1. BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Masa Nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat alat kandungan pulih
kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama 6-8 minggu. Periode
nifas merupakan masa kritis bagi ibu, diperkirakan 60 % kematian ibu akibat kehamilan
terjadi setelah persalinan yang mana 50% dari kematian ibu tersebut terjadi 24jam pertama
setelah persalinan.
Dan ada suatu hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama masa Nifas, termasuk
kedalamnya, beribadah, bersetubuh dengan suami dan lain-lain. Untuk itu perawatan saat
masa nifas merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Perawatan masa nifas
mencakup berbagai aspek mulai dari pengaturan dalam Kesehatan, anjuran untuk kebersihan,
menghindari hal-hal yang tidak diperbolehkan. Selain perawatan nifas dengan memanfaatkan
sistem pelayanan biomedical ada juga ditemukan sejumlah pengetahuan dan perilaku budaya
dalam perwatan masa nifas.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis merumuskan masalah “
Apakah nifas itu??
bagaimana mandi besar dan ibadah serta persetubuhan setelah nifas atau sebelum dalam
agama islam?”
C.Tujuan :
1. Mengetahui apa pengertian Nifas itu?.
2. Mengetahui apa-apa saja yang diharamkan seorang ibu yang sedang dalam masa
Nifas termasuk Ibadahnya?.
3. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan Saat Nifas?.
4. Mengetahui Hukum persetubuhan disaat sedang Nifas dan bahaya nya saat bersetubuh
sedang keadaan Nifas?.
5. Mengetahui ciri-ciri darah Nifas, lama keluarnya Nifas?.
ii
2. BAB ll
PEMBAHASAN
A.Pengertian Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan. Baik darah itu keluar
bersamaan ketika proses melahirkan, sesudah atau sebelum melahirkan, yang disertai dengan
dirasakannya tanda-tanda akan melahirkan, seperti rasa sakit, dll. Rasa sakit yang dimaksud
adalah rasa sakit yang kemudian diikuti dengan kelahiran. Jika darah yang keluar tidak
disertai rasa sakit, atau disertai rasa sakit tapi tidak diikuti dengan proses kelahiran bayi,
maka itu bukan darah nifas.Selain itu, darah yang keluar dari rahim baru disebut dengan nifas
jika wanita tersebut melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Jika seorang wanita
mengalami keguguran dan ketika dikeluarkan janinnya belum berwujud manusia, maka darah
yang keluar itu bukan darah nifas. Darah tersebut dihukumi sebagai darah penyakit
(istihadhah) yang tidak menghalangi dari shalat, puasa dan ibadah lainnya. Perlu ukhty
ketahui bahwa waktu tersingkat janin berwujud manusia adalah delapan puluh hari dimulai
dari hari pertama hamil. Dan sebagian pendapat mengatakan sembilan puluh hari.
Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas‟ud sradhiyallahu „anhu ,bahwasanya Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam memberitahukan kepada kami, dan beliau shallallahu „alaihi wa
sallam adalah orang yang benar dan yang mendapat berita yang benar, “Sesungguhnya
seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam
bentuk nuthfah, kemudian menjadi „alaqah seperti itu pula, kemudian menjadi mudhghah
seperti itu pula. Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di
dalamnya, dan diperintahkan kepadanya untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya,
ajalnya,
amalnya,
dan
celaka
atau
bahagianya.”
(HR.
Bukhari
dan
Muslim)
Menurut Ibnu Taimiyah, “Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit
sebelum masa (minimal) itu, maka tidak dianggap sebagai nifas. Namun jika sesudah masa
minimal, maka ia tidak shalat dan puasa. Kemudian apabila sesudah kelahiran ternyata tidak
sesuai dengan kenyataan (bayi belum berbentuk manusia-pen) maka ia segera kembali
mengerjakan kewajiban. Tetapi kalau ternyata demikian (bayi sudah berbentuk manusia-pen),
tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan
kewajiban.” (kitab Syarhul Iqna‟).
ii
3. B. Mengenali Darah Nifas.
Secara ringkas dapat disimpulkan beberapa hal untuk mengenali darah nifas:
1. Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan melahirkan, baik sebelum,
bersamaan atau sesudah melahirkan
2. Disertai dengan tanda-tanda akan melahirkan (seperti rasa sakit, dll) yang diikuti
dengan proses kelahiran.
