SlideShare a Scribd company logo
1 of 6
JAWABAN SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER<br />TEORI KEBUDAYAAN 2010<br />Soal no. 3<br />KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM TANDA<br />(Soal dari Prof. Dr. Okke K.S. Zaimar)<br />oleh:<br />Juniato Sidauruk<br />0906655282<br />PROGRAM PASCASARJANA<br />PROGRAM LINGUISTIK<br />FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA <br />UNIVERSITAS INDONESIA<br />Desember 2010<br />3. Kebudayaan sebagai Sistem Tanda (Prof. Dr. Okke  K. S. Zaimar)<br />Pertanyaan: Apakah yang dimaksud dengan mitos (Barthes)? Apa gunanya bagi studi teks sebagai kebudayaan?<br />Menurut saya agak sulit memperbincangkan konsep mitos Barthes tanpa mengaitkannya dengan tokoh semiotik Prancis Saussure. Roland Barthes, melalui sejumlah karyanya ia tidak hanya melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, pemikirannya justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari bahasa yang ia ketengahkan sebagai mitos. <br />« Bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu-tuli, upacara-upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran, dan lain-lain. Bahasa hanyalah yang paling penting dari sistem-sistem ini; … akan kami namakan semiologi (dari bahasa Yunani semeion yang berarti « tanda ») Semiotik adalah ilmu tanda. Dan apakah tanda ? Tanda adalah sesuatu yang mewakili seseorang atau sesuatu yang lain dalam hal-hal  dan kapasitas tertentu (Noth, 1995: 42). …Linguistik hanyalah sebahagian dari ilmu umum itu, kaidah-kaidah yang digunakan dalam semiologi akan dapat digunakan dalam linguistik dan dengan demikian linguistik akan terikat pada suatu bidang tertentu dalam keseluruhan fakta manusia. »   (Saussure, 1969, 1973).<br />Bahasa sebagai wujud gagasan itu dikomunikasikan, seperti pendapat Roland Barthes dalam bukunya Mythologies (1957) bahwa mitos adalah : suatu sistem komunikasi yang membawa pesan. Mitos bukanlah suatu konsep atau gagasan, melainkan suatu bentuk tuturan yang ditampilkan dalam suatu wacana. Mitos tidak ditentukan oleh materi (bahan yang disampaikan). Jadi, mitos dapat disampaikan secara verbal, maupun non verbal atau kombinasi antara keduanya (film, gambar, lukisan, bangunan, fotografi, patung, iklan, komik, bahkan juga peristiwa, dan lain-lain). Mitos tidak bersifat arbitrer, selalu ada sebahagian yang mengandung motivasi yang biasanya dikemukakan berkat analogi. Dalam mitos, bentuk bisa mengundang makna, bisa juga bentuk mendapat motivasi dari konsep yang akan ditampilkan. Penemuan teori ini sangat besar kegunaannya, karena memungkinkan teori bahasa digunakan sebagai « model » teks-teks lainnya. <br />Ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb.) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut fenomena ini – membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu– sebagai penciptaan mitos. Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tradisional– melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes: tipe wicara. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain. <br />Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral; melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah (‘mitos’ diperlawankan dengan ‘kebenaran’); cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain. <br />Pemikiran Barthes tentang mitos nampaknya masih melanjutkan apa yang diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Seperti ditulis oleh Bertens (1985: 382), pembedaan tanda atas signifiant dan signifiě merupakan pokok terpenting dari pandangan Saussure. Ia berusaha melihat tanda sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material (signifiant/signifier /penanda) (Piliang, 2003: 47), yaitu image acoustique atau citra bunyi (Saussure, 1973: 146), dengan sesuatu yang abstrak (signifiě/signified/petanda) (Piliang, 2003: 47), yang disebutnya sebagai konsep (Saussure, 1973: 146). Citra bunyi tersebut juga tidak semata-mata fisik, tetapi psikis (psychě: sesuatu yang juga abstrak); penggunaan istilah materil hanya untuk membedakannya dari konsep (yang lebih abstrak) (Saussure 1973: 146). <br />Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Sauusure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. <br />Tanda-tanda ini justru membedakan kelompok manusia yang satu dengan yang lainnya. Itulah yang disebut kebudayaan. Demikianlah, « budaya merupakan ketrampilan suatu kelompok untuk mengenali, menginterpretasikan dan memproduksi tanda dengan cara yang sama. Pada akhirnya, budaya dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan kebiasaan semiotis yang saling terkait. » (Van Zoest, 1933 : h.49).<br />Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. <br />Tanda-tanda itu antara lain terdapat juga pada mitos yakni keseluruhan sistem citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan identitasnya (Kridalaksana, 1988: 27).<br />Tambahan tentang konotasi ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Sausure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif. Lebih dari itu, di samping gagasannya dapat dimanfaatkan untuk menganalisis media, semiotika konotasi ala Barthesian ini memungkinkan penggunaannya untuk bidang lain seperti pembacaan terhadap karya sastra dan fenomena budaya kontemporer atau budaya pop. Bagi Barthes, semiologi bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.<br />Dalam mitos, bentuk bisa mengundang makna, bisa juga bentuk mendapat motivasi dari konsep yang akan ditampilkan (Zaimar, 2008: 9). Menurut Kridalaksana (1988: 27), bagi Barthes, mitos merupakan sistem semiotis lapisan kedua, yang dibentuk berdasarkan rangkaian semiotis yang telah ada sebelumnya.