1. Laki-laki pemalu
Kukkuruyuuuuk, . . . .
Alarm hpku menderung sangat keras di seantero bilik kamar istanaku yang
sengaja aku setel seperti suara kokok ayam jantan yang sangat perkasa. Aku
berusaha untuk membangunkan badan 65 kg ini dari jerat malas yang
membelenggunya. ku coba merayapkan tanganku ke arah meja cermin yang
berdiri tegak samar-samar di depanku, karna seingatku semalam aku letakkan di
sana.
Braaakk, terdengar seperti barang jatuh tidak jauh dariku. Tersentak
matuku melek dan aku langsung berdiri meraba dinding saklar lampu kamarku.
saat lampu mulai menerangi kamurku, bagian demi bagian hpku berhamburan di
atas lantai. “terjadi lagi dehh, kfhuuu..”.
Dengan tubuh yang masih sempoyongan, aku coba mengumpulkan kembali
bagian demi bagian hpku yang berhaburan di lantai dan mencoba memasangnya
kembali sambil ku kumpulkan juga kesadaranku. Tak lama berselang, terdengar
suara ibu dan suara pintu kamar di ketuk. Setiap pagi-pagi buta seperti ini ibu
pasti membangunkanku untuk shalat subuh.
Hari ini ayah rencana ingin mengajakku keluar jalan-jalan sekalianmencari
tempat service jam tangan. Dua hari yang lalu saat ayah pulang kerja dia di guyur
oleh hujan yang sangat lebat. Karna kondisi jalan yang bergelombang sehingga
tidak memungkinkan ayah untuk tancap gas secepat kilat melawan hujan yang
menikam tubuh atletisnya itu. Akhirnya ayah jadi korban lebatnya hujan malam
itu, jam tangan ayah juga bukan jam tangan mahal yang di pesan dan cuman ada
satu di dunia. Jam tangan ayah itu pemberian dari sepupunya yang baru pulang
dari tanah suci, oleh-oleh begitu. Malamnya aku masih sempat melihat ayah
mengelap jam tangannya yang mengkilat-kilat karna genanngan air di kacanya
dan pantulan cahaya lampu 15 watt yang tergantung di ruang keluarga, namun
paginya aku tidak melihat lagi jam tangannya itu melekat di tangannya.
Sekitar jam delapan lewat kami berangkat meninggalkan rumah dan
menuju arah luar kota. Aku berfikir mungkin kita mau pergi belanja pakaian
seragamsekolahbaru di tempat kenalannnya ayah. Karna tahu ini aku baru tamat
SMP dan rencana ingin lanjut di SMK. Aku juga sudah sampaikan itu kepada
kedua orang tuaku dan di setujui asal bisa jaga diri. Rencana aku ingin masuk
SMK yang mengajarkan siswanya semua tentang yang namanya komputer.
Di SMP temanku banyak yang salut denganku karna cepat memahami
pelajarankomputer. Setiapada tugas mengetik di sekolah pasti teman-teman mau
satu kelompok dengan aku. Dengan usia kami yang masih seusia anak jagung ini,
takut utak atik barang bagus yang harganya mahal. Kami juga kalau bukan
pelajarankomputer di sekolah pasti tidak kenal yang namanya komputer. Warnet
masih susah mana tidak ada uang. lengkaplah sudah penderitaan kami dengan
yang namanya komputer itu.
Semakin jauh motor berjalan aku semakin gelisah berfikir, kira-kira Ayah
mau pergi kemana. perasaan toko penjual pakaian seragam kenalannya itu sudah
lewat. Baru aku sadar ketika Ayah berhenti pas di depan toko jam tangan. Dalam
hati aku tertawa mengetawai diriku sendiri.Ternyata Ayah mencari tempat service
jam tangan. Tak lama kami menunggu, jam tangan Ayah akhirnya sudah berfungsi
kembali. Ternyata cuman baterainya yang di ganti, Bukan masalah hujan deras
yang mengguyur Ayah malam itu tapi karna memang baterainya yang sudah mau
di ganti.