C.Lama Keluarnya Darah Nifas
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam Risalah fid Dima‟ Ath-Thabi‟iyah lin Nisa
mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat tentang apakah nifas itu ada batas minimal dan
maksimalnya.Adapun Syaikh „Abdul „Azhim bin Badawi al Khalafi di dalam Al Wajiz fii
Fiqhis Sunnah wal Kitabil „Aziz mengatakan bahwa nifas ada batas maksimalnya, yaitu
empat puluh hari. Pendapat beliau berdasarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu
„anha. Ummu Salamah radhiyallahu „anha berkata, “Kaum wanita yang nifas tidak shalat
pada masa Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam selama empat puluh hari.” (HR. Ibnu
Majah dan Tirmidzi. Hadits hasan shahih). Waktu empat puluh hari dihitung sejak keluarnya
darah, baik darahnya itu keluar bersamaan, sebelum atau sesudah melahirkan.
Pendapat yang kuat, insyaa Allah, pada dasarnya tidak ada batasan minimal atau maksimal
lama waktu nifas. Waktu empat puluh hari adalah kebiasaan sebagian besar kaum wanita.
Akan tetapi apabila sebelum empat puluh hari wanita tersebut telah suci, maka ia wajib
mandi dan melakukan ibadah wajibnya lagi. Mengenai banyaknya darah, juga tidak ada
batasan sedikit atau banyaknya. Selama darah nifas masih keluar maka sang wanita belum
wajib mandi (bersuci).
Secara ringkas, ada beberapa kondisi wanita yang sedang nifas:
1.
Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari dan tidak keluar lagi setelah itu. Maka sang
wanita wajib mandi (bersuci) dan kemudian melakukan ibadah wajibnya lagi, seperti
shalat dan puasa, dll.
2.
Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari, akan tetapi kemudian darah keluar lagi
sebelum hari ke-40. Maka, jika darah berhenti ia mandi (bersuci) untuk shalat dan puasa.
Jika darah keluar, ia harus meninggalkan shalat dan puasa. Akan tetapi, bila berhentinya
darah kurang dari sehari, maka tidak dihukumi suci.
3.
Darah nifas terus keluar dan baru berhenti setelah hari ke-40. Maka sang wanita harus
mandi (bersuci).
4.
Darah terus keluar hingga melebihi waktu 40 hari. Ada beberapa kondisi:
ii
4. a.
Darah nifas berhenti dilanjutkan keluarnya darah haid (berhentinya darah nifas
bertepatan waktu haid), maka sang wanita tetap meninggalkan shalat dan puasa.
Darah yang keluar setelah 40 hari dihukumi sebagai darah haid. Sang wanita baru
wajib mandi (bersuci) setelah darah haid tidak keluar lagi.
b.
Darah tetap keluar setelah 40 hari dan tidak bertepatan dengan kebiasaan masa
haid, ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut ulama yang berpendapat
bahwa lama maksimal nifas adalah 40 hari, menilai darah yang keluar setelah 40
hari sebagai darah fasadh (penyakit) yang statusnya adalah sebagaimana
istihadhah. Sedangkan menurut ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan
minimal dan maksimal lama nifas, mereka menilai darah yang keluar setelah 40
hari tetap sebagai darah nifas. Pendapat inilah yang lebih kuat, insya Allah.
Akan tetapi, jika ingin berhati-hati, setelah 40 hari dinilai suci. Sehingga sang wanita
bersuci untuk melaksanakan shalat dan puasa, meski darah tetap keluar. Akan tetapi
hal ini tidak berlaku pada 2 keadaan:
1. Ada tanda bahwa darah akan berhenti/ makin sedikit. Maka sang wanita
menunggu darah berhenti keluar, baru kemudian mandi (bersuci)
2. Ada kebiasaan dari kelahiran sebelumnya, maka itu yang dipakai. Misal, sang
wanita telah mengalami beberapa kali nifas yang lamanya 50 hari. Maka
batasan ini yang dipakai.
3.
D.Hukum-hukum Seputar Nifas
Tidak ada perbedaan hukum antara haid dan nifas, kecuali beberapa hal di bawah ini:
1.Iddah
Apabila wanita tidak sedang hamil, masa iddah dihitung dengan haid, bukan dengan nifas.
