SlideShare a Scribd company logo
1 of 13
Download to read offline
*)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012
**)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
1
PENGURANGAN RESIKO BENCANA GEMPA BUMI BERBASI KOMUNITAS DI
WILAYAH PROPINSI NTT, ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN*)
Rani Hendrikus**)
Abstrak
Tiga laporan kerusakan bangunan akibat gempa di NTT dan lima hasil studi dari Pusat
Mitigasi Becana Alam UNWIRA, khususnya yang berkaitan dengan praktek perencanan dan
praktek pembangunan bangunan beton bertulang di NTT, serta pengelaman praktek profesi
sebagai ahli struktur menjadi sumber utama tulisan ini.
Dari pengelaman atas kerusakan bangunan diwilayah NTT dapat disimpulkan bahwa, (1)
pola kerusakan dan fator penyebabanya tidak banyak berubah dari satu kejadian gempa ke
kejadian gempa yang lainnya; (2) Bangunan-bangunan yang dikelompokan sebagai
“bangunan/rumah rakyat” (non-engineered structures) merupakan bangunan yang paling
rentan terhadap ancaman bencana gempa bumi; (3) Kerusakan yang terjadi pada banguan
pemerintah umumnya disebabkan oleh tidak sempurnanya pendetailan struktur. Sedangkan
dari hasil pengamatan terhadap praktek perencanan dan praktek pelaksanaan
pembangunan di lapangan diperoleh kesimpulan bahwa: (1) Kebiasan membangun
masyarakat tidak mengalami perubahan baik dalam hal pengendalian mutu bahan (pada
saat pelaksanaan) maupun dalam hal penerapan konstruksi bangunan tanah gempa; (2)
Gambar-gambar kerja yang dihasilkan tidak sepenuhnya memenuhi standar gambar kerja
minimal untuk dijadikan pedoman kerja kontraktor; (3) praktek pendetailan konstruksi
bangunan khusunya bangunan beton bertulang, umumnya tidak memenuhi standar yang
berlaku; (4) Intervensi pemerintah melalui proyek, baik berupa proyek fisik maupun
sosialisasi bangunan tahan gempa kurang memberikan hasil nyata dalam meningkatkan
keamanan dan keselamatan bangunan terhadap aksi beban gempa. Dari pengelaman
praktek profesi dapat disimpulkan bahwa, pendekatan kategorial yakni melalui kelompok-
kelompok profesi seperti para engineer, kontraktor/pembangun, dan para tukang, serta
penguatan regulasi lebih efektif dalam merubah perilaku membangun para pelaku
pembangunan dibanding dengan cara-cara sosialisasi yang biasa diterapkan pemerintah
saat ini.
Kata Kunci: pola kerusakan bangunan, praktek perencanaan, pelaksanaan lapangan, kebiasaan membangun,
bangunan rakyat, ruma regel
1. Pendahuluan
Pengurangan Resiko Bencana Berbasis
Komunitas (PRBBK), menjadi kebutuhan terutama
ketika kita menyadari bahwa pendekatan tradisional,
melalui jalur birokrasi dan proyek yang umumnya
berseifat rekatip kurang membuahkan hasil yang
maksimal. Secara akademis kesadaran ini telah
berkembang sejak decade 80-an, sejalan dengan
berkembangan isu pengurangan bencana alam serta
isu pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia isu ini
baru mendapatkan momentum yang berarti ketika
negeri ini mengalami kejadian bencana beruntun
pada tahun awal tahun 2000-an, seperti gempa
Nabire, gempa Jogya dan Gempa Aceh pada tahun
2004. Peristiwa-peristiwa ini mendorong lahirnya UU
No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Dalam undang-undang inilah penanggulangan
bencana yang bersifat antisipatif dan berorientasi
pada penguatan sendi-sendi masyarakat mendapat
pijakannya.
*)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012
**)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
2
Dalam konteks bencana gempa bumi,
kesadran normatif telah muncul sejak akhir tahun
1970-an, yakni dengan dibentuknya Tim Penyusunan
Peraturan Gempa Indonesia yang terdiri dari ahli-ahli
dari New Zealand dan ahli-ahli dari Inonesia, dan
menghasilkan Peraturan Gempa Indonesia 1983 yang
dikenal dengan Tata Cara Perancanaan Ketahanan
Gempa Untuk Rumah dan Gedung 1983. Setelah
kurang lebih 20 tahun bejalan, tepatnya tahun 2002,
Indonesia dengan kekuatan sendiri melakukan revisi
peraturan gempa, disesuikan dengan perkembangan
ilmu dan teknologi yang tengah berkembang serta
disesuikan pemahaman ahli-ahli Indonesia terhadap
kondisi seimisitas wilayah Indonesia yang semaikin
baik. Peraturan gempa ini dikenal dengan SNI 03-
1726-2003. Pada tahun yang sama juga Indonesia
menerbitkan peraturan beton bertulang Indonesia
(SNI 03-2847-2002) yang sejalan dengan peraturan
gempa tersebut. Adanya peritiwa gempa yang terjadi
diawal dan pertengahan tahun 2000-an menyadarkan
parah ahli bangunan/gempa Indonesia untuk
melakukan revisi atas peta gempa Indonesia yang
termuat dalam SNI 03-1726-2002. Hasilnya adalah
berupa Peta Hazar Gempa Indonesia 2010.
Sejak ditebitkanan peraturan gempa 1983
sesunggunya Indonesia sudah masuk dalam state of
the arth dari proses disain bangunan tahan gempa.
Namun harus diakui sejarah kegagalan bangunan
yang terjadi pada decade 90-an sampai dengan saat
ini menunjukan bahwa peraturan (soft ware) yang
dianggap canggih tersebut, belum cukup memberikan
perlindaungan terhadap keamanan keselamatan
bangunan. Mengapa hal ini terjadi?. Salah satu
faktornya adalah lambannya penerapan peraturan-
peraturan disain bangunan dilapangan. Fakta inilah
yang mendorong pemerintah melalui Depertemen
Pekerjaan Umum untuk memfasilitasi penyususnan
Perda Bangunan Gedung di propinsi-propinsi dan
Kabupaten seluruh Indonesia. Dengan harapan,
melalui perda, pemerintah daerah baik pada tingkat
propnsi maupun kabupaten dan kota dapat
mengendalikan seluruh proses pembangunan infra
struktur di wilayahnya masing-masing. Salah satu
komponen penting dari perda bangunan gedung
tesebut adal mengatur keterlibatan dan juga sekaligus
pemberdayaan masyarakat dalam mencapai tujuan,
yakni mendapatkan bangunan yang aman, nyaman
dan fungsional.
Sampai dengan tahun 2012, di NTT, belum
ada kabupaten dan kota yang memiliki Perda
Bangunan Gedung. Kaluapun ada perda bangunan
gedung, umumnya masih sebatas pengaturan tentang
ijin mendirikan bangunan. Hal-hal spesifik
menyangkut pengendalian pembangunan dalam
rangka mendapatkan kepastian keamanan belum
diatur secara khusus. Dan tentunya juga, pengaturan
tentang keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat
dalam mengurangan resiko kegagalan bangunan
akibat gempa bumi belum memiliki pijakan yang
pasti.
2. Seimisitas Wialayah
Wilayah Indonesia merupakan tempat
pertemuan tiga lempeng benua dan satu lempeng
kepualauan yakni, Lempeng Eurasia, Lempeng
Indian-Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng
Philipina. Karena itu intensitas gempa di Indonesia
tergolong tinggi di mana 8% dari gempa-gempa
dunia terjadi di wilayah ini. Sama seperti
kebanyakan wilayah di Indonesia lainnya, propinsi
NTT juga tergolong daerah rawan gempa, karena sisi
selatan propinsi NTT merupakan daerah pertemuan
antara lempeng Eurasia dan lempang India-Australia,
lihat gambar-01. Tingginya intensita gempa di NTT
dapat dilihat melaui gambar-02, yang
memperlihatkan distribusi pusat gempa yang terjadi
antara tahun 1900 sampai dengan tahun 2007.
Gambar-01 Peta Tektotik Kepulauan di Indonesia
Gambar-02 Distribusi pusat gempa di NTT, 1900-2007
(Sumber: SUGS)
Secara umum aktivitas gempa di wilayah
NTT dipicuh oleh aktivta geologi yang terjadi papa
Flores Trough , Timor Trough, Flores Back Arc,
Timor Back Arc dan Sumba Fault. Flores Trouh
*)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012
**)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
3
Timor Trough memiliki kecenderung pergerakan ke
arah utara masing-masing sebesar 16 dan
15mm/tahun. Sedangkan Flore Back Arc dan Timor
Back arc memiliki kecenderungan pergerakan kearah
selatan masing-masing sebesar 28 dan 29mm/tahun,
lihat gambar-03 .
Gambar-3 Pola Patahan yang mempengaruhi gempa di
Wilayah Administrasi Propinsi NTT
Sebagai daerah rawan gempa, wialayah ini
sudah beberapa kali mengalami gempa besar yang
bersifat destruktif. Dari catatan sejara sekurang-
kurannya 7 kejadian gempa besar yang terjadi di
wilayah ini, seperyi yang diperlifatkan dalam
gambar-04. Gempa-gempa tersebut, terutama gempa-
gempa yang terjadi diatas tahun 1970-an, telah
menimbulkan kerusakan yang besar pada
infrastruktur wilayah, temasuk perumahan milik
masyarakat. Tingkat kerusakannya sejalan dengan
perkembangan investasi pemerintah dan masyaraka
pada prasaran fisik, seperti jalan, jembatan, jaringan
irigasi, perkantoran dan perumahan.
Gambar-04 Data gempa kuat yang menimbulkan kerusakan
di Indonesia (1800-2004)
Irsyam Mansyhur dkk dalam laporan
mengenai Hasil Studi Revisi Peta Gempa Indonesia
2010 memperkirakan bahwa, pada Flores Back Arc
Timor Back Arc, dan Sumba Fault dalam jangka
panjang berpeluang terjadi gempa dengan kekuatan
masing-masing dengan magnetudo M 7.8, M 7.5. dan
M 8.3. Gempa dengan magnetudo sebesar ini
berpotensi menimbulkan kerusakan, baik karena
akibat gucangan tanah maupun karena tsunami.
Intensitas gempa di wilayah NTT secara
kuatitatip dapat dilihat memlaui peta gempa Inonesia,
baik peta gempa 1983, 2002 maupu peta gempa
terakhir yang dikeluarkan pada tahun 2010, seperti
yang ditunjukan dalam gambar 05, 06 dan 07. Pata
peta gempa 1983, wilayah NTT masuk dalam Zona
Gempa-2 dan Zona Gempa-3, yakni zona gemp
tertinggi kedua di Inonesia. Dalam peta gempa tahun
2002, NTT masuk dalam Zona Gempa 5 dan 6 (Zona
6 adalah zona tertinggi), di mana mayoritas wilayah
NTT masuk dalam zona-5 kecuali Sumba Barat
masuk dalam zona-6. Sedangkan dalam peta gempa
terakhir (2010), tidak lagi dilakukan penetapan zona
sebagaimana yang diatur dalam peta gempa
sebelumnya, namun ditunjukan peta respon spectra
percepatan pada bataun dasar masing-masing untuk
T= 0.2 det dan 1 detik. Dalam peta inipun Sebagian
besar wilayah NTT masuk dalam wilayah dengan
resiko gempa tinggi seperti yang ditunjukan dalam
gambar-07
Gambaran informasi di atas, secara jelas
memperlihtkan bahwa propinsi NTT tergolong
daerah dengan resiko gempa tinggi. Daerah demikian
membutuhkan perhatian khusus dari seluruh elemen
terkait, terutama untuk memastikan bahwa bangunan-
bangunan yang ada memiliki ketahanan yang
memadahi terhadap ancaman gempa bumi.
Peta Percepatan Gempa Maksimum Indonesia
dalam PPTI-UG 1983
Gambar -05 Peta Wilayah Gempa Indonesia menurut
SKBI-1.3.53, 1987.
*)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012
**)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
4
Peta Percepatan Gempa Maksimum Indonesia di Batuan Dasar
SNI 03-1726-2002
Gambar-06 Peta Wilayah Gempa berdasarkan SNI 03-
1726-2002
Peta Hazard Gempa Indonesia di Batuan Dasar pada T-0.2 det
(PE 2% untuk umur bangunan 50 tahun)
Gambar 07 Peta Wilayah Gempa Indonesia tahun 2010
3. Pengelaman dari Kegagalan Bangunan
Akibat Gempa
Kegagalan bangunan akan diamati melalui
data kerusakan bangunan yang terjadi pada gempa
Pantar 1987, gempa Flores 1992 dan gempa Alor
2004). Dari data kerusakan yang terjadi, pertanyaan
menarik yang perlu dijawab adalah“apakah kita telah
belajar sesuatu dari peristiwa kegagalan tersebu?”.
Pertanyaan ini menjadi penting ketika kita menyadari
bahwa jenis dan pola kerusakan bangunan tidak
berubah secara signifikan dari suatu kejadian gempa
ke kejadian gempa lainnya.
a) Jenis dan Pola Kerusakan pada bangunan
“rumah-rakyat” (non-engineered
structures)
Type rumah rakyat yang ada di Pantar,
Flores dan Alor, secara umum relatip sama, yakni
terdiri dari rumah regel (rangka kayu ) dengan
dinding pengisi material lokal seperti bambu
cincang/bambu anyam, rumah regel dengan dinding
pengisih pasangan batu, rumah tembok tanpa rangka
beton bertulang, rumah tembok dengan rangka beton
bertulang, dan rumah panggung dari bahan local
(ditemukan di kabupaten Ende,Sikka, Sabu dan
Sumba), lihat gambar-09, 10, dan 11.
Dari ke-lima type rumah rakyat tersebut,
rumah panggung dan rumah regel dengan dinding
pengisih dari bahan local merupakan bangunan yang
sangat kecil mengalami kerusakan, sedangkan rumah
tembok tanpa maupun dengan rangka beton bertulang
merupakan jenis rumah yang paling banyak
mengalami kerusakan.
Gbr-08 Konstruksi kaki rumah panggung
Kerusakan pada rumah panggung umumnya
terjadi berupa pergeseran pada pertemuan antara kaki
bangunan (le’ke dalam bahasa local Lio) dengan
bangunan atasnya. Sebagian besar system sambungan
pada rumah panggung tidak menggunakan paku,
joinnya umumnya bersifat sendi yang gampang
berputar/bergeser ketika ada beban, namun dapat
kembali atau didorong ke posisi semula ketika kerja
beban berhenti, lihat gambar-08. Sedangkan pada
rumah regel dengan dinding pengisi dari bahan lokal,
keruskan kecil umumnya terjadi pada sambung-
sambungan balok/kolom. Sambungan sambungan ini
menggunakan paku, tetapi jumlah dan posisi paku
tidak diletakan dengan tepat sehingga sifat joinnya
tidak pasti, apakah jepit atau sendi. Disini terlihat,
ketika masyarat mengaplikasi bahan modern (paku)
mereka belum/tidak memiliki informasi/pengetahuan
bagaimana menggunakan bahan bangunan modern
tersebut.
*)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012
**)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
5
Pada rumah regel dengan dinding pengisi
dari pasangan batu, kerusakan umumnya terjadi
berupa, lepanya dinding dari rangka kayu (regel), dan
lepas dan pecah/patah daerah sambungan, ligat
gamba-12 . Lepasnya tembok dari rangka disebabkan
karena tidak adanya ikatan atau angkur antara
pasangan dan rangka. Sedangkan pecah/patah daerah
join disebabkan karena massa bangunan meningkat
(berat tembok), sementara itu system join tetap sama
seperti pada rumah regel dengan dinding pengisi dari
bahan local (ringan).
Gbr-09 Rumah regel dengan dinding pengisi bahan local
