-
lam labuh dari pengaruh gelombang, atau melindungi daerah pantai dari erosi dan sedimentasi.
Konstruksi cellular cofferdam merupakan rangkaian sheet pile yang saling mengunci, membentuk
sebuah cell yang di dalamnya berisi material lepas dan batu lindung pada penutup atasnya. Maka-
lah ini menyajikan hasil pemodelan fisik pengaruh variasi spektrum gelombang terhadap stabilitas
batu pecah pada permukaan cellular cofferdam. Gelombang yang dibangkitkan berupa gelombang
irreguler dengan variasi spektrum JONSWAP, ISSC, ITTC, serta PM, dengan tinggi gelombang
(H) 3,2, 2,4, dan 1,6 m, dengan periode gelombang (T) 5 detik, serta variasi kedalaman dari muka
air (SWL) sampai bagian atas struktur (h) 1m di atas SWL, sejajar, 1, dan 2 m di bawah SWL.
Model yang digunakan dengan kesebangunan geometric undistorted skala 1:40. Dimensi model
adalah lebar (B) = 73 cm, tinggi (T) = 53 cm, dan diameter cell (D) = 50 cm. Berdasarkan analisa
hasil percobaan disimpulkan bahwa spektrum JONSWAP mempunyai pengaruh yang terbesar ter-
hadap stabilitas batu pecah pada permukaan cellular cofferdam jika dibandingkan dengan spek-
trum lainnya. Hasil percobaan ini dapat dipakai sebagai referensi untuk menentukan kedalaman
dari bagian atas struktur terhadap SWL.
Kata kunci: cellular cofferdam, spektrum gelombang, stabilitas batu pecah
1. PENDAHULUAN
Pada awalnya pelabuhan hanya merupakan sua-
tu tepian perairan tempat kapal merapat dan
membuang jangkar untuk melakukan kegiatan.
Lokasi pelabuhan berada di tepi sungai, teluk a-
tau pantai yang tenang, karena secara alami ter-
lindung dari gelombang agar kapal dapat aman
dan leluasa dalam melakukan kegiatan.
Seiring dengan perkembangan peradaban manu-
sia, kapal yang semula berukuran kecil dan se-
derhana berkembang menjadi kapal yang besar
dan kompleks. Sejalan dengan itu pula, pelabu-
han tidak lagi harus berada di daerah terlindung
secara alami, tetapi dapat berada di laut terbuka
untuk mendapatkan perairan yang luas dan da-
lam. Ukuran pelabuhan ditentukan oleh jumlah
dan ukuran kapal yang menggunakannya. Da-
lam kegiatan pelayaran, kapal memerlukan ke-
dalaman air yang sama dengan sarat (draft) ka-
pal ditambah dengan suatu kedalaman supaya
kapal aman baik pada waktu berlayar maupun
berlabuh. Semakin besar sarat kapal maka se-
makin besar pula kedalaman perairan pelabuhan
yang disyaratkan.
Faktor penting yang lain dalam perencanaan pe-
labuhan selain kedalaman adalah tinggi gelom-
bang. Gelombang yang besar di dalam kolam
labuh akan mengganggu aktifitas kapal. Usaha
untuk mengurangi atau menghilangkan ganggu-
an gelombang terhadap kapal yang berlabuh pa-
da umumnya dibuat bangunan pemecah gelom-
bang atau breakwater. Bangunan ini memisah-
kan daerah pelabuhan dari daerah laut bebas, se-
hingga perairan pelabuhan tidak banyak dipe-
ngaruhi oleh gelombang besar dari laut. Kebera-
daan breakwater ini menjadikan perairan pela-
buhan tenang sehingga kapal dapat melakukan
kegiatan bongkar muat barang dengan mudah.
10 Jurnal Teknologi Kelautan Vol. 9, No.1, Januari 2005: 9-17
Ada beberapa tipe breakwater berdasarkan ben-
tuk dan bahan yang digunakan. Menurut ben-
tuknya dapat dibedakan menjadi pemecah ge-
lombang sisi miring, sisi tegak, dan campuran.
Pemilihan tipe breakwater yang digunakan pada
umumnya ditentukan oleh ketersediaan mate-
rial, kondisi oseanografi seperti kondisi dasar
laut, kedalaman air, dan lainnya. Salah satu tipe
breakwater adalah tipe sisi tegak berbentuk cel-
lular cofferdam.
Cellular cofferrdam adalah suatu kontruksi
yang menggunakan sheet pile yang saling me-
nutup satu sama lain membentuk sebuah cell.
Bagian dalam cell diisi dengan material lepas
yaitu pasir di bagian bawah dan batu pecah se-
bagai pelindung dan penutup bagian atas. Isian
pasir dan batu pecah ini berguna untuk menjaga
stabilitas dari struktur akibat pengaruh gelom-
bang. Struktur cellular cofferdam didisain untuk
gelombang overtopping, karena tipe struktur ini
diperuntukkan di perairan dalam dengan tinggi
gelombang yang besar sehingga memungkinkan
gelombang melimpas di atas struktur.
Besar kecilnya gelombang datang akan mem-
pengaruhi stabilitas struktur. Stabilitas coffer-
dam dipengaruhi pula oleh kekuatan regang dari
pile, dimensi, bentuk lubang, pondasi tanah, ser-
ta material pengisinya yaitu pasir dan batu pe-
cah. Dalam merancang struktur breakwater tipe
cellular cofferdam, perlu diketahui secara pasti
pengaruh gelombang terhadap struktur, teruta-
ma terhadap stabilitas batu pecah sebagai pelin-
dungnya. Dalam makalah ini disampaikan hasil
kajian eksperimental model fisik pengaruh ge-
lombang terhadap stabilitas batu pecah pada
permukaan cellular cofferdam.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Energi gelombang yang menuju pantai, apabila
tanpa pengahalang kemungkinan dapat menye-
babkan kerusakan pantai. Selain itu juga me-
nyebabkan tingginya gelombang di kolam labuh
yang mengganggu aktifitas kapal. Besarnya e-
nergi gelombang yang mencapai pantai dapat
diredam dengan mengurangi tinggi gelombang.
Pengurangan tinggi gelombang dapat dilakukan
dengan suatu kontruksi yang melintang terha-
dap arah gelombang datang yang melewatinya
dengan cara memecahkan atau memantulkannya
dengan struktur yang dikenal sebagai pemecah
gelombang atau breakwater (CERC, 1984).
Breakwater biasanya dibuat untuk melindungi
daerah pelabuhan maupun daerah wisata bahari.
Bangunan ini dibedakan menjadi tiga tipe utama
yaitu, breakwater sisi miring, sisi tegak monolit,
serta breakwater campuran. Sedangkan berda-
sarkan kondisi gelombang yang mengenainya
breakwater dibedakan menjadi dua, yaitu over-
topping dan non overtopping. Breakwater jenis
overtopping didisain dengan kondisi air yang
melimpas, yang ditujukan untuk daerah yang ti-
dak begitu sensitif terhadap pengaruh gelom-
bang yang terjadi, sedangkan non overtopping
didisain dengan tidak mengijinkan air melimpas
di atasnya dan ditujukan untuk daerah yang sen-
sitif terhadap pengaruh gelombang.
Model breakwater yang digunakan untuk perco-
baan dalam studi ini adalah jenis sisi tegak mo-
nolit, terdiri dari beberapa elemen yang dihu-
bungkan sehingga membentuk satu kesatuan
yang disebut sebagai cellular cofferdam. Pada
bagian paling atas atau paling luar dari cellular
cofferdam diisi dengan lapisan batu pelindung
berukuran paling besar/berat, sedangkan sema-
kin ke arah dalam ukuran batu semakin kecil
sampai berukuran pasir. Dasar perencanaan ba-
ngunan tipe ini adalah lapis luar akan menerima
beban gelombang yang paling besar, sehingga
harus berukuran lebih besar dan lebih berat se-
hingga cukup stabil.
Bahan lapis lindung dari batu yang dipakai un-
tuk breakwater menurut Nuryuwono (1992) ha-
rus memenuhi syarat antara lain harus tahan ter-
hadap keadaan lingkungan yaitu tidak mudah
lapuk, tahan terhadap gaya dinamik gelombang,
serta tidak rusak oleh bahan kimia, harus cukup
besar dan mempunyai berat jenis yang cukup
besar (>2.6) sehingga mampu menahan gaya
yang disebabkan oleh gelombang, serta harga
yang relatif murah.
Salah satu beban yang diperhitungkan dalam
merencanakan bangunan pantai adalah beban a-
kibat gelombang. Gelombang akan menimbul-
kan tekanan lateral pada struktur, sehingga gaya
dan momen yang ditimbulkannya merupakan
beban yang mempengaruhi stabilitas dari struk-
tur tersebut.
Pengaruh Spektrum Gelombang Terhadap...........(Wahyudi) 11
Bila gelombang tidak pecah menghantam per-
mukaan breakwater yang impermeable vertikal
secara tegak lurus, maka gelombang akan di-
pantulkan lagi dan akan menimbulkan standing
wave atau gelombang klapotis yang tingginya
dua kali tinggi gelombang datang. Dengan ada-
nya viskositas air, faktor elastisitas air, dan per-
meabilitas dinding maka amplitudo dari stan-
ding wave tidak lagi tepat dua kali amplitudo
gelombang datang melainkan lebih kecil, karena
adanya energi yang diserap system di sekitarnya
(Adrianto, 1988)
Dalam menentukan detail struktur breakwater
adalah penting untuk mengetahui secara eksak
pengaruh dari gaya gelombang terhadap struk-
tur yang ada. Salah satu metode yang dapat di-
gunakan untuk mengetahui hal tersebut adalah
dengan menggunakan test model fisik dengan
variasi dari energi atau spektrum gelombang,
tinggi, dan periode gelombang terhadap stabi-
litas dari batu lindung dalam kondisi overtop-
ping (Jenssen, 1984 dan Haryo, 1997).
Secara garis besar ada tiga tipe model hidrolika,
yaitu model matamatik, model fisik, dan ga-
bungan keduanya. Model matematika adalah si-
mulasi fenomena hidrolika yang diketahui per-
samaan matematikanya yang diselesaikan seca-
ra numerik, sedangkan pemodelan fisik adalah
suatu pemodelan fenomena dengan ukuran se-
sungguhnya yang direproduksi dengan mene-
rapkan suatu skala tertentu (Pratikto, dkk.,
1996). Pemodelan secara fisik diperlukan bila
fenomena hidrolika yang diamati belum diketa-
hui formulasi matematikanya. Model fisik diha-
rapkan dapat menjelaskan fenomena hidrolika
yang ada dengan memformulasikan hasil yang
telah diperoleh.
2.1 Stabilitas Batu Pelindung
Stabilitas batu pelindung dipengaruhi oleh berat
batu, koefisien porositas, serta sifat bahan yang
lain. Hudson, 1953 (dalam Triatmodjo, 1996)
mengembangkan formula untuk menghitung