Sebagaimana firman Allah Ta‟ala, “Wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru‟…” (Qs. al-Baqarah: 228)
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, yang dimaksud „quru„ adalah haid, dan
inilah pendapat yang lebih kuat, insyaa Allah. Oleh karena itu, masa iddah dihitung
berdasarkan haid, bukan nifas. Sebab, jika suami menceraikan istrinya sebelum melahirkan,
masa iddahnya habis karena melahirkan, bukan karena nifas. Adapun jika suami menceraikan
istrinya setelah melahirkan, maka masa iddahnya adalah sampai sang istri mendapat 3 kali
haid.
2.MasaIla‟
Ila‟ adalah sumpah seorang laki-laki untuk tidak melakukan jima‟ terhadap istrinya
selamanya atau lebih dari empat bulan. Setelah masa empat bulan, bila sang istri meminta
untuk berhubungan, maka sang suami harus memilih antara jima‟ atau bercerai.
ii
5. Masa haid termasuk hitungan masa ila‟, sedangkan masa nifas tidak. Jadi, apabila seorang
suami bersumpah untuk tidak berjima‟ dengan istrinya, sedangkan istrinya sedang dalam
keadaan nifas, maka masa ila‟ ditetapkan empat bulan ditambah masa nifas. Setelah masa itu,
bila sang istri meminta untuk melakukan jima‟, sang suami harus memilih apakah jima‟ atau
bercerai.
3.Baligh.
Masa baligh terjadi dengan haid, bukan nifas. Karena seorang wanita tidak mungkin hamil
sebelum baligh .
E.Hukum Suami yang Bercampur dengan Istri yang sedang Nifas
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Menggauli wanita nifas sama halnya
dengan wanita haid, hukumnya haram menurut kesepakatan ulama.” (Lihat Majmu‟ Fatawa).
Allah Ta‟ala berfirman, yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang wanita haid, maka
katakanlah, “Bahwa haid adalah suatu kotoran, maka janganlah kalian mendekati mereka
sebelum mereka suci.” (Qs. al-Baqarah: 222) Seorang suami boleh sekedar bercumbu dengan
istri yang sedang nifas asal tidak sampai jima‟. Akan tetapi bila sampai terjadi jima‟, para
ulama berselisih pendapat apakah wajib membayar kaffarah (denda) ataukah tidak (Lihat alMughni oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah).
Pendapat yang lebih kuat, insya Allah, wajib membayar kaffarah. Hal ini berdasarkan hadits
Ibnu Abbas sradhiyallahu „anhu . Dari Nabi shallallahu „alaihi wa sallam , ketika berbicara
tentang seorang suami yang mencampuri istrinya di waktu haid, Rasulullah bersabda,
“Hendaklah ia bershadaqah satu dinar atau separuh dinar.” (Shahih Ibnu Majah no:523,
„Aunul Ma‟bud 1:445 no:261, Nasa‟ai I:153, Ibnu Majah 1:210 no:640. Hadits ini
dishahihkan oleh Al-Albani)
Adapun apabila seorang wanita telah suci dari nifas sebelum 40 hari, kebanyakan ulama
berpendapat bahwa suami tidak dilarang untuk menggaulinya. Dan inilah pendapat yang
kuat. Karena tidak ada dalil syar‟i yang melarangnya. Riwayat yang ada hanyalah dari Imam
Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa istrinya datang kepadanya sebelum empat puluh
hari, lalu ia berkata, “Jangan engkau dekati aku!” Akan tetapi, ucapan Utsman tersebut bukan
berarti seorang suami terlarang menggauli istrinya. Sikap Utsman tersebut mungkin timbul
karena kehati-hatiannya, yaitu khawatir istrinya belum suci benar, atau takut dapat
mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau hal lain
Karena itu, apabila pada diri seorang suami atau istri timbul keragu-raguan, maka hendaklah
memastikan dahulu, apakah sang istri benar-benar telah suci dari darah nifasnya. Karena
secara medis, jima‟ aman dilakukan bila sang istri telah melewati masa nifas, kecuali bila saat
itu sang istri langsung mengalami haid, terjadi perdarahan, atau sedang menjalani terapi
ii
6. tertentu. Apabila masih ragu, hendaklah berkonsultasi dengan dokter. Apakah kondisi sang
istri telah normal dan benar-benar pulih secara medis sehingga bisa dicampuri oleh suaminya.
