Dokumen tersebut membahas tentang pendapat ulama tentang kedudukan hakim perempuan dalam Islam. Ada dua pendapat utama yaitu pendapat yang melarang perempuan menjadi hakim karena alasan tertentu, dan pendapat yang mengizinkan perempuan menjadi hakim dalam kasus perdata tertentu."
3. Kedudukan Perempuan
Didalam Islam
Hakikat perempuan dalam pandangan
Islam dapat kita cermati dari beberapa
firman Allah swt.
Pendapat Ulama Tentang
Kedudukan Hakim
Perempuan
Peran perempuan di wilayah publik selalu
menjadi kontroversi. Karena wilayah publik
menjadi hal yang terlarang bagi
perempuan, terlebih jabatan di bidang
politik.
01 02
...
4. Kedudukan Perempuan
Didalam Islam
Hakikat perempuan dalam pandangan Islam dapat kita cermati dari beberapa firman Allah swt.
َّو ًاب ْوُعُش ْمُكٰنْلَعَج َو ىٰثْنُا َّو ٍ
رَكَذ ْنِم ْمُكٰنْقَلَخ اَّنِا ُاسَّنال اَهُّيَآٰٰي
َِّنا ۚ ا ْوُف َارَعَتِل َلِٕىۤاَبَق
ىٰقْتَا ِ ه
ّٰللا َدْنِع ْمُكَمَرْكَا
ٌمْيِلَع َ ه
ّٰللا َِّناۗ ْمُك
ٌْريِبَخ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah
Maha Mengetahui, Mahateliti.” (Q.S Al-Hujurat: 13)
ٰ
ىَثنُ ْ
ٱْل َو َرَكَّذٱل ِْنيَج ْوَّٱلز َقَلَخ ُۥهَّنَأ َو
"Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.” (Q.S An-Najm: 45)
5. “
Ayat-ayat sebelumnya menginformasikan bahwa betapa dekatnya hubungan antara laki-laki
dan perempuan berdasar asal kejadian, bahwa perempuan dan laki-laki berasal dari asal yang
sama, bahkan diri yang sama. Karena itu adanya rasa saling membutuhkan antara laki-laki
dan perempuan dan adanya kecenderungan untuk hidup bersama, hal ini merupakan fitrah
yang telah ada sejak awal penciptaan manusia.
Bahwa Islam mengangkat derajat seorang wanita dan memberinya kebebasan, kehormatan,
serta kepribadian yang independen. Bahkan dalam Al-Qur‟an tidak ditemukan ayat yang
menunjukkan keutamaan seseorang karena faktor jenis kelamin atau karena keturunan suku
bangsa tertentu.
6. Pendapat Ulama Tentang
Kedudukan Hakim
Perempuan
Diskursus mengenai kiprah perempuan sebagai
hakim di pengadilan agama, acap kali memuai
kontroversi di berbagai Negara muslim, seperti
di Sudan, Malaysia, Pakistan, dan Indonesia.
Perempuan dinilai tidak pantas untuk terjun
di wilayah publik, terutama dalam jabatan
pemerintahan.
7. Di Indonesia, peradilan agama sendiri
merupakan perwujudan perjuangan
umat Islam dalam memegang teguh
keyakinannya, sehingga diperlukan
lembaga peradilan sendiri untuk
menyelesaikan kasus-kasus
muamalah. Sebab itu, boleh tidaknya
perempuan menjadi hakim di peradilan
agama tidak terlepas dari keyakinan
umat Islam Indonesia.
8. Perdebatan di kalangan ulama fikih tentang
kedudukan hakim perempuan mengacu
pada surah An-Nisa ayat 34, ayat itu kerap
dijadikan dasar perempuan tidak
diperkenankan berperan dalam wilayah
publik, terlebih ada hadis Nabi SAW yang
melarang perempuan menjadi imam salat
bagi laki-laki.
Sedangkan dalam sejarah Islam, sejumlah
sahabat perempuan dikenal pernah
memerankan fungsi sebagai rujukan dalam
hukum, layaknya seorang hakim. Di
antaranya adalah Aisyah R.A, Ummu
Salamah, Shafiyah, dan juga Ummu
Habibah.
9. Menurut kalangan jumhur Malikiyah,
Syafi‟iyah, Hanabilah, dan Zafar dari
Hanafiyah
1. Seorang perempuan tidak diperbolehkan menjadi hakim untuk memimpin sebuah pengadilan walaupun
dia (perempuan) hanya mewakili pekerjaan tersebut.
2. Jika dia menerima pekerjaan tersebut maka dia akan berdosa karena menerima sebuah urusan yang
sudah jelas tidak diperbolehkan.
3. Sedangkan laki-laki dalam pandangan jumhur ulama merupakan syarat yang dibolehkan dan juga
merupakan syarat yang sah.
4. Dalil yang digunakan para jumhur sebagai hujah bahwasanya laki-laki merupakan salah satu syarat yang
harus dipenuhi untuk menjadi seorang hakim dan merupakan salah satu syarat yang sah ialah surat An-
Nisa ayat 34.