berat batu minimum, yaitu:
α
ρ
cot)1( 3
3
−
=
SrK
gH
W
D
a (1)
dengan,
W : berat minimum batu pelindung
H : tinggi gelombang rencana
g : percepatan gravitasi
KD : koef jenis batu lindung
Sr : rapat massa relatif, (= ρa/ρw)
α : lereng bangunan
ρa : rapat massa batu pelindung
Selain berat batu, volume rongga antar batu ju-
ga mempengaruhi stabilitas batu lapis lindung.
Besarnya volume rongga ini direpresentasikan
dalam koefisien porositas yang menunjukkan
rasio antara volume rongga dengan total volu-
me. Koefisien ini dapat untuk menentukan jum-
lah batu yaitu dengan formula,
[ ]3
2
)1( W
ga
nmKC
ρ
−= Δ
(2)
dengan C adalah jumlah batu pelindung, n ada-
lah porositas, dan m merupakan jumlah lapisan
pelindung perlayer.
Properti bahan lapis lindung yang penting untuk
perhitungan stabilitas konstruksi adalah rapat
masa, koefisien batu lindung, koefisien lapisan,
dan koefisien porositas. Rapat massa (ρa) sema-
kin besar semakin kecil ukuran batu. Koefisien
batu lindung (KD) merupakan pencerminan dari
sifat bahan seperti bentuk batu, kekasaran, ting-
kat interlocking, serta posisi batu dalam struk-
tur. Koefisien lapisan (KΔ) menunjukan tingkat
bahan lapis lindung untuk bergabung bersama
dalam suatu lapisan. Koefisien porositas (n)
menunjukkan rasio antara volume rongga terha-
dap total volume.
Beberapa macam batu lapis lindung yang dapat
digunakan untuk struktur cellular cofferdam a-
dalah akmon, kubus beton, dolos, batu alam
(quarry stone), tetrapod, quadripod, dan tribar.
Batu lindung yang digunakan dalam studi ini
adalah tipe batu alam. Karakteristik dari batu ini
adalah kasar, bersudut dan bentuk tidak teratur.
Pemilihan tipe batu lindung ini dikarenakan
mempunyai harga yang relatif murah dan mu-
dah didapatkan.
2.2 Spektrum Gelombang
Sifat gelombang laut adalah acak, baik besar
maupun arahnya, sehingga karena sifat inilah
12 Jurnal Teknologi Kelautan Vol. 9, No.1, Januari 2005: 9-17
besar energi gelombang acak sulit untuk diukur.
Gelombang acak merupakan gabungan dari ge-
lombang sinusoidal dengan panjang dan periode
gelombang yang sangat bervariasi. Ukuran in-
tensitas komponen gelombang acak pada u-
mumnya dinyatakan dalam bentuk spektrum ke-
padatan amplitudo, kepadatan energi gelom-
bang atau biasa disingkat dengan spektrum e-
nergi gelombang.
Dalam analisa spektrum energi gelombang di-
perlukan data pencatatan gelombang selama 15-
20 menit. Prinsip analisa spektrum gelombang
adalah menguraikan suatu gelombang irreguler
menjadi susunan dari gelombang teratur dari
berbagai frekuensi dan tinggi gelombang (Nur-
yuwono, 1992).
Pada gelombang acak tidak dapat dikenali suatu
pola yang spesifik, sehingga parameter gelom-
bang didefinisikan dengan memakai besaran-be-
saran statistik seperti H1/3 dan T1/3. H1/3 adalah
harga rata-rata dari 1/3 jumlah keseluruhan ting-
gi gelobang yang tertinggi atau tinggi signi-
fikan, sedangkan T1/3 harga rata-rata dari 1/3
jumlah keseluruhan periode gelombang yang
tertinggi atau periode signifikan.
Spektrum parameter tunggal yang paling sering
digunakan adalah model Pierson-Moskowitz,
1964 (dalam Chakrabarti) yang berdasarkan pa-
da tinggi gelombang signifikan atau kecepatan
angin. Selain itu ada beberapa spektrum para-
meter ganda yang biasa digunakan. Beberapa
yang sering digunakan adalah Bretschneider
(1969), ISSC (1964), JONSWAP (Hasselmen,
1973 dan 1976), dan ITTC (1966,1969, dan
1972).
2.2.1 Spektrum Pierson-Moskowitz
Pierson dan Moskowitz (1964) mengajukan se-
buah formula baru untuk distribusi spektrum pe-
ningkatan energi angin di bagian laut berda-
sarkan pada kesamaan teori dari Kitaigorodskii
dan data rekaman yang lebih akurat. Model
spektrum Pierson-Moskowitz (P-M) menggam-
barkan laut secara keseluruhan dan ditentukan
oleh satu parameter, yaitu kecepatan angin. Pen-
capaian dan durasi dianggap infinit. Untuk apli-
kasi model, angin harus berhembus di area yang
luas pada kecepatan yang konstan untuk waktu
yang lama. Berdasarkan asumsi ini, maka model
P-M dapat digunakan dalam mempresentasikan
beberapa gelombang badai pada perancangan
struktur lepas pantai. Model spektrum P-M da-
pat dituliskan seperti pers. (3).
4
4)
2
(74.0323
)2(
10.1,82
)( π
πU
gT
eTg
TSH
−−
= (3)
Ekspresi yang sama untuk spektrum P-M dalam
hubungannya dengan putaran frekuensi, f(=
ω/2π) dituliskan seperti pada pers. (4).
S(f) = α g2
/(2π)4
f-5
exp [-1.25(f / f0 ) (4)
Frekuensi zero-crossing didefinisikan sebagai-
mana pada pers. (5).
0
2
2 m
m
z πω = (5)
dan frekuensi puncaknya ω0 = 0.710 ωz
2.2.2 Spektrum ISSC
International Ship Structures Congress (1964)
mengusulkan modifikasi untuk bentuk spektrum
Bretschneider, yaitu:
40
5
4 )(442.02
)(1107.0)( ω
ω
ω
ϖ
ω
−
= eHS S (6)
dengan 0296.1 ωϖ =
2.2.3 Spektrum JONSWAP
Spektrum ini merupakan penyempurnaan dari
spektrum P-M, karena Laut Utara memiliki
kondisi lingkungan yang ekstrim dan dibatasi
oleh pulau dan benua yang mengakibatkan fetch
di daerah ini cukup pendek namun memiliki ge-
lombang yang besar. Sehingga persamaan P-M
diubah dalam bentuk:
[ ] ⎥
⎦
⎤
⎢
⎣
⎡
−−
−
−=
2
022
)0(
0
exp
452
)(25.1exp)( ωτ
ωω
γωαω ω
ω
gS (7)
dengan,
γ (peakedness parameter) = 3.3
Pengaruh Spektrum Gelombang Terhadap...........(Wahyudi) 13
τ (shape parameter) = 0.07, jika ω ≤ ωz
= 0.09, jika ω > ωz
α = 0.076 ( x0 )-0.22
= 0.00819 (ketika x tidak diketahui)
ω0 = 2 π (g / Uω0 ) (x0 ) –0.33
x0 = gx/Uω2
ω0
2
= 0.161g/HS
2.2.4 Spektrum ITTC
International Towing Tank Conference (1966,
1969, dan 1972) mengusulkan modifikasi terha-
dap spektrum P-M, dalam hal ini tinggi gelom-
bang signifikan dan frekuensi zero crossing.
Frekuensi zero crossing rata-rata dapat dihitung
dari:
0
2
m
m
Z =ω (8)
Spektrum ITTC dapat ditulis sebagai:
⎥⎦
⎤
⎢⎣
⎡=
−
−−
2
42
452
exp)(
SH
g
gS
ω
α
ωαω (9)
dengan,
α = 0.081/ k4
dan
Z
g
k
ω
σ
54,3
= (10)
2.3 Model Fisik
Pemilihan model fisik hidrolik dilakukan apabi-
la fenomena fisik dari permasalahan yang ada
pada prototipe dapat dibuat dengan skala yang
lebih kecil dengan kesebangunan (similaritas)
yang cukup memadai (Widagdo, 1999). Kese-
bangunan dapat berupa sebangun geometrik
(panjang, lebar, dan tinggi), kinematik (kece-
patan dan aliran), dan sebangun dinamik (gaya).
2.3.1 Sebangun Geometrik
Sebangun geometrik dipenuhi bila antara model
dengan prototipe mempunyai bentuk yang sama
tapi berbeda ukurannya. Sebangun geometrik
terdiri atas dua macam, yaitu sebangun geome-
trik sempurna (tanpa distorsi) dan sebangun ge-
ometrik tak sempurna atau terdestorsi.
Dalam sebangun geometrik sempurna skala
panjang arah horizontal (skala panjang) dan
skala panjang arah vertikal (skala tinggi) adalah
sama. Besarnya skala panjang adalah:
(nL) =
elpadapanjangm
prototipepadaPanjang
L
L
m
P
mod.
..
= (11)
Skala tinggi:
(nH) =
elpadaPanjang
prototippadaTinggi
h
h
m
p
mod..
..
= (12)
Skala luas:
2
)(
)..(
)..(
nL
lebarxpanjang
lebarxpanjang
A
A
nA
m
p
m
p
=== (13)
Skala volume:
3
)(nL
V
V
nV
m
p
== (14)
2.3.2 Sebangun Kinematik
Sebangun kinematik terpenuhi bila antara mo-
del dengan prototype adalah sebangun geome-
trik serta kecepatan dan percepatan di dua titik
tinjau adalah sama. Perbandingan kecepatan dan
percepatan yang sama hanya berlaku untuk satu
arah saja, yaitu pada arah horizontal atau ver-
tikal saja.
Skala kecepatan:
T
h
T
L
m
p
U
n
n
atau
n
n
U
U
n .== (15)
Skala percepatan:
22
..
T
h
T
L
m
p
a
n
n
atau
n
n
a
a
n == (16)
Skala debit:
14 Jurnal Teknologi Kelautan Vol. 9, No.1, Januari 2005: 9-17
T
hL
T
L
m
p
Q
n
nn
atau
n
n
Q
Q
n
..
..
23
== (17)
dengan na skala percepatan dan nQ skala debit.
2.3.3 Sebangun Dinamik
Sebangun dinamik terpenuhi bila model dan
prototype sebangun geometris dan kinematis,
serta gaya yang bersangkutan pada model dan
prototype untuk seluruh pengaliran pada arah
yang sama adalah sama. Gaya tersebut antara
lain, gaya berat (Fw = ρL3
g), gaya tekanan (Fp
= pL2
), dan gaya gesek (Fv = EL2
)
2.4 Analisa Dimensi
Dalam pembuatan model selalu dilakukan pe-
ngecilan dari berbagai variabel, yaitu dengan
memberikan skala (n) pada masing-masing vari-
abel tersebut. Sedangkan skala dari berbagai va-
riabel tersebut dapat ditentukan hubungan antar
parameter yang diekspresikan dalam bilangan
tak berdimensi. Selain itu bilangan tak berdi-
mensi dapat digunakan untuk menggambarkan
output hasil percobaan (Widagdo, 1999).
Ada beberapa cara dalam mentukan bilangan
tak berdimensi, salah satu metode yang diguna-
kan adalah stepwise procedure. Metode ini di-
terapkan dengan peniadaan dimensi tahap demi
tahap. Tahap pertama adalah peniadaan dimensi
massa (M) dengan variabel yang mengandung
dimensi massa ρ (M/L3
). Berikutnya adalah pe-
niadaan dimensi waktu (T) dengan variabel
yang mengandung dimensi waktu (T) seperti
periode, dan terakhir adalah peniadaan dimensi
panjang (L) dengan variable yang hanya me-
ngandung dimensi panjang misalnya dengan
tinggi gelombang (H). Berdasarkan metode ini
dapat diperoleh bilangan tak berdimensi φ
(WT2
/ρW, h/H, gT2
/H) atau dalam bentuk yang
lain seperti φ (W/ρWg, h/H, gT2
/H).
3. PROSES PERCOBAAN
Model Cellular Cofferdam dengan ukuran lebar
(B) = 73cm, tinggi (T) = 53cm, dan diameter
cell (D) = 50cm, dipasang pada kolam yang
dilengkapi dengan tumpuan di bagian bawah
model untuk mengatur variasi elevasi bagian
atas struktur dengan muka air (SWL). Batu pe-