<br />Dalam konteks studi teks sebagai kebudayaan yaitu teks sebagai jalinan unsur-unsur budaya, baik berupa hasil budaya yang konkrit maupun yang abstrak. Hoed (2004: 52-54) kemudian, menjelaskan bahwa Barthes melihat semua gejala dalam kebudayaan sebagai tanda yang terdiri atas signifiant dan signifie. Pemahan akan signifant dan signifie sebagai proses dua tahap. Karena signifiant adalah gejala yang ditangkap oleh kognisi manusia juga diproduksi, maka ditinjau dari segi pemroduksi tanda, signifiant disebut expression (E) ’ekspresi atau pengungkapan’, dan signifie sebagai content (C) ’isi atau konsep’. Relasi (R) antara E dan C pada manusia terjadi dalam lebih dari satu tahap. Tahap primer terjadi saat tanda diterima untuk pertama kalinya, R1, E1, C1. Pemaknaan tanda tidak hanya terjadi pada tahap primer, tetapi dilanjutkan pada tahap sekunder, yakni R2, E2, dan C2. <br />Selain konotasi, Barthes juga mengungkapkan metabahasa sebagai pengembangan selanjutnya dari makna pada lapisan pertama. Contohnya ekspresi atau pengungkapan dukun, juga dapat diekspresikan dengan paranormal, atau orang pintar. Dalam linguistik gejala ini disebut sinonimi (Hoed, 2004: 53).<br />Bagi Geertz, makna tidak terletak di quot;
dalam kepala orangquot;
. Simbol dan makna dimiliki bersama oleh anggota masyarakat, terletak di antara mereka, bukan di dalam diri mereka. Simbol dan makna bersifat umum  (public),  bukan pribadi  (private). Geertz mengangggap pandangannya tentang budaya adalah semiotik . Mempelajari budaya berarti mempelajari aturan -aturan makna yang dimiliki bersama. Dengan meminjam satu arti  quot;
textquot;
  yang lebih luas dari Ritzer, Geertz pada masa akhir -akhir ini menganggap satu kebudayaan sebagai quot;
satu kumpulan teksquot;
 (Keesing, 1971: 13 ).<br />Jalan lain dalam membahas kebudayaan adalah dengan cara memandang kebudayaan -kebudayaan sebagai sistem makna dan simbol yang dimiliki bersama (Keesing, 1971: 10). Di daratan Eropa jalan ini telah dirambah oleh Louis Dumont. Di AS pelopor yang paling menonjol adalah dua ahli antropologi pewaris tradisi Parsons: Clifford Geertz dan David Schneider.  Pandangan yang kuat dari Geertz terhadap budaya, yang ditunjang satu aliran kemanusiaan yang luas, makin lama makin menjadi sistematis. (Keesing, 1971: 11).<br />Seperti ditulis oleh Bertens (1985: 382), pembedaan tanda atas signifiant dan signifiě merupakan pokok terpenting dari pandangan Saussure. Ia berusaha melihat tanda sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material (signifiant/signifier/ penanda) (Piliang, 2003: 47), yaitu image acoustique atau citra bunyi (Saussure, 1973: 146), dengan sesuatu yang abstrak (signifiě/signified/petanda) (Piliang, 2003: 47), yang disebutnya sebagai konsep (Saussure, 1973: 146). Citra bunyi tersebut juga tidak semata-mata fisik, tetapi psikis (psychě: sesuatu yang juga abstrak); penggunaan istilah materil hanya untuk membedakannya dari konsep (yang lebih abstrak) (Saussure 1973: 146). <br />Untuk melihat manfaat studi teks sebagai kebudayaan, saya mengutip pendapat Keesing (1971, 13) bahwa<br />quot;
. . . Masalah analisis budaya adalah masalah menentukan saling ketergantungan sekaligus saling keterkaitan, masalah menentukan jurang sekaligus jembatan. Citra yang tepat, kalau seseorang harus punya citra, mengenai organisasi kultural, adalah bukan merupakan jaringan laba-laba maupun onggokan pasir. Organisasi kultural lebih menyerupai gurita yang tangan-tangannya sebagian besar terintegrasi secara terpisah, syaraf-syarafnya kurang begitu baik berhubungan satu dengan lain dan dengan pusat kontrol di otaknya. Namun demikian gurita tersebut mampu berputar dan melindungi dirinya, meskipun untuk sekejap, sebagai satu gairah    hidup . . .quot;
<br />Daftar Acuan<br />Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Paris: Seuil<br />Bertens, K. 1985. Filsafat Barat Abad XX (Jilid II): Prancis. Jakarta: Gramedia.<br />Hoed, Benny. H. 2002. Strukturalisme, Pragmatik, dan Semiotik dalam Kajian Budaya: Sebuah Pengantar Ringkas dalam Tommy Christommy (ed). 2002. Indonesia: Tanda Yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.<br />Hoed, Benny. H. 2004. “Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik”. Dalam T. Christomy dan Untung Yuwono (ed). Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia. <br />Keesing, R.M, Keesing, F.M. 1971. New Perspectives in Cultural Antrophology. New   York:   Holt,   Rinehart  & Winston.<br />Kridalaksana, Harimurti. 1988. “Mongin-Ferdinand De Saussure, Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme”. Dalam Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan Course de Linguistique Generale (1969) Oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta:  Gadjah Mada University Press.<br />Noth, W. 1995. Handbook of Semiotics. Indianapolis: Indiana University Press.<br />Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.<br />Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan The Postmodern Social Theory oleh Muhammad Taufiq. Yogyakarta: Kreasi Wacana.<br />Saussure, Ferdinand de. 1973/1988. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan Cours de Linguistique Generale (1969) oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.<br />Van Zoes, Aart. 1993. Semiotika (diterjemahkan oleh: Ani Soekowati). Jakarta: Yayasan Sumber Agung.<br />Zaimar, Okke K. S. Zaimar. 2008. Teori Kebudayaan: Teks Sebagai Kebudayaan Dengan Landasan Semiotik. Bahan Kuliah Program Kajian Wilayah Eropa : Program Pascasarjana Universitas Indonesia.<br />Zaimar, Okke K. S. Zaimar. 2008. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.<br />
Uas 3 mitos barthes prof okke
Uas 3 mitos barthes prof okke
Uas 3 mitos barthes prof okke
Uas 3 mitos barthes prof okke
Uas 3 mitos barthes prof okke

