Cerpen ini menceritakan perjalanan seorang wanita yang sedang bepergian sendirian menggunakan pesawat dan bus. Ia mengingat masa lalunya bersama suami dan anak-anaknya serta pertemuannya dengan seorang pria di pesawat. Cerita ini juga membahas tentang berbagai makna cinta dalam hidup sang narator.
1. Biarkan Cinta Kami Bersemi
Posted on April 22, 2013
Cerpen Frans Magun
Pos Kupang, 27 Januari 2013
AKU telah di tanah lagi. Aku harus ke kokpit mengambil nyawa dan diriku dari kotak hitam.
Nyawa dan diriku yang lebih peka dan penakut ketimbang yang duduk tadi. Ingin rasanya aku
meminta lelaki berwajah baik itu menemaniku terus sampai sepotong jiwaku bergabung kembali.
Sepotong yang dibawa… (Ayu Utami terbang)
Ketika aku tiba di bandara, mataku turut bergetar melihat body pesawat yang bagaikan kaleng
rombengan yang nantinya akan mengangkut aku terbang. Kakiku ragu untuk melangkah
mendekatinya. Aku harus kuat. Tugasku menunggu di sana. Aku tidak percaya harus terbang
dengan kaleng rombengan, apalagi suaranya sudah seperti kakek tua.
Aku terbang tanpa sayap. Tanpa orang-orang yang aku sayangi. Aku menggapai minggu-minggu
yang menanti di depan sana. Aku sendiri. Aku mempunyai banyak tugas di sana. Aku juga akan
menyenangkan diriku dengan tour-tour yang aku rancang sendiri. Aku sudah membayarnya
lebih. Perjalanan ini untuk membangun motivasiku yang sempat hilang.
Ayu Utami telah mampu membawa aku terbang dengan cerita pendeknya. Dia berhasil
menampilkan sosok lelaki dalam pesawat. Lelaki itu juga telah menarik perhatiannya akan sosok
pria lain yang hadir dari kehidupannya ketika harus berpisah. Tampaknya ia mau juga
mengatakan aku punya sisi lain dari kehidupan bersama suami dan anak-anakku.
Aku punya mimpi-mimpi tentang ketidaknyamanan ketika bepergian, ada ketakutan, ada
ketidaksesuaian dan ada juga keinginan untuk bepergian sendiri-sendiri. Namun mencintai
semua orang sama saja dengan tidak mencintai siapa-siapa, karena mencintai semua orang
adalah mencintai pengertian manusia yang abstrak. Cinta itu konkret membedakan, memberi
identitas, dia mulai dengan memberi nama dan melebur dalam nama. Seperti air laut yang
tenang, kadang kala menjadi badai yang mengamuk. Hanya dalam cinta yang tulus dan setia ada
energi yang besar sekali. Energi yang bisa mengguncang kehidupan, merubuhkan kesombongan,
mencairkan kebekuan dan menerobos kemampetan.
Penerbangan berganti di Surabaya (cerita Ayu Utami)
“Semua fotografer pakai digital, ya?”
“Kalau dari segi kualitas, film tetap lebih sensitif. Tapi, dari segi kepraktisan, digital memang tak
terkalahkan.”
“Saya tidak suka teknologi. Teknologi membuat yang tua tidak dihargai. Semua barang
elektronik cepat jadi tua dan tak berguna. Tidak adil.”
2. Ayu mengeluh, diam, tak berkata apa-apa kepada laki-laki temannya di pesawat. Ayu
menemukan dirinya lebih lama dan lebih dalam. Ingatannya menghangat tentang suaminya yang
dia tinggalkan untuk menyelamatkan rumah tetangganya ketika pesawat yang membawanya
pergi dirinya kini tidak muda lagi dan memiliki dua anak.
Ada kebiasaan, ada kesediaan membiasakan diri dengan seseorang. Aku bergantung pada bus
yang sebentar lagi mengantar aku untuk tiba pada halte. Tempat biasa aku menghitung berapa
banyak bus yang telah aku biarkan pergi tanpa menjemputku. Aku mengenal setiap sudut halte
ini. Aku selalu mengikatnya dengan ikatan-ikatan yang telah aku simpul dalam benang-benang
yang beraneka warna. Namanya tanggung jawab, membiasakan diri mengenal kebiasaan
seseorang, menangkap identitasnya masuk lalu membiarkannya begitu terpuja.