Karena dalam hal ini kondisi setiap wanita berbeda-beda.
Tidak selayaknya seorang muslim melakukan hal yang berbahaya dan membahayakan orang
lain.
Para fukaha telah bersepakat (ijmâ‟/konsesnsus), bahwa menyetubuhi isteri yang sedang
nifas itu hukumnya haram. Hal ini diqiyâskan kepada haid. Allah mengharamkan bersetubuh
di saat haid dan nifas, tentunya dengan hikmah yang sangat jelas. Terlebih dalam mencegah
penyakit berbahaya yang diakibatkan bersetubuh pada masa itu. Sebuah penyakit yang
berbahaya yang kerap diperingatkan para dokter.
Dr. Hamid Al-Ghawabi berkata:
“Sungguh jelas, vagina seorang wanita saat itu kerap mengeluarkan cairan khusus. Cairan ini
mengandung zat asam reaktif yang terdiri dari zat asam leavenic.4 Cairan ini akan mencegah
tumbuhnya bakteri-bakteri (di dalam rahim). Apabila zat ini kemudian menjadi semacam zat
alkali5atau setengah bereaksi, maka bakteri-bakteri yang merusak yang menempel serta
membahayakan vagina dan rahim itu dapat dihilangkan. Kotoran tersebut mengalir dalam
seluruh alat kelamin wanita. Adanya darah pada saat haid, menjadi pembasmi zat asam ini
hingga tidak sampai menjadi zat alkali yang terus tumbuh berkembang hingga menjadi
bakteri yang membahayakan. Pada saat bersetubuh, bakteri-bakteri yang berbahaya itu akan
terus mengalir di dalam lorong kemaluan, terkadang juga mengalir melalui kandung kemih,
dua payudara, atau melalui prostat,6 dua biji kemaluan, maupun alat anggota reproduksi
lainnya. Zat inilah yang sering menyebabkan sakit saat kencing, bahkan tak jarang
menyebabkan kemandulan.”7
Zat ini bukan saja bahaya bagi pihak lelaki saja, tetapi juga bagi perempuan.
“Hubungan seksual merupakan cara effektif dalam menularkan kuman (microbic) yang
merupakan bagian dari bakteri-bakteri yang ada di dalam vagina wanita itu. Tengah-tengah
lubang vagina di saat haid dapat mempersubur pertumbuhannya…Sehingga, dapat
menginfeksi seluruh alat reproduksi dan terkadang dapat mengakibatkan kemandulan.”
Diperbolehkan bagi seorang suami untuk menggauli isterinya yang sedang haid selain apa
yang tertutupi kain. Yaitu, selain apa yang terletak antara pusar dan lutut. Diriwayatkan dari
Maimunah Ummul Mukminin, ia berkata:
“Adalah Nabi Saw. apabila hendak menggauli salah seorang isteri dari isteri-isterinya, ia
menyuruhnya agar memakai kain sementara ia sedang haid.”10
Demikian pula dengan pendapat kebanyakan para ulama yang membolehkan suami
menggauli isterinya yang sedang haid, selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda
ii
7. Rasulullah Saw., “Perbuatlah segala sesuatu kecuali bersetubuh.”11
Menurut riwayat dari salah seorang isteri Rasulullah Saw., disebutkan: “Adalah Rasulullah
Saw. ketika beliau menginginkan sesuatu dari isterinya yang sedang haid, maka ia
mengenakan padanya kain penutup pada kemaluannya.”12
F. Cara Mengetahui Kesucian
Seorang wanita muslimah dapat mengetahui kesucian dengan cara memasukan kapas
kedalam kemaluannya lalu mengeluarkannya kembali. Hal ini dilakukan pada saat bangun
dari tidur dan ketika hendak tidur. Yaitu untuk mengetahui apakah dirinya dalam keadaan
suci atau untuk mendapatkan bukti, apakah masih ada yang keluar setelah bersuci.