Rumah tembok tanpa rangka beton
bertulang, umumnya rumah-rumah tuah peninggal
jaman Belanda, atau ramah masyarakat yang
dibangun sebelum bahan baja (tulangan baja) di
pasarkan secara luas ditengah masyarakat. Jenis
rumah ini umumnya berdinding tebal ( 1 batu sampai
1-1/2 batu). Kerusakan bangunan ini umumnya
bersifat getas dan fatal.
Kerusakan pada rumah-rumah peninggal
Belanda umumnya terjadi karena usia dan kurangnya
perawatan sehingga terjadi pelapukan (degradasi
mutu) pada pasangan tembok, lihat gambar-13.
Sedangkan pada rumah-rumah yang dibangun
masyarakat, kerusakan terjadi dikarenakan rendahnya
mutu pasangan (spesi) seingga ikatan antara spesi
dang batu mudah lepas.
Gbr-10 Rumah regel dengan dinding pasangan batu
Gbr-11 Rumah Panggung (Rumah adat)
Rumah tembok dengan rangka beton
bertulang merupakan jenis rumah yang paling banyak
ditemukan di ketiga lokasi bencana. Umumnya
rumah-rumah tersebut di bangun di atas tahun 80-an.
Dilihat dari usia bangunan (10 – 15 tahun), rumah-
rumah ini masih tergolong muda, namun karena
kelemahan system dan mutu konstruksi, sehingga
rumah jenis ini banyak mengalami kerusakan. Jenis
keruskan yang umumnya ditemui antara lain: Retak
tidak terkendali pada bidang tembok dan gagal join,
baik pada join kolom dengan ring-balok, maupun
pada join kolom dengan pondasi, lihat gambar-14,15
dan 16. Faktor yang menyebakan keruskan tersebut
adalah: luas bidang tembok yang terlampau besar,
join anatara kolom balok yang tidak tepat, jumlah dan
dimensi tulangan yang tidak memenuhi standar, jarak
sengkang yang terlampau besar dan tidak adanya
angker antara kolom dengan tembok.
*)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012
**)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
6
Gbr-12 Pola Kerusakan pada rumah regel diisi pasangan
batu (Alor 2004)
Gbr-13 Kerusakan bangunan rumah tanpa rangka beton
bertulang (Flores 1992)
Gbr-14 Pola Kerusakan pada rumah tembok (Pantar 1987)
Dari jenis, pola dan faktor penyebab
kegagalan bangunan yang diampaikan diatas, dapat
disimpulakan bahwa: (1) masyarakat sudah (sangat)
menguasai teknologi rumah berbahan lokal, karena
itu jenis rumah ini (rumah panggung dan rumah
regel) sangat sedikit emgalami kerusakan; (2)
Semakin banyak material modern masuk, semakin
rentan rumah tersebut; (3) Tranformasi teknologi
bangunan tidak/belum terjadi, sehingga pemahaman
dan penguasa masyarakat terhadap bahan bangunan
modern (paku, pasangan batu dan beton bertulang)
masih tergolong rendah.
Gambar-15 Pola Kerusakan pada rumah tembok (Alor
2004)
Gambar-16 Pola Kerusakan pada pada pertemuan ring
balok dengan kolom (Flores 1992)
b) Jenis dan Pola Kerusakan pada bangunan
type engineered structutes
Bangunan pemerintah, pertokoan dan
bangunan milik gereja secara umum dapat
dikelompokan ke dalam type bangunan yang
direncanakan dan atau dikerjakan oleh para ahli
bangunan (engineered structures), atau sekurang-
kurangnya mengalami sentuhan tenaga ahli
bangunan. Bangunan pemerintah umumnya
direncanan oleh konsultan perencana resmi dan
*)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012
**)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
7
dikerjakan oleh kontraktor resmi, serta diawasi olek
konsultan pengawan dan petugas teknis dari Dinas
Pekerjaan Umum. Bangunan milik swasta (pertokon)
umumnya direncanakan oleh ahli bangunan (badan
usaha atau perorang) namum umumya dikerjakan
oleh para tukang yang diawasi oleh pemilik (bukan
kontraktor). Sedangkan bangunan milik gereja
umumnya direncanakan oleh ahli bangunan dan
dikerjakan oleh orang/badan yang memiliki latar
belakang dibidang bangunan gedung (para Bruder).
Massa dan dimensi dari bangunan-bangunan
yang dibicarakan di sini umumnya relatip besar,
karena itu, gaya gempa yang bekerja pada bangunan
inipun jauh lebih besar dibandingkan dengan gaya
gempa yang bekerja pada bangunan-bangunan
perumahan rakyat (non-engineered structures).
Gbr-17 Sketsa denah bangunan Perpustakaan Ledalero
Walaupun mengalami perlakuan yang
berbeda antara sub-jenis bangunan, namun secara
umum jenis dan pola kerusakan pada bangunan
kelompok ini relatip sama. Jenis kerusakan yang
dominan adalah: (1) Kerusakan pada elemen
structural seperti pada elemen kolom, balok, dan join
kolom-balok; (2) Retak tidak terkendali pada bidang
tembok; (3) dan gagal join antara elemen struktur
bangunan dengan elemen-elemen non-struktur dari
bangunan. Foktor penyebab utama dari kegagalan ini
adalah: (1) Kelemahan konfigurasi bangunan, baik
karena bentuknya yang kompleks maupun karena tata
letak elemen struktur yang tidak terdistribusi secara
merata; (2) Kelemah pendetailan struktur beton
bertulang sperti kesalahan cara penyambungan
tulangan, loksi sambungan, jarak sengakan, detail
daerah join; (3) Ketidak sesuain anatara asusmsi atau
pemodelan pada fase disain dengan kenyataan fisik
konstruksi lapangan; (4) Kesalahan aplikasi system
struktur.
Contoh dari kelemahan konfigurasi adalah
pada kasus kegagalan bangunan Perpustakaan
Seminari Tinggi Ledalero, bangunan ini memiliki
konfigurasi yang kompleks karena menggabungkan
bangunan satu lantai dengan bangunan dua lantai
menjadi satu kesatuan, lihat gambar-17 dan gambar-
18.
Gbr-18 Kerusakan kolom lantai dasar Perpustakaan
Ledalero
Contah kasus kerusakan karena kelemahan
pendetailan struktur beton bertulang telihat pada
kegagalan pangkal kolom dari gedung SD Impres
pada gambar-19 dan kegagalan join kolom-balok
pada bangunan Asrama St Fransiskus Asisi Ledalero
gambar-20
Gbr-19 Gagal Geser pada pangkal kolom bangunan SD
Inpres Maumere
PERPUS (2 Lantai)AULA (1 Lantai)
LOKASI KOLOM
YANG MENGALAMI
KERUSAKAN PARAH
*)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012
**)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
8
Gbr-20 Gagal Geser pada join kolom-balok Asrama St.
Fransiskus Asisi Ledalero
Contoh kegagalan bangunan akibat
kelemahan aplikasi system struktur adapa seperti
yang diperlihatkan pada gambar-21 dan 22.
Gambar-21menunjukan rubuhnya lemari tanam
pada salah satu kantor pemerintah di kota
Maumere karena tidak sempurnanya system
penyatu (balok pengikat) yang menghubungkan
elemen lemari tanam dengan struktur utama.
Gbr-21 Gagal karena balok pengikat tidak direncanakan
secara baik
Gbr-22 Kerusakan pelat tangga dan kolom pemikul tangan,
karena join tangga yang monolit dengan struktur utama
Sedangka gamba 22 memperlihatkan kerusakan
pada pelat tangga dan kolom pemikul tangga,
karena elemen tangga disatukan dengan elemen
struktur utama, sehingga respon bangunan
menjadi sangat kompleks dan tidak terkontrol
secara baik pada fase perencanaan.
Kesalah asusmsi disain, terutama ditemukan
pada bangunan-bangunan yang dianggap sebagai
system rangka terbuka (open frame) ternyata dalam
praktek pembangunannya mengalami perubahan, di
mana dinding-dnding bangunan disatukan secara
monolit dengan elemen struktur (balok dan kolom).
Hal ini menyebabkan system struktur tersebu berubah
menjasi system dinding geser (shear wall), sedangkan
pembesian elemen struktur tersebut disain sebagai
elemen kolom dari rangka terbuka. Kegagalan
pangkal kolom pada bangunan SD Inpres Maumere,
gambar-19, selain Karen faktor pendetailan tulangan
juga karena berubah system struktur bangunan dari
rangka terbuka menjadi dinding geser. Kelemahan
pemodelan dalam fase disain juga terlihat pada
kegagalan geser pada ujung kolom yang
diperlihatkan gamba-23. Kolom ini gagal karena efek
kolom pendek (short column effect) yang terjadi
karena penempata boven yang tepat berada
disamping kolom tersebut.
Gbr-23 Gagal geser pada ujung balok karena efek kolom
pendek
4. Praktek Disain dan Pelaksanaan
Bangunan Tahan Gempa
Salah satu pertanyaan penting ketika kita
berbicara mengenai pengurangan resiko bencana,
khsusnya bencana gempa bumi adalah: apakah para
pelaku konstruksi bangunan (Arsitek, Ahli Struktur,
kontraktor, para tukang) telah memahami dan
menerapkan konsep bangunan tahan gempa secara
*)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012
**)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
9
konsisten pada setiap produk bangunan yang
ditanganinya. Pertanyaan ini hanya dapat dijawab
dengan baik melalui kajian atas produk-produk
perencanaan dan praktek pelaksanaan konstruksi
bangunan di lapangan oleh para pelaku konstruksi
bangunan tersebut di atas.
Untuk itu, dilakukan kompilasi terhadap
hasil penelitian lapangan yang telah dilakukan
Fakultas Teknik UMWIRA selama kurang lebi dua
dekade terakhir. Berikut ini disampaikan beberapa
hasil penting berkaitan kondisi bangunan pada saat
dievaluasi
a) Rumah Rakyat dari pasangan tembok
Umumnya “rumah rakyat” digolokan
sebagai type bangunan 'non engineered’ atau
bangunan yang didirikan tanpa intervensi tenaga ahli
bangunan baik pada tahab perencanaan maupun
pada tahab pelaksanaanya. Bangunan jenis ini
biasanya dikerjakan sesuai dengan kebiasaan
dan pengelaman yang bersifat turun-temurun.
Ferdinan Salmon Wolodiri (2001)
melakukan penelitian terhadap bangunan rumah
tinggal (yang sudah dihuni) masyarakat di kecamatan
Wolowaru Kabupaten Ende dengan topik penelitian:
“ Kajian sistem struktur Rumah Tembok di
Kecamatan Wolowaru Kabupaten Ende”. Dari
penelitian ini, Ferdinan Salmon Wologiri
menyimpulkan: (i) bangunan rumah tinggal
masyarakat di kecamatan Wolowaru umumnya
memiliki kofigurasi baik, yakni berbentuk persegi
dengan yang bervariasi antara 6 X 7 dan 7 X 9 meter
persegi; (ii) kelemahan terbesar dari konstruksi
bangunan yang ditelitih adalah terletak pada
pendetailan struktur, seperti: tidak sempurnanya
detail pertemuan kolom-balok, kolom-pondasi, join
dinding – kolom (tidak dipasang angkur), luas bidang
tembok yang terlampau besar, tidak adanya perkuatan
bukaan pintu dan jendela, tidak adanya system
pengikat antara rangka atap dengan ‘ring balok’.
Guido Frans Tafin Uskono (2010)
melakukan penelitian potret keamanan dan
keselamatan bangunan non-engineered di kota
Kupang dengan judul “ Kajian Mutu Konstruksi
Bangunan Non-Engineered di Kota Madya Kupang”.
Studi dilakukan terhadap bangunan yang sedang
dikerjakan (pada tahun 2009) di Kelurahan Penfui.
Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil
yang diberikan oleh Ferdinan Salmon Wologiri
(2001), di mana hasilnya adalah sebagai berikut: (i)
72.78% bangunan tidak menggunakan material
dengan mutu yang setara dengan ketentuan SNI 03-
2847-2002, di mana baik pasir, agregat kasar,
tulangan dan air, rata-rata tidak memenuhi syarat
yang ditetapkan; (ii) 97.92% sampel tidak
melakukan tata cara pengerjaan beton yang baik, baik
pada tahap pencampuran (komposisi campuran),
pengadukan, pengangkutan, pengecoran, pemadatan,
dan sampai pada tahap perawatan; (iii) 91.67%
sampel tidak mengaplikasikan atau mengerjakan
pendetailan konstruksi beton bertulang secara benar.
Rumah Rakyat dari konstruksi Regel (Rumah
Regel)
Rumah regel merupakan rumah dengan lay-
out rumah modern tetapi menggunakan bahan
local/tradisional. Di mana kostruksi utamanya dari
bahan local seperti bambu, kayu, kelapa, dan pinang,
sedangkan elemen dindingnya menggunakan bahan
local serta kombinasi antara bahan local dan
pasangan tembok (rumah setengah tembok). Rumah
type ini merupakan model transisi antara rumah
panggung dan rumah tembok.
Yehezekiel Ndun (2001), melalui penelitian
mengenenai system truktur rumah regel
menyimpulkan: (i) semua bangunan memiliki
konfigurasi yang baik; (ii) semua bangunan
menggunakan bahan yang ringan, sehingga gaya
inersia yang terjadi pada saat gempa tidak besar; (iii)
secara umum masyarakat cukup menguasai teknologi
rumaha regal walaupun belum sempurna; (iv)
kelemahan umumnya pada system struktur yang
diaplikasikan yang belum cukup konsisten, apakah
menggunakan system struktur truss atau system
struktur frame. Pada pertemuan kolom dan balok
misalnya, menggunakan system sambungan paku,
tetapi jumlah paku yang digunakan hanya satu
batang, sedangkan system struktur yang digunakan
cenderung ke arah system struktur frame, akibatnya
sifat frame tidak berfungsi optimal.
b) Rumah Panggung
Rumah panggung atau sering juga disebut
rumah kolong, karena rumah jenis ini memiliki
kolong dengan tinggi antara 0.5 (setengah) sapai
dengan 1.0 (satu h) meter. Bahan struktur yang
digunakan, semuanya dari bahan local.
Pius Suku Leu (2001) memlalui penelitian
dengan judul: “Kajian system Struktur Pada
Bangunan Non-Engineered – Rumah Panggung Lio,
di Kecamatan Wolowaru Kabupaten Ende”,
menyimpulkan bahwa: (i) bangunan ini memiliki
keunggulan dalam merespon gaya gempa karena 3
faktor utama yakni, konfigurasi bangunan sederhana,
menggunakan bahan local yang umumnya memiliki
berat volume yang relatip kecil, dan sebagian besar
system sambungan menggunakan pen, sehingga pada
*)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012
**)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
10
saat menerima beban gempa sambungan-sambungan
tersebut berfungsi sebagai tempat pemencaran energy
gempa. (ii) kelemahan sekaligus keunikan dari
bangunan ini adalah digunakan system pendel pada
struktur bawah (kaki) yang oleh masyarakat setempat
disebut le’ke-peso. Elemen pendel adalah elemen
struktur yang hanya dapat menerima gaya melalui
sumbu batang elemen pendel tersebut. Jadi sangat
labil. Aplikasi elemen pendel sebagai kaki kolom
hanya akan stabil sejauh resultante gaya-gaya yang
bekerja pada bangunan masih berada di dalam daerah
inti. Kelemahan ini ternyata dapat diatasi oleh para
ahli bangunan tradisional, bahkan ketika mengalamai
gempa kuat pada 12 Desember 1992 seperti yang