Aku tahu bagaimana persisnya aku mulai mengajaknya bicara, tetapi ketika ia menyebutkan
namanya aku seperti mendengar denting genta, bergemirincing dalam hatiku. Barangkali aku
mengidap gangguan jiwa karena terlalu gampang jatuh cinta.
Dan yang ini…?
Aku suka matanya yang selalu mengingatkanku pada langit hampir malam yang biru cemerlang
tidak ada sebuah benda langit pun yang menodainya. Menatap matanya menjadi kehangatan
tersendiri seperti ketika kamu merasa rindu pada masa kanak-kanak yang paling menenteramkan.
Itulah yang membuatku betah di dekatnya. Aku suka mendengar ia berbicara. Terdengar seperti
syair Kahlil Gibran yang dibawakan dalam not-not bossa.
“Laki-laki sok romantis!”
Tidak. Ia tidak pernah mengucapkan rayuan, ia malah begitu gemetar ketika hendak memegang
tanganku. Kehangantan jari-jarinya begitu mengeluh akan pekuh-peluh yang menggoda. Bercinta
dengannya seperti menikmati martabak, rasanya standar dan bisa didapat di mana saja.
Sampai saat ini aku sendiri masih merasa heran, kenapa aku jatuh cinta padanya. Kadang aku
menganggap semua ini tidak lebih dari kisah cinta yang ganjil dan bermasalah tapi bukankah
cinta memang ganjil dan penuh masalah?
Tapi. Di suatu musim yang silam, kami berjumpa. Hati kami bertatu melebur, lahir cinta bersemi
dalam sebuah persahabatan. Tahun-tahun datang dan pergi, pohon cinta kami pun tumbuh,
rindang dan kokoh melampaui segala musim.
Aku melihat dalam dirinya ada keindahan yang lain. aku ingin bersahabat dengannya.
Persahabatan yang terjadi karena menginginkan kesenangan. Aku senang akan hal itu terjadi dan
ingin membangun relasi dengannya. Persahabatan ini semacam etos. Suatu nafsu terdalam dari
keasliah kita ilahi.
Aku mengembara dengan hatiku. Aku mengenang tentang suami dan anak-anakku yang berlarian
di bawah pepohonan depan rumah. Mereka pasti sedang bersenda gurau. Keakraban dan cinta
yang terpancar bagaikan malam-malam penuh bintang.
3. Aku menginginkannya karena ia berguna. Aku membangun setumpuk harap, sejumlah ide. Aku
mencari kenikmatan atau keuntungan setimpal dengan pengeluaran yang ia berikan. Do ut des
(saya beri supaya kamu memberi). Aku mencari keuntungan dari persahabatan ini. ia adalah
orang baik, ia yang aku inginkan menjadi sahabat. Dia telah mengundang aku ke meja perjamuan
untuk meraih kebijaksanaan atau sebagai suatu pengakuan akan identitas dirinya sebagai suatu
keinginan untuk promosi ketertarikan aku.
Tentang persahabatan pohon cinta kami, kami memulainya dengan memelihara senyum,
pandangan mata lalu turun ke hati sebagai keutamaan (kebaikan) dan ia berproses metamorfosis
supaya cinta di dalam kehidupan berkembang untuk mencari kebaikan dalam forma-forma
persahabatan yang unik.
Aku 15 menit di udara. Tanpa ada yang menopang kami. Hanya harapan dan asa. Debar
jantungku sesaat aku padamkan. Pemandangan di luar sana begitu indah. Pulau-pulau terukir
begitu indah. Padang sabana sejenak mengingatkan aku ketika aku mengembara dengan kuda
yang aku pacu melompati rerumputan. Nyaman. Aku merasa lebih baik sekarang.
Aku mencari dalam kotak ingatanku, salah satu legenda valentine. Hari begitu dramatis, aku
memujanya. Taburan coklat begitu menggoda dari pagoda kuli cinta kami yang berwarna pink.