More Related Content

What's hot

Pengantar semiotika: Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders Peirce
Pengantar semiotika: Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders PeircePengantar semiotika: Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders Peirce
Pengantar semiotika: Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders PeirceToto Haryadi
 
4. diskursus hubungan sastra dan sejarah
4. diskursus hubungan sastra dan sejarah4. diskursus hubungan sastra dan sejarah
4. diskursus hubungan sastra dan sejarahWildan Insan Fauzi
 
1. sastra dalam pembelajaran sejarah
1. sastra dalam pembelajaran sejarah1. sastra dalam pembelajaran sejarah
1. sastra dalam pembelajaran sejarahWildan Insan Fauzi
 
Teori Semiotika Media
Teori Semiotika MediaTeori Semiotika Media
Teori Semiotika Mediamankoma2012
 
Teori strukturalisme prosa fiksi
Teori strukturalisme prosa fiksiTeori strukturalisme prosa fiksi
Teori strukturalisme prosa fiksiLaila Purnamasari
 
Strukturalisme dan Semiotik
Strukturalisme dan SemiotikStrukturalisme dan Semiotik
Strukturalisme dan SemiotikShafira Rahmani
 
Resume (hakikat komunikasi dan asumsi ontologi)
Resume (hakikat komunikasi dan asumsi ontologi)Resume (hakikat komunikasi dan asumsi ontologi)
Resume (hakikat komunikasi dan asumsi ontologi)UIN Surabaya
 
Hakikat manusia sebagai pelaku komunikasi
Hakikat manusia sebagai pelaku komunikasiHakikat manusia sebagai pelaku komunikasi
Hakikat manusia sebagai pelaku komunikasimawan fadlli
 
Interpretasi 2 (tnp)
Interpretasi 2 (tnp)Interpretasi 2 (tnp)
Interpretasi 2 (tnp)oyyim_ut
 
Hakikat komunikasi dan ontologi komunikasi
Hakikat komunikasi dan ontologi komunikasiHakikat komunikasi dan ontologi komunikasi
Hakikat komunikasi dan ontologi komunikasimawan fadlli
 
Semiotika komunikasi by_indiwan_seto_wahyu_(z-lib.org)
Semiotika komunikasi by_indiwan_seto_wahyu_(z-lib.org)Semiotika komunikasi by_indiwan_seto_wahyu_(z-lib.org)
Semiotika komunikasi by_indiwan_seto_wahyu_(z-lib.org)Handiawan Susanto
 
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 08: Posmodernisme, Era Informasi, ...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 08: Posmodernisme, Era Informasi, ...Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 08: Posmodernisme, Era Informasi, ...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 08: Posmodernisme, Era Informasi, ...Ahmad Ibrahim
 
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 09: Virtualitas (Ekonomi Politik I...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 09: Virtualitas (Ekonomi Politik I...Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 09: Virtualitas (Ekonomi Politik I...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 09: Virtualitas (Ekonomi Politik I...Ahmad Ibrahim
 
Uas jawaban no 5 djoko
Uas jawaban no 5 djokoUas jawaban no 5 djoko
Uas jawaban no 5 djokojuniato
 

What's hot (20)

Pengantar semiotika: Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders Peirce
Pengantar semiotika: Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders PeircePengantar semiotika: Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders Peirce
Pengantar semiotika: Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders Peirce
 
4. diskursus hubungan sastra dan sejarah
4. diskursus hubungan sastra dan sejarah4. diskursus hubungan sastra dan sejarah
4. diskursus hubungan sastra dan sejarah
 
1. sastra dalam pembelajaran sejarah
1. sastra dalam pembelajaran sejarah1. sastra dalam pembelajaran sejarah
1. sastra dalam pembelajaran sejarah
 
Studi bahasa sebagai sistem tanda
Studi bahasa sebagai sistem tandaStudi bahasa sebagai sistem tanda
Studi bahasa sebagai sistem tanda
 
Teori Semiotika Media
Teori Semiotika MediaTeori Semiotika Media
Teori Semiotika Media
 