disampaikan oleh Rani Hendrikus (1993), Laporan
Kerusakan Bangunan masyarakat yang rusak akibat
gempa Flores 1992.
c) Evaluasi produk perencanaan bangunan
Tidak bertingkat
Markus Ndun (1999), dua tahun setelah
gempa Flores melakukan penelitian di Maumere
dengan mengambil topik: “Evaluasi Produk-Produk
Perencanaan Bangunan Tak Bertingkat Pasca Gempa
Flores 1992 di Kota Maumere”. Penelitian ini
menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: (i)
Gambar rencana yang di hasilkan oleh konsultan
perencana tidak lengkap atau tidak memadahi untuk
dijadikan panduan dalam pelaksanaan konstruksi
lapangan; (ii) Walaupu gempa Flores 1992 telah
menimbulkan kerusakan hebat di kota Maumere,
tetapi produk perencanan bangunan yang ada, belum
memenuhi ketentuan minimal yang diatur dalam
pedoman perencanaan bangunan tahan gempa, PPTI-
URG 1983; (iii) kesimpulan poin dua tersebut
diperkuata dengan adanya fakta bahwa bangunan-
bangunan tersebut pada dasarnya tidak memiliki
system struktur pemikul beban lateral, dengan kata
lain banguna tersebut hanya efektip untuk menerima
beban gravitasi (vertical); (iv) Kelemahan yang
menonjol dari produk perencanan tersebut adalah
minimnya informasi mengenai detail elemen struktur
dan detail pertemuan antara elemen struktur
bangunan seperti pada pertemauan kolom-balok,
kolom – pondasi, join kolom tembok, perkuatan
bukaan dan hubungan struktur badan dan struktur atap.
d) Evaluasi produk perencanaan bangunan
bertingkat
Tahun 1998 Lay Mau Yakobus malakukan
penelitian di kota Kupang dengan topik “Evaluasi
Gambar Perencanaan Bangunan Bertingkat di Kota
Madya Kupang, Ditinjau Dari Aspek Pendetailan
Bangunan Tahan Gempa”. Penelitian ini
dimaksudkan untuk menjawap pertanyaan: apakah
konsultan di NTT sudah mengaplikasikan standar
produk perencanaan sebagai mana yang diatur dalam
PPTI-UG 1983. Dari penelitian ini diperoleh
kesimpulan sebagai berikut: (i) Gambar-gambar
rencana yang dihasilkan oleh konsultan perencana
umumnya umumnya tidak memenuhi standar
minimal yang diperlukan untuk membantu kontraktor
menyiapkan Shop Dawing; (ii) 78.12% produk
gambar tidak menyajikan detail sengkang (tulangan
geser) seperti yang disyaratkan dalam PPTI-UG
1983, dan 95.75 % produk gambar tidak menyajikan
secara benar detail sengkang pada pangkal kolom,
seperti yang disyaratkan dalam PPTI-UG 1983; (iii)
panjang penyaluran di daerah kritis seperti pada
daerah join tidak digambarkan secara jelas; (iv) Tidak
disajikannya panduan detail penulangan, sehingga
tebal selimut beton, lokasi sambungan, jarak bersih
antara tulangan memanjang baik pada balok maupun
kolom, dan panjang sambungan lewat tidak memiliki
informasi yang jelas;
e) Evaluasi praktek pendetailan penulangan
di lapangan
Hedrik Bea Betan (1998) melakukan
penelitian di kota Kupang dengan judul: “Evaluasi
Pelaksanaan Pendetailan Tulangan di Lapangan pada
Bangunan Bertingkat di Kota Madya Kupang”.
Penelitian ini untuk mengetahui apakah kontaktor di
NTT, khususnya di Kota Madya Kupang sudah
mampu mengaplikasikan standar pendetailan
penulangan seperti yang diatu dalam PPTI-UG 1983.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah
sebagai berikut: (i) Umumnya kontraktor tidak begitu
memperhatikan (mengabaikan) pengaturan jarak
bersih antara tulangan memanjang, khusunya pada
elemen balok; (ii) 71.43 % kait standar pada
sengkang tidak memenuhi syarat; (iii) 85.7% selimut
beton baik pada elemen kolom dan balok tidak
memenuhi ketentuan; (iv) 75 % jarak sengkang pada
daerah pangkal kolom tidak memenuhi syarat. (v)
71% panjang penyaluran tidak memenuhi syarat.
5. Upaya Mitigasi di NTT
a) Gambaran umum
Suka atau tidak suka (dalam konteks NTT)
kita harus akui bahwa pemerintah sampai dengan saat
ini tetap merupah aktor kunci pelaksana mitigasi
bencana. Aktor-aktor lain seperti: LSM, Perguran
Tinggi, Media, masyarakat dan kelompok-kelompok
profesi lainnya adalah pelaku pendukung yang
perannya akan efektif (merubah kondisi) jika aktor
*)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012
**)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
11
utamanya memiliki fokus dan memberikan dukungan
nyata terhadap upaya-upaya mitigasi bencana.
Secara defakto, tindakan mitigasi bencana di
NTT telah berlangsung lama, walaupun masih
sebatas aktivitas proyek seperti, proyek pengendalian
banjir, pembangunan tanggul penahan abrasi pantai
dan lain-lain. Istilah mitigasi sendiri baru dikenal
luas di atas tahun 2000-an, khsusnya setelah bencana
gempa dan tsunami melanda Aceh pada tahun 2004.
Dan sejak saat itu pula banyak pihak mulai
membicarakannya secara intens tetang perlunya
integrasi program-program kebencanaan dalam
kegiatan pembangunan rutin/tahunan. Hal ini tampak
dalam program penyususunan tata ruang misalnya, di
mana kajian kebencanan menjadi salah satu aspek
penting yang harus di masukan. Namun harus diakui
juga bahwa kegiatan yang langsung menyentuh
elemen-elemen kunci di masyarakat dalam upaya
mitigasi bencana alam belum berkembang optimal.
Masalah utamanya terletak pada mindset pelaku
utama yang pada dasarnya belum cukup bergeser dari
pendekatan-pendekatan pembangunan lama (sektoral
dan project oriented), sehingga integrasi program
mitigasi ke dalam program pembangunan tahunan
belum berkembang sebagaimana yang diharapkan
banyak pihak.
Secara formal, di tingkat instansi
pemerintah, masalah mitigasi baru mendapat
perhatian khusus pada tahun 2009, dengan
dibentuknya Badan Penanggulangan Bencana
Daerah, di mana badan ini mulai secara sistematis
memikirkan dan merancang program-program yang
berkaitan dengan mitigasi bencana alam. Pada
periode sebelumnya kegiatan-kegiatan mitigasi
umumnya merupakan proyek pusat yang berlokasi di
NTT, seperti misalnya Penyusunan Peta Micro
Sismic kota Maumere (1994), Penyusunan Masukan
Teknis Keselamatan Bangunan Kota Maumere dan
Kota Kupang. Kedua proyek ini merupakan proyek
awal di bidang kebencanaan (gempa bumi) yang
beresifat antisipasif di propinsi NTT. Proyek ini juga
merupakan respons positip pemerintah terhadap
kejadian bencana gempa dan tsunami Flores tahun
1992.
Dilikungan perguruan tinggi, semagat dalam
mendorng program-program mitigasi bencana cukup
tinggi. Unwira misalnya memberi perhatian khusus
pada bidang mitigasi bencana alam, khsusnya
bencana gempa bumi, dengan menjadikan Mitigasi
Bencana sebagai salah satu mata kuliah wajib di
Jurusan Teknik Sipil sejak tahun 1996, dan
membentuk Pusat Mitigasi Bencana Alam yang
berkedudukan di Fakultas Teknik pada tahun yang
sama. Kosentrasi utama dari pusat Mitigasi Bencana
Alam Unwira adalah melakukan penelitian dan kajian
terhadap perilaku/kebiasaan membangun di
lingkungan masyarakat NTT. Kegiatan mitigasi
sekaligus pemberdayaan fenomenal dialami oleh
lembaga ini adalah kegiatan Rehabilitas Flores, pasca
Gempa Flores 1992 selama 5 tahun anatara tahun
1993-1998. Kegiatan inilah yang mejadi cikal-bakal
pendirian Pusat Mitigasi Bencana Alam Unwira
tahun 1996.
b) Pengelaman Lapangan
Pertanyaan menarik adalah: mengapa
walaupun begitu banyak kegiatan pemeintah, LSM
dan Perguruan Tinggi yang masuk ke tengah
masyaraka namun indikasi perubahan perilaku
mebangun ternyata belum menunjukan perubahan
berarti? Dalam berinteraksi dengan masyarakat
terutama para engineers dan para tukang, kami
mendaptkan beberapa hal yang dapat menjadi alasan:
- Rendahnya tingkat kesadaran dan
kewaspadaan terhadap ancaman gempa
bumi. Gempa bumi berbeda dengan banjir
atau tanah longsor misalnya yang frekuensi
kejaian sangat sering (tiap tahun). Periode
ulang gempa yang relati panjang antara 50
bahkan 100 tahun atau lebih, menyebabkan
kesadaran dan kewaspadaan terhadap
ancaman bencana menurun sesui dengan
berjalannya waktu, dan umumnya baru
meningkat lagi jika bencana sejenis muncul
kembali.
- Lemahnya penegakan aturan. Walaupun
Indonesia telah memiliki UU tentang
Bangunan Gedung dan Code yang canggih,
namun karena rendahnya penegakan hukum
(menerapkan aturan normative dan teknis
secara konsisten) menyebakkan aturan
normatif dan aturan teknis tersebut tidak
berjalan.
- Pada tingkat para tukang dan masyarakat
akar rumput, tidak berjalannya pedoman
teknis rumah tahan gempa yang diprakarsai
oleh pemerintah terutama karena pedoman
tersebut ditulis oleh “orang-sekolahan” dan
dengan cara pandang dan penafsiran
keadaan dan metode pelaksanaan lapangan
“orang-sekolahan”. Karena itu lebih cocok
dibaca dan dipahami oleh “orang-
sekolahan”. Gambar-gambar yang sangat
teknis dan detail yang rumit yang tidak
memperhatikan kesulitan yang dihadapi para
tukang/pekerja dilapangan semakin
*)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012
**)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
12
mempersulit aplikasi pedoman teknis
tersebut.
Dari pengelaman melakukan rehabilitasi
fisik di Flores (1993-1998) kami menyadari tiga hal
penting yakni: (1) Kesediaan untuk belajar dari
pengelaman masyarakat. Mempelajari teknologi
konstruksi bangunan yang masyaraka miliki dengan
saksama merupakan pitu masuk yang efektip untuk
merubah kebiasan membangun masyarakat. (2)
Jangan berusaha untuk merombak seluruhnya atau
memulai sesuatu yang seluruhnya baru. Mulailah
dari apa yang mereka miliki atau kuasai. Dengan
mempelajarai teknologi pelaksanaan konstruksi
bangunan yang masyarakat miliki, kita dapat
mengtahui kekuatan, kelemahan dan juga kesalahan-
kesalahan praktek konstruksi yang biasa mereka
lakukan. Selanjutanya kita cukup memperbaiki
cara/metode yang salah tersebut dengan cara yang
dipahami dari teknologi dan pengetahuan yang ada
saat ini. (3) Konsistensi. Harus konsiten dengan
aturan teknis yang sudah kita sepakati, jangan
permisif kerhadap kesalah.
6. Resume
Dari uraian yang disampaikan pada empat
sub-bab di atas dapat disimpulkan bahwa:
1) Ancaman bencana gempa bumi di wilayah
NTT tergolong sangat tinggi, terutama bila
dilihat dari peta wilayah gempa yang ada.
2) Ancam tertinggi bersumber dari gempa-
gempa yang ditimbukan oleh aktivitas
Flores Back Arc, Timor Back Arc dan
Sumba Fault.
3) Dari pengamatan terhadap pola kerusakan
bangunan akibat gempa bumi menunjukan
bahwa pemerintah dan para pelaku
konstruksi bangunan kurang memahami dan
tidak menjadikan peristiwa-peristiwa
bencana tersebut sebagai media belajar,
sehingga hasilnya adalah pola kerusakan
yang sama selalu berulang dari satu
peristiwa bencana gempa bumi ke peristiwa
gempa bumi yang lainnya.
4) Dari hasil penelitian praktek disain dan
pelaksanaan konstruksi bangunan di
lapangan terlihat bahwa, sebagian besar
pelaku konstruksi bangunan belum
memahami dengan baik konsep bangunan
tahan gempa.
5) Program-program mitigasi yang coba
disertakan dalam setiap program
pembangunan tahunan (APD dan APBN)
belum berjalan dengan baik. Pradigma lama
seperti project oriented dan pendekatan
sektoral menjadi hambatan utama. Dan
pemerintah sendiri walaupun sudah
menyadari dan berusaha mengatasinya,
namun belum cukup berhasil.
6) Resiko keruskan pada bangunan miliki
masyarakat atau rumah rakyat (non-
engineered structures) dan bangunan-
bangunan yang dirancan dan dilaksanakan
oleh ahli bangunan (milik pemerintah, gereja
dan milik swata lainnya) masih tetap tinggi.
7) Aktor kunci yang berkaitan erat dengan
keselamatan bangunan terhadap aksi beban
gempa seperti: Aparat Dinas PU, para ahli
bangunan yang merancang konstruksi
bangunan, para pemilik banguna, dan para
pelaksana seperti tukang dan kontraktor,
harus menjadi sasaran utama program
pengurangan resiko bencana gempa bumi.
Referensi
1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Benaca
2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28
tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 tentang
Bangunan Gedung
4) Pedoman Perencanaan Ketahanan Gempa
Untuk Rumah dan Gedung, Depertemen
Pekerjaan Umum 1983
5) Mansyhur Irsyam dkk; “Ringkasan Hasil Studi
Revisi Peta Gempa Indonesia Tahun 2010”;
Bandung Juli 2010
6) Rachmat Budiono dan Taryono Darusman;
“Penilaian Perkiraan Resiko Bencana
Kabupaten Sikka” Puter Foundation 2009
7) Swandojo siddiq; “Bangunan Tahan Gempa
Berbasi Standar Nasional Indonesia”;
8) Standar Nasional Indonesia; “Tata cara
perencanaan ketahanan gempa untuk bangunan
*)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012
**)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang
13
gedung, SNI 03-1726-2002”; Badan Standarisasi
NAsional Indonesia 2003
9) Standar Konstruksi Bangunan Indonesia;
“Pedoman perencanaan ketahanan gempa untuk
rumah dan gedung, SKBI-1.3.53.1987”; Yayasan
Badan Penerbitan PU, 1987
10) Rani Hendrikus dan A Richardson; “Pola
Kerusakan Bangunan Akibat Gempa, Studi
Kasus Gempa Pantar-Alor 26 November 1987”,
Fakultas Teknik UNWIRA, 1988
11) Rani Hendrikus, dkk; “Pola Kerusakan
Bangunan Akibat Gempa Flores 1992”
12) Rani Hendrikus, dkk; “Pola Kerusakan
Bangunan Akibat Gempa Alor 2004”
13) Yehezkiel Ndun; “Kajian Sistem Struktur Pada
Bangunan Regel Di Kecamatan Wolowaru
Kabupaten Ende”, Jurusan Teknik Sipil Unwira
(2001)
14) Markus Ndoen; “Evaluasi Produk Perencanaan
Bangunan Tidak Bertingkat Pasca Gempa
Flores Tahun 1992 Di Kota Maumere”; Jurusan
Teknik Sipil Unwira, (1999)
15) Hendrik Bean Betan; “Evaluasi Pelaksanaan
Pendetailan Tulangan Di Lapangan Pada
Bangunan Bertingkat Di Kota Madya Kupang”;
Jurusan Teknik Sipil Unwira (1999)
16) Ferdinan Salmon Wologiri; “ Kajian Sistem
Struktur Rumah Tembok Di Kecamatan Wolwaru
Kabupaten Ende”, Jurusan Teknik Sipil Unwira,
(2001)
17) Lay Mau Yakobus; “ Evaluasi Gambar-Gambar
Rencana Bangunan Bertingkat Di Kota
Kupang”; Jurusan Teknik Sipil Unwira (1998)