cah yang digunakan diberi warna untuk mem-
permudah penghitungan jumlah yang berpindah
tempat (terjadi kegagalan) setelah menerima
beban gelombang (Gambar 1-3).
Model yang terpasang pada kolam diberi beban
gelombang dengan variasi tinggi (H) dan perio-
de gelombang, variasi kedalaman air dari muka
air sampai bagian atas struktur (h), serta dengan
variasi dari spektrum gelombang. Setelah proses
pembebanan gelombang, kemudian dilakukan
penghitungan jumlah batu pecah yang mengala-
mi perpindahan tempat (mengalami kegagalan).
Percobaan dilakukan dengan jumlah data yang
direkam masing-masing sebanyak 1000 gelom-
bang.
Gambar 1. Model pada tangki gelombang (wave
tank)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Percobaan
Hasil percobaan yang diperoleh disajikan dalam
bentuk tabel dan grafik hubungan antara tinggi
gelombang dengan prosentase kerusakan batu
pecah, dengan variasi masing-masing spektrum
gelombang serta dibuat untuk setiap variasi po-
sisi bagian atas struktur terhadap SWL atau ni-
lai h (Tabel 1 sampai 4).
Hubungan antara setiap spektrum gelombang
dengan kerusakan batu pecah pada setiap variasi
nilai h disajikan pada Gambar 4 sampai 7, se-
dangkan hubungan rasio h/H dengan kerusakan
batu pecah disajikan pada Gambar 8.
Pengaruh Spektrum Gelombang Terhadap...........(Wahyudi) 15
Tabel 1. Pengaruh tinggi gelombang pada elevasi
sejajar SWL
Spektrum
H
(m)
Kerusakan batu pada
elevasi sejajar
dengan SWL (%)
JSW
3.86 16.1
2.68 13.3
1.56 5.6
PM 3.86 14.7
2.68 6.1
1.56 1.4
ITTC 3.86 13.8
2.68 9.4
1.56 0.3
ISSC 3.86 14.8
2.68 3.4
1.56 0.3
Tabel 2. Pengaruh tinggi gelombang terhadap pro-
sentase kerusakan batu pada elevasi 2m di
bawah SWL
Spektrum
H
(m)
Kerusakan batu pada
elevasi 2m
di bawah SWL (%)
JSW
3.86 8.8
2.68 6.6
1.56 1.7
PM
3.86 7.7
2.68 2.5
1.56 0.2
ITTC
3.86 4.2
2.68 3.9
1.56 0.0
ISSC
3.86 3.1
2.68 1.3
1.56 0.2
Gambar 2. Proses percobaan pada wave tank
Gambar 3. Model pada wave tank pada saat proses
percobaan
4.2 Pengaruh Spektrum Gelombang Ter-
hadap Kerusakan Batu
Besarnya pengaruh perubahan tinggi gelombang
(H) untuk tiap spektrum gelombang irreguler
terhadap nilai prosentase kegagalan batu pecah
pada permukaan cellular cofferdam dapat dibu-
at korelasi dengan menghubungkan antara bi-
langan nondimensional (gT2
)/H dengan prosen-
tase kerusakan batu pecah. Notasi H adalah
tinggi gelombang, T periode gelombang, dan g
percepatan gravitasi.
Tabel 3. Pengaruh tinggi gelombang terhadap pro-
sentase kerusakan batu pada elevasi 1m di
bawah SWL
Spektrum
H
(m)
Kerusakan batu pada
elevasi 1m
di bawah SWL (%)
JSW
3.86 2.3
2.68 1.6
1.56 0.5
PM
3.86 1.7
2.68 0.3
1.56 0.0
ITTC
3.86 1.7
2.68 0.3
1.56 0.0
ISSC
3.86 1.9
2.68 0.3
1.56 0.2
Tabel 4. Pengaruh tinggi gelombang terhadap pro-
sentase kerusakan batu pada elevasi 1m di
atas SWL
Spektrum H
(m)
Kerusakan batu pada
elevasi 1m
di atas SWL (%)
JSW
3.86 9.8
2.68 6.1
1.56 4.3
PM
3.86 9.1
2.68 4.8
1.56 0.0
ITTC
3.86 8.3
2.68 1.7
1.56 0.0
ISSC
3.86 8.6
2.68 2.9
1.56 0.0
Grafik hubungan antara pengaruh tinggi gelom-
bang pada spektrum gelombang irreguler de-
ngan prosentase kerusakan batu pecah pada
permukaan Cellular Cofferdam (Gambar 4 - 7)
menunjukkan bahwa energi yang dihasilkan tiap
spektrum gelombang akan mengalami pening-
katan seiring dengan peningkatan tinggi gelom-
bang (H). Spektrum gelombang JONSWAP
mempunyai pengaruh terbesar terhadap keru-
16 Jurnal Teknologi Kelautan Vol. 9, No.1, Januari 2005: 9-17
sakan batuan pelindung pada permukaan Cel-
lular Cofferdam. Pengaruh ini terjadi pada seti-
ap perubahan elevasi pada model.
-2
0
2
4
6
8
10
12
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
(gT^2) / H
%KerusakanBatu
JONSWAP
ITTC
ISSC
PM
Gambar 4. Hubungan antara pengaruh spektrum
terhadap prosentase kegagalan batu
pada elevasi 1m di atas SWL
-5
0
5
10
15
20
25
0 100 200
(gT^2) / H
%KerusakanBatu
JONSWAP
ITTC
ISSC
PM
Gambar 5. Hubungan antara pengaruh spektrum ter-
hadap prosentase kegagalan batu sejajar
dengan SWL
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
0 50 100 150 200
(gT^2) / H
%KerusakanBatu
JONSWAP
ITTC
ISSC
PM
Gambar 6. Hubungan antara pengaruh spektrum ter-
hadap prosenatse kegagalan batu pada e-
levasi 1m di bawah SWL
Apabila dibandingkan dengan spektrum gelom-
bang ITTC, PM maupun ISSC spektrum gelom-
bang JONSWAP menyebabkan prosentase ke-
rusakan batu yang lebih besar, yaitu 9.8% pada
elevasi 1m di atas SWL, 16% pada elevasi seja-
jar dengan SWL, 8.75% pada elevasi 2m di ba-
wah SWL, dan 2.3% pada elevasi 5m di bawah
SWL. Hal ini disebabkan karena energi yang di-
hasilkan dari spektrum gelombang JONSWAP
lebih besar jika dibandingkan dengan spektrum
gelombang yang lainnya, yaitu sebesar 53.8
kg.dt/m. Spektrum gelombang yang menyebab-
kan kerusakan paling kecil adalah ISSC, yaitu
8.5% pada elevasi 1m di atas SWL, 14% pada
elevasi sejajar SWL, 3.1% di bawah SWL,
1.8% 2m di bawah SWL. Hal ini disebabkan
karena energi yang dihasilkan sebesar 0.61
kg.dt/m.
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 50 100 150 200
(gT^2) / H
%KerusakanBatu
JONSWAP
ITTC
ISSC
PM
Gambar 7. Hubungan antara pengaruh spektrum ter-
hadap prosenatse kegagalan batu pada e-
levasi 2m di bawah SWL
4.3 Pengaruh Nilai h/H Terhadap Pro-
sentase Kerusakan Batu
Korelasi antara rasio elevasi bagian atas struktur
terhadap SWL dengan tinggi gelombang dari
masing-masing spektrum (h/H) dan prosentase
kerusakan batu pecah ditunjukkan pada Gambar
8.
Gambar 8. Hubungan antara pengaruh nilai h/H ter-
hadap prosentase kerusakan batu untuk
berbagai spektrum gelombang
Pengaruh Spektrum Gelombang Terhadap...........(Wahyudi) 17
Gambar 8 meunjukkan bahwa nilai h/H mem-
punyai pengaruh yang besar terhadap prosen-
tase kerusakan batu. Prosentase kerusakan ter-
besar terjadi pada nilai h/H nol, sedangkan pro-
sentase kerusakan terkecil terjadi pada nilai h/H
1.28.
Kerusakan batu pelindung pada breakwater ti-
dak hanya disebabkan oleh besarnya tinggi ge-
lombang, tetapi juga oleh posisi bagian atas
struktur terhadap SWL (h), serta rasio antara h
terhadap besarnya tinggi gelombang (H), atau
nilai h/H (Gambar 8). Oleh karena itu dalam
aplikasi penggunaan cellular cofferdam di pera-
iran Indonesia, berdasarkan nilai h/H hasil per-
cobaan ini dapat digunakan referensi dalam hal
penentuan posisi bagian atas struktur dengan
SWL (h).
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan dan analisa yang
dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesim-
pulan seperti berikut.
Energi yang dihasilkan tiap spektrum gelom-
bang akan mengalami peningkatan seiring de-
ngan besarnya tinggi gelombang. Semakin besar
tinggi gelombang, semakin besar pula energi
yang dihasilkan dan sebaliknya
Spektrum gelombang JONSWAP mempunyai
pengaruh yang besar terhadap prosentase keru-
sakan batu pecah atau kegagalan dibandingkan
dengan spektrum gelombang P-M dan ITTC,
sedangkan prosentase kerusakan batu terkecil
diakibatkan oleh spektrum gelombang ISSC.
Perubahan elevasi struktur terhadap Sea Water
Level (SWL) mempunyai pengaruh yang cukup
besar terhadap prosentase kerusakan batu pecah
pada permukaan Cellular Cofferdam, hubungan
ini dapat dilihat pada nilai h/H pada posisi
sejajar dengan SWL atau nilai h/H sama dengan
nol prosentase kerusakan batu pecah akan
mencapai titik maksimum, dan akan memiliki
nilai yang minimum pada nilai h/H sebesar
1.28. Sehingga pada nilai h/H 1.28 model aman
untuk digunakan.
DAFTAR ACUAN
Adrianto, P. (1988), Penelitian Beach Reflec-
tion Coefficient dari Wave Damper, La-
boratorium Hidrodinamika, FTK-ITS.
Laporan Penelitian Puslit, ITS.
Bhattacharya, R. (1972), Dynamic of Marine
Vehicles. John Willy and Sons.
CERC. (1984), Shore Protection Manual, US
Army, Vol I & II, Missisippi.
Chakrabarti, S.K. (1987), Hydrodinamic of Off-
shore Structure. Springer-Verlag.
Dean, R.G.,and Dalrymple, R.A. (1991), Water
Wave Mechanic for Engineers and Scien-
tist. Series on Ocean Engineering Vol.2,
World Scientific, Singapore.
Galvin, C.J. (1964), Wave-Height Prediction for
Wave Generators in Shallow Water,
Technical Memorandum No.4, US Army
Coastal Engineering Research Center,
Washington, D.C.
Haryo, D.A. (1997), Metode Karakteristik Un-
tuk Pemodelan Gelombang dan Arus di
Selat Madura. Lembaga Penelitian ITS.
Hughes, S.A. (1993), Physical Models and La-
bolatory Techniques in Coastal Engi-
neering. Advanced Series on Ocean E-
ngineering Vol 7, World Scientific, Si-
ngapore.
Jenssen, T. (1984), Ocean Dynamic And Coas-
tal Processes, CPC
Nizam (1987), Refleksi dan Transmisi Gelom-
bang Pada Pemecah Gelombang Bawah
Air. Fakultas Teknik, UGM, Yogyakarta.
Nuryuwono (1992), Perencanaan Bangunan
Pantai Volume II. Pusat Antar Univer-
sitas Ilmu Teknik, UGM, Yogyakarta.
Nuryuwono (1996). Perencanaan Model Hi-
drolik. Laboratorium Hidraulika dan Hi-
drologi Pusat Antar Universitas Ilmu
Teknik, UGM, Yoyakarta.
Pratikto, W.A, Haryo, D.A. dan Suntoyo.
(1996), Perencanaan Fasilitas Pantai
dan Laut. BPFE, Yogyakarta.
Triatmodjo, B. (1996), Pelabuhan. Beta Offset,
Yogyakarta.
Widagdo, A.B. (1999), ”Pengantar Model Hi-
drolik di Labolatorium”. Makalah Work-
shop Teknik Kelautan, LPTP-BPPT, Yo-
gyakarta.
18 Jurnal Teknologi Kelautan Vol. 9, No.1, Januari 2005: 9-17