Teori strukturalisme prosa fiksi
Teori strukturalisme prosa fiksiTeori strukturalisme prosa fiksi
Teori strukturalisme prosa fiksi
 
Semiotika
SemiotikaSemiotika
Semiotika
 
Strukturalisme dan Semiotik
Strukturalisme dan SemiotikStrukturalisme dan Semiotik
Strukturalisme dan Semiotik
 
Kelompok 3
Kelompok 3Kelompok 3
Kelompok 3
 
Resume (hakikat komunikasi dan asumsi ontologi)
Resume (hakikat komunikasi dan asumsi ontologi)Resume (hakikat komunikasi dan asumsi ontologi)
Resume (hakikat komunikasi dan asumsi ontologi)
 
Glosarium 181213
Glosarium  181213Glosarium  181213
Glosarium 181213
 
Hakikat manusia sebagai pelaku komunikasi
Hakikat manusia sebagai pelaku komunikasiHakikat manusia sebagai pelaku komunikasi
Hakikat manusia sebagai pelaku komunikasi
 
Interpretasi 2 (tnp)
Interpretasi 2 (tnp)Interpretasi 2 (tnp)
Interpretasi 2 (tnp)
 
Hakikat komunikasi dan ontologi komunikasi
Hakikat komunikasi dan ontologi komunikasiHakikat komunikasi dan ontologi komunikasi
Hakikat komunikasi dan ontologi komunikasi
 
Semiotika komunikasi by_indiwan_seto_wahyu_(z-lib.org)
Semiotika komunikasi by_indiwan_seto_wahyu_(z-lib.org)Semiotika komunikasi by_indiwan_seto_wahyu_(z-lib.org)
Semiotika komunikasi by_indiwan_seto_wahyu_(z-lib.org)
 
Kajian Hermeneutika
Kajian HermeneutikaKajian Hermeneutika
Kajian Hermeneutika
 
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 08: Posmodernisme, Era Informasi, ...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 08: Posmodernisme, Era Informasi, ...Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 08: Posmodernisme, Era Informasi, ...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 08: Posmodernisme, Era Informasi, ...
 
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 09: Virtualitas (Ekonomi Politik I...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 09: Virtualitas (Ekonomi Politik I...Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 09: Virtualitas (Ekonomi Politik I...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 09: Virtualitas (Ekonomi Politik I...
 
Hermeneutika
HermeneutikaHermeneutika
Hermeneutika
 
Uas jawaban no 5 djoko
Uas jawaban no 5 djokoUas jawaban no 5 djoko
Uas jawaban no 5 djoko
 

Similar to Uas 3 mitos barthes prof okke

SEMIOTIKA ROLAND BARTHES.pdf
SEMIOTIKA ROLAND BARTHES.pdfSEMIOTIKA ROLAND BARTHES.pdf
SEMIOTIKA ROLAND BARTHES.pdfekaweka7
 
Makalah kritik sastra
Makalah kritik sastraMakalah kritik sastra
Makalah kritik sastraMila Wati
 
TEORI STRUKTUR SOSIAL DARI RADCLIFFE BROWN DAN LEVI.pptx
TEORI STRUKTUR SOSIAL DARI RADCLIFFE BROWN DAN LEVI.pptxTEORI STRUKTUR SOSIAL DARI RADCLIFFE BROWN DAN LEVI.pptx
TEORI STRUKTUR SOSIAL DARI RADCLIFFE BROWN DAN LEVI.pptxLatiSavira
 
Kajian maut dan cinta new
Kajian maut dan cinta newKajian maut dan cinta new
Kajian maut dan cinta newNancy Rothstein
 
Bahan presentasi mata kuliah teori sastra
Bahan presentasi mata kuliah teori sastraBahan presentasi mata kuliah teori sastra
Bahan presentasi mata kuliah teori sastraNisha Komik
 
Manfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesia
Manfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesiaManfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesia
Manfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesiaMujahid Vanquisher
 
PERBEDAAN KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHAN
PERBEDAAN  KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHANPERBEDAAN  KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHAN
PERBEDAAN KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHANardeliatriyaniPutri
 
Discourse Analysis
Discourse AnalysisDiscourse Analysis
Discourse Analysisjuniato
 
Paper 1 Discourse Analysis
Paper 1 Discourse AnalysisPaper 1 Discourse Analysis
Paper 1 Discourse Analysisjuniato
 
Discourse Analysis
Discourse AnalysisDiscourse Analysis
Discourse Analysisjuniato
 
Ideologi, identitas dan komunikasi budaya
Ideologi, identitas dan komunikasi budayaIdeologi, identitas dan komunikasi budaya
Ideologi, identitas dan komunikasi budayailhamsyah .
 
