Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Hukum Islam mulai berlaku di Indonesia sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, meskipun Indonesia bukan negara Islam.
2. Penerapan hukum Islam mengalami pasang surut sesuai perkembangan sejarah, mulai dari masa kerajaan hingga masa kolonial Belanda.
3. Setelah kemerdekaan, penerapan hukum Islam semakin diakui di berbagai bidang seperti
Dalam kesempatan kali ini kami berkesempatan untuk menyampaikan makalah dengan judul
1. Dalam kesempatan kali ini kami berkesempatan untuk menyampaikan makalah dengan judul
“Sejarah Hukum Islam di Indonesia.” Yang mana Negara kita Indonesia bukanlah sebuah
Negara Islam. Tetapi hanya saja mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Oleh karena mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam maka mau tidak
mau pemerintah pun melegalformalkan hukum-hukum Islam kedalam aturan ketatanegaraan.
Pembahasan dalam makalah ini kami mulai dari sejarahnya hukum Islam di Indonesia yang
merupakan bukti nyata dari penerapan hukum Islam itu sendiri, bagaimana pasang surut
hukum Islam di Indonesia. Serta berbagai teori dan metode eksistensi dan implementasi
hukum Islam. Dan juga prospek pengembangan hukum Islam yang akomodatif terhadap
politik Negara.
PEMBAHASAN
A. Kronologi Hukum Islam Masuk ke Indonesia
Seperti telah kita ketahui, dalam pasal 1 UUD 1945 yang intinya adalah bahwa Negara
Indonesia Negara kesatuan yang berbentuk Republik dengan kedaulatan ditangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dan pancasila sebagai dasar ideal negara dan UUD 1945
sebagai dasar struktural negara.Indonesia adalah negara yang menghargai dan menghormati
kehidupan beragama.[1] Perlu kita ketahui bahwa di negara RI berlaku 3 sistem yaitu sistem
hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat (Civil Law, Common Law dan Anglosakson)
seperti halnya telah dikutip dari Muhammad Ali, ”Kedudukan dan Pelaksanaan Hukum Islam
Dalam Negara RI” yang menyatakan bahwa dari ke-3 sistem hukum tersebut tampaklah
bahwa hukum adat dan hukum Islam memiliki hubungan erat dengan agama dan juga hukum
Islam merupakan bagian dari struktur agama Islam.[2]
Kata “Hukum Islam” tidak ditemukan sama sekali dalam Al-Qur’an. Dan hanya ada kata-kata
syariah, fiqih dan Hukum Allah. Pada saat sekarang kata hukum Islam merupakan terjemahan
dari Islamic Law dari literatur Barat.[3] Indonesia merupakan salah satu negara yang secara
konstitusional tidak menyatakan diri sebagai negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya
beragama Islam.
Dalam perkembangannya, Hukum Islam di Indonesia dimulai :
1. Munculnya Kerajaan Islam di Indonesia
Sebenarnya hukum Islam telah berlaku di Nusantara sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam
yaitu dengan adanya peradilan agama dalam Papakeum (dibaca : Kitab) Cirebon yang bisa
menjadi suatu bukti dan juga kerajaan Islam lain di Nusantara, ini adalah pernyataan Idris
Ramulyo.[4] Bidang-bidang hukum Islam yang berlaku saat itu adalah perkawinan,
perwakafan, pewarisan, infaq dan sodaqoh. Adapun menurut sejarah berlakunya hukm Islam
di Indonesia terbagi atas dua hal, yaitu :
a) Sosiologis
Bahwa hukum Islam dapat dikatakan telah berlaku di Indonesia karena sebagian hukum Islam
telah berkembang sejak adanya kerajaan-kerajaan Islam, masa penjajahan Kolonial Belanda
sampai zaman kemerdekaan.
b) Yuridis
Sebagian hukum Islam telah dilaksanakan. Akan tetapi, penerapan prinsipnya berangsur-angsur
dalam hukum di Indonesia.