More Related Content

What's hot

Penyanggaan tambang bawah tanah - isya ansyari -
Penyanggaan  tambang bawah tanah - isya ansyari -Penyanggaan  tambang bawah tanah - isya ansyari -
Penyanggaan tambang bawah tanah - isya ansyari -
Isya Ansyari
 
Paper penyanggga kayu terowongan
Paper penyanggga kayu terowonganPaper penyanggga kayu terowongan
Paper penyanggga kayu terowongan
heny novi
 
Asal usul airtanah kel 1 b
Asal usul airtanah kel 1 bAsal usul airtanah kel 1 b
Asal usul airtanah kel 1 b
Annita Wardhani
 

What's hot (20)

Pengantar oseanografi
Pengantar oseanografiPengantar oseanografi
Pengantar oseanografi
 
Materi Air Tanah Mata Kuliah Hidrologi
Materi Air Tanah Mata Kuliah HidrologiMateri Air Tanah Mata Kuliah Hidrologi
Materi Air Tanah Mata Kuliah Hidrologi
 
Penyanggaan tambang bawah tanah - isya ansyari -
Penyanggaan  tambang bawah tanah - isya ansyari -Penyanggaan  tambang bawah tanah - isya ansyari -
Penyanggaan tambang bawah tanah - isya ansyari -
 
Paper penyanggga kayu terowongan
Paper penyanggga kayu terowonganPaper penyanggga kayu terowongan
Paper penyanggga kayu terowongan
 
75342 gft dimas(1)
75342 gft dimas(1)75342 gft dimas(1)
75342 gft dimas(1)
 
Pengantar oseanografi
Pengantar oseanografiPengantar oseanografi
Pengantar oseanografi
 
03. oseanografi
03. oseanografi03. oseanografi
03. oseanografi
 
TEKNIK PEMASANGAN TIANG PANCANG ULIN MENARA PENGAWAS MANGROVE DI MANGROVE CEN...
TEKNIK PEMASANGAN TIANG PANCANG ULIN MENARA PENGAWAS MANGROVE DI MANGROVE CEN...TEKNIK PEMASANGAN TIANG PANCANG ULIN MENARA PENGAWAS MANGROVE DI MANGROVE CEN...
TEKNIK PEMASANGAN TIANG PANCANG ULIN MENARA PENGAWAS MANGROVE DI MANGROVE CEN...
 
Asal usul airtanah kel 1 b
Asal usul airtanah kel 1 bAsal usul airtanah kel 1 b
Asal usul airtanah kel 1 b
 
konfigurasi pondasi cerucuk
konfigurasi pondasi cerucukkonfigurasi pondasi cerucuk
konfigurasi pondasi cerucuk
 
Analisa perilaku tanah ekspansif pada tiang pancang, ditinjau dari variabel k...
Analisa perilaku tanah ekspansif pada tiang pancang, ditinjau dari variabel k...Analisa perilaku tanah ekspansif pada tiang pancang, ditinjau dari variabel k...
Analisa perilaku tanah ekspansif pada tiang pancang, ditinjau dari variabel k...
 
Materi ii-tipe-bendungan-urugan
Materi ii-tipe-bendungan-uruganMateri ii-tipe-bendungan-urugan
Materi ii-tipe-bendungan-urugan
 
Study kasus penurunan bangunan akibat pergerakan tanah
Study kasus penurunan bangunan akibat pergerakan tanahStudy kasus penurunan bangunan akibat pergerakan tanah
Study kasus penurunan bangunan akibat pergerakan tanah
 
Materi Siklus Hidrologi Mata Kuliah Hidrologi
Materi Siklus Hidrologi Mata Kuliah HidrologiMateri Siklus Hidrologi Mata Kuliah Hidrologi
Materi Siklus Hidrologi Mata Kuliah Hidrologi
 
LAPORAN PRAKTEK LAPANGAN OCEANOGRAFI DI PULAU SAUGI
LAPORAN PRAKTEK LAPANGAN OCEANOGRAFI DI PULAU SAUGILAPORAN PRAKTEK LAPANGAN OCEANOGRAFI DI PULAU SAUGI
LAPORAN PRAKTEK LAPANGAN OCEANOGRAFI DI PULAU SAUGI
 
Air tanah
Air tanahAir tanah
Air tanah
 
Teori terbentuknya laut, geomorfologi laut, proses fisika, kimia, biologi laut.
Teori terbentuknya laut, geomorfologi laut, proses fisika, kimia, biologi laut.Teori terbentuknya laut, geomorfologi laut, proses fisika, kimia, biologi laut.
Teori terbentuknya laut, geomorfologi laut, proses fisika, kimia, biologi laut.
 