More Related Content

What's hot

Daerah rawan tsunami di indonesia
Daerah rawan tsunami di indonesiaDaerah rawan tsunami di indonesia
Daerah rawan tsunami di indonesiaNusantara Cimenyan
 
potensi geografis indonesia
potensi geografis indonesiapotensi geografis indonesia
potensi geografis indonesiaRahmi kamaruddin
 
Kondisi geografis
Kondisi geografisKondisi geografis
Kondisi geografisNasron Spd
 
kajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_opt
kajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_optkajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_opt
kajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_optTrisna Nurdiaman
 
Permen 26 2008 Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Ged...
Permen 26 2008 Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Ged...Permen 26 2008 Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Ged...
Permen 26 2008 Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Ged...Ido JH Simatupang
 
Geo_2010_1002226_riko arrasyid_letak indonesia (ppt).
Geo_2010_1002226_riko arrasyid_letak indonesia (ppt).Geo_2010_1002226_riko arrasyid_letak indonesia (ppt).
Geo_2010_1002226_riko arrasyid_letak indonesia (ppt).Riko Arrasyid
 
Letak Strategis Negara Indonesia
Letak Strategis Negara IndonesiaLetak Strategis Negara Indonesia
Letak Strategis Negara Indonesiafarsfyn19
 

What's hot (10)

Potensi Geografis Indonesia
Potensi Geografis IndonesiaPotensi Geografis Indonesia
Potensi Geografis Indonesia
 
Daerah rawan tsunami di indonesia
Daerah rawan tsunami di indonesiaDaerah rawan tsunami di indonesia
Daerah rawan tsunami di indonesia
 
potensi geografis indonesia
potensi geografis indonesiapotensi geografis indonesia
potensi geografis indonesia
 
Kondisi geografis
Kondisi geografisKondisi geografis
Kondisi geografis
 
Uu tambang
Uu tambangUu tambang
Uu tambang
 
kajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_opt
kajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_optkajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_opt
kajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_opt
 
Permen 26 2008 Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Ged...
Permen 26 2008 Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Ged...Permen 26 2008 Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Ged...
Permen 26 2008 Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Ged...
 
Geo_2010_1002226_riko arrasyid_letak indonesia (ppt).
Geo_2010_1002226_riko arrasyid_letak indonesia (ppt).Geo_2010_1002226_riko arrasyid_letak indonesia (ppt).
Geo_2010_1002226_riko arrasyid_letak indonesia (ppt).
 
Letak Strategis Negara Indonesia
Letak Strategis Negara IndonesiaLetak Strategis Negara Indonesia
Letak Strategis Negara Indonesia
 
Potensi Geografis Indonesia
Potensi Geografis IndonesiaPotensi Geografis Indonesia
Potensi Geografis Indonesia
 

Similar to PRBBK Gempa NTT

Draft peraturan gempa
Draft peraturan gempaDraft peraturan gempa
Draft peraturan gempaNufrizal H
 
Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2
Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2
Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2Febie Yandra
 
1905511071 petris pratama paratte rangkuman video
1905511071 petris pratama paratte rangkuman video1905511071 petris pratama paratte rangkuman video
1905511071 petris pratama paratte rangkuman videoPetrisPratama
 
Aspek kebencanaan,dampak dan antisipasinya pada bangunan gedung
Aspek kebencanaan,dampak dan antisipasinya pada bangunan gedungAspek kebencanaan,dampak dan antisipasinya pada bangunan gedung
Aspek kebencanaan,dampak dan antisipasinya pada bangunan gedungRani Hendrikus
 
Inspiring talk unpar by prof paulus pramono
Inspiring talk unpar by prof paulus pramonoInspiring talk unpar by prof paulus pramono
Inspiring talk unpar by prof paulus pramonojohannispiliang
 
Implikasi peraturan rsni3 03 1726 201x terhadap perencanaan struktur bangunan...
Implikasi peraturan rsni3 03 1726 201x terhadap perencanaan struktur bangunan...Implikasi peraturan rsni3 03 1726 201x terhadap perencanaan struktur bangunan...
Implikasi peraturan rsni3 03 1726 201x terhadap perencanaan struktur bangunan...Edi Supriyanto
 
Asrurifak workshop prb_gempa_its_19102017
Asrurifak workshop prb_gempa_its_19102017Asrurifak workshop prb_gempa_its_19102017
Asrurifak workshop prb_gempa_its_19102017Andi Juandi Manaf
 
Dampak Pembangunan Terhadap Struktur Tanah & Perubahan Iklim & Solusinya dal...
Dampak Pembangunan Terhadap  Struktur Tanah & Perubahan Iklim & Solusinya dal...Dampak Pembangunan Terhadap  Struktur Tanah & Perubahan Iklim & Solusinya dal...
Dampak Pembangunan Terhadap Struktur Tanah & Perubahan Iklim & Solusinya dal...Nikka Sasongko
 
Buku penggunaan peta gempa indonesia 2010 final
Buku penggunaan peta gempa indonesia 2010 finalBuku penggunaan peta gempa indonesia 2010 final
Buku penggunaan peta gempa indonesia 2010 finalLadang Tuhan
 
Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haz...
Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haz...Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haz...
Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haz...Perpus Maya
 
Amdal pembangunan-permukiman
Amdal pembangunan-permukimanAmdal pembangunan-permukiman
Amdal pembangunan-permukimanKurniawan Yusril
 
Sistem informasi geografis potensi bahaya gempa bumi
Sistem informasi geografis potensi bahaya gempa bumiSistem informasi geografis potensi bahaya gempa bumi
Sistem informasi geografis potensi bahaya gempa bumioilandgas24
 
Andrew hidayat perencanaan tataruang pesisir kota agung berbasis analsis risi...
Andrew hidayat perencanaan tataruang pesisir kota agung berbasis analsis risi...Andrew hidayat perencanaan tataruang pesisir kota agung berbasis analsis risi...
Andrew hidayat perencanaan tataruang pesisir kota agung berbasis analsis risi...Andrew Hidayat
 
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdfSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdfShintoRisma
 

Similar to PRBBK Gempa NTT (20)

Draft peraturan gempa
Draft peraturan gempaDraft peraturan gempa
Draft peraturan gempa
 
Revisi peta gempa
Revisi peta gempaRevisi peta gempa
Revisi peta gempa
 
Fisika bangunan-2
Fisika bangunan-2Fisika bangunan-2
Fisika bangunan-2
 
Fisika bangunan-1
Fisika bangunan-1Fisika bangunan-1
Fisika bangunan-1
 
Tugas bangunan la ode rahmat sukur
Tugas bangunan la ode rahmat sukurTugas bangunan la ode rahmat sukur
Tugas bangunan la ode rahmat sukur
 
Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2
Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2
Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2
 
1905511071 petris pratama paratte rangkuman video
1905511071 petris pratama paratte rangkuman video1905511071 petris pratama paratte rangkuman video
1905511071 petris pratama paratte rangkuman video
 
Aspek kebencanaan,dampak dan antisipasinya pada bangunan gedung
Aspek kebencanaan,dampak dan antisipasinya pada bangunan gedungAspek kebencanaan,dampak dan antisipasinya pada bangunan gedung
Aspek kebencanaan,dampak dan antisipasinya pada bangunan gedung
 
Inspiring talk unpar by prof paulus pramono
Inspiring talk unpar by prof paulus pramonoInspiring talk unpar by prof paulus pramono
Inspiring talk unpar by prof paulus pramono
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Implikasi peraturan rsni3 03 1726 201x terhadap perencanaan struktur bangunan...
Implikasi peraturan rsni3 03 1726 201x terhadap perencanaan struktur bangunan...Implikasi peraturan rsni3 03 1726 201x terhadap perencanaan struktur bangunan...
Implikasi peraturan rsni3 03 1726 201x terhadap perencanaan struktur bangunan...
 