Tentang adanya peradilan agama yang telah disebutkan di atas di perkuat lagi dengan
pernyataan dari Cik Hasan Basri bahwa peradilan agama adalah peradilan Islam dan juga
merupakan symbol pemikiran Fuqoha yang memiliki sejarah panjang.[5] Berikut kutipannya
:
“ Secara historis, peradilan agama merupakan salah satu mata rantai peradilan Islam yang
bekesinambungan sejak masa Rasulullah. Peradilan Islam mengalami pasang surut, sejalan
dengan pekembangan masyarakat di berbagai kawasan dan negara. Pada Khalifah Umar bin
2. Khatab. Peradilan mulai dipisahkan dari kekuasaan pemerintahan dan para hakim diberi
pedoman tentang pelaksaan tugas mereka yang tercermin dalam Risalat Al-Qadha.
Perkembangan itu terus berkembang pada masa Dinasti Umayyah, Dinasti Abasiah, Dinasti
Usmani dan seterusnya hingga akhir abad ke-20 termasuk di Indonesia.”
2. Pada Masa Pra Pemerintahan Hindia Belanda – Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Pada masa ini dikenal 3 periode peradilan agama :
a) Periode Tahkim
Yaitu dengan bertahkim kepada seorang pemuka agama yang ada ditengah-tengah
masyarakat.
Contoh : Seorang wanita yang tidak memiliki wali bertahkim kepada seorang penghulu
sebagai wali yang berhak menikahkannya dengan pria idamannya.
b) Periode Ahlul Halli Wal Aqdi
Yaitu seorang ulama dibai’at diangkat sebagai qadlu untuk menyelesaikan masalah-masalah
yang terjadi. Hukum yang usang ditinggalkan secara berangsur-angsur dan aqidah Islam
dimasukkan, kemudian hukum syara’ menanjak dan adat menurun. Dan akhirnya adat
menjadi syara’, syara’ bersendi kitabullah. Dari uraian tersebut bisa diketahui bahwa secara
politis sudah ada badan peradilan dan hakim yang megadilinya menggunakan hukum Islam.
Jadi hukum isalam sedikit-demi sedikit telah berhasil mengambil kedudukan yang tetap bagi
penganutnya. Terutama dalam hukum kekeluargaan (perkawinan).
c) Periode Tauliyah
Paeda periode ini diidentifikasikan sebagai delegation of authority, yaitu : penyerahan
kekuasaan (wewenang) mengadili pada suatu badan yudikatif. Seperti di Minangkabau. Ada
Pucuk Nagari yang menyelamatkan sengketaan keagamaan. Di Banten ada satu macam
pengadilan yang dipimpin oleh hakim tunggal. Sedangkan di Cirebon, pengadilan dilakukan
tujuh orang menteri yang mewakili tigs sultan : Sultan Sepuh, Sultan Anar dan
penembahanCirebon.[6]
3. Pada Masa Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI
pada masa ini secara otomatis terjadi pengambil alihan kekuasaan oleh bangsaIndonesia,
maka terjadi perubahan pemerintahan secara umum, akan tetapi tidak segera terjadi dalam
tata perdilan, khususnya peradilan Agama. Hal ini bukan hanya karena menghadapi Belanda
yang menjajah kembali, tapi juga konstitusi yang menjadi dasar kahidupan bernegara
memungkinkan terjadinya penundaan perubahan tersebut yaitu berkenaan dengan adanya
ketentuan peraturan peralihan dalam UUD 1945.