Ayah langsung memakai jam tangannya kembali dan kami lanjut perjalanan
kembali. Aku fikir setelah ini kami pulang ke rumah, tapi Ayah langsung
melanjutkanperjalanannya Aku pun segan bertanya untuk hal seperti itu. Sekitar
2. 10 menit berjalanaku makin gunda duduk di atas motor dan tiba-tiba Ayah belok
masuk ke subuah jalan yang ujungnya terlihat sebuah pintu gerbang besar
perkiraanku sekitar dua mobil trek bisa lewat berpapasan.
Di depan pintu kerbang itu ada seorang laki-laki yang duduk di atas
motornya seperti lagi menunggu seseorang, Ayah berhenti di sampingnya dan
bertanya “apakah pendaftarannya sudah dibuka??” aku langsung kaget tersentak
mendengar pertanyaan Ayah yang secara spontan itu, sampai aku menghiraukan
jawaban dari orang itu dan pertanyaan Ayahku selanjutnya. Apakah ini sekolah
yang Ayah maksud, apakah aku tidak salah bicara dengan Ayah tentang
keinginanku masuk SMK, Aku merasa ini tidak bagus. Kemudian Ayah
menjalankan kembali motor dan masuk menembus pintu gerbang yang berdiri
kokoh ini. Aku lihat sekeliling, ternyata tempat ini cukup bagus, walau begitu
jatungku semakin berdebar dengan kencang dan tiba-tiba Ayah berhenti di depan
sebuah bangunan yang nampaknya seperti kantor. Ku coba untuk rileks sedikit
kemudian turun dari motor. Dan Ayah pun menyuruh aku untuk masuk ruangan
itu yang lebih mirip seperti mulut ular yang siap untuk memangsaku.
Aku termasuk laki-laki yang pemalu, jadi wajarlah kalau aku agak
berlebihan mengatasi masalah yang menurut sebagian orang ini biasa hal yang
biasa saja. Aku terdiam sejenak dan mencoba mngumpulkan keberanianku sedikit
demi sedikit kemudian berjalan memasuki mulut ular yang di gambarkan oleh
imajinasiku ini.
Di dalam ruangan itu aku melihat ada dua ruangan lain yang masih tembus
dari ruangan ini. Di sebelah kiriku berbaris dua buah meja yang di rapatkan dan
tampak seorang wanita yang sepertinya guru di sini sedang asyik dengan pe nanya.
Tiba-tiba dia mengankat kepalanya dan menatapku dengan sedikit senyum ia buat
yang aku rasa hanya untukku. “siswa baru ya, mau ambil formulir??” sapanya,
dengan masih ragu terdengar suara Ayah dari belakangku “mau ambil formulir bu’,.
.!!” aku pun terdiam dan hanya melemparkan balik senyum kepada ibu guru itu
yang prediksiku usianya sekiar 35 tahun.
Aku pun di persilahkan duduk di kursi yang ada di depanku dan di berikan
selembar kertas yang nampaknya seperti spesifikasi keunggulan sekolah ini.
“SMDP Negeri Makassar” nampaknya itu nama sekolah ini. Aku pun tercengan
saat melihat gambar kegiatan-kegiatan di sekolah yang masih banyak belum
pernah aku lihat sebelumnya, aku masih belum bisa mengerti semua ini sama
seperti aku belum bisa terima kalau aku harus melanjutkan pndidikan di tempat
yang bukan aku inginkan.
Setelah mengambil formulir pendaftaran dan membayar biaya
administrasinya Aku dan Ayah langsung kembali ke rumah. Sepanjang jalan
pulang gerutu terus ku lontarkan dalam hati, semuanya tentang mengapa,
mengapa dan mengapa. Mengapa Aku terus dalam krangkeng Orang Tua. Selalu di
selimuti rasa takut yang mendalam terhadap Ayah, mengapa.
Ayahku sangat tegas dan bertanggu jawab terhadap keluarganya. Tatapan
matanya yang tajam seakan siap menerkam semua masalah yang terjadi dalam
keluarga kecil ini. Dengan ketakutanku yang melebihi tingginya gunung Lompo
Battang membuatku terperangkap dalam dunia yang telah Aku buat sendiri.