8. pemecah gelombang
8. pemecah gelombang8. pemecah gelombang
8. pemecah gelombang
 
MATERI 1 HIDROGEOLOGI (Manajemen Pertambangan & Energi) STEM Akamigas
MATERI 1 HIDROGEOLOGI (Manajemen Pertambangan & Energi) STEM AkamigasMATERI 1 HIDROGEOLOGI (Manajemen Pertambangan & Energi) STEM Akamigas
MATERI 1 HIDROGEOLOGI (Manajemen Pertambangan & Energi) STEM Akamigas
 
MATERI 2 LANJUTAN HIDROGEOLOGI (Manajemen Pertambangan & Energi) STEM Akamigas
MATERI 2 LANJUTAN HIDROGEOLOGI (Manajemen Pertambangan & Energi) STEM AkamigasMATERI 2 LANJUTAN HIDROGEOLOGI (Manajemen Pertambangan & Energi) STEM Akamigas
MATERI 2 LANJUTAN HIDROGEOLOGI (Manajemen Pertambangan & Energi) STEM Akamigas
 

Similar to 4251 wahyudi citros-oe-dr. wahyudi, et al. spektrum gelombang thd stabilitas bw

b63d3_MODUL_04_-_PENGETAHUAN_TEKNIK_PANTAI.pptx
b63d3_MODUL_04_-_PENGETAHUAN_TEKNIK_PANTAI.pptxb63d3_MODUL_04_-_PENGETAHUAN_TEKNIK_PANTAI.pptx
b63d3_MODUL_04_-_PENGETAHUAN_TEKNIK_PANTAI.pptx
ErikMunandar1
 
Laporan Bentuk Asal Marine Daerah Bengkulu
Laporan Bentuk Asal Marine Daerah BengkuluLaporan Bentuk Asal Marine Daerah Bengkulu
Laporan Bentuk Asal Marine Daerah Bengkulu
'Oke Aflatun'
 
Pantai berbatu habitat supratidal
Pantai berbatu habitat supratidal Pantai berbatu habitat supratidal
Pantai berbatu habitat supratidal
Register Undip
 
Review paper perbaikan nilai satelit dan akustik risko_c551140161
Review paper perbaikan nilai satelit dan akustik risko_c551140161Review paper perbaikan nilai satelit dan akustik risko_c551140161
Review paper perbaikan nilai satelit dan akustik risko_c551140161
Risko Aditya
 
Pengertian hambatan gelombang
Pengertian hambatan gelombangPengertian hambatan gelombang
Pengertian hambatan gelombang
Jojo Han
 

Similar to 4251 wahyudi citros-oe-dr. wahyudi, et al. spektrum gelombang thd stabilitas bw (20)

GEOTUBE (alam sugeng p)
GEOTUBE (alam sugeng p)GEOTUBE (alam sugeng p)
GEOTUBE (alam sugeng p)
 
Perencanaan_Pelabuhan_Breakwater.pptx
Perencanaan_Pelabuhan_Breakwater.pptxPerencanaan_Pelabuhan_Breakwater.pptx
Perencanaan_Pelabuhan_Breakwater.pptx
 
Perencanaan bangunan pantai
Perencanaan bangunan pantaiPerencanaan bangunan pantai
Perencanaan bangunan pantai
 
Bangunan Pantai.ppt
Bangunan Pantai.pptBangunan Pantai.ppt
Bangunan Pantai.ppt
 
Tugas manajemen karst 1
Tugas manajemen karst 1Tugas manajemen karst 1
Tugas manajemen karst 1
 
Geomorf 8 geomorfologi sedimen terkena struktur geologi
Geomorf 8 geomorfologi sedimen terkena struktur geologiGeomorf 8 geomorfologi sedimen terkena struktur geologi
Geomorf 8 geomorfologi sedimen terkena struktur geologi
 
b63d3_MODUL_04_-_PENGETAHUAN_TEKNIK_PANTAI.pptx
b63d3_MODUL_04_-_PENGETAHUAN_TEKNIK_PANTAI.pptxb63d3_MODUL_04_-_PENGETAHUAN_TEKNIK_PANTAI.pptx
b63d3_MODUL_04_-_PENGETAHUAN_TEKNIK_PANTAI.pptx
 
Geografi STPM Penggal 1 : Geomorfologi Pinggir Pantai
Geografi STPM Penggal 1 : Geomorfologi Pinggir PantaiGeografi STPM Penggal 1 : Geomorfologi Pinggir Pantai
Geografi STPM Penggal 1 : Geomorfologi Pinggir Pantai
 
pdfslide.tips_geografi-stpm-penggal-1-geomorfologi-pinggir-pantai.pdf
pdfslide.tips_geografi-stpm-penggal-1-geomorfologi-pinggir-pantai.pdfpdfslide.tips_geografi-stpm-penggal-1-geomorfologi-pinggir-pantai.pdf
pdfslide.tips_geografi-stpm-penggal-1-geomorfologi-pinggir-pantai.pdf
 
Laporan Bentuk Asal Marine Daerah Bengkulu
Laporan Bentuk Asal Marine Daerah BengkuluLaporan Bentuk Asal Marine Daerah Bengkulu
Laporan Bentuk Asal Marine Daerah Bengkulu
 
Laporan Pengindraan Jauh
Laporan Pengindraan JauhLaporan Pengindraan Jauh
Laporan Pengindraan Jauh
 
Kuliah rekahan (tambang)
Kuliah rekahan (tambang)Kuliah rekahan (tambang)
Kuliah rekahan (tambang)
 
Teluk Jakarta: Reklamasi atau Retorasi ?
Teluk Jakarta: Reklamasi atau Retorasi ?Teluk Jakarta: Reklamasi atau Retorasi ?
Teluk Jakarta: Reklamasi atau Retorasi ?
 
Rancang bangun-struktur-biorok
Rancang bangun-struktur-biorokRancang bangun-struktur-biorok
Rancang bangun-struktur-biorok
 
Pantai berbatu habitat supratidal
Pantai berbatu habitat supratidal Pantai berbatu habitat supratidal
Pantai berbatu habitat supratidal
 
Laporan Praktikum Oseanografi : "Wave Rose" Studi Kasus "Aplikasi Tabel Numer...
Laporan Praktikum Oseanografi : "Wave Rose" Studi Kasus "Aplikasi Tabel Numer...Laporan Praktikum Oseanografi : "Wave Rose" Studi Kasus "Aplikasi Tabel Numer...
Laporan Praktikum Oseanografi : "Wave Rose" Studi Kasus "Aplikasi Tabel Numer...
 
Review paper perbaikan nilai satelit dan akustik risko_c551140161
Review paper perbaikan nilai satelit dan akustik risko_c551140161Review paper perbaikan nilai satelit dan akustik risko_c551140161
Review paper perbaikan nilai satelit dan akustik risko_c551140161
 
Pengertian hambatan gelombang
Pengertian hambatan gelombangPengertian hambatan gelombang
Pengertian hambatan gelombang
 
Kuliah 10 - GEOMORFOLOGI PINGGIR PANTAI
Kuliah 10 - GEOMORFOLOGI PINGGIR PANTAIKuliah 10 - GEOMORFOLOGI PINGGIR PANTAI
Kuliah 10 - GEOMORFOLOGI PINGGIR PANTAI
 