Hukum perkawinan yang diatur oleh belanda adalah hukum perkawinan yang diatur menurut
golongannya :
a. Bagi orang-orang eropa, berlaku burgenlijk wetboek. (kitab undang-undang hukum
perdata) merupakan tiruan Burgerjlijk Wetboek negeri Belanda.
b. Bagi orang-orang Tionghoa, BW hampir seluruhnya (termasuk perkawinan) diberlakukan.
c. Bagi oaring-orang Arab dan Timur, yakni Bepalingen Betreften De Net Burgerjlijk
Wetboek an Handles Reciht de Vreemde Oosterlingen Andere dan Chinezen (tidak mengatur
perkawinannya).
d. Orang-orang Indonesia yang beragama Kristen, yakni diberlakukan perkawinan H.O.C.I.
e. Bagi golongan yang tidak menggunakan ketentuan seperti yang tertera dalam a, b, c dan d
mempergunakan hukum Regeling op de Gemengede Huwe Lijekin (GHR) / Peraturan
Perkawinan Campuran. Pasal satu menyebutkan bahwa “Perkawinan antara laki-laki dan
perempuan tahluk dalam hukum yang berlainan disebut perkawinan campuran. Pasal dua
menyebutkan bahwa istri mengikuti kedudukan hukum suaminya.
Rumusan hukum tersebut diatas merupakan gambaran hukum Indonesia yang mesih
mengikuti hukum Belanda. Rumusan tersebut diungkapkan oleh Asro Sosroatmodjo dan A.
Wasit Aulawi.
3. Adapun perkembangan selanjutnya, sejarah hukum Islam telah semakin nyata dan signifikan.
Mulai tahun 1970 aturan tentang pengadilan agama benar-benar diperkuat yakni melalui UU
No. 14 Tahun 1970 :
a) Tentang Perkawinan diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974.
b) Tentang Kesejahteraan Anak-Anak oleh UU No. 4 Tahun 1979.
c) Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur UU No. 4
tahun 1982.
d) Tentang Peradilan Agama diatur oleh UU No. 7 Tahun 1989.
e) Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera diatur oleh
UU No. 10 Tahun 1992.
f) Tentang Penyelenggaraan Haji diatur oleh UU No. 19 Tahun 1999.
g) Tentang Pengelolaan Zakat diatur oleh UU No. 38 Tahun 1999
h) Tentang Penyelenggaraan Propinsi Daerah Istimewa Aceh UU No. 44 Tahun 1999
i) Tentang OtoNomi Khusus Bagi Wilayah Propinsi Aceh sebagai Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam oleh UU No. 18 Tahun 2001.
j) Tentang Perbankan UU No. 7 Tahun 1992.
UU Perbankan ini diikuti oleh PERPE No. 70 dan 72 Tahun 1992 sebagai pelaksanaan UU
perbankan.[7]
B. Pasang Surut Hukum Islam di Indonesia
Perkembangan dan pertumbuhan hukum Islam sejalan dengan perkembangan dan
pertumbuhan masyarakat Islam. Batasan awal masyarakat Islam dimulai sejak diutusnya
Rasulullah SAW pada periode Madinah. Penataan kehidupan masyarakat selalu didasarkan
pada Wahyu. Yang oleh para ahli fiqih dan ahli hukum di Indonesia dikenal sebagai hukum
Islam.
Hukum Islam yang menjadi landasan kehidupan masyarakat dibangun berdasarkan prinsip
keimanan kepada Allah, kontinuitas misi kerasulan (amar ma’ruf nahi munkar), kedilan,
persaudaraan, persamaan, kemerdekaan, tanggung jawab bersama dan saling meNolong.[8]
Dan secara garis besarnya hukum Islam beserta pranata sosialnya berkembang di dua negara
yaitu : Pertama, dinegara-negara Islam seperti Pakistan, Iran, Saudi Arabia. Kedua, di negara
mayoritas penduduknya Islam.Seperti, Indonesia, Turki dan Mesir. Khususnya di Indonesia
hukum Islam mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan masyarakat Islam yang
menjadi basis dalam pelaksanaan artiklulasi dan perumusan politik hukum, di negara yang
bersangkutan.
Hukum Islam masuk Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke wilayah Indonesia.
Islam datang dengan damai, toleran dan membaur dengan tradisi local sehingga Islam dan
hukumnya mudah diterima olah masyarakat Indonesia dan tidak menimbulkan (Shock
Culture). Pembauran budaya ini menimbulakan corak sinkretis pada hukum Islam yang
berkembang di Indonesia. Seperti pendapat Sudirman Teba pada bukunya “Perkembangan
Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara” yang dikutip oleh Dedi Supriyadi bahwa kaum
sinkretis adalah kelompok penikmat terhadap mayoritas dan supremasi politik secara nyata.
