PUI didirikan oleh KH. Abdul Halim di Majalengka dan KH. Ahmad Sanusi di Sukabumi untuk menyatukan umat Islam. PUI dan PUII resmi bergabung pada tahun 1952, dengan tujuan memperbaiki keyakinan, ibadah, pendidikan, dan masyarakat. Saat ini PUI memiliki jaringan besar di Jawa Barat dengan jutaan anggota, meskipun popularitasnya kurang dari NU dan Muhammadiyah.
1. SEJARAH PUI
Sejarah dan Dinamika PUI
DUA orang takut saja jadi berani jika bersatu. Apalagi jika dua-duanya berani!
Begitulah tamsil bagi dua ormas Islam yang bersatu dalam satu wadah para
pemberani menegakkan kebenaran Ilahi, PUI Majalengka dan PUII Sukabumi.
Berikut ini kilasan sejarah keduanya.
PUI MAJALENGKA
Perikatan Ummat Islam (PUI) atau Perikatan Oemat Islam (POI) Majalengka
saat didirikan oleh K.H. Abdul Halim di Majalengka semula bernama Majlisul Ilmi
(1911). MI tumbuh dan berkembang melalui proses perjuangan yang penuh
tantangan dan rintangan dari penjajah Kolonial Belanda masa itu. Bahkan organisasi
ini terpaksa harus mengalami beberapa kali penyempurnaan dan pergantian nama.
Penyempurnaan dimaksudkan untuk mendewasakan organisasi agar tahan uji
terhadap tempaan zaman dan ujian hidup. Sedangkan pergantian nama
dimaksudkan di samping untuk menyesuaikan diri terhadap misi dan beban
tanggung jawab yang harus dipikul, juga untuk menghindarkan diri dari intaian dan
ancaman pemerintah kolonial Belanda.
Tahun 1912 MI mengubah nama menjadi Hayatul Qulub (HQ) yang berarti
“menghidupkan hati”. Setelah peristiwa aksi pemogokan buruh pabrik gula di
Majalengka dalam rangka melawan penindasan penguasa Belanda, HQ makin
diawasi dan dicurigai Belanda. Lalu, atas anjuran banyak pihak, antara lain dari
tokoh pergerakan kemerdekaan HOS Cokroaminoto, HQ berubah nama menjadi
Persyarikatan Oelama (PO) tahun 1916.
PO pun mendapat rongrongan dari pihak penjajah, bahkan dari teman seiring
K.H. Abdul Halim sendiri yang telah terkena hasutan dan pengaruh aparat
pemerintah Belanda.
2. Mereka memfitnah bahwa lembaga pendidikan (sekolah) yang didirikan PO
itu adalah “sekolah kafir” karena bentuk dan sistemnya sepertisekolah Belanda,
yaitu pendidikan dengan sistem kelas, duduk di bangku dan menghadap meja serta
papan tulis.
Tidak hanya itu, mereka yang tidak senang terhadap perkembangan PO juga
menyebarkan isu, bahwa PO itu bukan untuk dan milik rakyat awam, tetapi khusus
untuk dan milik para ulama.Disebarkan kabar, yang bukan ulama tidak pantas dan
tidak perlu masuk PO. Mereka pun menghasut masyarakat agar tidak masuk PO.
Terhadap fitnah tersebut, KH. Abdul Halim bergeming. Ia tetap pada keyakinannya
dan menerukan pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam.
Pada masa awal pendudukan Jepang, organisasi-organisasi pergerakan yang
tahun 1938 bergabung dalam MIAI (PO, AII, Muhamadiyah, dan NU) dibubarkan
oleh penguasa kolonial Jepang. Para ulama atau pimpinan organisasi tersebut
kemudian mendesak penguasa Jepang agar organisasi-organisasi mereka dibolehkan
bergerak lagi.
