Teks tersebut membahas tentang pentingnya etika birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Etika birokrasi diperlukan untuk menuntun perilaku aparat birokrasi agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan bermoral. Terbentuknya etika birokrasi dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
1. BAB I
PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintahan di dalam suatu negara merupakan unsure yang
sangat penting. Pemerintahan merupakan sebuah unsure yang digunakan sebagai suatu syarat
berdirinya suatu negara. Tanpa pemerintahan, maka suatu negara tidak akan dapat terbentuk.
Pemerintah memiliki peran dan fungsi yang sangat vital terutama didalam mengayomi dan
melayani masyarakat.
Pada makalah ini saya akan membahas fkungsi dan peran pemerintah menurut Van de
Spiegel. Van de Spiegel merupakan seorang ahli pemerintahan yang berasal dari negeri
Belanda. Menurut beliau, peran dan fungsi pemerintah sangat mulia, yaitu untuk memimpin
hidup bersama manusia ke arah kebahagian dunia dan akhirat yang sebesar-besarnya, tanpa
merugikan orang lain secara tidak sah di dalam tata kehidupan dan kebersamaan. Adapun
kebahagian dapat dibedakan dalam dua arti yaitu kebahagian rokhaniah (verstandijk
geluk) dan kebahagian jasmaniah (lichamelijk geluk). sedangkan kebahagiaan jasmaniah
suatu bangsa tergantung pada kebebasan (vrijheid), keamanan (veiligheid), kesehatan
(gezonheid) dan kemakmuran (overloed).
Untuk mewujudkan fungsi dan peran pemerintah menurut Van de Spiegel, maka terlebih
dahulu suatu pemerintahan tersebut haruslah bersih dan memiliki etika yang baik. Etika
merupakan sesuatu yang sangat pokok di dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan. Oleh
karena itu etika pemerintahan sangat berkaitan erat dengan fungsi dan oemerintah menurut
Van de Spiegel.
Berbicara tentang Etika Birokrasi dewasa ini menjadi topik yang sangat menarik dibahas,
terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa. Kecenderungan atau
gejala yang timbul dewasa ini banyak aparat birokrasi dalam pelaksanaan tugasnya sering
melanggar aturan main yang telah ditetapkan.
Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan moralitas
dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan itu sendiri
yang tercermin lewat fungsi pokok pemerintahan , yaitu fungsi pelayanan, fungsi pengaturan
atau regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Jadi berbicara tentang Etika Birokrasi
berarti kita berbicara tentang bagaimana aparat Birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi
tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan yang seharusnya dan semestinya, pantas untuk
dilakukan dan sewajarnya dimana telah ditentukan atau diatur untuk ditaati dan dilaksanakan.
Permasalahan yang muncul sekarang ini bagaimana proses penentuan Etika dalam Birokrasi
itu sendiri, siapa yang akan mengukur seberapa jauh etis atau tidak, bagaimana kondisi saat
itu dan daerah tertentu yang mengatakan bahwa sesuatu dianggap etis saja atau dapat
2. dibenarkan, namun di tempat lain belum tentu. Dapat dikatakan bahwa Etika Birokrasi sangat
tergantung pada seberapa jauh melanggar di tempat atau daerah mana, kapan dilakukannya
dan pada saat yang bagaimana, serta sanksi apa yang akan diterapkan sanksi sosial atau moral
ataukah sanksi hokum. Semua ini sangat temporer dan bervariasi di negara kita sebab terkait
juga dengan aturan, norma, adat dan kebiasaan setempat.
Dalam penulisan ini kami akan mencoba membahas tentang apa yang dimaksudkan dengan
Etika, mengapa kita memerlukan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dari
mana Etika Birokrasi dibentuk dan sejauhmana peraturan Kepegawaian dapat menjadi bagian
dari penerapan Etika Birokrasi di negara kita.
3. BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN ETIKA
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau
secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan. Dalam pengertian
kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan sebetulnya tercakup juga adanya kesediaan
karena kesusilaan dalam dirinya minta ditaati pula oleh orang lain.
Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu etika meliputi
Kesediaan dan Kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin dikenal dengan kata
Mores yang berati kesusilaan, tingkat salah saru perbuatan (lahir, tingkah laku), Kemudian
kata Mores tumbuh dan berkembang menjadi Moralitas yang mengandung arti kesediaan jiwa
akan kesusilaan. Dengan demikian maka Moralitas mempunyai pengertian yang sama dengan
Etika atau sebaliknya, dimana kita berbicara tentang Etika Birokrasi tidak terlepas dari
moralitas aparat Birokrasi penyelenggara pemerintahan itu sendiri.
Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari ilmu pengetahuan (cognitive) bukan
pada afektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan semangat kelompok masyarakat.
Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak ada masyarakat
dan seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral, dan berkaitan dengan kesadaran kolektif
dalam masyarakat. Immanuel Kant, teori moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan
yang buruk, tetapi menyangkut masalah yang ada dalam kontak sosial dengan masyarakat. Ini
berarti Etika tidak hanya sebatas moralitas individu tersebut dalam artian aparat birokrasi
tetapi lebih dari itu menyangkut perilaku di tengah-tengah masyarakat dalam melayani
masyarakat apakah sudah sesuai dengan aturan main atau tidak, apakah etis atau tidak.
Menurut Drs.Haryanto, MA, Etika merupakan instrumen dalam masyarakat untuk menuntun
tindakan (perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral.
Ini berarti Etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perilaku seseorang dalam
bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dimasyarakat agar
dapat dikatakan tindakannya bermoral.
Dari beberapa pendapat yang menegaskan tentang pengertian Etika di atas jelaslah bagi kita
bahwa Etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung dari penilaian masyarakat
setempat. Dapat dikatakan bahwa moral merupakan landasan normatif yang didalamnya
mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri dan landasan normatif tersebut dapat pula
dinyatakan sebagai Etika yang dalam Organisasi Birokrasi disebut Etika Birokrasi.
4. ETIKA DALAM BIROKRASI.
Ketika kenyataan yang kita inginkan jauh dari harapkan kita, pasti akan timbul kekecewaan,
begitulah yang terjadi ketika kita mengharapkan agar para aparatur Birokrasi bekerja dengan
penuh rasa tanggungjawab, kejujuran dan keadilan dijunjung, sementara kenyataan yang
terjadi mereka sama sekali tidak bermoral atau beretika, maka disitulah kita mengharapkan
adanya aturan yang dapat ditegakkan yang menjadi norma atau rambu-rambu dalam
melaksanakan tugasnya. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang perlu diperhatikan
oleh aparat Birokrasi tadi.
Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan
pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel. Menurut Agus
Dwiyanto, alasan pertama adalah masalah – masalah yang dihadapi oleh birokrasi
pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang
semakin meningkat telah melahirkaan berbagai masalah – masalah publik yang semakin
banyak dan kompleks dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam memecahkan
masalah yang berkembang birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan – pilihan yang
jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan
yang sulit, antara baik dan baik, yang masing – masing memiliki implikasi yang saling
berbenturan satu sama lain.
Dalam kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat birokrasi
seringkaali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara memperjuangkan
program pemerintah dan memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Masalah – masalah
yang ada dalam ‘grey area’ seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring
dengan meningkatnya modernitas masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa
fungsional terutama dalam memberi ‘policy guidance’ kepada para pejabat birokrat untuk
memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan
perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya
menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap
perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa
melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan kekuasaan
direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan
pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari
penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang
tinggi mengenai kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan
melalui pengembangan etika birokrasi.
Walaupun pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan birokrasi namun
belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Sejauh ini baru lembaga peradilan
dan kesehatan yang telah maju dalam pengembangan etika ,seperti terefleksikan dalam etika
5. kedokteran dan peradilan. Etika ini bisa jadi salah satu sumber tuntunan bagi para
professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Pengembangan etika birokrasi ini
tentunya menjadi satu tantangan bagi para sarjana dan praktisi administrasi publik dan semua
pihak yang menginginkan perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.
Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa Etika
Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan sekarang ini, hal
tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi itu sendiri yang seiring
dengan semakin kompleksnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan
fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat
yang dilayani, diatur dan diberdayakan.
Untuk itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika atau
bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan demikian harus ada aturan
main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang menjadi landasan dalam bertindak dan
berperilaku di tengah-tengah masyarakat.