Mereka adalah para aristokrat sebelum zaman pra Indonesia yang sekarang menjadi tentara
dan birokrasi negara dan Islam hanyalah sebagai ideologi kelompok mereka saja.[9]
Walaupun hukum Islam belum ter cover dengan baik, hukum Islam pada masa kerajaan (pra-penjajahan)
merupakan fase penting dalam sejarah hukum Islam di Indonesia karena kerajaan
Hindu, Budha untuk kemudian digantikan oleh kesultanan (kerajaan) Islam. Hukum Islam
pastinya juga sudah eksis dan berlaku secara formal sebagai hukum positif di wilayah
kepulauan Nusantara. Terlebih lagi adanya pemberian gelar “Sultan” sebagai “Adipati” ing
alogo sayyidina paNoto gomo (Panglima Perang dan Pembina Agama) yang mengindikasikan
bahwa agama dan pemerintahan saat itu adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Oleh
karena itu, masa sebelum mengukuhkan kekuasaannya diIndonesia, hukum Islam merupakan
4. hukum yang sudah berdiri sendiri dan bekembang disamping adat atau kkebiasaan penduduk
di wilayah kepulauan Nusantara.
Saat datangnya pemerintahan kolonial Belanda, merupakan fase dimana hukum Islam mulai
mengalami hambatan (surut) terhadap perjalanan hukum Islam itu sendiri. Mengapa? Karena
selain memiliki tujuan kolonialis, Belanda juga datang untuk kepentingan misionaris, maka
secara perlahan dan sistematis mereka melakukan upaya penghambatan. Mereka mengatakan
bahwa hukum Islam adalah hukum asli pribumi dan pada praktiknya hukum Islam dijadikan
sebagai hukum sekunder dalam pengadilan agama.[10]
Rezim Belanda juga menyebarkan isu bahwa yang berlaku di Indonesia adalah bukan hukum
Islam melainkan hukum adat, kedalam hukum adat memang telah pengaruh Islam, namun
pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum kalau telah benar-benar diterima oleh adat.
Maka secara politik, isu tersebut jelas bertujuan untuk menhaspuskan hukum Islam dan
mematahkan perlawanan bangsaIndonesia terhadap kekuasaan kolonial Belanda yang dijiwai
oleh semangat hukum Islam.
Setelah belanda runtuh dan kekuasaan digantikan oleh jepang, dan juga setelah BPUPKI
terbentuk, fase inilah dimana hukum Islam mulai bangkit lagi, karena para pemimpin Islam
mulai berusaha mengembalikan dan menempatkan hukum Islam dalam kedudukannya
semula dengan lahirnya Jakarta Charter atau piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Dalam piagam tersebut dinyatakan bahwa Negara berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan sayriat-syarit Islam bagi para pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata ini yang
mengimplikasikan keterikatan seorang muslim dengan hukum islam. Akan tetapi, kemudian
diputuskan rumusannya stelah terjadi perdabatan seru ditubuh PPKI. Menjadi ketuhanan
Yang Maha Esa, meskipun jaminan eksplisit tersebut hilang tetapi kekecewaan umat Islam
sedikit terobati dengan adanya dekrit presiden tahun 1954 yang menyatakan bahwa piagam
Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.[11]
Dan juga menurut hukum ketatanegaraan Indonesia, preambule / konsidean / bahkan juga
penjelasan peraturan perundan-undangan memiliki kedudukan hukum. Oleh karena itu
hukum Islam telah menjadi authoritatif source (sumber otoritatif dalam tatanegara Indonesia
dan bukan hanya sekedar hukum persuasif).[12] Pada tahun 1964 pemerintah mengeluarkan
UU No. 19 Tahun 1964 yang menentukan 4 lingkungan peradilan ; yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Pada tahun 1965,
muncul pula UU No. 13 Tahun 1965 tentang Mahakamah Agung dan Peradilan Umum yang
menentukan bahwa Mahkamah Agung terdiri kamar perdata, kamar pidana dan kamar Islam.