5827
58275827
5827
 
Asrurifak workshop prb_gempa_its_19102017
Asrurifak workshop prb_gempa_its_19102017Asrurifak workshop prb_gempa_its_19102017
Asrurifak workshop prb_gempa_its_19102017
 
Dampak Pembangunan Terhadap Struktur Tanah & Perubahan Iklim & Solusinya dal...
Dampak Pembangunan Terhadap  Struktur Tanah & Perubahan Iklim & Solusinya dal...Dampak Pembangunan Terhadap  Struktur Tanah & Perubahan Iklim & Solusinya dal...
Dampak Pembangunan Terhadap Struktur Tanah & Perubahan Iklim & Solusinya dal...
 
Buku penggunaan peta gempa indonesia 2010 final
Buku penggunaan peta gempa indonesia 2010 finalBuku penggunaan peta gempa indonesia 2010 final
Buku penggunaan peta gempa indonesia 2010 final
 
Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haz...
Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haz...Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haz...
Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haz...
 
Amdal pembangunan-permukiman
Amdal pembangunan-permukimanAmdal pembangunan-permukiman
Amdal pembangunan-permukiman
 
Sistem informasi geografis potensi bahaya gempa bumi
Sistem informasi geografis potensi bahaya gempa bumiSistem informasi geografis potensi bahaya gempa bumi
Sistem informasi geografis potensi bahaya gempa bumi
 
Andrew hidayat perencanaan tataruang pesisir kota agung berbasis analsis risi...
Andrew hidayat perencanaan tataruang pesisir kota agung berbasis analsis risi...Andrew hidayat perencanaan tataruang pesisir kota agung berbasis analsis risi...
Andrew hidayat perencanaan tataruang pesisir kota agung berbasis analsis risi...
 
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdfSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
 

More from Rani Hendrikus

Studi Kasus Pola Benturan Bangunan Berdakan Pada Sistem Satu Deraja Kekebasan...
Studi Kasus Pola Benturan Bangunan Berdakan Pada Sistem Satu Deraja Kekebasan...Studi Kasus Pola Benturan Bangunan Berdakan Pada Sistem Satu Deraja Kekebasan...
Studi Kasus Pola Benturan Bangunan Berdakan Pada Sistem Satu Deraja Kekebasan...Rani Hendrikus
 
Bangunan Sekolah Tahan Gempa
Bangunan Sekolah Tahan GempaBangunan Sekolah Tahan Gempa
Bangunan Sekolah Tahan GempaRani Hendrikus
 
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapangan
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapanganCacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapangan
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapanganRani Hendrikus
 
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapangan
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapanganCacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapangan
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapanganRani Hendrikus
 
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapangan
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapanganCacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapangan
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapanganRani Hendrikus
 
Ductile reinforced concrete beam-column joints with alternative detailing
Ductile reinforced concrete beam-column joints with alternative detailingDuctile reinforced concrete beam-column joints with alternative detailing
Ductile reinforced concrete beam-column joints with alternative detailingRani Hendrikus
 

More from Rani Hendrikus (7)

Studi Kasus Pola Benturan Bangunan Berdakan Pada Sistem Satu Deraja Kekebasan...
Studi Kasus Pola Benturan Bangunan Berdakan Pada Sistem Satu Deraja Kekebasan...Studi Kasus Pola Benturan Bangunan Berdakan Pada Sistem Satu Deraja Kekebasan...
Studi Kasus Pola Benturan Bangunan Berdakan Pada Sistem Satu Deraja Kekebasan...
 
Panjang penyaluran
Panjang penyaluranPanjang penyaluran
Panjang penyaluran
 
Bangunan Sekolah Tahan Gempa
Bangunan Sekolah Tahan GempaBangunan Sekolah Tahan Gempa
Bangunan Sekolah Tahan Gempa
 
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapangan
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapanganCacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapangan
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapangan
 
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapangan
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapanganCacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapangan
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapangan
 
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapangan
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapanganCacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapangan
Cacat perencanaan yang berdampak pada mutu konstruksi lapangan
 
Ductile reinforced concrete beam-column joints with alternative detailing
Ductile reinforced concrete beam-column joints with alternative detailingDuctile reinforced concrete beam-column joints with alternative detailing
Ductile reinforced concrete beam-column joints with alternative detailing
 

Recently uploaded

MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++FujiAdam
 
10.-Programable-Logic-Controller (1).ppt
10.-Programable-Logic-Controller (1).ppt10.-Programable-Logic-Controller (1).ppt
10.-Programable-Logic-Controller (1).ppttaniaalda710
 
MODUL AJAR PENGANTAR SURVEY PEMETAAN.pdf
MODUL AJAR PENGANTAR SURVEY PEMETAAN.pdfMODUL AJAR PENGANTAR SURVEY PEMETAAN.pdf
MODUL AJAR PENGANTAR SURVEY PEMETAAN.pdfihsan386426
 
Metode numerik Bidang Teknik Sipil perencanaan.pdf
Metode numerik Bidang Teknik Sipil perencanaan.pdfMetode numerik Bidang Teknik Sipil perencanaan.pdf
Metode numerik Bidang Teknik Sipil perencanaan.pdfArvinThamsir1
 
4. GWTJWRYJJJJJJJJJJJJJJJJJJWJSNJYSRR.pdf
4. GWTJWRYJJJJJJJJJJJJJJJJJJWJSNJYSRR.pdf4. GWTJWRYJJJJJJJJJJJJJJJJJJWJSNJYSRR.pdf
4. GWTJWRYJJJJJJJJJJJJJJJJJJWJSNJYSRR.pdfAnonymous6yIobha8QY
 
Strategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di IndonesiaStrategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di IndonesiaRenaYunita2
 
TEKNIS TES TULIS REKRUTMEN PAMSIMAS 2024.pdf
TEKNIS TES TULIS REKRUTMEN PAMSIMAS 2024.pdfTEKNIS TES TULIS REKRUTMEN PAMSIMAS 2024.pdf
TEKNIS TES TULIS REKRUTMEN PAMSIMAS 2024.pdfYogiCahyoPurnomo
 
Manual Desain Perkerasan jalan 2017 FINAL.pptx
Manual Desain Perkerasan jalan 2017 FINAL.pptxManual Desain Perkerasan jalan 2017 FINAL.pptx
Manual Desain Perkerasan jalan 2017 FINAL.pptxRemigius1984
 

Recently uploaded (8)

MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
 
10.-Programable-Logic-Controller (1).ppt
10.-Programable-Logic-Controller (1).ppt10.-Programable-Logic-Controller (1).ppt
10.-Programable-Logic-Controller (1).ppt
 
MODUL AJAR PENGANTAR SURVEY PEMETAAN.pdf
MODUL AJAR PENGANTAR SURVEY PEMETAAN.pdfMODUL AJAR PENGANTAR SURVEY PEMETAAN.pdf
MODUL AJAR PENGANTAR SURVEY PEMETAAN.pdf
 
Metode numerik Bidang Teknik Sipil perencanaan.pdf
Metode numerik Bidang Teknik Sipil perencanaan.pdfMetode numerik Bidang Teknik Sipil perencanaan.pdf
Metode numerik Bidang Teknik Sipil perencanaan.pdf
 
4. GWTJWRYJJJJJJJJJJJJJJJJJJWJSNJYSRR.pdf
4. GWTJWRYJJJJJJJJJJJJJJJJJJWJSNJYSRR.pdf4. GWTJWRYJJJJJJJJJJJJJJJJJJWJSNJYSRR.pdf
4. GWTJWRYJJJJJJJJJJJJJJJJJJWJSNJYSRR.pdf
 
Strategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di IndonesiaStrategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
 
TEKNIS TES TULIS REKRUTMEN PAMSIMAS 2024.pdf
TEKNIS TES TULIS REKRUTMEN PAMSIMAS 2024.pdfTEKNIS TES TULIS REKRUTMEN PAMSIMAS 2024.pdf
TEKNIS TES TULIS REKRUTMEN PAMSIMAS 2024.pdf
 
Manual Desain Perkerasan jalan 2017 FINAL.pptx
Manual Desain Perkerasan jalan 2017 FINAL.pptxManual Desain Perkerasan jalan 2017 FINAL.pptx
Manual Desain Perkerasan jalan 2017 FINAL.pptx
 