10. ٰ
ىَلَع ْمُهَضْعَب ُ َّ
ٱَّلل َلَّضَف اَمِب ِءٰٓاَسِٱلن ىَلَع َونُم َّٰوَق ُلاَج ِ
ٱلر
ۚ ْمِهِل َٰوْمَأ ْنِم ۟واُقَفنَأ ٰٓاَمِب َو ٍ
ضْعَب
َّٰصٱلَف
ٌتَٰتِنَٰق ُت َٰحِل
ُه َوزُشُن َونُفَاخَت ىِت
َّٰٱل َو ۚ ُ َّ
ٱَّلل َظِفَح اَمِب ِبْيَغْلِل ٌتَٰظِف َٰح
َو ِع ِاجَضَمْٱل ىِف َّنُهوُرُجْهٱ َو َّنُهوُظِعَف َّن
ُب ِ
ْرضٱ
ۖ َّنُهو
َع َانَك َ َّ
ٱَّلل َّنِإ ۗ ً
يَلِبَس َّنِهْيَلَع ۟واُغْبَت َ
َلَف ْمُكَنْعَطَأ ْنِإَف
اًيرِبَك ًّايِل
“ Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan),dan
karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka
perempuan-perempuan salihah, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan
menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu
beri nasihat kepada mereka, tinggalkan mereka di tempat tidur (pisah ranjang),
dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya.”
(Q.S An-Nisa: 34)
11. Menurut kalangan Hanafiyah kecuali
Zaffar
1. Perempuan tidak boleh menjabat sebagai hakim, kecuali menjadi hakim dalam urusan muamalat
(perdata) dan tidak pada kasus yang lain.
2. Imam Hanafi berpendapat sama dengan para jumhur fuqoha bahwasanya hakim perempuan dalam
masalah hudud dan qishas (pidana) maka tidak boleh, walaupun apa yang di putuskan sesuai dengan
kebenarannya.
3. Larangan perempuan menjadi hakim dalam perkara pidana diqiyaskan dengan larangan perempuan
menjadi saksi kasus perkara pidana.
4. Pendapat dari kalangan Hanafiyah mengenai kebolehan perempuan Menjadi hakim itu pada nash al-
Qur’an surah at-Taubah ayat 71 yang disebut Tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan.
12. ُرُمْأَي ۚ ٍ
ضْعَب ُءٰٓاَيِل ْوَأ ْمُهُضْعَب ُتَٰنِمْؤُمْٱل َو َونُنِمْؤُمْٱل َو
ِقُي َو ِ
رَكنُمْٱل ِنَع َن ْوَهْنَي َو ِوفُرْعَمْٱلِب َون
َونُمي
۟
وُأ ۚ ٰٓۥُهَلوُس َر َو َ َّ
ٱَّلل َونُعيُِطي َو َة ٰ
وَكَّٱلز َونُتْؤُي َو َة ٰ
وَلَّصٱل
ِ
زَع َ َّ
ٱَّلل َّنِإ ۗ ُ َّ
ٱَّلل ُمُهُمَح ْرَيَس َكِئ
َٰٰٓل
ٌيز
ٌميِكَح
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(Q.S At-Taubah: 71)
13. Menurut Muhammad Ibn Jarir at-Thabari, Hasan al-Basri salah satu dari kalangan
ulama besar pada masa tabi’in, Ibnu Hazm Az-zhahri dan Ibnu al-Qaasim dari
kalangan Mazhab Malikiyah
1. Seorang perempuan boleh menjadi hakim dalam sebuah pengadilan dan memperbolehkan menduduki
jabatan sebagai hakim dalam setiap perkara yang memperolehkan perempuan menjadi saksi.
2. Namun mereka berbeda pendapat dalam urusan yang memperbolehkan perempuan menjadi saksi.
Maka Ibnu Jarir dan Ibnu Hazam berependapat bahwa perempuan boleh menjadi saksi dalam kasus
apapun.
3. al-Hasan, Ibn Jarir at-Thabary dan Ibn Hazm menghilangkan laki-laki sebagai salah satu syarat menjadi
hakim dan membolehkan perempuan menjabat sebagai hakim secara mutlak, dan bahwasanya laki-laki
bukanlah salah satu syarat dan bukan juga sayat yang sah.
4. Dalil yang mereka gunakan adalah surah al-Baqarah ayat 228 dan Segala sesuatu hukum asalnya
adalah mubah kecuali ada dalilnya yang melarangnya dan barang siapa yang mampu menyelesaikan
perselisihan dalam wilayah peradilan walaupun ketika seorang perempuan yang salihah yang mampu
menyelesaikan perselisihan dan tidak ada larangan untuk itu maka boleh saja di memimpin di
pengadilan, karena keperempuanannya tidak menghalangi pemahamannya untuk berargumen dalam
masalah hukum
15. Dasar kebolehan perempuan menjadi hakim
secara mutlak menurut Imam al- Baji
1
Hadis Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar
yang menyebutkan bahwa
setiap orang adalah
pemimpin, tanpa perbedaan
jenis kelaminnya.
2
Hukum kebolehan
perempuan menjadi
mufti maka
perempuan boleh
menjadi hakim
3
Kelamin laki-laki bukan
merupakan hal yang
penting, sehingga
Keabsahan sebagai hakim
tidak harus berjenis
kelamin laki-laki
16. Imam Ibnu Jarir at-Thabari dan Imam Ibnu Hazam
menambahkan alasan lainnya
Tidak satupun ayat al-Qur’an maupun hadis
yang secara terang –terangan melarang
perempuan menjadi hakim, adapun alasan
dalam surah an-Nisa ayat 34 adalah dalam
hal kewajiban nafkah dan usaha pasangan
suami istri, bukan dalam hal kepemimpinan
secara luas.
Secara historis pernah terjadi
pengangkatan auditor pasar pada
masa khalifah Umar bin Khattab
yang bernama as-Syifa daru suku
as-Shuq. Namun hadis tersebut
lemah
17. Kondisi sosial budaya pada masa sekarang jika
kita lihat, maka perempuan dan laki-laki
mempunyai kedudukan dan hak yang sama.
Sehingga kiprah perempuan dalam kancah
politik tidak hanya sebatas emansipasi atau
keikutsertaan, tetapi memiliki kapasitas
sebagai pribadi yang memiliki hak, kewajiban
dan tanggung jawab bersama-sama kaum
laki-laki.