Oleh karena itu kita bisa mengetahui bahwasannya hukum Islam begitu diperhitungkan dalam
tata hukum kenegaraan Indonesia. Hukum Islam yang memilki kesetaraan dengan tatanan
hukum lainnya salam pemarintahan Republik Indonesia. Sebagaimana termaktub dalam Tap
MPR Nomor IV Tahun 1999.[13]
C. Teori Eksistensi dan Implementasi Hukum Islam di Indonesia
Teori yang dimaksud disini yaitu teori yang telah dialami diakui dan diberlakukan pada
hukum Islam terutama di Indonesia. Teori inilah yang membuktikan bahwa Islam ada dan
memiliki teorinya, dan teori ini telah diajalankan oleh bangsa Indonesia sendiri. Dan juga
teori ini bisa dijadikan sebagai implementasi hukum Islam untuk sekarang atau masa yang
akan datang, sepanjang teori ini masih kompeten dan teruji.
Para pakar hukum Islam berbeda-beda dalam memasukkan jumlah teori yang berbeda dalam
memasukkan jumlah teori yang dapat siterapkan dalam hukum Islam. Seorang pakar hukum
Islam yaitu Juhaya S. Praja dalam bukunya Pilar-pilar Hukum Islam mengambil lima teori
berkanaan dengan hukum Islam.[14] Yaitu : 1) Teori Kredo / Syahadat ; 2) Teori Receptie in
Complexis ; 3) Teori Receptie ; 4) Teori Receptie Exit ; 5) Teori Receptie a Contrasio.
1) Teori Kredo / Syahadat
Yaitu : Bahwa teori ini mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang
5. mengikarkan 2 kalimah syahadat sebagai konsekuensi logis dari pengucapan syahadat. Teori
ini terambil dari Al-Qur’an : Q.S (1) : 5 ; Q.S (2) : 179 ; Q.S (3) : 7 ; Q.S (4) : 13, 14, 49, 59,
63, 69 dan 105 ; Q.S (5) : 44, 45, 47, 50 ; Q.S (24) : 51 dan 52.[15]
2) Teori Receptie in Complexis
Yaitu : Teori ini menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab telah
memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan. Teori ini
dibangun oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1854-1927). Dalam konteks
Indonesiateori ini dibangun bedasarkan atas amaliah umat Islam yang begitu terikat dengan
ibadah dan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah. Adapun untuk bidang muamalah jinayah, siyayah
masih banyak diabaikan oleh umat Islam di Indonesia.[16]
3) Teori Receptie
Yaitu : Teori ini dikemukakn oleh Christian Snuok Hurgronye (1856-1936) dia adalah
seorang penasehat pemerintahan Hindia Belanda tentang Islam. Teori ini menyatakan bahwa
bagi rakyat pribumi berlaku hukum adat. Hukum Islam berlaku kalau norma hukum Islam
telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.[17] Teori ini berpangkal dari Snouk
yang bekeinginan jangan sampai orang-orang pribumi kuat dalam memegang ajaran Islam.
Jika mereka kuat, maka akan sulit untuk dipengaruhi oleh peradaban Barat.
4) Teori Receptie Exit
Yaitu : Teori ini menentang teori Snouk tentang teori Receptie. Teori ini dikemukakan oleh
Hazairin seorang Guru Besar Hukum Universitas Indonesia. Menurut beliau teori Receptie
sebagai teori iblis karena bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau juga
menyatakan bahwa teori receptie ini sedah patah, tidak berlaku lagi. Dan keluar dari
TatanegaraIndonesia sejak tahun 1945 dengan merdekanya Indonesia dan berlakunya UUD
1945 sebagai dasar Negara.