G. Mandi Wajib Sehabis Nifas
Para ulama telah ijmak mengatakan bahawa wajib mandi dengan sebab keluar darah nifas.
Termasuk di dalam perkara yang mewajibkan mandi ialah wiladah iaitu mandi kerana
beranak, sekalipun melahirkan tanpa basah (darah). Begitu juga bagi perempuan yang
mengalami keguguran anak, tidak terkecuali dari pada kewajipan mandi, sama ada keguguran
itu hanya berupa darah beku („alaqah) ataupun hanya berbentuk seketul daging (mudhghah).
Bagi sebilangan perempuan yang terpaksa menjalani pembedahan perut untuk
mengeluarkan anak, maka dikategorikan hal yang sedemikian itu sebagai wiladah maka wajib
ke atas perempuan tersebut melakukan mandi.
Perlu diingat, mandi kerana beranak dan mandi kerana nifas mempunyai perbedaan. Bagi
mengelak kekeliruan, maka darah nifas ialah darah yang keluar dari rahim perempuan selepas
melahirkan anak sekalipun hanya setitik. Bermulanya darah nifas itu keluar sebelum berlalu
lima belas hari setelah seseorang perempuan melahirkan anak. Andaikata darah itu tidak
keluar melainkan setelah berlalu masa selama lima belas hari atau lebih, maka darah yang
keluar itu tidak dikatakan sebagai nifas tetapi ia merupakan darah haidh. Maka dalam hal ini
perempuan tersebut diwajibkan mandi kerana nifas.
Manakala mandi kerana wiladah ialah apabila seorang perempuan itu melahirkan anak atau
mengalami keguguran anak sekalipun hanya berupa darah beku („alaqah) atau hanya
berbentuk seketul daging (mudhghah). Maka wajib bagi perempuan itu mandi kerana beranak
(wiladah) setelah berlakunya kelahiran atau keguguran sebagaimana disebutkan.
Maka apabila seorang perempuan telah melahirkan anak, dia wajib mandi kerana beranak
(wiladah) dan wajib juga ke atasnya mandi nifas setelah berhenti darahnya atau habis tempoh
masa yang sederhana iaitu empat puluh hari empat puluh malam atau masa paling maksima
selama enam puloh hari enam puloh malam.
ii
8. H. Nifas menurut Islam
Menurut as Syafi`iyah biasanya nifas itu empat puluh hari, sedangkan menurut al Malikiyah
dan juga as Syafi`iyah paling lama nifas itu adalah enam puluh hari. menurut al Hanafiyah an
al Hanabilah paling lama empat puluh hari. bila lebih dari empatpuluh hari maka darah
istihadhah.
Dalilnya adalah hadis berikut ini :
ك بو ت ان ى ف سبء ع هى عهد ر سىل اهلل ت ق عد ب عد و فب سهب أرب ع ٍه ٌ ىمب
“Dari Ummu Slamah r.a berkata: para wanita yang mendapat nifas, dimasa Rasulullah
duduk selama empat puluh hari empat puluh malam (HR. Khamsah kecuali Nasa`i).
At-Tirmizi berkata setelah menjelaskan hadis ini : bahwa para ahli ilmu dikalangan sahabat
Nabi, para tabi`in dan orang-orang yang sesudahnya sepakat bahwa wanita yang mendapat
nifas harus meninggalkan salat selama empat puluh hari kecuali darahnya itu berhenti
sebelum empat puluh hari. bila demikian ia harus mandi dan salat. namun bila selama empat
puluhhari darah masih tetap keluar kebanyakan ahli ilmu berkata bahwa dia tidak boleh
meninggalkan salatnya.
Hal-hal yang dilarang dilakukan wanita yang sedang nifas
Wanita yang sedang nifas sama denganhal-hal yang diharamkan oleh wanita yang sedang
haidh, yaitu :
1. Salat
Seorang wanita yang sedang mendapatkan Nifas diharamkan untuk melakukan salat. Begitu
juga mengqada` salat. Sebab seorang wanita yang sedang mendapat nifas telah gugur
kewajibannya untuk melakukan salat. Dalilnya adalah hadis berikut ini :
`Dari Aisyah r.a berkata : `Dizaman Rasulullah SAW dahulu kami mendapat nifas, lalu kami
diperintahkan untuk mengqada` puasa dan tidak diperintah untuk mengqada` salat (HR.