Kajian Budaya dan Media--pert 1.pdf
Kajian Budaya dan Media--pert 1.pdfKajian Budaya dan Media--pert 1.pdf
Kajian Budaya dan Media--pert 1.pdfanastasiajessica89
 
2. Konsep Dasar Sosiologi dalam komunitas masyarakat
2. Konsep Dasar Sosiologi dalam komunitas masyarakat2. Konsep Dasar Sosiologi dalam komunitas masyarakat
2. Konsep Dasar Sosiologi dalam komunitas masyarakatssuser9df8d0
 

Similar to Uas 3 mitos barthes prof okke (20)

SEMIOTIKA ROLAND BARTHES.pdf
SEMIOTIKA ROLAND BARTHES.pdfSEMIOTIKA ROLAND BARTHES.pdf
SEMIOTIKA ROLAND BARTHES.pdf
 
Makalah kritik sastra
Makalah kritik sastraMakalah kritik sastra
Makalah kritik sastra
 
TEORI STRUKTUR SOSIAL DARI RADCLIFFE BROWN DAN LEVI.pptx
TEORI STRUKTUR SOSIAL DARI RADCLIFFE BROWN DAN LEVI.pptxTEORI STRUKTUR SOSIAL DARI RADCLIFFE BROWN DAN LEVI.pptx
TEORI STRUKTUR SOSIAL DARI RADCLIFFE BROWN DAN LEVI.pptx
 
Kajian maut dan cinta new
Kajian maut dan cinta newKajian maut dan cinta new
Kajian maut dan cinta new
 
ROLAND BARTHES
ROLAND BARTHESROLAND BARTHES
ROLAND BARTHES
 
Bahan presentasi mata kuliah teori sastra
Bahan presentasi mata kuliah teori sastraBahan presentasi mata kuliah teori sastra
Bahan presentasi mata kuliah teori sastra
 
Manfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesia
Manfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesiaManfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesia
Manfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesia
 
Konsep_Semiotik.pptx
Konsep_Semiotik.pptxKonsep_Semiotik.pptx
Konsep_Semiotik.pptx
 
Struktulasime kelompok 4.pdf
Struktulasime kelompok 4.pdfStruktulasime kelompok 4.pdf
Struktulasime kelompok 4.pdf
 
PERBEDAAN KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHAN
PERBEDAAN  KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHANPERBEDAAN  KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHAN
PERBEDAAN KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHAN
 
Discourse Analysis
Discourse AnalysisDiscourse Analysis
Discourse Analysis
 
Paper 1 Discourse Analysis
Paper 1 Discourse AnalysisPaper 1 Discourse Analysis
Paper 1 Discourse Analysis
 
Discourse Analysis
Discourse AnalysisDiscourse Analysis
Discourse Analysis
 
Kapita selekta
Kapita selektaKapita selekta
Kapita selekta
 
Ideologi, identitas dan komunikasi budaya
Ideologi, identitas dan komunikasi budayaIdeologi, identitas dan komunikasi budaya
Ideologi, identitas dan komunikasi budaya
 
Kajian Budaya dan Media--pert 1.pdf
Kajian Budaya dan Media--pert 1.pdfKajian Budaya dan Media--pert 1.pdf
Kajian Budaya dan Media--pert 1.pdf
 
Media Discourse oleh Yasraf Amir Piliang
Media Discourse oleh Yasraf Amir PiliangMedia Discourse oleh Yasraf Amir Piliang
Media Discourse oleh Yasraf Amir Piliang
 
Semiotika yohan
Semiotika yohanSemiotika yohan
Semiotika yohan
 
7 Tradisi Komunikasi
7 Tradisi Komunikasi7 Tradisi Komunikasi
7 Tradisi Komunikasi
 
2. Konsep Dasar Sosiologi dalam komunitas masyarakat
2. Konsep Dasar Sosiologi dalam komunitas masyarakat2. Konsep Dasar Sosiologi dalam komunitas masyarakat
2. Konsep Dasar Sosiologi dalam komunitas masyarakat
 

More from juniato

Jadwal simulasi sidang ta
Jadwal simulasi sidang taJadwal simulasi sidang ta
Jadwal simulasi sidang tajuniato
 
Teenagers’ short message service (sms)
Teenagers’ short message service (sms)Teenagers’ short message service (sms)
Teenagers’ short message service (sms)juniato
 
Teenagers’ short message service (sms)
Teenagers’ short message service (sms)Teenagers’ short message service (sms)
Teenagers’ short message service (sms)juniato
 
Teenagers’ short message service (sms)
Teenagers’ short message service (sms)Teenagers’ short message service (sms)
Teenagers’ short message service (sms)juniato
 
Perspektif sosial dan psikologis dalam pengajaran bahasa juniato sidauruk
Perspektif sosial dan psikologis dalam pengajaran bahasa juniato sidaurukPerspektif sosial dan psikologis dalam pengajaran bahasa juniato sidauruk
Perspektif sosial dan psikologis dalam pengajaran bahasa juniato sidaurukjuniato
 
Nilai hadir n tugas margonda
Nilai hadir n tugas margondaNilai hadir n tugas margonda
Nilai hadir n tugas margondajuniato
 
Nilai hadir n tugas fatmawati
Nilai hadir n tugas fatmawatiNilai hadir n tugas fatmawati
Nilai hadir n tugas fatmawatijuniato
 
Newest tugas
Newest tugasNewest tugas
Newest tugasjuniato
 
Nilai uts n tugas
Nilai uts n tugasNilai uts n tugas
Nilai uts n tugasjuniato
 
Linguistik abad 20 presentasi
Linguistik abad 20 presentasiLinguistik abad 20 presentasi
Linguistik abad 20 presentasijuniato
 
123 kata mutiara motivasi
123 kata mutiara motivasi123 kata mutiara motivasi
123 kata mutiara motivasijuniato
 