Aku begitu muda. Terpesona pada lelaki yang mempunyai lekuk wajah tanpa dosa. urat-urat
pada lengannya yang mencuat. Ia memiliki wajah lelaki yang baik. Lelaki yang baik adalah
lelaki yang tidak tengil atau sesumbar, tidak sok tahu atau menggurui. Meski tidak berarti lelaki
baik-baik. Lelaki yang suka membual. Tidak. Dia lelaki yang menyenangkan untuk diajak
ngobrol bersama. Tidak. Dia tidak kalem.
Cinta kadang begitu memilih. Tidak biasa dengan caranya. Aku menari dengan cinta. Cinta yang
harus aku pilih ketika pertama mengenal laki-laki yang menjadi suamiku kini. Dan di atas rel ini
kami bina mahligai cinta kami. Aku, suami dan anak-anakku.
Perjalanan sebentar lagi pergi meninggalkan awan yang berarak. Aku menikmati sebotol
minuman kaleng. Rasa itu sekejap terasa begitu menggairahkan syaraf-syarafku. Aku mengerti
tentang cinta. Cinta begitu menggairahkan, ketika kuputuskan untuk pergi sendiri tanpa suami
dan anak-anakku. Aku membiarkan keputusan ini merajai hatiku demi orang-orang yang aku
cintai. Aku ingin mereka mengingatku di sana. Di rumah tempat cinta kami bersemi.
Roda sudah berpacu di landasan. Teman seperjalananku sudah berkemas. Senyum yang tadi
hilang. Tidak lagi menghiasi bibir yang sudah membuat bayangan maya di pikiran cinta. Dia
pergi. Tidak mau peduli. Aku menyentakkan kakiku perlahan ke depan. Sengaja mengenai
tumitnya. Wajahnya agak semu merah. Dia agak terburu-buru. Dia telah menemani aku dalam
perjalanan tadi. Dia banyak bercerita. Tentang istrinya yang tidak setia, tentang perjumpaannya
dengan wanita-wanita sebelum aku. Aku termasuk salah satu wanita yang dia kagumi. Wanita
karier yang berdedikasi tinggi. Kenyataan bahwa pipiku merona. Aku mengingat suami dan
anak-anakku. Alaram dan tanda hati-hati menyala di bilik kasih.
4. “Sudah jam berapa?” tanyaku, aku tersenyum padanya. Toh tadi juga kami sudah saling
mengangguk. Dan tentu saja kami jadi bercakap-cakap panjang lebar. Ia memang menjadi lelaki
yang baik pada saat itu.
Ini pertemuan ke-106. Seperti yang sudah-sudah ia menyapa aku dengan senyum. Dia meringkuk
di balik kesibukan, seolah ia mau mengatakan aku sangat sibuk, kita tidak bisa berlama-lama,
apalagi berduaan. Kupu-kupu yang telah bermetamorfosis sudah terbang bebas, menarikku,
berlari kian kemari.
Dia tersenyum ketika aku menatapnya. Dia sibuk membaca pikiran orang-orang di sekitarnya.
Aku. Aku begitu bodoh untuk mengatakan tentang pohon cinta kami, pohon yang sudah kami
sirami dengan air asmara, pohon yang sudah kami pupuk dengan bumbu-bumbu cinta, pohon
yang sudah kami benam lebih dalam biar akarnya menjadi lebih kuat. Aku bisa merasakan
indahnya hubungan cinta kami saat itu. Cinta yang membebaskan tanpa syarat, tanpa prasangka,
tanpa cemas kehilangan. Rupanya cinta itu memiliki jalan sendiri. Cinta tidak bisa dipaksakan
kepada yang lain menurut cara kita. Bahkan walaupun kita sungguh tulus dan jujur dengna itikad
baik untuk mencintai orang lain harus disesuaikan dengan keadaan orang itu dan tak boleh
melanggar apa yang menjadi hak dan kebebasannya.
Ia sungkan dan jengah. Ia masih tak terbiasa melihatku. Tak ada lagi pelukan, tak ada percakapan
seolah waktu menginginkan semua itu berlangsung tanpa ada percakapan yang akan menjadi
terlalu sarat kenangan seperti jeritan yang terendam. Handphonenya bergetar tanpa suara, ia
meraihnya lalu pergi. “Aku harus pergi,” suaranya pelan dan datar. Cahaya perlahan susut dan
aus. Desah nafas waktu meluapkan basah pada kaca jendela bus. Bus membawa aku pergi pada
kesibukan kota.*
Pasar Pada 28/02/2012