NILAI-NILAI MASYARAKAT
Terbentuknya Etika Birokrasi tidak terlepas dari kondisi yang ada di dalam masyarakat yang
bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan atau budaya di tengah-tengah
masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-nilai yang ada dan berkembang di dalam
masyarakat mewarnai sikap dan perilaku yang nantinya dipandang etis atau tidak etis dalam
penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan yang merupakan bagian dari fungsi aparat
birokrasi itu sendiri.
Di negara kita yang masih kental budaya paternalistik atau tunduk dan taat kepada Bapak
atau pemimpin pemerintahan yang juga merupakan pemimpin birokrasi, sehingga sangat sulit
bagi masyarakat untuk menegur para aparat Birokrasi bahwa yang dilakukannya itu tidak etis
atau tidak bermoral, mereka lebih banyak diam dan malah manut saja melihat perilaku yang
adan dalam jajaran aparat birokrasi.
Dalam kondisi seperti di atas, inisiatif penetapan Etika bagi aparat Birokrasi atau
penyelenggara pemerintahan hampir sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Dimana
pemerintah atau organisasi yang disebut birokrasi merasa paling berkuasa dan merasa dialah
yang mempunyai kewenangan untuk menentukan sesuatu itu etis atau tidak bagi dirinya
menurut versi atau pandangannya sendiri, tanpa mempedulikan aturan main di masyarakat.
Permasalahan ini sangat rumit karena Etika Birokrasi cenderung diseragamkan melalui
peraturan Kepegawaian yang telah diatur oleh Birokrasi tingkat atas atau pemerintah pusat,
sementara dalam pelaksanaan tugasnya dia berada di tengah-tengah masyarakat.
Pertanyaannya sekarang apakah yang dikatakan Etis menurut peraturan kepegawaian yang
mengatur Aparat Birokrasi dapat dikatakan etis pula dalam masyarakat ataupun sebaliknya.
6. Drs. Haryanto,MA dalam makalahnya berpendapat “adalah sulit untuk menyetujui atau tidak
mengenai perlunya Etika tersebut diundangkan secara formal.”. Etika sebagaimana telah
dikatakan sebelumnya sangat terkait dengan moralitas yang mana di dalamnya memiliki
pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang apa yang disebut
sebagai ‘kebenaran dan ketidakbenaran’ dan ‘kepantasan dan ketidakpantasan’.
Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan dengan Etika
Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan peraturan Kepegawaian di
negara kita, sehingga terkadang tidak menyentuh permasalahan Etika dalam masyarakat yang
lebih jauh lagi disebut moral. Di sini tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu
diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting adalah bagaimana penerapannya serta sanksi
yang jelas dan tegas, ini semua membutuhkan kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri
untuk menaatinya.
Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana
telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal sanksi yang menyertainya, karena Etika
pada umumnya tidak ada sanksi fisik atau hukuman tetapi berupa sanksi sosial, seperti
dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkungan masyarakat tersebut.
Sementara bagi Aparat Birokrasi sangat sulit, karena masyarakat enggan dan sungkan
(budaya Patron yang melekat).
Begitu rumit dan kompleksnya permasalahan pemerintahan dewasa ini membuat para aparat
birokrasi mudah tergelincir atau terjerumus kedalam perilaku yang menyimpang. Kondisi
lain, tuntutan atau kebutuhan hidupnya sendiri turut menentukan perilaku tersebut. Untuk itu
perlu adanya penegasan payung hukum atau norma aturan yang perlu disepakati
bersama untuk dilakukan. Perlu juga diayomi dengan aturan hukum yang jelas dan sanksi
yang tegas bagi siapa saja pelanggarnya tanpa pandang bulu di dalam jajaran Birokrasi di
Indonesia. Seiring dengan itu Paul H. Douglas dalam bukunya “Ethics in Government” yang
dikutip oleh olehDrs. Haryanto, MA, terdapat tindakan-tindakan yang hendaknya dihindari
oleh seorang pejabat pemerintah yang juga merupakan aparat Birokrasi, yaitu :
1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi
dengan mengatasnamakan jabatan kedinasan.
2. Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swasta pada saat ia melaksanakan transaksi
untuk kepentinagn dinas.
3. Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat ia berada dalam tugas-
tugas sebagai pejabat pemerintah.
4. Membocorkan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-
pihak yang tidak berhak.
5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam
menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.
7. Dengan demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan tindakan
oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia
menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak. Untuk itu perlu aturan yang tegas dan
nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak tertulis dan sanksinya berupa sanksi
sosial yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut.
Untuk itu kami mencoba merekomendasikan Kode Etik Birokrasi mengacu kepada ketentuan
Peraturan kepegawaian bagi Pegawai Negeri di Indonesia.
IMPLEMENTASI ETIKA BIROKRASI
Peraturan Kepegawaian Sebagai Bagian Dari Penerapan Etika Birokrasi.
Berbicara Etika Birokrasi tidak dapat dipisahkan dari Etika Aparatur Birokrasi
itu karena secara eksplisit Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang
mengatur para aparat Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri. Birokrasi merupakan sebuah
organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai ke daerah dan
memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hierarki. Jadi Etika Birokrasi sangat terkait
dengan tingkah laku para aparat birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya. Aparat Birokrasi secara kongkrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil
maupun Militer, yang secara organisatoris dan hierarkis melaksanakan tugas dan fungsi
masing-masing sesuai aturan yang telah ditetapkan.
Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main organisasi Birokrasi atau Pegawai
Negeri yang kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, diatur oleh Undang-undang
Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta
Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia (Sapta Prasetya KORPRI) dan di kalangan
Tentara Nasional Indonesia (TNI) disebut Sapta Marga. Kode Etik itu dibaca secara
bersama–sama pada kesempatan tertentu yang kadang-kadang diikuti oleh wejangan dari
seorang pimpinanupacara yang disebut inspektur upacara (IRUP). Hal ini dimaksudkan untuk
menciptakan kondisi–kondisi moril yang menguntungkan dalam organisasi yang
berpengalaman dan menumbuhkan sikap mental dan moral yang baik. Kode Etik tersebut
biasanya dibaca dalam upacara bendera, upacara bulanan atau upacara ulang tahun organisasi
yang bersangkutan dan upacara–upacara nasional.
Setiap organisasi, misalnya PNS atau TNI ada usaha untuk membentuk Kode Etik yang lebih
mengikat atau mengatur anggotanya agar lebih beretika dan bermoral. Namun sampai
sekarang belum diketahui sampai seberapa jauh dan juga belum dapat dipantau secara
jelas apakah perbuatan seseorang melanggar Etika atau Kode Etik atau tidak, karena belum
jelas batasannya dan apa sanksinya. Dengan demikian Kode Etik dapat benar-benar
dipergunakan sebagai ukuran atau kriteria untuk menilai perilaku atau tingkah laku aparat
Birokrasi sehingga disebut beretika atau tidak. Namun demikian, apapun maksud yang
8. hendak dicapai dengan membentuk dan ,menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi
terciptanya Aparat Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih
rajin serta yang terpenting lebih memiliki moral yang baik serta terhindar dari perbuatan
tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan sebagainya.
Agar tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka perlu usaha
dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang tegas dan jelas kepada mereka yang
melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan. Dalam hubungannya dengan Kode
Etik Pegawai Negeri yaitu dengan betul-betul menjiwai, menghayati dan melaksanakan Sapta
Pra Setya Korpri, serta aturan-aturan kepegawaian yang telah ditentukan atau ditetapkan
sebagai aturan main para aparat Birokrasi.
Adapun aturan-aturan pokok yang melekat pada seorang Pegawai Negeri atau Aparat
Birokrasi yang dapat dijadikan acuan Kode Etiknya dapat dilihat sebagai berikut :
1. Aturan mengenai Pembinaan Pegawai Negeri Sipil
Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan secara berdayaguna dan
berhasilguna dalam rangka usaha mewujutkan masyarakat adil dan makmur baik material
maupun spiritual, diperlukan adanya Pegawai Negeri sebagai unsur aparatur negara yang
penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih,
berwibawa bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggungjawabnya. Dalam hubungan
ini Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 telah meletakkan dasar yang kokoh untuk
mewujudkan Aparat Birokrasi atau PNS seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur
kedudukan dan kewajiban bagi Aparat Birokrasi sebagai salah satu kewajiban dan langkah
usaha penyempurnaan aparatur negara di bidang kepegawaian.