Kumpulan cerita lucu
Kumpulan cerita lucuKumpulan cerita lucu
Kumpulan cerita lucujuniato
 
Neurolinguistics lg n brain
Neurolinguistics lg n brainNeurolinguistics lg n brain
Neurolinguistics lg n brainjuniato
 
Uas des 2010 soal 6 mundarjito
Uas des 2010 soal 6 mundarjitoUas des 2010 soal 6 mundarjito
Uas des 2010 soal 6 mundarjitojuniato
 
Presentasi tesol method
Presentasi tesol methodPresentasi tesol method
Presentasi tesol methodjuniato
 
Uas jawaban no. 2 sulistyowati
Uas jawaban no. 2 sulistyowatiUas jawaban no. 2 sulistyowati
Uas jawaban no. 2 sulistyowatijuniato
 
Multiple intelligence presentation slideshare
Multiple intelligence presentation slideshareMultiple intelligence presentation slideshare
Multiple intelligence presentation slidesharejuniato
 
Suggestopedia- Juniato Sidauruk - University of Indonesia
Suggestopedia- Juniato Sidauruk - University of IndonesiaSuggestopedia- Juniato Sidauruk - University of Indonesia
Suggestopedia- Juniato Sidauruk - University of Indonesiajuniato
 

More from juniato (20)

Jadwal simulasi sidang ta
Jadwal simulasi sidang taJadwal simulasi sidang ta
Jadwal simulasi sidang ta
 
Teenagers’ short message service (sms)
Teenagers’ short message service (sms)Teenagers’ short message service (sms)
Teenagers’ short message service (sms)
 
Teenagers’ short message service (sms)
Teenagers’ short message service (sms)Teenagers’ short message service (sms)
Teenagers’ short message service (sms)
 
Teenagers’ short message service (sms)
Teenagers’ short message service (sms)Teenagers’ short message service (sms)
Teenagers’ short message service (sms)
 
Cat ppt
Cat pptCat ppt
Cat ppt
 
Perspektif sosial dan psikologis dalam pengajaran bahasa juniato sidauruk
Perspektif sosial dan psikologis dalam pengajaran bahasa juniato sidaurukPerspektif sosial dan psikologis dalam pengajaran bahasa juniato sidauruk
Perspektif sosial dan psikologis dalam pengajaran bahasa juniato sidauruk
 
Nilai hadir n tugas margonda
Nilai hadir n tugas margondaNilai hadir n tugas margonda
Nilai hadir n tugas margonda
 
Nilai hadir n tugas fatmawati
Nilai hadir n tugas fatmawatiNilai hadir n tugas fatmawati
Nilai hadir n tugas fatmawati
 
Newest tugas
Newest tugasNewest tugas
Newest tugas
 
Nilai uts n tugas
Nilai uts n tugasNilai uts n tugas
Nilai uts n tugas
 
Linguistik abad 20 presentasi
Linguistik abad 20 presentasiLinguistik abad 20 presentasi
Linguistik abad 20 presentasi
 
123 kata mutiara motivasi
123 kata mutiara motivasi123 kata mutiara motivasi
123 kata mutiara motivasi
 
Kumpulan cerita lucu
Kumpulan cerita lucuKumpulan cerita lucu
Kumpulan cerita lucu
 
Neurolinguistics lg n brain
Neurolinguistics lg n brainNeurolinguistics lg n brain
Neurolinguistics lg n brain
 
Uas des 2010 soal 6 mundarjito
Uas des 2010 soal 6 mundarjitoUas des 2010 soal 6 mundarjito
Uas des 2010 soal 6 mundarjito
 
Cat ppt
Cat pptCat ppt
Cat ppt
 
Presentasi tesol method
Presentasi tesol methodPresentasi tesol method
Presentasi tesol method
 
Uas jawaban no. 2 sulistyowati
Uas jawaban no. 2 sulistyowatiUas jawaban no. 2 sulistyowati
Uas jawaban no. 2 sulistyowati
 
Multiple intelligence presentation slideshare
Multiple intelligence presentation slideshareMultiple intelligence presentation slideshare
Multiple intelligence presentation slideshare
 
Suggestopedia- Juniato Sidauruk - University of Indonesia
Suggestopedia- Juniato Sidauruk - University of IndonesiaSuggestopedia- Juniato Sidauruk - University of Indonesia
Suggestopedia- Juniato Sidauruk - University of Indonesia
 