Beberapa bulan kemudian, organisasi-organisasi tersebut diizinkan oleh
penguasa Jepang untuk melakukan kembali kegiatan-kegiatannya. FederasiMIAI
pun diizinkan bergerak lagi dengan nama Majelis SyuroMuslimin Indonesia
(Masyumi).
Saat itulah PO berganti nama menjadi Perikatan Oemmat Islam (POI).
Dengan perubahan Ejaan Bahasa Indonesia sistem Soewandi (1974), nama itu
menjadi Perikatan Ummat Islam (PUI).
PUII SUKABUMI
Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) didirikan oleh KH. Ahmad Sanusi
di Sukabumi, Jawa Barat. Pada awalnya, PUII bernama Al-Ittihadiyatul Islamiyah
(AII).
Pada masa pendudukan Jepang, AII sebagai anggota MIAI mengalami proses
yang sama seperti PO. Pada saat itulah AII bergantinama menjadi Persatuan
Oemmat Islam Indonesia (POII) tahun 1942 dan berubah nama lagi tahun 1947
menurut Ejaan Soewandi menjadi PUII.
Perjuangan PUII Sukabumi sejak awal secara prinsip sama dengan PUI
Majalengka. Faktor utamanya, karena kedua pendiri organisasi itu, yakniKH. Ahmad
Sanusi dan KH. Abdul Halim, adalah sahabat karib yang sama-sama menimba ilmi
di Mekah, Arab Saudi, antara tahun 1908-1911 M. Istilahnya, keduanya “saguru
saeilmu”, satu guru satu ilmu.
Keduanya bersahabat sangat baik. Mereka pun sering saling bertukar pikiran,
baik di bidang pendalaman ilmu maupun pengalaman ilmunya kelak setelah kembali
ke tanah air.
3. Waktu di Mekah, mereka juga bertemu dan menjalin persahabatan karib
dengan tokoh-tokoh pejuang Islam Indonesia lainnya, sepertiKH. Mas Mansyur
(Muhammadiyah) dan KH.Abdul Wahab (Nahdlatul Ulama).
Sekembalinya di tanah air, persahabatan mereka berlanjut. Mereka saling
berkunjung untuk lebih memantapkan cita-cita yang telah terukir dan digalang sejak
di perantauan, yaitu cita-cita untuk menggalang persatuan dan kesatuan ummat
Islam Indonesia. Bagi mereka, persatuan umat Islam merupakan tulang punggung
wawasan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Setelah masing-masing memimpin PO dan AII, frekuensi pertemuan mereka
makin tinggi dan efektif. Sejak KH. Abdul Halim (PO) diundang oleh KH. Ahmad
Sanusi untuk memberikan ceramah pada Muktamar AII di Sukabumi, pada Maret
1935, rencana realisasi cita-cita tentang terciptanya persatuan dan kesatuan ummat
Islam Indonesia semakin konkret. Kedua ulama beserta seluruh anggota masing-
masing bertekad bulat untuk melebur organisasi mereka, guna mewujudkan cita-cita
bersama, dalam ikatan organisasi baru bernama Persatuan Ummat Islam (PUI) .
Pada berbagai kesempatan, betapapun sibuknya mereka sebagai wakil-wakil
rakyat dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) atau Dokuritsu Zyumbi Choosakai, mereka menyempatkan diri untuk
menyusun rencana teknis pelaksanaan fusi kedua organisasi mereka.
Rencana mengenai nama bentuk organisasi hasil fusi, yaitu Persatuan Ummat
Islam, rancangan (konsep) kepengurusan, waktu serta tempat diadakan fusi, dan
lain-lain telah disepakati bersama.Tetapitakdir Allah tidak dapat dielakkan.
Sebelum upacara fusi dilaksanakan, KH. Ahmad Sanusi dipanggil oleh Allah SWT.
Beliau wafat tahun 1950.