2. Aturan mengenai kedudukan Pegawai Negeri sipil
Pegawai Negeri sipil adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang
dengan kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah,
menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, pelayanan kepada masyarakat,
mengatur masyarakat atau regulasi dan memberdayakan masyarakat. Kesetiaan dan ketaatan
penuh tersebut mengandung pengertian bahwa pegawai negeri berada sepenuhnya dibawah
aturan yang telah ditentukan.
3. Penghargaan Pegawai Negeri sipil
Kepada Pegawai negeri dapat diberikan penghargaan apabila telah menunjukkan kesetiaan
dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja yang baik, dianggap berjasa bagi negara dan
masyarakat. Bentukpenghargaan kepada Pegawai Negeri yang bersangkutan berupa tanda
jasa, kenaikan pangkat istimewa yang secara otomatis kenaikkan gajinya sesuai pangkat.
Tujuan penghargaan ini diharapkan agar menjadi contoh kepada yang lain dalam
melaksanakan tugas.
9. 4. Keanggotaan Pegawai Negeri dalam Partai Politik
Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya agar lebih beretika dan
bermoral dan agar terhindar dari kepentingan partai politik, maka sebaiknya Pegawai
Negeri tidak masuk dalam politik praktis demi menjaga moralitas yang merupakan etika
aparat birokrasi.
5. Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil
Ketentuan tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
30 Tahun 1980. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur hal-hal sebagai
berikut : kewajiban, larangan, sanksi, tata cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan
terhadap hukuman disiplin yang kesemuanya dapat menjadi acuan dalam beretika bagi
seorang aparat Birokrasi atau Pegawai Negeri. Peraturan Disiplin Pegawai Negeri yang
menjadi kewajiban dan harus ditaati sesuai Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1980, antara lain mengatur tentang :
- Kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD 1945, Negara dan Pemerintah.
- Mengangkat dan mentaati sumpah/ janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/ janji
jabatan berdasarkan peraturan yang berlaku serta siap menerima sanksinya.
- Menyimpan rahasia negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya.
- Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, bersemangat untuk kepentingan negara.
- Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang
dapat membahayakan atau merugikan negara/ pemerintah, terutama di bidang keamanan,
keuangan, dan material.
- Mentaati ketentuan jam kerja.
- Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
- Bersikap adil dan bijaksana terhadap bawahannya.
- Menjadi atau memberikan contoh teladan terhadap bawahannya.
- Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk meningkatkan kariernya.
- Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap
masyarakat, sesama pegawai dan atasannya.
Sementara larangan bagi aparat Birokrasi atau pegawai Negeri menurut Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun1980, yang juga dapat dijadikan sebagai Kode Etik Birokrasi,
yaitu larangan seperti :
- Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah
atau Pegawai Negeri sipil.
- Menyalahgunakan wewenangnya.
- Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara.
- Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun yang diketahui
atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan
Pegawai Negeri yang bersangkutan.
10. - Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat pegawai
negeri sipil, kecuali kepentingan jabatan.
- Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya.
- Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapat
pekerjaan atau peranan dari kantor/ instansi pemerintah.
- Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya
untukkepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.
Semua kewajiban dan larangan yang diuraikan diatas kiranya dapat dipahami
oleh Pegawai Negeri sipil selaku aparat birokrasi sebagai pagar atau norma dan aturan yang
merupakan bagian dari Etika atau kode etik Pegawai Negeri.
Selain Kewajiban dan Larangan yang harus ditaati oleh Pegawai Negeri, juga yang tidak
kalah penting dalam pembentukan Etika Birokrasi adalah sanksi atau hukuman yang setimpal
dengan pelanggaran atas ketentuan tersebut di atas. Jenis sanksi atau hukuman yang dapat
dijatuhkan kepada Pagawai Negeri sangatlah bervariasi sesuai tingkat pelanggaran, adapun
jenis sanksi tersebut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 terdiri dari :
1. Hukuman disiplin ringan antara lain teguran lisan, teguran tertulis dan pernyataan tidak
puas secara tertulis.