Pelabuhan ke 3
Pelabuhan ke 3Pelabuhan ke 3
Pelabuhan ke 3
 

4251 wahyudi citros-oe-dr. wahyudi, et al. spektrum gelombang thd stabilitas bw

  • 1. JURNAL TEKNOLOGI KELAUTAN Vol. 9, No. 1, Januari 2005: 9 - 17 Pengaruh Spektrum Gelombang Terhadap Stabilitas Batu Pecah pada Permukaan Cellular Cofferdam Akibat Gelombang Overtopping Wahyudi1 , Sholihin1 dan Fery Setiawan2 1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Kelautan, FTK-ITS, Surabaya Gedung WA, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Email: wahyudictr@oe.its.ac.id 2) Mahasiswa Jurusan Teknik Kelautan, FTK-ITS, Surabaya Abstrak: Cellular cofferdam adalah salah satu jenis breakwater yang berfungsi melindungi ko- lam labuh dari pengaruh gelombang, atau melindungi daerah pantai dari erosi dan sedimentasi. Konstruksi cellular cofferdam merupakan rangkaian sheet pile yang saling mengunci, membentuk sebuah cell yang di dalamnya berisi material lepas dan batu lindung pada penutup atasnya. Maka- lah ini menyajikan hasil pemodelan fisik pengaruh variasi spektrum gelombang terhadap stabilitas batu pecah pada permukaan cellular cofferdam. Gelombang yang dibangkitkan berupa gelombang irreguler dengan variasi spektrum JONSWAP, ISSC, ITTC, serta PM, dengan tinggi gelombang (H) 3,2, 2,4, dan 1,6 m, dengan periode gelombang (T) 5 detik, serta variasi kedalaman dari muka air (SWL) sampai bagian atas struktur (h) 1m di atas SWL, sejajar, 1, dan 2 m di bawah SWL. Model yang digunakan dengan kesebangunan geometric undistorted skala 1:40. Dimensi model adalah lebar (B) = 73 cm, tinggi (T) = 53 cm, dan diameter cell (D) = 50 cm. Berdasarkan analisa hasil percobaan disimpulkan bahwa spektrum JONSWAP mempunyai pengaruh yang terbesar ter- hadap stabilitas batu pecah pada permukaan cellular cofferdam jika dibandingkan dengan spek- trum lainnya. Hasil percobaan ini dapat dipakai sebagai referensi untuk menentukan kedalaman dari bagian atas struktur terhadap SWL. Kata kunci: cellular cofferdam, spektrum gelombang, stabilitas batu pecah 1. PENDAHULUAN Pada awalnya pelabuhan hanya merupakan sua- tu tepian perairan tempat kapal merapat dan membuang jangkar untuk melakukan kegiatan. Lokasi pelabuhan berada di tepi sungai, teluk a- tau pantai yang tenang, karena secara alami ter- lindung dari gelombang agar kapal dapat aman dan leluasa dalam melakukan kegiatan. Seiring dengan perkembangan peradaban manu- sia, kapal yang semula berukuran kecil dan se- derhana berkembang menjadi kapal yang besar dan kompleks. Sejalan dengan itu pula, pelabu- han tidak lagi harus berada di daerah terlindung secara alami, tetapi dapat berada di laut terbuka untuk mendapatkan perairan yang luas dan da- lam. Ukuran pelabuhan ditentukan oleh jumlah dan ukuran kapal yang menggunakannya. Da- lam kegiatan pelayaran, kapal memerlukan ke- dalaman air yang sama dengan sarat (draft) ka- pal ditambah dengan suatu kedalaman supaya kapal aman baik pada waktu berlayar maupun berlabuh. Semakin besar sarat kapal maka se- makin besar pula kedalaman perairan pelabuhan yang disyaratkan. Faktor penting yang lain dalam perencanaan pe- labuhan selain kedalaman adalah tinggi gelom- bang. Gelombang yang besar di dalam kolam labuh akan mengganggu aktifitas kapal. Usaha untuk mengurangi atau menghilangkan ganggu- an gelombang terhadap kapal yang berlabuh pa- da umumnya dibuat bangunan pemecah gelom- bang atau breakwater. Bangunan ini memisah- kan daerah pelabuhan dari daerah laut bebas, se- hingga perairan pelabuhan tidak banyak dipe- ngaruhi oleh gelombang besar dari laut. Kebera- daan breakwater ini menjadikan perairan pela- buhan tenang sehingga kapal dapat melakukan kegiatan bongkar muat barang dengan mudah.
  • 2. 10 Jurnal Teknologi Kelautan Vol. 9, No.1, Januari 2005: 9-17 Ada beberapa tipe breakwater berdasarkan ben- tuk dan bahan yang digunakan. Menurut ben- tuknya dapat dibedakan menjadi pemecah ge- lombang sisi miring, sisi tegak, dan campuran. Pemilihan tipe breakwater yang digunakan pada umumnya ditentukan oleh ketersediaan mate- rial, kondisi oseanografi seperti kondisi dasar laut, kedalaman air, dan lainnya. Salah satu tipe breakwater adalah tipe sisi tegak berbentuk cel- lular cofferdam. Cellular cofferrdam adalah suatu kontruksi yang menggunakan sheet pile yang saling me- nutup satu sama lain membentuk sebuah cell. Bagian dalam cell diisi dengan material lepas yaitu pasir di bagian bawah dan batu pecah se- bagai pelindung dan penutup bagian atas. Isian pasir dan batu pecah ini berguna untuk menjaga stabilitas dari struktur akibat pengaruh gelom- bang. Struktur cellular cofferdam didisain untuk gelombang overtopping, karena tipe struktur ini diperuntukkan di perairan dalam dengan tinggi gelombang yang besar sehingga memungkinkan gelombang melimpas di atas struktur. Besar kecilnya gelombang datang akan mem- pengaruhi stabilitas struktur. Stabilitas coffer- dam dipengaruhi pula oleh kekuatan regang dari pile, dimensi, bentuk lubang, pondasi tanah, ser- ta material pengisinya yaitu pasir dan batu pe- cah. Dalam merancang struktur breakwater tipe cellular cofferdam, perlu diketahui secara pasti pengaruh gelombang terhadap struktur, teruta- ma terhadap stabilitas batu pecah sebagai pelin- dungnya. Dalam makalah ini disampaikan hasil kajian eksperimental model fisik pengaruh ge- lombang terhadap stabilitas batu pecah pada permukaan cellular cofferdam. 2. TINJAUAN PUSTAKA Energi gelombang yang menuju pantai, apabila tanpa pengahalang kemungkinan dapat menye- babkan kerusakan pantai. Selain itu juga me- nyebabkan tingginya gelombang di kolam labuh yang mengganggu aktifitas kapal. Besarnya e- nergi gelombang yang mencapai pantai dapat diredam dengan mengurangi tinggi gelombang. Pengurangan tinggi gelombang dapat dilakukan dengan suatu kontruksi yang melintang terha- dap arah gelombang datang yang melewatinya dengan cara memecahkan atau memantulkannya dengan struktur yang dikenal sebagai pemecah gelombang atau breakwater (CERC, 1984). Breakwater biasanya dibuat untuk melindungi daerah pelabuhan maupun daerah wisata bahari. Bangunan ini dibedakan menjadi tiga tipe utama yaitu, breakwater sisi miring, sisi tegak monolit, serta breakwater campuran. Sedangkan berda- sarkan kondisi gelombang yang mengenainya breakwater dibedakan menjadi dua, yaitu over- topping dan non overtopping. Breakwater jenis overtopping didisain dengan kondisi air yang melimpas, yang ditujukan untuk daerah yang ti- dak begitu sensitif terhadap pengaruh gelom- bang yang terjadi, sedangkan non overtopping didisain dengan tidak mengijinkan air melimpas di atasnya dan ditujukan untuk daerah yang sen- sitif terhadap pengaruh gelombang. Model breakwater yang digunakan untuk perco- baan dalam studi ini adalah jenis sisi tegak mo- nolit, terdiri dari beberapa elemen yang dihu- bungkan sehingga membentuk satu kesatuan yang disebut sebagai cellular cofferdam. Pada bagian paling atas atau paling luar dari cellular cofferdam diisi dengan lapisan batu pelindung berukuran paling besar/berat, sedangkan sema- kin ke arah dalam ukuran batu semakin kecil sampai berukuran pasir. Dasar perencanaan ba- ngunan tipe ini adalah lapis luar akan menerima beban gelombang yang paling besar, sehingga harus berukuran lebih besar dan lebih berat se- hingga cukup stabil. Bahan lapis lindung dari batu yang dipakai un- tuk breakwater menurut Nuryuwono (1992) ha- rus memenuhi syarat antara lain harus tahan ter- hadap keadaan lingkungan yaitu tidak mudah lapuk, tahan terhadap gaya dinamik gelombang, serta tidak rusak oleh bahan kimia, harus cukup besar dan mempunyai berat jenis yang cukup besar (>2.6) sehingga mampu menahan gaya yang disebabkan oleh gelombang, serta harga yang relatif murah. Salah satu beban yang diperhitungkan dalam merencanakan bangunan pantai adalah beban a- kibat gelombang. Gelombang akan menimbul- kan tekanan lateral pada struktur, sehingga gaya dan momen yang ditimbulkannya merupakan beban yang mempengaruhi stabilitas dari struk- tur tersebut.
  • 3. Pengaruh Spektrum Gelombang Terhadap...........(Wahyudi) 11 Bila gelombang tidak pecah menghantam per- mukaan breakwater yang impermeable vertikal secara tegak lurus, maka gelombang akan di- pantulkan lagi dan akan menimbulkan standing wave atau gelombang klapotis yang tingginya dua kali tinggi gelombang datang. Dengan ada- nya viskositas air, faktor elastisitas air, dan per- meabilitas dinding maka amplitudo dari stan- ding wave tidak lagi tepat dua kali amplitudo gelombang datang melainkan lebih kecil, karena adanya energi yang diserap system di sekitarnya (Adrianto, 1988) Dalam menentukan detail struktur breakwater adalah penting untuk mengetahui secara eksak pengaruh dari gaya gelombang terhadap struk- tur yang ada. Salah satu metode yang dapat di- gunakan untuk mengetahui hal tersebut adalah dengan menggunakan test model fisik dengan variasi dari energi atau spektrum gelombang, tinggi, dan periode gelombang terhadap stabi- litas dari batu lindung dalam kondisi overtop- ping (Jenssen, 1984 dan Haryo, 1997). Secara garis besar ada tiga tipe model hidrolika, yaitu model matamatik, model fisik, dan ga- bungan keduanya. Model matematika adalah si- mulasi fenomena hidrolika yang diketahui per- samaan matematikanya yang diselesaikan seca- ra numerik, sedangkan pemodelan fisik adalah suatu pemodelan fenomena dengan ukuran se- sungguhnya yang direproduksi dengan mene- rapkan suatu skala tertentu (Pratikto, dkk., 1996). Pemodelan secara fisik diperlukan bila fenomena hidrolika yang diamati belum diketa- hui formulasi matematikanya. Model fisik diha- rapkan dapat menjelaskan fenomena hidrolika yang ada dengan memformulasikan hasil yang telah diperoleh. 