Dyah Balitung adalah raja Kerajaan Medang yang memerintah sekitar tahun 899-911. Ia berhasil naik takhta setelah menikahi putri raja sebelumnya dan menaklukkan dua pemimpin pemberontak. Pada masa pemerintahannya, ibu kota kerajaan dipindahkan dan dikeluarkannya beberapa prasasti. Akan tetapi, pemerintahannya berakhir akibat pemberontakan Mpu Daksa, putra raja sebelumnya,
1. Dyah Balitung
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu adalah raja
Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang
memerintah sekitar tahun 899–911. Wilayah kekuasaannya mencakup Jawa Tengah, Jawa
Timur, bahkan Bali.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Asal-Usul
2 Riwayat Pemerintahan
3 Akhir Pemerintahan
4 Kepustakaan
[sunting] Asal-Usul
Analisis para sejarawan, misalnya Boechari atau Poerbatjaraka, menyebutkan bahwa Dyah
Balitung berhasil naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Kemungkinan besar raja
tersebut adalah Rakai Watuhumalang yang menurut prasasti Mantyasih memerintah sebelum
Balitung.
Mungkin alasan Dyah Balitung bisa naik takhta bukan hanya itu, mengingat raja sebelumnya
ternyata juga memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap). Alasan lain yang
menunjang ialah keadaan Kerajaan Medang sepeninggal Rakai Kayuwangi mengalami
perpecahan, yaitu dengan ditemukannya prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai
Gurunwangi dan prasasti Poh Dulur atas nama Rakai Limus Dyah Dewendra.
Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung yang merupakan menantu Rakai Watuhumalang (raja
Medang pengganti Rakai Kayuwangi) berhasil menjadi pahlawan dengan menaklukkan Rakai
Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga kembali mengakui kekuasaan tunggal di Kerajaan
Medang. Maka, sepeninggal Rakai Watuhumalang, rakyat pun memilih Balitung sebagai raja
daripada iparnya, yaitu Mpu Daksa.
[sunting] Riwayat Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, istana Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah
Mataram, ataupun Mamrati, melainkan sudah dipindahkan ke daerah Poh Pitu yang diberi nama
2. Yawapura. Hal ini dimungkinkan karena istana Mamratipura (yang dulu dibangun oleh Rakai
Pikatan) telah rusak akibat perang saudara antara Rakai Kayuwangi melawan Rakai Gurunwangi.
Prasasti tertua atas nama Balitung yang berhasil ditemukan adalah prasasti Telahap tanggal 11
September 899. Namun bukan berarti ini adalah prasasti pertamanya, atau dengan kata lain, bisa
jadi Balitung sudah naik takhta sebelum tahun 899.
Disusul kemudian prasasti Watukura tanggal 27 Juli 902. Prasasti tersebut adalah prasasti tertua
yang menyebutkan adanya jabatan Rakryan Kanuruhan, yaitu semacam jabatan perdana menteri.
Sementara itu jabatan Rakryan Mapatih pada zaman Balitung merupakan jabatan putra mahkota
yang dipegang oleh Mpu Daksa.
Prasasti Telang tanggal 11 Januari 904 berisi tentang pembangunan komplek penyeberangan
bernama Paparahuan yang dipimpin oleh Rakai Welar Mpu Sudarsana di tepi Bengawan Solo.
Balitung membebaskan pajak desa-desa sekitar Paparahuan dan melarang para penduduknya
untuk memungut upah dari para penyeberang.
Prasasti Poh tanggal 17 Juli 905 berisi pembebasan pajak desa Poh untuk ditugasi mengelola
bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silunglung peninggalan raja sebelumnya yang
dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Raja ini merupakan kakek dari Mpu Daksa dan
permaisuri Balitung.
Prasasti Kubu-Kubu tanggal 17 Oktober 905 berisi anugerah desa Kubu-Kubu kepada Rakryan
Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan karena keduanya berjasa
memimpin penaklukan daerah Bantan. Beberapa sejarawan menafsirkan Bantan sebagai nama
lain dari Bali. Istilah Bantan artinya “korban”, sedangkan Bali artinya “persembahan”.
Prasasti Mantyasih tanggal 11 April 907 berisi tentang anugerah kepada lima orang patih
bawahan yang berjasa dalam menjaga keamanan saat pernikahan Dyah Balitung. Dalam prasasti
ini disebutkan pula urutan raja-raja Medang yang memerintah sebelum dirinya.
Pada tahun 907 tersebut Balitung juga memberikan desa Rukam sebagai hadiah untuk neneknya
yang bernama Rakryan Sanjiwana dengan tugas merawat bangunan suci di Limwung.
[sunting] Akhir Pemerintahan
Pengangkatan Dyah Balitung sebagai raja kemungkinan besar melahirkan rasa cemburu di hati
Mpu Daksa, yaitu putra raja sebelumnya yang tentunya lebih berhak atas takhta Kerajaan
Medang.
Mpu Daksa yang menjabat sebagai Rakai Hino ditemukan telah mengeluarkan prasasti tanggal
21 Desember 910 tentang pembagian daerah Taji Gunung bersama Rakai Gurunwangi.
Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa, Rakai Gurunwangi mengangkat dirinya sebagai
maharaja pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi dan awal pemerintahan Rakai
3. Watuhumalang. Berdasarkan prasasti Plaosan, Rakai Gurunwangi diperkirakan adalah putra
Rakai Pikatan.
Dyah Balitung berhasil naik takhta menggantikan Rakai Watuhumalang diperkirakan karena
kepahlawanannya menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus. Mungkin Rakai
Gurunwangi yang menyimpan dendam kemudian bersekutu dengan Mpu Daksa yang masih
keponakannya (Rakai Gurunwangi dan Daksa masing-masing adalah anak dan cucu Rakai
Pikatan).
Sejarawan Boechari yakin bahwa pemerintahan Dyah Balitung berakhir akibat pemberontakan
Mpu Daksa. Pada prasasti Taji Gunung (910) Daksa masih menjabat sebagai Rakai Hino,
sedangkan pada prasasti Timbangan Wungkal (913) ia sudah bergelar maharaja.