2. Jenis hukuman disiplin sedang, antara lain penundaan kenaikkan gaji berkala untuk paling
lama satu tahun, penurunan gaji sebesar satu kali gaji berkala untuk paling lama satu
tahun dan Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.
3. Jenis hukuman disiplin berat, terdiri dari penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat
lebih rendah paling lama satu tahun, Pembebasan dari jabatan, Pemberhentian dengan hormat
tidak atas permintaan sendiri selaku pegawai negeri sipil dan Pemberhentian dengan tidak
hormat sebagai pegawai negeri sipil.
Dari sanksi hukuman yang diberikan dan patut diterima bagi siapa saja pelanggar Etika atau
peraturan yang turut mengatur moralitas para aparat birokrasi di atas, jelaslah bagi kita
beratnya sanksi atau hukuman yang telah ditentukan. Permasalahan sekarang kembali lagi
kepada penegakkan sanksi atas pelanggaran Etika tersebut, betul-betul dilaksanakan atau
ditegakkan kepada mereka yang melanggar atau hanya sebatas retorika ataupun sanksi sosial
saja. Sanksi sosial hanya efektif apabila aparat Birokrasi itu berada di tengah-tengah
masyarakat, sementara apabila dalam organisasi Birokrasi harus tegas berupa sanksi
hukuman sesuai peraturan perundang-undangan tersebut di atas.
11. BAB III
P E N U T U P
Uraian-uraian dari makalah yang disajikan diatas, hanya merupakan konsep ideal yang
diharapkan dari aparat pelaksana pemerintahan di Indonesia yang merupakan aparat birokrasi
di negara kita dengan tugas dan fungsi pokok untuk melayani masyarakat, mengatur
masyarakat dan memberdayakan masyarakat. Fungsi-fungsi ini dapat dilaksanakan dengan
baik apabila Aparat Birokrasi tersebut memiliki Etika dalam bekerja.
Etika Birokrasi bukan hanya sekedar retorika yang didengungkan baik lewat Sapta Pra Setya
Korpri maupun Sapta Marga dan sederetan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah
Tentang kepegawaian. Yang lebih penting bagaimana ketentuan-ketentuan tersebut dapat
dihayati dan diamalkan dalam berperilaku sebagai Aparat Birokrasi dan yang tidak kalah
penting yaitu bagaimana penegakkan hukum atau sanksi yang tegas bagi para pelanggar
aturan yang telah disepakati dan ditentukan tersebut. Hukuman atau sanksi perlu ditegakkan
secara merata tanpa pandang bulu apakah dia atasan atau bawahan.
Masyarakat juga berhak menentukan kode Etik atau aturan dalam masyarakat yang juga turut
mengatur keberadaan seorang Aparat Birokrasi di lingkungannya. Kalau memang melanggar
harus ada komitmen bersama untuk mentaati aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Jadi yang disebut Etika Birokrasi merupakan norma aturan yang melekat pada anggota atau
aparat Birokrasi itu sendiri dimana pun dan kapan pun dia berada, baik di kantor maupun di
tengah-tengah masyarakat, dia terikat dengan aturan kepegawaian dan aturan norma dalam
masyarakat yang menjadi lansasan Etika dalam bertindak dan berperilaku dalam
melaksanakan tugasnya.
Ketika semua etika di dalam suatu birokrasi telah terimplementasikan dengan baik, maka
insyaallah cita-cita mulia dari Van de Spiegel tentang pemerintahan kita untuk membawa
kebahagiaan sebesar-besarnya baik dunia maupun akhirat tanpa merugikan pihak lain secara
tidak sah akan terwujud.
12. DAFTAR PUSTAKA
Fernanda, M.Soc.Sc, Drs.Desi. 2006.Etika Organisasi Pemerintah:Modul Pendidikan Dan
Pelatihan Prajabatan Golongan III.Jakarta.Lembaga Administrasi Negara.
Kencana, Inu. 1991, Sistem Pemerintahan Indonesia:Jakarta.Gema Insane Press.
http://aiardian.wordpress.com/2009/07/22/contoh-makalah-etika-pemerintahan/
http://politikana.com/baca/2011/03/05/etika-pemerintahan.html