2.1 Stabilitas Batu Pelindung Stabilitas batu pelindung dipengaruhi oleh berat batu, koefisien porositas, serta sifat bahan yang lain. Hudson, 1953 (dalam Triatmodjo, 1996) mengembangkan formula untuk menghitung berat batu minimum, yaitu: α ρ cot)1( 3 3 − = SrK gH W D a (1) dengan, W : berat minimum batu pelindung H : tinggi gelombang rencana g : percepatan gravitasi KD : koef jenis batu lindung Sr : rapat massa relatif, (= ρa/ρw) α : lereng bangunan ρa : rapat massa batu pelindung Selain berat batu, volume rongga antar batu ju- ga mempengaruhi stabilitas batu lapis lindung. Besarnya volume rongga ini direpresentasikan dalam koefisien porositas yang menunjukkan rasio antara volume rongga dengan total volu- me. Koefisien ini dapat untuk menentukan jum- lah batu yaitu dengan formula, [ ]3 2 )1( W ga nmKC ρ −= Δ (2) dengan C adalah jumlah batu pelindung, n ada- lah porositas, dan m merupakan jumlah lapisan pelindung perlayer. Properti bahan lapis lindung yang penting untuk perhitungan stabilitas konstruksi adalah rapat masa, koefisien batu lindung, koefisien lapisan, dan koefisien porositas. Rapat massa (ρa) sema- kin besar semakin kecil ukuran batu. Koefisien batu lindung (KD) merupakan pencerminan dari sifat bahan seperti bentuk batu, kekasaran, ting- kat interlocking, serta posisi batu dalam struk- tur. Koefisien lapisan (KΔ) menunjukan tingkat bahan lapis lindung untuk bergabung bersama dalam suatu lapisan. Koefisien porositas (n) menunjukkan rasio antara volume rongga terha- dap total volume. Beberapa macam batu lapis lindung yang dapat digunakan untuk struktur cellular cofferdam a- dalah akmon, kubus beton, dolos, batu alam (quarry stone), tetrapod, quadripod, dan tribar. Batu lindung yang digunakan dalam studi ini adalah tipe batu alam. Karakteristik dari batu ini adalah kasar, bersudut dan bentuk tidak teratur. Pemilihan tipe batu lindung ini dikarenakan mempunyai harga yang relatif murah dan mu- dah didapatkan. 2.2 Spektrum Gelombang Sifat gelombang laut adalah acak, baik besar maupun arahnya, sehingga karena sifat inilah
  • 4. 12 Jurnal Teknologi Kelautan Vol. 9, No.1, Januari 2005: 9-17 besar energi gelombang acak sulit untuk diukur. Gelombang acak merupakan gabungan dari ge- lombang sinusoidal dengan panjang dan periode gelombang yang sangat bervariasi. Ukuran in- tensitas komponen gelombang acak pada u- mumnya dinyatakan dalam bentuk spektrum ke- padatan amplitudo, kepadatan energi gelom- bang atau biasa disingkat dengan spektrum e- nergi gelombang. Dalam analisa spektrum energi gelombang di- perlukan data pencatatan gelombang selama 15- 20 menit. Prinsip analisa spektrum gelombang adalah menguraikan suatu gelombang irreguler menjadi susunan dari gelombang teratur dari berbagai frekuensi dan tinggi gelombang (Nur- yuwono, 1992). Pada gelombang acak tidak dapat dikenali suatu pola yang spesifik, sehingga parameter gelom- bang didefinisikan dengan memakai besaran-be- saran statistik seperti H1/3 dan T1/3. H1/3 adalah harga rata-rata dari 1/3 jumlah keseluruhan ting- gi gelobang yang tertinggi atau tinggi signi- fikan, sedangkan T1/3 harga rata-rata dari 1/3 jumlah keseluruhan periode gelombang yang tertinggi atau periode signifikan. Spektrum parameter tunggal yang paling sering digunakan adalah model Pierson-Moskowitz, 1964 (dalam Chakrabarti) yang berdasarkan pa- da tinggi gelombang signifikan atau kecepatan angin. Selain itu ada beberapa spektrum para- meter ganda yang biasa digunakan. Beberapa yang sering digunakan adalah Bretschneider (1969), ISSC (1964), JONSWAP (Hasselmen, 1973 dan 1976), dan ITTC (1966,1969, dan 1972). 2.2.1 Spektrum Pierson-Moskowitz Pierson dan Moskowitz (1964) mengajukan se- buah formula baru untuk distribusi spektrum pe- ningkatan energi angin di bagian laut berda- sarkan pada kesamaan teori dari Kitaigorodskii dan data rekaman yang lebih akurat. Model spektrum Pierson-Moskowitz (P-M) menggam- barkan laut secara keseluruhan dan ditentukan oleh satu parameter, yaitu kecepatan angin. Pen- capaian dan durasi dianggap infinit. Untuk apli- kasi model, angin harus berhembus di area yang luas pada kecepatan yang konstan untuk waktu yang lama. Berdasarkan asumsi ini, maka model P-M dapat digunakan dalam mempresentasikan beberapa gelombang badai pada perancangan struktur lepas pantai. Model spektrum P-M da- pat dituliskan seperti pers. (3). 4 4) 2 (74.0323 )2( 10.1,82 )( π πU gT eTg TSH −− = (3) Ekspresi yang sama untuk spektrum P-M dalam hubungannya dengan putaran frekuensi, f(= ω/2π) dituliskan seperti pada pers. (4). S(f) = α g2 /(2π)4 f-5 exp [-1.25(f / f0 ) (4) Frekuensi zero-crossing didefinisikan sebagai- mana pada pers. (5). 0 2 2 m m z πω = (5) dan frekuensi puncaknya ω0 = 0.710 ωz 2.2.2 Spektrum ISSC International Ship Structures Congress (1964) mengusulkan modifikasi untuk bentuk spektrum Bretschneider, yaitu: 40 5 4 )(442.02 )(1107.0)( ω ω ω ϖ ω − = eHS S (6) dengan 0296.1 ωϖ = 2.2.3 Spektrum JONSWAP Spektrum ini merupakan penyempurnaan dari spektrum P-M, karena Laut Utara memiliki kondisi lingkungan yang ekstrim dan dibatasi oleh pulau dan benua yang mengakibatkan fetch di daerah ini cukup pendek namun memiliki ge- lombang yang besar. Sehingga persamaan P-M diubah dalam bentuk: [ ] ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ −− − −= 2 022 )0( 0 exp 452 )(25.1exp)( ωτ ωω γωαω ω ω gS (7) dengan, γ (peakedness parameter) = 3.3
  • 5. Pengaruh Spektrum Gelombang Terhadap...........(Wahyudi) 13 τ (shape parameter) = 0.07, jika ω ≤ ωz = 0.09, jika ω > ωz α = 0.076 ( x0 )-0.22 = 0.00819 (ketika x tidak diketahui) ω0 = 2 π (g / Uω0 ) (x0 ) –0.33 x0 = gx/Uω2 ω0 2 = 0.161g/HS 2.2.4 Spektrum ITTC International Towing Tank Conference (1966, 1969, dan 1972) mengusulkan modifikasi terha- dap spektrum P-M, dalam hal ini tinggi gelom- bang signifikan dan frekuensi zero crossing. Frekuensi zero crossing rata-rata dapat dihitung dari: 0 2 m m Z =ω (8) Spektrum ITTC dapat ditulis sebagai: ⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡= − −− 2 42 452 exp)( SH g gS ω α ωαω (9) dengan, α = 0.081/ k4 dan Z g k ω σ 54,3 = (10) 2.3 Model Fisik Pemilihan model fisik hidrolik dilakukan apabi- la fenomena fisik dari permasalahan yang ada pada prototipe dapat dibuat dengan skala yang lebih kecil dengan kesebangunan (similaritas) yang cukup memadai (Widagdo, 1999). Kese- bangunan dapat berupa sebangun geometrik (panjang, lebar, dan tinggi), kinematik (kece- patan dan aliran), dan sebangun dinamik (gaya). 2.3.1 Sebangun Geometrik Sebangun geometrik dipenuhi bila antara model dengan prototipe mempunyai bentuk yang sama tapi berbeda ukurannya. Sebangun geometrik terdiri atas dua macam, yaitu sebangun geome- trik sempurna (tanpa distorsi) dan sebangun ge- ometrik tak sempurna atau terdestorsi. Dalam sebangun geometrik sempurna skala panjang arah horizontal (skala panjang) dan skala panjang arah vertikal (skala tinggi) adalah sama. Besarnya skala panjang adalah: (nL) = elpadapanjangm prototipepadaPanjang L L m P mod. .. = (11) Skala tinggi: (nH) = elpadaPanjang prototippadaTinggi h h m p mod.. .. = (12) Skala luas: 2 )( )..( )..( nL lebarxpanjang lebarxpanjang A A nA m p m p === (13) Skala volume: 3 )(nL V V nV m p == (14) 2.3.2 Sebangun Kinematik Sebangun kinematik terpenuhi bila antara mo- del dengan prototype adalah sebangun geome- trik serta kecepatan dan percepatan di dua titik tinjau adalah sama. Perbandingan kecepatan dan percepatan yang sama hanya berlaku untuk satu arah saja, yaitu pada arah horizontal atau ver- tikal saja. Skala kecepatan: T h T L m p U n n atau n n U U n .== (15) Skala percepatan: 22 .. T h T L m p a n n atau n n a a n == (16) Skala debit:
  • 6. 14 Jurnal Teknologi Kelautan Vol. 9, No.1, Januari 2005: 9-17 T hL T L m p Q n nn atau n n Q Q n .. .. 23 == (17) dengan na skala percepatan dan nQ skala debit. 2.3.3 Sebangun Dinamik Sebangun dinamik terpenuhi bila model dan prototype sebangun geometris dan kinematis, serta gaya yang bersangkutan pada model dan prototype untuk seluruh pengaliran pada arah yang sama adalah sama. Gaya tersebut antara lain, gaya berat (Fw = ρL3 g), gaya tekanan (Fp = pL2 ), dan gaya gesek (Fv = EL2 ) 2.4 Analisa Dimensi Dalam pembuatan model selalu dilakukan pe- ngecilan dari berbagai variabel, yaitu dengan memberikan skala (n) pada masing-masing vari- abel tersebut. Sedangkan skala dari berbagai va- riabel tersebut dapat ditentukan hubungan antar parameter yang diekspresikan dalam bilangan tak berdimensi. Selain itu bilangan tak berdi- mensi dapat digunakan untuk menggambarkan output hasil percobaan (Widagdo, 1999). Ada beberapa cara dalam mentukan bilangan tak berdimensi, salah satu metode yang diguna- kan adalah stepwise procedure. Metode ini di- terapkan dengan peniadaan dimensi tahap demi tahap. Tahap pertama adalah peniadaan dimensi massa (M) dengan variabel yang mengandung dimensi massa ρ (M/L3 ). Berikutnya adalah pe- niadaan dimensi waktu (T) dengan variabel yang mengandung dimensi waktu (T) seperti periode, dan terakhir adalah peniadaan dimensi panjang (L) dengan variable yang hanya me- ngandung dimensi panjang misalnya dengan tinggi gelombang (H). Berdasarkan metode ini dapat diperoleh bilangan tak berdimensi φ (WT2 /ρW, h/H, gT2 /H) atau dalam bentuk yang lain seperti φ (W/ρWg, h/H, gT2 /H). 