Uas 3 mitos barthes prof okke

  • 1. JAWABAN SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER<br />TEORI KEBUDAYAAN 2010<br />Soal no. 3<br />KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM TANDA<br />(Soal dari Prof. Dr. Okke K.S. Zaimar)<br />oleh:<br />Juniato Sidauruk<br />0906655282<br />PROGRAM PASCASARJANA<br />PROGRAM LINGUISTIK<br />FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA <br />UNIVERSITAS INDONESIA<br />Desember 2010<br />3. Kebudayaan sebagai Sistem Tanda (Prof. Dr. Okke K. S. Zaimar)<br />Pertanyaan: Apakah yang dimaksud dengan mitos (Barthes)? Apa gunanya bagi studi teks sebagai kebudayaan?<br />Menurut saya agak sulit memperbincangkan konsep mitos Barthes tanpa mengaitkannya dengan tokoh semiotik Prancis Saussure. Roland Barthes, melalui sejumlah karyanya ia tidak hanya melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, pemikirannya justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari bahasa yang ia ketengahkan sebagai mitos. <br />« Bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu-tuli, upacara-upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran, dan lain-lain. Bahasa hanyalah yang paling penting dari sistem-sistem ini; … akan kami namakan semiologi (dari bahasa Yunani semeion yang berarti « tanda ») Semiotik adalah ilmu tanda. Dan apakah tanda ? Tanda adalah sesuatu yang mewakili seseorang atau sesuatu yang lain dalam hal-hal dan kapasitas tertentu (Noth, 1995: 42). …Linguistik hanyalah sebahagian dari ilmu umum itu, kaidah-kaidah yang digunakan dalam semiologi akan dapat digunakan dalam linguistik dan dengan demikian linguistik akan terikat pada suatu bidang tertentu dalam keseluruhan fakta manusia. » (Saussure, 1969, 1973).<br />Bahasa sebagai wujud gagasan itu dikomunikasikan, seperti pendapat Roland Barthes dalam bukunya Mythologies (1957) bahwa mitos adalah : suatu sistem komunikasi yang membawa pesan. Mitos bukanlah suatu konsep atau gagasan, melainkan suatu bentuk tuturan yang ditampilkan dalam suatu wacana. Mitos tidak ditentukan oleh materi (bahan yang disampaikan). Jadi, mitos dapat disampaikan secara verbal, maupun non verbal atau kombinasi antara keduanya (film, gambar, lukisan, bangunan, fotografi, patung, iklan, komik, bahkan juga peristiwa, dan lain-lain). Mitos tidak bersifat arbitrer, selalu ada sebahagian yang mengandung motivasi yang biasanya dikemukakan berkat analogi. Dalam mitos, bentuk bisa mengundang makna, bisa juga bentuk mendapat motivasi dari konsep yang akan ditampilkan. Penemuan teori ini sangat besar kegunaannya, karena memungkinkan teori bahasa digunakan sebagai « model » teks-teks lainnya. <br />Ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb.) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut fenomena ini – membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu– sebagai penciptaan mitos. Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tradisional– melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes: tipe wicara. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain. <br />Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral; melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah (‘mitos’ diperlawankan dengan ‘kebenaran’); cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain. <br />Pemikiran Barthes tentang mitos nampaknya masih melanjutkan apa yang diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Seperti ditulis oleh Bertens (1985: 382), pembedaan tanda atas signifiant dan signifiě merupakan pokok terpenting dari pandangan Saussure. Ia berusaha melihat tanda sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material (signifiant/signifier /penanda) (Piliang, 2003: 47), yaitu image acoustique atau citra bunyi (Saussure, 1973: 146), dengan sesuatu yang abstrak (signifiě/signified/petanda) (Piliang, 2003: 47), yang disebutnya sebagai konsep (Saussure, 1973: 146). Citra bunyi tersebut juga tidak semata-mata fisik, tetapi psikis (psychě: sesuatu yang juga abstrak); penggunaan istilah materil hanya untuk membedakannya dari konsep (yang lebih abstrak) (Saussure 1973: 146). <br />Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Sauusure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. <br />Tanda-tanda ini justru membedakan kelompok manusia yang satu dengan yang lainnya. Itulah yang disebut kebudayaan. Demikianlah, « budaya merupakan ketrampilan suatu kelompok untuk mengenali, menginterpretasikan dan memproduksi tanda dengan cara yang sama. Pada akhirnya, budaya dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan kebiasaan semiotis yang saling terkait. » (Van Zoest, 1933 : h.49).<br />Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. <br />Tanda-tanda itu antara lain terdapat juga pada mitos yakni keseluruhan sistem citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan identitasnya (Kridalaksana, 1988: 27).<br />Tambahan tentang konotasi ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Sausure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif. Lebih dari itu, di samping gagasannya dapat dimanfaatkan untuk menganalisis media, semiotika konotasi ala Barthesian ini memungkinkan penggunaannya untuk bidang lain seperti pembacaan terhadap karya sastra dan fenomena budaya kontemporer atau budaya pop. Bagi Barthes, semiologi bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.<br />Dalam mitos, bentuk bisa mengundang makna, bisa juga bentuk mendapat motivasi dari konsep yang akan ditampilkan (Zaimar, 2008: 9). Menurut Kridalaksana (1988: 27), bagi Barthes, mitos merupakan sistem semiotis lapisan kedua, yang dibentuk berdasarkan rangkaian semiotis yang telah ada sebelumnya.