PRBBK Gempa NTT

  • 1. *)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012 **)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang 1 PENGURANGAN RESIKO BENCANA GEMPA BUMI BERBASI KOMUNITAS DI WILAYAH PROPINSI NTT, ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN*) Rani Hendrikus**) Abstrak Tiga laporan kerusakan bangunan akibat gempa di NTT dan lima hasil studi dari Pusat Mitigasi Becana Alam UNWIRA, khususnya yang berkaitan dengan praktek perencanan dan praktek pembangunan bangunan beton bertulang di NTT, serta pengelaman praktek profesi sebagai ahli struktur menjadi sumber utama tulisan ini. Dari pengelaman atas kerusakan bangunan diwilayah NTT dapat disimpulkan bahwa, (1) pola kerusakan dan fator penyebabanya tidak banyak berubah dari satu kejadian gempa ke kejadian gempa yang lainnya; (2) Bangunan-bangunan yang dikelompokan sebagai “bangunan/rumah rakyat” (non-engineered structures) merupakan bangunan yang paling rentan terhadap ancaman bencana gempa bumi; (3) Kerusakan yang terjadi pada banguan pemerintah umumnya disebabkan oleh tidak sempurnanya pendetailan struktur. Sedangkan dari hasil pengamatan terhadap praktek perencanan dan praktek pelaksanaan pembangunan di lapangan diperoleh kesimpulan bahwa: (1) Kebiasan membangun masyarakat tidak mengalami perubahan baik dalam hal pengendalian mutu bahan (pada saat pelaksanaan) maupun dalam hal penerapan konstruksi bangunan tanah gempa; (2) Gambar-gambar kerja yang dihasilkan tidak sepenuhnya memenuhi standar gambar kerja minimal untuk dijadikan pedoman kerja kontraktor; (3) praktek pendetailan konstruksi bangunan khusunya bangunan beton bertulang, umumnya tidak memenuhi standar yang berlaku; (4) Intervensi pemerintah melalui proyek, baik berupa proyek fisik maupun sosialisasi bangunan tahan gempa kurang memberikan hasil nyata dalam meningkatkan keamanan dan keselamatan bangunan terhadap aksi beban gempa. Dari pengelaman praktek profesi dapat disimpulkan bahwa, pendekatan kategorial yakni melalui kelompok- kelompok profesi seperti para engineer, kontraktor/pembangun, dan para tukang, serta penguatan regulasi lebih efektif dalam merubah perilaku membangun para pelaku pembangunan dibanding dengan cara-cara sosialisasi yang biasa diterapkan pemerintah saat ini. Kata Kunci: pola kerusakan bangunan, praktek perencanaan, pelaksanaan lapangan, kebiasaan membangun, bangunan rakyat, ruma regel 1. Pendahuluan Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK), menjadi kebutuhan terutama ketika kita menyadari bahwa pendekatan tradisional, melalui jalur birokrasi dan proyek yang umumnya berseifat rekatip kurang membuahkan hasil yang maksimal. Secara akademis kesadaran ini telah berkembang sejak decade 80-an, sejalan dengan berkembangan isu pengurangan bencana alam serta isu pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia isu ini baru mendapatkan momentum yang berarti ketika negeri ini mengalami kejadian bencana beruntun pada tahun awal tahun 2000-an, seperti gempa Nabire, gempa Jogya dan Gempa Aceh pada tahun 2004. Peristiwa-peristiwa ini mendorong lahirnya UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam undang-undang inilah penanggulangan bencana yang bersifat antisipatif dan berorientasi pada penguatan sendi-sendi masyarakat mendapat pijakannya.
  • 2. *)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012 **)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang 2 Dalam konteks bencana gempa bumi, kesadran normatif telah muncul sejak akhir tahun 1970-an, yakni dengan dibentuknya Tim Penyusunan Peraturan Gempa Indonesia yang terdiri dari ahli-ahli dari New Zealand dan ahli-ahli dari Inonesia, dan menghasilkan Peraturan Gempa Indonesia 1983 yang dikenal dengan Tata Cara Perancanaan Ketahanan Gempa Untuk Rumah dan Gedung 1983. Setelah kurang lebih 20 tahun bejalan, tepatnya tahun 2002, Indonesia dengan kekuatan sendiri melakukan revisi peraturan gempa, disesuikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang tengah berkembang serta disesuikan pemahaman ahli-ahli Indonesia terhadap kondisi seimisitas wilayah Indonesia yang semaikin baik. Peraturan gempa ini dikenal dengan SNI 03- 1726-2003. Pada tahun yang sama juga Indonesia menerbitkan peraturan beton bertulang Indonesia (SNI 03-2847-2002) yang sejalan dengan peraturan gempa tersebut. Adanya peritiwa gempa yang terjadi diawal dan pertengahan tahun 2000-an menyadarkan parah ahli bangunan/gempa Indonesia untuk melakukan revisi atas peta gempa Indonesia yang termuat dalam SNI 03-1726-2002. Hasilnya adalah berupa Peta Hazar Gempa Indonesia 2010. Sejak ditebitkanan peraturan gempa 1983 sesunggunya Indonesia sudah masuk dalam state of the arth dari proses disain bangunan tahan gempa. Namun harus diakui sejarah kegagalan bangunan yang terjadi pada decade 90-an sampai dengan saat ini menunjukan bahwa peraturan (soft ware) yang dianggap canggih tersebut, belum cukup memberikan perlindaungan terhadap keamanan keselamatan bangunan. Mengapa hal ini terjadi?. Salah satu faktornya adalah lambannya penerapan peraturan- peraturan disain bangunan dilapangan. Fakta inilah yang mendorong pemerintah melalui Depertemen Pekerjaan Umum untuk memfasilitasi penyususnan Perda Bangunan Gedung di propinsi-propinsi dan Kabupaten seluruh Indonesia. Dengan harapan, melalui perda, pemerintah daerah baik pada tingkat propnsi maupun kabupaten dan kota dapat mengendalikan seluruh proses pembangunan infra struktur di wilayahnya masing-masing. Salah satu komponen penting dari perda bangunan gedung tesebut adal mengatur keterlibatan dan juga sekaligus pemberdayaan masyarakat dalam mencapai tujuan, yakni mendapatkan bangunan yang aman, nyaman dan fungsional. Sampai dengan tahun 2012, di NTT, belum ada kabupaten dan kota yang memiliki Perda Bangunan Gedung. Kaluapun ada perda bangunan gedung, umumnya masih sebatas pengaturan tentang ijin mendirikan bangunan. Hal-hal spesifik menyangkut pengendalian pembangunan dalam rangka mendapatkan kepastian keamanan belum diatur secara khusus. Dan tentunya juga, pengaturan tentang keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat dalam mengurangan resiko kegagalan bangunan akibat gempa bumi belum memiliki pijakan yang pasti. 2. Seimisitas Wialayah Wilayah Indonesia merupakan tempat pertemuan tiga lempeng benua dan satu lempeng kepualauan yakni, Lempeng Eurasia, Lempeng Indian-Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Philipina. Karena itu intensitas gempa di Indonesia tergolong tinggi di mana 8% dari gempa-gempa dunia terjadi di wilayah ini. Sama seperti kebanyakan wilayah di Indonesia lainnya, propinsi NTT juga tergolong daerah rawan gempa, karena sisi selatan propinsi NTT merupakan daerah pertemuan antara lempeng Eurasia dan lempang India-Australia, lihat gambar-01. Tingginya intensita gempa di NTT dapat dilihat melaui gambar-02, yang memperlihatkan distribusi pusat gempa yang terjadi antara tahun 1900 sampai dengan tahun 2007. Gambar-01 Peta Tektotik Kepulauan di Indonesia Gambar-02 Distribusi pusat gempa di NTT, 1900-2007 (Sumber: SUGS) Secara umum aktivitas gempa di wilayah NTT dipicuh oleh aktivta geologi yang terjadi papa Flores Trough , Timor Trough, Flores Back Arc, Timor Back Arc dan Sumba Fault. Flores Trouh
  • 3. *)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012 **)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang 3 Timor Trough memiliki kecenderung pergerakan ke arah utara masing-masing sebesar 16 dan 15mm/tahun. Sedangkan Flore Back Arc dan Timor Back arc memiliki kecenderungan pergerakan kearah selatan masing-masing sebesar 28 dan 29mm/tahun, lihat gambar-03 . Gambar-3 Pola Patahan yang mempengaruhi gempa di Wilayah Administrasi Propinsi NTT Sebagai daerah rawan gempa, wialayah ini sudah beberapa kali mengalami gempa besar yang bersifat destruktif. Dari catatan sejara sekurang- kurannya 7 kejadian gempa besar yang terjadi di wilayah ini, seperyi yang diperlifatkan dalam gambar-04. Gempa-gempa tersebut, terutama gempa- gempa yang terjadi diatas tahun 1970-an, telah menimbulkan kerusakan yang besar pada infrastruktur wilayah, temasuk perumahan milik masyarakat. Tingkat kerusakannya sejalan dengan perkembangan investasi pemerintah dan masyaraka pada prasaran fisik, seperti jalan, jembatan, jaringan irigasi, perkantoran dan perumahan. Gambar-04 Data gempa kuat yang menimbulkan kerusakan di Indonesia (1800-2004) Irsyam Mansyhur dkk dalam laporan mengenai Hasil Studi Revisi Peta Gempa Indonesia 2010 memperkirakan bahwa, pada Flores Back Arc Timor Back Arc, dan Sumba Fault dalam jangka panjang berpeluang terjadi gempa dengan kekuatan masing-masing dengan magnetudo M 7.8, M 7.5. dan M 8.3. Gempa dengan magnetudo sebesar ini berpotensi menimbulkan kerusakan, baik karena akibat gucangan tanah maupun karena tsunami. Intensitas gempa di wilayah NTT secara kuatitatip dapat dilihat memlaui peta gempa Inonesia, baik peta gempa 1983, 2002 maupu peta gempa terakhir yang dikeluarkan pada tahun 2010, seperti yang ditunjukan dalam gambar 05, 06 dan 07. Pata peta gempa 1983, wilayah NTT masuk dalam Zona Gempa-2 dan Zona Gempa-3, yakni zona gemp tertinggi kedua di Inonesia. Dalam peta gempa tahun 2002, NTT masuk dalam Zona Gempa 5 dan 6 (Zona 6 adalah zona tertinggi), di mana mayoritas wilayah NTT masuk dalam zona-5 kecuali Sumba Barat masuk dalam zona-6. Sedangkan dalam peta gempa terakhir (2010), tidak lagi dilakukan penetapan zona sebagaimana yang diatur dalam peta gempa sebelumnya, namun ditunjukan peta respon spectra percepatan pada bataun dasar masing-masing untuk T= 0.2 det dan 1 detik. Dalam peta inipun Sebagian besar wilayah NTT masuk dalam wilayah dengan resiko gempa tinggi seperti yang ditunjukan dalam gambar-07 Gambaran informasi di atas, secara jelas memperlihtkan bahwa propinsi NTT tergolong daerah dengan resiko gempa tinggi. Daerah demikian membutuhkan perhatian khusus dari seluruh elemen terkait, terutama untuk memastikan bahwa bangunan- bangunan yang ada memiliki ketahanan yang memadahi terhadap ancaman gempa bumi. Peta Percepatan Gempa Maksimum Indonesia dalam PPTI-UG 1983 Gambar -05 Peta Wilayah Gempa Indonesia menurut SKBI-1.3.53, 1987.
  • 4. *)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012 **)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang 4 Peta Percepatan Gempa Maksimum Indonesia di Batuan Dasar SNI 03-1726-2002 Gambar-06 Peta Wilayah Gempa berdasarkan SNI 03- 1726-2002 Peta Hazard Gempa Indonesia di Batuan Dasar pada T-0.2 det (PE 2% untuk umur bangunan 50 tahun) Gambar 07 Peta Wilayah Gempa Indonesia tahun 2010 3. Pengelaman dari Kegagalan Bangunan Akibat Gempa Kegagalan bangunan akan diamati melalui data kerusakan bangunan yang terjadi pada gempa Pantar 1987, gempa Flores 1992 dan gempa Alor 2004). Dari data kerusakan yang terjadi, pertanyaan menarik yang perlu dijawab adalah“apakah kita telah belajar sesuatu dari peristiwa kegagalan tersebu?”. Pertanyaan ini menjadi penting ketika kita menyadari bahwa jenis dan pola kerusakan bangunan tidak berubah secara signifikan dari suatu kejadian gempa ke kejadian gempa lainnya. a) Jenis dan Pola Kerusakan pada bangunan “rumah-rakyat” (non-engineered structures) Type rumah rakyat yang ada di Pantar, Flores dan Alor, secara umum relatip sama, yakni terdiri dari rumah regel (rangka kayu ) dengan dinding pengisi material lokal seperti bambu cincang/bambu anyam, rumah regel dengan dinding pengisih pasangan batu, rumah tembok tanpa rangka beton bertulang, rumah tembok dengan rangka beton bertulang, dan rumah panggung dari bahan local (ditemukan di kabupaten Ende,Sikka, Sabu dan Sumba), lihat gambar-09, 10, dan 11. Dari ke-lima type rumah rakyat tersebut, rumah panggung dan rumah regel dengan dinding pengisih dari bahan local merupakan bangunan yang sangat kecil mengalami kerusakan, sedangkan rumah tembok tanpa maupun dengan rangka beton bertulang merupakan jenis rumah yang paling banyak mengalami kerusakan. Gbr-08 Konstruksi kaki rumah panggung Kerusakan pada rumah panggung umumnya terjadi berupa pergeseran pada pertemuan antara kaki bangunan (le’ke dalam bahasa local Lio) dengan bangunan atasnya. Sebagian besar system sambungan pada rumah panggung tidak menggunakan paku, joinnya umumnya bersifat sendi yang gampang berputar/bergeser ketika ada beban, namun dapat kembali atau didorong ke posisi semula ketika kerja beban berhenti, lihat gambar-08. Sedangkan pada rumah regel dengan dinding pengisi dari bahan lokal, keruskan kecil umumnya terjadi pada sambung- sambungan balok/kolom. Sambungan sambungan ini menggunakan paku, tetapi jumlah dan posisi paku tidak diletakan dengan tepat sehingga sifat joinnya tidak pasti, apakah jepit atau sendi. Disini terlihat, ketika masyarat mengaplikasi bahan modern (paku) mereka belum/tidak memiliki informasi/pengetahuan bagaimana menggunakan bahan bangunan modern tersebut.