3. PROSES PERCOBAAN Model Cellular Cofferdam dengan ukuran lebar (B) = 73cm, tinggi (T) = 53cm, dan diameter cell (D) = 50cm, dipasang pada kolam yang dilengkapi dengan tumpuan di bagian bawah model untuk mengatur variasi elevasi bagian atas struktur dengan muka air (SWL). Batu pe- cah yang digunakan diberi warna untuk mem- permudah penghitungan jumlah yang berpindah tempat (terjadi kegagalan) setelah menerima beban gelombang (Gambar 1-3). Model yang terpasang pada kolam diberi beban gelombang dengan variasi tinggi (H) dan perio- de gelombang, variasi kedalaman air dari muka air sampai bagian atas struktur (h), serta dengan variasi dari spektrum gelombang. Setelah proses pembebanan gelombang, kemudian dilakukan penghitungan jumlah batu pecah yang mengala- mi perpindahan tempat (mengalami kegagalan). Percobaan dilakukan dengan jumlah data yang direkam masing-masing sebanyak 1000 gelom- bang. Gambar 1. Model pada tangki gelombang (wave tank) 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Percobaan Hasil percobaan yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik hubungan antara tinggi gelombang dengan prosentase kerusakan batu pecah, dengan variasi masing-masing spektrum gelombang serta dibuat untuk setiap variasi po- sisi bagian atas struktur terhadap SWL atau ni- lai h (Tabel 1 sampai 4). Hubungan antara setiap spektrum gelombang dengan kerusakan batu pecah pada setiap variasi nilai h disajikan pada Gambar 4 sampai 7, se- dangkan hubungan rasio h/H dengan kerusakan batu pecah disajikan pada Gambar 8.
  • 7. Pengaruh Spektrum Gelombang Terhadap...........(Wahyudi) 15 Tabel 1. Pengaruh tinggi gelombang pada elevasi sejajar SWL Spektrum H (m) Kerusakan batu pada elevasi sejajar dengan SWL (%) JSW 3.86 16.1 2.68 13.3 1.56 5.6 PM 3.86 14.7 2.68 6.1 1.56 1.4 ITTC 3.86 13.8 2.68 9.4 1.56 0.3 ISSC 3.86 14.8 2.68 3.4 1.56 0.3 Tabel 2. Pengaruh tinggi gelombang terhadap pro- sentase kerusakan batu pada elevasi 2m di bawah SWL Spektrum H (m) Kerusakan batu pada elevasi 2m di bawah SWL (%) JSW 3.86 8.8 2.68 6.6 1.56 1.7 PM 3.86 7.7 2.68 2.5 1.56 0.2 ITTC 3.86 4.2 2.68 3.9 1.56 0.0 ISSC 3.86 3.1 2.68 1.3 1.56 0.2 Gambar 2. Proses percobaan pada wave tank Gambar 3. Model pada wave tank pada saat proses percobaan 4.2 Pengaruh Spektrum Gelombang Ter- hadap Kerusakan Batu Besarnya pengaruh perubahan tinggi gelombang (H) untuk tiap spektrum gelombang irreguler terhadap nilai prosentase kegagalan batu pecah pada permukaan cellular cofferdam dapat dibu- at korelasi dengan menghubungkan antara bi- langan nondimensional (gT2 )/H dengan prosen- tase kerusakan batu pecah. Notasi H adalah tinggi gelombang, T periode gelombang, dan g percepatan gravitasi. Tabel 3. Pengaruh tinggi gelombang terhadap pro- sentase kerusakan batu pada elevasi 1m di bawah SWL Spektrum H (m) Kerusakan batu pada elevasi 1m di bawah SWL (%) JSW 3.86 2.3 2.68 1.6 1.56 0.5 PM 3.86 1.7 2.68 0.3 1.56 0.0 ITTC 3.86 1.7 2.68 0.3 1.56 0.0 ISSC 3.86 1.9 2.68 0.3 1.56 0.2 Tabel 4. Pengaruh tinggi gelombang terhadap pro- sentase kerusakan batu pada elevasi 1m di atas SWL Spektrum H (m) Kerusakan batu pada elevasi 1m di atas SWL (%) JSW 3.86 9.8 2.68 6.1 1.56 4.3 PM 3.86 9.1 2.68 4.8 1.56 0.0 ITTC 3.86 8.3 2.68 1.7 1.56 0.0 ISSC 3.86 8.6 2.68 2.9 1.56 0.0 Grafik hubungan antara pengaruh tinggi gelom- bang pada spektrum gelombang irreguler de- ngan prosentase kerusakan batu pecah pada permukaan Cellular Cofferdam (Gambar 4 - 7) menunjukkan bahwa energi yang dihasilkan tiap spektrum gelombang akan mengalami pening- katan seiring dengan peningkatan tinggi gelom- bang (H). Spektrum gelombang JONSWAP mempunyai pengaruh terbesar terhadap keru-
  • 8. 16 Jurnal Teknologi Kelautan Vol. 9, No.1, Januari 2005: 9-17 sakan batuan pelindung pada permukaan Cel- lular Cofferdam. Pengaruh ini terjadi pada seti- ap perubahan elevasi pada model. -2 0 2 4 6 8 10 12 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 (gT^2) / H %KerusakanBatu JONSWAP ITTC ISSC PM Gambar 4. Hubungan antara pengaruh spektrum terhadap prosentase kegagalan batu pada elevasi 1m di atas SWL -5 0 5 10 15 20 25 0 100 200 (gT^2) / H %KerusakanBatu JONSWAP ITTC ISSC PM Gambar 5. Hubungan antara pengaruh spektrum ter- hadap prosentase kegagalan batu sejajar dengan SWL -2 0 2 4 6 8 10 12 14 0 50 100 150 200 (gT^2) / H %KerusakanBatu JONSWAP ITTC ISSC PM Gambar 6. Hubungan antara pengaruh spektrum ter- hadap prosenatse kegagalan batu pada e- levasi 1m di bawah SWL Apabila dibandingkan dengan spektrum gelom- bang ITTC, PM maupun ISSC spektrum gelom- bang JONSWAP menyebabkan prosentase ke- rusakan batu yang lebih besar, yaitu 9.8% pada elevasi 1m di atas SWL, 16% pada elevasi seja- jar dengan SWL, 8.75% pada elevasi 2m di ba- wah SWL, dan 2.3% pada elevasi 5m di bawah SWL. Hal ini disebabkan karena energi yang di- hasilkan dari spektrum gelombang JONSWAP lebih besar jika dibandingkan dengan spektrum gelombang yang lainnya, yaitu sebesar 53.8 kg.dt/m. Spektrum gelombang yang menyebab- kan kerusakan paling kecil adalah ISSC, yaitu 8.5% pada elevasi 1m di atas SWL, 14% pada elevasi sejajar SWL, 3.1% di bawah SWL, 1.8% 2m di bawah SWL. Hal ini disebabkan karena energi yang dihasilkan sebesar 0.61 kg.dt/m. -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 0 50 100 150 200 (gT^2) / H %KerusakanBatu JONSWAP ITTC ISSC PM Gambar 7. Hubungan antara pengaruh spektrum ter- hadap prosenatse kegagalan batu pada e- levasi 2m di bawah SWL 4.3 Pengaruh Nilai h/H Terhadap Pro- sentase Kerusakan Batu Korelasi antara rasio elevasi bagian atas struktur terhadap SWL dengan tinggi gelombang dari masing-masing spektrum (h/H) dan prosentase kerusakan batu pecah ditunjukkan pada Gambar 8. Gambar 8. Hubungan antara pengaruh nilai h/H ter- hadap prosentase kerusakan batu untuk berbagai spektrum gelombang
  • 9. Pengaruh Spektrum Gelombang Terhadap...........(Wahyudi) 17 Gambar 8 meunjukkan bahwa nilai h/H mem- punyai pengaruh yang besar terhadap prosen- tase kerusakan batu. Prosentase kerusakan ter- besar terjadi pada nilai h/H nol, sedangkan pro- sentase kerusakan terkecil terjadi pada nilai h/H 1.28. Kerusakan batu pelindung pada breakwater ti- dak hanya disebabkan oleh besarnya tinggi ge- lombang, tetapi juga oleh posisi bagian atas struktur terhadap SWL (h), serta rasio antara h terhadap besarnya tinggi gelombang (H), atau nilai h/H (Gambar 8). Oleh karena itu dalam aplikasi penggunaan cellular cofferdam di pera- iran Indonesia, berdasarkan nilai h/H hasil per- cobaan ini dapat digunakan referensi dalam hal penentuan posisi bagian atas struktur dengan SWL (h). 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil percobaan dan analisa yang dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesim- pulan seperti berikut. Energi yang dihasilkan tiap spektrum gelom- bang akan mengalami peningkatan seiring de- ngan besarnya tinggi gelombang. Semakin besar tinggi gelombang, semakin besar pula energi yang dihasilkan dan sebaliknya Spektrum gelombang JONSWAP mempunyai pengaruh yang besar terhadap prosentase keru- sakan batu pecah atau kegagalan dibandingkan dengan spektrum gelombang P-M dan ITTC, sedangkan prosentase kerusakan batu terkecil diakibatkan oleh spektrum gelombang ISSC. Perubahan elevasi struktur terhadap Sea Water Level (SWL) mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap prosentase kerusakan batu pecah pada permukaan Cellular Cofferdam, hubungan ini dapat dilihat pada nilai h/H pada posisi sejajar dengan SWL atau nilai h/H sama dengan nol prosentase kerusakan batu pecah akan mencapai titik maksimum, dan akan memiliki nilai yang minimum pada nilai h/H sebesar 1.28. Sehingga pada nilai h/H 1.28 model aman untuk digunakan. DAFTAR ACUAN Adrianto, P. (1988), Penelitian Beach Reflec- tion Coefficient dari Wave Damper, La- boratorium Hidrodinamika, FTK-ITS. Laporan Penelitian Puslit, ITS. Bhattacharya, R. (1972), Dynamic of Marine Vehicles. John Willy and Sons. CERC. (1984), Shore Protection Manual, US Army, Vol I & II, Missisippi. Chakrabarti, S.K. (1987), Hydrodinamic of Off- shore Structure. Springer-Verlag. Dean, R.G.,and Dalrymple, R.A. (1991), Water Wave Mechanic for Engineers and Scien- tist. Series on Ocean Engineering Vol.2, World Scientific, Singapore. Galvin, C.J. (1964), Wave-Height Prediction for Wave Generators in Shallow Water, Technical Memorandum No.4, US Army Coastal Engineering Research Center, Washington, D.C. Haryo, D.A. (1997), Metode Karakteristik Un- tuk Pemodelan Gelombang dan Arus di Selat Madura. Lembaga Penelitian ITS. Hughes, S.A. (1993), Physical Models and La- bolatory Techniques in Coastal Engi- neering. Advanced Series on Ocean E- ngineering Vol 7, World Scientific, Si- ngapore. Jenssen, T. (1984), Ocean Dynamic And Coas- tal Processes, CPC Nizam (1987), Refleksi dan Transmisi Gelom- bang Pada Pemecah Gelombang Bawah Air. Fakultas Teknik, UGM, Yogyakarta. Nuryuwono (1992), Perencanaan Bangunan Pantai Volume II. Pusat Antar Univer- sitas Ilmu Teknik, UGM, Yogyakarta. Nuryuwono (1996). Perencanaan Model Hi- drolik. Laboratorium Hidraulika dan Hi- drologi Pusat Antar Universitas Ilmu Teknik, UGM, Yoyakarta. Pratikto, W.A, Haryo, D.A. dan Suntoyo. (1996), Perencanaan Fasilitas Pantai dan Laut. BPFE, Yogyakarta. Triatmodjo, B. (1996), Pelabuhan. Beta Offset, Yogyakarta. Widagdo, A.B. (1999), ”Pengantar Model Hi- drolik di Labolatorium”. Makalah Work- shop Teknik Kelautan, LPTP-BPPT, Yo- gyakarta.
  • 10. 18 Jurnal Teknologi Kelautan Vol. 9, No.1, Januari 2005: 9-17