Sesuai dengan wasiatnya kepada keluarga dan pengurus PUII agar
pelaksanaan fusi secepatnya direalisasi, maka tanggal 5 April 1952 bertepatan
dengan 9 Rajab 1371 H, PUI dan PUII resmiberfusi menjadi Persatuan Ummat Islam
(PUI).Tanggal 5 April pun dinyatakan sebagai “Hari Fusi PUI”.
Dalam beramal, PUI berpedoman pada Ishlahuts Tsamaniyah atau Perbaikan
Delapan bidang, yaitu: Perbaikan Keyakinan (Ishlah ‘Aqidah), Perbaikan Ibadah
(Ishlah Ibadah), Perbaikan Pendidikan (Ishlah Tarbiyah), Perbaikan Keluarga
(Ishlah ‘Ailah), Perbaikan Tradisi (Ishlah ‘Adah), Perbaikan Ummat (Ishlah
Ummah), dan Perbaikan Masyarakat secara keseluruhan (Ishlah Muj’tama).
Para pendiri PUI, yaitu KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, dan Mr.
Syamsuddin, berkat jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dianugerahi
Bintang Maha Putera Utama, berdasarkan No. 048/TK/Tahun 1992 tanggal 12
Agustus 1992. KH. Abdul Halim bahkan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada
November 2008.
Saat ini, PUI memiliki jutaan kader.Anggota dan jaringan struktur terbesar
ada di Jawa Barat –jumlahnya ditaksir lebih dari 10 juta anggota. PUI memiliki
ribuan madrasah mulai tingkat Raudlatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan
4. yang sederajat, Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau SLTP, dan Madrasah Aliyah (MA)
atau SLTA sampai tingkat Perguruan Tinggi.
Anggotanya beragam, tersebar didaerah-daerah tingkat I (propinsi), yaitu
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur DI. Yogyakarta, Lampung,
Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Aceh, Riau, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Bali.
Harus diakui, “bendera” PUI jarang atau tidak berkibar seperti bendera ormas
Islam lain, sepertiNU dan Muhammadiyah. Popularitas PUI pun cukup jauh di
bawah kedua ormas tersebut. Akibatnya, kehadiran PUI kurang dirasakan atau
kurang dikenal di masyarakat.Penyebab utamanya, sepertidikemukakan Anggota
Penasihat PP PUI Prof. Dr. H. Hasan Mu’arif Ambary, MA., kegiatan PUI di berbagai
wilayah cenderung tidak menampilkan kehadiran organisasi PUI itu sendiri.
“Penyelenggaraan kegiatan yang semestinya menunjukkan organisasi induk (PUI),
sering dilakukan dengan mempergunakan lembaga lokal, misalnya yayasan,
sehingga kehadiran PUI kurang dikenal masyarakat,” tegasnya.
Popularitas PUI tidak sebesar nama-nama pengurusnya. Di tingpat pusat (PB
PUI), sejumlah tokoh tercantum sebagai pengurus PB PUI. Sebagai contoh saja, KH.
Cholid Fadhlullah (Ketua Penasihat), HM. Ahmad Rifa’I (Ketua Dewan Pembina),
KH. Anwar Saleh (Pembina), Prof. Dr. KH. Didin Hafiduddin (Dewan Pakar),
Sunmanjaya Rukmandis, dan banyak lagi. Kini popularitas PUI “mencuat”,
menyusul terpilihnya H. Ahmad Heryawan (Ketua Umum PB PUI) sebagai Guburnur
Jawa Barat periode 2008-2013 dalam Pilkada Jabar 2008.
Kegiatan PUI dewasa ini meliputi tiga bidang pokok, yaknipendidikan formal
(TK s.d. Perguruan Tinggi), Pendidikan Nonformal (Dakwah) sepertiMajelis Ta’lim,
dan Kegiatan Sosial-Ekonomi sepertikoperasi dan pendidikan keterampilan.
Wallahu a’lam. (ASM. Romli/Intisabi, berbagaisumber).*