  • 5. *)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012 **)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang 5 Pada rumah regel dengan dinding pengisi dari pasangan batu, kerusakan umumnya terjadi berupa, lepanya dinding dari rangka kayu (regel), dan lepas dan pecah/patah daerah sambungan, ligat gamba-12 . Lepasnya tembok dari rangka disebabkan karena tidak adanya ikatan atau angkur antara pasangan dan rangka. Sedangkan pecah/patah daerah join disebabkan karena massa bangunan meningkat (berat tembok), sementara itu system join tetap sama seperti pada rumah regel dengan dinding pengisi dari bahan local (ringan). Gbr-09 Rumah regel dengan dinding pengisi bahan local Rumah tembok tanpa rangka beton bertulang, umumnya rumah-rumah tuah peninggal jaman Belanda, atau ramah masyarakat yang dibangun sebelum bahan baja (tulangan baja) di pasarkan secara luas ditengah masyarakat. Jenis rumah ini umumnya berdinding tebal ( 1 batu sampai 1-1/2 batu). Kerusakan bangunan ini umumnya bersifat getas dan fatal. Kerusakan pada rumah-rumah peninggal Belanda umumnya terjadi karena usia dan kurangnya perawatan sehingga terjadi pelapukan (degradasi mutu) pada pasangan tembok, lihat gambar-13. Sedangkan pada rumah-rumah yang dibangun masyarakat, kerusakan terjadi dikarenakan rendahnya mutu pasangan (spesi) seingga ikatan antara spesi dang batu mudah lepas. Gbr-10 Rumah regel dengan dinding pasangan batu Gbr-11 Rumah Panggung (Rumah adat) Rumah tembok dengan rangka beton bertulang merupakan jenis rumah yang paling banyak ditemukan di ketiga lokasi bencana. Umumnya rumah-rumah tersebut di bangun di atas tahun 80-an. Dilihat dari usia bangunan (10 – 15 tahun), rumah- rumah ini masih tergolong muda, namun karena kelemahan system dan mutu konstruksi, sehingga rumah jenis ini banyak mengalami kerusakan. Jenis keruskan yang umumnya ditemui antara lain: Retak tidak terkendali pada bidang tembok dan gagal join, baik pada join kolom dengan ring-balok, maupun pada join kolom dengan pondasi, lihat gambar-14,15 dan 16. Faktor yang menyebakan keruskan tersebut adalah: luas bidang tembok yang terlampau besar, join anatara kolom balok yang tidak tepat, jumlah dan dimensi tulangan yang tidak memenuhi standar, jarak sengkang yang terlampau besar dan tidak adanya angker antara kolom dengan tembok.
  • 6. *)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012 **)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang 6 Gbr-12 Pola Kerusakan pada rumah regel diisi pasangan batu (Alor 2004) Gbr-13 Kerusakan bangunan rumah tanpa rangka beton bertulang (Flores 1992) Gbr-14 Pola Kerusakan pada rumah tembok (Pantar 1987) Dari jenis, pola dan faktor penyebab kegagalan bangunan yang diampaikan diatas, dapat disimpulakan bahwa: (1) masyarakat sudah (sangat) menguasai teknologi rumah berbahan lokal, karena itu jenis rumah ini (rumah panggung dan rumah regel) sangat sedikit emgalami kerusakan; (2) Semakin banyak material modern masuk, semakin rentan rumah tersebut; (3) Tranformasi teknologi bangunan tidak/belum terjadi, sehingga pemahaman dan penguasa masyarakat terhadap bahan bangunan modern (paku, pasangan batu dan beton bertulang) masih tergolong rendah. Gambar-15 Pola Kerusakan pada rumah tembok (Alor 2004) Gambar-16 Pola Kerusakan pada pada pertemuan ring balok dengan kolom (Flores 1992) b) Jenis dan Pola Kerusakan pada bangunan type engineered structutes Bangunan pemerintah, pertokoan dan bangunan milik gereja secara umum dapat dikelompokan ke dalam type bangunan yang direncanakan dan atau dikerjakan oleh para ahli bangunan (engineered structures), atau sekurang- kurangnya mengalami sentuhan tenaga ahli bangunan. Bangunan pemerintah umumnya direncanan oleh konsultan perencana resmi dan
  • 7. *)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012 **)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang 7 dikerjakan oleh kontraktor resmi, serta diawasi olek konsultan pengawan dan petugas teknis dari Dinas Pekerjaan Umum. Bangunan milik swasta (pertokon) umumnya direncanakan oleh ahli bangunan (badan usaha atau perorang) namum umumya dikerjakan oleh para tukang yang diawasi oleh pemilik (bukan kontraktor). Sedangkan bangunan milik gereja umumnya direncanakan oleh ahli bangunan dan dikerjakan oleh orang/badan yang memiliki latar belakang dibidang bangunan gedung (para Bruder). Massa dan dimensi dari bangunan-bangunan yang dibicarakan di sini umumnya relatip besar, karena itu, gaya gempa yang bekerja pada bangunan inipun jauh lebih besar dibandingkan dengan gaya gempa yang bekerja pada bangunan-bangunan perumahan rakyat (non-engineered structures). Gbr-17 Sketsa denah bangunan Perpustakaan Ledalero Walaupun mengalami perlakuan yang berbeda antara sub-jenis bangunan, namun secara umum jenis dan pola kerusakan pada bangunan kelompok ini relatip sama. Jenis kerusakan yang dominan adalah: (1) Kerusakan pada elemen structural seperti pada elemen kolom, balok, dan join kolom-balok; (2) Retak tidak terkendali pada bidang tembok; (3) dan gagal join antara elemen struktur bangunan dengan elemen-elemen non-struktur dari bangunan. Foktor penyebab utama dari kegagalan ini adalah: (1) Kelemahan konfigurasi bangunan, baik karena bentuknya yang kompleks maupun karena tata letak elemen struktur yang tidak terdistribusi secara merata; (2) Kelemah pendetailan struktur beton bertulang sperti kesalahan cara penyambungan tulangan, loksi sambungan, jarak sengakan, detail daerah join; (3) Ketidak sesuain anatara asusmsi atau pemodelan pada fase disain dengan kenyataan fisik konstruksi lapangan; (4) Kesalahan aplikasi system struktur. Contoh dari kelemahan konfigurasi adalah pada kasus kegagalan bangunan Perpustakaan Seminari Tinggi Ledalero, bangunan ini memiliki konfigurasi yang kompleks karena menggabungkan bangunan satu lantai dengan bangunan dua lantai menjadi satu kesatuan, lihat gambar-17 dan gambar- 18. Gbr-18 Kerusakan kolom lantai dasar Perpustakaan Ledalero Contah kasus kerusakan karena kelemahan pendetailan struktur beton bertulang telihat pada kegagalan pangkal kolom dari gedung SD Impres pada gambar-19 dan kegagalan join kolom-balok pada bangunan Asrama St Fransiskus Asisi Ledalero gambar-20 Gbr-19 Gagal Geser pada pangkal kolom bangunan SD Inpres Maumere PERPUS (2 Lantai)AULA (1 Lantai) LOKASI KOLOM YANG MENGALAMI KERUSAKAN PARAH
  • 8. *)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012 **)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang 8 Gbr-20 Gagal Geser pada join kolom-balok Asrama St. Fransiskus Asisi Ledalero Contoh kegagalan bangunan akibat kelemahan aplikasi system struktur adapa seperti yang diperlihatkan pada gambar-21 dan 22. Gambar-21menunjukan rubuhnya lemari tanam pada salah satu kantor pemerintah di kota Maumere karena tidak sempurnanya system penyatu (balok pengikat) yang menghubungkan elemen lemari tanam dengan struktur utama. Gbr-21 Gagal karena balok pengikat tidak direncanakan secara baik Gbr-22 Kerusakan pelat tangga dan kolom pemikul tangan, karena join tangga yang monolit dengan struktur utama Sedangka gamba 22 memperlihatkan kerusakan pada pelat tangga dan kolom pemikul tangga, karena elemen tangga disatukan dengan elemen struktur utama, sehingga respon bangunan menjadi sangat kompleks dan tidak terkontrol secara baik pada fase perencanaan. Kesalah asusmsi disain, terutama ditemukan pada bangunan-bangunan yang dianggap sebagai system rangka terbuka (open frame) ternyata dalam praktek pembangunannya mengalami perubahan, di mana dinding-dnding bangunan disatukan secara monolit dengan elemen struktur (balok dan kolom). Hal ini menyebabkan system struktur tersebu berubah menjasi system dinding geser (shear wall), sedangkan pembesian elemen struktur tersebut disain sebagai elemen kolom dari rangka terbuka. Kegagalan pangkal kolom pada bangunan SD Inpres Maumere, gambar-19, selain Karen faktor pendetailan tulangan juga karena berubah system struktur bangunan dari rangka terbuka menjadi dinding geser. Kelemahan pemodelan dalam fase disain juga terlihat pada kegagalan geser pada ujung kolom yang diperlihatkan gamba-23. Kolom ini gagal karena efek kolom pendek (short column effect) yang terjadi karena penempata boven yang tepat berada disamping kolom tersebut. Gbr-23 Gagal geser pada ujung balok karena efek kolom pendek 4. Praktek Disain dan Pelaksanaan Bangunan Tahan Gempa Salah satu pertanyaan penting ketika kita berbicara mengenai pengurangan resiko bencana, khsusnya bencana gempa bumi adalah: apakah para pelaku konstruksi bangunan (Arsitek, Ahli Struktur, kontraktor, para tukang) telah memahami dan menerapkan konsep bangunan tahan gempa secara
  • 9. *)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012 **)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang 9 konsisten pada setiap produk bangunan yang ditanganinya. Pertanyaan ini hanya dapat dijawab dengan baik melalui kajian atas produk-produk perencanaan dan praktek pelaksanaan konstruksi bangunan di lapangan oleh para pelaku konstruksi bangunan tersebut di atas. Untuk itu, dilakukan kompilasi terhadap hasil penelitian lapangan yang telah dilakukan Fakultas Teknik UMWIRA selama kurang lebi dua dekade terakhir. Berikut ini disampaikan beberapa hasil penting berkaitan kondisi bangunan pada saat dievaluasi a) Rumah Rakyat dari pasangan tembok Umumnya “rumah rakyat” digolokan sebagai type bangunan 'non engineered’ atau bangunan yang didirikan tanpa intervensi tenaga ahli bangunan baik pada tahab perencanaan maupun pada tahab pelaksanaanya. Bangunan jenis ini biasanya dikerjakan sesuai dengan kebiasaan dan pengelaman yang bersifat turun-temurun. Ferdinan Salmon Wolodiri (2001) melakukan penelitian terhadap bangunan rumah tinggal (yang sudah dihuni) masyarakat di kecamatan Wolowaru Kabupaten Ende dengan topik penelitian: “ Kajian sistem struktur Rumah Tembok di Kecamatan Wolowaru Kabupaten Ende”. Dari penelitian ini, Ferdinan Salmon Wologiri menyimpulkan: (i) bangunan rumah tinggal masyarakat di kecamatan Wolowaru umumnya memiliki kofigurasi baik, yakni berbentuk persegi dengan yang bervariasi antara 6 X 7 dan 7 X 9 meter persegi; (ii) kelemahan terbesar dari konstruksi bangunan yang ditelitih adalah terletak pada pendetailan struktur, seperti: tidak sempurnanya detail pertemuan kolom-balok, kolom-pondasi, join dinding – kolom (tidak dipasang angkur), luas bidang tembok yang terlampau besar, tidak adanya perkuatan bukaan pintu dan jendela, tidak adanya system pengikat antara rangka atap dengan ‘ring balok’. Guido Frans Tafin Uskono (2010) melakukan penelitian potret keamanan dan keselamatan bangunan non-engineered di kota Kupang dengan judul “ Kajian Mutu Konstruksi Bangunan Non-Engineered di Kota Madya Kupang”. Studi dilakukan terhadap bangunan yang sedang dikerjakan (pada tahun 2009) di Kelurahan Penfui. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diberikan oleh Ferdinan Salmon Wologiri (2001), di mana hasilnya adalah sebagai berikut: (i) 72.78% bangunan tidak menggunakan material dengan mutu yang setara dengan ketentuan SNI 03- 2847-2002, di mana baik pasir, agregat kasar, tulangan dan air, rata-rata tidak memenuhi syarat yang ditetapkan; (ii) 97.92% sampel tidak melakukan tata cara pengerjaan beton yang baik, baik pada tahap pencampuran (komposisi campuran), pengadukan, pengangkutan, pengecoran, pemadatan, dan sampai pada tahap perawatan; (iii) 91.67% sampel tidak mengaplikasikan atau mengerjakan pendetailan konstruksi beton bertulang secara benar. Rumah Rakyat dari konstruksi Regel (Rumah Regel) Rumah regel merupakan rumah dengan lay- out rumah modern tetapi menggunakan bahan local/tradisional. Di mana kostruksi utamanya dari bahan local seperti bambu, kayu, kelapa, dan pinang, sedangkan elemen dindingnya menggunakan bahan local serta kombinasi antara bahan local dan pasangan tembok (rumah setengah tembok). Rumah type ini merupakan model transisi antara rumah panggung dan rumah tembok. Yehezekiel Ndun (2001), melalui penelitian mengenenai system truktur rumah regel menyimpulkan: (i) semua bangunan memiliki konfigurasi yang baik; (ii) semua bangunan menggunakan bahan yang ringan, sehingga gaya inersia yang terjadi pada saat gempa tidak besar; (iii) secara umum masyarakat cukup menguasai teknologi rumaha regal walaupun belum sempurna; (iv) kelemahan umumnya pada system struktur yang diaplikasikan yang belum cukup konsisten, apakah menggunakan system struktur truss atau system struktur frame. Pada pertemuan kolom dan balok misalnya, menggunakan system sambungan paku, tetapi jumlah paku yang digunakan hanya satu batang, sedangkan system struktur yang digunakan cenderung ke arah system struktur frame, akibatnya sifat frame tidak berfungsi optimal. b) Rumah Panggung Rumah panggung atau sering juga disebut rumah kolong, karena rumah jenis ini memiliki kolong dengan tinggi antara 0.5 (setengah) sapai dengan 1.0 (satu h) meter. Bahan struktur yang digunakan, semuanya dari bahan local. Pius Suku Leu (2001) memlalui penelitian dengan judul: “Kajian system Struktur Pada Bangunan Non-Engineered – Rumah Panggung Lio, di Kecamatan Wolowaru Kabupaten Ende”, menyimpulkan bahwa: (i) bangunan ini memiliki keunggulan dalam merespon gaya gempa karena 3 faktor utama yakni, konfigurasi bangunan sederhana, menggunakan bahan local yang umumnya memiliki berat volume yang relatip kecil, dan sebagian besar system sambungan menggunakan pen, sehingga pada