Berdasarkan teori Hazairin ini dapat dinyatakan bahwa :
a) Teori Receptie telah patah dan tidak berlaku sejak Indonesia merdeka dan UUD 1945
sebagai dasar Negara Indonesia. Dan dekrit presiden tenggal 5 Juli 1959 untuk kembali
kepada UUD.
b) Sesuai pasal 29 ayat (1) UUD 1945, Negara Indonesia berkewajiban membentuk hukum
Nasional yang bahannya adalah hukum agama.
c) Hukum agama yang berlaku di Indonesia bukan hanya hukum islam, melainkan juga dari
hukum agama lain bagi pemeluk agama tersebut. Hukum agama dibidang hukum perdata dan
hukum pidana diserap menjadi hukum nasional Indonesia. Itulah hukum baru
Indonesiadengan dasar pacasila.[18]
Teori yang diekmukakan oleh Hazairin dikembangkan oleh muridnya Sayuti Thalib yaitu
Receptie A Contracio : hubungan antara hukum adat dan hukum Islam.
5) Teori Receptie A Contrasio
Yaitu yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum Islam dan hukum adat baru dinyatakan
berlaku bila tidak bertentangan dengan agama Islam atau hukum Islam seperti dinyatakan
oleh Afdhol yang mengutip Sayuti Thalib adalah sebagai berikut :
a) Bagi orang Islam berlaku hukum islam.
b) Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum serta cita-cita batin dan
moralnya.
c) Hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan hukum islam.[19]
D. Dimensi Pengembangan Hukum Islam di Indonesia
Hukum Islam menempati posisi hukum yang ada di masyarakat, hal ini dibuktikan dengan 3
faktor yaitu :
1) Dipandang dari sudut dasar Filosofis
Proses perjalanan hukum Islam berkembang sesuai tingkat pemahaman keagamaan sehingga
6. memantulkan korelasi antara ajaran Islam dan realitas sosial dan fenomena keislaman dan
melahirkan norma fundamental Negara.
2) Dipandang dari sudut dasar Sosiologis
Sejarah masyarakat Islam yang berkesinambungan seperti dalam mentahkimkan
permasalahan kepada orang yang difigurkan sebagai muhakam dan akhirnya terkristalisasi
menjadi tradisi tauliyah.
3) Dipandang dari sudut Yuridis
Sejarah hukum Indonesia menunjukkan bahwa validitas fenomena yuridis dapat mengungkap
tata hukum kolonialisme Indonesia tetap saja tidak mampu membendung arus tuntutan
masyarakat Islam sehingga akhirnya hukum islam memiliki tempat dan diakui dalam tata
hukum Indonesia. Eksistensi hukum Islam tersalurkan secara konstitusional melalui pasal II
aturan peralihan UUD 1945.[20]
Kemudian untuk penerapan dan pengembangan konsepsi hukum Islam di Indonesia dapat
digolongkan dengan beberapa cara pelaksanaannya :
Pertama, Melalui jalur iman dan takwa. Intensitas pelaksanaannya tergantung pada kualitas
keimanan dan ketakwaan yang ada pada diri setiap muslim yang bersengkutan.[21]
Kedua, Adanya pelaksanaan hukum Islam melalui UU dalam berbagai masalah seperti
perkawinan, perwakafan, kewarisan. Dan pengadilan menetapkan penggunaan hukum syara’
siap pakai meupun menggali hukum yang belum jelas, dalam hal-hal ini para hakim wajib
berijtihad.[22]
Ketiga, Dengan membuat transaksi khusus di Bank muamalah, Badan Perkreditan Rakyat
(BPR) Syariah dan Asuransi yang memilih muamalah dengan cara-cara Islami.[23]
Keempat, Dengan jalan melalui Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang
didirikan oleh MUI, bahwa para pengusaha, pedagang dan industri untuk mengadakan
kesepakatan bersama dalam memilih hukum Islam untuk menyelesaikan persengketaan
dengan jalan damai. (diluar pengadilan).[24]
Kelima, Menerapkan hukum Islam yang dilakukan oleh Lembaga Pusat Penelitian Obat /
kosmetik dan Makanan (LPPOM) yang juga didirikan oleh MUI. Lembaga ini menentukan
apakah makanan, obat-obatan, dan kosmetik tersebut halal/haram.