<br />Dalam konteks studi teks sebagai kebudayaan yaitu teks sebagai jalinan unsur-unsur budaya, baik berupa hasil budaya yang konkrit maupun yang abstrak. Hoed (2004: 52-54) kemudian, menjelaskan bahwa Barthes melihat semua gejala dalam kebudayaan sebagai tanda yang terdiri atas signifiant dan signifie. Pemahan akan signifant dan signifie sebagai proses dua tahap. Karena signifiant adalah gejala yang ditangkap oleh kognisi manusia juga diproduksi, maka ditinjau dari segi pemroduksi tanda, signifiant disebut expression (E) ’ekspresi atau pengungkapan’, dan signifie sebagai content (C) ’isi atau konsep’. Relasi (R) antara E dan C pada manusia terjadi dalam lebih dari satu tahap. Tahap primer terjadi saat tanda diterima untuk pertama kalinya, R1, E1, C1. Pemaknaan tanda tidak hanya terjadi pada tahap primer, tetapi dilanjutkan pada tahap sekunder, yakni R2, E2, dan C2. <br />Selain konotasi, Barthes juga mengungkapkan metabahasa sebagai pengembangan selanjutnya dari makna pada lapisan pertama. Contohnya ekspresi atau pengungkapan dukun, juga dapat diekspresikan dengan paranormal, atau orang pintar. Dalam linguistik gejala ini disebut sinonimi (Hoed, 2004: 53).<br />Bagi Geertz, makna tidak terletak di quot; dalam kepala orangquot; . Simbol dan makna dimiliki bersama oleh anggota masyarakat, terletak di antara mereka, bukan di dalam diri mereka. Simbol dan makna bersifat umum (public), bukan pribadi (private). Geertz mengangggap pandangannya tentang budaya adalah semiotik . Mempelajari budaya berarti mempelajari aturan -aturan makna yang dimiliki bersama. Dengan meminjam satu arti quot; textquot; yang lebih luas dari Ritzer, Geertz pada masa akhir -akhir ini menganggap satu kebudayaan sebagai quot; satu kumpulan teksquot; (Keesing, 1971: 13 ).<br />Jalan lain dalam membahas kebudayaan adalah dengan cara memandang kebudayaan -kebudayaan sebagai sistem makna dan simbol yang dimiliki bersama (Keesing, 1971: 10). Di daratan Eropa jalan ini telah dirambah oleh Louis Dumont. Di AS pelopor yang paling menonjol adalah dua ahli antropologi pewaris tradisi Parsons: Clifford Geertz dan David Schneider. Pandangan yang kuat dari Geertz terhadap budaya, yang ditunjang satu aliran kemanusiaan yang luas, makin lama makin menjadi sistematis. (Keesing, 1971: 11).<br />Seperti ditulis oleh Bertens (1985: 382), pembedaan tanda atas signifiant dan signifiě merupakan pokok terpenting dari pandangan Saussure. Ia berusaha melihat tanda sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material (signifiant/signifier/ penanda) (Piliang, 2003: 47), yaitu image acoustique atau citra bunyi (Saussure, 1973: 146), dengan sesuatu yang abstrak (signifiě/signified/petanda) (Piliang, 2003: 47), yang disebutnya sebagai konsep (Saussure, 1973: 146). Citra bunyi tersebut juga tidak semata-mata fisik, tetapi psikis (psychě: sesuatu yang juga abstrak); penggunaan istilah materil hanya untuk membedakannya dari konsep (yang lebih abstrak) (Saussure 1973: 146). <br />Untuk melihat manfaat studi teks sebagai kebudayaan, saya mengutip pendapat Keesing (1971, 13) bahwa<br />quot; . . . Masalah analisis budaya adalah masalah menentukan saling ketergantungan sekaligus saling keterkaitan, masalah menentukan jurang sekaligus jembatan. Citra yang tepat, kalau seseorang harus punya citra, mengenai organisasi kultural, adalah bukan merupakan jaringan laba-laba maupun onggokan pasir. Organisasi kultural lebih menyerupai gurita yang tangan-tangannya sebagian besar terintegrasi secara terpisah, syaraf-syarafnya kurang begitu baik berhubungan satu dengan lain dan dengan pusat kontrol di otaknya. Namun demikian gurita tersebut mampu berputar dan melindungi dirinya, meskipun untuk sekejap, sebagai satu gairah hidup . . .quot; <br />Daftar Acuan<br />Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Paris: Seuil<br />Bertens, K. 1985. Filsafat Barat Abad XX (Jilid II): Prancis. Jakarta: Gramedia.<br />Hoed, Benny. H. 2002. Strukturalisme, Pragmatik, dan Semiotik dalam Kajian Budaya: Sebuah Pengantar Ringkas dalam Tommy Christommy (ed). 2002. Indonesia: Tanda Yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.<br />Hoed, Benny. H. 2004. “Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik”. Dalam T. Christomy dan Untung Yuwono (ed). Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia. <br />Keesing, R.M, Keesing, F.M. 1971. New Perspectives in Cultural Antrophology. New York: Holt, Rinehart & Winston.<br />Kridalaksana, Harimurti. 1988. “Mongin-Ferdinand De Saussure, Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme”. Dalam Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan Course de Linguistique Generale (1969) Oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.<br />Noth, W. 1995. Handbook of Semiotics. Indianapolis: Indiana University Press.<br />Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.<br />Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan The Postmodern Social Theory oleh Muhammad Taufiq. Yogyakarta: Kreasi Wacana.<br />Saussure, Ferdinand de. 1973/1988. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan Cours de Linguistique Generale (1969) oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.<br />Van Zoes, Aart. 1993. Semiotika (diterjemahkan oleh: Ani Soekowati). Jakarta: Yayasan Sumber Agung.<br />Zaimar, Okke K. S. Zaimar. 2008. Teori Kebudayaan: Teks Sebagai Kebudayaan Dengan Landasan Semiotik. Bahan Kuliah Program Kajian Wilayah Eropa : Program Pascasarjana Universitas Indonesia.<br />Zaimar, Okke K. S. Zaimar. 2008. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.<br />