Jama`ah).
Selain itu juga ada hadis lainnya:
إذا أق ب هت ان ح ٍ ضت ف دعً ان ص الة
`Dari Fatimah binti Abi Khubaisy bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Bila kamu
mendapatkan nifas maka tinggalkan salat`
2. Berwudu` atau mandi janabah
As Syafi`iyah dan al Hanabilah mengatakan bahwa: `wanita yang sedang mendapatkan haid
diharamkan berwudu`dan mandi janabah. Adapun sekedar mandi biasa yang tujuannya
membersihkan badan, tentu saja tidak terlarang. Yang terlarang disini adalah mandi janabah
ii
9. dengan niat mensucikan diri dan mengangkat hadats besar, padahal dia tahu dirinya masih
mengalami nifas atau haidh.
3. Puasa
Wanita yang sedang mendapatkan nifas dilarang menjalankan puasa dan untuk itu ia
diwajibkannya untuk menggantikannya dihari yang lain.
4.Tawaf
Seorang wanita yang sedang mendapatkan nifas dilarang melakukan tawaf. Sedangkan semua
praktek ibadah haji tetap boleh dilakukan. Sebab tawaf itu mensyaratkan seseorang suci dari
hadas besar.
اف ع هىا مب ت ف عم ان حبج غ ٍر أن ال ت طىف ً ح تى ت طهري
Dari Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Bila kamu mendapat haid,
lakukan semua praktek ibadah haji kecuali bertawaf disekeliling ka`bah hingga kamu
suci (HR. Mutafaqq `Alaih)
5. Menyentuh Mushaf dan Membawanya
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Kariem tentang menyentuh Al-Quran :
ال ٌ م سه إال ان مطهرون
Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci.` . (Al-Qariah ayat 79)
Jumhur Ulama sepakat bahwa orang yang berhadats besar termasuk juga orang yang nifas
dilarang menyentuh mushaf Al-Quran
6. Melafazkan Ayat-ayat Al-Quran
Kecuali dalam hati atau doa / zikir yang lafaznya diambil dari ayat Al-Quran secara tidak
langsung.
ال ت قرأ ان ج ىب وال ان حبئ ض ش ٍ ئب مه ان قرآن
Janganlah orang yang sedang junub atau haidh membaca sesuatu dari Al-Quran. (HR. Abu
Daud dan Tirmizy)
Namun ada pula pendapat yang membolehkan wanita nifas membaca Al-Quran dengan
catatan tidak menyentuh mushaf dan takut lupa akan hafalannya bila masa nifasnya terlalu
lama. Juga dalam membacanya tidak terlalu banyak. Pendapat ini adalah pendapat Malik.
Demikian disebutkan dalam Bidayatul Mujtahid jilid 1 hal 133. Hujjah mereka adalah karena
hadits di atas dianggap dhaif oleh mereka.
ii
10. 7. Masuk ke Masjid
Dari Aisyah RA. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Tidak ku halalkan masjid bagi
orang yang junub dan haidh`. (HR. Bukhori, Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah.)
8.Bersetubuh
Wanita yang sedang mendapat nifas haram bersetubuh dengan suaminya. Keharamannya
ditetapkan oleh Al-Quran Al-Kariem berikut ini:
`Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: `Haidh itu adalah suatu kotoran`.
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.(QS. Albaqarah :222)
Yang dimaksud dengan menjauhi mereka adalah tidak menyetubuhinya.
Sedangkan al Hanabilah membolehkan mencumbu wanita yang sedang nifas pada bagian
tubuh selain antara pusar dan lutut atau selama tidak terjadi persetubuhan. Hal itu didasari
oleh sabda Rasulullah SAW ketika beliau ditanya tentang hukum mencumbui wanita yang
sedang haid maka beliau menjawab:
ا ص ى عىا ك م شًء إال ان ى كبح
`Lakukan segala yang kau mau kecuali hubungan badan (HR. Jama`ah)`.