Keenam, Pembinaan pembangunan Hukum Nasional melalui unsur asas-asas hukum Islam
yang berlaku bukan hanya untuk umat Islam saja. Tetapi juga penduduk Indonesia.[25]
E. Akomodasi Hukum Islam Dengan Politik Indonesia.
Hukum merupakan produk politik, apapun bentuk hukum tersebut. Oleh karena itu, hukum
yang sudah diundangkan adalah bagian dari produk politik yang tidak bisa dihindari.
Adapun akomodatif hukum Islam terhadap politik Indonesia pada dasarnya muncul dari
karakter hukum Islam sendiri yang bersifat fleksibel / elastis, dan dinamis, disamping prinsip-prinsip
dari syariah itu sendiri. Analisis yang sesuai dengan pernyataan tersebut ditegaskan
Amat Jaelani dalam uraiannya sebagai berukut :
“ Aspek politik hukum Islam mencakup segi nilai dan tujuan hukum sesuai dengan kriteria
dan pedoman Allah Yang Maha Sempurna… Keadilan, Keagungan, dan Keharmonisan
hukum Islam merupakan aspek politik yang meninggikan dan memuliakan martabat bangsa
dan segenap masyarakat, juga penguasaan IPTEK. Demikan pula, aspek-aspek politik hukum
islammendamaikan kehidupan sosial politik serta secara kreatif melestarikan lingkungan
hidup. Meskipun hanya menggunakan istilah hukum perkawinan, pewarisan dan perwakafan
(tanpa kata Islami), aspek hukum Islam memungkinkan terbentuknya keunggulan keadaan
kehidupan yang Bhineka. Falasafah hidup yang dirumuskan sebagai “Ketuhanan Yang Maha
Esa” ternyata mampu mencakup segala masalah hukum dibidang humaniora, kemasyarakatan
dan keragaman.”[26]
KESIMPULAN
Dari uraian makalah tersebut diatas, kita dapat mengetahui bagaimana Hukum Islam
7. berkembang di Indonesia. Dan juga pasang surut perkembangan hukum itu sendiri serta,
mengapa Hukum Islam Indonesia tetap eksis dalam ketatanegaraan sampai sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
A. Jaelani, Timur, 1996. “Politik Hukum Islam” Dalam Buku Dimensi Hukum Islam dalam
system Hukum Nasional, Jakarta : Gema Insani,
Afdol, 2006 “Kewenagan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No.3 Tahun 2006 & Legislasi
Hukum Islam di Indonesia”, Surabaya : Airlangga
Ali, Muh Daud 1980. “Hukum Keluarga Dalam Masyarkat Islam Kontemporer”. Jakarta :
Bisri, Hasan, 2004. Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta : rajawali
Press,
Ghani, Abdul1997, “Hukum Islam Dalam Sistem Masyarakat Indonesia” dalam Jurnal
Mimbar Hukum, No. 30 Tahun VIII /
Ichtijah . 1994. Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, Bandung :
Rosdakarya,
Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan amandemen dari sila pertama
Pancasila“Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Dan pasal 29 ayat 2 tentang Kebebasan Memeluk Agama.
Praja, Suhaya S. 1995. Filsafat Hukum Islam, Bandung : UNINUS
Sumaudjar, Tjun 1991.Hukum Islam di Indonesia : Perkembangan dan
Pembentukan,Bandung : Rosdakarya
Supriyadi, Dedi, ”Sejarah Hukum Islam Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia”
Suny, Ismai 1990, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia,Mimbar Hukum No. 2 Tahun
Teba, Sudirman. 1993. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam Asia Tenggara, Bandung:
Mizan,
www.pa-tuban.net / Sejarah Peradilan Agama
Sumber: http://bacindul.blogspot.com/2012/07/makalah-sejarah-hukum- islam-di.html