  • 10. *)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012 **)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang 10 saat menerima beban gempa sambungan-sambungan tersebut berfungsi sebagai tempat pemencaran energy gempa. (ii) kelemahan sekaligus keunikan dari bangunan ini adalah digunakan system pendel pada struktur bawah (kaki) yang oleh masyarakat setempat disebut le’ke-peso. Elemen pendel adalah elemen struktur yang hanya dapat menerima gaya melalui sumbu batang elemen pendel tersebut. Jadi sangat labil. Aplikasi elemen pendel sebagai kaki kolom hanya akan stabil sejauh resultante gaya-gaya yang bekerja pada bangunan masih berada di dalam daerah inti. Kelemahan ini ternyata dapat diatasi oleh para ahli bangunan tradisional, bahkan ketika mengalamai gempa kuat pada 12 Desember 1992 seperti yang disampaikan oleh Rani Hendrikus (1993), Laporan Kerusakan Bangunan masyarakat yang rusak akibat gempa Flores 1992. c) Evaluasi produk perencanaan bangunan Tidak bertingkat Markus Ndun (1999), dua tahun setelah gempa Flores melakukan penelitian di Maumere dengan mengambil topik: “Evaluasi Produk-Produk Perencanaan Bangunan Tak Bertingkat Pasca Gempa Flores 1992 di Kota Maumere”. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: (i) Gambar rencana yang di hasilkan oleh konsultan perencana tidak lengkap atau tidak memadahi untuk dijadikan panduan dalam pelaksanaan konstruksi lapangan; (ii) Walaupu gempa Flores 1992 telah menimbulkan kerusakan hebat di kota Maumere, tetapi produk perencanan bangunan yang ada, belum memenuhi ketentuan minimal yang diatur dalam pedoman perencanaan bangunan tahan gempa, PPTI- URG 1983; (iii) kesimpulan poin dua tersebut diperkuata dengan adanya fakta bahwa bangunan- bangunan tersebut pada dasarnya tidak memiliki system struktur pemikul beban lateral, dengan kata lain banguna tersebut hanya efektip untuk menerima beban gravitasi (vertical); (iv) Kelemahan yang menonjol dari produk perencanan tersebut adalah minimnya informasi mengenai detail elemen struktur dan detail pertemuan antara elemen struktur bangunan seperti pada pertemauan kolom-balok, kolom – pondasi, join kolom tembok, perkuatan bukaan dan hubungan struktur badan dan struktur atap. d) Evaluasi produk perencanaan bangunan bertingkat Tahun 1998 Lay Mau Yakobus malakukan penelitian di kota Kupang dengan topik “Evaluasi Gambar Perencanaan Bangunan Bertingkat di Kota Madya Kupang, Ditinjau Dari Aspek Pendetailan Bangunan Tahan Gempa”. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawap pertanyaan: apakah konsultan di NTT sudah mengaplikasikan standar produk perencanaan sebagai mana yang diatur dalam PPTI-UG 1983. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (i) Gambar-gambar rencana yang dihasilkan oleh konsultan perencana umumnya umumnya tidak memenuhi standar minimal yang diperlukan untuk membantu kontraktor menyiapkan Shop Dawing; (ii) 78.12% produk gambar tidak menyajikan detail sengkang (tulangan geser) seperti yang disyaratkan dalam PPTI-UG 1983, dan 95.75 % produk gambar tidak menyajikan secara benar detail sengkang pada pangkal kolom, seperti yang disyaratkan dalam PPTI-UG 1983; (iii) panjang penyaluran di daerah kritis seperti pada daerah join tidak digambarkan secara jelas; (iv) Tidak disajikannya panduan detail penulangan, sehingga tebal selimut beton, lokasi sambungan, jarak bersih antara tulangan memanjang baik pada balok maupun kolom, dan panjang sambungan lewat tidak memiliki informasi yang jelas; e) Evaluasi praktek pendetailan penulangan di lapangan Hedrik Bea Betan (1998) melakukan penelitian di kota Kupang dengan judul: “Evaluasi Pelaksanaan Pendetailan Tulangan di Lapangan pada Bangunan Bertingkat di Kota Madya Kupang”. Penelitian ini untuk mengetahui apakah kontaktor di NTT, khususnya di Kota Madya Kupang sudah mampu mengaplikasikan standar pendetailan penulangan seperti yang diatu dalam PPTI-UG 1983. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (i) Umumnya kontraktor tidak begitu memperhatikan (mengabaikan) pengaturan jarak bersih antara tulangan memanjang, khusunya pada elemen balok; (ii) 71.43 % kait standar pada sengkang tidak memenuhi syarat; (iii) 85.7% selimut beton baik pada elemen kolom dan balok tidak memenuhi ketentuan; (iv) 75 % jarak sengkang pada daerah pangkal kolom tidak memenuhi syarat. (v) 71% panjang penyaluran tidak memenuhi syarat. 5. Upaya Mitigasi di NTT a) Gambaran umum Suka atau tidak suka (dalam konteks NTT) kita harus akui bahwa pemerintah sampai dengan saat ini tetap merupah aktor kunci pelaksana mitigasi bencana. Aktor-aktor lain seperti: LSM, Perguran Tinggi, Media, masyarakat dan kelompok-kelompok profesi lainnya adalah pelaku pendukung yang perannya akan efektif (merubah kondisi) jika aktor
  • 11. *)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012 **)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang 11 utamanya memiliki fokus dan memberikan dukungan nyata terhadap upaya-upaya mitigasi bencana. Secara defakto, tindakan mitigasi bencana di NTT telah berlangsung lama, walaupun masih sebatas aktivitas proyek seperti, proyek pengendalian banjir, pembangunan tanggul penahan abrasi pantai dan lain-lain. Istilah mitigasi sendiri baru dikenal luas di atas tahun 2000-an, khsusnya setelah bencana gempa dan tsunami melanda Aceh pada tahun 2004. Dan sejak saat itu pula banyak pihak mulai membicarakannya secara intens tetang perlunya integrasi program-program kebencanaan dalam kegiatan pembangunan rutin/tahunan. Hal ini tampak dalam program penyususunan tata ruang misalnya, di mana kajian kebencanan menjadi salah satu aspek penting yang harus di masukan. Namun harus diakui juga bahwa kegiatan yang langsung menyentuh elemen-elemen kunci di masyarakat dalam upaya mitigasi bencana alam belum berkembang optimal. Masalah utamanya terletak pada mindset pelaku utama yang pada dasarnya belum cukup bergeser dari pendekatan-pendekatan pembangunan lama (sektoral dan project oriented), sehingga integrasi program mitigasi ke dalam program pembangunan tahunan belum berkembang sebagaimana yang diharapkan banyak pihak. Secara formal, di tingkat instansi pemerintah, masalah mitigasi baru mendapat perhatian khusus pada tahun 2009, dengan dibentuknya Badan Penanggulangan Bencana Daerah, di mana badan ini mulai secara sistematis memikirkan dan merancang program-program yang berkaitan dengan mitigasi bencana alam. Pada periode sebelumnya kegiatan-kegiatan mitigasi umumnya merupakan proyek pusat yang berlokasi di NTT, seperti misalnya Penyusunan Peta Micro Sismic kota Maumere (1994), Penyusunan Masukan Teknis Keselamatan Bangunan Kota Maumere dan Kota Kupang. Kedua proyek ini merupakan proyek awal di bidang kebencanaan (gempa bumi) yang beresifat antisipasif di propinsi NTT. Proyek ini juga merupakan respons positip pemerintah terhadap kejadian bencana gempa dan tsunami Flores tahun 1992. Dilikungan perguruan tinggi, semagat dalam mendorng program-program mitigasi bencana cukup tinggi. Unwira misalnya memberi perhatian khusus pada bidang mitigasi bencana alam, khsusnya bencana gempa bumi, dengan menjadikan Mitigasi Bencana sebagai salah satu mata kuliah wajib di Jurusan Teknik Sipil sejak tahun 1996, dan membentuk Pusat Mitigasi Bencana Alam yang berkedudukan di Fakultas Teknik pada tahun yang sama. Kosentrasi utama dari pusat Mitigasi Bencana Alam Unwira adalah melakukan penelitian dan kajian terhadap perilaku/kebiasaan membangun di lingkungan masyarakat NTT. Kegiatan mitigasi sekaligus pemberdayaan fenomenal dialami oleh lembaga ini adalah kegiatan Rehabilitas Flores, pasca Gempa Flores 1992 selama 5 tahun anatara tahun 1993-1998. Kegiatan inilah yang mejadi cikal-bakal pendirian Pusat Mitigasi Bencana Alam Unwira tahun 1996. b) Pengelaman Lapangan Pertanyaan menarik adalah: mengapa walaupun begitu banyak kegiatan pemeintah, LSM dan Perguruan Tinggi yang masuk ke tengah masyaraka namun indikasi perubahan perilaku mebangun ternyata belum menunjukan perubahan berarti? Dalam berinteraksi dengan masyarakat terutama para engineers dan para tukang, kami mendaptkan beberapa hal yang dapat menjadi alasan: - Rendahnya tingkat kesadaran dan kewaspadaan terhadap ancaman gempa bumi. Gempa bumi berbeda dengan banjir atau tanah longsor misalnya yang frekuensi kejaian sangat sering (tiap tahun). Periode ulang gempa yang relati panjang antara 50 bahkan 100 tahun atau lebih, menyebabkan kesadaran dan kewaspadaan terhadap ancaman bencana menurun sesui dengan berjalannya waktu, dan umumnya baru meningkat lagi jika bencana sejenis muncul kembali. - Lemahnya penegakan aturan. Walaupun Indonesia telah memiliki UU tentang Bangunan Gedung dan Code yang canggih, namun karena rendahnya penegakan hukum (menerapkan aturan normative dan teknis secara konsisten) menyebakkan aturan normatif dan aturan teknis tersebut tidak berjalan. - Pada tingkat para tukang dan masyarakat akar rumput, tidak berjalannya pedoman teknis rumah tahan gempa yang diprakarsai oleh pemerintah terutama karena pedoman tersebut ditulis oleh “orang-sekolahan” dan dengan cara pandang dan penafsiran keadaan dan metode pelaksanaan lapangan “orang-sekolahan”. Karena itu lebih cocok dibaca dan dipahami oleh “orang- sekolahan”. Gambar-gambar yang sangat teknis dan detail yang rumit yang tidak memperhatikan kesulitan yang dihadapi para tukang/pekerja dilapangan semakin
  • 12. *)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012 **)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang 12 mempersulit aplikasi pedoman teknis tersebut. Dari pengelaman melakukan rehabilitasi fisik di Flores (1993-1998) kami menyadari tiga hal penting yakni: (1) Kesediaan untuk belajar dari pengelaman masyarakat. Mempelajari teknologi konstruksi bangunan yang masyaraka miliki dengan saksama merupakan pitu masuk yang efektip untuk merubah kebiasan membangun masyarakat. (2) Jangan berusaha untuk merombak seluruhnya atau memulai sesuatu yang seluruhnya baru. Mulailah dari apa yang mereka miliki atau kuasai. Dengan mempelajarai teknologi pelaksanaan konstruksi bangunan yang masyarakat miliki, kita dapat mengtahui kekuatan, kelemahan dan juga kesalahan- kesalahan praktek konstruksi yang biasa mereka lakukan. Selanjutanya kita cukup memperbaiki cara/metode yang salah tersebut dengan cara yang dipahami dari teknologi dan pengetahuan yang ada saat ini. (3) Konsistensi. Harus konsiten dengan aturan teknis yang sudah kita sepakati, jangan permisif kerhadap kesalah. 6. Resume Dari uraian yang disampaikan pada empat sub-bab di atas dapat disimpulkan bahwa: 1) Ancaman bencana gempa bumi di wilayah NTT tergolong sangat tinggi, terutama bila dilihat dari peta wilayah gempa yang ada. 2) Ancam tertinggi bersumber dari gempa- gempa yang ditimbukan oleh aktivitas Flores Back Arc, Timor Back Arc dan Sumba Fault. 3) Dari pengamatan terhadap pola kerusakan bangunan akibat gempa bumi menunjukan bahwa pemerintah dan para pelaku konstruksi bangunan kurang memahami dan tidak menjadikan peristiwa-peristiwa bencana tersebut sebagai media belajar, sehingga hasilnya adalah pola kerusakan yang sama selalu berulang dari satu peristiwa bencana gempa bumi ke peristiwa gempa bumi yang lainnya. 4) Dari hasil penelitian praktek disain dan pelaksanaan konstruksi bangunan di lapangan terlihat bahwa, sebagian besar pelaku konstruksi bangunan belum memahami dengan baik konsep bangunan tahan gempa. 5) Program-program mitigasi yang coba disertakan dalam setiap program pembangunan tahunan (APD dan APBN) belum berjalan dengan baik. Pradigma lama seperti project oriented dan pendekatan sektoral menjadi hambatan utama. Dan pemerintah sendiri walaupun sudah menyadari dan berusaha mengatasinya, namun belum cukup berhasil. 6) Resiko keruskan pada bangunan miliki masyarakat atau rumah rakyat (non- engineered structures) dan bangunan- bangunan yang dirancan dan dilaksanakan oleh ahli bangunan (milik pemerintah, gereja dan milik swata lainnya) masih tetap tinggi. 7) Aktor kunci yang berkaitan erat dengan keselamatan bangunan terhadap aksi beban gempa seperti: Aparat Dinas PU, para ahli bangunan yang merancang konstruksi bangunan, para pemilik banguna, dan para pelaksana seperti tukang dan kontraktor, harus menjadi sasaran utama program pengurangan resiko bencana gempa bumi. Referensi 1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Benaca 2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung 3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 tentang Bangunan Gedung 4) Pedoman Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Rumah dan Gedung, Depertemen Pekerjaan Umum 1983 5) Mansyhur Irsyam dkk; “Ringkasan Hasil Studi Revisi Peta Gempa Indonesia Tahun 2010”; Bandung Juli 2010 6) Rachmat Budiono dan Taryono Darusman; “Penilaian Perkiraan Resiko Bencana Kabupaten Sikka” Puter Foundation 2009 7) Swandojo siddiq; “Bangunan Tahan Gempa Berbasi Standar Nasional Indonesia”; 8) Standar Nasional Indonesia; “Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk bangunan
  • 13. *)Disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Resiko Bencana Berbasis Komunitas, NTT 5-8 September 2012 **)Staf Dosen Jurusan Teknik Sipil UNWIRA Kupang 13 gedung, SNI 03-1726-2002”; Badan Standarisasi NAsional Indonesia 2003 9) Standar Konstruksi Bangunan Indonesia; “Pedoman perencanaan ketahanan gempa untuk rumah dan gedung, SKBI-1.3.53.1987”; Yayasan Badan Penerbitan PU, 1987 10) Rani Hendrikus dan A Richardson; “Pola Kerusakan Bangunan Akibat Gempa, Studi Kasus Gempa Pantar-Alor 26 November 1987”, Fakultas Teknik UNWIRA, 1988 11) Rani Hendrikus, dkk; “Pola Kerusakan Bangunan Akibat Gempa Flores 1992” 12) Rani Hendrikus, dkk; “Pola Kerusakan Bangunan Akibat Gempa Alor 2004” 13) Yehezkiel Ndun; “Kajian Sistem Struktur Pada Bangunan Regel Di Kecamatan Wolowaru Kabupaten Ende”, Jurusan Teknik Sipil Unwira (2001) 14) Markus Ndoen; “Evaluasi Produk Perencanaan Bangunan Tidak Bertingkat Pasca Gempa Flores Tahun 1992 Di Kota Maumere”; Jurusan Teknik Sipil Unwira, (1999) 15) Hendrik Bean Betan; “Evaluasi Pelaksanaan Pendetailan Tulangan Di Lapangan Pada Bangunan Bertingkat Di Kota Madya Kupang”; Jurusan Teknik Sipil Unwira (1999) 16) Ferdinan Salmon Wologiri; “ Kajian Sistem Struktur Rumah Tembok Di Kecamatan Wolwaru Kabupaten Ende”, Jurusan Teknik Sipil Unwira, (2001) 17) Lay Mau Yakobus; “ Evaluasi Gambar-Gambar Rencana Bangunan Bertingkat Di Kota Kupang”; Jurusan Teknik Sipil Unwira (1998)