Keharaman menyetubuhi wanita yang sedang nifas ini tetap belangsung sampai wanita
tersebut selesai dari nifas dan selesai mandinya. Tidak cukup hanya selesai nifas saja tetapi
juga mandinya. Sebab didalam al Baqarah ayat 222 itu Allah menyebutkan bahwa wanita
haid itu haram disetubuhi sampai mereka menjadi suci dan menjadi suci itu bukan sekedar
berhentinya darah namun harus dengan mandi janabah, itu adalah pendapat al Malikiyah dan
as Syafi`iyah serta al Hanafiyah.
ii
11. BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan
Bahwa Nifas adalah darah yang keluar disebabkan oleh kelahiran anak. Hukum yang berlaku
pada
nifas
adalah
sama
seperti
hukum
haid,
baik
mengenai
hal2
yang
diperbolehkan,diharamkan, diwajibkan maupun di hapuskan. Karena nifas adalah darah haid
yang tertahan karena proses kehamilan. Takaran maksimal bagi keluar darah nifas ini adalah
40 hari.
Manakala mandi kerana wiladah ialah apabila seorang perempuan itu melahirkan anak
atau mengalami keguguran anak sekalipun hanya berupa darah beku („alaqah) atau hanya
berbentuk seketul daging (mudhghah). Maka wajib bagi perempuan itu mandi kerana beranak
(wiladah) setelah berlakunya kelahiran atau keguguran sebagaimana disebutkan. Seorang
suami diharamkan untuk menyetubuhi istrinya selama dia masih nifas. Apabila darah nifas
seorang wanita telah terhenti maka dia wajib mandi, sesuai dengan kesepakatan ulama umat
ini sehingga wanita itu menjadi suci dari nifasnya, setelah itu suami diperbolehkan untuk
menyetubuhinya. Adapun hukum menyetubuhinya sebelum ia mandi dan setelah darah
nifasnya terhenti adalah tidak boleh, sebagaimana larangan terhadap wanita yang haid.
B .Saran
Makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan olehnya itu kritik yang sifatnya
membangun sangat pembaca harapkan.
ii
13. KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada sumber dari segala sesuatu yang bersifat mulia.
Sumber ilmu pengetahuan, sumber segala kebenaran, sang Maha Cahaya, penabur cahaya
ilham, pilar nalar kebenaran dan kebaikan, sang kekasih tercinta yang tak terbatas
pencahayaan cinta-Nya bagi umat, Allah SWT.
Shalawat serta salam teruntuk Nabi Muhammad SAW, yang telah memberikan serta
menyampaikan kepada kita semua ajaran Islam yang telah terbukti kebenarannya, serta makin
terus terbukti kebenarannya.
Dengan ini pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan memberikan inspirasi kepada kami sehingga makalah yang berjudul
“Nifas dalam Pandangan Islam” ini dapat terselesaikan dengan baik dan sesuai dengan apa
yang diharapkan.
Dengan penuh kesadaran diri dan kerendahan hati, kami menyadari bahwa hanya
Allah-lah yang memiliki kesempurnaan, sehingga tentu masih banyak lagi rahasia-Nya yang
belum tergali dan belum kita ketahui. Oleh karenanya kami senantiasa mengharapkan kritik
dan saran membangun dari teman-teman dan pembaca sekalian sehingga mampu menjalin
sinergi yang pada akhirnya akan membuat pemikiran ini bisa lebih disempurnakan lagi
dimasa yang akan datang, bukan hanya untuk Islam namun juga untuk kemajuan umat
manusia.
Raha, November 2013
Penyusun
ii
14. TUGAS : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MAKALAH
NIFAS DALAM PANDANGAN ISLAM
OLEH:
NAMA
: SITI AISAH
NIM
: 2013.IB.0035
TINGKAT
: I A.
AKADEMI KEBIDANAN PARAMATA RAHA
KABUPATEN MUNA
2013
ii
15. DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................... 1
C. Tujuan............................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Nifas............................................................................................................. 2
B. mengenali darah nifas...................................................................................................... 3
C. lama keluarnya darah nifas.............................................................................................. 3
D. Hukum-Hukum seputar Nifas......................................................................................... 4
E. hukum suami yang bercampur dengan istri..................................................................
5
F. Cara mengetahui kesucian............................................................................................... 7
G. mandi wajib sehabis nifas.............................................................................................. 7
H. Nifas menurut islam........................................................................................................ 8
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN................................................................................................................11
3.2 SARAN............................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................12
ii